Scene 43
Sebuah Alibi Yang Sempurna
Ainun ... ...
Aku benar-benar terkejut ketika ada tubuh yang hangat menempel di punggungku. Hangat dan lembut. Tangannya memeluk perut bagian atasku. Dan pipinya terasa juga dipunggung atasku. Terkadang, sebuah ciuman mendarat pelan di tulang punggungku.
Bu... ucapku lirih
Nun, bukan bu balasnya, memelukku erat dengan kecupan di punggungku
Nun, kok di sini? aku bingung dengan dia ada dibelakangku. Terasa kenyal dadanya ketika semakin rapat di punggungku.
Bolehkan ikut mandi bareng? lirih dari bibirnya
Em, boleh, tapi kok bisa masuk? kan aku... kata-kataku terpotong, ketika salah satu tangan, dengan jari-jarinya, bermain-main di sekitar bibirku
Salah siapa tadi pintu tidak dikunci, emang niat gak dikunci kan? tubuhnya bergeser kedepan,
Tadi aku kunc... kedua tangannya meraih kepalaku. Tubuhku sedikit membungkuk, dan bibir kami bertemu.
Kenapa dipermasalahkan, keburu dingin sayang... cepetan, siram ucapnya sedikit berbisik,
Ainun, tepat di depanku, belakangnya adalah bak mandi. Kulihat dia sedikit kesulitan, kakinya berjinjit, bibirnya berusaha untuk meraih bibirku kembali. Tangan kananku, dengan gayung berwarna hijau, mengambil air dan menyiramkannya di kepalaku. Sedangkan tangan kiriku merengkuh pinggulnya.
Byuurrr... byurr...
ufth.. Dingin yang lirih, aku tersenyum
Makannya jangan ikutan mandi jawabku
Iiih, dingin tapi hangat ucapnya, kedua tangannya memeluk leherku
Hangat? aku heran dengan kata-katanya
Tuh, yang dibawah, nempel di perut, gak izin segala, asal berdiri! candanya, aku malu sendiri, mungkin saja wajahku memerah saat ini
Yang, wajahnya merah tuh jawabnya, layaknya seorang remaja
Sayang sih.. jawabku, sekenanya
Nah, gitu, jangan nun terus kalau manggil jawabnya
Aku tersenyum, mata kami saling pandang. Sebuah momen yang indah menurutku untuk saat ini, dia sedikit mengangguk, tapi aku tahu maksudnya untuk segera menyiram air kembali ke tubuh telanjang kami berdua. Senyumnya tetap saja terlihat, walau air mencoba membasuh senyumannya.
Tubuh kami telah basah, dia berbalik sejenak, mengambil sabun yang berada dipinggiran bak mandi. Sebentar dia mencubit hidungku kemudian tangannya mengusap-usap sabun hingga berbuih. Pelan diusapkannya ke tubuhku.
Tangannya diangkat keatas sayang suruhnya, bak anak kecil yang sedang dimandikan.
Aku mengikuti setiap apa yang dia katakan. Kedua tanganku langsung aku angkat keatas. Tapi, sial, pandanganku tak lepas dari payudaranya. Tubuhnya berbalut kulit yang putih, dan itu susunya, tidak terlalu besar dan juga tidak terlalu kecil menurutku. Tapi lebih menjurus ke arah besar, mungkin. Dengan telaten, dia mengusap seluruh tubuhku dengan sabun.
Sesaat kemudian, dia menekan kebawah pundakku. Menyuruhku untuk sedikit membungkuk. Pandanganku ke bawah, sedikit aku melirik ke arah selangkangannya, bulunya sedikit. Rambutku, kini penuh dengan buih sampo, mataku terpejam menhan perih dimata karena busa sampo. Pelan diangkat daguku dan kembali wajahku di bersihkan dengan pembersih.
Hi hi, pedes ya? candanya
Mmm, iya cepetan disiram balasku
Biarin, biarin pedes hi hi candanya
Nuuuun... pintaku
Byur... byur...
Tanpa aba-aba dia langsung menyiramnya. Sedikit gelagapan aku. Ketika air menyiram kepalaku.
Haafh hafh... pelan dong Nun ucapku sembari mengelap wajah dengan tanganku
Hi hi... katanya suruh nyiram, gimana to to to? Hi hi hi... candanya
Aku tersenyum dan dia kembali menyabuniku. Tangannya turun hingga perutku, pandangannya pun ikut turun kebawah. Ke paha, dan... kemudian dia menyabuni penisku. Lama dia disana menyabuninya. Wajahnya menengadah, tangan kirinya menarik leherku. Bibir kami kemudian saling melumat. Perlahan, tangan kirinya turun melalui pundakku, kemudian menarik tanganku ke payudaranya.
Gantian... ucapnya sedikit berbisik. Aku merasakan sedikit kegugupan.
Segera aku mengambil sabun. Kuusap-usap hingga buih memenuhi tanganku. Dengan sedikit keraguan aku mulai menyabuninya. Namun keraguanku hilang dikala dia hanya diam dan tersenyum padaku. Dari lehernya turun ke pundaknya dan aku sabuni payudaranya. Pandanganku tak lepas dari bagian tubuh Ainun ini. Bagian tubuh yang tidak aku miliki. Menonjol dan indah.
Jangan situ terus, kayak gak pernah megang saja ucapnya. Malu rasanya ketika dia tahu pikiranku. Kutundukan wajahku.
Dasar mesum hi hi hi candanya kembali. Tambah malu.
Kalau mesum itu, ketutup tapi megang. Ini kan terbuka disuruh megang lagi jadi bukan mesum balasku mengelak. Mencoba menutupi rasa maluku.
Nah gitu, bercanda. Senyum. Jangan sedih terus lanjtunya.
Sejenak aku terhenti dan memandangnya. Kulepas sabun yang ada ditanganku. Kupeluk tubuhnya erat. Ku renggangkan pelukanku, ku tatap wajahnya dan kucium bibirnya. Kedua matanya memberikan isyarat untuk menyabuni seluruh tubuhnya. Satu tangannya membimbingku ke bawah. Mengelusnya. Ketika jari-jariku mulai menyentuh bagian bawahnya, bibirnya digigitnya dengan sedikit desahan.
Aku tak berlama-lama, aku kemudian berjongkok menyabuni paha hingga bagian kaki bawahnya. Kembali ke atas dan dengan cepat dia menangkap kedua pipiku. Bibir kami kembali berciuman. Tangan kirinyanya kembali membimbing tangan kiriku untuk bermain ke bagian vaginanya. Aku mengelusnya lembut, jari-jarinya mengarahkan jari-jariku ke bagian tertentu vaginanya.
Erghh... mmmhh... langsung kedua tangannya berpegangan pada pundakku
Ke-kenapa? tanyaku takut karena wajahnya sedikit memerah
Lanjutkan, elus yang tadiihh... jawabnya, aku mengiyakan.
Kembali aku mengelusnya memainkan sesuatu yang belum aku lihat. Sesaat kemudian, dia menggigigt bibir bawahnya dan matanya terpejam. Kedua tangannya semakin mencengkram pundakku. Desahannya semakin terdengar jelas. Dengan sedikit kasar, dia menarik leherku dan mencium bibirku.
mmmppphh...
Siram bisiknya lembut disela-sela ciuman kami.
Aku hentikan aktifitasku di selangkangannya tapi tangan kanannya kini menahan tangan kiriku. Memberikan isyarat agar aku menyiranm dengan tangan kananku. Kembali memainkan bagian bawahnya, kini kepalanya bersandar pada bahuku. Tangan kananku mulai mengambil air dan menyiram tubuh kami berdua. Beberapa kali aku menyiram sembari tanganku memainkan vaginanya, tiba-tiba dia menggenggam pergelangan tangan kiriku untuk berhenti.
Sejenak dia memandangku.
Nakal... lirih dari bibirnya. Sesaat kemudian dia mengecup bibirku dengan tangan yang memainkan penisku. Pelan, dia kemudian turun kebawah. Berlutut.
Nuuun... lirih dari bibirku ketika dia memandangi penisku. Wajahnya mendongak ke atas, menyilangkan jari di bibirnya.
Arh... desahku ketika kulihat lidahnya mulai menyentuh ujung penisku
Kedua tanganku kini bertumpu pada pinggiran bak mandi sembari melihat aktifitas Ainun. Lidahnya bermain-main. Aku bisa merasakannya.
Argh.. rintihku kesakitan karena ada sesuatu yang menggesek kulit kelaminku
Eh, maaf... sakit? Kena gigi ya? tanyanya, aku mengangguk. Tangannya kemudian mengelus lembut dadaku.
Sejurus kemudian aku rasakan hangat pada bagian penisku. Penisku dikulumnya, kepalanya maju mundur. Benar-benar aneh sekali aku rasakan. Hangat, apalagi lidahnya juga sedikit menyapu ketika mulutnya mengulum penisku. Ini pertama kalinya, ah, begitu nikmat sekali. Mataku terpejam, tak dapat aku menahan untuk mendesah.
Aaah... Nuuuunnnnhhh... desahku
Ini sungguh nikmat, aku tak bisa bertahan. Enak sekali, benar-benar nikmat. Sensasinya benar-benar berbeda. Aku tak tahan, tak bisa menahan lagi.
Nuuunnhh... satu tanganku menahan kepalanya. Tubuhku mengejang beberapa kali. sesaat setelahnya Ainun dengan kedua tangannya melepas kulumannya. Aku terengah-engah, begitupula Ainun. Memuntahkan spermaku.
Uh... masa ditekan, gak bisa nafas tahu, dasar! kesalnya
Enak yang jawabku singkat
Kamu tuh aneh, udah pernah keluarnya kok ya cepet balasnya
Baru pertama kali yang jawabku, dia kemudian berdiri. Aku memundurkan tubuhku. dirangkulkan kedua tangannya ke leherku
Jadi kalau setiap pertama kali, keluarnya cepet gitu? tanyanya, aku hanya menggeleng, karena aku memang tidak tahu menahu. Sedikit kecupan dibibirku.
Tangan kirinya perlahan kemudian menuntunku untuk mengangkat kaki kirinya. Pantatnya bersandar pada bak mandi. Bibir kami kemudian beradu.
Dimasukin yang, tapi pelan-pelan bisiknya disela ciuman kami
Tangan kirinya kembali merangkul leherku. Tangan kanannya memegang penisku dan mengarahkannya ke vaginanya. Sedikit aku merendahkan posisiku agar sejajar dengan posisinya. Pelan, ujung penisku mulai menyentuh bagian hangat vaginanya. Secara reflek aku menekan pelan.
Ergh... yang jangan dikenceng-kenceng. Pelanhh... maju mundurin dulu lirih dari bibirnya. Ainun menggigit bibir bawahnya, menahan sedikit rasa sakit.
Aku hanya menunggu instruksi darinya. Pinggulku kemudian maju mndur perlahan. Hanya sebagian yang kurasakan masuk ke dalam vaginanya. Lama aku melakukan aktifitasku, semakin lama terasa semakin licin. Dia memeluk leherku, kepalanya tepat disamping kepalaku. Dan berbisik untuk segera menekannya. Aku kemudian menekannya.
Emmmhh... rintihnya disertai pelukan semakin erat
Terus... bisiknya ditelingaku
Pinggulku kemudian maju mundur. Satu tanganku bertumpu pada bak mandi dan satu tanganku masih memegang paha Ainun. Desahanya semakin terdengar jelas ditelingaku. Membuatku semakin terpacu untuk terus menggoyang pinggulku. Aku mulai menikmati sensasi yang luar biasa. Kini bibirku tak hanya diam tapi menciumi leher jenjang Ainun.
Ah.. ah.. yang aku mau keluarhh rintihnya
Eh... pelukannya semakin erat dileherku
Cepetin... pintanya
Kini ritmeku semakin cepat. Desahnya, rintihnya semakin terdengar sangat jelas. Membuat sel-sel dalam darahku menjadi mendidih.
Sayaaaanghhh..... sedikit teriakan kecil. Tubuhnya mengejang dan memelukku erat.
Aauch... pundakku digigitnya
Cairan hangat membasahi penisku. Aku terdiam menahan nikmat dan juga sakit dipundakku. Setelah nafasnya kembali normal, pelan dia berbisik terlalu lelah dengan posisi ini. Kuturunkan pahanya perlahan. Tubuhku mundur dan terlepas penisku dari vaginannya.
Hufth... kebiasaan susah keluarnya. Sudah pernah ngrasain ya? tanyanya. Aku sebenarnya juga bingung dengan diriku tapi kelihatannya Ainun lebih paham tentang diriku daripada aku.
Ndak tahu yang jawabku
Hi hi hi... capek tahu, sakit... kebesaren tapi enak kok yang ucapnya manja. Entah kenapa ketika aku mendengar kata sakit, membuatku ingin segera menyelesaikannya.
Eh maaf.. jawabku. Dia memeluk leherku.
Ssst enak kok yang, dari belakang ya? bisiknya di telingaku. Semakin bingung, dari belakang? Maksudnya?
Dia kemudian berbalik. Dengan bertumpu pada pinggiran bak mandi. Ditariknya lembut penisku dan diarahkan ke vaginanya. Ini membuatku semakin susah, karena aku harus lebih merendah lagi seperti tadi.
Tekanhhh... pintanya, dengan bibir bawahnya digigit. Tambah gimana gitu kalau lihatnya.
Aku menekan pelan, kemudian memaju mundurkan pinggulku. Ritmenya sudah berbeda, aku langsung tancap gas untuk yang ini. kedua tanganku memegang pinggulnya. Semakin cepat aku menggerakan pinggulku, dia semakin keras mendesah.
Argh yaaaanghhh... rintihnya
Aku memeluknya, kedua tanganku meremas susu indahnya. Ritme gerakanku semakin cepat. ah, benar-benar aku meraskan nikmat. Kuciumi punggung putih Ainun. Benar-benar terasa berbeda.
yanghhh... aku mau keluar... racaunya
"Aku jugaahhh yang... jawabku
Dengan gerakan cepat dan diakhiri hentakan keras. Kupeluk dirinya sangat erat. kedua tubuh ini kemudian mengejang bersamaan. Setelah berhenti, tubuhnya layu dan merosot. Akupun mengikutinya turun. Terlepas penisku dari vaginanya. Aku duuk dan kutarik tubuhnya untuk bersandar pada tubuhku. kupeluk tubuhnya, kucium lehernya dan kulihat dia tersenyum. Sesekali aku meremas susunya.
Terima kasih... lirihku disela ciumanku.
Dia menoleh ke arahku, dengan ibu jarinya dia menunjuk ke bibirnya. Aku tahu, dan untuk kesekian kalinya bibir kami bertemu. Tangannya meremas tanganku, menaruhnya ke kedua susunya. Lama kami dalam posisi ini, lama pula kami berciuman.
Sudah yuk, mandi. Dingin ah, manja sekali apalagi senyumannya
Aku memabntunya berdiri, tampak sekali dia tidak kuat untuk menopan tubuhnya. Kini aku yang aktif untuk membersihkan tubuhnya dan tubuhku sendiri. Ainun kemudian memelukku, mencium bibirku. Sambil berciuman aku menyiramkan air. Terlihat senyum bahagia di bibirnya, membuatku menjadi lebih tenang dari sebelumnya.
Selepas selesai mandi. Aku menggendongnya keluar. Kudapati pakaiannya berserakan di lantai luar kamar mandi. Aku berjongkok dan dia mungutinya. Sesampainya di kamar, dia berganti pakaian tanpa rasa malu meskipun ada aku. Akupun begitu. Dia keluar terlebih dahulu, dengan kecupan manis di bibirku.
Di ruang tengah aku dapati dirinya sedang mengutak-atik sematponnya. Dia memandangku dan menjulurkan lidahnya. Benar-benar berbeda dengan kesehariannya. Kubalas dengan juluan lidah juga. Aku melagkah ke dapur, kubuatkan teh hangat dan segera kembali menemuinya.
Di minum dulu yang ucapku
Yang? Nakal ya sekarang panggil bu RT-nya pakai sebutan sayang balasnya sembari mengambil segelas teh hangat
Bu Ainun berarti? tanyaku
Auuuch... cubitan keras di lenganku
Diletakan kepalanya di bahuku.
Sudah hampir petang, aku harus kembali. Baru saja aku dikirimi pesan agar segera kembali, akan ada acara makan malam bersama di resto ucapnya
Makan yang banyak ya yang. Oia kok bisa sampai sini? ucapku. Dia duduk sembari memandangku.
Buat alasan kan gampang. Mereka sedang berada dipenginapan sekarang dan aku izin untuk pulang sebentar ucapnya sembari tersenyum. Aku membalasnya.
Ar, mulai sekarang jadilah diri kamu sendiri. Jangan menjadi orang lain, jangan kamu tanggung rasa bersalah itu sendiri. Jangan pernah berpikiran pergi dari tempat ini, jika kamu pergi jangan pernah mengenalku jika suatu saat nanti kita bertemu lanjutnya dengan sorot matanya tajam
Hufth... aku bersandar pada dinding batu bata kontrakanku
Sebenarnya... aku memang benar-benar ingin pulang. Aku sudah ndak tahan ada di sini. Mungkin bukan jalanku menjadi seorang mahasiswa, sekaligus menjadi orang yang berbeda dengan yang dulu
Benarkah kau ingin pergi? Meninggalkan semua?... dan juga aku? tanyanya lirih. Aku sedikit terkejut, pelan aku menoleh ke wanita yang membuang muka dariku.
Entahlah Nun, sekarang aku menjadi bingung. Semua terasa kacau di kepalaku saat ini. aku benar-benar ingin pulang jawabku
Kalau mau pulang, pulang saja. Yang berarti kamu menyesal mengenalku jawabnya sedikit ketus
Bu-bukan begitu... Maaf ucapku pelan. Aku bangkit dan kusandarkan keningku di pundakknya
Pertimbangkan lagi Ar. Pikirkan segalanya dengan jernih. Pertimbangkan pula keberadaan teman-teman kuliahmu, juga Samo dan Justi, Saudara-saudaramu itu, yang entah aku lupa namanya
Dan Jangan kamu lupakan, kamu juga punya saudari yang lama sekali tidak ketemu. Saudari yang seharusnya kau jaga
Dan juga, aku lirih dari bibirnya dan membuat mataku ingin memandang matanya. Tapi tak bisa, dia masih membuang muka dariku.
Lama kami terdiam, hingga akhirnya aku berkata
Baiklah, kuputuskan aku akan tetap di sini. Akan kuhadapi apa yang ada didepanku kelak. Dan menjadi diriku sendiri. Bukan hanya demi teman-teman dan keluargaku, tapi juga...
Kamu... ucapku.
Sesaat hening menerpa. Aku kembali bersandar dan memandang ke genting kontrakanku. Pandanganku tetuju pada genting-genting itu namun sudut mataku menangkap Ainun yang sedang memandangku ke arahku, tajam. Hingga aku mendengar hembusan nafas panjangnya, dan dia berkata.
iiiih... bagus deh, jadi aku masih bisa selingkuh ma kamu ucapnya tiba-tiba, dan langsung memegang kedua pipiku setengah mencubit.
Auuuch... sakit yang sembari memegang kedua tangannya
Wajah kami kini berhadapan dan entah bagaimana kami saling berpelukan. Bibir kami saling melumat.
Janji? bisiknya pelan,
Janji jawabku
Kembali kami berciuman dan saling memeluk. Hingga akhirnya dia melepaskan dirinya dari pelukanku. Kecupan lembut dikeningku, kemudian dia berdiri dan mengambil sebuah tas plastik hitam.
Ini pakai ucapnya menyerahkan kepadaku. Aku meraihnya.
Sekarang? jawabku yang sebenarnya tidak tahu isi tas plastik hitam yang aku pegang
Yang jelas itu untuk menggantikan pakaian culun kamu jawabnya
Hmm.. aku pulang dulu.. cup sebuah kecupan di bibirku
Pintu kontrakan terbuka, dia melangkah keluar. Didepan sana ada Ibu-Ibu tetangga. Awalnya mereka tmapak curiga tapi setelah Ainun melangkah hingga pagar dan berbalik.
Oia, ketikannya kalau bisa selesai 3 hari lagi ya? yang punya pak RT minggu depan gak papa ucapnya sedikit keras. Kemudian membungkuk sebentar.
Eh, i-iya bu ucapku gugup
Dia kembali berbalik. Menghampiri Ibu-Ibu dengan senyumannya. Aku memandangnya dari pintu kontrakan. Setelah beberapa saat dia melangkah pergi. Sebuah alibi yang sempurna. Setelah tubuhnya hilang, aku kembali masuk kedalam kontrakan. Kututup pintu dan kukunci rapat. Kubuka tas plastik hitam tersebut. Kaos hitam, celana jins, baju hitam polos, jaket kain dan celana dalam. Hadeh begitu detailkah dia sampai celana dalam saja dibelikan.
Menanti malam agar pagi segera datang. Menanti pagi agar malam segera menghilang. Dengan sebungungkus Dunhilll dan segelas teh hangat. Menemani malamku. Sempat terbesit bayangan kelam masa laluku. Terkadang bayangan kelam malam tahun baru kemarin.
Aku tersenyum ketika ingatan itu kembali. Mungkin ini memang jalanku. Menjalani semua dengan tawa dan tangis. Hufth, jika aku mengingat pertemuanku dengan Andri dalam mimpi itu. Aku semakin yakin, bukan aku yang harus mengubah diriku. Tapi aku harus mengubah cara pandangku. Sudah terlalu lama aku menekan diriku sendiri tanpa memberi kesempatan kepada diriku untuk memperbaikinya.
Dini, terima kasih telah menemaniku malam itu. Samo dan Justi, idenya tidak salah tapi itu adalah usahanya untuk memperbaikiku. Ainun, kamu menetesi teriknya mentari dengan kasih sayangmu. Ya, aku harus menjadi diriku sendiri. Harus.
Tak terasa malam semakin larut, semakin dingin. Aku kembali ke dalam kamarku. Merebahkan tubuhku, melepas lelah kembali. Mungkin besok sore aku akan menjenguknya.