Agen Terpercaya  
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

DRAMA TAMAT Cerita Paidi

Washu dafuq rek nganti wetengku kemeng tapi realita kost cwo ku tau rasakke wkwk
 
Tanpa ekspresi aku berkata pelan kepada mereka “Hei Pren... trisum yuk”
omg paidi :takut: :aduh:
 
Ada yang request fr ya?
Waduh, sayangnya fr ada tempatnya sendiri di atas :pandaketawa:
 
buat semua, maaf gak bisa quote satu-satu. soal apdet kemaren... kalian inspirasiku hehehe :beer:

See....

Ini nih, langsung meraba adegan selanjutnya ya brotha...=)) =)) =))

iya bro, entah kenapa, terbayang begitu saja =)) =)) =))

owh, tidakkk. kak pai jd beneran hombreng :pandajahat:

Hanya berhubung waktunya cuman sedikit, dari mempertimbangkan efek ke alur cerita, ngembangkan ide, sampai nulis bagian itu, akhirnya pai gak bisa ngembangkan cerita lebih dalam lagi hehehe :pandajahat:

Jadi, sekali lagi. Kalianlah inspirasiku hehehe :panlok3:
 
buat semua, maaf gak bisa quote satu-satu. soal apdet kemaren... kalian inspirasiku hehehe :beer:

See....







Hanya berhubung waktunya cuman sedikit, dari mempertimbangkan efek ke alur cerita, ngembangkan ide, sampai nulis bagian itu, akhirnya pai gak bisa ngembangkan cerita lebih dalam lagi hehehe :pandajahat:

Jadi, sekali lagi. Kalianlah inspirasiku hehehe :panlok3:
Inspirasi? Aku curiga sebeluk kami 'menginspirasi' sebelumnya kamu udah seperti itu, atau mungkin, ini sebuah curhatan :takut:
 
Inspirasi? Aku curiga sebeluk kami 'menginspirasi' sebelumnya kamu udah seperti itu, atau mungkin, ini sebuah curhatan :takut:
sebuah pernyataan yang dipolitisasi menjadi sebuah konspirasi :aduh:


nyimak sambil nunggu apdetan aah :mancing:
 
fieuh... walaupun akhirnya parah, edisi galonnya paidi berakhir juga. its oke lah. but the show must go on.
Ceritanya, semalam paidi request waktunya dipercepat sampai tahun pelajaran berikutnya. oke lah, ane terima requestnya. Jadinya ya dengan terpaksa edisi galau harus diakhiri. padahal banyak catatan menarik dari edisi tersebut yang, paling tidak, bisa dijadikan side story. tapi gak papa lah, owner is the boss. ane hanya membantu menuliskan ceritanya aja (hahahaha sok kayak apa aja lakon cerita ini).

So... next. pai luncurkan apdet berikutnya.
Akhir kata, selamat menikmati

#pengantarnya gak banget ya :kacau:
 
“Di, timbangane awakmu ngelentruk terus ndik kene, ayo kolem. Uklam nang alun-alun. Bareng Asep pisan no” ajak Lutfi
(Di, daripada dirimu muram di sini terus, ayo ikut. Jalan ke alun-alun. Bareng Asep sekalian sana)
“Hmm?”
“Ayo a Di. Kancanono Asep iku lho. Dewean areke”
(Ayo lah Di. Temani Asep itu lho. Sendirian anaknya)
“Yo wis lah. Sak karepe. Ayo” jawabku malas.
(Ya sudahlan, terserah. Ayo)

Malam itu, Lutfi mengajak Asep dan aku untuk jalan-jalan. Entah kemana tujuannya. Kami berangkat bertiga menggunakan 2 motor, aku berboncengan dengan Asep, sedangkan Lutfi sendiri. Di daerah Betek, tepatnya setelah makam, Lutfi menghentikan motornya. Ternyata dia sedang menunggu seseorang.

“Dian, anak hukum?” pikirku setelah melihatnya
“Hai Yan, sejak kapan kamu jalan jama Lutfi?” tanyaku setelah dia datang
“Hahaha ada saja kamu Di” ucapnya malu-malu gimanaaa gitu
“Ayo Yan. Kita berangkat. Ngobrolnya nanti saja” potong Lutfi
“Oke Bos” Sahutku dan Asep bersamaan

Malam itu, aku dan Asep seperti mendapatkan durian runtuh. Lutfi mengajak kami berjalan-jalan ke kota, dan akhirnya mentraktir kami di warung obonk. Ternyata mereka berdua jadian, dan menggelar “selamatannya” bersama kami. Hanya berempat. “Biar hemat” katanya. Ah, peduli amat sama urusan mereka, yang penting bisa makan malam gratis. Syukur-syukur kalau setiap hari bisa begini hehehe.


Chapter 16 : The Moment


Begitulah hari-hariku pasca tragedi itu. Teman-temanku silih berganti menghiburku. Baik hanya sekedar menemaniku ngobrol, mengajak melihat film, jalan-jalan, atau bahkan menemaninya kencan (WTF).

Perlahan tetapi pasti hariku menjadi normal lagi, meski masih kurasakan kekosongan itu, hatiku masih belum terisi.

Ternyata tanpamu langit masih biru
Ternyata tanpamu bunga pun tak layu
Ternyata dunia tak berhenti berputar
Walau kau bukan milikku​

Selama semusim terakhir ini, ada beberapa perkembangan pada perilaku anak-anak KK21.

Kulihat Inul sedang mendekati anak akper ijen. Suatu hari iseng kulirik nomor telponnya, kuhapalkan dan kucatat ke ponselku. Pada hari yang lain kutelpon dia, eeh ternyata nyambung juga diajak ngomong. Kutanya namanya Yaya. Digoda kayaknya enak deh, itung-itung comblangin aja sekalian. Hmmm. Lumayanlah, itung-itung buat hiburan lah.

Lutfi juga terlihat semakin mesra dengan Dian, anak hukum itu. Bahkan terkadang Dian dibawa ke kost untuk digituin. Tentu saja geng KK21 tidak tinggal diam. Selalu menggoda dalam setiap kedatangannya. Ah jadi ingat saat itu. Dasar geng gak stabil!

Lukman, sejak bergabung dengan mapala, semakin sering dia mangkal di markasnya. Kelihatannya semakin sibuk aja dia. Dan sepertinya dia sangat menikmati aktivitas barunya. Akibatnya semakin jarang dia tidur di kostan.

Asep? Masih setia dengan kejombloannya. Malah semakin sering ke kampus dan serius menghadapi komputer di kamarnya. Sepertinya tugas kuliahnya semakin berat. Suatu kali terdengar suara keras diikuti teriakan dari kamarnya “JANC******K!”. Saat itu kami spontan berhamburan ke kamarnya, khawatir kenapa-napa. Ternyata Asep kalah main game!

Hari ini, hampir semusim aku tidak bertemu dengan Indri. Sejak awal semester ini aku mulai “berani” memasuki kampus. Rada aneh juga sih rasanya. Lama gak pernah mengikuti dunia kampus, tiba-tiba disuguhi pemandangan maba-maba berjibun kayak gitu. Kalau dikumpulkan semua, satu lapangan depan rektorat bisa dipenuhi maba-maba gak jelas gitu. Gak nyangka ya, sudah empat tahun aku menjadi mahasiswa. Belum ada tanda-tanda lulus pula. Ah... jadi ngerasa tua nih.

Sebenarnya akhir semester kemaren, aku sempat ke kampus, dipaksa sih, buat ngikuti ujian akhir semester. Oh iya. Tentang ujian akhir semester. Sumpah kemaren itu aku gak tahu sama sekali materi ujiannya. Hanya karena teman-teman berbaik hati memberikan contekan mereka saja aku bisa lulus seluruh mata kuliah yang kutempuh. Itupun nilainya C semua. Ya gak papa lah, yang penting lulus hehehe.

Berhubung mata kuliah yang aku harus tempuh sudah hampir habis, ditambah dengan usahaku menghindari kampus, akhirnya diriku hanya menempuh 2 mata kuliah, sekaligus mengajukan skripsi. Dari dua mata kuliah itu, semuanya terjadwal setiap hari rabu sore dan malam. Jadi aku dapat berkonsentrasi mengerjakan skripsi. Sekaligus menghindari terlalu sering ke kampus. Rencananya sih begitu, gak tau juga nding praktiknya, tergantung game keluaran terbaru juga nyantol di hati apa gak hehehe.

Malam itu, pada suatu pertemuan mata kuliah advance 2, tiba-tiba ponselku bergetar. Sekilas kulirik SMS dari nomor tak dikenal. Kuabaikan hingga diriku pulang ke kost.

Sesampainya disana kubaca isinya “Dek, barang yang sudah aku kirim kemarin, tolong disimpan ya”
Kubalas SMS tersebut “Maaf ini dari siapa ya?”
Tak lama kemudian ada balasan “Eh, maaf salah kirim”

Insting jombloku mendeteksi ada mangsa empuk, membuatku langsung menelponnya.

“Halo” terdengar suara merdu di seberang telepon.
“Halo juga, maaf ini siapa ya? Kok tadi sms saya?”
“Oooh maaf mas, tadi salah sambung”
“Hehehe gak papa dah. Dimaafin“
“Hehehe terima kasih mas” jawabnya sopan.

Hmmm. Dari logatnya seperti bukan orang jawa ya.

“Hmmm. Mbaknya bukan orang jawa ya?”
“Kok tau mas?”
“Itu.. Logatnya kelihatan”
“Prasaan ngomongya udah gw jawa-jawain deh. Iya mas, saya dari Jakarta”
“Kuliah di Malang?
“Iyah”
“Oooo.... Boleh kenalan? Saya Paidi, UB”
“Iya mas. Saya Novi, Akper Ijen”
“Akper Ijen? Angkatan berapa?”
“2003 mas”
“Ooooh, seangkatan sama Yaya berarti?”
“Lho kok tau?”
“Hihihihi. Dia lagi pedekate sama kamar sebelah”
“Hah? Boleh juga tuh. Godain aja mas”
“Bareng ya”
“Boleh. Kalo gitu bisa bagi info nih hehehe”
“So pastilah Nov. Saya pastikan gosip terbaru ada di tanganmu”
“Betewe Yaya sekostan sama kamu Nov?”
“Kita mah tinggalnya di asrama mas. Cuman Yayanya aja yang kagak sekamar ama kita sih”

Selanjutnya percakapan awal itu mengalir begitu saja. Yah topiknya gak jauh-jauhlah dari Inul dan Yaya. Bagaimana caranya godain mereka. Lebih dari itu, kesan pertama yang kutangkap dari Novi sih, orangnya asik diajak ngobrol. Suaranya merdu. Orangnya rada smart gitu, tau juga sih, kan orang baru pertama juga ngomongnya. Lha fisiknya aja gw kagak ngerti...emmm cakep gak ya? Halah kok jadinya ngelantur gitu. Pake logat Betawian pula.

“Di awakmu melok ta gak?” teriak Lutfi beberapa saat setelah kututup telpon dengan Novi
(Di kamu ikut ta gak?)
“Nang endi?”
(Kemana?)
“Mlaku-mlaku nang ngarepan, rame-rame” Sahut Eko
(Jalan-jalan ke depan, rame-rame)
“Ayo Di. Ngopi bareng nang Soetta” kata Ali
(Ayo Di. Ngopi bareng ke Soetta)
“Ayo sik, tak katokan disik”
(Ayo sebentar, pake celana dulu)
“Halah paling mari mbokep arek iki” ucap Inul
(Halah paling habis mbokep anak ini)
“Wakakakak bakul bokep gak bosen-bosen ae mbokep. Tepos dengkulmu Di” sahut yang lain
(Wakakakak penjual bokep gak bosan-bosan mbokep terus. Keropos lututmu Di)

Yup. Sambil mengharapkan kehadiran momen berikutnya, enaknya kita jalan-jalan dulu aja.... yahuuuuu...

Malam ini indah
Penuh dengan warna
Yang selalu menerangi sudut kota

Malam ini indah
Penuh dengan cahya
Yang selalu menerangi sudut kota​
 
Terakhir diubah:
Chapter 17 : Namanya Prastika Novita


Sejak malam itu, aku dan Novi sering berhubungan. Paling tidak lewat sms. Ya.... sebenarnya topiknya sih berawal dari itu-itu saja. Tapi lama-lama bosan juga nyomblangin mereka. Perlahan kualihkan topik pembicaraan menjadi lebih privat.

Hari ini aku beranikan diri untuk melangkah ke depan. Dalam percakapan lewat telepon, aku mencoba peruntungan untuk bertemu dengannya.

“Eh Nov. Kamu nanti malam ada acara gak?” tanyaku ragu
“Enggak. Napa?”
“Emmm.... Boleh gak.... aku main ke situ?”
“Emang ngapain main kemari?”
“Emm... gak kenapa-napa sih. Hanya main-main saja. Sekalian kalau sempat biar aku bisa lihat Yaya langsung hehe”
“Oooo....”
“Kok ooo?”
“Gak papah”
“Maksudnya?” padahal aku berharap dia membolehkan aku main ke sana
“Ya gak papa. Gitu doang”
“Iya, yang gak papa apanya?” kok aku jadi gak nyambung sih
“Mas Pai tadi tanya apa?”
“Yang mana? Mau ke sana? Boleh? Beneran?...”
“Iiiiih.... tanyanya satu-satu kek. Bingung nih jawabnya... Iya..iya. Mas Pai boleh kok main kemari. Bebas, sampai jam 9 malem”
“Ah beneran?”
“Ya. Cari aja aku di asrama. Sekalian kita keluar jalan-jalan. Boleh?”
“Bo..bo..boleh”
“Sekalian traktir aku makan ya” katanya centil
“Iya ya ya... boleh boleh” kataku semangat. Aku bahkan lupa kalau hari ini sudah mendekati akhir bulan!
“Hihihihi mas Pay lucu deh. Baiklah, Novi mo ngerjain tugas dulu ya. Ntar malem, abis magrib ajah. Jangan lupa traktir ya”
“Oke kalo gitu, sampai jumpa nanti malem”
“Iya. Sama-sama mas lucu”
“Assalamualaikum”
“Waalaikum salam”

Aku menghitung ulang saldo kasku buat persiapan nanti malam. Satu-dua-tiga-empat...huft, terpaksa...

“NUUUUL. PINJAM DUITMU ADA GAK?”


-o0o-​


Malam harinya...

TOK...TOK...TOK

“Permisi...” kataku agak keras, setelah sampai di depan asrama Akper
“Ya..cari siapa?”
“Mbak Novi ada?”
“Novi? Siapa?”

Waduh. Mati koen.... gak ada yang namanya Novi di sini. Masa aku ketipu?

“Novi, anak Jakarta. Temennya Yaya. Seangkatan”
“Ooooo....Tika tah? Ya sudah tak panggilkan anaknya.”
“TIIIIK...TIKAAAAA..... ADA TAMU....” katanya sembari menghilang di balik lorong.
Akupun duduk di bangku yang ada di ruang tamu.

Menunggu.... Itulah saat-saat yang paling membosankan. Apalagi yang ditunggu gak jelas seperti ini. Sebentar... Ada yang aneh ini. Nama “Novi” dan “Tika” harus segera dijelaskan oleh si empunya. Tapi sebelum itu. Empunya yang mana????

Detik demi detik kulalui dengan perasaan galau. Kuamati setiap wanita penghuni asrama yang keluar. Aku berharap itulah si pemilik nama “Novi aka Tika”.

“Ini dia si Tika” batinku saat melihat perempuan keluar dari lorong asrama
“Bukan” batinku saat dia tersenyum sopan sambil melewatiku begitu saja...

“Apa ini?” batinku saat melihat perempuan kedua keluar dari lorong asrama
“Bukan juga” batinku saat dia melewatiku juga

“Atau yang ini?” batinku saat melihat perempuan ketiga keluar dari lorong asrama.
Ternyata dia bersama empat perempuan lainnya. “Jelas yang ini bukan” batinku setelah mereka berlalu.

Lama-lama aku jadi ilfil menantikan yang mana sosok si “Novi” eh “Tika”.

Beberapa saat -agak lama juga sih- kemudian...

“Hei... mas... Paidi ya?” tiba-tiba saja sesosok bidadari yang entah muncul dari mana menyapaku
“Eh.. Eh.. I.. Iya..” aku masih terkejut, belum sadar sepenuhnya dari lamunanku, entah apa namanya, yang jelas aku tadi sibuk memikirkan yang mana si “Novi” sehingga lupa memperhatikan lingkungan sekitar.

Diulurkan tangannya, kujabat, kulitnya halus.

“Paidi”
“Novi” Kami berkenalan sekali lagi.

Hmmm manis juga anak ini.Kulit putih, bibir tipis, pipi sedikit tembem, berkacamata, berkerudung pula. We’iiik kenapa gak dari dulu ketemu dia. Pikiranku melayang lagi.

“Tuh kan ngelamun” tegurnya membuyarkan lamunanku. Aku malu.
“Hehehe ada bidadari gini buat aku mabuk. Gak bisa cepet nyadar” aku terkekeh
“Nah noh... gombal mulu nih ngomongnya dari kemaren-kemaren” Novi cemberut. Tapi kok kelihatan terlihat tambah manis...
“heeee...” aku hanya bisa nyengir kuda.
“Eet dah, nih orang, gak bisa tah kagak nyengir gitu? Tuh cabenya keliatan” ejeknya
“Jiah... bohong. Lha wong akunya aja belum maem dari minggu kemaren kok” elakku
“Haish... Kalo Novi ya.. udah tamat dari kemaren-kemaren kali mas” Novi tertawa renyah. Manis...

Yup.. anak ini manis, cepet nyambung, dan enak diajak ngobrol. Sip lah buat awalan.

“Nah noh, ngelamun lagi. awas kesambet yang punya sini lho” tegurnya sambil tertawa renyah

Aku yang sudah mati gaya hanya bisa nyengir kuda sambil garuk-garuk kepala. Jujur, secara fisik, Novi menurutku jauh di atas ekspektasiku. Sebelumnya aku kira anak Akper Ijen orangnya ya gitu-gitu lah. Wajah suram, penampilan pas-pasan, khas perawat lah. Parahnya dalam bayanganku perawat itu orangnya udah tua-tua, mukanya nyebelin pula. Pas bukan?

“Widih, dungaren kera akper onok sing sinam?” gumamku
(Widih, tumben anak akper ada yang manis)
“Eh apa?”
“Eh, enggak, gak ada apa-apa” sekali lagi aku nyengir kuda.
“Beneran nih, ngomong apa barusan. Novi masih gak ngerti nih”
“Ah, gak ada apa-apa kok”
“Huuuh, mas Pai gitu deh”
“Lah... Ngambek”
“Lagian, sini tanya baek-baek, situnya gak mau jawab”
“Ya gimana ya... udah ah, lupakan”
“Nah tuh kan, gak mau jawab lagi”
“Hehehe”
“Huuuu”
“Heeee..... kalo ngambek kelihatan cakep lho” ucapku usil
“Hah? Gombal!”

Jujur, Novi terlihat manis malam itu. Entah karena cahayanya yang remang-remang, atau karena wajahnya yang memang manis, atau hatiku yang sedang berbunga-bunga. Mendekati wanita, sekali lagi membuat jantungku deg deg ser. Ingin diriku bernyanyi sekali lagi “Di setiap ada kamu, kenapa jantungku jadi berdetak, berdetaknya lebih kencang, seperti genderang mau perang”.

“Eh, beneran lho Nov”
“Apanya yang beneran?”
“Pikiranku itu, perawat orangnya udah tua-tua, rambutnya disisir ke belakang, terus pake topi kecil putih, setengahnya judes, setengahnya lagi cuek. Kemana-mana bawa suntik. Pokoknya serem deh”
“Jiah, emang gitu?”
“Iya, kayak beda gitu, dengan kamu. Manis, modis, gemes-gemes gimanaaa gitu”
“Nah tuh kan, gombal lagi”
“Lah emang beda kok”
“Mas Pai mah, gombalin Novi mulu”

Dan percakapan kamipun mengalir begitu saja. Banyak juga cerita dari Novi ternyata. Sejauh ini sih, aku bisa mengambil kesimpulan sementara: Novi orangnya asyik diajak ngomong. Gak tau kalo lebih serius berhubungan. Jadi pacar misalnya hehehe.

“Eh Nov, udah makan?”
“Makan apa dulu? Kalo makan ati udah tadi. Kalo makan nasi mah belom”
“Makan yuk?” ajakku beberapa saat kemudian.
“Boleh, mas yang traktir ya” wajahnya langsung tersenyum ceria
“Hmm. Mau ditraktir dimana? PH? McD? KFC? ABWS? WW? Ato Obonk?” kataku sok gentle.
“Terserah mas Pai deh. Ntar Novi ambil helm dulu ya”

Begitulah ceritanya. Setelah muter-muter gak karuan akhirnya kami terdampar di warung lalapan di tepi jalan dekat kampus. Selera mahasiswa, harga gak bikin kantong cekak.

“Eh Nov” kataku setelah memesan makanan
“Ya mas?”
“Nama lengkapmu siapa sih?”
“Napa kok tanya-tanya nama?”
“Tadi di asrama aku tanya Novi kok gak ada yang tau. Eeh taunya malah Tika. Emang namamu sebenarnya siapa sih?”
“Emmmm.... mau tau aja apa mau tau banget” ujarnya sambil senyum-senyum centil
“Jiah anak ini... ditanyai malah ngeles”
“Hehehehe” Novi nyengir kuda
“Lah...malah kagak bisa ngomong sekarang” ucapku sok betawi dengan logat jawa
“Kasi tau gak ya...?”
“Hmmm....” aku penasaran. Kutatap matanya lekat-lekat, berharap dia memberikan namanya.
“Namaku.... Mas dulu deh, yang kasih nama” Jiah... dia membalik pertanyaan.
“Lah kok gitu?”
“Mau tau gak sih?”
“Iya deh... iya. Gitu aja kok susah” ujarku sewot
“Namaku Paidi. Gitu aja. Gak ada tambahan apa-apa”

Novi tertawa mendengarnya. Aku yang sudah terbiasa dengan reaksi seperti itu bersikap biasa saja.

“Beneran? Serius? Cuman gitu doang?”
“Iya, gitu aja. Emang kurang?”
“Yaelah mas. Anak cakep-cakep gini, lagaknya juga lumayan, kok namanya Paidi doang? Tambahin apa kek, biar kerenan dikit”
“Gak ah, susah kalo ganti nama. Harus buat jenang abang dulu”

Yup. Saking seringnya namaku diledek seperti itu, membuatku mukaku kebal. Biar saja mereka meledek. Toh nanti akan terbiasa sendiri dengan penyebutan namaku.

jenang abang adalah bubur dari beras ketan yang berwarna merah. Biasanya dibuat hajatan tertentu untuk anak-anak

“Aku sudah memberikan nama lengkapku kepadamu. Sekarang, aku tanya lagi. Nama lengkapnya Novi siapa?”

Novi terdiam sebentar, terlihat berpikir, mungkin menimbang-nimbang sebelum berkata

“Prastika Novita, mas”
“Teman-teman di kampus lebih akrab menyebut namaku Tika. Tapi di rumah mereka bilang Novi. Sama saja sih sebenarnya” lanjutnya.
“Ooooo”
“Kok ooo doang?”
“Mau bagaimana lagi? Lha wong jawaban yang kuterima sudah lengkap dan jelas”
“Ditanggepin gimana kek”
“Ya... mau bagaimana lagi nanggepinya. Itu kan terserah Novi mau nyebutin nama pake yang mana”
“Hehehe daripada Paidi, gak ada nama panggilan lainnya” ledek Novi
“Yeee mending gitu. Gak bias. Tegas. Dimana-mana sama hehehe”
“Hehehe bisa aja ngelesnya”
“Pai..di..” jawabku sok bangga
“Hehehe”
“Hehehe”

Kami tertawa lepas. Malam itu menu pecel lele dan tempe penyet rasanya seperti spaghetti dan black pepper di mulutku. Entah karena menunya yang enak, entah karena lapar, entah karena mendapat lawan tanding yang seimbang, atau karena hatiku sedang berbunga, entahlah....
 
Terakhir diubah:
sebuah pernyataan yang dipolitisasi menjadi sebuah konspirasi :aduh:


nyimak sambil nunggu apdetan aah :mancing:
Apdetanmu lebih dipolitisasi lagi Pai, entah untuk menghilangkan image kegalonan itu, atau apa, tapi fast forward yg begitu jauh malah membuatku semakin curiga :huh:

Btw, thanks apdetnya, :cendol: e muter sik yo cak..
 
“Eh, mas. Tau anak yang barusan keluar tu?”
“Emang siapa dia?”
“Itu lho Yaya”
“Heh?”


Chapter 18 : Iseng-Iseng Berhadiah



Sudah beberapa hari ini aku semakin dekat dengan Novi. Dalam beberapa hari ini info yang kudapat tentang Yaya semakin banyak, yang berarti amunisiku untuk menggoda Yaya dan Inul semakin melimpah. Kadang Yaya tampak bete waktu ku goda, apalagi ketika aku menyerempet ke hal yang lebih privat, yang orang luar gak tahu. Sedangkan dia sendiri gak pernah tahu siapa dan bagaimana fisikku, membuatku semakin mudah menggodanya. Lewat telepon tentunya. Inulpun demikian. Setiap kali kugoda atau digoda Novi, terkadang sampai jengkel sendiri. Kalau sudah begitu kami bisa tertawa puas. Dibalik itu, tetap kami menekankan bahwa perjodohan Yaya dan Inul harus diwujudkan. Apapun yang terjadi.

“Mas, tau gak tadi tuh anak-anak pada heboh tau” kata Novi dalam suatu percakapan melalui telepon
“Heboh kenapa?”
“Itu, si Yaya”
“Napa? Jadian?”
“Kok tau?”
“Hah? Bener jadian?”
“Iyah. Emang mas Pai belom tau ya?”
“Enggak i. Inul gak ngasih tau”
“Jiah, disini udah heboh kali mas. Anak-anak dah pada ngebocorin beritanya”
“Emang Yaya ngomong gitu?”
“Iya. Dia sendiri yang ngomong di kelas tadi”
“Waah berita bagus itu. Inul lho gak ngomong apa-apa tadi”
“Waduuuh, kostnya mas mah ketinggalan info”
“Iya ya. Biar deh ntar aku cari Inul. Tak garap dulu dia”
“Iya iya. Buruan mas. Kerjain tuh anak”

Wah, ternyata ada info mengejutkan datang dari asrama Akper. Yaya jadian dengan Inul. Novi yang memberitahuku. Yang membuatku terkejut adalah Inul tidak memberitahukan berita ini sama sekali kepada anak-anak kost. Hmmm.... ada berita bagus nih. Setelah menutup telepon, segera kukunjungi kamar Inul.

“Nuuul... Inuuul”
“Opo kang?”
“Awakmu sik nduwe ojir a Nul?”
(kamu masih punya uang gak Nul?)
“Onok, kari titik. Kowe arepe lapo? Arep nyilih maneh ta?”
(Ada, tinggal sedikit, kamu mau apa? Mau pinjam lagi ta?)
“Awakmu gak nraktir aku ta?”
(Kamu gak traktir saya ta?)
“Lha lapo?”
(Lha kenapa?)
“Lho kan awakmu wis gak njomblo maneh”
(Lho kan kamu sudah gak jomblo lagi)
“Gak njomblo apane?”
“Noh, Yaya wis konfirmasi”
(Noh, Yaya sudah konfirmasi)
“Konfirmasi opo maneh?”
(Konfirmasi apa lagi?)
“Awakmu wes dadian karo Yaya tho? Hayo... ngaku...[i/]”
(Kamu sudah jadian sama Yaya tho? Hayo... ngaku...)
“Walah ono maneh”
(Walah, ada lagi)
“Ngomongo ae wes... terus terang.... ayas itreng hebak kok” gayaku sok cool, padahal ngeledek level atas
(bilang saja dah... terus terang... saya ngerti semua kok)
“Walah ono ae kang Paidi iki. Ora... ora. Sik durung dadian Diii”
(Walah ada saja kang Paidi ini. Belum.. belum. Masih belum jadian Diii)
“Oooo ngono yo. Awas lek ketemon nang asrama, engkok tak tagih traktirane. Dobel hehehe” aku terus ngeledek sambil keluar dari kamar Inul.
(Oooo gitu ya. Awas kalau ketahuan di asrama, nanti saya tagih traktirannya. Dobel hehehe)
“Wooo semprul! cah edan!” umpat Inul. Aku cuekin saja.


-o0o-


Sore harinya aku sengaja datang ke asrama lebih awal dari yang seharusnya. Sambil meminta Novi agar mengamati Yaya, siapa tahu mereka keluar sebelum aku sampai ke asrama.

Sesampainya di Asrama, ku duduk di taman depan dengan Novi. Sambil memperbincangkan berapa hal ringan, berbagai hal sih sebenarnya. Kami tetap mengawasi depan asrama, siapa tahu Inul datang ke asrama.

Dan benar sekali sodara. Tepat setelah magrib, Inul datang mengunjungi Yaya. Untungnya dia tidak menyadari keberadaanku di taman depan.

Baru beberapa waktu kemudian, saat Inul dan Yaya keluar dari asrama, seperti prediksiku, mereka –tepatnya Inul- melihatku, bersama dengan seseorang tak dikenal. Dan Yaya melihat Novi dengan seorang pria tak dikenal, yang sering dia lihat di hari-hari sebelumnya.

“Metu disik, Tik” kata Yaya dengan entengnya
(Keluar dulu Tik)
“Lho kang?” Inul kaget
“Lho Mas Inul kenal sama cowok itu ta?” tanya Yaya
“Ya iyalah. Itu kan Paidi, yang sering godain kamu! Masak kamu gak kenal sama dia?” tanya Inul
“Enggak i mas. Sudah sering lihat, tapi ya cuek saja. Kirain cuman pacarnya Prastika saja. Jadi tak abaikan gitu” jawab Yaya polos

Aku dan Novi tertawa terbahak-bahak mendengar percakapan mereka.

“Huahahahah Nul. Kapan lagi ngerjain kamu” Ejekku lepas
“Iya Ya. Elu gak nyadar ya selama ini yang ngerjain deket-deket aja”
“Kalo gitu... Traktiirannya mana? Udah jadian kok gak ada pesta Jiakakakak”
“Woooo semprul. Ternyata informannya orang dalam. Pantes kok Kang Pai tau saja infonya. Dasar tukang mata-mata” Inul setengah sewot
“Ya udah, apapun caranya, yang jelas traktirannya hehehe” aku cuma bisa nyengir
“Huuu dasar. Maunya yang gratisan”
“Hahahaha” kami bertiga tertawa, hanya Inul yang masih setengah sewot. Tetapi tetap saja, traktiran jalan terus....

Satu yang kusadari, kedekatanku dengan Novi dalam menggoda Inul maupun Yaya, perlahan tapi pasti memantik rasa lain yang telah lama mati suri. Hatiku kini mulai terisi kembali oleh gairah. Semangatku kini kembali, bahkan berlipat dibandingkan dulu. Perlahan tapi pasti, Novi mulai mengisi ruang kosong di hatiku.

Kebahagiaan kini mulai merasuki relung hatiku, mengisi setiap lubang dalam pikiranku. Kedekatan ini, entah sejak kapan, memberi harapan baru kepadaku. Dan parahnya, aku menikmati semuanya.

Namun dibalik itu, aku masih ragu. Setiap kali mau melangkah mendekatinya, aku selalu berpikir apakah dia sudah mempunyai kekasih. Lebih dalam lagi apakah aku sudah bisa melepaskan diri dari bayang-bayang masa laluku. Ataukah dia hanya pelarianku dari Indri saja. Dan yang paling penting, apakah aku mampu menghilangkan trauma atas kegagalanku di masa lalu.

Perlahan sekat itu, sekat yang dulu menjadi penghalang antara hatiku dengan hati Indri mulai muncul kembali. Akibatnya hatiku kembali galau. Diriku kembali ragu. Ya, aku meragukan hatiku. Meragukan semangatku. Meragukan impianku. Akankah segalanya akan terulang kembali. Akankah kegagalan yang telah menghancurkan hatiku, menghilangkan asaku, menghempaskanku kepada rasa sakit ini kembali lagi? Entah...


[End of Chapter]
__________________________________________________________________________________________

Pertamax.. ijin :baca: dulu sam Paidi :beer:

Silahkan baca. jangan lupa kripiknya ya :ampun:

Mantep rek

Suwun om :ampun:
 
Terakhir diubah:
Bimabet
Apdetanmu lebih dipolitisasi lagi Pai, entah untuk menghilangkan image kegalonan itu, atau apa, tapi fast forward yg begitu jauh malah membuatku semakin curiga :huh:

Btw, thanks apdetnya, :cendol: e muter sik yo cak..
semusim buat orang yang baru pertama kali galon itu kejauhan ya? soalnya pembandingnya kemarin orang yang setahun gagal move on =)) =))
 
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd