Agen Terpercaya  
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

[CHALLENGE] Friend or Fiend

Nanti tengah malem updatenya om...:kangen:
 
Sabar yak mas bro...:kangen:
Harus disiplin mematuhi waktu apdet yang telah dipajang di altar
:pandaketawa:
 

Previous
Chapter 1 – Who am I updated 12/10/14


7806282396_f3141c3f1e_z.jpg



~** 2 **~






“Tch…. Dasar cewek tolol... bikin masalah aja bisanya” seorang pria dengan perawakan tambun sedang menghisap rokok berwarna putih di ruangannya sendiri.
Kacamata berbingkai kotak yang bertengger di hidung peseknya kembali turun beberapa milimeter.
Ia kini gusar. Kendati sebuah senyum palsu telah dibuatnya untuk mencairkan suasana, namun atasannya tetap saja menyalahkan dirinya terkait dengan kelalaian seorang pramusaji yang telah mencoreng nama baik RichTaste. Ia adalah sang manager restoran.


“Huuuff.....” asap putih kini mengepul dari lubang kecil yang dibuat bibirnya, begitu juga dengan dua lubang yang entah bagaimana bisa tetap ada di hidungnya yang bulat pesek seperti hidung badut.
Dua buah kaki gempal seukuran gelondongan kayu ia naikkan ke atas meja kerjanya.


”Tok....tok....tok....”
Sang pria tambun yang terhanyut dalam lamunannya sendiri, mengerling ke arah pintu masuk ruangan, di mana suara ketukan berasal.


“Yak.... masookk....”
Entah apakah nada bicara itu sudah terlalu mendarah daging, ia mempersilahkan orang di balik pintu untuk masuk dengan angkuh. Rokok putih yang tersemat di bibirnya kini ia selipkan pada bibir asbak.


”Kriieekk......”
Pintu itu terbuka.
Seorang gadis berperawakan tinggi langsing baru saja masuk dengan sebuah map berisi lembaran-lembaran kertas tergenggam di tangannya. Ia adalah sekertaris si-pria-tambun.


“Malam bos...” sapa gadis itu.
“Ya... ada apa lagi Mel?” Si-pria-tambun kini menurunkan kakinya dari atas meja. Ia sadar, sikap seperti itu tidak selayaknya ia tunjukkan jika ada orang lain bersamanya.


“Nnngg... ini Bos, berkas-berkas keluhan dan pembukuan hari ini...” jawab sang gadis.
“Oh iya... hampir saya lupa. Ini semua gara-gara kelakuan si cewek tolol itu.... berantakan semua kerjaan saya” si-pria-tambun melambaikan tangan, memerintah sang sekertaris untuk mendekat.


”Srekk....Srek.....”
Perlahan, ia membuka lembaran-lembaran itu.
Ya, hari ini reputasi RichTaste benar-benar tercoreng. Berkas keluhan yang sedang dibacanya sungguh membuat kulit wajahnya kembali memerah.


“Fuck………”
Si-pria-tambun melemparkan berkas-berkas itu ke udara.
Satu persatu, lembaran demi lembaran kertas itu jatuh dengan gemulai hingga lantai menyapanya. Sang sekertaris, Melly, nampak tak peduli dengan kelakuan bosnya. Ia sudah sangat terbiasa memandang kelakuannya yang seperti itu.


“Kalau sudah gak ada apa-apa lagi, saya permisi pulang bos… udah malem” ucap Melly.
“ya…ya…ya… pergi sana, hari ini saya lagi gak napsu naikin kamu”


Sang sekertaris hanya bisa mendengus sebal dalam hati.
’Dasar babi tidak tahu diri’ umpatnya.
Bisa-bisanya dia memanfaatkan Melly yang harus menopang hidup ketiga adiknya. Hampir tiap ada kesempatan, Melly tidak akan pulang cepat. Celah sempit dibalik rok mini yang ia kenakan secara teratur akan dijejali sebuah tonjolan daging sepanjang tujuh sentimeter milik si-pria-tambun.


Perempuan binal manapun, tetap saja tidak akan tahan menerima kata-kata yang begitu merendahkan. Terlebih bagi perempuan baik-baik seperti Melly. Dengan berat hati, ia harus merelakan liang vaginanya untuk dinikmati sang manager, yang bahkan belum pernah membuat puting susunya mengeras tegak. Apalagi orgasme.


’Siapa juga yang demen di naekin sama lo… dasar babi’ umpatnya dalam hati.


Tanpa berpamitan, Melly segera melangkahkan kaki dari ruangan yang menjadi saksi bisu bahwa tubuh gemulainya telah dinikmati oleh si-pria-tambun, minimal tiga kali seminggu.
Setidaknya, hari ini ia akan menggapai puncak kenikmatan yang sesungguhnya bersama Sam, sang kekasih. Tak ada baginya hal yang lebih membahagiakan dibanding membayangkan penis kekasihnya menyeruak masuk, mengisi relung kenikmatan miliknya hingga penuh sesak.
’Mmmhh…. Sampai ketemu sayang’


Kembali ke dalam ruangan.
Pria tambun itu memandang jijik ke arah lembaran-lembaran kertas yang tercecer di lantai.
Ia meraih jas berwarna hitam yang ia letakkan pada sandaran kursi, lalu segera mengenakannya. Tak lupa, kunci mobil berlambang lingkaran warna biru-putih dengan tiga buah huruf ia raih.


Malam ini, restoran sudah sepi.
Tak ada lagi gumam-gumam tak jelas yang riuh rendah bersahutan, tak ada lagi binar mata para pasangan yang menghamburkan uang. Ia kini sendirian, berjalan melewati ruang kosong di antara meja bundar yang tertata apik di bawah naungan lampu kristal yang setia menggantung di langit-langit.


“Malam Boss.....” seorang satpam yang masih berjaga di pintu masuk terlihat membungkukkan badan saat si-tambun melangkah tanpa menoleh atau membalas sapaan itu.


’Dasar babi...’
Ya itulah julukan yang diberikan oleh segenap karyawan yang pernah merasakan pahitnya kata-kata si-pria-tambun. Begitu juga dengan si-satpam. Kalimat umpatan yang sesungguhnya terdengar sangat kasar itu terus terucap dalam hatinya.


’Huh.... siapa lu? lu pikir, karyawan rendahan pantas nyapa gua?’ batin si-pria-tambun.
Ia menekan sebuah tombol pada kunci mobil yang sedang digenggamnya.


”tuitt...tutitt...”
Mobil sedan hitam yang terparkir dibalik sebuah plang bertuliskan ’Manager Only’ berbunyi. Lampu sign yang tersemat di keempat sudutnya ikut berkedip sebanyak dua kali.


Mungkin bagi orang yang belum pernah bertemu dengan sang manager, mereka akan takjub ketika memandang si-pria-tambun melangkah masuk ke dalam melewati pintu mobil sedan mewah itu.
’kok muat??’


Tapi begitulah, kenyataan.
Mau tidak mau, batin yang baru saja berucap harus menjilat ludahnya sendiri. Nyata-nyatanya tubuh si-pria-tambun bisa masuk ke dalam mobil walaupun harus bersusah payah menekuk kaki dan memundurkan posisi kursi pengemudi untuk sementara.


”Wuuuunnngg....Wuuunnnggg....”
Mesin mobil itu meraung halus. Untung saja mobil itu memiliki kapasitas mesin dan kualitas rangka yang mumpuni.
Siapa pun tidak akan bisa membayangkan jika ada sebuah taksi mengangkut si-pria-tambun.
Mereka hanya dapat menduga, beberapa bagian mobil taksi itu harus rela menerima beberapa guratan saat melewati polisi tidur karena strukturnya yang semakin ceper.


Mobil itu mulai melaju.
Pelan namun pasti, si-pria-tambun meninggalkan kawasan parkir gedung RichTaste. Tujuannya saat ini bukanlah pulang untuk sekedar memandang raut wajah anak-anaknya yang masih balita, atau mengecup kening sang istri yang setia menanti. Tujuannya saat ini adalah sebuah hotel, di mana tiga orang wanita panggilan telah bersiap menanggalkan seluruh busana untuknya demi beberapa lembar rupiah.


Malam ini begitu sunyi, dengan awan berarak yang membuat cahaya bulan harus mengintip.
Beberapa kali, si-pria-tambun melirik ke arah spion tengah. Ia merasa sedang diikuti sejak meninggalkan pelataran parkir RichTaste. Tapi siapa? Tidak ada satu mobil atau motor pun yang beriringan dengannya. Kendati ia terus berusaha menenangkan diri, perasaan was-was yang tiba-tiba menyelimuti tetap tak mau pergi.


Dinginnya udara yang disemburkan oleh celah AC tak mampu menghalau butir-butir keringat yang terus berjatuhan di dahinya. Merasa keadaan jalan sudah cukup lengang, ia menoleh ke samping untuk mencari tisu guna menyeka keringat dinginnya.


”BRAAAAAAKK.......” sebuah suara memekakkan terdengar dari bagian depan mobil.


Mobil si-pria-tambun bergoyang hebat, noda merah pekat kini terlihat menutupi hampir dua pertiga kaca mobilnya bagian depan. Ia segera menginjak pedal rem hingga ban mobil itu berdecit memekakkan.
“Bangsat.... apaan tu tadi.....”umpatnya.


Deg...Deg...Deg...


Degup jantungnya mulai terpacu.
Warna merah pekat yang menyelimuti kaca depan mobil itu tak lain adalah darah. Ia menabrak sesuatu.
’G-gawat.... gua harus kabur....harus....’ si-pria-tambun membatin. Ia meraih kunci mobil untuk menyalakan kembali mobilnya yang mati mendadak karena kesalahan kontrol saat menginjak pedal kopling.


”nnnnnggggtt...nggggtttt...nnnggtttt....”
Mobil itu tak kunjung menyala. Si-pria-tambun semakin panik. Ia tak mau tertangkap basah karena menabrak seseorang hingga kehilangan nyawa.
’Anjingggg...... kenapa sih ini mobil... bangsat’ umpatnya.


Merasa tak mempunyai pilihan, si-pria-tambun terpaksa turun dari mobilnya dengan susah payah.
Dilihatnya tutup kap mesin mobil itu berlumuran dengan darah jauh lebih banyak dibanding yang ia perkirakan.


”Glek......” ia menelan ludah.
Si-pria-tambun menoleh ke kanan dan ke kiri untuk memastikan tidak ada seorang pun yang menyaksikan kejadian itu. Ya, ia sendirian.


Merasa cukup aman, ia kini berjalan mengitari mobilnya mencari sesosok tubuh yang sudah ditabraknya.
Bercak darah terlihat di mana-mana. Ia semakin panik, degup jantungnya semakin terpacu saat bau anyir merebak memenuhi udara malam.


’Pasti mati..... pasti mati....’ gumamnya dalam hati.
Pendapat itu sangat beralasan mengingat jumlah darah yang memenuhi seluruh bagian depan mobilnya. Tapi bagaimana bisa? Mungkinkah tubuh seseorang hancur seketika? Mungkinkah darah segera memancar saat tubuh itu hancur?


’Gak.... ini gak mungkin.... pasti bukan orang. Ya... pasti bukan....’ pikirnya.
Lagi pula, setelah mengitari mobilnya, si-pria-tambun tak juga menemui sesosok tubuh tanpa nyawa.
Tapi jika bukan makhluk hidup, lantas cairan kental berwarna merah pekat ini apa? Jus?


Teringat akan sebuah kelalaian, si-pria-tambun kini mencoba melihat ke salah satu tempat yang belum ia periksa. Kolong mobil...


Nyali besar yang ia tunjukkan saat menghardik sang gadis pramusaji, kini menguap entah kemana.
Kakinya mulai gemetar. Khawatir jika kenyataan telah membawa seonggok tubuh tak bernyawa ke dalam bayang-bayang badan mobil. Ia kembali menelan ludah, butir-butir keringat yang menghiasi wajahnya kini sudah tak terhitung. Perlahan, ia menekuk sebelah kaki dan menundukkan badan. Kedua tangan gempal dengan cincin berbatu besar kini menyentuh aspal hitam. Ia menundukkan tubuh semakin rendah, sampai akhirnya menoleh dan memandang ke bagian bawah mobil.


Matanya yang membulat, kini nyaris melompat.
Benar saja, di bagian bawah mobil itu tergeletak seonggok tubuh bersimbah darah. Lehernya patah, dan sebelah tangan telah terlepas dari bahunya.


“UUUAAAAHHHHH..........” si-pria-tambun memekik.
Tubuh gempalnya yang seperti gelondongan sapi tanpa kaki, sontak tersungkur ke belakang.
Dengan susah payah, ia mengeluarkan tenaga ekstra yang dihasilkan oleh luapan adrenalin di dalam aliran darahnya untuk merangkak mundur.


Si-pria-tambun nampak tak bisa berkata-kata selama beberapa detik.
Bibirnya gemetar, sedangkan tatapan matanya menyiratkan kecemasan yang teramat sangat.
“Gimana nih??? Gimana nih????” ia mulai meracau.


“A-aa-aaaa-rrrrkkk.......” sebuah suara parau terdengar.
Suara itu berasal dari bibir jenazah yang teronggok di bagian bawah mobil.


Mata si-pria-tambun semakin terbelalak ngeri. Terlebih saat mata jenazah yang memandang kosong ke arah atas kini meliriknya. Entah kekuatan apa, yang pasti kekuatan yang entah dari mana datangnya telah merantai seluruh daya dalam diri si-pria-tambun.


Ia sangat ingin merangkak mundur beberapa meter lagi.
Namun menggerakkan ujung jarinya saja ia tak mampu. Sementara itu, seonggok mayat yang masih terbaring di bagian bawah mobil mulai menggeliat. Bagai seekor belatung, jenazah dengan sebuah lengan yang terpisah kini merangkak keluar.


“P-pergiiiii........pergiiiiiiii........” si-pria-tambun menghardik.
Entah apa yang sedang bersemayam di dalam raga yang seharusnya mati, jenazah berlumuran darah itu menyeringai kejam. Seringai itu perlahan melebar hingga ujung bibirnya terlihat bersentuhan dengan cuping telinga.


“A-a-a-aaaaa-rrkkkkk” suara parau itu kembali terdengar saat si-jenazah mulai membuka bibirnya yang menyeringai lebar. Bagian dalam mulutnya begitu hitam menakutkan.
Setelah berhasil keluar dari himpitan badan mobil, jenazah itu merangkak dengan cepat seperti laba-laba.


“AAAAAAAAHHHHH.......” si-pria-tambun kembali memekik.
Kali ini, ketakutan sungguh menguasai raganya. Tak henti-hentinya ia bergidik gemetar saat jenazah itu memeluk tubuhnya hingga wajah mereka berhadapan.


”TEEEEEEEEEETTTTTTT............ TEEEEEEEEEEETTTT............”
Sebuah suara memekakkan terdengar, dibarengi dengan kilauan cahaya kuning menyilaukan yang datang dari sisi kiri si-pria-tambun. Tanpa menoleh pun, si-pria-tambun pastilah menyadari. Dari suara klakson yang terdengar, sebuah truk besar sedang melesat ke arahnya.


“Ma-aaa.....ttttiiiiiiii..........”


”ZRAAAAAAAAAAAAKKKKKKKKKKK...............”
Sang pengemudi truk yang sudah menginjak pedal rem dengan sekuat tenaga, nampak tak mampu menghentikan badan truk yang terus melaju. Dari kursi pengemudi, sang sopir truk dapat melihat sosok pria tambun yang sedang berjongkok di tengah jalan raya itu menghilang, masuk ke dalam bagian bawah truk.


Tanpa basa-basi, sang sopir truk segera turun untuk memastikan kondisi sosok yang ditabraknya.
Di sana ia melihat noda darah tercecer di bagian bawah truk. Potongan-potongan daging semakin meyakinkan dirinya bahwa bentuk tubuh sosok yang ditabraknya pastilah tidak utuh lagi.


Ia terus menyusuri jejak-jejak cipratan darah, dan akhirnya ia menemukannya.
Sesosok buntalan daging berbalut jas hitam nampak terjepit pada roda paling belakang.





~***~​


Naya...


Di atas meja kayu yang bersebelahan dengan ranjangku, lampu indikator handphone sudah berkedip merah. Sepertinya ada SMS yang masuk. Dengan tubuh masih agak basah, aku berjalan mendekati handphone itu. Aku meraihnya, dan membaringkan diriku yang hanya terbalut handuk lembab ke atas ranjang.


Kamar kontrakan ini tidaklah mewah. Cat putih yang menghiasi dinding warnanya sudah berubah kekuningan dengan beberapa tempat yang catnya mengelupas. Plafon yang menghiasi pandanganku saat berbaring juga mengalami nasib serupa, hanya saja sedikit lebih mengenaskan. Warna putih di atas sana sudah mulai menghitam diselimuti oleh lumut dan jamur yang merebak saat musim hujan tiba.


Kontrakanku ini bukanlah satu-satunya yang mengalami nasib seperti itu.
Ada lebih dari lima puluh pintu lain yang menyembunyikan ruangan sejenis di kawasan rumah susun sangat sederhana yang kutempati, dan kamar bernomor 21 yang berada di lantai tiga ini hanyalah salah satunya.


Kamarku berada di deret paling pojok, jauh dari tangga yang membawaku naik ke atas.
Tinggallah aku meratapi nasib di kamar berukuran lima belas meter persegi yang di dalamnya tidak ada perabotan apa-apa selain sebuah kompor, meja, ranjang, dan dispenser dengan galon air bertengger di atasnya.


Handphone itu kubuka dengan sebelah tangan, dan kudapati beberapa notifikasi pesan masuk di layarnya. Semuanya dari Tomi.


‘Stress kenapa nona?’
‘Kok gak dibalas?’
‘Sedang ingin sendiri ya?’
‘Oke, aku ngerti. Selamat tidur ya Naya’

Begitulah isi keempat SMS yang dikirimkan Tomi.


“Iya... sorry Tom, aku baru dipecat dari pekerjaan” balasku saat itu.
Dengan wajah lesu karena teringat kembali tentang kejadian itu, aku menekan tombol untuk mengirimkan SMS balasan.


“Tringgg...”
Belum sempat aku meletakkan kembali handphone itu, SMS balasan sudah kuterima.
‘Lho? Belum tidur? Maaf ya kalau aku ngeganggu’


“Cepet amat balasnya Tom... iya, enggak apa-apa” jawabku.
Dalam suasana hati gundah seperti ini, biasanya aku tidak suka jika ada yang mengajakku berbicara. Tapi untuk kali ini, aku justru senang dengan SMS yang ia kirimkan. Seolah ada seseorang yang menemaniku dalam sepi, dan meminjamkan pundaknya untuk aku bersandar.


“Tringgg...”
Kali ini, aku sudah menduga ia akan segera membalas sehingga handphone itu tetap kugenggam seraya merebahkan diri dan meletakkan lenganku di dahi.
‘Semoga cepat dapat kerjaan baru ya Nay... memang kamu lagi butuh uang?’


Aku heran. Mengapa Tomi tiba-tiba bertanya seperti itu. Seperti ia sedang membaca pikiranku.
Tapi itu sangat tidak mungkin, walaupun Tomi adalah seorang ahli psikologis sekalipun. Masih banyak kemungkinan lain yang membuatku gundah, bisa karena bentakan sang manager yang terlalu keras, atau karena sebuah tamparan telak yang meninggalkan rona merah di pipi. Yah, tak bisa dipungkiri, dugaan Tomi yang benar-benar tepat seakan menjadi anak panah yang melesat menuju jantungku.


“Yah... namanya juga hidup, pasti butuh uang. Aku gak mau jadi orang munafik” SMS balasan segera kukirim pada Tomi.


“Tringgg...”
‘Aku punya uang... kamu boleh pakai, gak perlu mikirin kembaliinnya kapan’


Aku sampai bangkit dari ranjangku ketika membaca SMS balasan itu. Mataku terbelalak saat mengamati dengan seksama kata demi kata dalam SMS yang Tomi kirimkan.
Sebenarnya siapa dia? Apakah ia seorang eksekutif muda? Atau anak orang kaya?


Batinku kini mulai diisi rasa penasaran tentang siapa sebenarnya Tomi.
Aku memang tidak pernah menanyakan tentang asal usulnya, atau bagaimana kehidupannya. Aku hanya menganggap Tomi sebagai teman ngobrol semata, tidak lebih.


“Gak usah repot... makasih udah nawarin, tapi aku fine... aku gak mau nyusahin siapa-siapa”
Setelah mengirimkan SMS itu, aku mendekap erat hanphoneku di dada. Begitu hinakah hidup ini, sampai-sampai aku harus menyusahkan orang lain karena masalah yang kuciptakan. Hembusan napas ini semakin sesak terasa, sungguh. Aku benar-benar ingin menangis sejadi-jadinya.


“Tringgg...”
‘Ndak usah sungkan kok, aku senang kok bisa bantu... Bukannya sebentar lagi awal bulan dan kamu harus bayar kontrakan?’ tanya Tomi dalam SMS balasannya.


“Aduhhh.....” gumamku.
Pikiranku yang semakin gundah memaksaku untuk menekan handphone itu ke dahiku. Aku menghela napas sejenak. Yah, bukan salah Tomi jika ia mengetahui betapa sulitnya kehidupanku. Aku telah bercerita tentang bagaimana aku kehilangan sosok seorang ibu, tentang kehidupanku bekerja di restoran sebagai pelayan, dan tentang betapa berat hidup seorang diri di kamar kontrakan.


Selama hampir satu bulan ini, Tomi selalu menempatkan diri sebagai pendengar yang baik.
Mendengarkan keluh kesah dan cerita hidupku yang penuh liku-liku, dan memberi nasihat untuk segala masalahku. Dalam bayanganku, Tomi adalah sosok pria yang baik.


“Jangan Tom... aku gak enak, kita kan belum kenal lama. Kalau ternyata aku enggak bayar hutangku gimana?” balasku.


“Tringgg...”
‘Gak apa-apa... kamu pasti bayar kok, aku percaya... sekarang kirimin nomor rekening kamu’ Tomi kembali membalas.


Hatiku kini semakin berdebar-debar. Ingin aku tersenyum mendengar penawaran Tomi, namun harga diri ini mencegahku.
Akankah masalah keuangan ini selesai begitu saja saat aku mengirimkan nomor rekening pada Tomi.
Ahh... aku terlalu naif, mungkin saja Tomi hanya akan mentransfer beberapa ratus ribu. Setelah berpikir sejenak tentang bagaimana aku akan mengembalikan uangnya, aku mengirimkan nomor rekeningku pada Tomi.


“1234.567.890 bank ABC... Maaf Tom, aku sebenarnya gak mau nyusahin atau berperan jadi pengemis” balasku.


Sepuluh menit berselang, handphoneku kembali berbunyi.
“Tringgg...”
‘Jangan bilang begitu, aku senang membantu... sekarang kamu pergi ke ATM’ balasnya


“Hah??” aku terperanjat.
Mungkinkah ia telah mentransfer uang ke rekeningku? Dadaku semakin sesak oleh detak jantung yang menggebu. Aku semakin penasaran, aku segera mengenakan pakaian, menguncir rambutku, dan bergegas keluar mencari mesin ATM.


“Tom... kamu enggak bercanda kan?” balasku seraya berjalan menyusuri lorong dan menuruni tangga. Angin malam yang dingin menandakan malam telah larut. Tak terdengar lagi celotehan pria-pria yang biasa menghabiskan waktu bermain catur di lantai satu.


“Tringgg...”
‘Aku lebih baik mati daripada menipu’ balasnya.


‘Oh Tuhan... mungkinkah pria bernama Tomi ini malaikat penolong utusanmu’
Langkah kakiku yang semakin bersemangat terus berjalan seiring dengan debar jantung. Meski malam telah larut dan jam di handphoneku menunjukkan pukul 22:00, aku tetap berjalan menuju sebuah minimarket yang berjarak 300 meter dari rumah susun ini. Disana, ada sebuah ATM yang biasa kugunakan untuk menarik saldo rekeningku.


“Selamat datang di NewMart....” sapa seorang pramuniaga saat aku membuka pintu kaca minimarket itu. Aku membalasnya dengan sebuah senyuman tanpa kata-kata. Tidak enak juga rasanya jika aku datang ke minimarket ini tanpa membeli sesuatu, namun jika Tomi berbohong maka aku harus menyiapkan muka tebal untuk menahan malu karena berjalan keluar pintu kaca dengan tangan hampa.


“pip..pip..pip..pip..pip..pip”
Kutekan enam digit angka kombinasi, lalu menekan tombol untuk memulai pengecekan saldo. Beberapa detik berlalu dengan kalimat yang memintaku untuk sabar menunggu terpampang di layar ATM berwarna biru.


Mataku benar-benar hampir melompat ketika melihat deretan angka yang seluruhnya berjumlah delapan digit. Kakiku gemetar, aku sungguh sangat rapuh saat ini.
‘Tomi pasti bercanda’ pikirku.


Bagaimana mungkin ada orang yang berani meminjamkan uang lima puluh juta rupiah kepada orang yang bahkan belum pernah ia temui. Kecuali ia seorang konglomerat kelas atas tentunya, yang memiliki aset puluhan miliar, dan uang yang terus mengalir tanpa bisa dibendung.


“Tom.... kamu bercanda ya? Bagaimana bisa aku ngembaliin uang lima puluh juta” balasku pada Tomi.


“Tringgg...”
‘Kalau aku bercanda, pasti aku kirim lima puluh ribu ke rekening kamu Nay’ balasnya.


’Ya tuhan….. apa sebenarnya rencanamu untuk diriku?’
Aku semakin tak habis pikir. Untuk apa Tomi mempermainkan perasaanku seperti ini.
Di lain sisi, hatiku kini bersorak karena masalah keuanganku telah terselesaikan. Tapi bagaimana bisa? Apakah semudah ini? Mengapa kenyataan selalu berjalan dengan cara yang tidak masuk akal?


Beberapa detik berlalu, dengan aku yang masih menatap layar ATM dengan pandangan kosong.
Berkali-kali aku mencubit pipi dan tangan sendiri, hanya untuk meyakinkan bahwa semua ini nyata.
Sekali lagi, aku meragukan diri sendiri. Aku mencubit begitu keras hingga meninggalkan rona merah di punggung lenganku.


’Oke…. Ini nyata’
Tanpa banyak berpikir, aku segera menarik uang sebanyak dua ratus ribu dari mesin ATM.
Aku sadar, semakin banyak uang yang kugunakan, maka akan semakin sulit pula aku mengembalikannya.


Aku kemudian berjalan menuju deretan rak yang tertata rapi, mengambil sebuah surat kabar, roti sobek dan sebotol teh rasa buah, lalu berjalan menuju kasir untuk membayar belanjaanku.


Surat kabar??


Rasanya aneh juga, mengapa aku tiba-tiba tertarik membaca surat kabar. Padahal sebelumnya aku tidak pernah peduli dengan apa yang terjadi di tengah masyarakat. Beberapa saat aku berpikir untuk mengembalikan surat kabar itu ke tempat semula. Sayangnya, sang kasir sudah terlanjur memindai barcode yang ditempelkan pada plastik pembungkusnya.


“Semuanya 19.700 rupiah, ada lagi mbak?” tanya sang kasir.
“Sudah, itu saja...” jawabku.


Kuserahkan selembar uang kertas berwarna biru untuk membayar. Setelah mencetak struk, kasir itu memberikan kantung plastik putih berlogo minimarket dengan belanjaanku berada di dalamnya, dan uang kembalian yang diletakkan di atas struk.


“Terima kasih sudah berkunjung, selamat datang kembali” kasir itu mengucapkan terima kasih dengan kedua tangan ia tangkupkan di depan dadanya.
“Sama-sama” jawabku.


~***~​


Aku kini sudah kembali berada di dalam kamar. Menikmati roti sobek untuk mengganjal perutku yang mulai lapar. Sebelumnya rasa lapar itu seakan bersembunyi ditelan tekanan batin yang kualami. Namun begitu masalahku terselesaikan, rasa lapar itu meraung keras.


“Tom... kamu baik, terima kasih banyak bantuannya” kukirim sebuah SMS sebagai ucapan terima kasih atas bantuan Tomi.


“Tringgg...”
‘Sama-sama Nay... aku senang kalau apa yang aku punya bisa bermanfaat untuk sahabatku’


Sahabat??


Aku tersenyum-senyum sendiri di dalam kamar saat membaca pesan balasan dari Tomi. Benarkah ia menganggapku sebagai sahabatnya? Seingatku aku tidak pernah mendengar keluh kesahnya, atau pun membantu Tomi dalam sesuatu apapun. Ahh, masa bodoh. Mungkin baginya, sahabat hanyalah teman ngobrol semata untuk menghilangkan rasa bosan.


Dua jam aku bercengkerama dengannya setelah itu. Membahas hal-hal tidak penting seperti, apa makanan kesukaannya, dan juga hobi. Entah apa yang terjadi pada perasaanku saat ini, aku begitu nyaman dengan kehadiran SMS yang dikirimkan Tomi sebagai balasan percakapan kami.


“Tringgg...”
‘ngomong-ngomong... Kita belum pernah saling pandang, boleh gak aku minta foto kamu? Kalau kamu nggak keberatan tentunya...’


Wah…wah... Tomi semakin agresif.
Aku tersenyum lebar, geli karena membayangkan ekspresi Tomi saat mengirimkan SMS itu. Kendati aku belum pernah menjalin sebuah hubungan, namun aku tahu pasti seperti apa raut wajah pria saat otak mereka dipenuhi dengan pikiran kotor.
Aku lalu berpikir foto seperti apa yang akan kukirimkan padanya.


“Aku ini jelek loh... nanti kamu menyesal?” balasku.


“Tringgg...”
‘Gak ada kata menyesal buatku. Cowo itu nggak boleh menarik kembali ucapannya’.


‘Hmm...okay.... anggap ini sebagai ucapan terima kasih’ batinku.
Aku mulai berpikir nakal, mungkin aku bisa memberikan sebuah foto yang sedikit sexy sebagai balasan untuk bantuan yang telah ia berikan. Senyum lebar mengembang di bibirku.


Aku menggerai rambutku yang sebelumnya kuikat kuncir kuda.
Rambut hitam berkilau kini menjadi mahkota indah yang tergerai menutupi bahuku.
Dua buah kancing kemeja paling atas sudah kubuka lalu kusibakkan kemeja itu ke samping agar memperlihatkan sedikit belahan dadaku.
’Kurasa cukup’


Kamera handphone sudah mengarah kepadaku.
Aku mencoba menyuguhkan senyum paling manis yang bisa kubuat sebelum menekan tombol untuk mengambil gambar.


“BRAK.............”
Aku tersentak kaget sehingga tanganku berguncang. Sebuah suara memekakkan terdengar dari balik tembok. Di sana adalah kamar Bu Shinta dan anak-anaknya.


‘ada apa ya?’ tanyaku dalam hati. Sesaat, kurasakan jantungku berdegup kencang.
Aku tak berpikir yang macam-macam. Mungkin hanya sebuah benda yang jatuh karena tersenggol.


Aku mengecek hasil foto itu.
Hasil fotonya buram, mungkin karena guncangan pada tanganku. Hasil foto yang buram dan tidak fokus memaksaku untuk berpose ulang.


Kembali kuarahkan kamera handphone itu, lalu menekan tombol bundar di bawah layar.
“Cekreek..” handphoneku berbunyi. Tanda bahwa pengambilan gambar telah sukses.


Aku memandang sejenak ke arah foto itu, foto yang memperlihatkan seorang gadis dengan senyuman indah di dalam sebuah kamar sumpek dan suram. Kali ini gambarnya sudah cukup jelas memperlihatkan siapa aku, lengkap dengan belahan dada menggoda yang sengaja kuperlihatkan.
Tanpa menunggu berlama-lama kukirimkan foto itu pada Tomi melalui MMS.


“Tringgg...”
‘Wah... kamu cantik banget Nay... serius ini foto kamu? Bukan ngambil di google kan?’ tanya Tomi.


“Ihhh jahat, itu beneran foto aku... Sekarang, kirimin foto kamu dong supaya kita saling kenal” balasku.
Aku jadi semakin penasaran, kira-kira seperti apa ya wajah Tomi.


“Tringgg...”
Isi MMS itu seharusnya adalah foto Tomi. Aku membuka MMS itu dan mendapati foto seorang pria tampan dengan senyum tipis disana. Ia mengenakan sebuah kemeja bergaya santai yang sangat cocok jika dipadukan dengan tatanan rambutnya yang sedikit berantakan namun menawan.


Namun, saat aku mengamati foto itu dengan seksama, aku mengerutkan dahi.
Tomi sedang berada di dalam sebuah kamar yang cukup suram dengan cat dinding yang mengelupas dan hanya sedikit perabotan yang terlihat di sana.


Beberapa detik berlalu, aku masih tidak menyadari apa-apa. Namun begitu memandang ke balik punggungku, rasa dingin tiba-tiba menjalar di pundakku. Kamar tempat Tomi berfoto, sangat mirip dengan kamarku.


“Tom jangan main-main ahh... itu kan kamarku?” balasku pada Tomi. Aku mengerutkan dahi sejenak, mencoba menerka apa maksud Tomi mempermainkan aku. Oke, kamar seperti ini mungkin banyak yang menyamai. Sejenak aku berpikir, mungkinkah Tomi juga tinggal di rumah susun ini sama seperti aku.


“Tringgg...”
‘Masa sih kamu gak sadar? Aku ada di samping kamu...’


Deg....Deg....Deg....
Darah di nadiku berdesir cepat, membuat tubuhku seakan tersedot dalam pusaran halusinasi. Setelah aku mengamati kembali foto yang dikirimkan Tomi padaku, aku baru menyadari bahwa tempat itu memang kamarku. Retakan di dinding, letak cat yang mengelupas, semuanya sama persis.


Wajahku pucat pasi.
Tanganku bergidik gemetar memegang handphone ini hingga aku tak sanggup berkata-kata.
’Please, jangan bilang bahwa Tomi serius mengirim sms ini.’


Seketika, insting membuat kepalaku menoleh ke kanan dan ke kiri.
Aku mulai gugup. Aku tidak ingin mempercayai perkataan Tomi, tapi ketakutan yang sudah menyelimutiku semakin kuat. Aku meringkuk dan memeluk lutut di atas ranjang.


“Tom... janhan berbanda deh, aku rendirian nih... Jangan buav aku takut” balasku padanya. Jemari yang bergetar hebat membuat beberapa kesalahan saat aku mengetik di papan keypad dengan dua belas tombol yang tersemat di bawah layar handphoneku.


“tok....tok....tok.....”


Suara pintu masuk yang diketuk benar-benar membuatku kehabisan napas seketika.
Nyaris saja aku terjerembab ke lantai karena terperanjat, namun dengan sigap aku menemukan keseimbangan sehingga tubuhku jatuh dengan perlahan. Tangan kiriku yang mendekap dada, kini merasakan dengan jelas debar jantungku yang terpacu. Hormon adrenalin yang mengalir melewati pembuluh darahku kini membuatku tak dapat menghalau kesadaran yang tetap terjaga.


“Tringgg...”
Handphone yang kugenggam dengan tangan kananku tiba-tiba berbunyi dan bergetar.
Sontak aku segera melemparkannya ke ranjang dan bersimpuh seraya merangkak mundur di lantai.


Deg...Deg...Deg...
Kutatap lampu LED berwarna merah yang berkedip di sudut handphone. Menandakan sebuah SMS baru saja masuk ke dalam list unread message.


“Glek....” aku menelan ludah.
Kukepalkan sejenak jemari tanganku untuk menghilangkan rasa gentar dan gemetar.
Perlahan, kuraih handphone itu dan kubuka layar model clamshellnya.


SMS dari Tomi. Wajahku kembali memucat.
Aku masih belum berani untuk membaca isi SMS itu. aku tak ingin lagi dirundung sebuah ketakutan tak mendasar hanya karena sebuah foto yang sesungguhnya jauh dari kata menakutkan.


“tok...tok...tok...” pintu kamarku kembali diketuk.
Bibirku gemetar, ingin sekali aku meraung dalam tangis. Mataku berkaca-kaca, air mata itu mulai mengalir di pipiku.


Dingin, lantai berdebu ini sungguh bersekongkol untuk menyiksaku.
Aku kini kembali terdiam bersimpuh sambil memandang ke arah pintu masuk. Pandanganku buram, bayangan di sana mulai dibiaskan oleh air mata yang berlinang.


“Tringgg...”
Handphone yang kugenggam kembali berbunyi.


Aku sudah tidak sabar lagi, baru berjalan dua menit namun aku sudah muak dengan semua ini.
Kulempar handphoneku dengan kasar ke arah ranjang. Ia terpental sejenak dari kasur, menabrak tas punggung hitam milikku, dan jatuh di atas bantal.




~~Bersambung~~
Next
Chapter 3 – Who’s Knocking - updated 18/10/14​
 
Terakhir diubah:
woiii... 2 kali pertamax... He..he..

Ijin nyimak lagi..

Semoga blm masuk ke bagian horrornya.

Secara, udah lewat jam "bersetubuh" nih. Maksudnya jarum panjang jam, naikin jarum pendek jam.. :baca: dulu ah..
 
waduuuuhh.. bikin penasaran bgt sambungan ceritanyaaaa...
bikin deg-degan juga tuh pas baca akhir bagian dua.. hahaha

naya kalau takut sendirian, tidur di tempat aku aja...
 
MATILU GENDUT!!!! :galak: GENDUTTTTTTTTTTTTTT :marah:


eh jgn jgn tomi nya ahli camera360 :haha:
 
kirain ada typo suhu..perfectoo!!!
great update malem malem mrinding.
 
Makin penasaran sama ceritanya, apakah tomi bener2 hantu?klo emang beneran hantu, pasti tomi hantu modern yg paham technologi dan perjembangan zaman.
 
woiii... 2 kali pertamax... He..he..

Ijin nyimak lagi..

Semoga blm masuk ke bagian horrornya.

Secara, udah lewat jam "bersetubuh" nih. Maksudnya jarum panjang jam, naikin jarum pendek jam.. :baca: dulu ah..

Komen dong... Gimana updatenya
:ngupil:
 
waduuuuhh.. bikin penasaran bgt sambungan ceritanyaaaa...
bikin deg-degan juga tuh pas baca akhir bagian dua.. hahaha

naya kalau takut sendirian, tidur di tempat aku aja...

Tnang saja :ogah:
Si naya begitu sutradara bilang "cuuutttt..."
Dia langsung berlari ke pelukanku
:kangen:
 
Bimabet
Makin penasaran sama ceritanya, apakah tomi bener2 hantu?klo emang beneran hantu, pasti tomi hantu modern yg paham technologi dan perjembangan zaman.

Namanya juga jaman skarang kwkwkwkw
 
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd