MarvelousJonk
Semprot Lover
- Daftar
- 13 Sep 2022
- Post
- 223
- Like diterima
- 2.353
B. Puncak Kenikmatan di Puncak Jawa
Aku pun akhirnya lulus SMA dengan nilai yang memuaskan. Ya, kemampuan akademikku memang bisa dibilang mengagumkan, di mana dari SD sampai SMA aku tidak pernah keluar dari ranking 3 besar.
Selanjutnya aku pun mengobrol dengan orang tuaku saat makan malam. Makan malam kali ini dihadiri lengkap oleh keluargaku karena kak Derry mengambil cuti dan pulang ke rumah bersama Kak Berli.
"Sayang, kamu nanti ngikutin kakak kamu ya kuliah ekonomi, ambil manajemen bisnis aja biar kamu gampang nanti belajarnya," mamaku membuka obrolan. "Hmmm belum tau ma, Dema gak cocok di ekonomi. Gak tau deh gak sreg aja," balasku. "Yaudah kamu mau ambil apa? Papa sih pengennya kamu ke teknik mesin aja, sama kayak papa," Papaku menyela. Kisah papaku memang cukup unik, beliau hanya lulus STM jurusan mesin waktu itu tapi kemampuan engineeringnya luar biasa hingga akhirnya direkrut perusahaan minyak kala itu. Papaku pun dikuliahkan engineering sampe lulus. Tak puas, papaku juga mengambil jurusan bahasa Inggris karena ingin memperlancar bahasa Inggrisnya. "Hah nggak pah, gak banget kalo ke mesin," aku menolak. "Yaudah gini, kamu tuh gak kayak mas kamu ini lho, plek papanya banget," Papaku mulai membandingkanku dengan kak Derry. "Dema kan beda pah sam kak Derry, jangan nyuruh ikan buat manjat pohon pah, selamanya dia akan merasa bodoh," aku membalas papaku dengan perumpamaan. "Ah kamu ini, paling bisa njawab papa, untung papa sayang sama kamu. Yaudah gini aja, papa minta kamu ambil bahasa Inggris ya, kan lebih general, kali ini jangan nolak ya nak permintaan papa," papaku memohon. "Yaudah iya pah, tapi Dema ke sastra Inggrisnya ya, jangan bahasanya, terlalu simpel," ucapku. "Yaudah iya boleh, kamu daftar ke kampus kakakmu gih. "Kak bantu adekmu buat daftar ke kampus ya, pokoknya arahin sampe dia keterima," ucap papaku ke kak Denisa. "Oke pah beres," Denisa menjawab singkat.
Aku pun akhirnya ikut seleksi penerimaan mahasiswa baru, tanpa kesulitan berarti aku pun diterima di salah satu universitas terbaik di Indonesia dengan jurusan sastra Inggris.
*Masa kuliah*
Masa kuliahku selama dua semester cenderung biasa saja, tak ada perubahan signifikan dalam diriku, termasuk pacar, aku masih saja belum kepikiran punya pacar. Ah iya, mungkin memang karena faktor Ajeng. Ya mungkin kemudahanku dalam mendapatkan akses memek membuatku malas punya pacar. Ngapain juga pacaran, toh kalo sange tinggal telepon Ajeng, beres, pikirku saat itu. Ketika ku masuk kuliah, kak Denisa dan Ajeng memang sudah memasuki semester akhir, makanya Ajeng sering datang ke rumah. Aku sering ngentotin Ajeng sesukaku, bahkan ketika mereka sedang menggarap skripsi, aku yang kala itu udah horny bertanya kepada kak Denisa, "Kak udah belum tugasnya? Lama amat udah malem lho ini tidur," ucapku. "Halah bilang aja kamu mau ngentotin Ajeng, pake alesan nyuruh aku tidur," ucap Kakakku agak ketus. "Ya gimana kak udah gak tahan aku," ucapku. "Yaudah ngentot aja di sini dek, beb nungging beb," kak Denisa menyuruh Ajeng untuk menungging. "Eh gapapa beb di sini?" ujar Ajeng. "Eh kakak suka ngaco deh," ucapku. "Udah gapapa lagian kan sering juga kakak liat kalian ngentot, kamu rese abisnya kalo lagi sange," gerutu kak Denisa. "Hehe makasi kak, pengertian banget deh sama adeknya," aku pun menciun pipi kak Denisa. Lalu ku remas payudara Ajeng dari belakang, Ajeng saat itu hanya mengenakan daster tanpa daleman, dan ia pun tidak sedang memakai hijab, karena ya cuma kita bertiga yang ada di rumah. Aku pun langsung menyingkap dasternya Ajeng dalam posisi nungging, kujilati memeknya sebentar, lalu kuentoti Ajeng dalam posisi doggy di depan kak Denisa yang nampaknya serius mengerjakan tugas. "Aaaaah shhhhs cepetan ya sayang keluarin nanti abis tugas kamu boleh entotin aku lagi sayang aaaaah," Aku pun sebenarnya tak tega mengganggu mereka, namun berahiku sudah terlanjur meninggi. Aku percepat saja genjotanku sampai akhirnya, "Crooot...crooot...crooot," spermaku memenuhi pantat dan sebagian mengenai dasternya yang hanya kusingkap tadi. "Aaaaah makasih kak Ajeng," " Iya sayang, nanti puasin aku ya sebelum bobo, belum ngecrot nih aku kentang banget hehe." Aku pun berlalu dan langsung ke kamar mandi, sementara Ajeng, tanpa membersihkan tumpahan spermaku di pantatnya, cuek saja kembali duduk mengerjakan tugasnya dengan kak Denisa di ruang tengah. Setelah mereka nugas, aku ngentot lagi dengan Ajeng di kamarnya kak Denisa. Ya, ini kulakukan atas permintaan kak Denisa sendiri, ia takut kalo di kamar sendirian katanya, akhirnya aku pun ngentot dengan Ajeng di kamarnya kakakku. Ya, kehidupan seksku semakin gila dengan Ajeng, bahkan ketika papa dan mama ada di rumah pun, aku tak segan untuk ngewe dengan Ajeng. Seperti biasa aku menyelinap ke kamarnya kak Denisa dan langsung ngentotin Ajeng di sebelah kakakku, pas dia lagi tidur atau pun pas rebahan main hape, dia cuek aja karena memang sudah terbiasa melihatku dan Ajeng ngewe.
Hubunganku dan Ajeng akhirnya berakhir setelah Ajeng lulus dan keterima kerja di salah satu bank BUMN. Ajeng dipersunting salah satu direksi Bank di kantor cabangnya bekerja. Ia akhirnya diboyong ke Surabaya ke kampung halaman suaminya. Meskipun begitu, sesekali aku tetap meminta jatah ngewe ke Ajeng kalo dia sedang pulang ke Jakarta, dan ya, dia dengan senang hati memberiku jatah.
Kak Denisa pun begitu, setelah putus dengan Rey dan setahun bekerja, sementara aku memasuki semester ke-3, ia dipersunting pacarnya yang asli Korea bernama Kim Jung-suk, seorang senior manager bank tersebut di kawasan Asia-pasifik. Lalu ia pun diboyong suaminya ke Korea dan bekerja di sana. Kini, di rumah hanya tinggal bertiga, aku, papa dan mamaku. Oiya, perlu diketahui keluargaku memang tak memakai jasa pembantu, semua diurus sendiri, lagian rumah kita kecil, sambil olahraga lah, ucap papaku suatu ketika. Di semester 3 ini, aku mulai menjalin persahabatan dengan Matthew, Matthew pula yang mengajakku untuk ngekos juga karena rumah kami sama-sama jauh dari kampus. "Nyet ngekos aja yuk, abis badan gua kalo motoran tiap hari Kemang-Depok. "Apa kabar gue nyet, gue Kebon Jeruk-Depok" balasku tak mau kalah. Aku dan Matthew sebenernya punya mobil, namun ya gila aja kalo harus menempuh perjalanan ke Depok, naik mobil pula, bisa tua di jalan! "Yaudah makanya ngekos dah yuk, gak sehat lama-lama gini terus. Aku pun menyetujui usulan Matthew lalu meminta persetujuan papa. Meski pun papa dan mamaku awalnya agak berat melepasku karena tak ada lagi yang jaga rumah kalo mereka sedang pergi, akhirnya setelah kubujuk, mereka menyetujui usulanku. "Boleh ya pa, aku kan kuliah sampe jumat doang, sabtu minggu pulang kok pasti," "Yaudah deh, nanti papa hire satu orang buat bantuin ngurusin rumah ini," ucap papaku. "Hehe oke pah makasih ya,"balasku.
Aku pun mulai semester 3 ngekost bareng Matthew. "nyet lu ikut Mapala ya, gue daftarin, sebulan lagi kita ada pendakian ke gunung S*****" Matthew membuka obrolan, "Hah apaan? Kagak-kagak, mending gua di kost nonton bola daripada ngedaki," balasku menolak. "yeeee dibilangin, asal lo tau ya, anak mapala cantik-cantik anying, apalagi ada Mia, beeeeuh!" Matthew mengiming-imingiku dengan wanita agar mau bergabung di Mapala. "Bodo amat! mau Mia kek, Mae kek, B O D O A M A T!," aku menolak mentah-mentah ajakan Matthew. "badan lo oke, lu futsal sama renang kan, gak bakal kesulitan dah ngedaki, gue jamin itu," Matthew kembali meyakinkanku. "Hah bodo ah nyet, gue mau nonton emyu dulu," Aku pun tak menggubris permintaan Matthew untuk gabung di Mapala. "Hah nyesel lu ntar gak bisa deket-deket sama Mia," ujar Matthew yang masih berusaha meyakinkanku.
Aku memang menjaga kebugaran tubuhku dengan main futsal, renang, dan sesekali nge-gym, dan aku rasa gak akan kesulitan kalau mendaki gunung, tapi aku malas karena memang gak punya passion di situ aja. Seminggu kemudian setelah jam kuliah berakhir, aku mencari Matthew yang tak ikut jam terakhir, kutelepon Matthew, "Nyet di mane? Kok matkul Pak Handoyo gak ngikut sih lu? makan yok di kantin biasa." ajakku di telepon, "Gue lagi di sekre nyet, lagi briefing persiapan ngedaki, lu sini dah ke sekre, ada Mia lho," Matthew kembali menyebut Mia. Aku pun sebenarnya agak penasaran dengan sosok Mia. Matthew yang berkali-kali menyebut namanya dengan decak kagum membuatku penasaran juga. "Yaudah gue ke situ deh," "Oke." jawab Matthew singkat.
Di sekre sudah ada Mia, Anissa, Kanaya, Matthew dan Satrio sedang meeting dalam rangka persiapan ngedaki. "Eh kita cuma berlima aja jadinya? Anjar, Rocky, sama Bunga gak jadi ikut ya?" Kanaya membuka obrolan. "Kita sebenernya gak boleh ganjil sih kalo ngedaki, nanti gue cari temen satu lagi deh, mudah-mudahan mau," Ujar Satrio. "Eh temen gue aja BangSat, dia mau ikut, dia lagi menuju ke sini," Ujar Matthew yang langsung merekomendasikanku. Sialan emang, padahal aku tentu akan menolak. "Oh syukur deh kalo ada temen Matt, kita jadi berenam," Mia akhirnya buka suara. "Oh oke kalo gitu, kita gak usah pusing mikirin orang lagi kalo gitu," ucap Satrio.
Satrio, orang-orang sekre lebih suka menyebutnya BangSat, adalah leader Mapala di kampus ini, dia sudah berpengalaman menaklukkan berbagai medan, sosoknya berambut gondrong sebahu, kumis dan janggut yang jarang, pokoknya ciri khas anak gunung.
Oke kita kenalan dulu dengan wanita-wanita cantik di bawah ini:
Mia Helvetia Soegono
Mia Helvetia Soegono adalah anak rektor kampus, Bapak Ary Soegono, ia merupakan mahasiswi semester akhir manajemen bisnis tapi senang dengan alam, di saat wanita-wanita anak orang tajir sepertinya lebih suka party dan hedon, Mia memilih untuk mendekatkan dirinya kepada alam. Wajahnya yang cantik dan seksi membuat dirinya diperebutkan semua cowok di kampus, namun tak satu pun digubrisnya, ia lebih memilih fokus belajar saja. Ibunya, Maya Soegono, adalah anggota Dewan yang terhormat.
Kanaya Puteri Kardiman
Kanaya alias aya, ia punya akronim nama KPK. Entah disengaja atau tidak, ayahnya memang mantan pimpinan KPK yang sekarang menjadi komisaris perusahaan plat merah yang bergerak di bidang telekomunikasi. Ia berkuliah semester akhir di manajemen bisnis. Sama seperti Mia, ia pun memilih hidup dengan mencintai alam di tengah wanita-wanita anak orang tajir lain yang memilih gaya hidup hedonis.
Annisa Herfiza
Gadis berhijab yang lucu ini adalah anak seorang pengusaha furnitur yang cukup terkenal di Bandung, ia merantau untuk berkuliah di kampus dan satu komplek kos denganku dan Matthew di sekitar kampus. Annisa juga berkuliah di jurusan sastra Inggris dan satu angkatan, namun berbeda kelas denganku dan Matthew. Dia diincer lama sama Satrio tapi kayaknya tidak digubris. Kasian juga BangSat.
Demikian perkenalannya dengan wanita-wanita cantik yang akan ikut mendaki ke gunung S*****.
Tak lama kemudian, aku pun sampai di sekre. "Nah ini temen gue yang mau ikut ngedaki BangSat," ucap Matthew dengan pedenya. "Wah oke bro, gue Satrio, lo boleh panggil gue BangSat, gue anak filsafat semester akhir " Ucap Satrio sambil menjulurkan tangannya kepadaku. "Eh...eeee iya BangSat, gue Dema, temennya Matthew," Aku agak terkejut mendengar pernyataan Matthew. Ingin kumaki saja monyet sialan satu ini, namun masih dapat kutahan. "Hai Dema, aku Mia," Mia dengan senyuman manisnya menjulurkan tangannya pertama kali. "Oh jadi kamu yang namanya Mia," ucapku. "Iya Dem, kok nanya begitu?" "Nih Matthew sering ngomongin kamu Mi," aku kali ini menjebak Matthew hingga ia malu. "Eh apaan taik siapa yang ngomongin," omongan Matthew memecah tawa di sekre sore itu. Mia pun hanya tertawa kecil, disusul yang lain. "Hai Dem, aku Kanaya, panggil aja aya ya," "Hai aya, gue Dema, salam kenal ya," ucapku. "Hai Dem, gue Annisa," Dema," ucapku singkat sambil tersenyum sopan. "Oke Dem lu pernah naik ke mana aja sebelumnya? Perlu diketahui ya, kita akan mendaki puncak tertinggi di Jawa, jadi selain fisik, pengalaman pun dibutuhkan," Ujar Satrio. "Eeeee..." "Wah Dema mah udah ke mana-mana BangSat, terakhir ama gue ke D****, terus pernah ke R****** juga kok, aman lah BangSat," Matthew dengan culasnya memotong pembicaraanku. Aku pun yang terlanjur terpojok akhirnya mengiyakan perkataan si monyet satu ini. Heuh awas aja lu di kosan gue bejeg lu, batinku saat itu. "Oke, baguslah, aman berati ya, fix kita berenam yang berangkat, inget ya, tinggal 3 minggu lagi, persiapin fisik dan mental kalian sebaik-baiknya, jangan lupa list peralatan yang sekiranya penting untuk kita bawa, dan buang yang tidak perlu, biar beban kita gak terlalu berat nantinya," Ujar Satrio yang tampak sangat berpengalaman, terlihat dan terdengar dari gaya dan nada bicaranya yang meyakinkan. "Oke siap BangSat," yang lain serempak menjawab. Akhirnya sore itu semua pulang ke tempat masing-masing.
"Anjing lo nyet ngapa bawa-bawa gua dah taik," sambil menggerutu kuketok kepalanya Matthew saat kami berjalan ke kantin kampus. "Aaaaw sakit taik, ahelah sok menolak lo nyet tadi gue liat tatapan lo ke Mia kok, lo suka kan ama dia?," ejek Matthew. "Sok tau lu nyet, dah ah gak usah dibahas, laper gue," kami pun duduk di meja kantin dan memesan makanan.
Aku pun akhirnya lulus SMA dengan nilai yang memuaskan. Ya, kemampuan akademikku memang bisa dibilang mengagumkan, di mana dari SD sampai SMA aku tidak pernah keluar dari ranking 3 besar.
Selanjutnya aku pun mengobrol dengan orang tuaku saat makan malam. Makan malam kali ini dihadiri lengkap oleh keluargaku karena kak Derry mengambil cuti dan pulang ke rumah bersama Kak Berli.
"Sayang, kamu nanti ngikutin kakak kamu ya kuliah ekonomi, ambil manajemen bisnis aja biar kamu gampang nanti belajarnya," mamaku membuka obrolan. "Hmmm belum tau ma, Dema gak cocok di ekonomi. Gak tau deh gak sreg aja," balasku. "Yaudah kamu mau ambil apa? Papa sih pengennya kamu ke teknik mesin aja, sama kayak papa," Papaku menyela. Kisah papaku memang cukup unik, beliau hanya lulus STM jurusan mesin waktu itu tapi kemampuan engineeringnya luar biasa hingga akhirnya direkrut perusahaan minyak kala itu. Papaku pun dikuliahkan engineering sampe lulus. Tak puas, papaku juga mengambil jurusan bahasa Inggris karena ingin memperlancar bahasa Inggrisnya. "Hah nggak pah, gak banget kalo ke mesin," aku menolak. "Yaudah gini, kamu tuh gak kayak mas kamu ini lho, plek papanya banget," Papaku mulai membandingkanku dengan kak Derry. "Dema kan beda pah sam kak Derry, jangan nyuruh ikan buat manjat pohon pah, selamanya dia akan merasa bodoh," aku membalas papaku dengan perumpamaan. "Ah kamu ini, paling bisa njawab papa, untung papa sayang sama kamu. Yaudah gini aja, papa minta kamu ambil bahasa Inggris ya, kan lebih general, kali ini jangan nolak ya nak permintaan papa," papaku memohon. "Yaudah iya pah, tapi Dema ke sastra Inggrisnya ya, jangan bahasanya, terlalu simpel," ucapku. "Yaudah iya boleh, kamu daftar ke kampus kakakmu gih. "Kak bantu adekmu buat daftar ke kampus ya, pokoknya arahin sampe dia keterima," ucap papaku ke kak Denisa. "Oke pah beres," Denisa menjawab singkat.
Aku pun akhirnya ikut seleksi penerimaan mahasiswa baru, tanpa kesulitan berarti aku pun diterima di salah satu universitas terbaik di Indonesia dengan jurusan sastra Inggris.
*Masa kuliah*
Masa kuliahku selama dua semester cenderung biasa saja, tak ada perubahan signifikan dalam diriku, termasuk pacar, aku masih saja belum kepikiran punya pacar. Ah iya, mungkin memang karena faktor Ajeng. Ya mungkin kemudahanku dalam mendapatkan akses memek membuatku malas punya pacar. Ngapain juga pacaran, toh kalo sange tinggal telepon Ajeng, beres, pikirku saat itu. Ketika ku masuk kuliah, kak Denisa dan Ajeng memang sudah memasuki semester akhir, makanya Ajeng sering datang ke rumah. Aku sering ngentotin Ajeng sesukaku, bahkan ketika mereka sedang menggarap skripsi, aku yang kala itu udah horny bertanya kepada kak Denisa, "Kak udah belum tugasnya? Lama amat udah malem lho ini tidur," ucapku. "Halah bilang aja kamu mau ngentotin Ajeng, pake alesan nyuruh aku tidur," ucap Kakakku agak ketus. "Ya gimana kak udah gak tahan aku," ucapku. "Yaudah ngentot aja di sini dek, beb nungging beb," kak Denisa menyuruh Ajeng untuk menungging. "Eh gapapa beb di sini?" ujar Ajeng. "Eh kakak suka ngaco deh," ucapku. "Udah gapapa lagian kan sering juga kakak liat kalian ngentot, kamu rese abisnya kalo lagi sange," gerutu kak Denisa. "Hehe makasi kak, pengertian banget deh sama adeknya," aku pun menciun pipi kak Denisa. Lalu ku remas payudara Ajeng dari belakang, Ajeng saat itu hanya mengenakan daster tanpa daleman, dan ia pun tidak sedang memakai hijab, karena ya cuma kita bertiga yang ada di rumah. Aku pun langsung menyingkap dasternya Ajeng dalam posisi nungging, kujilati memeknya sebentar, lalu kuentoti Ajeng dalam posisi doggy di depan kak Denisa yang nampaknya serius mengerjakan tugas. "Aaaaah shhhhs cepetan ya sayang keluarin nanti abis tugas kamu boleh entotin aku lagi sayang aaaaah," Aku pun sebenarnya tak tega mengganggu mereka, namun berahiku sudah terlanjur meninggi. Aku percepat saja genjotanku sampai akhirnya, "Crooot...crooot...crooot," spermaku memenuhi pantat dan sebagian mengenai dasternya yang hanya kusingkap tadi. "Aaaaah makasih kak Ajeng," " Iya sayang, nanti puasin aku ya sebelum bobo, belum ngecrot nih aku kentang banget hehe." Aku pun berlalu dan langsung ke kamar mandi, sementara Ajeng, tanpa membersihkan tumpahan spermaku di pantatnya, cuek saja kembali duduk mengerjakan tugasnya dengan kak Denisa di ruang tengah. Setelah mereka nugas, aku ngentot lagi dengan Ajeng di kamarnya kak Denisa. Ya, ini kulakukan atas permintaan kak Denisa sendiri, ia takut kalo di kamar sendirian katanya, akhirnya aku pun ngentot dengan Ajeng di kamarnya kakakku. Ya, kehidupan seksku semakin gila dengan Ajeng, bahkan ketika papa dan mama ada di rumah pun, aku tak segan untuk ngewe dengan Ajeng. Seperti biasa aku menyelinap ke kamarnya kak Denisa dan langsung ngentotin Ajeng di sebelah kakakku, pas dia lagi tidur atau pun pas rebahan main hape, dia cuek aja karena memang sudah terbiasa melihatku dan Ajeng ngewe.
Hubunganku dan Ajeng akhirnya berakhir setelah Ajeng lulus dan keterima kerja di salah satu bank BUMN. Ajeng dipersunting salah satu direksi Bank di kantor cabangnya bekerja. Ia akhirnya diboyong ke Surabaya ke kampung halaman suaminya. Meskipun begitu, sesekali aku tetap meminta jatah ngewe ke Ajeng kalo dia sedang pulang ke Jakarta, dan ya, dia dengan senang hati memberiku jatah.
Kak Denisa pun begitu, setelah putus dengan Rey dan setahun bekerja, sementara aku memasuki semester ke-3, ia dipersunting pacarnya yang asli Korea bernama Kim Jung-suk, seorang senior manager bank tersebut di kawasan Asia-pasifik. Lalu ia pun diboyong suaminya ke Korea dan bekerja di sana. Kini, di rumah hanya tinggal bertiga, aku, papa dan mamaku. Oiya, perlu diketahui keluargaku memang tak memakai jasa pembantu, semua diurus sendiri, lagian rumah kita kecil, sambil olahraga lah, ucap papaku suatu ketika. Di semester 3 ini, aku mulai menjalin persahabatan dengan Matthew, Matthew pula yang mengajakku untuk ngekos juga karena rumah kami sama-sama jauh dari kampus. "Nyet ngekos aja yuk, abis badan gua kalo motoran tiap hari Kemang-Depok. "Apa kabar gue nyet, gue Kebon Jeruk-Depok" balasku tak mau kalah. Aku dan Matthew sebenernya punya mobil, namun ya gila aja kalo harus menempuh perjalanan ke Depok, naik mobil pula, bisa tua di jalan! "Yaudah makanya ngekos dah yuk, gak sehat lama-lama gini terus. Aku pun menyetujui usulan Matthew lalu meminta persetujuan papa. Meski pun papa dan mamaku awalnya agak berat melepasku karena tak ada lagi yang jaga rumah kalo mereka sedang pergi, akhirnya setelah kubujuk, mereka menyetujui usulanku. "Boleh ya pa, aku kan kuliah sampe jumat doang, sabtu minggu pulang kok pasti," "Yaudah deh, nanti papa hire satu orang buat bantuin ngurusin rumah ini," ucap papaku. "Hehe oke pah makasih ya,"balasku.
Aku pun mulai semester 3 ngekost bareng Matthew. "nyet lu ikut Mapala ya, gue daftarin, sebulan lagi kita ada pendakian ke gunung S*****" Matthew membuka obrolan, "Hah apaan? Kagak-kagak, mending gua di kost nonton bola daripada ngedaki," balasku menolak. "yeeee dibilangin, asal lo tau ya, anak mapala cantik-cantik anying, apalagi ada Mia, beeeeuh!" Matthew mengiming-imingiku dengan wanita agar mau bergabung di Mapala. "Bodo amat! mau Mia kek, Mae kek, B O D O A M A T!," aku menolak mentah-mentah ajakan Matthew. "badan lo oke, lu futsal sama renang kan, gak bakal kesulitan dah ngedaki, gue jamin itu," Matthew kembali meyakinkanku. "Hah bodo ah nyet, gue mau nonton emyu dulu," Aku pun tak menggubris permintaan Matthew untuk gabung di Mapala. "Hah nyesel lu ntar gak bisa deket-deket sama Mia," ujar Matthew yang masih berusaha meyakinkanku.
Aku memang menjaga kebugaran tubuhku dengan main futsal, renang, dan sesekali nge-gym, dan aku rasa gak akan kesulitan kalau mendaki gunung, tapi aku malas karena memang gak punya passion di situ aja. Seminggu kemudian setelah jam kuliah berakhir, aku mencari Matthew yang tak ikut jam terakhir, kutelepon Matthew, "Nyet di mane? Kok matkul Pak Handoyo gak ngikut sih lu? makan yok di kantin biasa." ajakku di telepon, "Gue lagi di sekre nyet, lagi briefing persiapan ngedaki, lu sini dah ke sekre, ada Mia lho," Matthew kembali menyebut Mia. Aku pun sebenarnya agak penasaran dengan sosok Mia. Matthew yang berkali-kali menyebut namanya dengan decak kagum membuatku penasaran juga. "Yaudah gue ke situ deh," "Oke." jawab Matthew singkat.
Di sekre sudah ada Mia, Anissa, Kanaya, Matthew dan Satrio sedang meeting dalam rangka persiapan ngedaki. "Eh kita cuma berlima aja jadinya? Anjar, Rocky, sama Bunga gak jadi ikut ya?" Kanaya membuka obrolan. "Kita sebenernya gak boleh ganjil sih kalo ngedaki, nanti gue cari temen satu lagi deh, mudah-mudahan mau," Ujar Satrio. "Eh temen gue aja BangSat, dia mau ikut, dia lagi menuju ke sini," Ujar Matthew yang langsung merekomendasikanku. Sialan emang, padahal aku tentu akan menolak. "Oh syukur deh kalo ada temen Matt, kita jadi berenam," Mia akhirnya buka suara. "Oh oke kalo gitu, kita gak usah pusing mikirin orang lagi kalo gitu," ucap Satrio.
Satrio, orang-orang sekre lebih suka menyebutnya BangSat, adalah leader Mapala di kampus ini, dia sudah berpengalaman menaklukkan berbagai medan, sosoknya berambut gondrong sebahu, kumis dan janggut yang jarang, pokoknya ciri khas anak gunung.
Oke kita kenalan dulu dengan wanita-wanita cantik di bawah ini:
Mia Helvetia Soegono
Mia Helvetia Soegono adalah anak rektor kampus, Bapak Ary Soegono, ia merupakan mahasiswi semester akhir manajemen bisnis tapi senang dengan alam, di saat wanita-wanita anak orang tajir sepertinya lebih suka party dan hedon, Mia memilih untuk mendekatkan dirinya kepada alam. Wajahnya yang cantik dan seksi membuat dirinya diperebutkan semua cowok di kampus, namun tak satu pun digubrisnya, ia lebih memilih fokus belajar saja. Ibunya, Maya Soegono, adalah anggota Dewan yang terhormat.
Kanaya Puteri Kardiman
Kanaya alias aya, ia punya akronim nama KPK. Entah disengaja atau tidak, ayahnya memang mantan pimpinan KPK yang sekarang menjadi komisaris perusahaan plat merah yang bergerak di bidang telekomunikasi. Ia berkuliah semester akhir di manajemen bisnis. Sama seperti Mia, ia pun memilih hidup dengan mencintai alam di tengah wanita-wanita anak orang tajir lain yang memilih gaya hidup hedonis.
Annisa Herfiza
Gadis berhijab yang lucu ini adalah anak seorang pengusaha furnitur yang cukup terkenal di Bandung, ia merantau untuk berkuliah di kampus dan satu komplek kos denganku dan Matthew di sekitar kampus. Annisa juga berkuliah di jurusan sastra Inggris dan satu angkatan, namun berbeda kelas denganku dan Matthew. Dia diincer lama sama Satrio tapi kayaknya tidak digubris. Kasian juga BangSat.
Demikian perkenalannya dengan wanita-wanita cantik yang akan ikut mendaki ke gunung S*****.
Tak lama kemudian, aku pun sampai di sekre. "Nah ini temen gue yang mau ikut ngedaki BangSat," ucap Matthew dengan pedenya. "Wah oke bro, gue Satrio, lo boleh panggil gue BangSat, gue anak filsafat semester akhir " Ucap Satrio sambil menjulurkan tangannya kepadaku. "Eh...eeee iya BangSat, gue Dema, temennya Matthew," Aku agak terkejut mendengar pernyataan Matthew. Ingin kumaki saja monyet sialan satu ini, namun masih dapat kutahan. "Hai Dema, aku Mia," Mia dengan senyuman manisnya menjulurkan tangannya pertama kali. "Oh jadi kamu yang namanya Mia," ucapku. "Iya Dem, kok nanya begitu?" "Nih Matthew sering ngomongin kamu Mi," aku kali ini menjebak Matthew hingga ia malu. "Eh apaan taik siapa yang ngomongin," omongan Matthew memecah tawa di sekre sore itu. Mia pun hanya tertawa kecil, disusul yang lain. "Hai Dem, aku Kanaya, panggil aja aya ya," "Hai aya, gue Dema, salam kenal ya," ucapku. "Hai Dem, gue Annisa," Dema," ucapku singkat sambil tersenyum sopan. "Oke Dem lu pernah naik ke mana aja sebelumnya? Perlu diketahui ya, kita akan mendaki puncak tertinggi di Jawa, jadi selain fisik, pengalaman pun dibutuhkan," Ujar Satrio. "Eeeee..." "Wah Dema mah udah ke mana-mana BangSat, terakhir ama gue ke D****, terus pernah ke R****** juga kok, aman lah BangSat," Matthew dengan culasnya memotong pembicaraanku. Aku pun yang terlanjur terpojok akhirnya mengiyakan perkataan si monyet satu ini. Heuh awas aja lu di kosan gue bejeg lu, batinku saat itu. "Oke, baguslah, aman berati ya, fix kita berenam yang berangkat, inget ya, tinggal 3 minggu lagi, persiapin fisik dan mental kalian sebaik-baiknya, jangan lupa list peralatan yang sekiranya penting untuk kita bawa, dan buang yang tidak perlu, biar beban kita gak terlalu berat nantinya," Ujar Satrio yang tampak sangat berpengalaman, terlihat dan terdengar dari gaya dan nada bicaranya yang meyakinkan. "Oke siap BangSat," yang lain serempak menjawab. Akhirnya sore itu semua pulang ke tempat masing-masing.
"Anjing lo nyet ngapa bawa-bawa gua dah taik," sambil menggerutu kuketok kepalanya Matthew saat kami berjalan ke kantin kampus. "Aaaaw sakit taik, ahelah sok menolak lo nyet tadi gue liat tatapan lo ke Mia kok, lo suka kan ama dia?," ejek Matthew. "Sok tau lu nyet, dah ah gak usah dibahas, laper gue," kami pun duduk di meja kantin dan memesan makanan.
Terakhir diubah: