Scene 47
Stars and Dreams
Iliana Desy Prameswari
Boleh aku duduk disitu, disampingmu? ucapnya, aku menangguk sembari tersenyum
Wanita itu duduk tepat disamping kiriku. Sejenak kulihat wajahnya yang berseri ketika mata kami bertemu. Kemudian dia duduk dengan memeluk kakinya. Pandangannya teruju pada langit yang luas. Disana ada ribuan bintang yang sedang bercengkrama satu sama lain. Tak ada bulan disana, hanya ribuan bintang membentuk formasi mengalir seperti sungai.
Bintangnya bagus ya? tanyanya tanpa menoleh ke arahku
I-iya, bagus. Aku selalu mengumpamakan bintang adalah cita-cita, dulu jawabku, sembari menengadahkan wajahku memandang bintang-bintang di atas sana.
Dulu? harusnya kan sekarang juga? tanyanya kembali
Aku tidak tahu, Des. Apakah disana masih ada cita-citaku atau tidak
Dulu, aku memegang satu bintang sebagai cita-cita utamaku, selebihnya adalah cita-citaku yang lain jawabku, aku tersenyum. Sedikit ingatan akan masa yang telah lalu. Hatiku pun sedikit bergetar ketika ingatan itu kembali.
Masih ada... jawab Desy
Eh... aku tersenyum memandang wajah tenangnya yang masih saja memandang langit
Coba kamu lihat langit itu Ar, kamu lihat kan? tanyanya matanya sedikit melirik ke arahku.
Yang mana?
Ituu... yang tengah agak besar. Dekatnya bintang dempet tiga di atas itu tangannya menunjuk ke atas, tepat ke atas kami.
I-iya... Bagus. Warnanya agak biru ya aku kembali menengadahkan kepalaku.
Hening sesaat. Tak ada sepatah katapun terucap. Kurasakan ribuan bintang itu sedang menanti apa yang akan Desy katakan padaku, sama halnya denganku.
Aku tidak tahu apa cita-citamu Ar. Yang jelas bintangmu itu, harapan dan cita-citamu masih ada disana. Kamu mungkin tidak melihatnya, tapi dia tetap menggantung di langit itu. Hanya saja tertutup oleh bintang lain, dia hanya ingin kamu menemukannya, Ar jelasnya
A-aku tidak tahu... aku menunduk, memeluk kedua kakiku.
Tiba-tiba kurasakan berat tubuh Desy bersandar ke tubuhku. Kepalanya mendarat lembut di pundakku. Aku sedikit menoleh ke arahnya dan meliriknya. Wajahnya masih menengadah ke langit luas. Cahaya malam memantulkan senyum manisnya. Ku tumpukan pipiku pada lututku, sembari memandangi wajahnya yang sedang asyik melihat langit.
Jangan sampai dia redup Ar ucapnya lirih dari bibirnya.
Aku tersenyum kecut ketika mendengar jawabannya. Kumasukan wajah diantara lenganku. Kusembunyikan wajahku. Aku ingin mengatakan kepadanya tentang satu bintang itu, bintang yang selalu menjadi harapanku saat itu. Tapi tak ada keyakinan bintang itu masih ada, bintang dimana aku dulu melihatnya bersama Ibuku.
Pelan aku bangkit dan bersandar pada pagar. Tubuhnya sedikit bangkit, memberi ruang bagiku untuk bergerak. Wajahnya tersenyum memandangku, kemudian dia rebah kembali dilenganku. Kepalanya bersandar kembali pada pundakku.
Bisa jadi dia sudah hilang, Des jawabku, sudut mataku menangkap Desy yang bangkit kembali dan memandangku.
Ar... panggilnya pelan dan aku menoleh ke arahnya
Aku sudah bilang kan, masih ada ucapnya.
Aku menoleh memandangnya, tersenyum. Mataku kembali memandang langit luas.
Tidak mungkin, Des. Tidak mungkin bintang itu masih ada... jawabku
Dasar anak pintar tapi gampang nyerah ucapnya, aku hanya mampu tersenyum ketika mendengar jawabannya. Aku meliriknya.
Kamu saja yang tidak tahu, Des bathinku
Bintang itu masih ada, seperti yang aku bilang tadi. Dia berada diantara ribuan bintang itu. meredup, karena tak ada keyakinan dari yang selalu memandangnya dulu. Tapi, sekalipun bintang itu meredup dia tetap bertahan disana, karena ada bintang lain disampingnya yang membuatnya menjadi terang. Beruntung bukan bintang itu Ar? tanyanya.
Kepalanya kembali rebah di pundakku. Tapi pandangannya masih tetap memandang langit.
Satu bintang tidak dapat menerangi langit, Ar. Karena langit bak kanvas putih, dan tak akan membuat sebuah lukisan indah jika kamu hanya melukiskan satu warna di kanvas itu ucapnya kembali.
Sejenak hatiku terhenyak. Sesaat itu pula pandanganku spontan memandangnya. Senyumnya masih saja menghiasi bibirnya. Ku luruskan kaki kananku. Tersenyum. Perlahan aku kembali memandang langit. Bola mataku bergerak ke kanan dan kekiri, tanpa lelah mencari bintangku. Seberkas bayangan senyum Ibu terlintas di mataku. Aku terdiam. Tak mampu untuk berucap.
Kamu bilang kalau bintang lain adalah cita-citamu juga bukan? Kenapa kamu tidak meraih bintang yang lain Ar? agar satu bintang, bintang utamamu, menjadi lebih terang. Bukankah cita-cita utama tetap akan ada ketika kamu meraih cita-citamu yang lain? Iya kan? Cita-citamu yang lain adalah pendukung cita-cita utamamu. Benar kan apa kataku? penjelasan dan juga pertanyaannya membuatku semakin terdiam.
Desy bangkit dari pundakku. Aku menoleh ke arah Desy. Mata kami bertemu. Dia tersenyum kepadaku sedangkan aku menatapnya dengan tatapan kosong.
Bintang yang lain itu adalah ibarat sebuah tangga Ar. Tangga yang akan kamu pijak untuk meraih bintangmu. Bintang yang menjadi impianmu ucapnya
Selesai dia berkata, dia kembali mendekatkan tubuhnya ke tubuhku. kepalanya kembali rebah di pundakku. Mataku terus mengikuti gerakannya, tetapi tidak ada fokus dalam pandanganku. Sekali lagi aku melamun. Pikiranku kembali melayang. Kembali ke sebuah masa-masa dimana aku selalu menariakkan cita-citaku. Cita-cita bersama Ibu. Cita-cita bersama Samo, Justi dan Andri.
Benar apa yang dikatakan Desy. Sebuah pijakan untukku. Seandainya itu pun benar sebuah pijakan untukku meraih bintang utama, tetap saja tidak mungkin. Ibu sudah tiada. Tapi, cita-citaku bersama Samo, Justi dan Andri, tidak mungkin aku meninggalkannya. Kembali aku bersandar pada pagar menatap langit luas.
Hening. Hanya segelintir deru mesin dari mobil dan motor yang aku dengar. Logikaku terus berputar, mencerna semua yang dikatakan Desy. Benar-benar sebuah kenyataan yang sulit bagiku. Tapi sebelum aku datang ke Rumah Sakit, aku sudah memutuskan untuk mewujudkan mimpiku. Ah, apa yang harus aku lakukan?
Eh...
Aku terkejut manakala Desy bangkit dari rebahannya. Menariku tangan kiriku dan memeluknya. Diapit tanganku hingga menyentuh dadanya. Kulihat matanya terpejam namun senyumannya masih mengembang.
Des... ee.. a-anu, i-itu... nanti pac.. ucapku terhenti
Pacarku? Aku tidak tahu Ar. Dimana dia sekarang, jarang sekali dia memberi kabar kepadaku. Sesekali dia memberi kabar kepadaku dan aku membalasnya, tak ada balasan lagi. Entah aku ini dia anggap sebagai apa Ar ucap Desy yang semakin erat memeluk tanganku
Ta-tapi Des... aku mencoba menarik tanganku, jujur saja aku merasa tidak enak kepada pacarnya. Tapi sisi lain dari bathinku mengatakan, aku merasa kasihan kepada Desy.
Maafkan aku soal kemarin. Ketika aku tiba-tiba mendiamkanmu. Padahal kamu sudah banyak membantuku. Maaf ya... ucapnya, dengan posisi masih sama tanpa menoleh sedikitpun
I-itu... a-anu Des... Aku ingin jujur tapi aku takut kalau aku hanya mencari sebuah kesempatan dalam kesempitan
Aku tahu kamu mengetahui sesuatu mengenai Rian. Tak perlu kamu katakan sekarang, tidak masalah bagiku. Karena aku yakin suatu saat nanti aku akan mengetahuinya. Siap atau tidak, walau hatiku kadang masih merasa sayang kepadanya jawabnya
Eh...
Aku hanya mampu mendesah pelan. Bathinku bertentangan. Tapi mungkin saat ini bukan saat yang tepat untukku mengatakan kepada Desy. Sudahlah, aku hanya ingin menikmati malam ini sendiri, walau akhirnya ada seorang perempuan yang menemaniku.
Apa sebenarnya bintang utamamu itu Ar? sebuah pertanyaan yang memecah keheningan
Kok diam Ar? tanyanya kembali
Aku terdiam sesaat. Mencoba mencari sebuah jawaban yang tepat. Pikiranku terus berputar namun tak ada jalan lain kecuali aku mengatakannya.
Bintang utama itu adalah...
Ibuku, Des. Namun dia sudah tiada, apa masih mungkin aku membahagiakannya sedangkan Ibu sudah pergi Des ucapku sedikit terbata, mencoba menahan haru dalam ucapanku
Desy mengangkat kepalanya memandangku. Aku pun menoleh dan memandangnya. Matanya bulat.
Maafkan aku Ar... bukan maksudku membuatmu sedih ucapnya, dan aku hanya mampu tersenyum mendengarnya
Hufth, tak apa Des jawabku singkat
Pasti Ibumu cantik ya Ar? tanyanya, aku tersenyum. Mengangguk ke arahnya.
Apakah kau akan menyerah untuk menggapai bintang utamamu? tanyanya
Jangan jawab tidak tahu lanjutnya membuatku semakin terdiam
Hening kembali menemani kami berdua. Pelan pelukan di tanganku dilepasnya. Dia memeluk kedua kakinya dan mengalihkan pandangannya kembali ke arah langit. Senyumnya tak pernah terhapus dari bibirnya.
Sebelumnya aku minta maaf sekali lagi Ar
Tapi apakah kamu pernah berpikir gak? kalau kebahagiaan seorang ibu adalah ketika melihat anaknya bahagia? lanjutnya, sejenak aku menunduk dan berpikir
Kata Ibuku, Kebahagiaan seorang Ibu adalah ketika melihat anaknya meraih semua cita-citanya, melihat anaknya mewujudkan semua mimpi yang telah di bangun dari serpihan-serpihan celotehan dimasa kecilnya ucapnya dengan tenang dan menghanyutkan
Ta-tapi I-Ibuku Des... ucapku terbata mencoba memotong
Ssssst... Lihat, lihat ke atas sana Ar. kamu pasti masih ingat kan letak bintang itu. dan aku yakin ada, hanya kamu saja yang malas mencari. Coba lihat dan jangan mengeluh dulu lanjutnya
Ku pandang sejenak wajah ayunya. Tenang, damai, dan penuh dengan kedewasaan. Ku alihkan pandanganku ke langit. Menyapu lautan bintang yang ada di atasku. Satu persatu mataku memilah bintang-bintang itu. Aku sedikit tersentak ketika melihat sebuah bintang. Bintang berwarna kebiruan, yang membuatku teringat kembali masa itu.
Ah, ada masih ada ternyata bintang yang aku tunjuk saat itu bathinku
Kamu menemukannya kan? Aku yakin kamu menemukannya Ar ucapnya. Aku tersenyum tanpa menoleh ke arahnya
Bintang itu masih disana Ar. Walau Ibumu tak disampingmu tapi dia sekarang melihatmu. Beliau sekarang sedang tersenyum melihatmu Ar. Dan... dia berharap bahwa kamu meraih cita-citamu. Membuat bintang utamamu bersinar terang. Satu cita-cita yang telah kamu wujudkan, membuat bintang itu bertambah lebih terang dari sebelumnya. Semakin terang bintang utamamu, maka bintang yang lainnya ikut terang ku dengar helaan nafas panjangnya. Sedangkan aku hanya bisa memejamkan mata tatkala mendengar ucapannya.
Ketika semua menjadi terang, maka kamu telah melukis langit. Melukis kanvas putih dengan ribuan warna, membuat sebuah lukisan yang sangat berharga. Lukisan yang tak akan pernah bosan kamu pandang. Lukisan kebahagiaanmu, keluargamu, kebahagiaan sahabatmu, temanmu dan juga... sejenak Desy menghentikan ucapannya
Ibumu... lanjutnya
Dalam mataku yang terpejam aku merasakan mataku berair ketika mendengar kata-kata Desy. Kutenangkan hatiku, karena tak ingin lagi memperlihatkan tangisku didepan teman perempuanku lagi.
Hassssh..... hela nafasku panjang
Benar bukan Ar? tanya Desy,
Pelan aku menoleh ke arahnya. Dia tersenyum manis kepadaku. Aku balas senyumannya dengan senyuman mringisku.
Ar... lirih dari bibirnya
Eh... sekejap aku kembali terdiam
Jangan menyerah ya, terus berjuang. Aku, eh, kami semua akan menemanimu ucapnya
I-iya Des, pasti... kualihkan pandangaku ke langit
Terima kasih ya Des ucapku lirih
Sama-sama Ar...
Bagus ya bintangnya? kembali dia berkata
Iya, bagus, sangat bagus dan indah jawabku
Hening. Sedikit aku melirik ke arahnya, dia pun juga sama melirik ke arahku. Kadang kami tertawa sendiri saat mata kami saling bertemu. Aku mulai bisa bercanda lepas dengannya. Menunjuk satu bintang, bintang yang dulu pernah aku tunjuk bersama Ibu. Desy tak kalah, dia juga mengatakan kepadaku kalau bintang-bintang itu ada karena harapan. Dan salah satu bintang itu juga harapannya.
Eh, lha terus, apa harapanmu Des? tanyaku
Yeee... rahasia tahu. Pengen tahu aja jawabnya
Ya barang kali saja aku boleh tahu balasku
Kapan-kapan ya hi hi jawabnya
Perempuan suka banget ya main rahasia-rahasiaan? tanyaku
A Secret makes a woman, woman (Rahasia membuat wanita menjadi wanita) jawabnya
Ndak ngerti aku Des, wanita memang susah dimengerti ucapku.
Sebuah pukulan ringan mendarat di lenganku.
Makanya itu tugas cowok buat ngertiin jawabnya
He? Kok mukulnya ke aku? Ya ke pacar kamulah balasku
Ya kali aja kamu mau ngertiin temen cewek kamu? balasnya kembali dengan tersenyum
Ya deh, ntar aku coba ngertiin temen-temen cewek. Tapi kelihatannya bakalan susah jawabku
Dia tertawa cekikikan. Mataku perlahan memandangnya. Memandang seorang perempuan yang begitu lepas tertawa. Tak pernah aku melihatnya tertawa sebahagia ini. Bahkan lebih lepas dari tawa sebelum-sebelumnya.
Dasar ha hi hi... tawanya sembari memukul lenganku kembali. Aku semakin terpaku melihat tawa Desy
Des... panggilku. Sekejap dia tersadar dari tawanya
Eh, maaf, kelepasan. Kamu sih Ar, sok-sokan bisa ngertiin wanita. Jadi geli... ucapnya, kembali memeluk kedua kakinya
Bu-bukan masalah itu. ya namanya lelaki kan penuh kesombongan Des he he he...
Ta-tapi itu... ucapku
Apa?
Kamu ketawanya lepas sekali. Jarang kamu tertawa sebegitu bahagianya dengan wajah heranku ke Desy.
Dia menatapku dan tersenyum. Tak ada jawaban darinya. Kedua telapak tangannya mengelus-elus kedua lengannya. Tampak sekali dia kedinginan. Aku melepas jaketku.
Pakai ini aja Des, kalau dingin ucapku sembari memakaikan jaketku ke tubuhnya.
Sudut mataku melihat dia menatapku dengan begitu lembut.
Kok malah diam Des? tanyaku
Eh, Eng-enggak kok... terima kasih ucapnya,
Setelahnya dia menundukan wajahnya dengan satu tangannya memegang kerah jaketku. Aku kembali duduk, memeluk kedua kakiku. Memandang ke langit kembali. Kata-kata Desy begitu terngiang ditelingaku.
Srrk...
Kurasakan tubuh Desy merapat ketubuhku. Kedua tangannya menarik paksa tangan kiriku. Sempat aku menahan tanganku tapi cengkraman tangannya pada lenganku, tanda bahwa keinginannya harus dipenuhi, hanya membuatku bisa pasrah. Dengan lembut dipeluknya tangan kiriku, hangat. Kepalanya kembali rebah di pundakku.
De-Des... a-aku ndak enak... ucapku
Kenapa? Gak papa kan kalau sama teman sendiri jawabnya
Ta-tapi.. Sungguh aku merasa tidak enak karena dia sudah mempunyai pasangan sendiri
Apakah dengan sahabat sendiri tidak boleh Ar? aku hanya ingin tidur Ar, capek. Dan aku... ucapnya terhenti
Ke-kenapa Des? tanyaku
Lupakan Ar, terima kasih sudah meminjamkan jaketmu ucapnya datar
Aku diam sejenak. Ku lihat matanya sudah terpejam. Mungkin terlalu lelah hari ini. aku sandarkan tubuhku ke pagar pembatas. Ku tarik tanganku, tapi Desy menggenggam pergelangan tangaku semakin erat. sedikit aku memaksanya, hingga akhirnya tanganku terlepas. Ku sandarkan tubuhnya di bahuku, ku alihkan tanganku merangkul pinggulnya.
Ergh... sedikit suara dari bibirnya
Tidur saja Des, kamu ndak bakal aku apa-apain kok ucapku polos
Auch... kurasakan cubitan di perutku.
Aku hanya tersenyum setelah mengaduh. Ku arahkan pandanganku ke langit luas untuk ke sekian kalinya. Semakin malam, semakin terang saja langit itu. Penuh dengan ribuan bintang yang menari di atas sana.
Semoga saja aku bisa mewujudkan semuanya ucapku lirih
Pasti bisa Ar. Sudah malam, tidur Ar ucapnya yang semakin masuk dalam pelukanku
Tangan kiriku berada dipinggangnya. Sedangkan tangan kananku ditariknya, dan diarahkan ke tangan kiriku. Kini aku duduk bersandar dan memeluk tubuh seorang gadis yang sebenarnya masih milik seseorang untuk kesekian kalinya. Awalnya memang terasa kaku bagi tanganku, tapi lama kelamaan juga melentur sendiri.
Mataku mulai terpejam. Lelah rasanya. Tanpa sadar, kepalaku bersandar pada kepala Desy. Aku sudah tidak kuat lagi. Hingga akhirnya kesadaranku hilang dan aku terbang ke alam mimpi. Bermimpi sejenak untuk menenangkan pikiranku. Mengembalikan tenaga yang telah hilang dan mengembalikannya.
.
.
.
Ergh... gelap? Mati lampu?
Gelap kemudian perlahan menghilang. Berubah menjadi sebuah tempat yang sudah tidak asing lagi bagiku. Halaman belakang rumahku.
aaaaaaaCantik-cantik banget mereka ya sayang?
Suara ini. suara...
aaaaaaaTidak boleh menengok kebelakang sayang. Atau Ibu tidak akan lagi datang. Dan Ibu yakin anak Ibu selalu menuruti perintah Ibu
I-Ibu... aku menahan air mataku. Aku tetap berdiri memandang ke depan tanpa menoleh ke belakangku.
aaaaaaaSudah tidak usah menangis. Anak Ibu jarang sekali menangis bukan?
I-iya bu. Jarang sekali, ta-tapi apa tidak boleh jika Arta menangis?
aaaaaaaBoleh sayang, boleh tapi bukan sekarang. Kan Ibu kesini bukan untuk melihatmu menangis
I-iya bu... Iya aku menunduk, sedikit lesu rasanya.
aaaaaaaCantik-cantik banget mereka ya sayang?
Aku sedikit terkejut kemudian tersenyum. Mengangkat wajahku dan memandang kembali apa yang ada didepanku.
I-iya bu, cantik
aaaaaaaCantikan mana sama Ibu?
Cantikan... Ibu jelek aku tersenyum walau sempat kata-kataku terhenti sesaat
aaaaaaaSekarang begitu ya sama Ibu, bakal ibu datengi terus sampai Arta bilang Ibu cantik
Aku tersenyum kembali
Arta akan bilang ibu jelek terus, biar Ibu datang terus di mimpi Arta
aaaaaaaHmm... Pintar ya sekarang? Hi hi hi... oia, pacar kamu yang mana?
Arta belum punya bu jawabku singkat
aaaaaaaBelum punya apa belum punya? Yang mana dari gadis-gadis itu?
Tidak satu pun dari mereka, bu
aaaaaaaHmmm... atau jangan-jangan semuanya ya?
Tidak mungkin bu, masa semuanya
aaaaaaaNdak papa kan, asal kamunya bisa adil
Bu... itu masih lama. Arta belum tahu siapa yang akan mendampingi Arta
aaaaaaaIya sayang, iya. jaga mereka ya sayang... sayangi mereka semua, juga keluargamu, kakakmu, adik-adikmu dan juga...
Aku akan selalu menyayangi mereka semua, tapi yang terakhir, yang ingin Ibu sebutkan. Arta tidak tahu aku bisa menangkap apa yang akan ibu katakan kepadaku
aaaaaaaIbu hanya beraharap saja kamu mau
Arta tidak tahu bu
Sejenak hening. Ku dengar hembusan angin yang seakan-akan meniup tubuhku dari belakang.
aaaaaaaTutup matamu nak
Suara Ibu terdengar lebih dekat dari sebelumnya. Aku menutup mataku.
Cup...
Kurasakan sebuah kecupan di pipi kiriku.
aaaaaaaJaga mereka yang cantik-cantik itu ya sayang, mbakmu juga, adik-adikmu, keluargamu. Kalau kamu kangen Ibu, datang saja ke mbak Arlen, ya sayang
Suara Ibu kembali menjauh lagi dibelakangku. Aku tersenyum dan membuka mataku perlahan.
Tapi tetap saja, tak ada yang bisa menggantikan Ibu
aaaaaaaDan tak ada yang bisa menggantikan anak perempuan Ibu dan anak lelaki Ibu, di hati Ibu
Terima Kasih Bu. Temuilah Arta sesering mungkin
aaaaaaaIya, nanti sayang. Sekarang tidur dulu ya sayang, sudah malam
Iya bu, Arta sayang Ibu
aaaaaaaIbu juga sayang, sayang sekali dengan Arta
Aku kembali memejamkan mata. Kurasakan elusan lembut disekitar wajahku. Sebuah alunan lagi ku dengar. Nyanyian yang sering ibu nyanyikan ketika aku hendak tidur saat kecilku. Elusan itu semakin lembut aku rasakan. Aku merasa ibu sedang memangku kepalaku. Ingin aku membuka mataku tapi mata ini sama sekali tak bisa terbuka. Aku kembali, kembali lagi ke alam tidurku. Kembali melepas lelah.
Ibu cantik
aaaaaaaTerima kasih nak, Artaku, Arta anakku yang ganteng
---------------------
Aku hanya memejamkan mataku. Memang aku mengantuk tapi entah kenapa aku ingin sekali melihatnya dari dekat. Setelah lama aku memejamkan mataku dan menahan untuk tidak tidur. Aku mulai membuka mataku perlahan. Kurasakan beban kepalaku semakin berat. hmm... dia benar-benar tertidur.
Pelukannya sudah terlepas. Nafasnya juga sangat teratur. Dengan tangan kananku aku mendorong pelan pipinya yang menempel di kepalaku. Aku tahan. Aku menengadah ke arah wajahnya. Tenang sekali. Aku terus memandangnya. Tiba-tiba...
Eh, kenapa? sepertinya dia ingin menangis? bathinku
Ada apa sebenarnya dengan Arta? Kenapa wajahnya tiba-tiba ingin menangis? Apakah dia bermimpi buruk? Aku tidak tahu, tapi raut wajahnya berubah seketika aku mendorong wajahnya. Apakah karena aku mendorong wajahnya dia kemudian bermimpi buruk?
Aku sedikit bangkit. Tanganku yang mendorong di pipinya ku geser ke belakang. Benar-benar seperti ingin menangis. Benar dugaanku, dia pasti sedang bermimpi buruk. Entah apa itu tapi dia sedang bermimpi buruk.
Aku merasa ragu. Tapi aku ingin. Pelan aku dekatkan wajahku ke arahnya. Ku kecup lembut pipi kirinya. Sedikit lama bibirku menempel di pipinya. Tiba-tiba wajahnya berubah menjadi sumringah. Apa dia sadar dengan apa yang aku lakukan? Kalau dia sadar berarti dia pura-pura tidur? Tapi kalau dilihat, tidak. Dia beneran tidur kok.
Aku rebahkan kembali kepalaku di bahunya, kini sedikit lebih ke atas, dekat dengan lehernya. Kepalanya pelan aku rebahkan kembali di atas kepalaku, berat. Tangan kananku kini menggenggam tangan kirinya yang semula merangkul pinggulku.
Sedikit kepalaku mendongak ke atas. jari telunjuk tangan kiriku mengelus hidungnya. Turun ke bibirnya. Benar-benar lelaki yang aneh. Kamu polos Ar, lugu banget. Tapi mungkin setelah beberapa bulan kamu di kota ini kamu akan tahu kehidupan kota. Polos. Lugu. Dan aku suka ketika kamu memperlakukan wanita didekatmu. Aku kembali menarik tanganku kiriku. Kedua tanganku menggenggam tangan kirinya. Erat, terasa hangat tangannya.
Arta, kamu tahu. Nyaman sekali berada disampingmu. Seandainya kamu tahu Ar. Satu hal yang membuatku sangat ingin didekatmu karena kamu begitu hangat kepada perempuan. Dan yang membuatku sangat kangen untuk bersamamu adalah ketika kamu menyelimutiku. Sama halnya dengan ketika kamu memakaikan jaketmu. Tapi aku lebih senang ketika kamu menyelimutiku, hangat lebih hangat daripada jaketmu ini.
Kapan-kapan aku ajak belajar kelompok lagi saja, terus aku tinggal tidur pasti diselimuti sama dia hi hi hi tawaku dalam hati