Bagian 3
Seminyak, Bali. Kala itu.
“Atas nama mas Kenan Artama Mirza Pradipa, dan mbak Hirai Momo?” resepsionis itu membaca nama kami.
“Betul mbak.”
“Kamar 501, silahkan. Terimakasih, selamat beristirahat.” Sebuah kartu diserahkan oleh resepsionis itu. Lift membawa kami ke lantai 5. Tangan Kenan masih menggenggam jemariku.
Beep.
Pintu kamar terbuka. Sebuah kasur single bed dengan pemandangan luar langsung ke kolam menjadi pilihan kami. Kenan membanting tasnya, lalu segera melompat keatas kasur. Bahkan sepatunya belum ia lepas. Kulihat matanya terpejam.
“Lelah?”
Kenan mengangguk kecil. Sneakers yang aku kenakan, kulepas. Aku mengikutinya berbaring. Mataku menangkap setiap inci wajah laki-laki kesayanganku ini. Rambutnya yang jarang ia sisir namun terlihat rapih, alisnya yang cukup tebal. Ah, bahkan aku hapal semuanya.
Wajahku berjarak 2 senti. Bibir yang sedikit tebal itu aku kecup. Tubuh Kenan sedikit berguncang, mungkin kaget. Namun, kurasakan objek kecupanku itu membalas. Lengannya menarik tubuhku untuk merapat.
Lidahnya menerobos rongga mulutku, mencari dan menautkan lidahku. Tangannya meraih bagian bokongku, sesekali meremasnya.
“Katanya capek?”
“Kamu mancing.”
“Lanjut gak?”
Dengan cepat, tubuhnya sudah berada diatasku. Kami terbakar nafsu. Kemeja yang aku kenakan terbuka, membuat kedua buah dadaku nampak. Bibir kami kembali bertemu sebentar. Tanganku sibuk membuka sabuknya, sementara ia tengah menciumi setiap inci wajahku. Hidungku, mataku, bahkan telinga dan leherku.
“Geli ih.”
Kenan mengacuhkanku. Niat jailku tercipta. Dengan cepat, penisnya yang sudah tegang aku remas dari luar celana. Dengan kasar tentunya.
“Ah!”
“HAHAHAHA.”
Rupanya, sebuah kesalahan besar aku menjailinya dengan cara seperti itu. Tubuhku ia tarik dengan sedikit memaksa, membuat kemeja dan bra yang aku kenakan terlepas. Kedua buah dadaku ini menjadi sambaran mulutnya.
“hngghh,, geliiii... aahhh..”
Putingku ia mainkan dengan lidahnya. Sesekali ia gigit, membuat tubuhku sedikit menegang. Tangannya mulai bergerak. Kulitnya yang sedikit kasar itu bertemu dengan pahaku, hingga mencapai pangkalnya.
“emhh.... iyaahhh.. kocokin....”
Sesuatu menerobos bibir vaginaku, yang aku tebak itu adalah jarinya. Jarinya makin cepat bergerak keluar-masuk vaginaku.
“hngghh... aahhh.. iyaaahhhh...”
Otot-otot vaginaku mulai menegang. Sesuatu kurasakan akan memberontak keluar dari alat kelaminku ini.
“AAHH.. KENN... AKU KELUARRR... ARRGHHH..”
Cairan mengucur deras dari vaginaku. Reflek tanganku menggapai jemari Kenan, lalu menjilatinya sendiri. Nikmat sekali rasanya. Kenan berdiri. Celana beserta kaosnya ia lepas. Penisnya mengacung tegak. Favoritku.
“Gak mau jilat dulu gitu?”
Aku tertawa, lalu menggeleng.
“Udah keburu gatel, ayo doongg.”
Kupastikan nada bicaraku tadi merengek. Kenan tersenyum. Ia kembali naik keatas tubuhku. Penisnya segera mengarah ke vaginaku.
“aahh...”
Mataku terpejam bersamaan dengan penisnya yang menerobos masuk vaginaku. Buah dadaku menjadi objek permainan tangan Kenan. Pinggulnya maju mundur, membuat kulit penis dan dinding vaginaku bergesekan.
“hngghh.. kenn.. aahhh. Enaakkk....”
Gerakan pinggulnya makin cepat. Sesekali ia memelintir putingku. Aku tidak dapat menahan diri. Kepalaku menggeleng tak karuan menikmati penisnya.
“Keenn... akuu... aargghh.. aku....”
“Barengg... eehh... “
“Diluar plis..... aarghhh...”
Penisnya semakin cepat keluar-masuk di vaginaku. Otot-otot vaginaku kembali menegang. Kurasakan penis Kenan juga menjadi lebih tegang.
“AARHHGG KENAAANNN..”
Cairan cintaku mengalir dengan deras. Beberapa semprotan mengenai pinggulnya. Kenan segera mencabut penisnya dan mengarahkan organ keramat itu ke wajahku.
“Hngghh..”
Mataku terpejam menerima hujan spermanya. Lengket. Beberapa tetes kurasa mengenai rambutku.
Badai orgasme berhenti. Tubuh Kenan ambruk diatas tubuhku. Sperma di wajahku ia bersihkan dengan kaosnya.
Kecupan mendarat di pipiku.
“Mandi yuk?”
“Kamu dulu.”
“Gak bareng aja?”
“Aku capek astagaa.”
“Baiklah, nona Hirai Momo.”
Kenan bangkit. Nafasnya sudah teratur.
Amenities dari tasnya ia raih dan berjalan menuju kamar mandi.
“anak aneh memang.”
====
Terminal kedatangan, Bandar Udara Soekarno-Hatta, Cengkareng.
“Kak, kenalin. Ini temen aku.”
Pria itu mendongak. Matanya yang sedikit berwarna biru terlihat.
TIDAK MUNGKIN.
INI CUMA MIMPI.
DIA TIDAK NYATA.
TOLONG.
INI CUMAN MIMPI KAN?!
TUHAN?!
Oke. Aku harus terlihat normal.
“Annyeonghaseyo, jeoneun momoibnida. Mannaseo bangabseub...”
astaga....
Aku tidak dapat menahan diri.
Mulut pria itu terbuka.
“HIRAI MOMO?!”
I’m cracking up.
Kedua kaki ini mengajakku berlari. Menabrak tubuhnya, lalu memeluknya. Sosok yang aku tinggalkan. Astaga, aku rindu dia. Air mata yang menggenang di pelupuk mataku segera mengalir deras ketika tubuh yang dulu menemani hari-hariku ini kembali aku peluk.
Tanganku tidak ingin melepas pelukannya, namun tersadar jika ini adalah pacar dari Nadhin.
“Kenapa pake Hangul sih?”
Nada bicaranya tidak berubah. Suara itu. Sorot mata itu. Tuhan...
“Ya aku kan orang Korea.”
Momo tetap tidak mau kalah, Kenan.
Kenan berlalu, menghampiri Nadhin.
“Oh, Momo ini temen aku waktu dulu dia di Indonesia.”
Nada berbohongmu bisa aku rasakan, Ken.
Gagang koper itu aku raih. Membawanya bersamaku.
“Kok?” Nadhin bersuara. Kebingungan kah?
“Iya, bisnis antar orangtua kami.”
Dia tidak sepenuhnya berbohong kali ini. Kami berjalan beriringan. Jersey yang ia kenakan dibubuhi Hangul di lengannya.
Momo, atau jika dalam Hangul tertulis
모모.
Tubuhnya tidak berubah, hanya semakin berisi dan tinggi.
Sebuah mobil menjadi perhentian kami. Kenan menekan tombol di kuncinya, membuat bagasi terbuka. Setelah selesai dengan barangku, aku menyusul Nadhin di kursi penumpang.
Tuhan, jika engkau mendengar, maka tolong. Tolong dengar doaku dua hari lalu. Tolong Tuhan, aku mohon.
Takdir mempertemukan kita lagi kan,
Kenan Artama Mirza Pradipa
Atau kebanyakan orang mengenalmu sebagai
Tama Arnes Andhika
?