Agen Terpercaya  
 
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

CERBUNG (Copas) Ayu majikan yang menikahi pembantunya ( cuckold)

User di-banned, maka konten otomatis dihapus.
User is banned, content is deleted automatically.
 
BAB VIII : KONVERSI


Ayu Sofia Filayeti


Dengan terbungkus hijab dan gamis syar’i, aku mulai mengenakan masker dan menggeser layar aplikasi MOE TV itu. Beberapa kali kugeser hingga layar ponselku memperlihatkan wajah sekumpulan anak SMA yang kelihatannya tengah nongkrong.

“Halo,” ucap salah seorang dari mereka, aku hanya melambai.

Satu orang kelihatannya sedang bermain gitar, dua yang lain bernyanyi, sementara dia sendiri menatap layarku.

“Weh, ukhti cok, cakep kayaknya,” bisik temannya yang satu sesaat setelah melihatku.

“Namanya siapa, mas?” tanyaku.

“Fadli, mbak. Mbaknya siapa?” tanyanya balik.

“Ayu,” jawabku singkat.

“Oh, sendirian aja Mbak Ayu?” ucap Fadli dengan cengengesan.

“Ngga, sama majikan nih, mau persiapan malam jum’at,” balasku mengerling nakal.

“Jir lah, iya malam ini malam jum’at, Rip!” Dia menyenggol temannya yang sedang bermain gitar, mereka yang di belakangnya pun tertawa sambil lanjut bernyanyi.

Sayangnya suara berisik itu tiba-tiba redup saat batang kontol milik Pak Danang masuk ke layar ponselku. Seketika itu pula Fadli dan teman-temannya terpaku menatap layar. Mungkin mereka kaget melihat ukuran benda milik Pak Danang lalu lebih kaget lagi melihat wanita berhijab sepertiku sedang mengocok benda itu tanpa malu sedikitpun.

“Minggir cok, minggir! Gue juga mau lihat!”

“Ahhh, sana lu sana! Gue duluan disini, cok!”

“Njirlah, ukhti naughty banget!”

Remaja-remaja itu pun berdesakan di depan layar melihatku dengan tatapan penuh nafsu, membuat dadaku berdebar-debar—mereka semua terlihat ingin mendapat perlakuan yang sama dariku namun tidak mampu dan hanya bisa melihat aksiku di balik layar. Aku pun makin semangat untuk mengocok batang milik Pak Danang dengan bermandikan tatapan mesum dari remaja-remaja bau kencur itu.

“Duh, gue sange cok!”

“Sama, gue juga blok!”

Aku terkekeh kecil melihat tingkah mereka, kulepaskan maskerku dan kuoleskan batang kejantanan Pak Danang di bibirku sebelum kemudian kuoral benda itu. Aku tersenyum menatap wajah mupeng anak-anak itu yang tampak sesak melihatku.

“Gimana sayang, suka kontolnya?” tanya Pak Danang.

“Ssslrpphhhh …. Sslllrpphhhhh popphhhh …. Iya …. Suka …. Lebih gede dari punya Mas Rian,” jawabku sambil melepas oralku lalu menaruh batang hangat itu di pipiku.

Pak Danang yang sudah telanjang pun menaruh tubuhku di pangkuannya. Dia mulai meremas-remas dadaku yang masih ditutupi gamis dan dengan bangga mempertontonkannya pada publik—membuktikan bahwa akhwat seperti kami pun cepat atau lambat pasti bertekuk lutut pada batangnya yang perkasa.

“Hahhhh …. Sesek!” rintih Fadli yang kelihatannya terganggu dengan celananya, aku tertawa kecil melihat tingkah mereka yang sudah sama-sama sange namun tak mampu bermasturbasi karena malu dengan masing-masing, sebagian hanya mampu menggosok-gosok batang kontol kecil mereka dari luar celana sambil menikmati tayangan nakalku.

“Sshhhhhh … Duuhhhhh …. Enak bangetttt diremes terushhhh …. Buka aja ngga ya?” tanyaku.

“Buka mbakkkk!! Bukaaaa!!” teriak mereka dengan semangat, aku pun tertawa mendengarnya.

“Nakal ya kalian,” balasku sambil menarik lepas gamisku dengan bantuan dari Pak Danang.

Saat melihat kulit putihku yang masih tertutup beha dan celana dalam seketika itu pula semua remaja itu mendesis kesetanan. Siluet batang bau kencur itu tampak tegang dan membuat sesak celana mereka masing-masing.

Aku menjilat tipis bibir bawahku merasakan nikmatnya perasan demi perasan tangan Pak Danang di buah dadaku. Syahwat memenuhi relung dadaku, betapa bangga rasanya aku saat membayangkan mereka terangsang dibuat pejantanku. Tak ada lagi rasa malu. Sebuah perasaan baru muncul bak kembang api dalam tubuhku kala mempertontonkan auratku di hadapan orang lain.

"Jir gede banget cuk, kalah punya elu Ndri sama bapak itu."

"Boi, ngga disunat tuh, anjirlah!!!"

Kembali remaja-remaja itu mendesis kesetanan saat Pak Danang menarik lepas bra milikku. Aku memainkan bibirku menggoda anak-anak itu sambil menutupi dadaku dengan hijab yang masih kukenakan.

"Sssshhhhh .... Buka lagi mbakk!! Kasih kita intip dikit!!" pinta mereka menyemangatiku.

"Duh tadi udah keliatan cuk, dikit."

"Itu tuh mancung mancung tuh di hijabnya."

"Fad, gedein lah layarnya biar lebih jelas!"

"Eh, Eh, Eh, Kalian tuh ya. Ngga boleh tahu ngeliat ginian. Haram hukumnya!" balasku sambil memeletkan lidahku.

Pak Danang menarik lepas celana dalamku lalu mengendusnya dalam-dalam di depan kamera. Dia menatap remeh remaja-remaja itu lalu berkata, "Makanya dek, sering-sering ikut kajian, biar bisa dapet lonte syar'i macam gini."

Anak-anak itu terlihat kesal dengan ulah Pak Danang—selain usianya sudah renta, wajahnya pun jauh dari kata standar namun bisa mendapatkan akses dari setiap jengkal tubuhku.

Aku berbalik memeluk Pak Danang sehingga kini baik dada dan bayangan vaginaku hanya menghadap pejantanku, sedangkan anak-anak remaja itu hanya mendapatkan gambaran dari punggung putihku dan sedikit belahan pantatku.

"Pak, Ayu minta izin mau masukin kontol bapak. Memek Ayu udah gatal. Kontolin memek Ayu yak Pak," pintaku pada Pak Danang.

"Hahaha, siap Non. Kontol bapak bakal selalu siap buat menggaruk memek Non Ayu," jawab Pak Danang penuh kepuasan saat mendengar betapa patuhnya diriku padanya.

Pak Danang meludahi sedikit tangannya lalu memoles batang kejantanannya dengan air liurnya. Aku melebarkan lubang milikku lalu menurunkan pinggulku membiarkan batang hangat itu mendobrak masuk dalam liang surgawiku.

"Uhhhhhh .... Ssshhhhhh .... Gede pakkk .... Uhhhh ...." Tubuhku berkeringat menahan sakit saat leher kontol Pak Danang masuk sepertiganya, aku terhenti di sana tak mampu meneruskan sampai Pak Danang pun tak sabaran lalu menekan pinggulku dengan tangannya hingga batang kejantanan miliknya masuk sepenuhnya dan membentur mulut rahimku.

"Aaahhhkkkkkk!!!" Aku menjerit saat benda itu masuk, rasa sakit dan nikmat bercampur jadi satu, terlebih ketika benda itu memenuhi setiap sudut dari lubang vaginaku rasanya aku dibuat Pak Danang terbang ke surga.

Pak Danang meremas dada kiriku yang tersembunyi di balik hijabku sementara mulutnya menghisapi dada kananku dari luar kain. Dengan sengaja dia membasahi kain hijabku seolah ingin meninggalkan penanda di sana.

"Goyang, Non!" perintah Pak Danang.

Aku pun meringis menahan syahwatku yang menggebu-gebu saat menarik pinggulku dari batang miliknya. Seolah tak rela batang kontol Pak Danang keluar dari tubuhku, dengan cepat kuhentakkan kembali pinggulku hingga menghantam keras pahanya. Berulang-ulang kulakukan hal itu sampai pejantanku mengap-mengap kubuat. Kupeluk lehernya dengan penuh bahagia sambil terus fokus menggoyangkan pinggulku naik turun.

PLOK! PLOK! PLOK! PLOK! PLOK!

Suara persetubuhan kami bergema di seluruh ruangan, setiap kali kepala penisnya mencium titik khusus dalam lubang vaginaku, setiap kali pula sengatan listrik terasa mengalir menuju otakku.

Kuhiraukan fakta bahwa saat ini kami melakukannya dengan ditonton oleh orang lain. Aku tak peduli. Aku malah bangga dengan tubuhku yang dijadikan bahan pemuas nafsu mata mereka.

"Kalau nyari cewe lonte .... Hhhhh hhhhh .... Kalian ngga bakal dapat genjotan macam ginihhhh .... Uhhh yahhh .... Akhwat yang tertutup gini dek yang nafsunya lebih gede ...." terang Pak Danang, pada kamera.

Aku merangkul dan mencium bibir Pak Danang dalam puncak birahi. Kurasakan jilatan demi jilatan lidahnya menyapu langit-langit mulutku dan beradu dengan lidahku. Suara gemercak ciuman kami kini ikut mewarnai suara gempuran pantatku yang menghantam pahanya.

"Uhhhhh .... Bapak mau keluar Non!!!! Ahhhhh!!!!" Pak Danang menahan ketiakku sehingga batang itu pun terlepas dari tubuhku. Aku mendesah kecewa saat pejantanku lebih memilih mengeluarkan spermanya di luar ketimbang di dalam rahimku.
Pak Danang nampak muncrat dengan kuat beberapa kali, hingga cairan miliknya beberapa terpercik hingga ke layar ponselku. Setelah puas mengeluarkan semua spermanya, dia melonggarkan pegangannya di ketiakku hingga aku pun jatuh kembali di pangkuannya dengan napas tersengal-sengal.

"Bapak ahhhh .... kok keluarinnya di luar!" ucapku sedikit merajuk, dia pun tertawa sumringah mendengarku.

"Kalau Non segitu sayangnya sama peju bapak, bersihin dong!" jawabnya santai, aku mendengus kesal lalu turun dari pangkuannya dalam keadaan terengah-engah.
Kuambil kembali ponselku, nampaknya beberapa menit yang lalu akun MOE TV milikku dibanned dari sistem. Tidak heran sih, ini sudah kesekian kalinya aku dan Pak Danang bercinta di depan layar secara live.

Kujilati peju milik Pak Danang yang menempel di layar ponselku hingga bersih. Aku pun merangkak di lantai sambil menjilati percikan-percikan sperma pejantanku yang ada di karpet.

PLAK!

"Auhhhh!! Sakittt!!" rintihku saat Pak Danang menampar pantatku dengan gemas, aku merangkak ke arah lain sambil melenggok-lenggokkan pantatku menggoda Pak Danang agar dia kembali melakukan hal yang sama.

Setelah semua peju Pak Danang yang berceceran di lantai habis kubersihkan. Aku berdiri dan melangkah menuju kamar mandi diikuti dengan pejantanku. Tentu saja kami kembali bercinta dengan penuh gairah di dalam sana, merayakan hari dimana kehidupan membosankanku sudah resmi berakhir.



Keluar dari kamar mandi, aku dan Pak Danang pun mengenakan pakaian kami masing-masing. Saat aku mengenakan jilbabku, pejantanku tiba-tiba memeluk tubuhku dari belakang dan mencium pipiku dengan mesra.

“Pak Danang … Aaah~ Nanti Ayu mandi wajib lagi loh. Kapan bisa berangkat acara nanti,” erangku manja.

“Biarin, Non. Ngga usah mandi. Ngga usah pakai baju aja sekalian berangkatnya. Biar pakai jilbab aja cukup!” balas Pak Danang, aku bergidik panas membayangkannya, kira-kira apa jadinya kalau tubuh telanjangku dipandangi para ikhwan jamaah yang lain, pasti bakal seru.

“Udah ah, sarapan dulu sebelum berangkat!” Aku melepaskan diri dari cengkramannya dan berjalan menuju dapur diikuti pejantanku di belakang.


Lidya Eka Wulandari


“Duh, mesra banget ya, pagi-pagi. Udah kayak pengantin baru aja,” goda Kak Lidya yang duduk santai di meja makan, sementara Mas Rian—suamiku tengah memasakkan makanan buat kami.

Aku tersipu malu mendengarnya. “Kapan datangnya, kak?”

“Daritadi juga udah datang, kalian sih kelamaan genjot-genjotan di kamar mandi lalu ngga sadar. Untung Rian denger aku ketok-ketok pintu,” jawab Kak Lidya sambil meneguk kopi miliknya.

Pak Danang pun duduk di samping Kak Lidya, sementara aku berjongkok di bawah meja dan menarik celananya. Kuciumi batang tak bersunat itu lalu kumasukkan ke dalam mulutku, kudengar priaku melenguh tertahan saat menikmati servis mulutku sambil menunggu sarapan siap.

Awalnya Pak Danang merasa canggung aku melakukannya di depan Mas Rian dan Kak Lidya, namun seiring berjalannya waktu dia pun paham bahwa kami berdua sudah bukan diri kami yang dulu, semua telah berubah dan dia kini paham bahwa sosoknya adalah salah satu yang memegang kekuasaan di rumah ini.
“Udah lama loh aku ngga pernah makan masakan Rian lagi, bikin apa nih kali ini?” tanya Kak Lidya.

“Omelet sama coba masak udang saus tiram nih,” jawab Mas Rian.

“Wah, Enak tuh. Enak ‘kan ya Pak Danang masakannya?” tanya Kak Lidya.

“I-Iya Nonnhhhh …. Uhhhhh Enak bangettt …. Rasanya saya kayak di surga ….” jawab Pak Danang dengan napas berat.

Aku melepaskan servisan mulutku lalu menaruh batang hangat itu di pipiku dekat jilbabku, sementara tanganku mengocok pelan benda itu hingga tegak sempurna.

“Waduh, pantes Ayu sampai ketagihan. Gede juga punya kamu, Nang. Kalau ukuran segitu sih, cewe manapun yang kena tusuk bakalan kecuci bersih otaknya kamu buat,” lanjut Kak Lidya tertawa kecil.

“Hehe …. Makasih, Non,” sahut Pak Danang senang, aku yang berada di bawah meja pun tersenyum bangga saat batang perkasa milik pejantanku mendapat pengakuan dari Kak Lidya dan lanjut menghisapi buah zakarnya.

Mas Rian pun nampak menyelesaikan masakannya dan menyajikannya di atas meja. Dia kemudian lanjut berjongkok di bawah meja tepat di sampingku dan memasukkan kepalanya ke bawah gamis Kak Lidya. Dia menggigit celana dalam Kak Lidya—berusaha melepaskan kain segitiga itu tanpa menggunakan tangannya. Kak Lidya menangkat kedua kakinya hingga Mas Rian pun berhasil melepaskan celana dalamnya, suamiku pun lanjut menciumi selangkangan Kak Lidya dengan penuh gairah.

“Ssshhhh …. Huhhhhh …. Enak banget masakannya, Rian. Bakat memang kamu ini jadi suami rumah tangga …. Uhffff Ahhhh Yesssshhh …. Iyah, disitu terus ….” erang Kak Lidya di tengah suapannya.

“Iya nonnhh …. Uhhhhh …. Kalau saya …. Ohhh …. Jarang dimasakin kayak gini …. Sesekali doang …. Kalau bapak lagi di rumah, saya disuruh makan di luar ….” sahut Pak Danang yang juga merintih di tengah makan menikmati servisanku.

“Kamu ngga pernah dimasakin, Rian? Uhhhh …. Yessshhhh …. Waduhhh, gimana sih kamu, Yan? Ngga boleh gitu loh …. Biarpun dekil gini bisa muasin istri kamu loh …. Nanti sering-sering masakin Pak Danang ya, Rian …. Uhhhh ….” lanjut Kak Lidya sambil mendesis di tengah-tengah servisan Mas Rian.

“Siap, Nyonya!” jawab Mas Rian singkat sambil terus menjilati lubang Kak Lidya.

Tampak suara sendok jatuh disertai dengan paha Pak Danang yang menegang. Dipeganginya kepalaku yang berbalutkan jilbab lalu dipompanya seolah-olah mulutku hanyalah mainan pemuas nafsunya. Aku menepuk pahanya beberapa kali namun pejantanku itu menghiraukannya dan fokus mengejar kenikmatan duniawi yang disuguhkan mulut akhwatku.

“Ohhhhh …. Ohhhhh mantephhh nonnn ….” Pak Danang menekan dalam-dalam kepalaku hingga bibirku mencapai pangkal batang perkasanya dan menembakkan lahar panas miliknya di dalam tenggorokanku.

Rasanya lemas sekali karena udara kian menipis, aku batuk setiap kali menerima tembakan spermanya di kerongkonganku hingga sebagian dari peju Pak Danang keluar dari lubang hidungku.

“Fuahhhh …. Ohkk ohkk ohkkkk …. Hahhh hahhhh ….” Aku menarik napas lega saat Pak Danang akhirnya melepaskan pegangannya dari kepalaku, aku batuk beberapa kali hingga cairan kental milik Pak Danang berceceran sebagian di lantai.

“Ssshhhhhh …. Ohhh iyahhhh terus Yannnn …. Aku mau nyampeee …. Ahhhhhh ….” Kak Lidya ikut menegang, kedua pahanya menjepit erat kepala suamiku hingga tubuhnya bergetar beberapa kali dan disusul dengan rasa lemas setelahnya.

“Sshhhh …. Fuuuhhhh …. Lap pakai dalemanku, Yan!” perintah Kak Lidya, Mas Rian pun dengan patuh menyeka cairan-cairan bening di paha Kak Lidya memakai celana dalam wanita.

Aku menyeka sedikit cairan Pak Danang di ujung bibirku sebelum kemudian Kak Lidya nampak menyodorkan sebuah kain hitam padaku yang diambilnya dari dalam tasnya.

“Nih, Yu. Lap pakai itu aja!” ucap Kak Lidya, aku pun menurutinya dan mengelap sisa-sisa peju Pak Danang di lantai berikut sebagian di mulutku.

“Kain apaan ini, ‘kak?” tanyaku.

“Oh itu cadar. Habis ini kamu pake ya biar ngga digodain ama ikhwan-ikhwan nanti pas acara,” jawab Kak Lidya dengan santainya.

Darahku berdesir mendengar perintah Kak Lidya, kain ini baru saja kupakai untuk mengelap cairan pejantanku kini harus kupakai di ruang publik. Aku pun mulai mengenakan kain cadar itu lalu keluar dari bawah meja, saat aroma asing dari bekas peju Pak Danang memasuki indera penciumanku seketika itu pula syahwat serasa memenuhi tubuhku.

Sementara pejantanku kenyang dengan makanan buatan suamiku, aku kenyang sarapan peju darinya, sungguh kegiatan di pagi hari yang sangat membahagiakan.

“Acaranya hari ini dimana Lid?” tanya Mas Rian yang ikut keluar dari bawah meja.

“Katanya sih di Aula kampus gitu, Institut Informatika & Bisnis. Kebetulan kemaren pas ada temen juga nawarin, yaudah aku ikut aja.” Kak Lidya mengangkat sebelah kakinya sementara Mas Rian memakaikan kembali celana dalam Kak Lidya yang sudah basah kepada wanita itu.

“Rian sama Pak Danang ikut aja, kita double date gitu sesekali,” tawar Kak Lidya, keduanya pun saling memandang satu sama lain, tentu saja mustahil menolak kalau Kak Lidya sudah punya keinginan.

Kami berempat pun berangkat dalam satu mobil. Sementara Pak Danang dan aku saling meremas tubuh masing-masing di kursi belakang, Kak Lidya mengocok batang kecil milik Mas Rian yang tengah menyetir. Kulihat keringat di matanya mengalir saat kami bertukar pandang di kaca supir, namun aku hanya tertawa remeh. Dasar pecundang, umpatku dalam hati.

“Ahhhhh ….” Aku mendesah nikmat saat kedua tangan Pak Danang memainkan ujung putingku dari luar gamisku, tangannya kemudian merayap menuju kain cadarku, ditekannya keras hingga kain itu menempel erat di hidung dan mulutku hingga aroma peju miliknya yang sudah mengering menusuk masuk dalam penciumanku.

“Hmmmhhhh!!” Aku menjerit tertahan dalam kenikmatan, mataku berkaca-kaca didera siksa dan nikmat birahi disaat bersamaan.
Sayangnya mobil Mas Rian tiba-tiba melambat karena kami sudah tiba di tempat tujuan. Mas Rian masuk ke area parkiran dan memarkirkan mobilnya dengan sisa tenaganya. Dia terengah-engah di kursi sambil bersandar di pintu mobil.
Kak Lidya mengelap cairan Mas Rian di baju lelaki itu hingga tangannya bersih kembali sebelum membuka pintu dan keluar bersamaan denganku.

“Bentar, bentar, pasang ini dulu.” Kak Lidya berhenti dan merogoh tasnya.

Aku terkejut melihat Kak Lidya ternyata membawa vibrator dan satu buah dildo. Dia kemudian berjongkok di depanku lalu mencoba memasangkan vibrator berbentuk telur itu di dalam liang senggamaku.

“Ahhhh …. Kakkk …. Ayu mau diapain!” Aku menjerit tertahan, tubuhku bergetar sehingga benda itu pun lepas sebelum terpasang masuk.

“Duh lepas ‘kan! Danang bantu pegangin sini!” perintah Kak Lidya, sehingga Pak Danang pun dengan sigap turun dari mobil lalu memegangi tubuhku.

“Geli kakkkhhh …. Aduhhhh …. Kakkk Ayu ngga tahaannnn ….” ucapku terus menggeleng saat benda berbentuk telur itu masuk ke dalam lubang vaginaku dan bergetar lembut di sana.

Beruntung celana dalamku sedikit banyak menahan benda itu hingga tidak keluar lagi, Kak Lidya dengan sigap melilitkan kabel benda itu melingkar di pahaku sehingga kini hasil karyanya pun selesai sudah.

Aku duduk berjongkok melepaskan diri dari Pak Danang sambil menahan getaran di selangkanganku. Memang hanya bergetar kecil bak settingan nada dering ponsel, namun karena terjadi terus menerus aku jadi panas juga dibuatnya.

Selagi aku berjongkok menahan geli yang menjalar hingga ke perutku aku disuguhkan dengan pemandangan erotis dimana seorang akwat berjilbab tengah mencolokkan dildo yang ukuran cukup besar ke dalam liang vaginanya sendiri. Kak Lidya tampak menahan lenguhannya sekuat mungkin saat benda itu masuk seluruhnya ke dalam lubang senggama miliknya. Celana dalamnya dia gunakan sebagai penahan agar benda itu tak jatuh, sebelum kemudian menghidupkan mode getar dildo tersebut dan mengikatkan kabelnya di pahanya. Kak Lidya pun menurunkan gamisnya yang sukses menutupi tingkah binatangnya saat ini.

“Yuk, kita masuk. Udah siap semua nih,” ucap Kak Lidya.

“Mana bisa gerak kak kalau kayak gini,” balasku lemah.

“Aduh, kamu ini, Yu. Nanti juga terbiasa kok. Kakak tiap kali ikut kajian pun juga kayak gini,” jawab Kak Lidya yang sontak membuatku bak tersambar petir. Jadi, selama ini dibalik gamis Kak Lidya tersembunyi hal sebejat ini? Dan dia melakukannya di tengah orang banyak tepat saat ceramah agama pula? Ya ampun, sejauh apa aku ingin dirusaknya pikirku.

Dengan tarikan tangan Kak Lidya aku berusaha berdiri, aku bisa berjalan meski agak tertatih. Kucoba membiasakan diri dengan getaran di celanaku agar tak ada yang curiga kelakuan bejatku saat ini.

“Assalammualaikum, Lidyaa!!”

“Waalaikumussalam, Ukhti Niaa!!”

Kelihatannya Kak Lidya berpelukan dengan salah satu kenalannya. Mereka tampak bercendikia dengan santainya. Andaikan perempuan bercadar itu tahu apa yang ada dibalik gamis Kak Lidya apakah dia masih akan memeluknya dengan perasaan yang sama, pikirku.

“Ya ampun, sendirian aja, ukh? Suami kemana?” tanyanya.

“Lagi kusuruh jaga anak di rumah. Aku bareng sama temen ni, ukh!” jawab Kak Lidya sambil menarikku mendekat.

“Salam kenal, ya ukhti. Nama ana, Nia. Ana temen Lidya yang ngajakin kesini kemarin.” Dia menjulurkan tangannya padaku.

“S-S-Salam kenal, ukh …. A-Ana Ayu …. Ohhhh ….” Aku mengaduh hingga tanganku sedikit terpeleset saat ingin menyalami Kak Nia.

“Astagfirullah, kenapa ukh? Ukhti sakit?” tanyanya dengan nada khawatir.

“A-Anu, ukh …. S-Saya lagi ada isinya ….” balasku sambil menyambut tangannya.

“Alhamdulillah! Syukurlah kalau udah ada isinya. Yang pertama ya, ukh? Atau yang kedua?” tanya Kak Nia.

“Y-Yang pertama kali,” balasku menahan keringat.

“Ya ampun, kuat banget niatnya ukh, sambil lelah mengandung tetap menghadiri kajian. Semoga lancar sampai lahiran ya, ukhti.” Kak Nia menyambut tanganku dan aku tertawa hambar mendengarnya sambil menikmati getaran vibrator di lubang senggamaku.

Ceramah kali ini diisi oleh salah satu Ustadzah Oki yang namanya cukup kondang di telinga kami, sehingga Aula tempat kami sekarang sebentar saja sudah cukup penuh disebabkan antusiasme para ukhti dan ikhwan suami mereka yang menemani.

Selagi aku duduk gelisah di kursi, Kak Lidya tampak dengan tenang bertukar cakap dengan teman-teman yang lain. Aku kagum dengan air muka Kak Lidya yang tampak tak ubah sedikitpun padahal dildo kini tengah menancap dan bergetar di selangkangannya, sementara aku sudah kelojotan menahan nikmat padahal acara saja belum dimulai.

Saat Ustadzah Oki memulai ceramahnya semua tampak dengan antusias mendengarkan, bahkan yang main hape hanya sebentar sekadar mengecek pesan lalu menaruh lagi ponselnya ke dalam tas.

“Sampaikan sama suami-suaminya bu. Jagalah pandangan kalau sama wanita di luar. Kalau melihat wanita di luar cepat-cepat pulang ke rumah karena sama aja bu, yang ada di wanita luar sama yang di rumah itu sama. Jangan sampai suami-suami kita jatuh ke ladang zinah. Lalu kita pun sebagai istri harus selalu siap melayani suami, kapan perlu suami kita belum minta kita yang minta duluan ya bu,” terang Ustadzah Oki panjang lebar.

Sedangkan apa yang didakwahkannya hanya sebagian yang masuk dalam kepalaku. Yang ada dalam gendang telingaku adalah zinah, zinah, dan zinah, selebihnya keluar telinga kanan. Aku tersenyum dibalik cadarku, sementara tangan kananku menekan selangkanganku, tangan kiriku menekan cadarku hingga aroma peju Pak Danang yang begitu kuat masuk dalam lubang hidungku. Kuhirup kuat-kuat seolah itu adalah narkoba pribadiku lalu aku bersandar puas di kursi menikmati surga dunia ini.

Tubuhku bergidik berandai-andai, jika para akhwat ini sedang melihat aku tengah berbuat segila ini di tengah ceramah. Apa yang ada dalam pikiran mereka? Pasti semua berpikir yang tidak-tidak pada wanita sepertiku. Ya, itu hak mereka, yang aku tahu jika kontol Pak Danang sudah mengaduk-aduk memek mereka, sealim apapun pasti bakalan bertekuk lutut juga di hadapan pejantanku.

“Sssshhhhh …. Uhhhhh ….” Kak Lidya menghela napas berat, kelihatannya seiring berjalannya waktu wanita itu menampakkan kelemahannya juga.

“Ada apa, ukhti?” tanya temannya.

“Afwan ukh, ana sakit perut. Tadi minum minuman bersoda sebelum kesini,” jawab Kak Lidya.

“Ya ampun, kalau sama-sama ngga kuat biar ana antar ke UKS dulu, ukhti. Ana takut antum berdua jatuh pingsan di sini,” balas Kak Nia dengan nada khawatir.

“Ng-Ngga apa-apa ukh. Jarang-jarang Ustadzah Oki ‘kan datang kesini. A-Ana mau ikut sampai selesai,” balasku menahan tangan Kak Nia.

“Masyaallah, ana kagum sama semangat antum berdua, ukh. Walaupun badan lemah tapi tetap semangat ikut kajian agama. Harus banyak-banyak belajar dari kalian,” sahut Kak Nia gembira dan sontak membuatku tertawa kecil mendengarnya.

Benar, ukh. Harus belajar dari kami biar paham jadi lonte syariah itu gimana, gumamku dalam hati.

Saat acara kajian selesai kami berpamitan dengan teman-teman Kak Lidya. Aku kagum melihat mereka yang sebagian besar berpakaian lebar serta bercadar sehingga nampak begitu tertutup layaknya wanita arab. Namun siapa yang tahu, dibalik pakaian lebar itu tersembunyi nafsu binatang yang menggebu-gebu ‘kan, gumamku dalam hati.

Aku berjalan terhuyung-huyung hingga sampai di parkir tempat Pak Danang dan Mas Rian menunggu kami, disusul dengan Kak Lidya di belakangku. Aku hanya mampu berjongkok di pinggir pintu mobil, tertelungkup menahan getaran vibrator di vaginaku.

Kak Lidya pun mengangkat gamisnya sambil berdiri dan menarik keluar dildo yang masih bergetar dari selangkangannya. Madu cinta Kak Lidya tampak membasahi batang besar itu dari ujung kepala hingga pangkalnya, Kak Lidya mengibasnya beberapa kali sebelum memasukkannya dalam tas.

Tak berhenti sampai di situ, dia bahkan kencing sambil berdiri di area parkir itu menghiraukan orang mungkin bisa memergoki perbuatan amoral kami disini.

“Sshhhhh …. Huhhhh legaaaaa …. Ngga dilepas Yu? Sekalian aja kencing di sini biar tuntas,” ucap Kak Lidya yang kemudian mengelap lubangnya yang basah dengan selembar tisu.
Aku pun berdiri dengan sisa tenagaku dan memiringkan sedikit celana dalamku.

PLOPH!

Terdengar suara vibrator yang keluar dari lubang basahku lalu jatuh dan bergetar hebat di tanah. Aku pun lanjut kencing di parkir sambil berdiri sama seperti Kak Lidya. Sayangnya—

“Afwan ukh, ini tadi jatu—Astagfirullah!!” ucapnya kaget.

Aku menoleh ke samping dan mendapati seorang pria berdiri di hadapan kami sambil memegangi tiket parkir. Dia menatapku yang sedang kencing sambil berdiri. Aku tak mampu berteriak saking syoknya, aku hanya memandangi wajahnya dengan mata berkaca-kaca. Aku tak bisa berhenti kencing, air seniku mengalir dengan begitu derasnya di tanah parkiran hingga vaginaku berkedut beberapa kali tanda selesai.

“Ada apa, akhi?” tanya Kak Lidya yang lekas maju menutupiku.

“I-Ini toket …. T-Tiket maksud saya, ukh. Jatuh tadi pas ukhti di depan gerbang,” balasnya gelagapan.

“Alhamdulillah, syukron ya akhi. Untung diambilin. Jazakallah, akhi!” jawab Kak Lidya, pria itu pun dengan linglung berjalan menjauh.

Aku masuk ke mobil dengan keadaan tak berdaya. Kak Lidya tertawa terbahak-bahak menceritakan kembali momen dimana aku dan pria itu sama-sama terpaku dengan diri masing-masing. Pak Danang mengelus-elus pundakku menenangkanku sementara Mas Rian—

Ya, pria itu hanya diam tak berdaya melihat istrinya dipermalukan di hadapannya.



Ayu Sofia Filayeti


Kami baru tiba di rumah saat sore menjelang. Aku turun dari mobil diikuti dengan Pak Danang yang menampar nakal pantatku dari luar gamisku, tanpa peduli ada Mas Rian di sana.

"Aku pulang bentar ya, mau izin nginep sekalian ngasih jatah ama suamiku. Nanti malem balik lagi," ucap Kak Lidya.

"Biar aku anter, Lid." Mas Rian bergegas menarik keluar motor matic-nya dari garasi.

"Duh, jadi ngerepotin nih. Makasih dulu ya, Rian. Ayu baik-baik di rumah ya," jawab Kak Lidya.

Aku membalas pelukan hangat wanita itu. Kak Lidya mencium dahiku, membuatku tersipu, sebelum akhirnya naik motor Mas Rian.

Kini hanya tersisa aku dan Pak Danang di rumah.

Selagi pejantanku istirahat di sofa sambil menonton televisi, aku makan di bawah kakinya dengan mangkuk makanan kucing kami—Icha. Kini seperti inilah caraku makan. Aku tidak lagi diperbolehkan duduk di meja makan karena itu dinilai setara dengan majikanku. Aku hanya boleh makan di lantai dengan merangkak bak hewan pada umumnya.

TOK! TOK! TOK!

"Assalammualaikum, Nang! Danang! Ini Dirman, Nang!"

Aku dan Pak Dirman menoleh ke arah pintu, tampaknya ada tamu yang datang. Aku menyeka nasi di bibir dan pipiku lalu berjalan mengekor di belakang Pak Danang.

Sesampainya di depan pintu, aku bertemu dengan wajah yang cukup familiar. Itu adalah Kang Dirman, teman Pak Danang yang pernah kuoral dulu saat dipaksa sedekah subuh oleh pejantanku.

"Jadi 'kah kita mancing? Aku dah izin sama Surti nih, dah siap semuanya." Kang Dirman nampak semangat memperlihatkan joran pancing miliknya.

"Oalah, masuk dulu pak, biar saya jelasin," pinta Pak Danang.

"Permisi, Bu Ayu." Kang Dirman dengan sopan membungkuk di hadapanku sebelum masuk.

Keduanya pun duduk di ruang tamu sementara aku bergegas menyiapkan air minum untuk mereka.

"Jadi begini loh, Kang. Saya itu pura-pura aja mau ngajakin mancing, biar istri Kang Dirman ngga nyari-nyari. Sebenernya saya mau minta temenin di rumah sini loh," ucap Pak Danang selagi aku menyodorkan minuman pada keduanya.

"Temenin, maksudnya gimana, Nang? Aku ndak paham," sahut Kang Dirman sambil menyeruput kopi buatanku.

"Ini loh, Kang. Kemaren 'kan sudah saya kenalkan sama Akang," lanjut Pak Danang sambil menyodorkan tangannya, aku pun paham dan langsung mendekat lalu berjongkok di paha Pak Danang, lalu menarik celana pejantanku itu dan mengoralnya, seketika itu pula terdengar suara Kang Dirman yang tersedak minumannya sendiri.

"Astagfirullah, Nang. Jadi .... peliharaanmu katamu kemaren itu .... Bu Ayu, Nang?" tanya Kang Dirman tak percaya.

"Iya, Kang, heheh ...." Pak Danang tertawa santai menjawabnya sambil mengelus-elus puncak jilbabku.

"Tapikan .... Dia udah punya suami, Nang. Lah kok iso?" tanya Kang Dirman setengah berbisik.

"Ya, akhwat akhwat macam gini memang jarang dipuasin sama suaminya, Kang. Memang perlu kontol kontol dari luar macam kita gini," jawab Pak Danang sambil menekan puncak kepalaku dan memaksaku mempercepat servisanku.

Pak Danang mengocok batang miliknya menggunakan mulutku, dinaik-turunkannya paksa kepalaku sampai dia menegang dan menyemprotkan lahar panas dalam tenggorokanku, aku melepaskan servisan oralku seraya menarik napas.

"Tahan di mulut dulu, Non. Sisanya, coba ...." Pak Danang memegangi daguku dan aku mengumpulkan sisa-sisa peju miliknya di dalam mulutku lalu memperlihatkannya kepada Kang Dirman.

"Nah sekarang telan, Non!" perintah Pak Danang, dengan patuh aku pun menelannya yang seketika itu pula membuat Kang Dirman nafsu melihatnya.

"Ssshhhhh .... Huhhhh .... Ya tapi aku bilangnya mancing loh, Nang. Kalau ngga bawa ikan nanti pas pulang, bilang apa sama Surti?" tanya Kang Dirman cemas, rupanya meski pria ini sange dia masih ada takut-takutnya dengan istrinya.

"Udah, Kang. Nanti saya yang atur. Asalkan Kang Dirman mau nemenin kami di rumah," goda Pak Danang yang melirik ke arahku.

Aku pun meringsut mendekati selangkangan Kang Dirman, kutaruh daguku di pahanya lalu mendongkak menatap matanya.

"Paaak .... Ayu pengen kontol bapak .... Temenin Ayu ya, Pak di rumah .... Garukin memek Ayu, Pak! Ayu pengen dientot kontol gede .... Mas Rian ngga bisa muasin Ayu, Pak .... Tolong ya Pak ...." pintaku memohon padanya.

Kang Dirman mengigit bibir bawahnya menahan birahi mendengar ucapanku. Ya, lelaki mana yang bisa tahan saat seorang akhwat berjilban menawarkan dirinya sendiri bak pelacur di hadapan sang pejantan. Tentu saja sebagian besar pasti tergoda ingin mencicipi tubuh alimku.

"Yaahhhh .... ta-tapikan saya izinnya sama istri mancing, Non Ayu. Ya ngga boleh pulang dengan tangan kosong dong. Kalau Non Ayu ada seratus dua ratus ribu ya, bisa saya pikirkan lah," jawab Kang Dirman sambil membuang muka.

Aku pun paham dan berdiri menuju tasku yang ada di ruang keluarga. Kuambil dua lembar kertas merah itu lalu kugigit. Aku pun merangkak kembali menuju ruang tamu sambil membawa uang pada pejantanku.

Tanganku menyentuh kedua paha Kang Dirman lalu menyodorkan uang yang ada di mulutku padanya. Keduanya pun tertawa melihat tingkah binatangku. Aku sudah menjual semua akal sehatku agar memekku bisa diobrak-abrik oleh para pejantanku ini. Aku tak peduli lagi dengan statusku ataupun harga diriku. Yang aku tahu adalah hidupku sekarang bertujuan untuk memuaskan hasrat Pak Danang. Jika itu artinya aku harus melayani temannya juga maka dengan hati ikhlas aku pun siap menjalankan baktiku.

"Waduh kalau ke pijat Bu Wati dikasi memek kendor disuruh bayar pula. Kalo kesini, udah dikasih akhwat muda dibayar pula. Kalo tahu Bu Ayu gini mah, tiap hari aja aku kesini ya Nang," leceh Kang Dirman.

"Oh silahkan, Pak. Asalkan ada saya di rumah, bapak boleh nikmatin tubuh akhwat binal ini sepuasnya. Asalkan jaga rahasia, Kang. Cukup antara kita aja. Jangan disebarin ke warga yang lain," balas Pak Danang tak kalah semangat, seolah mengukuhkan statusku sebagai budak seksualnya di hadapan temannya.

"Siap atuh, Pak. Saya jamin rahasia Bu Ayu aman sama saya," sahut Kang Dirman sambil mengelus-elus puncak jilbabku.

Mulai dari situ Kang Dirman pun mengangkat tubuhku hingga berdiri kembali, dipagutnya bibirku dengan penuh nafsu sambil meremas-remas dadaku yang masih tersembunyi di balik gamisku.

Bau tar dari mulutnya menyeruak masuk dalam penciumanku, perasaan jijik namun nikmat membuat tubuhku tidak bisa merespon dengan baik mana yang sebenarnya kuinginkan—menjauh darinya atau memagut lebih erat dirinya.

"Cphhhhh .... Cphhhh .... Mhhhhh ...." Bibir kami berdua berkecipak beberapa kali membuatku larut dalam kecupan Kang Dirman.

Setelah puas menciumku, kedua pejantanku menarikku ke ruang keluarga. Selagi mereka berdua duduk santai di sofa bak raja, aku berjongkok di depan keduanya sambil membantu mereka memelorotkan celananya.

Dua penis besar itu kini berada dalam genggamanku. Berbeda dengan milik Pak Danang, punya Kang Dirman sudah bersunat sehingga tak lagi ada kulup penisnya.

"Sshhhhhh .... Alus banget tangannya, Nang .... Kamu tiap hari diginiin, Nang? Pantes males ikut aku ngeronda ...." desis Kang Dirman menikmati kocokan tanganku.

"Iya Kang .... Maaf ya Kang .... Saya sibuk ngelatih lonte ini biar bisa jadi budak yang baik .... Nanti bilangin aja ama anak-anak ronda buat datang malam ini ke rumah .... Biar diservis sama akhwat saya .... Hitung-hitung ehhhmmm uhhhh .... Sebagai permohonan maaf ngga ikut bantu ronda," jawab Pak Danang.

Jantungku berdegup kencang mendengarnya, rupanya tak berhenti sampai di sini saja Pak Danang ingin menjajakan tubuhku. Dia bahkan ingin menyelenggarakan pesta seks di rumah ini malam ini dengan tubuhku sebagai santapannya. Rasanya birahi pun membakar habis kulitku membayangkan batang demi batang kontol nantinya akan menghujani rahimku.

"Sssshhhh .... Ohhhhhh iyahhhhh .... Enak banget ahhhh ...." Kang Dirman melenguh saat aku memasukkan batang kejantanannya ke dalam mulutku, sementara satu tanganku masih mengocok batang Pak Danang.

"Gimana, Kang? Mantep 'kan?" ejek Pak Danang.

"Siap, Nang!! Enak tenann .... Ouhhhh .... Sshhhh ...." Kang Dirman mendesah tak karuan menikmati hisapan mulutku pada batang miliknya yang membuat hatiku begitu bangga mendengarnya.

"Gimana, jadi 'kan ngajakin anak-anak malam ini?" tanya Pak Danang lagi.

"Ahhhhh .... S-S-Siaplah Nang .... Apa katamu aja aku lagi .... Ohhhhh .... Aku lagi .... Ohhh sshhh iyahhh .... Lagi fokus Nang, jangan ganggu dulu," jawab Kang Dirman sambil menekan jilbabku lebih dalam agar mulutku masuk sampai ke pangkal penisnya.

Di tengah kenikmatan surgawi yang kusuguhkan pada Kang Dirman, rupanya terdengar suara motor di luar tanda Mas Rian sudah pulang. Kang Dirman pun gelagapan mendengarnya dan mencoba berdiri namun aku menggeleng dan memasukkan lebih dalam penisnya dalam tenggorokanku, tanganku memeluk pantatnya berusaha menahan agar kontol pejantanku tidak keluar dari mulutku.

"Assalammualaikum," ucap Mas Rian seraya masuk ke dalam rumah.

"W-W-Waalaikum .... Ohhhhh ...." Kang Dirman gelagapan menjawab salam Mas Rian, lelaki itu amat kikuk saat melihat suamiku memergokinya tengah menusukkan batang kontolnya ke kerongkongan sang istri.

"Udah nganternya, pak?" tanya Pak Danang santai.

"Iya, sudah. Nanti malem katanya pakai Grab aja ke sini biar ngga ngerepotin," jawab Mas Rian datar sebelum kemudian duduk di sofa seberang meja kami sekarang.

Kang Dirman heran melihat tingkah Mas Rian yang tak menyiratkan sedikitpun rasa marah saat melihat istrinya tengah mengoral lelaki lain. Namun rasa sange di kontol miliknya sudah terlampau besar, semprotan demi semprotan peju membasahi tenggorokanku dan semua dilakukannya di depan suamiku sendiri.

"Hhhhh .... Hhhhhh ...." Pria itu jatuh kembali duduk di sofa sambil mengatur napasnya. Sementara aku lanjut mengoral Pak Danang dan mengocok kontol milik Kang Dirman agar nanti bisa segera siap lagi buat kupakai bercinta.

"Saya ngajakin temen loh pak, ini. Rencananya malam ini juga mau ngajakin kawan-kawan pos ronda ke sini, main. Ngga apa-apa 'kan ya Pak Rian?" tanya Pak Danang.

"T-Tapi, Pak—"

"Waduhhhh .... Kata Non Lidya kemarin-kemarin sih kalau bapak ngga nurut sama saya suruh aduin aja ke beliau .... Biar ngga dikasih jatah lagi .... Duh gimana ya Pak?" ancam Pak Danang saat melihat penolakan sesaat oleh Mas Rian, suamiku pun diam mendengarnya.

"I-Iya, Pak." Mas Rian pun melemah mendengarnya.

"Iya apa dulu nih, Pak Rian?" tanya Pak Danang memastikan.

"Iya, Pak. Silahkan. Pak Danang boleh ajak temen-temen bapak yang lain buat ngentotin istri saya. Asalkan pakai pengaman ya, Pak," pinta Mas Rian lemah, Pak Danang pun tertawa mendengarnya.

Sementara Kang Dirman nampak masih memproses apa yang sebenarnya terjadi di rumah ini. Dia masih heran mengapa bisa suamiku berkata seperti itu tanpa tahu cerita yang sudah kami lewati. Aku sendiri tak ambil pusing, segera setelah batang milik Kang Dirman tegak kembali, aku menarik lepas celana dalamku menyisakan jilbab dan gamis yang menutupi tubuhku.

Aku bergegas memposisikan tubuhku di atas paha Kang Dirman namun lelaki itu lekas menahanku.

"A-Anu, Bu .... A-A-Ada bapak ...." ucapnya gelagapan, aku pun mundur kecewa dibuatnya.

"Waduh, pak. Kang Dirman jadi ngga enak nih sama bapak, gimana dong?" goda Pak Danang sambil terkekeh.

Mas Rian hanya bisa memandang lemas kami sebelum kemudian berdiri dari sofa dan bersujud di hadapan Pak Danang dan Kang Dirman.

"Pak, saya mohon .... tolong .... t-tolong zinahi istri saya, pak ...." pinta Mas Rian sambil menyodorkan kondom, seketika itu pula Kang Dirman tertawa terbahak-bahak melihat tingkah menyedihkan suamiku.

"Hahahah .... Asu asu .... Ngga bisa muasin istri sendiri sampe harus minjam kontol orang .... Makanya pak, bukan cuman dompet yang digedein, kontolmu itu gedein juga!" ejek Kang Dirman sambil menginjak kepala Mas Rian—diambilnya kondom itu dan diusirnya Mas Rian kembali duduk ke tempatnya.

Aku pun mengulang memposisikan diriku di atas paha Kang Dirman. Kusingkai gamisku dan kubuka liang vaginaku untuk menerima tusukan dari batang pejantanku.

Rasanya berbeda dari Pak Danang karena benda itu dilapisi oleh karet. Aku melenguh menikmati proses saat benda itu masuk senti demi senti memenuhi liang vaginaku. Perlu dua tiga kali sodokan hingga akhirnya masuk sempurna dan bergerak licin dengan lendir cintaku sebagai pelumasnya.

"Ohhhhh .... Ohhhhh .... Enak kali pakkk bojomu inihhhh ...." oceh Kang Dirman menikmati genjotan pinggulku.

"Nih, pak, silahkan. Sekadar iktikad baik dari saya," balas Pak Danang, aku menoleh sesaat rupanya Pak Danang memberikan celana dalamku tadi pada Mas Rian, dia mengendus aromanya dalam-dalam lalu memakainya sebagai bahan onani.

PLOK! PLOK! PLOK! PLOK!

Sentakan demi sentakan pinggul Kang Dirman ikut dibenturkannya membalas pompaan pinggulku. Aku mendongkak didera nikmat menikmati jiwaku yang tengah melayang melintasi awan. Setiap tusukan Kang Dirman di rahimku, setiap itu pula birahi terasa begitu mendidih dalam ragaku. Membayangkan suamiku saat ini hanya bisa mengocok kontol kecilnya memakai celana dalamku sementara istrinya sedang digagahi pria lain membuat syahwat mengalir deras dalam relung dadaku.

"Ssshhhhh .... Duhhhh .... Saya ngga tahan nih, Pak. Saya permisi ikut ya, Pak." Pak Danang pun berdiri di belakangku yang sontak membuatku dan Mas Rian terkejut.

"Mau ngapain, pak?" tanyaku dan Mas Rian bersamaan, Pak Danang hanya tersenyum melihatku.

Pria itu memainkan jarinya di anusku membuatku melenguh nikmat, sementara Mas Rian tampak resah dibuatnya, baik aku dan Mas Rian sama-sama tahu nasib apa yang akan menimpa diriku sekarang.

"J-J-Jangan, Pak. S-Saya suaminya aja belum pernah," pinta Mas Rian lemah.

"Waduh, kok belum pernah sih? Berarti masih perawan dong. Ya udah, permisi ya pak, saya izin perawanin lubang boolnya Non Ayu," balas Pak Danang sambil meludahi penisnya dan memainkannya di pintu gerbang anusku.

"J-J-Jangan pakhhhhh .... Ohhhhhkkkkk ...." Aku mengaduh tak berdaya, Pak Danang memasukkan seluruh batangnya dengan sekali sentak, membuat pantatku terasa perih. Air liur membasahi daguku yang kemudian disambut Kang Dirman yang ada di bawahku.

"Sakitttt pakkkk .... Perihhhh ...." ucapku saat Pak Danang mendiamkan batang perkasanya di dalam sana.

"Santai Non .... Nanti juga terbia .... sahhhhhh!!!"

"Ohhhkkkkkk!!!" Aku merintih saat Pak Danang menarik keluar batang penisnya hingga tersisa tiga perempat lalu menusuk lagi kuat-kuat sampai benda itu terbenam seluruhnya di dalam tubuhku.

Saat Pak Danang mulai memompa pantatku beriringan dengan Kang Dirman, saat itulah tubuhku mulai didera sebuah perasaan baru. Rasanya sakit, sakit sekali, tetapi aku ketagihan dibuatnya. Sungguh rumit untuk dijelaskan namun sensasi ini sungguh luar biasa, terlebih aku disuguhi dengan pemandangan suamiku yang pecundang, bermasturbasi di samping kami dengan mata berkaca-kaca.

"Ay! Ay!" rintihnya berulang-ulang, mungkin saat ini dia tengah berfantasi bahwa penisnya lah yang memasuki lubang pantatku bukannya Pak Danang.

"Ohhhhhh .... Hoohhhhnnnn Ahhhnnnnn .... Pakkkkk Sakitttt .... Sakittt Pakkkk ...." rintihku lemas namun kedua pejantanku seolah tuli, masing-masing dari mereka fokus mengejar kenikmatan yang disuguhkan oleh tubuhku.

"Ahhh .... Shhh .... Yahhh aku mau keluarrrr .... Ohhhhh ...." Kang Dirman nampaknya orgasme terlebih dahulu menikmati jepitan memekku yang begitu erat, apalagi setelah dihujami oleh kejantanan Pak Danang dari belakang.

Pak Danang memegang erat kedua dadaku lalu memperkuat sodokannya. Kedua tubuh kami sama-sama bermandikan keringat sampai akhirnya kurasakan tubuh Pak Danang pun ikut menegang.

"Ohhhhhh .... Nonnnnhhh .... Non Ayuhhhhhh ...." Pak Danang meremas erat kedua dadaku lalu menyodokkan dalam-dalam batang penisnya dalam lubang pantatku, bisa kurasakan lahar panas ini mengalir masuk di dalam perutku, beberapa kali semprotan sebelum akhirnya kami berdua lemas.

"Sssshhhh ...." Aku meringis saat Pak Danang menarik lepas penisnya dari lubang pantatku, rasanya persis seperti mencret, tubuhku memuntahkan semua peju Pak Danang hingga mengenai sebagian gamisku, mungkin juga berceceran ke lantai.

Aku jatuh memeluk Kang Dirman yang ada di bawahku dengan tersengal-sengal. Baik aku dan pejantan baruku ini kini sama-sama kelelahan setelah melewati persetubuhan panas di depan suamiku.

Setelah sebagian tenaganya terkumpul, Kang Dirman mendorong tubuhku ke samping sehingga penisnya pun terlepas dari lubang vaginaku. Kondom yang terisi penuh oleh cairannya sendiri itu pun dilepaskannya lalu disodorkannya padaku. Aku pun mengambilnya dengan sisa tenagaku lalu meminumnya, terus kuperah sampai habis cairan putih itu dari dalam sana lalu kulemparkan bekas kondomnya kepada Mas Rian.

Pria itu tersadar lalu berdiri sambil mengocok kontol kecilnya. Dia mendekat ke arahku namun dihentikan oleh Pak Danang.

"Eh, eh, mau ngapain, Pak?" tanya Pak Danang.

"Kata Lidya, saya boleh ngentotin Ayu kalau bapak udah selesai sama istri saya," jawab Mas Rian.

"Itu kata Non Lidya, kalau kata saya 'kan beda. Kalau bapak mau ngentotin Non Ayu, bayar dulu pak. Tiga ratus ribu, durasinya satu jam atau sekali ngecrot," balas Pak Danang, Mas Rian pun terkulai lemah mendengarnya.

Aku tesenyum remeh memandangi suamiku, dia harus merogoh kocek untuk menyetubuhi istrinya sendiri. Betapa rendahnya lelakiku dibuat Pak Danang.

Ketika Mas Rian mengeluarkan tiga lembar uang seratus ribu dari dompetnya dan menyerahkannya pada Pak Danang, lelaki itu mulai menyiapkan penisnya di depan liang senggamaku.

Aku menutup mataku mengistirahatkan diriku, tidak ada rasa apapun saat Mas Rian memompa tubuhku. Setelah lubang memekku diobrak-abrik oleh Pak Danang dan Kang Dirman, rasanya penis Mas Rian seperti jari kelingking yang bermain-main di sana, membuatku ngantuk melayaninya.

"Ohhhhh .... Ohhhhh ...." Mas Rian menegang dan menyemprotkan cairan maninya di dalam liang vaginaku, aku mendesah kesal melihat pria itu belum sampai dua menit sudah keluar, Kang Dirman pun tertawa terbahak-bahak melihatnya.

"Pantes bini nyari kontol lain, wong lakinya macam gini," ejek Kang Dirman.

Mas Rian menghiraukan cemoohan itu dan lanjut menggenjot memekku dengan penisnya yang sudah melembek, sayangnya dia dihentikan oleh Pak Danang.

"Ehhh, ehhh, sudah pak. Kalau udah ngecrot sekali yaudah habis. Kalau mau ngentot lagi ya bayar lagi!" omel Pak Danang.

"T-T-Tapi pak, s-saya udah sange daritadi ...." balas Mas Rian lemah.

"Halah bodo amat, mau elu sange, mau elu engga. Pokoknya tiga ratus ribu itu sekali ngecrot, kalau bapak ngecrotnya ngga sampai satu jam ya itu rugi di bapak," sahut Pak Danang.

Dengan terkulai lemah, Mas Rian mengambil kembali dompetnya dan menyerahkan uang seratus ribu tiga lembar pada Pak Danang.

"Nah, gitu! Harus paham dong aturan main," ucap Pak Danang sambil mengipas-ngipas uang Mas Rian di hadapan kami.

Mas Rian memulai menjilati vaginaku hingga bersih kembali sambil mengocok-ngocok kontol miliknya agar tegang kembali. Setelah sepuluh menit berlalu baru kontol kecilnya bisa berdiri tegak kembali.

Dengan tubuh bermandikan keringat Mas Rian mengarahkan batang penisnya di pintu masuk liang vaginaku, belum sempat dia dorong aku lekas bangkit lalu memegangi batang milik Mas Rian.

Seolah tak rela aku dimasuki kontol lain selain pejantanku, aku menghisap buah zakar milik Mas Rian sambil mengocok cepat batang miliknya.

"Ohhhhh .... Ayy .... Pelan-pelan Ayyy .... Kalau gitu Mas malahhh .... Ohhhhhhhhhnn!!!" Mas Rian melenguh keras dan memuncratkan peju beberapa kali sehingga dia pun gagal ingin menyetubuhiku.

"Udah tuh pak. Kalau mau lagi ya bayar lagi," lanjut Pak Danang.

"T-T-Tapi pak, saya udah ngga ada uang cash lagi." Mas Rian memelas melihatku.

"Ya saya ngga mau tahu, ngga bayar ya ngga usah ngentot. Udah sana coli aja di kursi!" perintah Pak Danang, Mas Rian pun dengan lunglai melangkah ke sofa lalu mengocok batang lemasnya sambil melihat istrinya digagahi lagi oleh lelaki lain.

Hatiku tertawa gembira melihat suamiku dipecundangi oleh para pejantanku. Ini salah kamu mas. Salah kamu kita jadi begini. Sekarang rasakan akibatnya, umpatku dalam hati.

Kami bercinta dengan hebatnya di seluruh ruangan itu, persetan dengan waktu Ashar dan Maghrib yang sudah lewat, kami yang dibakar birahi terus memuaskan satu sama lain di hadapan Mas Rian. Bahkan saat mandi pun kami tetap melakukannya di dalam kamar mandi.

Hingga tiba saatnya aku harus melepas pergi pejantanku. Dengan memakai lingerie seksi aku berdiri di depan pintu bersama Pak Danang mengantarkan Kang Dirman pulang.

"Aku pulang dulu, Nang. Nanti habis Isya aku balik lagi sama anak-anak ronda. Mau ngelonin Non Ayu!" ucap Kang Dirman penuh semangat.

"Siap. Minum jamu, Kang. Biar tahan lama!" goda Pak Danang yang sontak membuatku mencubit pinggangnya.

"Aihhh mantap lah!! Pokoknya sip memeknya Non Ayu!" balas Kang Dirman yang membuat hatiku semakin bangga mendengarnya.

"Eh, eh, bentar Kang Dirman. Nih, kita bagi dua. Buat duit rokok sama kopi, kang. Biar betah mampir ke sini." Pak Danang menyerahkan uang yang didapatnya dari Mas Rian sebagian pada Kang Dirman.

"Alhamdulillah, rezeki memang ngga kemana. Makasih banyak ya, Nang. Haduh, kalo gini sih tiap hari saya siap ngelonin Non Ayu, mah." Mata Kang Dirman bersinar menatap ratusan ribu uang yang diterimanya hasil dari menyetubuhiku.

Keduanya tertawa senang, sementara mukaku begitu merah dibuatnya.

"Yasudah, saya pulang dulu, Non. Nanti kita ngewe lagi. Assalammualaikum." Kang Dirman melambai pergi.

"Waalaikumussalam," ucapku setengah berbisik, rasanya sedih sekaligus gembira karena pejantanku akan kembali malam ini bersama batang-batang perkasa lainnya.

Berhelat tiga menit setelah Kang Dirman pergi, sebuah Mobil Grab datang dengan membawa seorang penumpang wanita berjilbab. Ya, pemilik rumah ini akhirnya datang juga.


Lidya Eka Wulandari


"Duh, aku telat ya? Danang, bantu angkatin minuman dong di mobil!" pinta Kak Lidya.

"Siap, Non!" ucap Pak Danang.

Rupanya Kak Lidya membawa dua bundle minuman beralkohol dan juga satu kotak anggur merah cap anak muda. Pak Danang dengan semangat mengangkut minuman-minuman haram itu masuk ke rumah diiringi dengan Kak Lidya yang berjalan di belakangnya.

"Loh, kenapa kamu pakai baju lonte begini? Mana jilbabnya, Yu? Ngga dipasang?" tanya Kak Lidya yang heran melihat keadaanku.

"Habis pelayanan, kak." Aku tersenyum simpul menjawabnya lalu memeluk hangat wanita itu.

"Duh, memang ukhti sholehot yah adikku yang satu ini. Bangga kakak sama kamu," balas Kak Lidya sambil mengusap bahuku beberapa kali.

"Rian, mana?" tanya Kak Lidya seraya melangkah masuk.

"Tuh!" Aku menunjuk sofa.

Mas Rian terkapar dengan jilbabku di selangkangannya, yang dia pakai sebagai bahan onani. Bekas-bekas peju Mas Rian tampak melekat erat di kain itu, kelihatannya dia sangat frustrasi karena tidak diizinkan Pak Danang menyetubuhiku.

"Astagfirullah, cowo ini. Majikan datang bukannya disambut malah sibuk onani. Rian!" panggil Kak Lidya dengan nada kesal, sontak Mas Rian pun terkejut mendengarnya dan langsung merapikan dirinya kembali.

"Bersihin loh, tempatnya ini. Aku mau nginep loh malam ini. Masa jalan-jalan gini kaki keinjek peju sana-sini!" ucap Kak Lidya ketus.

"S-Siap, Nyonya!" balas Mas Rian patuh, dia pun bergegas mencari pel dan mulai membersihkan bekas-bekas persetubuhanku dengan para pejantanku.

"Non, malam ini temen-temen saya yang lain mau izin datang. Saya udah lama absen ngeronda, jadi ngga enak sama yang lain. Jadi, rencananya mereka mau saya kasih servisan Non Ayu," ucap Pak Danang pada Kak Lidya.

"Oalah, tahu gitu aku bawa minuman lebih," jawab Kak Lidya.

"Ngga usah repot-repot, Non. Yang ini aja udah banyak banget!" lanjut Pak Danang sungkan.

"Kapan datangnya? Habis Isya?"

"Iya, Non."

"Oh, yaudah. Rian, kamu ke depan gih, beli kondom tiga pak, cari yang agak gedean ukurannya, jangan yang biasa kamu pakai." Kak Lidya melempar uang ke lantai yang dengan sigap dipungut oleh Mas Rian.

"Baik, Nyonya." Mas Rian menyelesaikan mengepel lantai lalu mengembalikan benda itu ke dapur, sebelum kemudian melangkah keluar.

"Huffff .... Uhhhh .... Capeknya!!!" Kak Lidya mendesah di sofa diikuti dengan Pak Danang yang duduk di seberang meja.

"Ayuuuu .... sini sini!" panggil Kak Lidya, aku pun mendekat lalu duduk di sampingnya.

"Gimana, udah sampai mana lesnya, Danang?" tanya Kak Lidya sambil mengangkat daguku dan mengelus-elus pipiku.

"Udah saya perawanin tadi lubang pantatnya, Non. Malam ini mau lanjut belajar dientot rame-rame sama teman saya yang lain," jawab Pak Danang.

"Duh, jadi ngiri aku sama kamu, Yu. Tiap hari ada kontol yang nemenin gini, kalau aku sih pasti betah di sini," lanjut Kak Lidya.

"Non Lidya mau ikut bareng malam ini?" tawar Pak Danang.

Kak Lidya menatap Pak Danang remeh lalu kembali menatap wajahku.

"Aku sisanya aja. Biar Ayu dikasihkan hidangan utamanya," bisik Kak Lidya di telingaku.

Dicurinya dengan cepat bibir ranumku dan dipagutnya dengan begitu dalam. Tangan kirinya melingkar di leherku dan memainkan dadaku sementara tangan kanannya masuk ke dalam lingerie milikku dan memainkan lubang senggamaku.

Aku memejamkan mata menikmati pagutan Kak Lidya di bibirku, benar-benar ciuman seorang pro. Bukan hanya permainan lidahnya, namun permainan jari-jemarinya berasa ada di titik yang tepat.

Jantungku serasa terhenti, hanyut dalam ciumannya, sebelum akhirnya pasrah dimangsa olehnya. Kak Lidya menarik lepas bibirnya namun aku seolah tak rela, saat benang air liur kami menyatu dengan lekas aku mencoba memagut bibirnya lagi yang sayangnya hanya bertahan beberapa detik saja.

Gairah aneh muncul dalam benakku, aku menatap sayu Kak Lidya seolah ingin merengkuh lebih kenikmatan dari dirinya. Wanita itu tersenyum memandangku lalu dipagutnya lagi bibirku mencoba memuaskan hasratku. Pelukannya begitu erat, tubuhku serasa kecil dibuatnya. Aku membalas pelukan Kak Lidya sambil mendesak lidahku masuk ke mulutnya namun hasilnya nihil, Kak Lidya jauh lebih mendominasiku, dia seolah tak membiarkan aku mencoba mengendalikan dirinya, dia memegang kuasa atas tubuhku dan memberikan nikmat ataupun mencabutnya sesuka hati.

"Kakkhhhh ...." desahku lemah saat kami melepas ciuman kami.

Dadaku naik turun, aku tersengal-sengal sementara Kak Lidya tersenyum puas. Kak Lidya pun beralih duduk di belakangku sementara aku duduk manis di pahanya. Aku menoleh mencoba meraih kembali ciumannya sambil menikmati remasan demi remasan tangannya yang menjajah setiap jengkal tubuhku.

"Mmhhhhh .... Kakkkhhh ...." desahku di sela-sela pagutannya.

Tampaknya penampilan kami membangunkan syahwat terpendam pejantanku di sana. Pak Danang pun mendekati aku dan Kak Lidya kemudian berjongkok di depan selangkanganku. Ditarik lepasnya celana dalamku dan dikecupnya bibir vaginaku.

"Ohhhhh .... Hohhhhh enakkk kakkkk .... Mmmhhhh ...." Aku merintih namun dengan cepat bibirku kembali dikunci oleh Kak Lidya.

Aku tenggelam dalam kubangan nafsu, betapa tak rela rasanya jika semua ini berakhir. Rasanya begitu bahagia dan bebas, semua beban pikiranku tak lagi bersisa. Aku ingin hidup selamanya menjadi budak nafsu mereka.

"Cppphhh .... Cphhhh Mmmhhhhhh .... Hmhhhhhh ...." Aku mendesah kesetanan sebelum akhirnya pahaku mengapit erat kepala Pak Danang dan orgasme dengan kuat.

Aku melepaskan pagutan Kak Lidya dan berusaha menarik napas sedalam mungkin sebelum akhirnya jatuh lemas di samping sofa.

Wajahku menatap sayu Kak Lidya yang terlihat memperbaiki kerudung dan kacamata miliknya.

Pak Danang berdiri tepat di hadapan Kak Lidya dengan batang kejantanannya yang mengacung tegak perkasa. Pria tua itu mengocok perlahan batang kontolnya sebelum menamparkannya ke pipi Kak Lidya beberapa kali.

"Kalau dipikir-pikir Non Lidya ini cantik juga. Mau nyoba jadi budak kontol saya juga kah, Non?" tawar Pak Danang.

"Besar juga mulutnya Danang ini ya, Yu. Biar aku kasih tahu kamu ya, dari aku muda sampai aku umur segini ngga ada laki-laki yang ngga bertekuk lutut dihadapanku," balas Kak Lidya sambil memegangi kontol milik Pak Danang.

Aku memandang lemah Kak Lidya. Rasanya cemburu saat pejantanku kini sedang memuaskan syahwatnya memakai tubuh perempuan lain, namun apalah daya, saat ini aku sedang kehabisan tenaga. Aku hanya bisa menatap keduanya dengan wajah mupeng, sambil mengumpulkan kembali tenagaku.

Kak Lidya mengangkat tangannya, membiarkan Pak Danang melepaskan pakaiannya, wanita itu kemudian melepaskan bra miliknya dan kini hanya menyisakan celana serta jilbabnya.

Dia mulai mengoral benda milik Pak Danang. Satu tangannya membentuk cincin dan mengocok bagian pangkal penis pejantanku sementara tangan yang lain memainkan buah zakar milik Pak Danang.

"Uhhhhh .... Ohhhhh Nonnnn .... Enak banget Nonnnnn .... Uhhhh!!!" Pak Danang mendesis nikmat dan mencoba menekan lebih dalam penisnya agar masuk ke dalam tenggorokan Kak Lidya. Bukannya menolak, Kak Lidya justru mendongkak menatap Pak Danang lalu mempercepat sepongannya.

Dengan semangat Kak Lidya mengoral batang milik Pak Danang sampai lelaki itu mengap-mengap tak karuan. Dia kini berusaha mendorong kepala Kak Lidya namun dengan gigih wanita itu menambah kecepatan oralnya bahkan sesekali terdengar menghisap batang milik Pak Danang.

"Aahhhhh .... A-Ampun Nonnnhhh .... A-Ampunnnhhh Enak Bangetttt .... Lebih enak dari uhhhhh, sepongan Non Ayuuuu ...." Pak Danang mendesah keras, membuat wajahku terasa panas, rasanya benar-benar cemburu saat aku dibandingkan dengan Kak Lidya, hatiku terasa dicubit, sakit, namun aku tak bisa melawan. Jelas kalau Kak Lidya jauh punya pengalaman yang lebih banyak ketimbang diriku.

Badan Pak Danang bergetar sebelum akhirnya dia menggelepar beberapa kali melepaskan lahar cintanya di dalam tenggorokan Kak Lidya. Setelah menghisap habis cairan pejantanku, Kak Lidya melepas sepongannya hingga membuat Pak Danang jatuh di lantai.

Terdengar suara Mas Rian yang kelihatannya sudah pulang. Dia masuk dan menaruh beberapa kotak kondom ukuran besar di atas meja. Matanya terpaku pada Pak Danang yang terlentang tak berdaya di lantai dengan napas tersengal-sengal.

"Ada apa, Nyonya?" tanya Mas Rian.

"Dia nyombongin ukuran kontolnya ke aku. Jadi aku mau kasih tahu Danang ini, sejauh mana sih perbedaan kami berdua," jawab Kak Lidya yang kemudian menarik lepas celana berikut dalaman miliknya hingga kain yang menutupi tubuhnya kini hanya tersisa jilbabnya saja. Wanita itu kemudian memaksa Pak Danang untuk mengangkang sementara dia memposisikan vaginanya di depan batang Pak Danang.

"L-L-Lid...." ucap suamiku lirih, tampaknya dia

"Ck, kamu diam aja, Yan. Aku lagi fokus," balas Kak Lidya yang kemudian memasukkan kontol milik Pak Danang ke dalam liang senggama miliknya

"Ohhhh .... Ohhhh enakkkkk .... Ohhhn ...." Pak Danang melenguh nikmat saat Kak Lidya menggenjot penisnya dengan gaya missionary, seolah-olah kini Kak Lidya lah yang sedang memerkosa Pak Danang bukan sebaliknya.

Aku menggigit bibir bawahku menahan api cemburu dalam dadaku. Rasanya tak rela jika melihat pejantanku dicuri Kak Lidya di depan mataku.

"Mas Rian, sini!" ucapku kesal memanggil suamiku.

"I-Iya, Ay!" jawab Mas Rian tanpa mengalihkan pandangannya sedikitpun dari Kak Lidya.

Kupelorotkan dengan kasar celana Mas Rian lalu kukocok penis kecilnya sambil menonton adegan Kak Lidya memerkosa Pak Danang.

Mata Mas Rian menatap lekat keduanya, dia bahkan tak melihatku sedikitpun. Yang ada di mata Mas Rian kini hanyalah Kak Lidya. Dia tak peduli istrinya mau diperkosa orang sekampung pun selama bukan Kak Lidya, dia takkan ambil pusing.

Dengan kasar aku mencengkram penisnya lalu mengocok kasar benda milik Mas Rian. Nafas pria itu terasa berat, tak butuh waktu lama saat dia orgasme hingga duduk lemas di sofa melihat wanita yang dia cintai tengah menggenjot lelaki lain.

"Kalau kontol kamu gedean dikit Mas, ngga bakalan Kak Lidya nyari yang lain buat garuk memeknya," bisikku di telinganya sambil meremas benda mungil miliknya.

Terlihat air mata jatuh membasahi pipi Mas Rian, dia bahkan kencing sambil duduk, syok karena ucapanku disertai dengan pemandangan Kak Lidya yang memerkosa Pak Danang.

Pak Danang menguik-nguik bak babi yang tertangkap warga saat Kak Lidya menggenjotnya, pria itu kejang sesaat sebelum akhirnya orgasme di dalam jepitan memek Kak Lidya.

Kak Lidya menarik napas sejenak lalu melepaskan diri dari batang Pak Danang. Dia berdiri dan membuka vaginanya di atas wajah Pak Danang membiarkan cairan lelaki itu bersama cairan cintanya yang bersatu jatuh ke wajah pejantanku.

"Kalau udah tahu posisi kamu, jangan macam-macam lagi sama aku ya, Danang!" sahut Kak Lidya sambil meratakan sperma mereka berdua di wajah Pak Danang menggunakan kakinya.

"Rian, bersihin dong. Bentar lagi Isya loh. Aku sama Ayu mau mandi. Kamu nanti kalau udah selesai bersih-bersih siap-siap shalat bareng. Kita mau nyambut tamu nih nanti!" perintah Kak Lidya, Mas Rian tak bisa menjawabnya dia masih syok memandangi tubuh Pak Danang yang terkapar tak berdaya di lantai.

"Woi Rian, denger gak?!" Kak Lidya menginjak keras batang milik Mas Rian hingga lelaki itu pun mengaduh kesakitan, sadar dari lamunannya.

"Si-Siap .... Nyonyahhh .... N-Nanti saya bersihin semuanya," jawab Mas Rian yang masih mengaduh ngilu.

"Makanya kalau diajak ngomong itu ya, jawab! Jangan kurang ajar!" bentak Kak Lidya.

Aku pun berjalan menuju kamar mandi mengikuti Kak Lidya. Tersenyum melihat pejantanku terkapar tak berdaya di lantai sementara suami pecundangku membersihkan bekas-bekas percintaan kami.

Malam yang gila baru saja akan dimulai



Baik aku dan Kak Lidya sama-sama menunaikan Shalat Isya bersama dengan Mas Rian di kamarku. Dengan khusyu Mas Rian sebagai imam kami membaca surah-surah pendek lalu rukuk dan sujud.

Sayangnya baru dua rakaat, Pak Danang pun masuk ke dalam kamar dengan telanjang bulat lalu duduk di pinggir ranjang, memandangiku dan Kak Lidya sambil mengokang batang kejantanannya.

Aku berkeringat dingin menahan agar tidak melirik ke samping. Napasku terasa berat, aku pun mulai tidak khusyu menunaikan Shalat Isya sementara pejantanku menunggu tepat di sampingku.

Tangannya bergerak naik turun sehingga kulup penisnya pun merekah dan memperlihatkan wujud asli batang perkasa itu. Aku mendesis di tengah ibadahku saat aku tahu batang kejantanan Pak Danang kini begitu dekat hingga menyentuh pipiku. Syahwat naik dari selangkanganku menuju otakku. Belum selesai rakaat ketiga aku sudah tak kuasa menahan birahi sehingga membatalkan Shalatku lalu mengoral batang perkasa milik Pak Danang.

"Shhhh .... Huhhhh nah gitu Non .... Ngewe itu sebagian dari iman," leceh Pak Danang, dicengkramnya puncak mukenaku sambil menaik turunkan kepalaku di selangkangannya.

Kak Lidya hanya menggeleng saat melihatku yang menaik turunkan mulutku di atas ranjang utamaku dan Mas Rian. Selagi keduanya sibuk memetik biji tasbih, aku sibuk mengulum biji kontol milik Pak Danang. Saat tubuh pejantanku itu tampak menegang, bergegas kuoral kembali batang miliknya dan kubenamkan sedalam mungkin dalam tenggorokanku.

"Non Ayuhhhh .... Bapak ohhhhh ...." Pak Danang menekan kuat-kuat kepalaku dan menyemburkan spermanya dengan deras di dalam mulutku. Didiamkannya beberapa saat sebelum kemudian dilonggarkannya pegangannya pada kepalaku.

"Ohqqqq .... Ohhhhhh ...." Aku tersengal-sengal saat menarik kembali kepalaku, sedikit peju menetes di bibirku yang dengan lekas kuseka, Pak Danang meneguk air liurnya melihat ekspresiku sendiri, dia lalu mengambil daguku dan menciumku dengan panas sampai kami puas.

Selesai dengan kegiatan kami masing-masing, aku dan Kak Lidya pun mengenakan gamis dan khimar terbaik kami bahkan memakai makeup untuk bersiap menyambut para tamu yang sebentar lagi akan datang. Selesai berdandan, kami berdua menuruni tangga dan mendapati Mas Rian serta Pak Danang yang tengah sibuk menyiapkan jamuan di atas meja berupa beberapa kaleng pilsener serta beberapa botol anggur.

"Yuk," ajak Kak Lidya menarikku ke depan pintu.

Kami berdua bersimpuh di depan pintu sambil menunggu datangnya para pejantan kami dan benar saja, tidak berapa lama kemudian terdengar suara pagar dibuka disertai dengan suara beberapa orang masuk ke dalam.

"Assalammualaikum," ucap Kang Dirman mengucap salam sambil membuka pintu.

"Waalaikumussalam," jawabku dan Kak Lidya seraya bersujud menyambut kedatangan mereka.

Kami berdua mempersilahkan masuk para pejantan itu ke rumahku. Dua remaja itu nampak kikuk saat Kang Dirman mengajak mereka masuk, keduanya mungkin masih tak menyangka aku, yang selalu tampil dengan penuh sahaja di hadapan para tetangga kini menyambut mereka dengan penuh kepatuhan bak raja-raja. Keduanya berbisik- bisik sesekali dan membalas senyumanku dan Kak Lidya.

"Yang ini namanya Mamat, Non. Lulusan SMA udah berapa tahun jadi kuli di pasar. Kalau yang ini namanya Samsul, dulunya sih anak kuliahan cuman masuk penjara gara-gara narkoba. Sekarang sih udah tobat dan bantuin saya jadi kuli bangunan," terang Kang Dirman memperkenalkan keduanya.

"Waduh, baik-baik ya anaknya pak," balas Kak Lidya sambil menuangkan anggur merah ke gelas Kang Dirman.

"Ya, cuman gitulah, miskin. Hidup kadang suka kurang. Apalagi sekarang ya, Non. Serba mahal," terang Kang Dirman sambil meneguk anggur itu.

"Ngga apa-apa, pak. Yang penting masih kerja halal," ucapku seraya menyodorkan beberapa kaleng pilsener pada keduanya.

Malam itu kami fokus berbicara panjang lebar soal keadaan Mamat dan Samsul, bagaimana kerasnya kehidupan silih berganti menghantam keduanya. Tetapi keduanya tetap tabah meski cobaan datang silih berganti. Aku sempat meneteskan air mata mendengar susahnya hidup mereka.

Beberapa kaleng minuman beralkohol habis kami tenggak, mulai dari situ alur pembicaraan sudah mulai ngelantur ke sana-sini, kebanyakannya urusan ranjang.

"Istriku tuh ya, Nang. Pas muda, itu, Ayunyaaaaaa luar biasa. Sekarang udah turun mesin, Masyaallahhuakbar, udah kayak mamak lampir di film 'Misteri Gunung Merapi' itu. Kalau pulang aku ngeliat mukanya langsung ambil wudhu buat cuci mata, berasa ternoda mataku dikasih liat mukanya. Mbok ya dandan dikit gitu kalo suami pulang," curhat Kang Dirman dengan wajah memerah.

"Sekarang udah ketemu Non Ayu saya gimana rasanya, Pak?" goda Pak Danang sambil menenggak satu kaleng pilsener lagi.

"Waduh, pengen tak jadiin bojoku loh, Nang!" sahut Kang Dirman semangat, keduanya pun tertawa sambil mengisap dalam-dalam rokok kreteknya.

Sementara itu baik Mamat dan Samsul sama-sama menundukkan kepala. Keduanya terlihat pusing. Mungkin mereka berdua tidak terbiasa minum-minuman seperti ini, pikirku. Tetapi dibanding mengkhawatirkan keduanya, aku pun kurang lebih sedang bernasib sama. Semakin sulit berpikir jernih di bawah pengaruh alkohol, aku tidak tahu sampai mana aku bisa sadar atas setiap perbuatanku.

"Silahkan, Pak!" Mas Rian datang menyodorkan gorengan yang baru dia beli di luar sebagai pendamping minuman kami. Kang Dirman tersenyum remeh memandang suamiku lalu mengeluarkan ponselnya.

"Duduk di sebelah situ, Pak!" perintah Kang Dirman, suamiku pun menurut dan duduk di sofa seberang kami.

Dia nampak memutar sebuah lagu dangdut koplo dari ponselnya lalu menaruhnya di atas meja. Dengan satu hisapan panjang dia habiskan rokoknya lalu memandang ke arahku, "Non, naik ke atas meja situ, joget dulu, biar kami tambah nafsu nanti ngentotinnya."

Dengan kepala menahan pusing aku menuruti Kang Dirman dan naik ke atas meja. Lagunya terdengar begitu kampungan, persis seperti lagu-lagu yang sering dipakai para biduan berjoget di hajatan nikahan warga. Aku pun mencoba mengikuti irama dan melenggokkan pinggulku ke kanan dan ke kiri sambil mengelusi setiap jengkal dari tubuhku dengan tangan mulusku. Mamat dan Samsul terlihat melotot menatapku dengan napas memburu. Aku mengerling nakal melihat batang keduanya sudah tegang dan memenuhi celana mereka.

Sungguh betapa gila jadinya aku sekarang, seorang akhwat yang terlihat alim di luar dan selalu tertutupi gamis lebar saat mengunjungi tetangga kini tengah melenggokkan badan dengan niat memancing hawa nafsu para pejantanku. Aku semakin bersemangat saat merasakan tatapan binatang itu muncul dari mereka yang seolah ingin melumat habis tubuhku. Kak Lidya tertawa dan menyorakiku beberapa kali saat melihat aku meremas pantat dan dadaku sebelum kemudian duduk di samping Mas Rian dan mengelus-elus kontol suamiku dari luar celananya.

Tanganku menjalar ke tubuh bagian bawahku, kutarik lepas celana dalam dan behaku lalu kulemparkan ke arah Mamat dan Samsul. Keduanya berebut dalamanku yang sontak menambah bara api birahi dalam dadaku.

Cahaya lampu yang cukup terang memperlihatkan bayang-bayang putingku dari luar gamisku, kuremas sesekali dadaku sambil menutupi selangkanganku yang menerawang, membuat Kang Dirman dan Pak Danang kompak memelorotkan celananya lalu mengocok batang mereka masing-masing.


Lidya Eka Wulandari


Kak Lidya meneguk habis anggur merah itu langsung dari botolnya, dia menepuk kedua pipinya lalu ikut naik ke atas meja dan bergoyang dengan panas memancing syahwat pejantanku.

"Non Lidya!" ucap Pak Danang dan Kang Dirman bersamaan sambil mempercepat kocokan mereka.

Aku terkejut melihat Kak Lidya mampu mencuri lampu sorotku hanya dalam sekejap mata. Dengan begitu gemulai dia menggoyangkan pinggulnya bak penari striptease profesional dan menaik turunkan pantatnya.

Saat Mamat dan Samsul tidak lagi memandangku, aku pun merasa cemburu lalu memeluk Kak Lidya. Kutahan tubuhnya agar tidak bergoyang lagi lalu memaksa tanganku menerobos masuk ke balik gamisnya. Ketika gamis Kak Lidya sudah tersingkap, jari jemariku langsung bermain dengan kasar di dalam liang senggamanya.

"Ohohoh, berani ya kamu, Yu. Sini aku ajarin caranya!" balas Kak Lidya yang ikut menyingkap gamisku dan mencolokkan jarinya dalam lubang memekku.

"Anjrittt .... Panas bangettt .... Ayo ukh, kocok terus!" sorak Mamat.

"Ayo Non Lidya, jangan kalah Non! Kasih tahu Non Ayu!" balas Pak Danang yang kelihatannya memihak Kak Lidya.

CLK! CLK! CLK! CLK!

Suara vagina kami yang sudah becek saling beradu, dengan napas berat aku berusaha menjatuhkan Kak Lidya, begitupula sebaliknya. Sayangnya, Kak Lidya lebih licik dari perkiraanku, dia mencubit dada kananku dengan tangan kirinya lalu memagutku, aku terkejut sehingga lengah dan detik itu pula Kak Lidya mempercepat kocokannya dalam lubang surgawiku.

"Aaahkkk .... Ahkkkk kakakkk .... Ohhhhh ...." Aku mengejang beberapa kali sebelum kemudian jatuh berlutut dan telentang diatas meja dengan kepala menjuntai mengarah pada Mas Rian. Vaginaku berkedut-kedut merasakan orgasme akibat permainan tangan Kak Lidya.

"Wuhuhhh .... Menangggg .... Jangan mimpi bisa ngalahin aku kamu, Yu!" teriak Kak Lidya sambil menginjak lembut vaginaku disambut sorakan para lelaki itu.

Aku menatap sayu mata Mas Rian. Pria itu sedang mengokang batangnya sendiri menikmati adegan dimana istrinya sedang dipermalukan.

Sialan kamu Mas, umpatku dalam hati.

Aku mengangkat kepalaku dan berusaha bangun. Kulihat Kak Lidya sudah melepas dalamannya dan melemparkannya ke arah Pak Danang dan Kang Dirman. Kini sama sepertiku dia hanya mengenakan khimar dan gamis tanpa sehelai benangpun di baliknya.

Aku menggunakan sisa tenagaku untuk berdiri dan melepaskan gamisku menyisakan khimarku saja. Suara ramai tadi pun seketika berhenti saat tubuh polosku terpampang jelas di hadapan mereka.

Kak Lidya tersenyum lalu turun dari meja dan duduk di samping suamiku, sementara aku yang sudah dibakar api birahi menuju Pak Danang dan langsung duduk di pangkuannya.

"Bapak ngga boleh ngeliat punya orang lain selain Ayu. Bapak itu udah jadi milik Ayu!" ucapku merajuk sambil menggesek-gesekkan bibir vaginaku pada batang kejantanannya.

"Sshhhhh uhhhhh .... Maaf Non .... Ssshhh Bapak khilaf ...." desis Pak Danang menikmati liukan demi liukan tubuhku.

Selagi aku meliuk-liuk di atas pangkuan Pak Danang, Kang Dirman datang menyodorkan batang perkasa miliknya ke mulutku. Segera kumasukkan benda hangat itu ke dalam tenggorokanku.

Mamat datang dari sebelah kiriku, sementara Samsul dari kananku menyodorkan batang perjaka mereka yang kusambut dengan masing-masing tanganku.

Pak Danang mendesah nikmat lalu menghentikan pinggulku sesaat, diarahkannya batang perkasa miliknya ke depan liang senggamaku sebelum kemudian—

BLES!

"Ohhhq .... Hoqqqq .... Oqlooqqqq Oqloqqqq Oqloqqqq ...." Aku mendesah tertahan penis Kang Dirman saat Pak Danang memasukkan batangnya ke dalam liang senggamaku. Mataku menangis menahan ingin muntah, rasanya sesak tapi nikmat dan bikin ketagihan.

Kini semua anggota tubuhku tengah bekerja memuaskan para pejantanku. Lubang senggamaku dimiliki Pak Danang, mulutku milik Kang Dirman, dan tangan kanan-kiriku milik Mamat & Samsul.

Aku bergerak hanyut mengikuti arus, kemana sentakan pejantanku kesitulah tubuhku meliuk. Baik Mamat atau Samsul sesekali merintih saat aku tak sengaja meremas batang mereka akibat hentakan Pak Danang yang seolah ingin memasukkan batangnya sampai rahimku.

"Aaahhhh .... Ahhhhh .... Sa-Saya Nonnnnnhhh .... Uhhhh ...." Samsul tak kuasa menahan servisan tanganku hingga akhirnya meluruhkan lahar panas di sana. Dia kemudian lemas dan jatuh ke samping.

"Huhhhhh mantep Noonnnnhhhh .... Kalau tiap hari disepong gini .... Uhhhh!!!" Kang Dirman menyentakkan dalam-dalam kontolnya dengan sebal ke dalam tenggorokanku sebelum akhirnya membuang pejunya di sana.

"Tiap hari juga saya bakalan entotin Non Ayu!" lanjut Kang Dirman sambil menarik lepas kontol miliknya.

"Uhkkkk .... Uhk uhkkk ...." Aku batuk beberapa kali karena sebagian peju miliknya masuk ke saluran kerongkonganku, nyaris membuatku tersedak.

Namun baru juga selesai menyervis milik Kang Dirman, sebuah kontol hitam lainnya sudah berdiri mengantri untuk pelayanan selanjutnya.

"Sepongin, Non!" ucap Mamat dengan nada berat.

Aku menyeka air mataku lalu lanjut memasukkan benda milik Mamat ke dalam mulutku.

Dihentak Pak Danang sambil harus mengoral milik Mamat, rasanya tubuhku terkikis hancur. Beruntung aku dalam pengaruh alkohol sehingga sedikit banyak rasa nyeri dalam tubuhku bisa tertahankan.

"Ohhhh .... Ohhhhh lonteee anjinggg lonte anjiinggg ...." ringis Mamat sambil mempercepat sodokannya dalam mulutku.

Rasa bangga bak mengguyur habis tubuhku, tentu saja, asalkan diberi kesempatan servisanku juga tak kalah dengan milik Kak Lidya, gumamku dalam hati.

"Nggghhhhh udahhh nonnnn .... saya mau kelu .... arrrgghhhhh ...." Pak Danang membenamkan dalam-dalam kontolnya hingga mencium bibir rahimku, membuat mataku terbelalak menerimanya.

"Saya juu .... ga nonnnnnn .... Ahhhhh ...." Mamat ikut menyodokkan dalam-dalam batang miliknya di tenggorokanku hingga—

CRTT! CRTT! CRTT!

Keduanya menyirami bagian dalam tubuhku dengan peju sampai puas. Mereka kemudian melepaskan batang mereka masing-masing dan membuatku jatuh dari sofa dan terkapar di lantai rumah.

Napasku tersengal-sengal, dadaku yang masih tersembunyi di balik khimarku terlihat naik turun.

Kulihat Samsul mendekat lalu menetek di susuku sementara Pak Danang menarik sedikit ujung khimarku dan memakainya sebagai lap penisnya.

"Waduh saya juga mau nih ngerasain jepitan memeknya, Nang!" Kang Dirman menarik kembali tubuhku ke atas sofa, dan membuat Samsul pun mengalah mundur, sayangnya belum sempat masuk Kang Dirman sudah dihentikan suamiku.

"M-M-Maaf pak, to-tolong pakai kondom!" pinta Mas Rian sambil menyodorkan kondomnya padaku.

"Halah, harus pakai ginian pula mana kerasa," balas Kang Dirman tak terima.

"Pakai!" ucap Kak Lidya dengan nada datar, wanita itu menatap Kang Dirman dengan satu senyuman tipis hingga lelaki itu pun bergidik dibuatnya. Sungguh meski hanya satu kata, aura Kak Lidya terasa kental memenuhi ruangan jika dia sudah mengeluarkan nada serius.

"Halah, sialan memang kamu, awas kalau sampai ukurannya kekecilan!" lanjut Kang Dirman yang masih tidak terima lalu menampar pipi Mas Rian, melampiaskan rasa kesalnya.

Mas Rian mengaduh memegangi pipinya yang panas lalu kembali duduk di samping Kak Lidya, aku tertawa remeh melihat pecundang itu dan mengangkangkan kakiku, bersiap menerima sodokan pejantanku.

BLES!

"Ohhhhhh ...." Aku mengaduh tak kuasa menahan rasa sakit dan nikmat yang bersamaan datang, Kang Dirman yang masih tampak emosi memasukkan benda miliknya dengan sekali tusukan kasar, dia kemudian memompa tubuhku dengan membabi buta.

"Perek anjinggg .... Babiiii .... Memek akhwat syari gini pastinya haus sama garukan-garukan kontol lain yahhhh .... Hmhhhh .... Dasar ukhti lacurrr ...." ucapnya sambil terus menghujamkan dengan kasar batang miliknya dalam liang vaginaku.

"Aaampunhhh paaakkkk .... Pelan-pelannnnnhhh ...." Aku menangis menahan sakit, sebelum akhirnya Kang Dirman mencabut batang miliknya.

"Pelan-pelan? Ohh kamu mau aku pelan-pelan? Ya udah siniin tanganmu!" ucap Kang Dirman.

Lelaki itu mencabut paksa cincin nikahku membuatku meringis perih. Kang Dirman melepas kondomnya dan membuka kondom baru, bedanya kali ini dia menaruh cincin nikahku di sana lalu mendorongnya masuk hingga besi tanda pengikat janji suciku dan Mas Rian kini berada di puncak kepala penisnya.

Jiwaku terasa lemah mendapat perlakuan seperti itu, sampai sejauh inikah aku ingin lebih direndahkannya lagi. Mas Rian tak bereaksi sedikitpun, dia hanya menikmati kocokan demi kocokan tangan Kak Lidya pada batangnya sambil menontonku.

Apa artinya aku bagimu, mas?
Apa artinya pernikahan kita selama ini?

Kali ini Kang Dirman memasukkan kembali batangnya dan memompa tubuhku dengan pelan. Dengan jiwa yang hampa aku membiarkan nikmat syahwat memenuhi darahku untuk pereda nyeri, baik nyeri tubuh maupun nyeri di hati.

Aku lemah membiarkan tubuhku tersentak tak berdaya sampai akhirnya orgasme dalam keadaan kosong, tak menjerit ataupun meregangkan tubuhku, aku menatap hampa wajah Mas Rian yang menjadikanku sebagai bahan masturbasi di seberang sana.

"Ohhhhh .... Hhhhhh .... Saya keluar .... Ahhhhh Non Ayuhhhhh ...." Tubuh Kang Dirman menegang lalu mengeluarkan spermanya yang kali ini terhalangi oleh kondom.

Ditariknya penisnya keluar sehingga meninggalkan kondom miliknya di dalam tubuhku. Aku mengangkang pasrah dengan kondisi cairan peju mengalir keluar membasahi lantai.

Samsul datang mendekat lalu mencabut kondom berisikan cincin nikahku yang dibanjiri peju milik Kang Dirman. Diikatnya karet itu lalu dibuangnya ke tempat sampah. Remaja itu pun lanjut memeluk tubuhku dan menarik lepas khimarku hingga kini tak tersisa sehelai benang pun yang menutupi tubuhku.

"Tahan Sul! Aku mau masukin punyaku!" ucap Mamat sambil memakai kondom baru lainnya.

Samsul menahan tubuhku dengan cara mencengkeram kedua dadaku dari belakang, sementara Mamat memasukkan benda miliknya ke dalam tubuhku.

"Ouhhhhhh ...." Aku merintih nikmat sebelum akhirnya memejamkan mata membiarkan remaja itu berkreasi dengan syahwatnya.

Genjotannya tampak kaku, kelihatan sekali kalau anak ini belum berpengalaman menyangkut urusan seks. Yah, aku tidak bisa menyalahkan sih, dengan uang yang seadanya kalau ada duit pasti dipakai beli makan ketimbang pesan BO.

Samsul yang berada di belakang tubuhku terlihat gelisah sambil menggesek-gesekkan batang miliknya. Mamat pun menarikku sehingga berdiri sejenak sebelum akhirnya Samsul mengikuti instingnya dan mengarahkan batang kejantanannya di depan lubang pantatku.

"Aahhh .... Jangan .... Jang .... Ahhhhkkk ...." Aku terbelalak saat penis itu mendobrak masuk sedikit demi sedikit, perlawananku terlalu lemah sehingga terkesan sia-sia. Aku pasrah saat Mamat terus mendorongku untuk menduduki penis Samsul dan

BLES!

Kurasa dua batang itu telah mendapatkan lubang mereka masing-masing.

Aku merintih kesakitan sebelum kemudian Kak Lidya datang mendekat lalu meminumkan anggur merah langsung dari botolnya ke mulutku. Dipaksanya aku minum beberapa teguk sampai batuk-batuk, lalu saat wajahku sudah memerah dia berhenti melakukannya.

Dengan mata berkunang-kunang, duniaku sudah terasa berputar lebar, aku tak tahu lagi apa siapa dimana dan sedang apa. Yang kutahu adalah Mamat dan Samsul sedang berlomba-lomba mengejar kenikmatan duniawi mereka menggunakan tubuh bugilku lalu orgasme lagi.

Pak Danang dan Kang Dirman memasukkan penis besar mereka dan mencekoki tenggorokanku lalu keluar di sana. Samsul menduduki wajahku dan memaksaku untuk menjilati lubang anusnya agar. Mamat mencupangi kedua dadaku dan menampar pipiku beberapa kali hingga aku muntah di lantai.

Semua ingatan itu begitu samar dan terpotong-potong.

Aku merangkak menjauh dengan keadaan setengah sadar menuju Kak Lidya dan Mas Rian yang tengah berciuman namun pejantanku lekas menarik betisku lalu menghantamkan batang perkasa mereka lagi .... lagi .... dan lagi.

Baik Mamat dan Samsul berbarengan menjejalkan kedua penis mereka dalam satu lubang vaginaku sementara Kang Dirman menganalku dari belakang.

Pak Danang menghisap rokoknya dalam-dalam lalu menciumku yang mabuk berat sehingga asap rokok pun keluar di sela-sela ciuman kami.

"Aahhhh .... Ahhhhh .... Sudahhhh .... Ampunnnn .... Ampunnnn ...." pintaku memohon dan bersujud di kaki Pak Danang, kuciumi kakinya mengiba agar aku diberi istirahat hingga pria itu tertawa terbahak-bahak.

"Non Ayu budak siapa?" tanya Pak Danang.

"Ayu budak kontol bapak-bapak semua. Ayu lonte pribadi kalian semua. Tubuh Ayu milik kalian," balasku lemas dengan wajah memerah dan kepala yang amat pusing.

"Waduh, kondomnya habis nih...." Kang Dirman merogoh kotaknya dan kini sungguh tak bersisa satu pun kondom.

"Gimana, Non?" tanya Pak Danang, Kak Lidya menggeliat meregangkan kedua tangannya ke atas.

"Ya udah, kasih dia istirahat," perintah Kak Lidya.

"Yah, tapi saya masih sange, Non." Kang Dirman tampak protes dengan keputusan Kak Lidya.

"S-Saya juga, Non." Samsul maju diiringi dengan Mamat di belakangnya.

"Kalian tuh ya. Ngewe kek besok bakalan kiamat aja. Kalau ngga slese hari ini 'kan besok besok masih bisa lanjut," ucap Kak Lidya ketus sambil menarik lepas gamisnya, hingga menampakkan tubuh indahnya.

"J-J-Jangan, Lid!" Mas Rian terlihat menahan Kak Lidya, tak rela ada penis lain yang memasuki wanita itu.

"Kamu merintah aku?" tanya Kak Lidya, sehingga Mas Rian pun tampak seperti kerupuk layu mendengarnya.

"Yaudah, yang masih belum puas sini, sama aku!" ucap Kak Lidya membentangkan tubuhnya, para pejantanku pun pergi meninggalkanku dan mengerumuni tubuh Kak Lidya.

Samar-samar mataku mulai memburam, betapapun aku mencoba memfokuskan pandanganku aku tak bisa menatap dengan fokus apa yang selanjutnya terjadi.

Semua begitu samar-samar sampai akhirnya gelap gulita.

Aku tidak tahu apapun lagi, kurasa aku pingsan, entah karena mabuk atau karena kehabisan tenaga setelah dikeroyok masing-masing pejantanku.

Sayup-sayup terdengar suara adzan subuh sehingga aku pun terbangun dari tidurku. Badanku terasa hancur lebur dan ruas-ruas tulangku serasa longgar semua. Aku bergegas berdiri berlari menuju kamar mandi lalu muntah di dalam toilet, busa busa dari pilsener serta sebagian anggur keluar kembali meninggalkan lambungku. Aku batuk beberapa kali sebelum lanjut muntah mengosongkan perutku.

Keluar dari kamar mandi aku melihat para pejantanku terkapar di lantai. Kang Dirman jatuh tiarap sementara Pak Danang terkapar terlentang di atas punggung Kang Dirman. Samsul tidur dengan bugil di sofa dengan posisi tangan terlentang dan mengangkang sementara Mamat—

"Ohhhh sudah Nonn .... Sudahhhhhhh .... Ohhhhh ampunnnnn .... ammmmpuuuunnhhhh .... Ohhhhhh ...."

"Kenapa dekkk? Ngga suka sama jepitan ukhti?" goda Kak Lidya sambil menenggak habis satu kaleng pilsener.

Ya, Mamat sedang diperkosa oleh Kak Lidya dengan gaya missionari. Lelaki itu menguik-nguik bak babi memohon ampun pada Kak Lidya, setelah tubuhnya orgasme dia menggelepar beberapa kali layaknya ikan yang dikeluarkan dari akuarium.

Mamat menganga lebar dan terlentang pasrah menunggu Kak Lidya yang akhirnya orgasme.

"Fuuuuhhhh .... Berantakan juga ya .... Udah lama ngga party party kayak gini .... Jadi inget pas masih kuliah," ucap Kak Lidya sambil melepaskan khimar miliknya, dipakainya kain itu untuk mengelap keringat dan sperma di tubuhnya sebelum kemudian duduk di sofa.

"K-Kak Lid .... Mas Rian mana, kak?" tanyaku heran tak melihat suamiku dimana pun.

"Ohhh itu di teras. Aku suruh tidur di luar. Males punya peliharaan bawel kalau malam. Ya udah suruh tidur di luar," jawab Kak Lidya dengan santainya.

Aku bergegas berjalan menuju luar dan membukanya.

"Astagfirullah," ucapku spontan saat melihat suamiku tertidur di lantai dalam keadaan telanjang dan mata memutih, tangannya terikat dan terpasang sesuatu pengunci di penisnya, besi itu seolah mengurung penis Mas Rian agar tidak bisa disentuh, mungkin ini yang namanya chastity belt yang biasa di situs-situs porno itu, pikirku. Kak Lidya bahkan membawa ini?

"Mas! Mas Rian! Udah Subuh Mas, bangun! Shalat!" ucapku.

Pria itu mengeluh lalu berdiri, ketika batang kecil miliknya dekat dengan wajahku aku baru sadar bahwa chastity belt itu juga dilengkapi dengan baterai sehingga merangkap sebagai vibrator. Sambil melenguh lemah bak kerbau, suamiku pun masuk dan menunaikan Shalat.



Ketika pagi telah tiba, Mas Rian memasak sarapan dibantu dengan Pak Danang.

Selagi para raja dan ratu itu duduk di bawah menyantap hidangan mereka. Aku dan Mas Rian makan di kolong meja dengan mangkuk makanan kucing.

Selesai makan, kami para betina pun mengantar para pejantan kami ke pintu depan. Dengan lunglai mereka melangkah pulang ke rumah masing-masing sebab kenikmatan yang mereka dapat di sini takkan mereka dapatkan di rumah mereka masing-masing.

"Aku pulang dulu, yah. Nanti sore aku jemput lagi, Yu. Kita ada pengajian di Masjid Agung. Kamu harus ikut," pinta Kak Lidya.

"I-Iya, kak." Aku mengangguk terpaksa melepas pergi Kak Lidya hingga kini tersisa, Pak Danang dan Mas Rian yang menemaniku di rumah.

Selagi Mas Rian mengepel lantai membersihkan sisa-sisa pesta seks kami. Aku dan Pak Danang berpagutan sambil menonton televisi.

"Nanti di tempat kajian carikan lagi ukhti buat jadi budak seks saya, Non. Cariin yang Ustadzah kalo engga yang cadaran gitu, ummi umahat gitu gitulah," ucap Pak Danang.

"Mmmnnnn .... Ngga mau .... Nanti Pak Danang ngga mau sama memek Ayu lagi ...." ucapku merajuk lalu dia pun tertawa.

"Ngga kok Non. Jepitan memek, Non. Memang selalu di hati!" sahut Pak Danang sambil menciumku.

Tak lama pagutannya pun terlepas karena aku merasa mual. Aku berlari kembali ke toilet dan memuntahkan isi perutku. Benar-benar kacau, apakah memang begini dampak setelah pesta seks? Atau memang lambungku saja yang intoleran dengan minuman beralkohol?

Pagi ini aku sudah bolak-balik muntah di toilet. Aku tak nafsu makan. Hanya bisa minum air putih dan kencing beberapa kali diiringi dengan muntah. Tubuhku serasa tergerus dan akibat aku tak nafsu makan, aku pun melemah hingga terbaring sakit.

Pak Danang dengan lembut mengompresku sementara Mas Rian memasakkan bubur untukku. Saat Mas Rian menyendokkan bubur dan menyodorkannya untuk menyuapiku aku mengalihkan wajahku menolak baunya. Dia pun menaruh mangkuk itu di samping bed kami.

"Sini, Non. Saya suapin," tawar Pak Danang.

Anehnya, tubuhku seolah merespon pada suaranya. Sedikit, sedikit aku mau menerima bahkan memaksa diri sendiri untuk makan agar tidak mengecewakan pejantanku.

Dengan lembut dia menyuapiku sambil mengelus-elus dahiku.

Sampai waktu sore pun tiba tubuhku masihlah terasa lemah. Kak Lidya pun datang dan duduk di samping tempat tidurku sambil memegangi dahiku.

Aku bangun, lalu muntah di toilet kamar kami. Bubur yang tadi sempat kusantap buat mengisi perut kembali keluar hingga perutku kembali kosong. Aku mengaduh ngilu. Dadaku terasa sakit. Mungkin akibat cupangan para pejantanku tadi malam. Entahlah, tapi tubuhku benar-benar tidak berfungsi dengan baik seharian ini.

Kak Lidya, Mas Rian, dan Pak Danang berdiri menatapku yang baru keluar dari toilet. Tampaknya Kak Lidya habis membicarakan sesuatu pada mereka.

"A-Aku kenapa, kak?" tanyaku lemah.

Kak Lidya pun membuka kotak P3K kami lalu mengeluarkan test pack dari dalam sana. Dia menyodorkan benda itu padaku membuatku menggeleng.

"Ngga mungkin. Ngga mungkin, kak. Ini baru pertama aku party begini," ucapku menolak percaya.

"Memang baru pertama kamu main-main begini. Yang artinya .... kalau sampai kamu hamil berarti sudah beberapa minggu sebelum hari ini," terang Kak Lidya datar.

Aku berkaca-kaca dan masuk kembali ke dalam toilet.

Aku tak menyangka aku melakukan semua dosa itu dalam keadaan mengandung. Siapa ayah anak ini. Siapa? Milik Mas Rian? Pak Danang? Aku lupa orang-orang yang sudah menjadikanku sebagai tempat pembuangan peju mereka.

Aku menangis saat melihat dua garis biru muncul di test pack yang seolah mengukuhkan kata-kata Kak Lidya. Jauh sebelum pesta seks ini aku sudah hamil, entah sejak kapan. Aku menangis sesengukan di dalam toilet sambil memeluk tubuhku.

Sore itu kami berempat duduk di ruang keluarga, diam tanpa ada suara. Aku menatap kosong udara di depanku. Aku bingung harus berbuat apa.

"Kalau dipikir-pikir lagi yang punya potensi sebagai ayah kandung anak Ayu saat ini cuman Danang. Selama kita tutup mulut, tetangga ngga bakalan curiga karena pasti ngiranya itu anak Rian. Cuman gimana mental kamu, Yu? Kalau kamu sanggup mikulnya ya, kita cukup tutup mulut aja...." terang Kak Lidya, aku hanya menunduk sambil mengigit bibir bawahku.

"Atau kita bisa ******—"

"Jangan!" potongku setengah menangis, Kak Lidya pun diam melihatku.

Kami bertiga kembali diam, tak tahu harus berbuat apa. Solusi masalah ini sebenarnya simpel. Cukup tutup mulut. Namun beban moralnya sungguh besar, aku harus hidup dengan kenyataan bahwa anakku saat ini bukanlah anak dari suamiku melainkan pembantuku. Apa jadinya jika kelak dia sudah besar lalu bertanya mengapa wajahnya tidak mirip dengan ayahnya.

"Saya ...." ucap Pak Danang membuka pembicaraan dan kami bertiga pun meliriknya.

"Saya bakal tanggung jawab Non," lanjut Pak Danang.

"Gimana caranya, Nang?" tanya Kak Lidya namun pria tua itu pun tak bisa menjawabnya.

Kak Lidya menarik napas panjang lalu menengadahkan kepalanya di punggung kursi sambil berjungkit beberapa kali kebelakang.

"Kalau nikahnya diam-diam sih ngga terdaftar di negara, bisa-bisa aja. Tapi kamu punya tabungan buat resepsi?" tanya Kak Lidya lagi sambil menatap langit-langit, lagi, hanya diam.

Aku menundukkan kepalaku. Apakah aku harus bercerai dengan Mas Rian? Apakah ini akan jadi akhir dari rumah tangga kami? Aku tak mengerti lagi.

"Yaudah, kalian nikah siri aja, Nang. Tapi ngga bisa di sini, harus di kampungmu sana, Nang. Biar nanti Rian yang biayain nikahannya," lanjut Kak Lidya sambil meluruskan duduknya.

"T-Tapi Lid—"

"Cerai, ******, atau tutup mulut. Udah itu doang pilihan sisanya," tawar Kak Lidya.

Mas Rian gelisah menatapku lalu mencoba memegang tanganku, "Yu. Ngga usah nikah segala. Cukup diam aja, jalani kayak biasa, orang ngga bakalan curiga. Biar kita besarkan anak ini sama-sama. Aku janji—"

"Sssshhhh!!" Aku menarik tanganku jijik mendengar ucapan suamiku.

"Janji? Cincin tanda janjimu itu udah di tong sampah dalam kondom. Aku jijik sama kamu, Mas. Satu-satunya alasan detik ini aku ngga milih cerai sama kamu ya karena mikirin masa depan anak ini!" balasku keras dengan mata berkaca-kaca, dia termanggu mendengar jawabanku.

"Berarti tinggal nikah atau ******," lanjut Kak Lidya.

Ya, kami semua tahu apa jawaban yang akan kami pilih. Hanya masalah waktu sampai hati kami masing-masing menerima kenyataan.

Aku menyandarkan kepalaku di pinggir kaca mobil, melihat jalanan penuh hutan sawit dan belantara. Aspal masih baru sebagian, sedangkan sisanya adalah tanah merah yang kalau hujan bisa becek sampai membuat ban amblas.

Desa milik Pak Danang terletak di pelosok kecamatan, jauh menuju arah hulu. Perlu tiga hari perjalanan darat dan satu kali lewat sungai sebelum akhirnya kami sampai di tempat antah berantah itu.

Hanya tetangga sekitar yang menghadiri acara pernikahan itu. Aku meneteskan air mata saat berdiri di sampingnya dengan pakaian pengantin. Terharu atas keberaniannya bertanggung jawab sampai akhir. Sebagian orang berbisik-bisik melihat aku yang mengenakan khimar sedang melakukan pemberkatan bersama Pak Danang di gereja. Tentu mereka sadar bahwa agama kami berbeda, tetapi aku tak peduli, aku tak peduli apa kata orang selama anakku nanti bersama ayah kandungnya itu sudah cukup bagiku.

Kami berdua mengucap janji di hadapan bapak pendeta. Pak Danang memasangkan cincin berlian sebagai tanda janji suci kami, begitupula dengan sebaliknya. Aku tersenyum bahagia di depan kamera dengan diiringi lagu-lagu pujian di belakang kami.

Keluar dari sana, aku melihat Mas Rian dan Kak Lidya yang melambai di kejauhan. Menandakan restu mereka atas pilihanku.

Aku dan Pak Danang menghabiskan waktu beberapa saat di kampung halamannya sebelum akhirnya pulang kembali ke kota. Kami menyiapkan rencana bulan madu kami di Lombok selama tiga hari dua malam dengan dibiayai oleh Mas Rian.

Aku masih belum menceraikan Mas Rian, pastinya aku masih perlu dompetnya buat keperluanku dan bayiku kelak. Dan Mas Rian pun tak punya kemampuan sedikitpun untuk menolak keputusanku sebab ada Kak Lidya di sisiku.

Kehidupanku yang dulu hilang tak berbekas, semua terkonversi menjadi sebuah bentuk kehidupan baru yang menandai awal kisah baru keluarga kami.

DUA TAHUN KEMUDIAN


"Ssshhhh shhh shhhh .... Shhhhh shhhhhh ...." Aku mencoba menenangkan bayiku agar tidak menangis di tengah sesi foto.

"Duhhh cantiknya. Afwan, namanya siapa, ukh?" tanya Ustadzah Oki yang tampak gemas melihat anakku.

"Namanya Husna, Ustadzah," jawabku sambil melepaskan putriku ke pangkuan Ustadzah Oki.

"Cupcupcup .... Husnaaa .... Moga jadi muslimah yang baik ya kayak ibunya, rajin ikut kajian, berbakti sama suami, terus pandai menjaga aurat .... Mmmuuuah ...." Ustadzah Oki Setiana Dewi mencium Husna dengan lembut sebelum kemudian menyerahkan kembali anakku ke pelukanku.

"Syukron, Ustadzah. Semoga doanya diijabah," jawabku.

"Aaaamiiinn. Yu, yu, semuanya merapat!" pinta Ustadzah Oki, dan beberapa pasang kamera pun dengan sigap mengambil foto-foto kami para ibu pengajian.

Aku berjalan ke parkiran didampingi dengan para pejantanku. Tangan Pak Danang dengan nakal meremas pantat kiriku, sementara Kang Dirman meremas pantat kananku. Kami bertiga berjalan beriringan menuju mobil.

"Silahkan, bu." Kak Lidya tersenyum kecil membukakan pintu lalu memagut bibirku.

"Mmmhhhh, kalian masih belum puas ya?" sahutku manja sambil melepas kecupan kami.

"Kami lagi diskusiin nih, Non. Buat anak kedua nanti siapa yang kebagian jatah buat ngisi perut, Non Ayu. Kalau saya sih, ngikut maunya Non Ayu aja siapa," lanjut Kang Dirman.

Aku tersenyum sambil menepuk-nepuk pelan pantat Husna. Selagi para pejantanku sibuk berdesakan di kursi belakang berebut tubuhku, Mas Rian hanya fokus menyetir dan menghiraukan kami. Bagi pria itu selama Kak Lidya ada di sampingnya dia tak peduli mau aku hidup ataupun mati. Aku pun tak peduli padanya. Selama transferan di rekening lancar, mau dia ngentot sama lacur jalanan pun itu urusannya. Tugasku sekarang adalah memfokuskan bakti jiwa dan ragaku pada pejantan-pejantanku.

"Eh, ngomong-ngomong aku bikin majelis kecil-kecilan. Kukasih nama Majelis Syahwat. Isinya akhwat-akhwat cadaran yang haus sama kontol bukan mahromnya. Nanti kita nyewa villa yuk, buat party bareng lagi," ucap Kak Lidya.

Aku tersenyum tipis mendengarnya. Entah kegiatan seliar apa lagi yang ingin diadakan Kak Lidya, namun selama itu bersamanya, lautan birahi seluas apapun akan kuarungi.

"Iya, kak. Aku ikut."
 
User di-banned, maka konten otomatis dihapus.
User is banned, content is deleted automatically.
 
User di-banned, maka konten otomatis dihapus.
User is banned, content is deleted automatically.
 
wuanjriiitt MAJELIS SYAHWAT,,kasih tau juragan jadwal kajiannya hari apa aja,,pengen ikuttan buang "tai macan" juga,,
 
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd