Agen Terpercaya  
 
 
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

JUARA LOMBA Continue! [2019]

Status
Please reply by conversation.
Tetolettoteeeeet :haha:



Seperti biasa ya cewek2 nakal binal nan menarik tak luput dari tulisan si babang ini


Paling suka sama diksi yang bisa membuatku masuk ke dalam cerita :jempol:

Dah diatas rata2 deh klo penggambaran suasananya.
 
-------------------------​




Lima bulan kemudian...
Februari, 2020



Hoaaaaam,”

Aku merenggangkan tangaku ke atas. Duduk di depan komputer selama berjam-jam, membuat otaku agak melayang. Tidak, aku tidak mengantuk, hanya… sedikit lelah saja. Lagipula, seharusnya detik ini aku sudah pulang dan bersantai ria di apartemenku. Namun, seperti ada kekuatan mistis yang merasukiku, aku masih saja merasa betah duduk di ruang kantor dan melakukan hal-hal random apa pun yang bisa kukerjakan.

Aku melirik penunjuk waktu di ujung desktop-ku. Gila, sudah hampir pukul tujuh malam. Tak biasanya aku lembur selama ini. Dan, bukan hanya aku. Di ruangan team-O pun, Jessy dan Mono masih terlihat tekun memelototi komputernya. Walau sejak tadi suasanya begitu sunyi dan hanya terdengar suara ketikan jari di keyboard-ku, aku yakin mereka berdua tak akan menoleh bila kupanggil. Yeah, tentu saja, karena di kepala mereka terpasang headset berukuran besar yang aku yakin, sedang memutar musik dengan volume kencang.

Semua sungguh semangat habiskan tenaga demi bekerja. Mungkin, karena proyek sudah hampir rampung dan pesta di depan mata.

Aku bangkit dari kursi, melongok ke meja Vivi. Kosong. Sepertinya, dia baru saja pulang tadi karena komputernya sudah dalam keadaan off. Di dekatnya, meja kerja milik Rizal. Aku selalu tersenyum geli saat melihat tempelan poster-poster cewek anime dan sebuah figure Sakine Meiko (salah satu karakter Vocaloid) di dekat layar PC-nya. Rizal bilang, sih, itu hadiah ulang taun dari temen. Tapi, aku gak percaya, hihihi. Soalnya, muka dia malu-malu gitu pas aku tanya. Kaget juga aku ternyata Rizal doyan cewek-cewek dua dimensi seperti ini, abisnya… gak ada potongan, sih.

Eh tapi, ini kan kantor tempat developer game! Harusnya aku gak kaget bagaimana pun bentuknya orang, yang kerja di sini pasti kegemarannya gak jauh-jauh dari game, anime, ataupun hal-hal ‘kekanakan’ lainnya.

Sifat, hobi dan kepribadian orang, kadang bisa dilihat dari keadaan meja kerja beserta hiasan pernak-perniknya. Bila kau berkunjung ke meja Jessy, pasti akan langsung tahu kalau gadis ini penggemar band gothic dan metal Jepang. Game serta anime-anime yang dia suka pun, selalu yang berhubungan dengan musik. Ugh, mudah-mudahan aja ia suka dengan musik modelan DJ Ricko yang bakal menjadi OST proyek game kami. Lalu, bagaimana dengan Mono? Ah, untuk cowok nerdy satu ini, hanya satu aja komentarku. Hentai lolicon. Titik. Dah itu aja.

Eh? Aku memicingkan mata. Masih berdiri di dekat meja kerja Rizal, kulihat ada secarik kertas yang luput dari perhatianku. Umm, maksudku, bukan kertas, sih, tapi sticker post-it kuning yang menempel di sisi layar komputernya. Dengan menggunakan spidol, ia menulis. “GW ADA DI TERAS BALKON LANTAI 3. CARI ANGIN BENTAR.”

Ih, dasar. Ngadem gak ngajak-ngajak, pikirku. Padahal, AC ruangan ini sudah disetel dengan suhu rendah dan kekuatan tinggi. Ngapain coba cari angin? Ah… paling juga ngerokok!

Well, perlu diketahui, aku juga ngerokok, sih, tapi hanya social smoker aja. Gak berat, buat gaya-gayaan doang. Satu bungkus berisi 20 batang saja perlu dua bulan lebih lamanya untuk aku habiskan. Itu pun kadang sudah termasuk yang dimintain temen. Maka, kupikir gak ada salahnya juga kalo aku nemenin Rizal merokok. Melambai tangan ke Jessy, aku pun melangkah keluar ruangan selepas mengambil Marlboro Lights-ku dari dalam tas.



-------------------------


Hmmm,” bola mataku mengamati sekeliling gedung kantor. Meski langit sudah gelap, rupanya masih banyak juga orang yang ‘lembur’ di hari ini. Ah iya, sebelum menemui Rizal di teras atas, aku memutuskan untuk turun ke bawah dulu untuk membeli segelas ice lemon tea. Repot, sih, emang, tapi ya gimana lagi? Aku hauus~

Sambil berjalan, aku melihat beberapa orang mendelik dan menatapku penuh arti. Entah apa yang ada di pikiran mereka, sejujurnya aku tak peduli. Apakah keseksian tubuhku? Lenggokan menggoda pantatku? Atau, citra buruk masa laluku sebagai istri yang tak bisa menjaga kehormatan diri. Whatever, yang pasti, di pikiranku kini hanya ada satu sosok manusia. Satu lelaki. Yang bernama Rizal.

Lima bulan berlalu aku bekerja di perusahaan ini, hubunganku bersama Rizal bisa dibilang… yah, ‘menggantung tanggung’. Jujur, aku pun gemas dengan hal tersebut! Dia itu seperti pacar, tapi sebenarnya kita nggak pacaran. Atau, belum. Maksudku, tidak pernah ada deklarasi di antara kita bahwa kita saling mengikat. Oleh karena itulah aku kerap dibuat bingung dan galau tak karuan dengan sikapnya kepadaku yang seperti pacar!

Rizal selalu posesif dan protektif kepadaku. Dia sering menasihatiku. Menceramahi jangan begini dan begitu. Tiap kali coffee break di jam kerja, aku sering dimintanya menemani ke lounge bawah. Kami sering kencan, jalan-jalan berdua menjelajahi kota. Bahkan, ia sering menggengam tanganku, membelai pipi plus rambutku, serta mengecup keningku. Dan lucunya, dia sama sekali tidak (atau, belum?) pernah mengajaku ngentot! Maunya apa, sih? Main cinta? Main FWB (friend with benefit)? Atau cuma gini-gini doang?

Kadang, aku emosi. Ingin rasanya aku teriak di depan muka Rizal, “HEI, Siapa elooo? Memperlakukan aku kayak giniii?” Namun, tentu saja itu tak terjadi. Yang aku inginkan adalah, Rizal lebih dulu memberiku kejelasan!

Oke, aku tau, selama ini terasa menyenangkan dan kami fun fun saja. Tapi, aku juga ingin ‘maju’. Ibarat sebuah mobil, mesin ini sudah terlalu lama dipanaskan. Saatnya menancap gas. Jadi, gimana Rizal? Kita berangkat, atau cuma mau panasin mesin aja terus matiin gitu? Huh!

Pokoknya, akan terus kupancing Rizal agar dia mau ‘bicara’.



Kamu, seperti ombak.

Perlahan hapuskan dia dalam lubuk bayangku

Aku bangkit menggeliat dan kembali semangat memeluk cinta.

Karena kamu



Tiba di teras atas gedung kantor, aku melangkah pelan keluar pintu. Angin dingin menerpa. Sejuk, namun hawanya menusuk tulang. Aroma hujan beberapa menit lalu masih terasa. Begitu segar, namun sayang, hiasan bintang-bintang di langit tak berkelip karena tertutup awan.

Aku melihat sosok lelaki sedang merokok di sebuah bangku panjang. Hanya dia seorang di sana. Sang Illustrator dengan gaya perlentenya yang khas. Kemeja putih digulung sesiku, celana rapi, dan seikat dasi hitam yang sudah dilonggarkan. Rizal begitu tampan dan gagah seperti biasanya. Dan ini membuatku kian bernafsu untuk mengikatnya, memilikinya.

“Haii~ boleh gabung? Aku boleh ikut ngerokok, ngga?” Tersenyum manis, aku langsung menghempas duduk di sebelah Rizal. Bodo amat dia mengijinkan atau tidak, aku mau tetap di sini.

Rizal hanya menoleh menatapku. Mengangkat bahu sejenak, lalu kembali menatap langit kepulkan asapnya.

“Tumben gak ajak aku? Biasanya, aku kan selalu dibawa-bawa? Kayak… umm, kucing piaraan gitu, hihi.”

“Uhuk! UHUK!” Rizal serta merta terbatuk-batuk, ia melotot sejenak, lalu meneguk air mineral botolnya.

Aih, gak lucu, ya? Huhu. Aku emang gak bakat komedi, sih, bisanya nakal. Dengan gaya centil dan menggoda, aku pun mengait rokok putihku di bibir lalu memantiknya.

“Hati-hati dengan ucapan kamu. Bisa-bisa, terjadi beneran nanti, hehe.” desis Rizal meliriku tajam, sambil terkekeh.

“Heh, terjadi? Jadi kucing beneran maksudmu?” balasku mengangkat alis, “Kyaah~ so kinky. Aku jadi kucing betinanya Rizal, mmmh,” Tak mau kalah, aku balikan godaanya. “Tapi, pacarin aku dulu dong, kalo mau ‘main’ nakal-nakalan kaya gitu. Emang aku cewek apaan, huh?”

“….”

Rizal terdiam. Pembicaraan senyap sejenak. Aku melirik wajahnya dan terkesiap seketika saat melihat ekspresi anehnya yang baru pertama kali terlihat semenjak aku mengenalnya. Ekspresi muka gelisah. Seperti… dibuat sok dingin, tapi jelas aku bisa melihat getaran matanya. Bahkan, ia menggigit-gigit bibir tanpa sadar membuatku ingin segera… uhm, menciumnya.

“Al, hello, kok diem?” celetuku pelan sembari menyandarkan kepala di bahu kokohnya. Aku bisa merasakan Rizal menarik nafas, dan hembuskan asap rokok.

Yeah, aku tahu… pada akhirnya bakal sampe sini,” gumam Rizal berbisik sangat pelan, namun terdengar tajam di telingaku. “Cath, boleh aku cerita sesuatu? Tapi, aku minta maaf, ya, kalo kamu jadi ilfil dan ngejauhin aku. Aku cuma pengen… kamu tau ini.”

“Eh, cerita apa?” bak tersengat listrik, aku pun kembali tegakan badan dan menatap Rizal polos. Kuhisap sejenak batang Marlboro Lights-ku lalu tiupkan asapnya. “Kamu boleh cerita apa aja ama aku, Al. Please, aku janji gak bakal marah. Apalagi ngejauhin kamu!”

“Serius?”

Jenaka, aku memutar bola mataku, “Come on, Al. Aku ini bukan ABG labil. Apapun yang kamu ceritain, aku gak bakal marah!”

“….”

“Apa, ih! Kok diem?”

“Masalah kecil, sih, sebenernya, tapi…,”

“Tapi apa?”

“….”

Eww, nyebelin! Sok misterius!”

Aku melakukan hisapan terakhir pada puntung Marlboro pendeku sebelum membuangnya di tempat sampah. Lalu, kuteguk ice lemon tea untuk sedikit hilangkan aroma rokok di mulut.

“Ada cewek yang ngejar-ngejar aku, Cath. Orang kantor. Diem-diem, sih, tapi bikin aku pusing banget,”

Dengan satu tarikan nafas, Rizal mengucapkan kalimat yang bagai geledek membuatku kaget! APA? Kamu nggak sedang bicarain aku, KAN??? hatiku seketika meradang. Namun, kucoba tenangkan diri. Jelas, aku membelalakan mata mendengar omongan dia barusan. Aku cukup paham, sih, kalau cowok se-‘seksi’ Rizal bukan cuma aku saja yang mengincarnya, tapi…

“Hah, siapa?”

“Penting? Besok aja aku kasih tau. Kamu… bisa sabar sebentar, kan?”

“Penasaraaan~”

“Yang penting, kan, siapa cewek yang aku suka, Cath.”

Aku terhenyak mendengar balasan Rizal. Ingin segera berkata, namun tercekat bisu dengan mulut sedikit menganga.

“Sejuta perempuan ngejar-ngejar aku, yang penting kan siapa yang aku mau? Itu inti game Visual Novel romance, Cath. Acuhkan siapa pun yang mendistraksimu, kejar yang kamu cinta.”

“Si— mmmph!”

Belum sempat aku bicara, tiba-tiba saja Rizal mendekap kepalaku lembut lalu memagutku! Sekujur otot tubuhku mendadak kaku. Tengkuk leherku merinding, disertai degupan dada yang bersentak-sentak. Kaget, namun tak bisa apa-apa. Rizal memang kurang ajar mecabuliku seperti ini!

Love you, Cath. Mmmmh~”

Beruntung, aku tidak jatuh pingsan atau terkena serangan jantung menerima lumatan bibir pria yang sering membuatku berfantasi liar tersebut! No! ini bukan khayalan. Rizal benar-benar menciumku!

Aku benar-benar hanya bisa pasrah saat desakan indera pengecap Rizal merangsek masuk ke dalam mulutku. Tanpa sadar, aku pun mulai mengikuti irama cumbuannya. Kami saling menguas lidah secara mesra sampai air liur kami ruah bercampur.

Sebetulnya, apa yang Rizal lakukan kepadaku kini bisa dikategorikan sebagai pelecehan di tempat kerja. Namun, gagal total aku berusaha melawan demi menjaga gengsi. Percuma. Aku menyukai Rizal, dan kini serasa enggan untuk melepaskan tautan bibirnya.

“A-Al… a-aku… ooohmmmp~”

Satu menit erat berpagutan, gerakan tangan Rizal pun semakin liar dan membuatku panik. Shit! aku mulai horny! Dan, aku paling benci kalau dibuat horny tanpa pelampiasan setuntasnya! Ini beneran keterlaluan. Rizal benar-benar nekad memijat-mijat dadaku dengan sebelah tangan sementara yang lainnya merambat ke belakang remasi pantat. Hampir saja aku terlena untuk balas mencengkeram batang penisnya, namun seketika tersadar bahwa ini tempat umum. Di teras atas gedung kantor!

Mmmngah!”

Aku menggeleng kecil lepaskan pagutan ganas Rizal. Sejuntai jembatan liur bening nan lengket tercipta indah hubungkan bibir tipisku dengan mulut pria fantasiku itu. Kami saling bertatapan dengan intens. Sambil Termegap, aku pun lalu berseloroh.

“A-Al, stop. K-kamu ngapain, sih? Di sini kan masih b-banyak orang! Kalo keliatan gimanaa~”

Dan, aku langsung tersadar kalau aku salah ucap kalimat saat Rizal membalas,

“Oh, kamu pengen di tempat yang gak keliatan orang ya?” sahut si cowok mesum itu sembari mencubit pipiku! Arghhh!

“Aku tau tempat yang aman, yang bebas dari gangguan,” lanjut Rizal lagi lalu meraih daguku. Sejenak, kami berkecupan bibir sebelum aku kembali melotot.

“Di mana?” bisiku panik “Kantor masih banyak orang, Al. Terus banyak CCTV, kan? Mana mang Satpam sering ngider-ngider gak jelas, pula! Udah, deh, k-kamu jangan aneh-aneh, nanti

EH?

Aku tersentak. Belum aku selesaikan ucapanku, Rizal sudah berbalik dan menarik tanganku pergi. Ia mengacuhkanku! Sontak, aku pun memekik.

“AL!”

Rizal kembali menoleh, menatapku tajam. “Yup?”

“K-kamu s-serius dengan semua ini? Maksudku, yang kamu omongin t-tadi?” tanyaku lagi berganti topik. Shit, bener-bener absurd kejadian malam ini! Aku nggak sedang mimpi, kan? Jangan-jangan, aku ketiduran di depan komputer sewaktu mengetik draft skenario game?

“Yang mana?”

“Yang… love you, Cath tadi,” Tersipu tunduk, suaraku mengecil.

Rizal menarik nafas. Ia mengangkat wajahku kembali dan mengajak bertubruk pandang.

“kamu pengen aku teriak AKU CINTA CATHY di lobby kantor bawah? Depan satpam dan anak-anak yang nangkring di coffee lounge? Kalo mau, aku lakuin sekarang!” jawab lelaki itu mantap.

GILA! batinku meradang. Aku bisa mati berdiri kalau Rizal melakukan hal sesinting itu! Maka, aku pun hanya diam sembari merengut manja.

Tak mendapat jawaban, Rizal pun kembali menarik tanganku dan masuk ke dalam gedung. Jujur, jantungku bergemuruh amat kencang di tiap detik aku mengikuti langkahnya. Aku tahu apa yang akan terjadi. Aku tahu dia mau mengintimiku. Dan, aku sungguh gugup luar biasa membayangkan dicabuli olehnya, apa pun bentuknya.

Gugup-luar-biasa.

Ini tak seperti biasanya. Rizal… beda. Beda auranya dibanding ketika aku bermain nge-seks dengan banyak lelaki teman nakalku dulu. Sensasinya sama seperti aku pertama kali diintimi Farhan, mantan suamiku dulu.

Arrgh! Ini semua jelas karena aku pakai HATI! Ya, aku mencintai Rizal. Gugup adalah imbas akibat dadaku tertancap panah asmara!

“Al, k-kita mau ke mana?” Aku mengenyahkan segala lamunan, merapatkan badan pada lelaki di depanku. Rizal, hanya berdesis pendek tanpa menoleh.

Ssssh, santai aja. Aku tau tempat ini. Gak bakal ada jejak ato track kamera yang nangkep kita.”

“Bukan itu pertanyaankuu~ ih!”

Di lantai tiga, Rizal menuntunku menyusuri lorong-lorong sepi kantor yang jarang aku lalui. Interior serta dekorasi area ini tergolong mewah, ketimbang dua lantai di bawahnya. Lukisan-lukisan, hiasan dinding, sofa, pot bunga, semua tertata rapi bak hotel berbintang lima. Damn! Seriously, Al? jerit benaku kaget saat aku melewati sebuah hall utama yang biasanya berhawa ‘seram’. Ini kan ruang board of director? Sudah gilakah lelaki ini?

Dan, kelopak mataku pun membeliak kaku tanpa kedip saat Rizal mendekati sebuah pintu besar dan membuka gagangnya. Nanar, aku terperangah. Di pintu itu terpasang plakat bertuliskan :


Chief People Officer
Frenda Karensha


Rizal menariku masuk dan kembali menutup pintunya. Rapat. Disertai putaran kunci yang tercolok di dalam. - click -

“Nah, di sini aman. Aku jamin gak bakal ada gangguan atau CCTV. Apalagi, orang nyelonong masuk.”

“G-Gila kamu, Al? Ngapain kita ke ruangannya Bu Frenda?” bisiku histeris tak ubahnya masuk ke dalam dungeon crypt markas ratu naga. Kepalaku tak percaya pria ini bisa nyelonong begitu saja tanpa segan. Dasar maniak nekad!

Why not? Kenapa enggak? Cuma Bu Frenda yang gak pernah ngunci ruang kerjanya. Direktur yang lain selalu dikunci aku pikir,”

“….,”

“Lagian, orangnya udah pulang, kok, Cath. Ruangan ini milik kita sekarang.”

“Tapi kan… GAK SOPAN!”

BRUKK!!

“Aduh!”

Andai bukan Rizal, pasti sudah kutampar dan tendang pria ini! Bukannya menjawab, ia malah mendorong bahuku buatku terpojok merapat di dinding!

Aku bisa merasakan wajahku bersemburat merah kala Rizal mendekatkan mukanya. Ia mencengkeram kedua tanganku ke atas, seakan ingin mengunci posisi tubuhku agar tak kabur. Bibirku melemas, bersiap menerima pagutannya. Namun, ia malah berdesis.

“Cath… jujur, aku gak tahan. Aku bakal menodaimu di sini dan menganggap kamu pacarku mulai sekarang. Calon istriku. Kalau kamu menolak, gak suka dengan caraku, aku biarin kamu pergi detik ini juga,” desak Rizal lantang menusuk di telingaku. Gak bisa dibayangkan betapa kian menggentingnya tabuhan degup jantungku kala itu. Hell no! Tentu saja aku tak akan campakan pria kecenganku ini!

Jika di game Visual Novel, momen ini adalah momen ‘pilih keputusan’ amat krusial tentukan ending cerita. Aku tahu apa yang ingin kukatakan. Isi hatiku.

Fuck me, Al. Hhhhhh… Aku mau jadi pacar kamu!”

“Tapi…. kamu tau aku, kan? Aku ini possesive maniak. Aku pencemburu gila. Bajingan yang kadang… ah, kata orang sering mengganggap pacarnya itu properti miliknya. Kamu bisa tahan dengan… hmmm, kelainanku ini?”

“….”

“Tentu saja sebagai imbasnya, aku janji bakal jadi lelaki setia! I love you, Cath. Kamu tau aku menggilaimu!”

Aku tak berucap, hanya menatap bola mata hitam Rizal dengan sorotan berani. Menantang.

“Kamu janji gak bakal bandel lagi? Gak bakal jadi istri nakal lagi, seperti dulu?”

Teach me!” bibirku membisikan suara bernada yakin, “ajarin dan bimbing aku jadi cewek yang setia, Al. Hukum aku kalo aku nakal dan khilaf. Tapi… jangan pernah tinggalin aku. Jangan buang aku.”

Aku beberapa detik terpejam, mengatur nafas agar tak menitikan air mata. Kata-kata tadi, adalah kata-kata yang sangat kuinginkan Farhan mendengarnya. Tapi, tak sempat terucap, hingga hari ini.

“Sama-sama,” desah Rizal, “Aku juga berencana ke psikolog, konsultasi biar otaku yang miring ini bisa sedikit waras, haha. Aku… ingin jadi lelaki yang normal, Cath. Yang gak terlalu ngekang pasangannya.”

“….”

Sejenak, kami terdiam, saling bersitatap, sebelum akhirnya Rizal merenggut kepalaku dan kembali melumat bibirku.

Mmmmh…. Sssh, ooh~”

Aku dan Rizal saling menautkan lidah dengan mata terpejam. Begitu liar dan bernafsu lelaki ini menikmati liurku. Bisa kurasakan gelitikan kumis serta janggut tipisnya meggasak wajahku. Ia sungguh gagah dan maskulin, membuat celah daging kewanitaanku di bawah sana merinding basah.

Seiring naiknya gestur birahi kami berdua, Rizal pun membalikan tubuhku dan menghimpitku dari belakang. Buas, ia mencium-cium leherku. Ia melekatkan badannya dan menggerayangiku tanpa ampun. Sebelah tangan kanannya meremas-remas bukit payudara mungilku secara agresif, sementara yang kiri menelusuk ke dalam rok kerja ketatku cabuli selangkangan.

You’re so sexy, Cath. Please, berhenti godain aku di kantor. Bikin gak konsen gambar,” bisik Rizal pelan terasa hangat di pipiku. Ia lalu menggigit lembut daun telingaku, membuatku tersentak geli dan sedikit mengejang.

Aaaaah…. mmmngh~”

Aku melenguh manja, pasrahkan diri jatuh pada cumbuan lelaki yang baru saja resmi menjadi kekasihku ini. Paham akan sifat dominan Rizal, aku pun biarkan dia perlakukan tubuhku semaunya bak anak lelaki yang tengah bahagia mendapat ‘mainan’ baru.

Kontan, gerayangan Rizal makin menggila. Syahwat kebetinaanku seketika melonjak ke batas atas. Belaian-belaian nakal jemarinya di memeku, pilinan-pilinan gemas tangannya di puting susu tegangku, adalah kombinasi sempurna mencumbu tubuh ringkihku hingga bergeliat memohon persetubuhan. Aku sudah tak kuat lagi. Aku ingin batang kontolnya yang kokoh menodai diriku. Goyangan pantat ******* pun lantas bergerak naik-turun menggesek-gesek selangkangan sang Pria sebagai kode bahwa aku siap dipenetrasi.

“Jangan teriak keras-keras, ya, Sayang. Takut ada apa-apa,” desah Rizal mengecup tengkuku. Aku mengangguk patuh.

“I-iyah~”

Nafasku terengah tertahan kala kudengar suara sabuk dibuka plus resleting turun. Rizal begitu cepat dan terburu-buru melucuti celananyakulihat dari ekor mataku yang mendelik penasaran. Ia lalu mengangkat rok ketat bagian belakangku, mengusap-usap bulatan pantatku sejenak, lalu menarik ke bawah celana dalam hitamku hingga betis.

Tak! Tok!

Suara sepatu platform heels tinggi kerjaku berbunyi nyaring kala kunaik-turunkan kaki melepas kain hitam mungil penutup kehomatanku tersebut. Jangankan Rizal, aku pun bisa langsung menghirup semilir aroma nakal kewanitaanku begitu daging selangkanganku terekspos. Rizal lalu mengecup-ngecup pahaku yang masih terbalut stocking hitam seksi. Ia memeluknya, dan menempelkannya ke pipi.

I love how you dress, Baby. Aku suka cara kamu berpakaian. Kamu… seperti datang dan tercipta untuku…,”

Duh, ngeracau apa, sih, dia? Aku kan jadi makin horny! Come on! Fuck me and enjoy my pussy, Honey! Aku menggigit-gigit bibir dengan gelisah.

Rizal mengecup kulit pantat mulusku sesaat sebelum bangkit berdiri. Aku pun memundurkan sedikit pinggul dengan kedua tangan bertumpu di tembokseperti tahanan sedang digeledah. Posisi tungkaiku melebar otomatis, begitu ada sentuhan benda tumpul ‘bertamu’ ke celah bibir kemaluan. Bulu kuduku merinding tegang, mata terpejam erat, bersiap-siap menerima tusukan nikmat batang kelamin milik Rizal yang kerap kufantasikan nakal kala bermasturbasi pakai dildo sebulan terakhir ini.



Dug.. dugdug… Jantungku berdegup keras. Bak gesekan senar biola, Rizal mengusap-usapkan tombak kejantanannya ke bagian klitorisku sejenak sebelum dengan buas menghujamkannya penuh tenaga ke liang percintaanku!

AAAAAAAH! AAAWWWWH!”

Aku menjerit keras, tanpa bisa kutahan! Rupanya, lelaki beraroma parfum musky ini memiliki alat keintiman yang sungguh besar dan gemuk keras menyesaki rongga vagina!

Ssssst~”

Aku bisa mendegar bisikan Rizal yang menyuruku diam sembari mengecup telingaku. Aku menggeleng-geleng gelisah. Belum juga digerakanbaru ‘ditanam’ kokoh sedalam mungkinsodokan penis lelakiku ini sudah membuatku lemas dan ingin semburkan pipis!

Tahan, tahan, tahan, Cathy! Jangan malu-maluin! Benak hatiku kesal merepet pada diri sendiri.

“Cath, kamu beneran pernah nikah? Punyamu kok peret banget gini, sih? Sempit.” goda Rizal berbisik di belakangku. Kontan, aku langsung membalas.

“K-Kamu kegedean!”

Rizal terkekeh sekilas sebelum segera mencoba memompakan penisnya.

Clap! Clap! Clap! Clak! Clap! Clap! Clak!

Oh my God… Aku melakukan segala agar lututku tak ambruk dan cepat orgasme. Jelas, Rizal bisa merasakan dinding liang peranakanku sudah membecek kental berlumur lendir vagina. Aku gak bohong! Serius! ini sungguh-sungguh penis paling nikmat yang pernah masuk ke dalam ceruk cintaku! Besar dan kekar. Aku bisa merasakan kulit bibir kemaluanku tertarik dan terdorong masuk seiring gerak maju-mundur batang kejantanan miliknya menyetubuhi diriku.

Clak clak clap clak

Aaaaahngngnh~ oooooh, God, yesss!”

Plak! Plak! Plak! Plak!

Lepas, aku melenguh. Sambil menghentakan pinggulnya, Rizal mulai bandel meremas-remas gundukan buah dadaku dengan kedua tangan. Ritme sodok penisnya kian meningkat konstan seiring adaptasi otot kewanitaanku yang melebar elastis. Proses persanggamaan kami jadi lebih lancar dan lezat. Sepasang tungkaiku yang sudah mengenakan heels tinggi 10 cm sampai harus berjinjit-jinjit mengimbangi hentakan ‘rudal’ pacar baruku ini yang amat bernafsu. Aku mendengar Rizal mendesah-desah maskulin menikmati legitnya memeku. Suara seksinya itu membuatku kian terpecut birahi.

PLAK! PLAK! PLAK! PLAK!

“Fuckhh! Enak banget memek kamu, Sayang!”

‘AAAL! Oooh, shit. Aku gak kuaat~”

Suara benturan tubuh kami kian meluap seiring mengganasnya Rizal mengentoti diriku. Aku serasa melayang ke surga, dikawini kelamin oleh lelaki impianku ini. Sendi lututku terasa lemah lunglai tak sanggup lagi menopang tubuh. Ada yang ingin ‘meledak’ di lubang pipisku sana. Rizal mendekap dadaku, membantuku agar tak ambruk terjatuh.

PLAK PLOK PLAK PLOK

“Cath, aku mau nyampe. Kel

“Keluarin di dalem, Sayang! Gapapaah! Aku mau benih kamuu!!!” racauku cepat memotong perkataan Rizal. Aku sudah tak bisa lagi mengontrol apa yang keluar dari mulutku. Karena gempuran-gempuran penis miliknya, sudah hampir menghancurkan benteng klimaksku!

“CATHY! Aaaaarghh~”

Debar jantungku menguat. Aku bisa merasakan semburan-semburan lendir hangat meluapi isi liang kehormatanku hingga penuh. Rizal orgasme, banyak sekali. Spermanya sungguh ruah melimpah sampai menetes-netes jatuh ke bawah.

Aku tak bisa begitu syahdu menikmati proses pembuahan itu, karena bersamaan dengan klimaksnya Rizal, sekujur tubuhku pun mendadak terlenting kejang disengat cambukan orgasme nan dahsyat yang menerpa tanpa ampun. Saking nikmatnya, aku sampai tak mampu bersuara. Kesadaran jiwaku seakan tercerabut ke awan. Aku hanya bisa merasakan lubang kencingku menyemprotkan cairan cintanya begitu deras, seperti keran hidran. Lalu, ambruk terkulai.

Bruk…

Tombak kejantanan Rizal sudah telepas dari cengkeraman memeku, namun sisa-sisa persetubuhan itu masih kuat terasa. Semprotan air klimaks masih mengalir-ngalir kecil di selangkangan. Aku berusaha keras mengatur nafas, seraya seluruh otot badanku mengejang-ngejang binal di lantai karpethingga sepatu platform heels-ku terlepas dari kaki.

Rizal turut berbaring dan memeluk tubuhku erat. Kami saling bertatapan. Berciuman.

“Cath…,”

Yes, Baby.”

“Kamu mau langsung pulang, sekarang?”

“B-Bentar, Al. Aku masih lemes. Lima menit lagi, ya…,”

Rizal tertawa kecil lalu mengecup keningku. “Iya, maksudku nanti. Mau aku anterin?”

“A-Aku bawa mobil sendiri, Al.” jawabku membelai rambut Rizal.

“Aku nggak, hehehe.” celetuk Rizal tengil, dasar! “Aku setirin sampe apartemen kamu. Nanti, dari sana aku pake taksi.”

“Oke,” Aku tersenyum dan menggangguk pelan. “Kamu mandi di tempatku aja dulu, sebelum pergi.”

Umm, harus, ya?”

“Ya iya lah,” Aku memutar bola mata, “abis ngeseks masa gak bebersih, hihi.”

Sambil beristirahat, kami pun kembali saling berpagut lidah. Bercumbu-cumbu kecil. Sampai saking mesra dan lupa dirinya, ada sekitar sepuluh menit kami asyik berlumat basah.

Rizal menggengam tanganku bantuku berdiri. Ia lekas buru-buru kembali berpakaian dan menyodorkan celana dalamku. Seraya tersipu, aku lalu memasangkannya kembali menutupi bibir kemaluanku. Kurapikan segera rok serta blazer kerjaku.

Aku berbisik pada Rizal sebelum ia membuka pintu. “Aku beres-beres meja ama komputer dulu, Hun. Ke markas dulu yuk, bentar.”

“Iya, aku juga.”

Mengendap-ngendap, aku pun melangkah waspada di belakang Rizal. Tak akan pernah aku lupakan seumur hidupku momen luar biasa aneh, absurd, tapi campur bahagia di malam ini. Jadian di teras kantor, make love di ruang ibu direktur, dan beranjak pulang penuh sumringah dengan sisa lelehan sperma menetes dari celah mungil memeku.

Dunia memang sarat misteri, seperti sorot tatapan mata Rizal saat pertama kami bertemu.



-------------------------​



Vivi pernah bilang, kalau aku harus segera mencari pacar untuk menanggulangi libido seks-ku yang tinggi dan diatas rata-rata perempuan normal. Well, aku setuju, karena bagaimana pun hubungan dengan satu lelaki jauh lebih sehat dan beradab dibanding aku main kesana kemari cari pelampiasan syahwat dan ngangkang seenaknya, hihi. Untunglah, kini takdir mempertemukan aku dengan Rizal. Pria yang aku inginkan sejak pertama kali melihatnya, dan kian jatuh cinta setelah berhari-hari mengenalnya.

Entahlah, aku merasa cocok saja dengan Rizal, semuanya, terutama soal seks. Auranya yang dominan dan ‘Master’-ish, kurasa sanggup memenuhi hasrat terpendamku yang submissive dan haus akan dikuasai lelaki. Dan, dia aku yakin pria yang baik. Yang akan selalu menyayangi serta tak menyakiti gadis ‘properti’-nya plus setia tak akan meninggalkan. Uh, bahasanya serem, ya? Hihi, mungkin aku juga sama sintingnya dengan Rizal.

Anyway, tau berapa lama perjalanan dari gedung Cello Studio ke apartemenku? Sekitar tiga puluh menit. Dan, selama itu pula lah aku ingin terus bertingkah binal akibat nafsu birahiku yang tak terkontrol. Bersyukur Rizal masih bisa berkonsentrasi menyetir CR-V hitamku dengan baik. Karena sepanjang jalan, aku terus membungkuk di sampingnya, membuka resletingnya, dan merogoh keluar batang kejantanan tebal nan kekar miliknya yang sungguh aku sukai!

Sambil terpejam, aku melahap habis dan mengulum-ngulum lembut permukaan penis yang baru saja menodaiku di kantor tadi. Rizal memiliki bentuk kemaluan tersunat yang indah. Tebalnya nikmat sempurna. Panjangnya? Lezat menusuk, dihiasi guratan urat-urat halus yang terukir di permukaanya. Biji testikelnya pun menggantung gagah, segala perangkat-perangkat kelelakian yang membuat birahi feminimku gelisah.

Ahhhhhmmmh,”

Aku mendengar Rizal mengerang puas saat kusapu-sapukan lidahku membelai kepala penisnya. Manja, lalu kulumat gemas dan hisap pelan. Kukombinasikan dengan sentuhan jemari lentik berkuteks beningku yang menurut-urut telaten.

Di sebuah lampu merah yang bertempo lama, Rizal melepaskan tangannya dari kemudi. Ia mendesah-desah lepas, membelai-belai serta menjambak rambutku. Tentu saja aku kian semangat menjilati penisnya. Yang kutahu, titik kelemahan barang lelaki tuh ada di bagian bawah lubang pipisnya tepat di batas kepala dan batang. Aku menari-narikan lidahku di sana, hingga Rizal melenguh, dan mendapat ‘hadiah’-nya, hihi.

Aaaaaaahlove you, Cath. Jago banget sepongnya!”

Aku tersenyum bangga sambil menyeruput cepat dan teguk habis seluruh benih kental pacarku yang bermuncratan. Andai kalau bisa, akan kukuras habis semua stock persediaan sperma milik Rizal di malam ini, huhu.

“Dasar cewek nakal. Bandel, yahh, tau cara ginian segala,” lanjut Rizal mencubit hidungku.

Yee, aku kan pernah punya suami, Sayang. Wajar dong kalo pinter,” jawabku kesal dibuat sok merengut. Dikiranya aku anak abege, apah?

Lampu beranjak hijau ketika kami tertawa dan saling bergurau. Rizal pun menancap gas dan melajukan mobilku.

“Cath.”

“Yup?”

“Mau makan dulu nggak? Laper nih aku.”

“Boleh.”

“Beli roti bakar aja, ya? Gapapa? Aku traktir, deh.”

Aku mengangguk patuh. Yah, namanya juga dibayarin, siapa nolak? Hihi.

“Terus… ada juga yang aku pengen omongin sama kamu. Penting, sih. Tapi kamu jangan khawatir ya. Semua bakal baik-baik aja. Gak ngaruh apa-apa…,”

Heh? Aku menoleh Rizal dengan pandangan heran. Ummm, mau ngomong apa, ya, dia?



-------------------------​



“Cath, Pudding Caramel ini kayaknya bakal jadi job terakhir aku di Cello Studio. Aku mau resign dan pindah kerja. Gapapa, ya, Sayang?”

“Hahh?”

Aku terhenyak. Menatap Rizal tak percaya. Bahkan, roti bakar yang siap kugigit pun seketika berhenti untuk masuk mulut. Ya, itulah kalimat yang Rizal katakan tadi. Yang ingin dia bicarakan denganku.

Rizal? Pindah kerja? Kenapa?

Apakah soal gaji?

Kalau aku pikir sih, gaji dia di Cello Studio udah lumayan banget. Bahkan, lebih tinggi dari Vivi yang leader tim! Saat kutanya sebabnya bisa begitu, Rizal malah menjawab gaji Gareth Bale pun bisa lebih tinggi dari Sergio Ramos. Eh, apaan coba? Aku gak ngerti.?

Lalu, kalau bukan gaji? Apa?

“Tapi, masih di kota ini juga, kok, Cath, pindahnya. Aku masih di Metropole, gak bakal kemana-mana.” sambung Rizal.

“K-Kamu gak sedang becanda, kan, Al? K-Kenapa?” tanyaku terbata-bata. Jelas, aku sedih dan kaget mendengarnya!

Rizal tertunduk dan menghela nafas sejenak. Ia lalu berkata, “Gara-gara Bu Frenda, Cath.”

“Bu… Frenda?”

“Iya.”

Entah mengapa, perasaanku jadi gak enak.

“Inget kata-kata aku di teras atas kantor tadi? Ada cewek yang diem-diem ngejar aku? Orang kantor? Ya… itu. Dia. Bu Frenda,” papar Rizal santai menggigit roti isi selainya.

Aku terdiam bisu bagai kena skill pukulan stun raksasa gunung. Tak ada apa pun reaksi yang sanggup aku ungkapkan.

Mati aku. Ngerebut kecengannya Bu Direktur. Mana barusan pacarku yang gila ini ngajak quickie di ruangannya, pula!

“T-Terus? A-Aku gimana, Al? Nasibku?”

Rizal membelai rambutku dan tersenyum tipis. “Tenang. Sabar. Kamu jangan pergi, tetep di Cello. Frenda gak punya hak sedikitpun untuk nyakitin kamu, singkirin kamu.”

Aku menggeleng panik, menutup mulut dengan kedua tangan. Ingin rasanya aku menangis. Gimana aku bisa kerja dengan tenang kalau kondisinya kaya gini? Padahal, aku sudah mulai mencintai pekerjaanku dan teman-teman kantor baruku.

Mungkin, di mata Bu Frenda sekarang aku adalah fresh meat pembawa sial, hiks.

“Aku udah konsultasiin ini diem-diem dengan pak Arkan, C.E.O Cello. Dia yang menawarkanku pindah kerja dan rekomendasiin ke temennya di perusahaan advertising dengan gaji plus jabatan lebih besar, hahaha. Jadi, back up kamu kuat banget, Cath. Paling kuat, malah. Aku dan pak Arkan emang temenan.”

“Heh? Serius?”

Rizal mengangguk-angguk, melahap potongan roti terakhirnya. “Aku juga sering obrolin kamu dengan pak Arkan, Cath. Aku cerita ama dia kalo aku suka kamu, hahaha. Pak Arkan juga yang dorong aku untuk buru-buru ‘iket’ kamu. Keburu diambil orang, katanya. Soalnya, kamu cantik,” lanjutnya santai sambil menatapku tajam. Ih, dasarr!

“….”

“Lima bulan, Cath… sejak aku mulai jatuh cinta dan makin terobsesi dengan kamu. Maaf, kalau aku pendem perasaan aku selama itu. Aku cuma takut… kamu bakal tersiksa denganku, dan kabur seperti pacar-pacarku yang dulu.”

“Al…,”

“Dan soal Bu Frenda,” Rizal sejenak tertawa, “Ini semua karena kebegoan aku. Ke-nggak-pekaan aku. Selama ini, aku pikir kebaikan dan ketertarikan dia ke aku tuh hanya karena prestasi dan kerja hasil aku semata. Ternyata… Damn, harusnya aku inget juga, statusnya yang lajang di usia tiga puluh limaan pasti… yah, begitulah.”

Jujur, aku merasa ‘bersalah’ dengan Bu Frenda karena telah menghancurkan impiannya. Aku merasa simpati. Mudah-mudahan, beliau bisa move on dan mendapat pria lain yang sungguh-sungguh mencintainya, hiks.

“Ya udah deh kalo, gitu.” Aku menarik napas lega. Namun, walau lega, masih ada kekhwatiran dan rasa gak enak di hatiku. “Eh, aku boleh cerita-cerita ama Vivi, nggak? D-dia kan sahabat aku?”

Rizal meneguk teh hangatnya lalu tertawa. “Boleh, gak masalah. Tapi, jangan terlalu nyebar, ya? Cukup Vivi aja.”

Tak ada kata-kata lagi yang bisa kuucapkan detik itu. Sungguh, hari yang ganjil dan penuh warna untuku.

“Cath,”

Rizal menggengam tanganku erat-erat.

“Aku janji, bakal serius sama kamu. Aku pengen banget sih, nikah sama kamu. Tapi… tergantung kesediaan kamu juga. Kita jalanin aja dulu,”

“I-iya.”

Tau isi hatiku saat Rizal mengatakannya? Tak sabar. Ya, aku tak sabar untuk menjadi istri Rizal dan menjalani kehidupan pernikahaanku yang kedua. Aku ingin segera punya anak. Aku ingin dihamili dan mengandung bayi milik Rizal. Dan aku janji, tak akan mengulangi kesalahanku seperti dulu lagi!



-------------------------​



Satu bulan kemudian,
Akhir Maret, 2020


Malam di Metropole terasa begitu indah. Cerah, dengan langit bertabur bintang dan gemerlap cahaya lampu pencakar langit kota yang membentang bagai kumpulan kunang-kunang. Aku berusaha tampil cantik dan luar biasa di malam itu. Mengenakan dress party ketat bermodel kemben, kutonjolkan secara maksimal lekukan tubuh dan keelokan tubuhku pada semua. Terutama, pada Rizal kekasihku. Aku ingin ia bangga bahwa ia memiliki pacar yang sungguh cantik dan mempesona. Aku ingin semua orang iri pada Rizal, karena dia sungguh beruntung memiliki wanita seperti aku.

Suasana di dalam Balaclava Lounge and Bar tampak meriah dijejali pengunjung. Hampir tak mungkin rasanya mencari sudut sepi yang tak berhias obrolan ceria penuh canda. Sambil duduk di sebuah sofa berbentuk L ditemani beberapa minuman, bola mataku menjelajah berkeliling. Kalau tak sekedar pernah bertemu atau melihat, rasa-rasanya aku mengenal semua orang yang ada di sini. Ah, tentu saja! Karena hari ini adalah pesta perayaan ulang tahun Cello Studio yang kedelapan!

Dan bagi kami, khusus team-O yang ditugasi membuat game ‘Pudding Caramel’, pesta ini juga sekaligus sebagai perayaan rampungnya proyek kami. Tinggal finishing touch saja. Aku semakin optimis dengan game ini. Karena bukan hanya DJ Ricko, Vivi juga berhasil menggaet seorang idol nge-hits yang kini jadi pujaan banyak remaja bernama Rapthalia, untuk ‘tampil’ sebagai cameo di game tersebut. Gila, aku tertawa dalam hati, sahabatku itu memang agresif kalau sedang serius melakukan sesuatu!

Oh ya, aku hanya bisa membantu Vivi dalam usahanya lakukan ‘negosiasi’ dengan DJ Ricko. Selepas itu, Jessy menggantikan posisi aku berduet dengan atasanku tersebut dalam negosiasi-negosiasi lainnya. Sebabnya? Jelas karena aku dan Vivi dimarahi Rizal. Dan, dia tak suka aku dicabuli cowok lain, hihi. Duuh~ Rizal itu sebenernya ngegemesin loh kalo sedang cemburu.

“Cath, bisa ikut aku sebentar?”

Aku menoleh kebelakang. Kulihat Rizalyang malam ini luar biasa tampanmenyentuh bahuku.

Uhmm, kemana, Sayang?”

“Ngobrol ama bos-bos, hehe. Biar kamu sedikit lebih deket aja.” Rizal bekata, lalu ia menurunkan suaranya setengah berbisik, “Bagus buat karir, hahaha.”

Aku tersenyum dan menaruh gelas wine ku di meja. Setelah pamit lambaikan tangan pada Jessy dan Mono yang duduk di dekatku, aku pun melangkah anggun mengikuti kekasihku.

Rizal membawaku berjalan melewati panggung serta meja bar utama ke sebuah tangga. Naik ke atas, kami tiba di sebuah balkon lounge di mana lebih sedikit orang hadir di sana. Area VIP kurasa, karena dari tampilannya saja, ruangan ini jauh lebih classy alias berkelas. Dan, dari tempat ini pula aku bisa melihat serta mengamati suasana bawah yang dipenuhi pengunjung. Kalau di teater atau gedung pertunjukan mewah, tempat semodel ini biasanya ditempati raja atau pembesar-pembesar negeri, hihi.

Aku berjalan malu-malu dan merapat manja ketika Rizal mendekati dua orang lelaki yang mengobrol intens dengan satu gelas wine tergengam di tangan. Tentu, aku tahu siapa mereka. Satu orang yang berpostur gagah dengan facial hair agak beruban berusia empat puluhan, adalah Pak Arkan, sang CEO perusahaan. Sementara di depannya, lelaki berkulit putih khas turunan Chinese, adalah pak Edison, Chief Financial Officer.

“Hai, Rizaldi! Lagi seneng nih kayaknya, kamu, hahaha. Kapan kalian menikah?” Sapa Pak Arkan ramah berjabatan tangan dengan pacarku. Ia lalu beralih padaku, dan mengangkat gelasnya. “Happy night, Cathy. Mudah-mudahan kamu tabah dengan si Pencemburu ini. Dia… suka main iket-iket tali, bondage, hahaha.”

Aku terkikik sopan sambil menutup mulut mendengarnya. Rizal, yang jelas tengah kaget tiba-tiba di roasting, cuma bisa mengkerut pasrah, hihi.

Shibari itu namanya, Ar. Kayak yang di film aku tunjukin waktu itu kan?” Pak Edison malah menambahkan, Rizal semakin gelisah. Lucuuu~

Untuk menambahkan efek siksa, aku pun berkata genit pada mereka. “Gak masalah, Pak. Aku seneng kok layanin fantasi Rizal. Kebetulan, aku suka role playing.”

Woooooo!”

Seketika, kedua bos tengil ini pun tampilkan wajah terkejut mesum dengan mulut membulat jahil menatap kami berdua. Mereka lalu tertawa-tawa, menepuk bahu Rizal seraya memuji-muji aku, hihi.

Emmm, rencana, sih, paling cepet enam bulan kedepan, Pak, kami menikah. Tapi tergantung keadaan juga, sih. Mudah-mudahan aja bisa terlaksana.” celetuk Rizal cepat ingin mengganti topik. Pak Arkan pun lekas mengangguk-angguk

“Oh gitu. Saya doakan, deh, semoga lancar,” ucapnya.

“Tapi, kamu nanti bulan depan jadi pindah kerja?” Pak Edison menukas santai. “Soalnya, masalah dengan Frenda… kayaknya dia udah mulai cool down. Dia udah dapet kecengan baru, kupikir. Kemaren, saya kenalin dia ama temen saya. Duda, mapan. Keliatannya, dia suka. Saya rasa… dia gak bakal neror atau kejar-kejar kamu lagi, Al.” paparnya jelas dan lugas. Namun, Rizal menggeleng.

“Saya udah perjanjian lisan dengan temen Pak Arkan, Pak. Gak enak juga kalo batalin, hehe.” ujar pacarku. Aku pun tersenyum manis mendengarnya.

“Cepet nikah dan punya anak, Al.” seloroh Pak Arkan terbahak riang, “asal tau aja, karir saya dan si Edison ini mulai naik setelah kita menikah. Punya momongan. Hidup jadi lebih tenang dan terukur, hahaha.”

Aku ikut tertawa mendengar bos besarku ini tertawa. Entahlah, mungkin tawa orang ini tergolong toxic plus menular, hihi.



“Okeee~ Malam semuanyaaaa! Hari ini aku ingin sumbang satu lagu buat kalian semuaaa~”

EH? Aku terkesiap. Telingaku mendengar teriakan suara yang amat kukenal dari atas pangguung sana. I-Itu… Vivi! Ngapain, sih, dia?

Aku dan Rizal lantas berpandangan. Lalu, merapat ke ujung balkon untuk melihat lebih jelas, dari atas. Bwahahaha, dasar gila! Kelakuan Vivi emang suka gini, nih, kalau lagi turn on.

“Tapi sebelum itu… aku ingin sampaikan kabar buat kalian semua. Mau denger?”

“Mauuuu!”

Terdengar gemuruh teriakan menjawab, Vivi langsung mendekatkan mic-nya, menggenggam erat, dengan wajah sok sok dibuat serius. Ah, sok ngartis deh. Apaan si?

“Kemarin… aku baru putus dengan pacar aku. D-dia ninggalin aku. Jadi, aku sekarang… jomblo!!!”

“YEAAAAAAAA!”

APA? Tak bisa diungkapkan rasa kaget serta terkesiapnya hatiku! Vivi? Putus? Sama Kevin?

Ya Tuhan…

Kapan ini? Kenapa dia gak cerita dulu ama aku???

Aku dan Rizal diam membatu di tepi balkon. Jelas, para rekan kantor pria seketika histeris mendengar kabar itu. Bak serigala lapar melihat daging segar, mereka merapat penuh ke depan panggung. Tangan terkepal di udara. Yel-yel, “VIVI! VIVI! VIVI!” menggema seantero lounge.

Dari kejauhan, aku berusaha menatap ekspresi wajah Vivi. Sepertinya, ia tampak sedih dan stress, namun berusaha ceria. Musik pun menggema, dan ia mulai melangkah ke depan panggung. Sorot lampu menyinari tubuhnya yang berlenggok penuh energi. Lalu… ya ampun, lagu ini….

Lagu yang sering kudengarkan pasca aku diceraikan Farhan! Untuk menghibur diri!

Sudah lama… sudah lama aku tak memutarnya lagi. Aku telah melupakan Farhan, mantan suamiku!





-------------------------​




Epilogue
Suatu waktu, di satu tempat


Aku tersenyum lebar satu detik setelah aku membuka mata. Sinar pagi menerawang tirai jendela dengan amat cerah. Udara dingin nan sejuk menerpa. Aku telentang, telanjang bulat di atas ranjang besar ini. Mimpi tadi malam sungguhlah membuatku senang. Sangat indah, seindah jalan hidupku saat ini.

Hampir dua tahun aku bekerja di Cello Studio, dan tampaknya masa depan karir semakin cerah saja. Aku selalu bekerja secara bahagia dan penuh semangat. Rizal memang tak sekantor lagi denganku. Suamiku itu kini bekerja di perusahaan advertising yang pernah kami bicarakan dulu. Namun, itu sama sekali tak menghalangi performaku. Malah, aku semakin giat, karena tak ada cowok ganteng lagi yang menggoda konsentrasiku, hihi.

Anyway, intinya sih, semua berawal dari game ‘Pudding Caramel’ sebagai karya pertamaku (dan tim) di Cello Studio. Game yang awalnya hanya dianggap ‘sampingan’ dan bukan produk unggulan itu, ternyata populer di pasaran. Vivi sungguh jeli mengambil DJ Ricko sebagai pembuat OST dan Raphtalia sang Idol Cameo. Semua orang membicarakannya. Bahkan, mereka yang tak suka bermain game pun ikut membahasnya dari sisi cerita dan graphic. Kaos-kaos serta merchandise dengan gambar karakter Divi serta ‘gadis-gadis’-nya di game tersebut bertebaran. Thanks to Rizal, yang membuat ilustrasi karakter yang keren dan cakep dipandang. Dan aku yakin, sebentar lagi akan dijadikan film. Karena denger-denger, sudah ada pembicaraan di atas sana dengan sebuah studio ternama.

Tapi, akhir-akhir ini, aku harus hemat tenaga dan pikiran dalam bekerja. Bahkan, izin cuti pun sudah aku pikirkan. Yah… apalagi kalau bukan karena kehamilanku yang menginjak lima bulan, hihi.

Perlahan, aku membelai perutku yang mulai membulat besar berisi bayi milik Rizal. Aku merasa seksi dengannya, terbukti dengan meningkatnya nafsu suamiku untuk mencumbu-cumbui badanku, hihi. Tapi, kita stop dulu yaa~ bermain bondage dan iket-iketannya. Kasian soalnya adek bayi-nya, huhu. Eh, ssst.

Hmm, udah bangun, Cantik? Mau aku pesenin sarapan?”

Aku menggeleng pelan pada sosok lelaki gagah yang baru saja keluar dari kamar mandi. Ia melangkah tenang dekati ranjang, lalu menghempas tubuh memeluk erat diriku. Dia telanjang, perlihatkan otot-ototnya yang kekar. Aku bisa merasakan batang penisnya menyentuh pahaku. Uuuh~

“Nggak, Daddy, nanti aja,” bisiku lembut pada lelaki yang kini kusebut ‘Daddy’ itu, hihi. Kadang, kupanggil juga Papa.

“Boleh aku nikmatin tubuh kamu, Sayang?” mengerang lembut, ia meremas buah dadaku. Aaaah~ harus kujawab apa memangnya? Terpejam erat, aku pun berdesah-desah penuh syahwat.

Sambil memilin-milin puting susuku, aku bisa merasakan lidahnya yang nakal mengecup sayang leherku. Ia menjilat bahuku, ketiaku, gundukan bulat payudaraku, serta turun ke bawah mencium lembut perut hamilku.

Oooouhss~”

Refleks, aku pun mengangkang lebarkan paha kala belaian lidahnya terus merambat ke area kehormatan. aku menggigit-gigit bibir, punggungku melenting kejang, dengan kaki bergetar merasakan kelentit mungilku dihisap-hisap dan dikulumi.

Aaaaah, Daddymmmh~”

Aku memang belum mencukur bulu kemaluan, jadi, bisa kurasakan nafasnya yang berat mengendus-endus di rambut pubisku. Oooh, aku benar-benar dimanjakan pagi ini. Jujur, semenjak menikah dengan Rizal, entah mengapa aku jadi suka daging memeku dijilat-jilat. Ada satu perasaan intim tak terjelaskan kala organ paling rahasia kita dicumbu-cumbui.

Oh, Daddyfuckhhh!”

Sengat-sengat birahi pun kian membuas kala liang peranakanku diterobos oleh lidah yang mencolek-colek lembut. Isi bagian dalam vaginaku merembes basah. Bisa kurasakan pasti cairan lubrikasi yang kuproduksi mengalir keluar. Aku selalu meminta Rizal menciumi celah memeku tiap kali kami akan lakukan hubungan suami-istri. Selain karena bisa cepat membuat licin… rasanya pun… uuuh~ sungguh enak! Dulu aku selalu malu meminta lelaki untuk mencumbu selangkanganku. Tapi kini… ah, sama suamiku sendiri? Kenapa harus gengsiii~?

Fuck me, Daddy… pengen ngentooot~” rengeku binal resah menggeliat-geliat. Aku benar-benar sudah hilang akal. Lagi-lagi, hilang akal! Dan, aku janji, ini yang terakhir. Ya, aku berjanji! Yang terakhir kalinya aku mau disetubuhi oleh kedua orang ini!

“Wah, wah, wah… pagi-pagi udah napsu aja lo ama ibu hamil, Ar?” tiba-tiba, muncul sesosok lelaki lainnya dari balkon kamar hotel. Aku bergidik tegang saat Pak Edison memelorotkan celana kolornya. Tuinggg… penisnya yang panjang mengayun-ayun menunjuk ke wajahku. “Bagi-bagi dooong~”

“Berisik lo, ah. Mandi dulu sana.” sahut Pak Arkan mengangkat kepalanya dari selangkanganku, sebelum turun kembali menyeruput-nyeruput lendir vaginaku. “KYAAAAAH!”

“I-Ini yang terakhir, ya, D-Daddy! A-Aku… besok gamau lagi kaya giniii!”

“Iya, iya~ enak banget nih memek kamu, Cath. Mmmmmh~ gurih.”

Ih, dia dengerin aku nggak, sih? Aku pun menutup wajah dengan kedua tangan, saat pak Edison bukannya mandi, malah ikut bergabung mencucup-cucup puting payudaraku!

Slrrrphhslrrrphslrrrph

Suara decak nafsu dua lelaki ini membuatku merinding. Mereka seperti kesetanan mencabuli badanku yang sedang hamil ini. Aku bingung harus gimana. Bolehkah aku laporkan kelakuan dua buaya darat ini ke istri-istri mereka? Kalo gitu, aku juga dong ujungnya yang kena!

Arrgh, sial! Kenapa, sih, aku ini?
Rizaaal~ hiks, tolong aku!






------ TAMAT -----
Keren ceritanya... thanks buat penulisya atas karyanya.....
 
Diaz Diaz ...

Ijin baca saja ya kalau begitu. :baca:

:halo:
 
Selamat om andrediaz ceritanya menjadi juara 1 :D

Ga salah pilih kemaren vote cerita ini.

Btw Goodbye my stupid school di lanjut lgi dong om, ane ngefans bgt sama itu cerira hehe :D
 
Haloo juara 1 LKTCP 2019.

Diaz ga butuh komen penilaianku kan ya? Hahaha selamat ya?
 
kunjungan benda tumpul :bata:



Kalau ingat-nya kecil bgt... :takut:



hehehe, thanks, Om :ampun:



waah, thx ya udah vote :kk:

duh, itu cerita lama, brad, gk bisa dilanjut soalnya char kimcil under 18 :pandaketawa:



lah, kenapaaa? butuh dong :takut:

btw, thanks yaa :ampun:

Aku ga suka mempermalukan sang juara.

Wkwkwk
 
Status
Please reply by conversation.
Jav Toys
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd