Agen Terpercaya  
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

[CHALLENGE] Friend or Fiend

Bimabet
naya dan tomi disini kayaknya mirip debitur kartu kredit dan pihak bank hahahahaa... siap2 kamu naya menanggung bunga berbunga yg akhirnya berbunga bunga.. nikmati saja wkekekwkkw
 
abis :baca: minggat dulu ah, tar ditagih komen lagi.
:p



___:ngacir:___
 
Previous
Chapter 2 – Strangers - updated 15/10/14

77bLp-0PlRg.jpg



~** 3 **~





“tok....tok....tok....”
Pintu kembali diketuk dari sisi luar. Aku melirik sesaat ke arah jam dinding. Jarum jam di sana menunjukkan pukul 00:13.


Deg...deg...deg...
Jantungku semakin terpacu saat mengingat bahwa saat ini sudah lewat tengah malam.
Air mataku terus bercucuran, namun kali ini jauh lebih deras dibandingkan tangis yang kualami seumur hidup. Mungkin yang bisa menyamai tangis itu, hanyalah air mataku yang mengalir saat ibu dimasukkan ke liang lahat.


Aku duduk bersimpuh, tanganku mengepal erat aku masih memandang penuh ketakutan ke arah pintu kontrakanku. Di bawah celah pintu, aku dapat melihat bayangan kaki seseorang sedang berdiri di sana. Hingga tiba-tiba aku mendengarkan suara dari luar memanggil namaku.
“Naya....”


‘Ehh?? Suara itu....’


Rasa takutku perlahan memudar.
Kendati aku belum pernah mendengar suara Tomi, namun aku yakin bahwa yang sedang memanggil namaku bukanlah dia. Suara di balik pintu itu sangat familiar di telingaku.


“Nay...... lo udah tidur ya?” suara itu kembali memanggil.
“I-iya...sebentar...” jawabku seraya menyeka air mata dan bangkit berjalan menuju pintu.
Kuraih anak kunci yang menancap di sana lalu kuputar untuk membuka kuncinya.
“crekkk....crekkkk....” dua kali kunci pintu itu berbunyi, menandakan bahwa pintu sudah dapat dibuka.


“cekrek....” kuraih handle pintu itu, kutekan ke bawah, lalu kubukakan pintu kamarku untuk orang di luar sana.


“Lohh.... Nay? Lo kenapa? Kok nangis sih??” sesosok perempuan berambut panjang berdiri di ambang pintu. Handle travelbag yang ia genggam, seketika terlepas hingga tas itu jatuh ke lantai.
Yang berbicara itu adalah Reni, teman sebangku denganku saat SMA. Dan dia lah yang menawariku menjual keperawanan. Reni berperawakan tinggi semampai, kira-kira postur tubuhnya mirip denganku. Hanya saja wajah kami berbeda.


“Ng-nggak kok Ren... Gue gak apa-apa” jawabku sekenanya.
Reni segera merangkulkan tangan ke leherku dan mendekap tubuhku erat-erat.
Aku tahu, mataku yang masih memerah dengan napas senggukan tidak akan mampu membohonginya.


Kendati Reni adalah gadis yang cukup bisa dikatakan “nakal”. Namun itu semua tidak dapat menyembunyikan fakta bahwa Reni adalah arti sesungguhnya dari kata sahabat. Ia hampir selalu ada di saat aku dirundung masalah, seperti saat ini.


“Nggak apa-apa gimana? Jelas-jelas lo habis nangis...” ucapnya lagi.
Ia meraih pipiku dengan kedua tangannya, lalu menyeka air mata di sana dengan ibu jarinya.
Mata Reni yang berwarna cokelat sungguh membuat pikiranku tenang. Kami berpandangan sejenak sebelum memutuskan untuk duduk di ranjang.
“Iya... gue ada sedikit masalah Ren, gue baru dipecat sore ini...” jawabku
Saat itu Reni sedang menarik travelbag yang berisi pakaian miliknya ke dalam kamarku.


Beberapa menit setelah itu, aku menghabiskan waktu dengan bercerita pada Reni.
Tentang bagaimana aku menjalani pekerjaan, tentang keluhanku terhadap manager yang sok berkuasa, dan lain-lain. Reni adalah pendengar yang baik seperti halnya Tomi.


Tomi???


Aku teringat kembali tentang dua SMS yang dikirimkan Tomi. Dua SMS itu belum sempat kubaca.
Kuraih handphone yang tergeletak di atas bantal. Dalam hati aku bersyukur, jika saja aku melemparkan handphone ini ke dinding, pastilah handphone ini sudah hancur tak berbentuk.


Kubuka handphone itu dan mendapati dua unread message di sana.
‘HAHAHAHA..... Seru udah ngerjain kamu Nay... Iya aku cuma becanda kok... tapi itu beneran fotoku’
‘Nay... kamu marah ya? Maaf udah bikin kamu takut pake foto editan itu’



‘Brengsek... apa-apaan dia?’ batinku.
Seandainya ia ada disini, maka akan kujambak rambutnya.
Bisa-bisanya pria ini mempermainkan aku seperti itu.


Oke, memang salahku tak berani membaca SMS yang dikirimkan Tomi sejak awal. Jika saja aku segera membacanya, mungkin aku tidak perlu ketakutan setengah mati seperti tadi. Tapi mau bagaimana lagi? Aku memang pada dasarnya penakut. Tidak perlu di takut-takuti seperti itu saja aku sudah was-was jika berjalan di keremangan cahaya.
“Jahat kamu.....” balasku pada Tomi.


“Tringgg...”
‘yailah…. Becanda kok…becanda… Maaf ya Nay, aku gak bermaksud nakut-nakutin. Aku cuma mau menghibur...’


“Siapa itu Nay? Cieee, berapa bulan gak ketemu udah punya pacar ternyata nih?” Reni memasang raut wajah curiga dengan senyum simpul yang terkesan meledek.
“Ihh... apa si, cuma kenalan doang gak lebih” jawabku.


“Kenalan apa kenalan?” tanya Reni lagi. Kali ini, tatapannya semakin menusuk tajam.
“S-Suwer deh, cuma kenalan gak lebih” ucapku lagi. Tapi…. teringat dengan uang lima puluh juta yang ada di dalam rekening, aku berkata “Sebenernya sih ada lebihnya...”


Reni bangkit dan berjalan menuju travelbag besar yang ia bawa ke kontrakanku.
Ketika membuka resleting yang menutup tas itu ia berkata “Tuh kan, ada lebihnya... pasti udah ehem-ehem....”
Reni kini merogohkan tangan kedalam tas itu, sepertinya ia sedang mencari sesuatu.


“Yeeee...... dasar otak mesum” aku mengumpat seraya menimpuk Reni dengan bantal yang tergeletak di sampingku.
“Hahaha.... udah deh, lo ngaku aja” Reni tetap tertawa meledek kendati sebuah bantal baru saja mendarat di wajahnya.


“Gini-gini gue masi perawan, enak aja!!” sebal… ia meragukan aku. Memangnya aku terlihat seperti wanita nakal? Aku menyilangkan tangan di dada seraya memajukan bibirku.
“Mana coba gue liat Nay?” Reni mendekat ke arahku. “Buka celana...” pintanya.


’Ya ampun… gak percaya amat’


Perlahan aku membuka kancing pengait celanaku. Reni yang berlutut di bawah ranjang membantuku melepaskan celana dengan menariknya menggunakan kedua tangannya.


Saat celana yang kukenakan telah terlepas, aku membuka kedua pahaku lebar-lebar agar Reni bisa melihat dengan jelas lipatan vaginaku yang berwarna merah muda dengan bagian sedikit putih di lubangnya.
Aku sama sekali tidak malu melakukan ini. Aku dan Reni memang sangat terbuka walaupun tentang hal super pribadi sekalipun. Bahkan, hubungan persahabatan kami sudah berjalan lebih jauh dari sekedar sahabat.


“Salut gue.... bisa-bisanya lu tahan gak di masukin” kata Reni. Ia menggelengkan kepala seraya terus mengamati selaput dara di lubang vaginaku.


Kala itu aku masih memakai kaus dan mencondongkan tubuhku 45 derajat ke belakang dengan kedua tanganku sebagai tumpuannya. Aku mengerling ke arah selangkanganku dan melihat wajah Reni menyembul di sana. “Ya bisa lah... emang elo, kalo liat kontol langsung gelagapan salah tingkah”


’Hehehe….. sekarang giliran lo yang mati kutu….’


“Halah... Lu kalo di giniin juga gak mungkin nolak...” sebal dengan argumen yang kulontarkan, Reni membenamkan wajahnya di selangkanganku lalu mulai memainkan lidahnya yang bergerak liar.


“Aaaasssh..shit..... Gue belom siap Ren...” aku menengadahkan wajah membiarkan Reni mengoral vaginaku. Jilatan lidah Reni memang nomor wahid. Hanya dia yang pernah melihat dan merasakan vaginaku selama ini.


“Sssstttt.... udah Ren...g-gue aaaaaaaakkkkkkkkkkhhhh.....” tubuhku menegang seketika, entah kenapa jilatan Reni saat ini begitu nikmat mendarat di klitorisku. Mungkin sudah terlalu lama aku merindukan jilatannya, terlebih karena aku sudah tidak pernah bertemu dengan Reni hampir empat bulan lamanya.


“Yahh... nggak seru ahh, baru juga mulai, belom ada satu menit lu udah ngeden” ucap Reni seraya menjilat bibirnya yang dibasahi cairan kewanitaanku.
“Lu terlalu profesional sih... Hehe” jawabku.


“Nyindir nih ceritanya?” Reni bersungut, ia mulai melepaskan busananya. Kemeja bermotif kotak-kotak itu ia lemparkan ke atas ranjang berikut dengan celana jeans yang ia kenakan.
Reni beralih ke travelbag miliknya dan mengambil sebuah dildo vibrator di sana.


’Ohh… dari tadi nyari gituan ternyata…’


“Sekarang bantuin gue Nay... gue jadi kepingin gara-gara ngeliat lo nyembur” ucapnya.
Aku hanya tersenyum sambil memandangi raut wajah Reni yang mesum dari sudut mataku.
Kuraih kait bra berukuran 35C yang ia kenakan, kulepas, lalu kulemparkan ke atas ranjang bersama kemeja serta celananya. Tak lupa, celana dalam hitam yang ia kenakan juga kulucuti dengan mudah, menyisakan tubuh semampai Reni telanjang tanpa busana.


Aku masih dalam posisi duduk saat Reni merapatkan tubuhnya padaku.
Dua buah payudara sekal itu menggantung tepat di depan mataku dengan puting berjarak hanya beberapa senti dari bibir ini.


Aku menjulurkan lidah, berusaha menggapai puting susu berwarna cokelat muda milik Reni.
“Aaakhhh...” Reni melenguh pelan, ia merangkulkan kedua tangannya di bahuku lalu menekan wajahku agar terbenam di payudaranya.


“Aahhh.....Nay....mmmhhh...” Reni mulai meracau, desahan-desahan dengan mudah meluncur dari bibirnya sementara aku masih disibukkan dengan kedua puting menantang yang kuhisap bergantian.
Aku mengambil dildo vibrator yang dibawanya dengan tangan kiriku.
Dengan menekan sebuah tombol kunyalakan alat itu.


“Rrrrrrrttt.....”
Ujung batang replika penis itu bergetar. Tanganku merasakan sensasi getaran yang mulai menjalar. Aku mulai membayangkan, bagaimana rasanya jika benda ini menyeruak ke dalam vaginaku yang masih perawan.


‘Aakkhh.... jangan, aku gak boleh macam-macam’ batinku.


Reni nampak sudah sangat haus akan belaian, mungkinkah ia sudah lama tidak bersetubuh dengan para kliennya? Ahh, mana mungkin. Menurut penuturannya, dalam semalam Reni bisa melayani hingga tiga orang pria hidung belang. Dengan reputasi Reni sebagai penjaja tubuh kelas atas, dalam semalam ia dapat mengantungi uang hingga tiga sampai empat juta rupiah.


“Sluuurpp...sluuurrpp....”
Puting susu Reni memang sangat nikmat, mengacung keras menantang namun tetap lembut ketika berdansa dengan lidahku. Aroma tubuh Reni agak lain dari biasanya, mungkin ia mengganti parfum.


Dildo yang kugenggam dengan tangan kiriku mulai kuarahkan pada selangkangan Reni.
Benda inilah yang selalu membantunya menggapai orgasme saat bermain bersamaku. Yah, Reni adalah seorang bi-sex. Ia pernah bercerita padaku, ketika suatu saat dirinya dipergoki sedang bersenggama dengan seorang klien oleh istri klien tersebut.


Istri klien tersebut bertanya.
“Apa bedanya pelacur macam ini dengan wanita terhormat seperti aku?”
“Mari kutunjukkan nyonya...” jawab Reni singkat.


Ia mulai mencumbu wanita paruh baya itu dengan lidahnya.
Lima menit berselang, istri sang klien sudah meronta ingin dipuaskan. Sementara sang klien sendiri hanya menonton dengan pandangan penuh nafsu saat kedua wanita itu bercumbu seraya mengurut penisnya yang masih tegak berdiri.


~***~​


“Nay.......akkkhhhhhh.....” Reni mulai meracau.
Mengingat cerita Reni membuatku lupa bahwa kami sekarang sedang terlibat permainan yang sesungguhnya. Aku mengerling sejenak dan mendapati raut wajah Reni begitu teduh dalam tiap desahan yang meluncur dari bibirnya. Dildo bergetar yang kugenggam kini kugesek-gesekkan ke mulut vagina milik Reni.


“Mau di masukin...??” tanyaku.
“I-iyaaahhh........” Reni mendekap tubuhku erat. Ia menaikkan sedikit pantatnya agar memudahkanku melakukan permintaannya.


“Sleep......”
“AAAAKKHHH.......” Reni memekik saat ujung dildo bergetar itu menyeruak masuk ke dalam vaginanya yang sudah basah. Tidak terlalu sulit, Reni bahkan tidak merasa sakit sama sekali. Mungkin karena vaginanya sudah terbiasa menerima sesuatu. Aku mulai berani untuk menggerakkan dildo itu keluar masuk dengan cepat.


“Ssstt... jangan keras-keras....” ucapku ketika menyadari Reni memekik cukup keras.
Reni hampir saja kehilangan kendali. Ia kini mengatupkan bibir dan matanya rapat-rapat.
Wajahnya benar-benar menyiratkan sebuah kenikmatan yang menjalar di seluruh tubuhnya.


Aku iri... sangat iri.
Di saat lawan mainku bebas menggapai orgasme sedahsyat mungkin, aku hanya bisa menggigit jari dengan orgasme tak seberapa yang ku peroleh dari jilatan lidah Reni.
Mungkin suatu saat, aku akan mempertimbangkan ucapan Reni untuk menjual keperawananku.
Menggadaikan harga diriku dengan kemilau harta yang kubutuhkan. Aku tak akan jadi orang yang munafik selamanya.


“Nayyy....aaakhhh....Nayyy........” Reni mulai memanggil-manggil namaku.
Aku tahu, saat seperti ini adalah saat di mana Reni begitu bernafsu akan diriku. Ia tak akan melepaskanku begitu saja sebelum ia mendapatkan apa yang ia inginkan, dalam hal ini kepuasan.


Dildo itu kugerakkan maju-mundur dengan cepat.
Vagina Reni yang sudah terbiasa menerima hujaman tak asing lagi dengan kondisi seperti ini. Ia terlihat sangat menikmati tiap detik ketika benda bergetar itu menancap dalam di vaginanya.


“Nay......MMmmmmmmmmhhhHHHHHH....”
Hampir sampai, racauan Reni sangat khas. Aku bisa mengenali dengan mudah arti dari tiap gumamannya, saat di mana ia bernafsu, saat di mana ia ingin lebih, dan saat di mana ia hampir mendapatkan apa yang ia mau.


Dalam sekali hentakan aku memasukkan dildo itu dalam-dalam.
“AAaaaaaaaakkkhhhhHHHH.....” tubuh Reni menegang dengan cepat. Ia mendekapku erat.
Dapat kurasakan bibirnya yang dingin menempel pada leherku. Di bawah sana, vagina Reni sudah menyemburkan lelehan cairan kenikmatan itu.


Aku sengaja tak mematikan dildo itu dan membiarkannya menancap di sana.
Itulah cara yang disukai Reni untuk menikmati sisa-sisa orgasmenya.
“Fuaaahhhhh....enak banget Nay...” ucapnya santai.
Aku tak habis pikir, bagaimana bisa ia berkata sesantai itu saat ada sebuah benda bergetar hebat di dalam vaginanya?. Reni kemudian merebahkan diri di ranjang, tepat di sebelahku.


“Gila... bisa-bisanya lu rebahan sambil di colok”
“Hihihi.... enak tau Nay... lu mesti cobain kapan-kapan”


Kurenggangkan tubuhku yang sudah berlumuran peluh, lalu kurebahkan tepat di samping Reni.
“Nay.......” ucapnya.
“Hmm... apa cinta...?”


Reni mulai meraba tubuhku dengan sebelah tangan.
“Geli tau.......” ucapku tanpa berusaha menyingkirkan tangannya.
Sesungguhnya aku sangat menikmati sentuhan-sentuhan itu. Seakan mengobati penyesalanku yang tetap mempertahankan kesucian ini.


“Mau nenen Nay.....” Reni merajuk seperti anak kecil.
Tangan yang meraba perutku yang rata kini mulai menyusup di bawah kemeja yang masih kukenakan.
“Ihhhh..... ada-ada aja lu.... isep aja si....” ucapku seraya menyodorkan payudaraku pada wajah Reni.


“Hihihi.... boleh ya....”
Dengan cepat ia menanggalkan kemeja dan braku hingga payudaraku menyembul tepat di hadapannya.
“Iyahh..”


“Sluurpp....” ohh, sapuan lidah itu.
“Mmmhh...” kuluman itu.


Payudaraku kini sudah menjadi santapan Reni.
Nikmat sekali sensasi yang ditimbulkan oleh tiap sapuan lidah yang dilancarkan Reni. She is the real pro.
“Nnnggghhhh...... enak Ren... terus” pintaku.


Reni memang selalu mengerti apa yang kuinginkan.
Ia mulai meraih vaginaku dengan jemarinya.


Reni mulai mengusap lembut.
Perlahan-lahan semakin liar, jari tengahnya menyeruak kecelah lipatan daging merah di bawah sana. Mencari letak tonjolan daging dengan berjuta reseptor rangsangan seksual.


Dahiku mulai berkeringat.
Cumbuan Reni sungguh teramat dahsyat.


Di bawah sana, liang keperawananku mulai berkedut lembut.
Aku melemaskan bahu dan tubuhku, membiarkan seluruh hasratku tertuang pada otot vagina di sana.


Rileks.... nyaman sekali.
Aku memejamkan mata menikmati tiap lecutan listrik statis di otakku. Aku sadar, bahwa aku telah menjadi pecandu berat. Kendati hasratku hanya bisa dipuaskan dalam hubungan sesama jenis, namun aku cukup puas dengan semua ini.


“AAAaaaaaaaakkkhhhhhhhhh............”
Lima menit berselang, aku sudah tak mampu lagi menahan denyutan dinding vaginaku yang semakin kuat.


Cairan orgasme itu menyembur dengan hebat, tubuhku menegang seketika.
Itu adalah permainan paling lama yang kulakukan selama aku mengenal Reni. Biasanya aku tak akan bertahan lebih dari dua menit dalam rengkuhan berjuta rangsangan yang dilancarkannya.


“Nahh... udah impas kan?” tanya Reni.
“Iya.....”





~~bersambung~~
Chapter 4 – Fake - updated 21/10/14
 
Terakhir diubah:
Maaf kawan2.... :ampun:
Nubi bener2 khilaf...
Ketiduran
:mati:
 
Huaduh....:mati:
Maap banget kawan-kawan... Kopi ini tak mampu membantuku agar tetap terjaga...
Padahal tinggal setengah jam lagi midnight... Ehhh malah ketiduran
 
gpp om aman yg penting udah update,sorry msh blm bsa ngomentari crtax soalx teka tekix masih bnyak.
 
Entah kenapa kayanya emang si Tomi itu bukan ngerjain, tapi emang beneran ada di kamar itu. Hanya saja doi bilang ngerjain karena dia ga mau lost contact ama Naya, entah karena alasan yang romantis atau karena si Tomi ada agenda lain :pandajahat:
 
Iya bener secara ngedit mah lama mana ada ngedit cepet apalagi di waktu bales sms. . .
Yang paling misterius ni si reni kalo diamati pasti ada suatu hal yang disembunyiin mana make harus bwa ransel lagi. . .
 
Entah kenapa kayanya emang si Tomi itu bukan ngerjain, tapi emang beneran ada di kamar itu. Hanya saja doi bilang ngerjain karena dia ga mau lost contact ama Naya, entah karena alasan yang romantis atau karena si Tomi ada agenda lain :pandajahat:

Agenda lain...??
:bingung:
 
Iya bener secara ngedit mah lama mana ada ngedit cepet apalagi di waktu bales sms. . .
Yang paling misterius ni si reni kalo diamati pasti ada suatu hal yang disembunyiin mana make harus bwa ransel lagi. . .

Jadi mana yg harus diwaspadai???
:bingung:
 
wes tangi?? :ngupil:

chapter panas saiki.. di seling2 po bang meg?

Yoi....:Peace:

Harus bikin porsi yg seimbang soalnya... Lg pula chapter ini penting buat membentuk atmosfir chapter berikutnya
 
Entah kenapa kayanya emang si Tomi itu bukan ngerjain, tapi emang beneran ada di kamar itu. Hanya saja doi bilang ngerjain karena dia ga mau lost contact ama Naya, entah karena alasan yang romantis atau karena si Tomi ada agenda lain :pandajahat:

Aku idem..
Part yang ini om mega mengajak pembaca seperti melemaskan otot otot (atau menegangkan??). Tidak di takut takuti.
Bacanya udah pagi, kirain mau di ajak seram seraman, ngga taunya soft.. :mantap:
 
Lemaskan dulu brad...
Gag tega klo lgsung masuk adegan itu...:mati:
 
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd