Agen Terpercaya  
 
 
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

DRAMA coaster : putaran dua [BABAK DUA UPDATED]

[3 – nostradamus]

“Emhh..” aku mendesah pelan saat mulut Nayeon mulai mengulum penisku. Mulutnya yang mungil itu berhasil melahap penisku yang cukup besar. Kepalanya mulai bergerak naik turun. Lidahnya sesekali menjilati lubang kencingku, membuatku bergidik geli.
“Hnghh..” Tangan Nayeon bermain dengan buah zakarku, sementara tangan kirinya memegang, sedikit meremat batang penisku.
5 menit berlalu, Nayeon melepaskan kulumannya di penisku. Tubuhnya sedikit berkeringat, entah karena nafsu atau apa.
“Masukin ya?” Nayeon berjongkok diatas tubuhku. Lubang vaginanya sudah berjarak beberapa senti dengan penisku yang ia pegang. Tanpa menunggu jawabanku, penisku sudah tenggelam sepenuhnya didalam vagina Nayeon. Kurasakan tubuhnya sedikit bergetar.
“Emh... Tam...” tubuh Nayeon bergerak naik turun. Posisi women on top seperti ini membuatnya harus mengeluarkan tenaga ekstra. Hentakan selangkangan kami terdengar bergema di ruangan ini.

Astaga. Ini ruang tamu.

Tanganku bergerak memegang pinggulnya, seakan memohon agar lebih cepat. Nayeon yang sepertinya paham, mulai bergerak semakin liar.
“Ah.. iyahh.. Taammhh.. emhh...” Gerakan pinggulnya semakin cepat. Tubuhnya sudah basah oleh keringat, begitupun tubuhku. Kedua payudaranya bergerak mengikuti irama tubuhnya. Tanganku merangkak menggapai kedua buah dada itu, lalu memelintir putingnya.
“ARRGHH.. geliii Tamm.... eehhmmmm...” vaginanya terasa menjepit lebih kencang saat aku sedikit menarik putingnya itu.
Tubuhnya semakin cepat bergerak. Aku yang mulai merasakan linu di penisku membantunya untuk bergerak lebih cepat.
“ERGGHH... TAAMM.. AKU KELUAARRRRHHHH....” tubuh Nayeon ambruk keatas karpet, membuat penisku tercabut dari vaginanya. Aku yang sudah merasa spermaku sudah berada di ujung, mengocoknya cepat lalu mengarahkan penisku kearah wajahnya.
“AAHHH.. NA- EEHH?!!” aku terkejut begitu Nayeon melahap penisku lalu membantunya dengan menggerakan mulutnya cepat. Aku yang tidak dapat menahan orgasme lagi, langsung menyemburkan seluruh spermaku kedalam mulutnya. Nayeon segera menelan seluruh spermaku itu tanpa menyisakan setetes pun didalam mulutnya.
Aku ambruk di sebelahnya. Nafas kami sama-sama tersenggal. Keringat ikut membasahi karpet ini. Tubuh Nayeon berguling ke samping, membuatnya menatapku. Aku meliriknya.
“Motornya?” tanya Nayeon yang dibalas dengan tawa olehku.

====
Beberapa menit yang hampir menyentuh jam lalu..

“Bangke emang.” Aku turun dari motorku, memandang bagian mesinnya yang berasap dan sedikit meneteskan cairan. Keadaan yang sudah malam ini membuatku harus melihat dengan seksama di bantu pantulan lampu kendaraan yang lewat.
“Tau gini, bener gue ganti radiator hose kemaren.” Aku menurunkan standar Z900 kesayanganku ini, lalu melepas helm dan berusaha menghubungi seseorang.

“Yeoboseyo?” *
Lah, Korea?
Ne, annyeong. Joesonghamnida, jibeseo Arka ya?” **
“Hahahahah. Abaangg!!”

Sialan. Zee mengerjaiku. Suaranya berbeda sekali ketika ia mengangkat barusan.

“Dasar tante kurang ajar.”
“Hahaha, kenapa bang?”
“Motor abang mogok di Antapani, kayaknya mau ke bengkelnya anak NL dulu ya, titip Arka.”
“Iya siap komandan!”
Aku segera mengakhiri telfon itu, lalu berusaha mendorong motor yang beratnya hampir 210kg itu.
Cukup lama mendorong, aku diberhentikan oleh seorang wanita di depan sebuah rumah yang bisa dibilang cukup mewah ini.
“Ngapain dorong motor malem-malem gini?” wanita itu berdiri didepan pagar, melihatku duduk di depan rumahnya sembari menunggu nasi goreng yang aku pesan matang. Aku segera menoleh.
“Nasgor?” tanyaku, yang langsung dijawab anggukan oleh wanita itu.
“Mang, hiji deui, sedeng weh ulah lada teuing.”^ ucapku kepada penjual itu.
“Neng, karunya si akangna ieu nga dodorong motor titadi nepi ka lapar kieu.”^^ sang penjual menoleh kearah wanita itu, yang hanya dibalas dengan tawa.
“Maaf, mang. Saya gak ngerti bahasa Sunda.” Ucap wanita itu bersamaan dengan tawaku yang meledak. Sang penjual yang terlihat malu itu segera memasak pesanan kami.

oOOo​
“Kenyang?” tanyanya sembari membawakan segelas air putih dan sekaleng bir untukku.
“Wah terimakasih ibu Im Nayeon traktirannya!” aku hanya terkekeh sembari meneguk air putih itu.
Nayeon hanya memandangku. Pipinya sedikit bersemu ketika aku balas menatapnya sembari meneguk air.
“Kenapa?”
“Masih ganteng memang ayah satu anak kita ini.” Nayeon mengucapkannya tanpa ragu. Aku hanya tertawa.
“Woyajelas dong, dari atasnya udah ganteng ya gimana lagi.”
Nayeon masih menatapku sambil tersenyum.
“Ey kenapa sih? Aku aneh ya?”
Nayeong menggeleng sembari tetap tersenyum.
“Banyak yang sebenernya aku mau bilang.” Ia berdiri, menghampiriku, lalu duduk di pangkuanku. Pipinya semakin bersemu merah, sementara aku berusaha untuk tetap tenang dan tampan meski tidak bisa.
Glek.
“Aku selalu penasaran kenapa rambut kamu lebih panjang yang kanan, sampe nutupin telinga gini.” Tangannya menyibak rambutku, membuat telinga kananku terlihat. Ia terkejut begitu mendapati 6 tindik berbaris rapih di telingaku.
“Oh.. pantesan..” ia kembali tersenyum, lalu menutupi kembali telingaku dengan rambutku. Wajahnya perlahan mendekat kearahku.
“Wait a minute, Im Nayeon.” Ucapanku membuatnya berhenti sejenak.
“Aku gak bisa lama-lama, okay? Ada Arka dan adikku di rumah.” Nayeon kembali tersenyum mengangguk.
Aku menghela nafas, lalu segera menarik wajahnya kearahku. Bibir kami bertemu. Tangan Nayeon segera melingkar di leherku, sementara tanganku mengarah ke pinggangnya, berusaha menarik tubuhnya lebih dekat.
Ciuman Nayeon bertambah liar. Beberapa tetes liur kami membasahi celana kami masing-masing. Nayeon melepaskan ciuman itu, lalu menarik tanganku keatas karpet ruang tamunya. Ia mendorongku berbaring disana.
“Kamu mau ini cepet kan?” Nayeon yang masih berdiri, melepaskan kaos dan bra nya dengan sedikit eksotis, bak seorang penari striptease di sebuah klub malam, lalu melemparnya sembarang.
So, I’ll make it quick too, then.” Hotpants yang ia kenakan pun ia lepaskan. Aku terkejut mendapati dia tidak memakai celana dalam sama sekali. Aku hanya bisa terdiam melihat kelakuannya.

=====

“Motornya?” tanya Nayeon yang dibalas dengan tawa olehku. Aku berusaha berdiri.
“Lanjut dorong dong.” Aku berjalan menuju kamar mandi tamu yang tidak terlalu jauh dari ruang tamu ini.
Aku mengguyur badanku, membuat keringat sisa pertempuranku dengan Nayeon tadi menghilang. Nayeon bersandar di depan pintu, menyaksikan aku yang sedang asik ‘mandi’.
“Gak niat nyari istri lagi?” aku yang baru saja selesai lansung menoleh kearah Nayeon yang sedang menatapku di ambang pintu. Aku hanya tersenyum.
“Arka dulu sempet minta, tapi gatau, aku belum kepikiran.” Aku berjalan melewati Nayeon, lalu mengambil baju dan celanaku yang berserakan. Selesai memakai semua pakaianku, aku melangkah keluar.
Tepat sebelum aku duduk untuk memakai sepatu, Nayeon memelukku. Kurasakan tubuhnya sedikit bergetar, bersamaan dengan aku merasakan bahuku basah.
Ia menangis.
Aku memutar tubuhku menghadap dirinya, lalu sedikit memeluknya. Membiarkan ia meluapkan emosinya terlebih dahulu tanpa menghakimi. Nayeon masih terus menangis selama kurang lebih 10 menit, dan selama itu pula aku hanya memeluknya, sesekali mengelus punggungnya.
“Aku gak tahan sama pacarku, Tam..” Ia akhirnya melepaskan pelukannya dan mulai berbicara.
“Dia.. hiks.. dia kelewat posesif...”
Aku hanya terdiam, menatapnya dengan tatapan ‘Cerita aja kalo mau cerita, kalo enggak gausah.’
Dan malam itu aku habiskan dengar mendengarkan Nayeon bercerita tentang pasangannya.
Menurut cerita Nayeon, kekasihnya bernama Mario. 27 Tahun, anak pengusaha kaya. Mereka sudah berpacaran kurang lebih 1 tahun, dan sifat over-posesif kekasihnya itu ditunjukan ketika menginjak bulan ke 11. Entah mengapa, entah bagaimana, tiba-tiba saja. “Itu karena aku sayang kamu.” Katanya sih begitu.
“Kamu..” aku yang sedang mendorong motor keluar, berhenti ketika Nayeon memanggilku.
“..kenapa gak komentar waktu aku nangis sama cerita tadi?”
Pertanyaan Nayeon membuatku menurunkan standar motorku, lalu menghampirinya. Tanganku mengusap air matanya yang menetes membasahi pipinya.
“Orang dengan kedaan kayak gini, pasti gaperlu di komentarin, kan? Dia cuma butuh di dengerin.”


Perkataanku itu dibalas pelukan oleh Nayeon,
Dan hujan oleh semesta.

===

Aku terbangun agak sedikit terlambat. Efek kehujanan semalam membuat tubuhku sedikit meriang, namun masih sanggup berjalan. Tidak ada siapa-siapa, kelihatannya Zee membawa Arka pulang karena semalam aku baru tiba di rumah sekitar pukul 12 malam setelah berusaha mendorong motorku menuju bengkel milik temanku di daerah Turangga.
Aku melangkah menuju dapur dan memutuskan untuk membuat teh panas. Kepalaku yang pusing menuntunku untuk menyeruput teh itu lalu berbaring di sofa sembari menonton televisi.
Tanganku mengambil handphone yang terletak tidak jauh dari tempatku berbaring. Sepertinya aku hari ini akan izin tidak masuk kantor karena kondisiku yang kurang fit sisa kehujanan semalam. Jemariku mencari kontak bosku.
Setelah selesai urusan izin kantor, kepalaku yang masih pusing ini membuatku kembali terlelap dalam tidurku.

----
“Bagaimana dok keadaannya?” aku mendengar suara yang entah dari mana asalnya. Keadaan disini hanya hitam pekat. Tapi aku cukup mengenali pemilik suara itu.
“Masih stabil, jantungnya masih berdetak juga mbak..”
Seseorang yang dipanggil dokter itu tidak berbicara kepadaku.
“Kita sama-sama berdoa yang terbaik ya, mbak. Mari saya tinggal dulu.” Suara pintu yang dibuka terdengar, berbarengan dengan sebuah hembusan nafas yang kurasakan di tanganku. Aku ingin melihat apa yang sebenarnya terjadi, namun keadaan disini hanya hitam pekat. Tidak ada cahaya yang membantu.
“Aku masih disini hey..” suara itu.
Chae.
“Ayo bangun..”
--


Aku terbangun. Jantungku berdegup cepat.
Mimpi aneh lagi.
Tubuhku sedikit berkeringat, entah karena efek teh yang aku minum atau karena adrenalin dari mimpi tadi. Yang pasti, aku dapat mengetahui kalau sekarang sudah pukul 12 siang lewat sedikit. Suara tv di ruang tengah sudah menyala, pertanda Arka atau Zee sudah berada di rumah.
Aku bangkit dari sofa ini, membawa gelas teh ku ke ruang tengah. Terlihat Zee sedang menonton acara gosip dari tv.
“Gossip mulu lu.” Suaraku itu membuat Zee sedikit kaget lalu menoleh ke belakang.
“Tadi ada temen kantor lu kesini, Bang.” Aku yang ingin melangkah ke kamar mandi, berhenti sejenak.
“Oh? Siapa?”
“Anak magang sih.” Aku terkejut sesaat.
“Namanya Mina.” Zee menekan remot, mencari channel lain. Ia kembali menoleh ke arahku.
“Ninggalin buah di kamar lu.”
Aku hanya membulatkan mulutku, lalu berjalan ke kamar. Sebuah keranjang berisi buah-buahan yang berada di atas mejaku mencuri sorot mataku. Ada sebuah surat di bagian luarnya.

Semoga lekas sembuh, mas. Hehe.
-myoui

Aku hanya tersenyum sedikit membaca pesan itu, lalu mengambil handphoneku untuk mengirim pesan singkat ke Mina.

Terimakasih buahnya. Besok gak masuk kerja lagi ah biar dikirim buah.

Setelah terkirim, aku masuk ke kamar mandi untuk menyegarkan tubuh.

**

Aku duduk di ruang tengah sembari melanjutkan pekerjaan yang bisa aku remote dari rumah. Sementara Zee masih asik bersandar di pundakku.
“Gimana cowokmu?” aku yang mulai penat bekerja, bertanya kepada Zee. Zee tertawa sedikit.
“Baik-baik aja kok, cuman lagi sibuk aja dia.” Jemari Zee yang sedari tadi melihat barang di Online Shop berhenti.
“Eh siapa namanya? Andri..”
“Adrian.”
“Ohiya, Adrian. Baik anaknya?” aku menekan tombol sleep di laptopku, lalu menutupnya. Zee sedikit menurunkan tubuhnya, lalu segera meletakan kepalanya di pahaku.
“Baik kok, gapernah macem-macem juga.”
“Yaudah, semoga langgeng aja deh ya, kalo ada apa-apa cerita, biar gue hajar nanti.” Sontak, Zee meninju perutku pelan.
“GAUSAH MACEM-MACEM YA TOLONG!”
Aku tertawa. Kami menghabiskan sore itu dengan mengobrol berdua, yaa family time lah istilahnya, meski hanya ada aku dan Zee. Arka sedang asik bersama neneknya sejak kemarin, jadi Zee seorang diri disini.
Zee tumbuh menjadi wanita dewasa yang mampu mengatur segalanya sendiri. Aku sendiri tidak menyangka adikku bisa tumbuh secepat ini. Seingatku, dulu ia orang yang manja terutama kepadaku. Ya, meski hingga saat ini masih terlihat sih sifat manjanya kepadaku.
Adzan maghrib berkumandang. Zee bangkit dari pahaku, lalu berjalan menuju kamarnya untuk menunaikan ibadah. Sementara aku menuju dapur, sedikit memasak untuk makan malam nanti.

Tama’s POV, end.
Meanwhile,

Seorang gadis berambut sedikit diatas bahu terlihat sedang melahap makan malamnya, satu paket ayam goreng dari sebuah restoran ayam goreng ternama. Gadis itu masih setia menemani seseorang di dalam sebua ruang rawat rumah sakit pemerintah di bilangan kota Bandung. Sudah hampir satu minggu sejak sebuah kejadian yang tidak mengenakan bagi mereka berdua terjadi.
Sesekali matanya melirik seseorang itu.
“Kamu gak mau rebutan kulit ayam lagi gitu sama aku?” Ia mengambil sepotong kulit ayam, lalu mengangkatnya sejajar dengan kepala orang itu. Matanya ia tutup sebelah, membuat sudut pandang baru : tubuh orang itu sebesar kulit ayam yang ia genggam. Ia tertawa sedikit, lalu kembali melahap makan malamnya.

Selesai makan dan mencuci tangan, ia duduk di samping ranjang. Keadaan ruang rawat itu cukup hening, sayup terdengar suara tv yang menyala dengan volume rendah, dan suara beberapa alat medis yang selang-selangnya menempel di tubuh orang –pria itu.

“Aku takut..” jemari gadis itu menggenggam tangannya.
“Ketika nanti kamu bangun, semua memory kamu hilang.”
“Aku gak tau akan kayak gimana nanti kalo itu beneran terjadi..”
“Tapi..”
“Aku akan selalu disini..”
Air matanya menetes, membasahi sela jemari mereka.

Sementara, suara tv dengan volume pelan itu menemani mereka, terutama sang gadis, menuju alam mimpinya.


“Jasa Marga siap bekerjasama dengan Polisi untuk mengusut kasus tabrakan yang dilakukan oleh sebuah truk di ruas tol Cipularang arah Jakarta pada hari Sabtu, 9 Februari yang lalu, yang mengakibatkan sepasang kekasih..............”




------

nb.
*Halo, digunakan biasanya waktu telfon.
**Ya, halo. Maaf, Arkanya ada?
^Bang, satu lagi yak, jangan terlalu pedes
^^Neng, kasian nih abangnya, nge dorong motor daritadi sampe lapar gini
 
Ahiya, hallo buat yang lagi baca. teirmakasih masih mau membaca ya~
Mohon maaf, disamping melanjutkan pendidikan, ada beberapa pekerjaan yang ternyata menyita waktu saya sehingga membuat saya harus tidur jam 2 pagi bangun jam 6 pagi juga.

Untuk yang sudah membaca, baik diselingi dengan komentar, atau sekedar membaca doang, terimakasih ya~ kalo ada masukan, boleh taroh di komentar atau mau via PM hehehe.
 
Adrian lagi :marah:

===

Seru kali pas ena ena, Tama sama siapa, Zee liat terus :dansa:
 
Otakku masih terus mencoba dan mencoba membayangkan Zee versi legal
 
Ada plot twist kah nantinya? Atau parallel universe? Ditunggu kelanjutannya suhu 🙇🙇🙇
 
Adrian lagi :marah:

===

Seru kali pas ena ena, Tama sama siapa, Zee liat terus :dansa:
Adrian disini cuman buat selingan kok gak beneran wkwkwk

Otakku masih terus mencoba dan mencoba membayangkan Zee versi legal
jangan dibayangkan, nanti ketagihan.
.
.
.
MONG NGOMONG, PUCCHI TUH.

Ada plot twist kah nantinya? Atau parallel universe? Ditunggu kelanjutannya suhu 🙇🙇🙇
waduh, nanti kita tunggu ya kak biar kejutan hehehe
 
Waitt whaaa? tama lost memory!? Yg tabrakan itu dia bedua sama chae(?) gimana gimana? jadi chae masih idup???

Banyakin mina nya ya huu ehehe.

Mudah mudahan adrian yang disini gak macem macem sama zee:|

Gegara lu nih huu kiblat idol gw dari jkt jadi pindah ke twice kampreeet awkwkwk
 
Terakhir diubah:
Waitt whaaa? tama lost memory!? Yg tabrakan itu dia bedua sama chae(?) gimana gimana? jadi chae masih idup???

Banyakin mina nya ya huu ehehe.

Mudah mudahan adrian yang disini gak macem macem sama zee:|

Gegara lu nih huu kiblat idol gw dari jkt jadi pindah ke twice kampreeet awkwkwk
hmm, analisa bagus, kita lihat update selanjutnya aja gimana ya kak ehehehe~

oh, bagus dong kak. itulah alasan kenapa Tuhan menciptakan kata multi-fandom wkwkwkw

Wah baru tau ada update. Mantap suhu
terimakasih kak sudah membaca~
 
Biar bejatnya multi-verse juga :adek:
Ya itu kak wijat aja yang bejat~

Anyway,
Another day,

Ruang rawat Kelas 1 itu hening, hanya terdengar suara pelan dari alat pendeteksi detak jantung. Seorang pria terbaring disana, dengan banyak yang selang yang menempel di tubuhnya. Tidak ada aktifitas dari pria itu. Koma.

Sementara, di sisi ranjang, seorang gadis dengan rambut berwarna kecoklatan sedang terlelap. Tangannya yang dihiasi sebuah cincin dengan ornamen berlian kecil itu menggenggam tangan sang pria, seakan tidak mau menghilangkan momen saat pria itu kembali membuka matanya.

Diluar ruangan itu, berdiri seorang wanita lain. Rambut hitam mengkilapnya hanya mencapai pangkal leher wanita itu. Matanya sedikit lebih lebar, efek dari lensa kontak yang ia kenakan untuk membantunya melihat. Tangannya berada di gagang pintu, berniat untuk membukanya, namun seketika ia urungkan niat tersebut. Ia berlari menuju toilet, dengan air mata yang terus jatuh sejak tadi ia sampai disini.
 
[4 – afterlife]

“Selamat pagi, mas Tam!” Mina menyapaku dengan riang, aku yang baru saja tiba menoleh kearahnya, lalu balik menyapanya.
Hari ini ia menggunakan hoodie oversize, dipadukan dengan jeans hitam dan sneakers favoritnya. Ohiya, semenjak kejadian “Mengantar buah” waktu itu, kami menjadi sedikit lebih dekat. Tak jarang, kami berangkat ke kantor bersama atau sekedar makan siang bersama di kantor, sesekali di akhir pekan ia juga mengunjungi rumahku untuk bermain bersama Arka. Arka? Sudah tentu senang memiliki ‘teman bermain’ baru selain Zee dan Ibuku.

“Wah, rajin banget. Tumben nih pagi?” aku duduk di mejaku. Mina pindah ke meja sampingku setelah salah satu anggota timku di pindah tugaskan ke kantor pusat di Jakarta.
“Iya, mas. Nanti sore mau jemput Mama di bandara.”
Aku hanya membulatkan mulutku lalu kembali tenggelam dalam pekerjaanku. Mina memakai bantal lehernya. Sebuah bantal leher berwarna biru dengan kupluk berkarakter penguin. Ia selalu lucu ketika mengenakan kupluk itu.

Punggungku di tepuk oleh seseorang, membuatku harus melepas earphoneku. Nayeon.
“Sorry mas, pak Andre minta ngumpulin semua kepala divisi buat rapat.” Nayeon sedikit terengah, mungkin karena lelah harus mengabari satu kantor. Aku hanya mengangguk kecil.

“Kalo rapat dadakan gini, isinya apa aja mas?” Mina bertanya dengan sedikit berbisik kearahku setelah Nayeon pergi. Aku menoleh kearah Mina sembari mengambil note kecil dari laciku.
“Kalo gak dijelasin buat apa sih, biasanya bos lagi gabut aja sih minta ditemenin, hahahaha.” Aku sedikit tertawa, membuat Mina yang tadinya mendengarkan dengan serius ikut tertawa juga.
“Bisa aja mas.”

***
“Gimana?” Nayeon yang duduk di hadapanku yang sedang mengunyah makan siang ini tiba-tiba bertanya.
“Apanya?”
“Mina.”

Aku yang ingin menelan hasil kunyahanku itu tersedak mendengar apa yang dilontarkan Nayeon. Nayeon hanya tertawa, membuatnya memamerkan gigi kelincinya itu.

“Habis makin hari makin deket.” Aku yang hendak protes itu langsung dipotong oleh Nayeon dengan nada sedikit berbeda.
“Kalo cemburu itu bilang, bukan nanya-nanya gitu.” Ucapanku itu sukses membuat Nayeon tersedak saladnya.

Satu sama.

Kami tertawa, lalu melanjutkan makan dengan tenang.
“Satu kantor kayak jadiin Mina primadona gitu. Secara, fresh graduate, cantik.” Nayeon yang sudah selesai dengan makanannya itu mulai berpendapat.
“Ya kamu gatau aja kamu juga primadona satu kantor.” Aku membalas ucapannya sembari mengunyah sepotong buah yang baru saja aku ambil. Nayeon menghela nafasnya.
“Kayaknya sebatas sekretaris doang, Tam.”
Kami berjalan kembali ke meja kami masing-masing. Sebelum aku berbelok ke mejaku, Nayeon berbisik.


“Ngomong-ngomong, iya. Aku cemburu.” Ia langsung berlari begitu selesai dengan kalimatnya, membiarkanku mematung melihat tingkahnya.

---

Aku membuka pintu rumah, mendapati rumah ini kosong. Segera kuambil ponselku, lalu menelfon Zee.

“Yak, dengan Ajiji, ada yang bisa dibangsatkan?”
“Arka kemandos?”
“Diculik Mama nih, kayaknya malem ini abang tidur sendiri, Ajiji lagi garap tugas soalnya.”
Aku menghela nafas sebentar.
“Yaudah, kerjain yang bener ya tugasnya.” Telefon kututup. Aku melangkah masuk kedalam kamar, lalu membanting diriku untuk segera meraih mimpi karena sudah kelelahan.
LINE~!
Baru saja memejamkan mata, sebuah notifikasi line muncul.

Penguin-
Semoga mimpi indah, mas. Jangan lupa berdoa hehe :p

Aku tersenyum memandang chat itu, lalu membalasnya.

Iya, ini mau tidur. Kamu juga mimpi indah loh hahaha


Setelah mendapat tanda terkirim, aku kembali ke tidurku. Memejamkan mata menyambut mimpi. Tapi, sebuah notifikasi kembali datang.

Penguin- sent a video!

Sebuah video singkat yang membuatku sedikit tertawa, dan memastikan diri sendiri bahwa aku akan tidur dengan nyenyak.

68747470733a2f2f73332e616d617a6f6e6177732e636f6d2f776174747061642d6d656469612d736572766963652f53746f7279496d6167652f6f72347842327436724d6c4674413d3d2d3537383338353639382e3135333130663963386662346533623339393736313037373033342e676966





====Tama’s Point of View, end.====

In the other side,

Ruang rawat Kelas 1 itu hening, hanya terdengar suara pelan dari alat pendeteksi detak jantung. Seorang pria terbaring disana, dengan banyak yang selang yang menempel di tubuhnya. Tidak ada aktifitas dari pria itu. Koma.

Sementara, di sisi ranjang, seorang gadis dengan rambut berwarna kecoklatan sedang terlelap. Tangannya yang dihiasi sebuah cincin dengan ornamen berlian kecil itu menggenggam tangan sang pria, seakan tidak mau menghilangkan momen saat pria itu kembali membuka matanya.

Diluar ruangan itu, berdiri seorang wanita lain. Rambut hitam mengkilapnya hanya mencapai pangkal leher wanita itu. Matanya sedikit lebih lebar, efek dari lensa kontak yang ia kenakan untuk membantunya melihat. Tangannya berada di gagang pintu, berniat untuk membukanya, namun seketika ia urungkan niat tersebut. Ia berlari menuju toilet, dengan air mata yang terus jatuh sejak tadi ia sampai disini.

“Pucchi?” seseorang memanggil gadis itu.
“Kak Chaeyoung..” Gadis yang dipanggil Pucchi tadi langsung menghambur ke pelukan wanita yang memanggilnya, Chaeyoung.

Chaeyoung mengusap punggung Pucchi yang masih menangis, sementara Chaeyoung sendiri menahan tangisannya.
Mereka berdua melangkah keluar dari toilet, menuju kursi panjang di depan ruang rawat pria yang tengah koma itu–Tama.

“Dia baik-baik aja kok, Put. Tama orang yang kuat, dia pasti bertahan.” Chaeyoung mengusap punggung Pucchi yang duduk di sebelahnya. Sementara itu, Pucchi masih menahan tangisannya.

“Aku.. mau tau ceritanya kak...”

Chaeyoung menghela nafas, lalu tersenyum.

====
Chaeyoung’s Point of View.

Aku terbangun oleh suara nyanyian yang sedikit kencang dari kursi di sebelahku. Perjalanan dari Bandung-Jakarta di tengah malam minggu seperti ini memang sudah dipastikan akan memakan waktu. Tama masih asik bernyanyi, tidak sempat menyadari bahwa aku sudah bangun.
“Dimana ini?” suaraku serak, bertanya kepadanya. Ia menoleh, lalu mengecilkan volume radio yang sedang ia putar.
“Masih Cipularang, baru di 97 kok, macet banget daritadi sampe bosen.” Rambutnya yang masih basah menutupi sebagian wajahnya. Terlalu panjang, tapi aku menyukainya.

Tama, bagaimana aku menjelaskannya. Dia hanya seorang laki-laki yang kebetulan bersamaku sejak kecil, dan harus terpisah ketika kuliah. Tindiknya bertambah sejak SMA, hingga sekarang ia memiliki 6 tindik. Tidak banyak yang tau, tapi di jarinya ada sebuah tato kecil bertuliskan hangul namaku dan namanya.
Rambutnya? Ah, aku selalu suka apapun gaya rambutnya. Ia memanjangkan rambutnya sedikit, membuat panjang rambut kami hampir sama. Warnanya sedikit kemerahan, mungkin karena gen orangtuanya yang masih melekat padanya.

Sudah sudah, dia bisa senyum-senyum sendiri jika dia tahu aku sedang membahas dirinya.

“Macet darimana?” aku bertanya setelah meneguk air yang tersisa setengah botol.
“Masuk Pasteur, biasalah Bandung akhir pekan.”
Radio yang ia putar memainkan sebuah lagu. Sampai Menutup Mata. Sontak, jemarinya mengencangkan volume radio itu sedikit.

Embun di pagi buta
Menebarkan bau basah
Detik demi detik kuhitung
Inikah saat kupergi?


Ia bernyanyi dengan merdu. Ya, dibalik suaranya yang sedikit cempreng itu, ia mampu bernyanyi dengan baik, namun ia tidak pernah mengikuti lomba apa-apa.
Aku mengikutinya bernyanyi.

Oh Tuhan kucinta dia
Berikanlah aku hidup
Takkan kusakiti dia
Hukum aku bila terjadi

Ia menoleh kearahku, lalu tersenyum. Sebuah senyuman yang bisa membuat siapa saja jatuh cinta pada dirinya.

Aku tak mudah untuk mencintai
Aku tak mudah mengaku kucinta
Aku tak mudah mengatakan
Aku jatuh cinta

Senandungku hanya untuk cinta
Tirakatku hanya untuk engkau
Tiada dusta, sumpah kucinta
Sampai 'ku menutup mata
Cintaku
Sampai 'ku menutup mata


Kami bernyanyi bersama. Tanganku meraih jemarinya yang berada di perseneleng. Ia tidak menoleh, namun ia tersenyum sangat lebar. Manis sekali senyumannya.

Dug.. dug.. dug..
Suara aneh terdengar dari luar begitu mobil kami berhasil membelah kemacetan Cipularang.

“Wah, bocor ini pasti.” Tanganku yang melingkar di jemarinya, ia lepaskan perlahan. Tangannya dengan sigap menekan tombol hazard, lalu segera menepi ke kiri.
“Aku lihat dulu ya, kamu disini aja jangan ikut turun.” Ia berkata dengan nada yang sedikit aneh, tapi meneduhkan. Aku hanya mengangguk, mungkin ia mengantuk kataku dalam hati.

Dari kaca tengah, aku melihatnya membuka bagasi, lalu mengeluarkan segitiga darurat dan memasangnya. Aku menghiraukannya, lalu membuka ponselku. Beberapa panggilan tidak terjawab dari nomor tidak dikenal, dan beberapa notifikasi email mewarnai bagian notification bar ponselku.

Ban bocor mobil ini selesai ia ganti, tanpa kusadar. Kulihat ke arah kemudi, ia masih berada diluar, memandang jalanan di depan. Namun, sebuah cahaya mengagetkanku dan juga Tama. Sebuah truk melaju dari arah belakang di ruas kiri dengan kecepatan tinggi. Tama menoleh kebelakang, ia tidak bergerak. Cahaya itu semakin dekat.

“KENAAAANNNN!!!”

Tama terjatuh. Tidak, ia tidak tertabrak truk itu. spion truk itu berhasil menghantam bagian belakang kepalanya, membuat ia langsung terjungkal ke tanah. Beberapa mobil dibelakang kami ikut berhenti, membantu kami.

Aku bangkit dari kursiku, keluar, menuju dirinya. Tubuhnya tidak bergerak sama sekali. Wajahnya menghadap aspal. Aku bisa melihat beberapa tetes darah yang memantul di aspal itu.
Seorang pria dan seorang gadis dengan sigap menghampiriku. Aku melirik sebentar, lalu kembali ke tubuh Tama yang terjungkal itu.

“Mbak, rumah sakit terdekat ada kurang lebih 5 kilo lagi dari sini. Ini mobil biar saya yang bawa, mbak di belakang bantu hentiin pendarahannya. Saya kenal Tama.” Pria dengan rambut gondrong itu mengarahkanku. Aku yang masih menangis, menyeka sedikit air mataku, lalu mengangguk. Beberapa orang membantuku menggotong tubuh Tama kedalam, sementara pria gondrong tadi berbicara dengan gadis yang mengekor dibelakangnya.
“Mbul, kamu bawa mobil aku ya, ikutin aku aja, e-toll ada di tempat gelas dibawah. Aku nyetirin mobilnya Tama dulu ke RS Dit Lis Jatiluhur.”
Ia segera masuk ke sisi pengemudi, sementara gadis yang ia panggil Mbul tadi mengangguk dengan sedikit panik. Kami segera melaju, sementara tanganku menahan pendarahan di kepala dan hidung Tama. Tangisanku sedikit terhenti.
“Te.. terimakasih ya mas....”
“Dimas. Nama saya Dimas, mbak. Saya kenal baik dengan Tama.”
“Terimakasih mas Dimas.”
Kami melaju kencang. Pria yang mengaku bernama Dimas ini cukup mahir dalam mengendarai rupanya. Sementara aku hanya memandang wajah Tama yang sekarang sedikit hancur itu.

Tuhan,
Tolong selamatkan calon suamiku....


===Chaeyoung’s Point of View end.===
Chaeyoung yang bercerita sedikit terisak. Pucchi memeluk Chaeyoung, sesekali tangannya mengelus punggungnya.
“Aku bisa maafin kalo truk itu gak sengaja nyenggol Tama.” Chaeyoung berusaha berbicara ditengah tangisannya.
“Aku cuman gak bisa maafin sikap pengecutnya sopir itu yang langsung kabur tanpa sempet ada omongan sama aku.”
Pucchi masih mengusap punggung Chaeyoung.
“Makasih udah sempetin liat kondisi Tama ya, Put.”
Pucchi tersenyum sedih. Bagaimanapun, ia sadar meninggalkan Tama dengan tidak baik-baik. Sementara Chaeyoung berusaha tersenyum dibalik senyumannya. Mereka berdua masuk kedalam ruangan itu, melihat kondisi Tama yang tengah terbaring tak berdaya.
“Kata dokter, hidungnya patah, kepalanya pendarahan parah.” Chaeyoung berdiri di sebelah kiri, sementara Pucchi berdiri di sebelah kanan Tama. Tangan Pucchi menyingkap rambut Tama, mendapati 6 tindik milik Tama masih berbaris rapih.

I still love you, Kak Tam, batin Pucchi.
Dan hujan diluar turun semakin deras.
 
[4 – afterlife]

“Selamat pagi, mas Tam!” Mina menyapaku dengan riang, aku yang baru saja tiba menoleh kearahnya, lalu balik menyapanya.
Hari ini ia menggunakan hoodie oversize, dipadukan dengan jeans hitam dan sneakers favoritnya. Ohiya, semenjak kejadian “Mengantar buah” waktu itu, kami menjadi sedikit lebih dekat. Tak jarang, kami berangkat ke kantor bersama atau sekedar makan siang bersama di kantor, sesekali di akhir pekan ia juga mengunjungi rumahku untuk bermain bersama Arka. Arka? Sudah tentu senang memiliki ‘teman bermain’ baru selain Zee dan Ibuku.

“Wah, rajin banget. Tumben nih pagi?” aku duduk di mejaku. Mina pindah ke meja sampingku setelah salah satu anggota timku di pindah tugaskan ke kantor pusat di Jakarta.
“Iya, mas. Nanti sore mau jemput Mama di bandara.”
Aku hanya membulatkan mulutku lalu kembali tenggelam dalam pekerjaanku. Mina memakai bantal lehernya. Sebuah bantal leher berwarna biru dengan kupluk berkarakter penguin. Ia selalu lucu ketika mengenakan kupluk itu.

Punggungku di tepuk oleh seseorang, membuatku harus melepas earphoneku. Nayeon.
“Sorry mas, pak Andre minta ngumpulin semua kepala divisi buat rapat.” Nayeon sedikit terengah, mungkin karena lelah harus mengabari satu kantor. Aku hanya mengangguk kecil.

“Kalo rapat dadakan gini, isinya apa aja mas?” Mina bertanya dengan sedikit berbisik kearahku setelah Nayeon pergi. Aku menoleh kearah Mina sembari mengambil note kecil dari laciku.
“Kalo gak dijelasin buat apa sih, biasanya bos lagi gabut aja sih minta ditemenin, hahahaha.” Aku sedikit tertawa, membuat Mina yang tadinya mendengarkan dengan serius ikut tertawa juga.
“Bisa aja mas.”

***
“Gimana?” Nayeon yang duduk di hadapanku yang sedang mengunyah makan siang ini tiba-tiba bertanya.
“Apanya?”
“Mina.”

Aku yang ingin menelan hasil kunyahanku itu tersedak mendengar apa yang dilontarkan Nayeon. Nayeon hanya tertawa, membuatnya memamerkan gigi kelincinya itu.

“Habis makin hari makin deket.” Aku yang hendak protes itu langsung dipotong oleh Nayeon dengan nada sedikit berbeda.
“Kalo cemburu itu bilang, bukan nanya-nanya gitu.” Ucapanku itu sukses membuat Nayeon tersedak saladnya.

Satu sama.

Kami tertawa, lalu melanjutkan makan dengan tenang.
“Satu kantor kayak jadiin Mina primadona gitu. Secara, fresh graduate, cantik.” Nayeon yang sudah selesai dengan makanannya itu mulai berpendapat.
“Ya kamu gatau aja kamu juga primadona satu kantor.” Aku membalas ucapannya sembari mengunyah sepotong buah yang baru saja aku ambil. Nayeon menghela nafasnya.
“Kayaknya sebatas sekretaris doang, Tam.”
Kami berjalan kembali ke meja kami masing-masing. Sebelum aku berbelok ke mejaku, Nayeon berbisik.


“Ngomong-ngomong, iya. Aku cemburu.” Ia langsung berlari begitu selesai dengan kalimatnya, membiarkanku mematung melihat tingkahnya.

---

Aku membuka pintu rumah, mendapati rumah ini kosong. Segera kuambil ponselku, lalu menelfon Zee.

“Yak, dengan Ajiji, ada yang bisa dibangsatkan?”
“Arka kemandos?”
“Diculik Mama nih, kayaknya malem ini abang tidur sendiri, Ajiji lagi garap tugas soalnya.”
Aku menghela nafas sebentar.
“Yaudah, kerjain yang bener ya tugasnya.” Telefon kututup. Aku melangkah masuk kedalam kamar, lalu membanting diriku untuk segera meraih mimpi karena sudah kelelahan.
LINE~!
Baru saja memejamkan mata, sebuah notifikasi line muncul.

Penguin-
Semoga mimpi indah, mas. Jangan lupa berdoa hehe :p

Aku tersenyum memandang chat itu, lalu membalasnya.

Iya, ini mau tidur. Kamu juga mimpi indah loh hahaha


Setelah mendapat tanda terkirim, aku kembali ke tidurku. Memejamkan mata menyambut mimpi. Tapi, sebuah notifikasi kembali datang.

Penguin- sent a video!

Sebuah video singkat yang membuatku sedikit tertawa, dan memastikan diri sendiri bahwa aku akan tidur dengan nyenyak.

68747470733a2f2f73332e616d617a6f6e6177732e636f6d2f776174747061642d6d656469612d736572766963652f53746f7279496d6167652f6f72347842327436724d6c4674413d3d2d3537383338353639382e3135333130663963386662346533623339393736313037373033342e676966





====Tama’s Point of View, end.====

In the other side,

Ruang rawat Kelas 1 itu hening, hanya terdengar suara pelan dari alat pendeteksi detak jantung. Seorang pria terbaring disana, dengan banyak yang selang yang menempel di tubuhnya. Tidak ada aktifitas dari pria itu. Koma.

Sementara, di sisi ranjang, seorang gadis dengan rambut berwarna kecoklatan sedang terlelap. Tangannya yang dihiasi sebuah cincin dengan ornamen berlian kecil itu menggenggam tangan sang pria, seakan tidak mau menghilangkan momen saat pria itu kembali membuka matanya.

Diluar ruangan itu, berdiri seorang wanita lain. Rambut hitam mengkilapnya hanya mencapai pangkal leher wanita itu. Matanya sedikit lebih lebar, efek dari lensa kontak yang ia kenakan untuk membantunya melihat. Tangannya berada di gagang pintu, berniat untuk membukanya, namun seketika ia urungkan niat tersebut. Ia berlari menuju toilet, dengan air mata yang terus jatuh sejak tadi ia sampai disini.

“Pucchi?” seseorang memanggil gadis itu.
“Kak Chaeyoung..” Gadis yang dipanggil Pucchi tadi langsung menghambur ke pelukan wanita yang memanggilnya, Chaeyoung.

Chaeyoung mengusap punggung Pucchi yang masih menangis, sementara Chaeyoung sendiri menahan tangisannya.
Mereka berdua melangkah keluar dari toilet, menuju kursi panjang di depan ruang rawat pria yang tengah koma itu–Tama.

“Dia baik-baik aja kok, Put. Tama orang yang kuat, dia pasti bertahan.” Chaeyoung mengusap punggung Pucchi yang duduk di sebelahnya. Sementara itu, Pucchi masih menahan tangisannya.

“Aku.. mau tau ceritanya kak...”

Chaeyoung menghela nafas, lalu tersenyum.

====
Chaeyoung’s Point of View.

Aku terbangun oleh suara nyanyian yang sedikit kencang dari kursi di sebelahku. Perjalanan dari Bandung-Jakarta di tengah malam minggu seperti ini memang sudah dipastikan akan memakan waktu. Tama masih asik bernyanyi, tidak sempat menyadari bahwa aku sudah bangun.
“Dimana ini?” suaraku serak, bertanya kepadanya. Ia menoleh, lalu mengecilkan volume radio yang sedang ia putar.
“Masih Cipularang, baru di 97 kok, macet banget daritadi sampe bosen.” Rambutnya yang masih basah menutupi sebagian wajahnya. Terlalu panjang, tapi aku menyukainya.

Tama, bagaimana aku menjelaskannya. Dia hanya seorang laki-laki yang kebetulan bersamaku sejak kecil, dan harus terpisah ketika kuliah. Tindiknya bertambah sejak SMA, hingga sekarang ia memiliki 6 tindik. Tidak banyak yang tau, tapi di jarinya ada sebuah tato kecil bertuliskan hangul namaku dan namanya.
Rambutnya? Ah, aku selalu suka apapun gaya rambutnya. Ia memanjangkan rambutnya sedikit, membuat panjang rambut kami hampir sama. Warnanya sedikit kemerahan, mungkin karena gen orangtuanya yang masih melekat padanya.

Sudah sudah, dia bisa senyum-senyum sendiri jika dia tahu aku sedang membahas dirinya.

“Macet darimana?” aku bertanya setelah meneguk air yang tersisa setengah botol.
“Masuk Pasteur, biasalah Bandung akhir pekan.”
Radio yang ia putar memainkan sebuah lagu. Sampai Menutup Mata. Sontak, jemarinya mengencangkan volume radio itu sedikit.

Embun di pagi buta
Menebarkan bau basah
Detik demi detik kuhitung
Inikah saat kupergi?


Ia bernyanyi dengan merdu. Ya, dibalik suaranya yang sedikit cempreng itu, ia mampu bernyanyi dengan baik, namun ia tidak pernah mengikuti lomba apa-apa.
Aku mengikutinya bernyanyi.

Oh Tuhan kucinta dia
Berikanlah aku hidup
Takkan kusakiti dia
Hukum aku bila terjadi


Ia menoleh kearahku, lalu tersenyum. Sebuah senyuman yang bisa membuat siapa saja jatuh cinta pada dirinya.

Aku tak mudah untuk mencintai
Aku tak mudah mengaku kucinta
Aku tak mudah mengatakan
Aku jatuh cinta

Senandungku hanya untuk cinta
Tirakatku hanya untuk engkau
Tiada dusta, sumpah kucinta
Sampai 'ku menutup mata
Cintaku
Sampai 'ku menutup mata


Kami bernyanyi bersama. Tanganku meraih jemarinya yang berada di perseneleng. Ia tidak menoleh, namun ia tersenyum sangat lebar. Manis sekali senyumannya.

Dug.. dug.. dug..
Suara aneh terdengar dari luar begitu mobil kami berhasil membelah kemacetan Cipularang.

“Wah, bocor ini pasti.” Tanganku yang melingkar di jemarinya, ia lepaskan perlahan. Tangannya dengan sigap menekan tombol hazard, lalu segera menepi ke kiri.
“Aku lihat dulu ya, kamu disini aja jangan ikut turun.” Ia berkata dengan nada yang sedikit aneh, tapi meneduhkan. Aku hanya mengangguk, mungkin ia mengantuk kataku dalam hati.

Dari kaca tengah, aku melihatnya membuka bagasi, lalu mengeluarkan segitiga darurat dan memasangnya. Aku menghiraukannya, lalu membuka ponselku. Beberapa panggilan tidak terjawab dari nomor tidak dikenal, dan beberapa notifikasi email mewarnai bagian notification bar ponselku.

Ban bocor mobil ini selesai ia ganti, tanpa kusadar. Kulihat ke arah kemudi, ia masih berada diluar, memandang jalanan di depan. Namun, sebuah cahaya mengagetkanku dan juga Tama. Sebuah truk melaju dari arah belakang di ruas kiri dengan kecepatan tinggi. Tama menoleh kebelakang, ia tidak bergerak. Cahaya itu semakin dekat.

“KENAAAANNNN!!!”

Tama terjatuh. Tidak, ia tidak tertabrak truk itu. spion truk itu berhasil menghantam bagian belakang kepalanya, membuat ia langsung terjungkal ke tanah. Beberapa mobil dibelakang kami ikut berhenti, membantu kami.

Aku bangkit dari kursiku, keluar, menuju dirinya. Tubuhnya tidak bergerak sama sekali. Wajahnya menghadap aspal. Aku bisa melihat beberapa tetes darah yang memantul di aspal itu.
Seorang pria dan seorang gadis dengan sigap menghampiriku. Aku melirik sebentar, lalu kembali ke tubuh Tama yang terjungkal itu.

“Mbak, rumah sakit terdekat ada kurang lebih 5 kilo lagi dari sini. Ini mobil biar saya yang bawa, mbak di belakang bantu hentiin pendarahannya. Saya kenal Tama.” Pria dengan rambut gondrong itu mengarahkanku. Aku yang masih menangis, menyeka sedikit air mataku, lalu mengangguk. Beberapa orang membantuku menggotong tubuh Tama kedalam, sementara pria gondrong tadi berbicara dengan gadis yang mengekor dibelakangnya.
“Mbul, kamu bawa mobil aku ya, ikutin aku aja, e-toll ada di tempat gelas dibawah. Aku nyetirin mobilnya Tama dulu ke RS Dit Lis Jatiluhur.”
Ia segera masuk ke sisi pengemudi, sementara gadis yang ia panggil Mbul tadi mengangguk dengan sedikit panik. Kami segera melaju, sementara tanganku menahan pendarahan di kepala dan hidung Tama. Tangisanku sedikit terhenti.
“Te.. terimakasih ya mas....”
“Dimas. Nama saya Dimas, mbak. Saya kenal baik dengan Tama.”
“Terimakasih mas Dimas.”
Kami melaju kencang. Pria yang mengaku bernama Dimas ini cukup mahir dalam mengendarai rupanya. Sementara aku hanya memandang wajah Tama yang sekarang sedikit hancur itu.

Tuhan,
Tolong selamatkan calon suamiku....


===Chaeyoung’s Point of View end.===
Chaeyoung yang bercerita sedikit terisak. Pucchi memeluk Chaeyoung, sesekali tangannya mengelus punggungnya.
“Aku bisa maafin kalo truk itu gak sengaja nyenggol Tama.” Chaeyoung berusaha berbicara ditengah tangisannya.
“Aku cuman gak bisa maafin sikap pengecutnya sopir itu yang langsung kabur tanpa sempet ada omongan sama aku.”
Pucchi masih mengusap punggung Chaeyoung.
“Makasih udah sempetin liat kondisi Tama ya, Put.”
Pucchi tersenyum sedih. Bagaimanapun, ia sadar meninggalkan Tama dengan tidak baik-baik. Sementara Chaeyoung berusaha tersenyum dibalik senyumannya. Mereka berdua masuk kedalam ruangan itu, melihat kondisi Tama yang tengah terbaring tak berdaya.
“Kata dokter, hidungnya patah, kepalanya pendarahan parah.” Chaeyoung berdiri di sebelah kiri, sementara Pucchi berdiri di sebelah kanan Tama. Tangan Pucchi menyingkap rambut Tama, mendapati 6 tindik milik Tama masih berbaris rapih.

I still love you, Kak Tam, batin Pucchi.
Dan hujan diluar turun semakin deras.
Yak jadi mina sama naeyon cuma mimpi ditengah si kampret tama ini koma gitu(?) :((

Pucc gausa ganggu lagi yaa mereka udah bahagia ehehehe
 
Timeline yg aslinya yg Tama koma apa gimana dah? Asli cliffhanger bgt :( sukses nih suhu bikin penasaran 😂
 
jadi mina sama naeyon cuma mimpi ditengah si kampret tama ini koma gitu(?) :((

Pucc gausa ganggu lagi yaa mereka udah bahagia ehehehe
bisa aja cuman ada di mimpinya tama sih hehehe~

Ini timeline maju-mundur-maju-mundur-pacarhamil-teruskabur kan ya?
waduh saya gak se bejat itu kak :(

Timeline yg aslinya yg Tama koma apa gimana dah? Asli cliffhanger bgt :( sukses nih suhu bikin penasaran 😂
Nah...
Tama yang koma...
... apa...
... Chaeyoung yang koma...
 
Eh kak Tama di kelas I kirain di VIP :ngacir:

Tapi yg itu, habis traveling birahi dgn santainya langsung bilang i still love you minta diapain dah :bom:
 
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd