Pembuka.
Seoul. Present.
Langit bersahabat. Dengan sukarela, ia membuat bintang-bintang yang ada bersamanya bersinar terang, ditemani dengan sebuah rembulan. Cahaya rembulan itu lebih terang dibanding bintang-bintang yang ada. Bahkan, cahayanya menembus jendelaku. Menerpa diriku tepat di bagian wajah. Terang sekali.
Dentingan music box bergema. Setiap nada yang dihasilkan berhasil memantul dengan indah di dalam ruangan ini. Dentingannya membentuk susunan nada yang harmonis, membuat satu lagu dari idol group kenamaan terdengar.
Eien Pressure. Selamanya Pressure.
Lagu yang membawa ingatanku menuju hari itu. Hari dimana aku pertama kali mengenalnya. Hari dimana aku pertama kali berbicara kepadanya. Hari dimana ia dengan telaten mengajarkan bahasa sehari-harinya. Hari dimana ia menciumku dibawah rembulan. Hari dimana kami pertama kali bercinta. Hari dimana ia memintaku untuk menjadi tunangannya.
Hari dimana aku memutuskan pergi dari hidupnya.
Lagu itu terus berputar, menuju bagian akhirnya. Aku tidak sanggup menahan genangan di pelupuk mataku, membuat satu tetes air dari bola mataku mengalir menuruni pipi, dan berhenti di lekukan bibirku. Satu tetes lain jatuh, begitu seterusnya, hingga aku sadari bahwa aku menangis. Sebuah perbuatan yang selalu dibenci olehnya. Jari-jariku mengarah ke sebuah kalung perak yang menempel di leher ini.
Kalung perak dengan dua
Hangul yang menjadi ornamennya. Ornamen kerinduan terhadap kehadiran sosoknya. Sosok yang pernah mengisi hidupku. Sosok yang selalu menjadi yang pertama dalam hidupku.
Mesin cetak yang daritadi bekerja, telah menuntaskan pekerjaannya. Tiga lembar kertas putih sudah terisi dengan beberapa kalimat. Kalimat yang tercetak sedikit lebih besar diantara yang lain bertuliskan “ICN – CGK – Direct”.
Kedua tanganku berpegangan. Aku ingin berdoa kepada Tuhan.
“Tuhan, jika engkau izinkan, aku bertemu kembali dengannya, maka tolong, jangan buat aku mengulang semuanya. Jangan buat aku kembali mencintainya. Jangan buat aku kembali jatuh cinta kepadanya. Jangan buat ini seperti yang pertama, meski ia memiliki nama itu diantara 4 kalimat dari namanya. Amin.”
Masih terpejam, aku menutup doa dengan menyentuh bagian tengah keningku dengan telunjuk dan jari tengah, lalu turun ke dada bagian tengah, kanan, dan kiri.
“Momo unnie~” sebuah suara terdengar dari balik pintu, bersamaan dengan terbukanya kedua kelopak mataku.
“Nee.”
“Ayo kita makan! Kakak ku membawa pulang pizza berukuran besar!” pemilik suara mengintip sedikit dari balik pintu yang ia buka perlahan.
“Baiklah. Mari kita makan, Minatozaki.” Kakiku menginjak kembali lantai kamarku setelah aku menyeka sisa airmataku. Gadis yang aku pangil Minatozaki tadi menunjukan raut wajah antusias, lalu segera menggandeng tanganku menuju kamarnya.
Tuhan, setidaknya, tolong buat hari esok mudah.
Namaku Hirai Momo.
Izinkan aku menceritakan sebuah kisah tentang diriku dan sosok yang selalu menjadi yang pertama dalam hidupku.