Agen Terpercaya  
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

CERBUNG Desah di Tarbiyah

Bimabet
Chapter 2: Apa salahku?
(POV Usth. Hafsah)


Aku terbangun dari lamunanku mendengar suara dari Ustadzah Isma. Tidak hanya aku, kedua orang yang tengah asyik bercumbu di dalam ruang kerja tersebut juga segera menghentikan aktivitasnya. Sang perempuan dengan gamis putih tadi segera menurunkan gamisnya dan menarik BH yang tergeletak begitu saja di atas meja. Pak Farid memperbaiki dirinya.

Perempuan itu berbalik, seperti dugaanku, itu adalah Ustadzah Fahira, istri Ustadz Farid. Ia berdiri sejenak sembari memperbaiki pakaiannya dan mencuri pandang kepadaku. Harus kuakui, Ustadzah Fahira memang sosok perempuan yang cantik dan bertubuh molek. Tidak heran jikalau dulu ia pernah menjadi selebgram ternama sebelum dipinang pujaan hatinya, Ustadz Farid.


Ustadzah Fahira (28)

Tidak lama dengan kondisi tanpa suara tersebut, Ustadzah Fahira segera keluar dari dalam ruangan tanpa sepatah kata apapun. Kami sempat bertemu tatap. Ia nampak seperti melihatku dari ujung ke ujung. Sedangkan aku melakukan hal yang sama, ia mengenakan gamis berwarna putih bersih dan dilengkapi dengan jilbab instan berwarna coklat. Isma yang jadi pemecah suasana, sudah kembali ke dapur saat sadar ia mengacaukan konsentrasi sepasa suami istri yang sedang memadu kasih tersebut.

Ustadz Farid lalu memanggilku masuk. Kujelaskan kepadanya beberapa hal seputar pendanaan yang rencananya akan kubawa ke kementerian agama besok saat pergi mengajar di perguruan tinggi tempatku mengajar. Tidak lupa, ia turut membubuhkan tanda tangannya sebagai pertanda persetujuan.

“Maa, Rid, tadi ngeganggu”, ucapku sekadar basa basi.

“Haha. Ngga papa kok, Sah. Tadi Fahira yang minta sendiri. Padahal aku udah bilangin kalau kamu mau datang”, jawab Ustadz Farid.

Aku biasa hanya memanggil namanya saja jikalau kami sedang berdua saja. Maklum, aku dan dia hanya berselisih setahun saja. Selain itu, ia juga sudah diasuh oleh ayahku dari ia kecil.

“Ustadz Ikhlas gimana sah? Baik kan ama kamu?”, tanya Ustadz Farid lagi kepadaku.

“Alhamdulillah kok, Rid. Dia selalu ada kalau aku ada kesulitan”,

“Kebutuhan kamu dipenuhi kan ama dia?”, tanyanya lagi

“Alhamdulillah, iya”,

Ustadz Farid sebenarnya salah satu orang yang tidak sepakat dengan pernikahanku dengan Ustadz Ikhlas dua tahun lalu. Namun, karena itu adalah keinginan ayahku, maka tak ada yang bisa menentangnya.

*****​

Kutinggalkan rumah pimpinan dengan pikiran yang mencoba mencari jawab dari pertanyaan Ustadz Farid. Kulewati jalan setapak dengan pelan sembari pikiranku bergelut dengan pertanyaan tersebut.

Apakah kebutuhanku dipenuhi sama suamiku?

Apakah Ustadz Ikhlas sudah menunaikan tugasnya dengan baik?

Urusan nafkah aku tidak pernah protes. Sebab, sedari kecil aku sudah terbiasa hidup sederhana. Meski kebanyakan belanja rumah tangga dipenuhi olehku, tapi dia tetaplah suamiku. Orang yang harus kuhormati dan berbakti kepadanya. Ayahku turut berpesan untuk berbakti kepadanya sampai kapan pun.

Meski begitu, ada hal yang selama ini tidak pernah kurasakan dan membuatku sedikit iri pada Ustadzah Fahira. Jikalau Ustadzah Fahira mendapat suami yang aktif memberinya sentuhan manja, maka aku sangat jarang mendapat pemenuhan kebutuhan biologis tersebut dari suamiku. Entah apa yang pernah kuperbuat hingga membuatnya enggan menyentuh tubuhku. Beberapa kali aku berdandan untuk memancingnya, namun ia hanya menciumku dan tidur sembari memelukku dari belakang.

BUAK!

Aku yang tidak fokus pada jalan tanpa sengaja bertabrakan dengan seseorang. Aku sempat terhuyung, namun dapat pertahankan keseimbangan tubuhku. Orang yang kutabrak pun demikian, ia tidak jatuh.

“Ma. Ma. Maaf Ustadzah. Tadi saya mengkhayal”, jawab santriwati itu, sembari menunduk.

“Ngga apa kok Ima. Ustadzah tadi juga lagi ngayal”,

Perempuan yang kutabrak tadi adalah Ima, adik dari Ustadzah Isma. Seperti halnya kakaknya, ia juga sudah berada di pesantren ini sedari kecil. Ia nampak sedikit terburu-buru.

“Maaf Ustadzah, saya duluan kalau begitu”, izin Ima padaku.

“Eh, silakan!”


Ima (20)

Aku sempat melihat Ima yang berlari tunggang langgang ke kelas belajar. Untuk sementara waktu, para santri melaksanakan shalat berjamaah di kelas tersebut sembari tempat menjahit dan mushalla sedang dibangun.

Kutelusuri jalan petang di pondok pesantren ini. Pikiranku kembali berkutat dengan teori aneh tentang suamiku sendiri. Berusaha kutepis dengan beristighfar, namun pertanyaan itu tidak dapat kuhapus sesegera mungkin dari kepalaku hingga aku dapat melihat tangga rumahku.

Sayup-sayup kudengar suara suamiku sedang menunaikan shalat maghrib. Ia meninggalkanku. Barangkali, ia mengira aku ikut berjamaah dengan para santri. Apa jangan jangan?

Astaghfirullah

Tidak, tidak, tidak, tidak mungkin suamiku begitu padaku

Aku berusaha menepis pikiran liarku tersebut dari otakku. Kucoba mengalihkannya dengan bergegas naik, masuk ke rumah, dan megunci pintu rumah. Tanpa berlma-lama, aku segera mengambil air wudhu untuk menunaikan kewajiban maghribku. Selesai berwudhu, kulihat suamiku masih membaca wirid dan dzikir di ruang tengah rumah kami. Kuputuskan untuk shalat di kamar saja.

Heningnya suasana malah membuat pikiranku kembali menggangguku. Pikiranku tentang pemenuhan hasrat biologisku kembali menyeruak memenuhi kalbuku.Terdengar bisik suara wanita lain sedang berbincang dengan suamiku. Kucoba untuk kembali khusyuk pada shalatku. Namun, suara lain malah masuk ke dalam kepalaku.

“Auhhh. Ahhh. Iya. Oaahhh”,

Tidaaaaak

Tanpa kusadari, aku menggelengkan kepalaku ketika lintasan suara desahan Ustadzah Fahira lewat di kepalaku. Aku kesulitan untuk fokus. Dengan kondisi batin yang masih terus bergerilya dengan pikiranku, kutuntaskan shalatku dengan hati yang sepertinya hanya secuil saja khusyuk menyembah.

Kulipat dan kugantungkan kembali mukenahku pada tempatnya. Kali ini, terdengar suara suamiku yang tengah membaca Al Quran. Aku berjalan pelan ke dapur menyiapkan makan malam untuknya. Beras kutanak menjadi nasi, tempe kugoreng dengan tepung, sayur hijau yang kubeli kemarin dari pasar kusulap jadi sayur bening, sambal tidak pernah lupa, dan ikan bandeng kesukaan kami berdua sudah siap di atas meja makan. Aku duduk menungu suamiku di dapur. Tidak berapa lama, terdengar ia menghentikan bacaannya. Aku berjalan ke luar untuk memanggilnya makan malam.

“Abiy, ayo makan”, ajakku padanya.

* * * * *​

“Alhamdulillah. Enak banget masakan Umiy”, ujar suamiku setelah makan.

Kami tidak segera bubar. Ia menyandarkan punggungnya di kursi sembari menikmati air putih yang kusuguhkan.

“Gimana tadi pertemuannya Biy?”, tanyaku basa-basi.

“Yah, seperti biasa. Ada rencana kegiatan gema muharram”,

Ia menceritakan soal kegiatan gema muharram yang berbentuk safari dakwah dari Ustadz yang tergabung dalam organisasi perkumpulan pendakwah di kota kecil kami. Sembari kubereskan meja makan, suamiku masih asyik menceritakan pengalamannya mengikuti kegiatan itu tahun lalu sembari terkadang tertawa kecil.

“Umiy, Abi mau keliling dulu ya. Mau ngecek santri dulu”, pamitnya padaku.

“Abiy!”, Kupanggil ia dengan nada memelas.

Ia berbalik menghadapku dengan tatapan tanya. Aku berjalan pelan padanya dengan senyum manja.

“Hehe”, segera kupeluk tubuhnya dengan mesra.

“Kenapa Umiy?”,

“Umi kangen biy. Lagi pengen”,

Ia nampaknya mengerti dan tersenyum kecil dan matanya memandangku. Aku tersenyum lagi padanya. Ia lalu segera menggendong masuk ke dalam kamar kami tanpa menguncinya. Senang rasanya ia dapat mengerti perasaan istrinya yang sedang ingin dijamah.

Belum apa-apa, sarungnya sudah tanggal. Kami berciuman dengan posisi berdiri di samping ranjang kami. Ciumannya cukup liar dan membuat lidah kami saling berbelit. Kudengar napasnya memburu. Ia meraih payudaraku dan meremasnya dengan genggaman penuh seakan ingin mencabutnya.

Humfhhh

Desahanku tertahan oleh mulutnya yang masih dicumbu mulutnya. Kucoba meraih kemaluannya yang masih malu-malu walau sudah sedikit mengeras. Kucoba merangsangnya dengan membelai pelan celana dalamnya.

Suamiku menunduk cepat dan menyingkap gamis yang kukenakan. Kupegang gamisku sembari ia melepas BH dan celana dalamku. Tidak lama, giliran payudaraku yang dijilat dan beberapa kali diciumin olehnya.

Aku melenguh pelan mendapat rangsangan dari titik tersebut. Kudongakkan kepalaku. Di titik ini, aku percaya bahwa aku perempuan paling beruntung. Suamiku yang shaleh dan mengerti keinginan istrinya, juga sekaligus sosok yang mampu memuaskan birahi istrinya. Cukup lama suamiku berada di posisi itu. Posisi paling favoritnya adalah membenamkan wajahnya ke payudaraku.

Ha…Ha…Ha….

Kudengar nafasnya mulai tersekal-sekal berburu nafsunya. Keringat sudah membasahi baju koko yang masih ia kenakan. Tidak lama, ia segera melepas semua pakaiannya. Kemaluannya pun turut keluar dengan posisi sedikit mengeras. Gemas melihat kemaluannya yang tidak kunjung tegak. Aku berlutut di hadapan suamiku.

Kupegang ujung khimar yang kukenakan, kupegang kemaluan suamiku dengan khimarku. Kuludahi ujung jilbab yang sedang kupegang tersebut untuk meminimalisir perih yang dirasakannya. Perlahan, aku mulai mengocok kemaluannya. Belum semenit mengocok kemaluannya, aku dikejutkan semprotan cairan bening kental nan lengket berbau khas. Suamiku sudah sampai di puncaknya. Ia segera menyingkirkan tubuhnya dan berbaring ke kasur. Sedangkan aku, masih terpatung dengan wajah yang basah disemprot air maninya. (Bersambung)
Aseeeekkk suhu
 
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd