Agen Terpercaya  
 
 
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

CERBUNG Catur Dunia

Up terus yg kenceng
 
biar cerita lama kalau bagus yah bakal dibaca lagi hu.....
 
Laku Para Menteri​

Beberapa bulan yang lalu…

‘Tok tok tok…’

“Boleh aku masuk?”

“Silahkan, lagian bukankah kursi ini sebenarnya milikmu?”

“”Ahaha ya kamu benar, aku Cuma menghormati tradisi yang aku buat dalam diriku.” Ucap sang tamu sembari memasuki ruangan.

“Ada keperluan apa kamu kemari? Bukankah semua laporan telah aku berikan?” Tanya sang pemilik ruangan.

“Tidak, hari ini aku bukan datang untuk melihan pekerjaanmu. Ada beberapa hal yang ingin aku tanyakan kepadamu.”

“Perihal apa?” Jawab sang pemilik ruang sembari menebak kemana arah pembicaraan kali ini.

“ Kamu yakin bakal kembali ke sana?” Tanya seorang pria paruh baya di ujung ruangan

“Sangat yakin, ada apa?” Jawab sesosok pemuda di balik meja kerjanya yang trngah asik memeriksa beberapa laporan.

“Tak apa, sungguh aneh saja. Setelah sekian lama aku membawamu pergi dari kota itu, akhirnya kamu justru ingin kembali sendiri kesana.”

“Apa tujuanmu kembali ke kota itu?” Sambung pria tersebut.

“Aku hanya ingin sedikit berbalas budi dan sedikit menyelidiki beberapa keanehan tentang kasus berapa tahun silam.”

“Maksudmu balas budi kepada anak kecil yang waktu itu?” Tanya pria tersebut sambil mengingat-ingat kejadian beberapa tahun silam.

“Yap, tepat sekali.”

“Apa saja yang kamu ketahui tentang dia?” Sang pria nampak mulai tertarik akan arah pembicaraan kali ini. Dia berjalan mendekat ke depan meja pemuda tersebut, dan kini dia tengah duduk di hadapannya.

“Coba ceritakan padaku.” Lanjut pria tersebut.

“Aku mendapatkan sedikit informasi, mengenai dirinya beberapa tahun ini. Menurut informasi yang aku dapatkan dia ingin masuk ke universitas tersebut.” Ucap sang pemuda sembari menyerahkan salah satu universitas ternama di negeri ini.

“Aku telah menyelidiki segala informasi mengenai kampus tersebut. Dari beberapa informasi yang telah aku kumpulkan, ada satu hal yang menarik perhatianku.” Pemuda itu mengambil nafas sebelum melanjutkan ceritanya.

“Ada desas desus yang beredar disana, dan ada kaitannya dengan kasus yang akhir-akhir ini sedang naik daun. Dan aku juga telah menemukan beberapa bukti yang sedikit mencolok.”

“Coba kau jelaskan lebih detail lagi.” Pinta pria tersebut sembari memperhatikan lembaran dokumen mengenai kasus yang tengah di bicarakan pemuda tersebut.

“Ada indikasi, bahwa kejahat selama ini bukan hanya murni kenalakan remaja saja. Ada sedikit banyak back up dari beberapa petinggi kampus dan juga beberapa petugas kepolisian.”

“Ada laporan bahwa mereka menggunakan salah satu sarana berorganisasi mahasiswa sebagai pintu masuk dan wadah untuk menampung para calon korban. Setelah mereka mendapatkan calon korban, maka para petinggi itulah yang akan menyelasaikan pekerjaanya.” Lanjut pemuda tersebut

“Apa yang membuatmu yakin akan hal tersebut?” Tanya sang pria dengan santai.

“Ada pola yang sama mengenai korban dan juga pelaku, dan aku merasa aku perlu masuk kedalamnya untuk memastikannya.”

“Apa yang akan kamu lakukan kalau ternyata salah? Berdasarkan pengamatanku seharusnya ada 3 kampus yang harus diawasi, kenapa kamu justru memilih kampus tersebut di bandingkan dengan dua lainnya? Padahal jika dilihat lebih jauh, bukannya mereka lebih bagus bergerak di tengah ‘keramaian’ daripada ‘kesunyian’?” Sembari memaikan bolpoint yang ada di tangannya. Nampak kini berkas tersebut telah penuh dengan coretan.

“Umm… Entahlah, aku hanya mengikuti instingku. Lagi pula meskipun aku salah, setidaknya aku bisa menjadi lebih dekat dengan dia sebelum membawanya kemari.” Ucap sang pemuda dengan yakin.

“Kalau begitu apa rencanamu? Bukankan mungkin cukup sulit untuk menempatkanmu agar satu atap dengannya?”

“Tenang saja, untuk masalah itu telah aku urus dengan baik, dan akan selalu aku buat seperti tanpa sengaja.” Ucap sang pemuda dengan senyum di wajahnya.

“Baiklah kalau itu sudah jadi keputusanmu. Semoga beruntung dan sesuai rencanamu.” Pesan sang pria sembari merapikan berkas yang telah diterimanya tadi.

“Sebelum kau pergi, boleh kah aku meminta bantuanmu?”

“Silahkan, akan aku bantu semampu tubuh tuaku.”

“Aku ingin meminta izin untu menggunakan ‘akses penuh’ dan mungkin untuk sementara waktu, kursi ini akan aku kembalikan padamu.”

“Apa imbalannya?”

“Liburan keluarga, tanpa pekerjaan.”

“Hmm… tawaran menarik, baiklah aku terima tawaranmu.” Ucap sang pria tersebut. “Ngomong-ngomong, soal ‘akses penuh’ silahkan kamu gunakan sesukamu dan jangan sungkan-sungkan meminta bantuanku jikalau di kemudain hari ada masalah.” Lanjut pria tersebut.

“Baiklah, terimakasih atas sarannya… dad.”

“Oh ya… sebelum aku pergi, aku peringatkan ‘berhati-hatilah dengan orang disekitarmu’ dan jangan lupa kabari kalau rencanamu berhasil.” Ucap sang pria sebelum meninggalkan ruangan tepat di depan pintu. Diapun bergegas meninggalkan ruangan setelah menyampaikan pesannya, berjalan menyusuri gedung perusahaan yang telah ia wariskan ke keturanannya. Banyak cerita dan kenangan yang ia miliki di gedung ini. Meski dia ‘sang pendiri’ namun hanya sedikit orang yang mengenal dan mengetahui sosok sebenarnya. Bukan tanpa sebab hal itu terjadi, karena dia selalu bergerak di dalam bayangan, tanpa pernah mengenakan ‘pakian kebesarannya’. Sepintas orang tak akan sadar akan kemampuannya, karena secara kasat mata, dia layaknya orang tua biasa dari desa.

‘tut… tut… tut..’

“Hallo kang mas, maaf sepertinya saat ini waktunya aku meminta bantuanmu.”

“Sesuai yang aku sampaikan di pesan tadi, jangan lupa awasi, lindungi dan bersihkan,”

“Baik, terimakasih. Salam buat keluarga.”

Sang pria tersebut memasukan kembali ponselnya setelah menghubungi salah satu rekannya. Diapun melanjutkan perjalanannya menuju rumah kecilnya dan sesekali singgah di beberapa tempat sebelum benar-benar kembali ke kediamannya.

Santai…



Tenang…



Seperti layaknya air…


.

Di lain tempat…

Tampak suasana tenang dan damai terlihat di salah satu desa yang ada di penjuru tanah jawa ini. Hamparan sawah yang telah menguning, perbukitan yang tinggi menjulang di sisi kanan dan kiri, serta aliran sungai yang nampak seperti seekor ular yang tengah berkelok-kelok menuruni bukit menambah indahnya pemandangan desa tersebut.

Bila masuk lebih dalam lagi, menyusuri perbuktian dan hutan yang ada, maka kita akan menemukan salah satu situs peninggalan kerajaan mataram kuno. Bila berjalan lebih dalam lagi, kita akan menemukan air terjun yang menjulang tinggi. Bagi warga sekitar, air terjun tersebut bukanlah tempat biasa. Konon katanya, tempat tersebut merupakan salah satu pemandian yang sering digunakan oleh keluarga kerajaan dan banyak warga yang masih mempercayainya hingga saat in, serta masih banyak lagi cerita yang harus digali kebenarannya.

Jika kita kembali ke lingkungan warga, tepat di dekat jalur menuju situs tersebut, terdapat rumah salah satu ‘sesepuh’ atau ‘yang dituakan’ di daerah tersebut. Sebuah bangunan sederhana layaknya orang desa pada umumnya. Tanpa embel-embel kemewahan melainkan hanya kesederhanaan layaknya manusia yang sejatinya tak memiliki apapun di dunia.

Nampak seorang pria tua tengah duduk santai di teras rumah tersebut sembari menikmati ketela rebus dan secangkir kopi. Matanya tampak awas mengawasi sekitarnya, berusaha mencari sedikit pentunjuk jawaban atas kegelisahannya akhir-akhir ini. Meskipun usianya tak lagi tergolong muda, bahkan bisa dibilang lebih pantas jika di sebut ‘kakek’ tapi fisiknya bisa dibilang masih setara dengan para pemuda yang ada di desa. Selain itu, guratan-guratan di wajahnya pun tak mampu menutupi kharismanya sebagai sesepuh desa tersebut.

‘Ngger, wes wayahe…’

Sebuah bisikan halus berlalu melewati telinga pria tersebut. Tampak sesaat wajah sang pria cukup kaget dan memucat, tapi sepersekian dekit kemudian dia kembali tersenyum. Senyum yang terlihat sangat dipaksakan dan berusaha menyembunyikan segala kesedihan. Entah apa yang sedang ada di pikirannya, hanya dia dan tuhan yang tahu.

Pria tersebut beranjak meninggalkan teras, berjalan memasuki rumahnya sembari memanggil sang cucu. Cucu yang ia besarkan seorang diri beberapa tahun belakang. Bukan tanpa sebab mereka hanya tinggal berdua. Beberapa tahun yang lalu, telah terkadi suatu insiden besar di kota, suatu insiden yang menewaskan sang anak dan juga menantunya. Suatu insiden yang mungkin sampai saat ini belum termaafkan di hatinya. Sembari membesarkan sang cucu, dia juga berusaha mencari orang-orang yang harusnya bertanggung jawab atas kematian anggota keluarganya.

Setelah beberapa saat memanggil sang cucu, sang cucupun datang kehadapannya. Nampak seorang pemuda dengan usia sekitar 18 tahun keluar dari bilik kamarnya. Seorang pemuda dengan paras yang cukup tampan dan juga bertubuh athletis. Selain itu aura kewibaan yang cukup luar biasa warisan dari sang kakek menjadi nilai tambah bagi pemuda tersebut.

“maaf kek, saya baru saja menghadap yang maha kuasa. Ada apa kiranya kakek memanggil saya?” Ucap sang pemuda dengan santunnya.

“Persiapkan dirimu, besok kamu akan ke kota.”

“Maaf kek, izin bertanya. Jikalau boleh tau ada gerangan ya kek?”

“Sudah saatnya kamu mencari mereka dan sudah waktunya pula kamu melanjutkan pendidikanmu.” Ucap sang kakek dengan wajah serius

“Maaf kek, mereka ini siapa yang kakek maksud?” Tanya sang cucu dengan terheran-heran, pasalnya selama ini sang kakek tak pernah sedikitmu menyinggung orang lain selain Almarhum kedua orang tuanya.

“Merka adalah orang-orang yang cukup bertanggung jawab atas meninggalnya orang tuamu. Selain itu kamu juga akan bertemu dengan orang yang harus kamu lindungi selama pencarian tersebut.” Ucap sang kakek dengan sangat santai. Dia tampak mengerti akan kebingungan yang tengah dirasakan oleh cucunya. Karena, dia sendiripun merasa hal ini sangat mendadak untuk di terima dan dipahami oleh sang cucu. Namun ia percaya, bahwa suatu saat sang cucu bakal memahami apa maksudnya hari ini.

“Maaf kek, kalau benar ini tentang mereka, kenapa aku harus yang pergi? Bukankah lebih aman kalau kita pergi bersama-sama?”

“Maaf nger, ini bukan kewajibanku untuk menyelesaikannya. Dan tugasku selama ini pun akan segera usai, jadi sudah saatnya kamu memulai perjalanan dan juga pencarianmu.” Jawab sang kakek dengan bijaksana

“Baiklah kalau begitu, kemanakah saya harus pergi kek untuk mencari mereka?” Tanya sang pemuda sembari memantapkan hatinya yang masih ragu. Beragam pertanyaan berkecamuk di dalam pikirannya, namun baginya tak elok, jika dia harus selamanya berpangku tangan kepada sang kakek.

“Datangilah rumah ini, bilang ‘Setya mengirimku untuk menimba ilmu’ pada sang pemilik rumah. Setelah itu, biarkan dia yang akan membimbingmu.” Ucap sang kakek sembari menyerahkan sebuah catatan kecil yang ia selipkan di bajunya.

“Baik kek, segera saya akan menyiapkan segalanya.” Ucap sang pemuda setelah membaca dan memahami catatan yang telah diberikan oleh kakeknya.

“Baiklah kalau begitu, sekarang beristirahatlah. Besok biar kakek antar sampai terminal.”

“Baik kek, kalau begitu saya undur diri dahulu.”

“Silahkan.”

Sang pemuda pun beranjak pergi meninggalkan ruang kaluarga dan segera masuk kembali ke dalam kamarnya. Mempersiapkan segala keperluannya untuk perjalanan yang akan di jalaninya. Setelah sekian lama dia di bawa sang kakek dari kota untuk tinggal kembali di desa, akhirnya besok dia akan kembali ke kota. Kota dimana dia dilahirkan, dan kota dimana segala rahasia dan jawaban mengenai segala pertanyaanya berasal. Tak sabar rasanya bagi dia untuk segera menuju hari esok, namun sayangnya malam nampaknya masih panjang.

Paginya…

Belasan bis tampak berjajar rapi menempati posisinya masing-masing, beberapa orang nampak berlalu lalang sambil membawa tas berukuran besar di pundak mereka. Sebagian besar diantara mereka merupakan calon peratau yang akan menuju ke kota besar, sedangkan sebagian lainnya merupakan para perantau yang pulang ke daerah asal ataupun para pedagang yang akan menjual dagannya. Sayup-sayup terdengar terikan para penjual cangcimen (kacang, kuaci dan permen) menjajakan dagangan mereka terdengar pula suara para kondektur menerikan nama bus mereka agar calon penumpang mereka segera masuk kedalam bus. Tampak pula para penguasa terminal sedang menerima ‘setoran’ dari para supir yang kebetulan singgah di terminal tersebut.

Terminal di daerah ini sebetulnya kecil, tetapi karena satu-satunya terminal di daerah itu maka terminal itu selalu ramai. Tak hanya bus-bus antar kota dalam provinsi, bus-bus kecil dalam kotapun bermuara disitu sehingga menjadi titik temu bagi mereka penyedia layanan transportasi darat. Di sudut terminal tersebut, nampak sang pemuda tengah memeriksa kembali barang yang akan dibawanya menuju kota.

“Bagimana? Semuanya sudah siap?” Tanya sang kakek kepada cucunya

“Sudah kek, sesuai pesan kakek semalam saya sudah membawa beberapa perlengkapan secukupnya.” Ucap pemuda tersebut sembari memeriksa kembali barang bawaanya. Meski bakal menetap lama di kota, namun sang kakek telah menyarankan untuk hanya membawa beberapa lembar pakaian saja. Menurut sang kakek, segala persiapanya telah diatur oleh sahabatnya disana.

“Baiklah kalau begitu, sebelum kita berangkat ada benda yang bakal aku titipkan ke kamu.” UCap sang kakek sembari merogoh saku di Bbajunya. Dikeluarkan sebuah kalung berwarna perak dengan debuah liontin di tengahnya. Diapun menyerahkan kalung tersebut kepada sang cucu.

“Kalung siapa ini kek?” Tanya sang pemuda sembari memperhatikan dengan seksama kalung yang kini tengah ada di gengamannya. Ia merasa tak asing dengan kalung tersebut.

“Itu peninggalan nenekmu, rawatlah ketika kamu disana. Siapa tahu di kemudian hari kalung tersebut sedikit banyak mampu membantu urusanmu.”

“Baik kek, kalau begitu kalung ini akan saya bawa dan akan saya jaga semampu saya.” Jawab sang pemuda sembari memakai kalung yang telah diwariskan kepadanya tersebut.

“Sebelum kita berangkat, kakek ada sedikit pesan untukmu.” Sang kakek menarik nafasnya dalam-dalam sebelum melanjutkan pembicaraanya. “Jangan mudah untuk menilai orang hanya dari yang kamu lihat, jangan pula mudah berbesar diri atas apa yang kamu miliki, karena semua hanyalah bersifat sementara. Serta jika kamu tidak dapat memilih mana yang tepat diantara dua hal, ikutilh kata hatimu.” Nampak pemuda tersebut mendengarkan dan menghayati dengan betul setiap nasehat yang diberikan oleh kakeknya. Karena dia percaya, suatu saat nasehat tersbut akan berguna disaat yang kita butuhkan.

“Baik kek, nasehatmu akan selalu aku inggat dimanapun saya berada.”

“Nampaknya busmu sudah datang, mari aku antar kesana.” Ajak sang kakek sembari memperhatikan barisan-barisan bus yang tengah berjajar rapi tersebut.

“Mari kek.” Mereka berdua pun mulai berjalan menuju bus yang akan membawa sang pemuda menuju kota. Menuju perjalanan yang akan sedikit banyak mengubah hidupnya dan juga sudut pandang mengenai dunia.
.
.
Di lain tempat di waktu yang hampir berdekatan…
.
.

Semarang...

Sebuah kota di Jawa Tengah dengan banggunan khas berupa ‘Lawang Sewu’ dan Tugu Muda yang terkenal akan sejarahnya di masa lampau. Selain sebagai pusatnya pemerintahan di Jawa Tenggah, kota Semarang juga pusatnya pendidikan di Jawa Tenggah karena banyaknya perguruan tinggi disana. Kota ini adalah tujuan Bayu untuk menempuh ilmu di jenjang perguruan tinggi. Meskipun dari desa yang cukup pelosok Bayu tergolong pandai sehingga dia mampu untuk menjadi mahasiswa di perguruan tinggi yang ada di daerahSemarang.

Suara rintik hujan terdengar kala bus yang di tumpanggi seorang pemuda dari luar jawa tengah memasuki terminal. Suasana terminal yang biasanya ramai pun seolah-olah berhenti untuk sementara, memberikan waktu bagi semesta untuk membersihkan sedikit penyakit yang tanpa sadar di ciptakan oleh manusia itu sendiri. Bukan hal aneh hujan di siang itu, karena menurut cocoklogi, januari dapat berarti hujan sehari-hari. Terlihat para pemuda dan juga wanita penyedia jasa ‘ojek payung’ berdiri berjejer di dekat bus untuk menawarkan jasanya. Aroma khas aspal yang menguap akibat hujan tercium ketika Bayu menapakkan kakinya keluar dari bus.

Dipandanginya sekitar terminal tersebut, bagi pemuda tersebut yang kesehariannya hidup di hutan keramaian dikota cukup mengundang perhatiannya. Apalagi ini pertama kalinya dirinya pergi seorang diri, jauh dari rumah untuk waktu yang cukup lama. Demi mewujudkan cita-citanya, semua rasa gelisah tersebut telah ia buang jauh-jauh, karena baginya sekali saja dia ragu, maka bakal rusak semua apa yang telah dia susun dalam rencana kehidupannya. Hujan mendadak menguyur cukup deras terminal itu, sontak pemuda tersebut berlari ke arah orang–orang yang tengah berkerumun menunggu hujan reda. Untung waktu itu bus yang pemuda tersebut tumpangi adalah satu-satunya bus yang tiba di terminal jadi, kondisi terminal cukup lenggang.

“Maaf pak, bolehkah saya ikut duduk disini?” Tanya pemuda tersebut kepada seorang bapak-bapak yang tengah menduduki sebuah kursi panjang di salah satu sudut terminal tersebut.

“Silahkan saja, toh ini bukan milik saya.” Ucap sang bapak dengan senyuman ramah kepadanya. Mendengar respon sang bapak, sang pemuda segera menduduki kursi tersebut dan meletakkan tas yang dibawanya di kakinya. Tampak keheningan diantara mereka, karena pada dasarnya pemuda tersebut tidak memiliki bahasan untuk diobrolkan, apalagi dengan orang yang baru dikenalnya.

“Maaf kalau boleh tau, adek baru kali ini ya ke kota?” tanya sang bapak untuk memecah kekakuan diantara mereka.

“Eh… Iya pak, saya baru pertama kali. Kalau bapak sendiri?” Jawabnya dengan gugup karena cukup kaget dengan pertanyaan yang diajukan sang bapak.

“Saya asli daerah sini, ngomong-ngomong adek mau kemana?” Jawab sang bapak dengan santai, meskipun begitu Bayu merasa aura yang cukup kuat tersembunyi di balik senyumannya.

“Saya mau ke daerah T pak, karena saya keterima di salah satu perguruan tinggi disana.” Jawabg sang pemuda sembari berusaha tenang meskipun dia merasa ada suatu perubahan di badannya, badannya yang awalnya merasa kedinginan mendadak menjadi gerah padahal hujan masih deras.

“Oooo… daerah situ memang pusatnya perguruan tinggi di Semarang, ngomong-ngomong itu yang adek bawa menarik juga. Tapi sayang dia cukup berlawanan dengan punya saya.” Ucap sang bapak tetap dengan gaya santainya.

“Maksud bapak?” Tanya Bayu dengan ekspresi heran meskipun dia paham apa yang dimaksud.

“Ahh… lupakan, saya hanya sedikit bercanda heheheha.” Suara bapak tersebut sembari tertawa terkekeh-kekeh. “Oh iya, saya nyalakan rokok ngga apa-apa kan?” Tanya sang Bapak itu kembali dan dijawabnya dengan sebuah anggukan.

“Ehehe, iya pak saya paham.” Jawa pemuda tersebut dengan tersenyum kecil, dirinya masih menerka-nerka apa yang sebenarnya dibicarkan oleh orang tersebut. Sedikit banyak ekspresinya menunjukan ketakutan, ketakukan jika ia bisa saja menjadi korban kejahatan yang sering di dengarnya.

“Kamu nda usah takut begitu, saya tidak ada niat jahat ke kamu. Saya cuma meningatkan, meski kamu sudah punya pelindung ghaib, tapi yang sejatinya melindungimu hanyalah tuhanmu semata. Jangan sampai dirimu terlena apalagi sampai mengantungkan hidupmu kepada mereka.” Ucap sang bapak dengan santai sembari menghisab rokok kretek gudang garam merah miliknya.

“Baik pak, terimakasih untuk nasihatnya. Jujur saja saya tidak mengerti betul mengenai pelindung yang bapak maksud. Namun, sedikit banyak saya dapat memahami kemana arah pembiacraan bapak.” Jawab pemuda tersebut dengan tenang setelah berhasil mengendalikan dirinya.

“Ahahahaha, kamu nda usah penasaran. Mending kamu fokus saja sama tujuanmu, nanti jika sudah waktunya, kamu bakal tahu sendiri.” Ucap sang bapak kepada pemuda tersebut, meski beliau sedikit mengetahui rahasia tentang dirinya, tapi dirinya merasa tak pantas memberitahukan kebenarannya kepada sang pemuda, karena baginya hal tersebut melanggar kuasa dan wilayahnya.

“Ngomong-ngomong kamu sudah tau mau tinggal dimana?” Tanya sang bapak terhadap Bayu.

“Sudah pak, alamatnya di daerah XXX, cuma saya masih bingung jalannya untuk menuju kesana.” Jawab pemuda tersebut dengan ekspresi sedikit bingung, pasalnya dia belum mengetahui daerah sini.

“Yasudah, karena hujan telah reda saya pamit dulu. Suatu saat jika takdir mengizinkan kita bakal bertemu lagi. Sehabis ini kamu naik angkot kuning itu saja, bilang ke sopirnya mau ke daerah XXX dia sudah hafal daerah tersebut.” Ucap sang bapak sembari menunjuk ke sebuah angkot yang terparkir di depan terminal. Dimatikannya rokok yang dihisapnya tadi karena sudah mendekati ujung batangnya.

“Baik pak, terimakasih atas sarannya, semoga kebaikan bapak terbalaskan kelak.” Ucap sang pemuda dengan wajah sumringah.

“Yaa… Saya pamit dulu, Assalamualaikum.” Ucap sang bapak sembari berdiri, berjalan meninggalkan pemuda yang baru di kenalnya tersebut.

.

.

.

Ketiga pemuda dengan latar belakan yang berbeda antar satu sama lain mulai bergerak, nemun sejatinya mereka memiliki tujuan yang sama. Tujuan yang akan membawanya kepada pendewasaan diri serta penentuan jalan mereka. Segala halangan dan rintanganpun telah tersiapkan untuk mereka. Untuk semakin membenturkan diri mereka, sebelum akhirnya mereka benar-benar menjadi para menteri yang akan mengubah kehidupan.


Bersambung...
 
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd