Agen Terpercaya  
 
 
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

CERBUNG Desah di Tarbiyah

Bab 3: Dilarang Berisik
(POV Ima)


Setelah shalat isya, gw kembali ke kamar bersama teman-temanku sesama santri Pondok Nuruz Zaman ini. Kami tidak bisa bersantai-santi, sebab jam 8 nanti, akan ada patroli dari petugas pondok untuk memastikan kami tidur. Gw kurang begitu mengerti, namun di pesantren ini, kami diwajibkan untuk tidur 8 jam sehari. Makanya jam tidur dimulai pada pukul 8 malam, dan akan dibangunkan pada pukul 4 pagi.

“Eh, Siapa yang bakal patroli ya entar?”, tanya Mira.

“Ngga tahu. Emang napa Mir?’, tanyaku.

“Ahh. Ngga. Nanya aja sih”, Mira mengangkat bahunya.

“Lagian, kalau ngga cepet tidur, mau ngapain juga sih?”, tanyaku lagi.

“Iya sih. Di sini ngebosenin banget”,

“Kecuali yang malam jumat. Pfffftttt”, kutahan suara tawa kecilku.

“Haha. Iya sih. Malam jumat seru sih”, jawab Mira.

“Minggu lalu, lu dapet siapa omong-omong?”, tanyaku penasaran.

“Tukang becak. Acak aja sih dapet. Mana cepet keluar lagi”, Mira tersenyum menahan tawa.

“Emangnya, kenapa malam jumat mba?”, tanya Khaliza yang ikut nimbrung.

Gw dan Mira menghentikan perbicaraan. Kami tidak ingin Khaliza tahu soal apa yang kami lakukan pekan kemarin. Hal itu juga disampaikan oleh Indria, yang jadi penanggung jawab kegiatan. Besok, rencananya kami akan diajak ke kebun dekat pesantren olehnya.

Dalam rumah yang tidak begitu besar, gw tinggal bersama 3 orang lain,ada Mira dan dua santri baru, Zahrah dan Khaliza. Meski berbeda tingkatan, kam semua belajar di tempat yang sama. Yang membedakan kami dengan Zahrah dan Khaliza adalah materi hari senin dan rabu.

“Zahrah lama juga ya di WCnya, gw mau pipis”, gerugu Mira padaku.


Mira adalah perempuan yang cukup cerewet dan suka mengomentari banyak hal di sekitar kami. Barangkali, ia bisa mati jika tidak mengomentari apapun dalam satu hari. Seperti diriku, dia juga merupakan anak panti asuhan yang diasuh oleh Ustadz Zaman dulu.

Ia sebenarnya sempat kabur dari pesantren. Namun, karena hampir jadi korban perdagangan orang, ia akhirnya memilih untuk tidak pergi ke mana-mana lagi. Ia bahkan tidak berpikiran untuk menamatkan sekolah menengah atasnya karena peristiwa mengerikan itu.


Teman sekamar gw, Khaliza merupakan santri baru di pondok ini. Ia sendiri dititipkan oleh neneknya. Ayah dan ibunya bercerai membuat dirinya diasuh oleh neneknya dari umur 12 tahun. Namun, 2 tahun terakhir, ia harus mengurus neneknya yang semakin sering sakit.

Tiga bulan lalu, neneknya akhirnya berpulang. Khaliza yang tidak tahu mau ke mana akhirnya memutuskan untuk mengikuti permintaan dari neneknya untuk pergi ke pesantren kami. Bersama dengannya, ada seorang santriwati baru lainnya yang masuk, Zahrah namanya. Santri yang cukup lincah dan ceria.

Walau hanya berempat di dalam rumah khusus santri ini. Penghuni pesantren yang berstatus sebagai santri sebenarnya ada 6 orang. Hanya saja, Indria dan Silvia tinggal di rumah Ustadz Farid karena diangkat menjadi Washifah awal tahun ini.

* * * * *​

Hari ini adalah hari rabu. Kami belajar seperti biasa di kelas kami. Yang hadir hari ini adalah 4 orang. Gw, Khaliza, Mira, dan Zahrah. Meski Silvia dan Indria masih berstatus santriwati, keduanya tidak diwajibkan mengikut kelas pembelajaran dikarenakan status mereka sebagai Washifah dari pimpinan pondok.

“Enak ya jadi Indria dan mba Silvia”, keluh Mira.

“Apa enaknya?”, tanyaku.

“Yaaa, enggak mesti ngikutin jadwal ketat kayak yang mesti kita lakuin”,

“Tapi kan mesti bantuin Ustadz Farid juga? Sama aja kan?”, jawabku.

“Elaaaah. Paling juga kerjaannua cuma di kasur, di sumur, ama di dapur”, jawab Mira ketus.

“….”,

“Emang kamu ngga pernah nanyain kakak kamu, Ma?”, tanya Mira

“Enggak sih. Buat apa juga nanya begituan”, jawabku.

“Yee. Siapa tahu kakakmu sekarang lagi dintindih ama Ustadz Farid. Terus, Ustadzah Fahira yang kecapean sambil nonton Ustadzah Isma ama Ustadz Farid lagi begituan”,

Bacotan Mira memang tidak ada duanya. Dia bisa membuat cerita yang berlebihan tentang seseorang. Minggu lalu, dia juga masih penasaran dengan tugas sebenarnya seorang Washifah. Di mana ia curiga, jikalau alasan dari Washifah terdiri dari 3 orang dan seorang istri adalah karena itu merujuk ke Surah Annisa, ayat yang membahas tentang pernikahan. Di mana seorang lelaki diperbolehkan untuk menikahi satu, dua, tiga, atau empat perempuan jika mampu adil. Namun, aku segera menepis hal tersebut karena mbakku, Ustadzah Isma juga termasuk dalam jajaran Washifah. Di mana ia menjelaskan kalau tugasnya adalah membantu pimpinan. Baik dari pekerjaan tingkat kabupaten, hingga urusan rumah tangga seperti mencuci dan memasak.

“Husss. Jangan berisik ah kamu Mir. Lebay amat”, tegurku pada Mira.

“Ihhh. Gw serius Ima. Entar kita tanya ama Indria aja dia ngapain”, jawab Mira.

Gw dan Mira terlibat dalam perdebatan tentang apa saja tugas dari Washifah. Di sisi seberang, entah apa yang diperbincangkan oleh Khaliza dan Zahrah. Barangkali dia sedang menggosip pertengkaran tidak pentingku dengan Mira. Namun, perdebatan gw dan Mira harus berhenti karena Ustadz Farid datang.

* * * * * * *​

Selepas kelas dari Ustadz Farid. Gw dan Mira tidak meninggalkan tempat kami dan membiarkan Zahrah dan Khalizah pergi duluan ke tempat penjahitan. Gw dan Khaliza rencananya tidak masuk ke kelas penjahitan yang diasuh oleh kakakku dengan alasannya nyeri haidh. Kami mengemati kondisi sekitar dan memastikan tidak ada orang. Setelahnya, kami pergi ke bagian belakang pesantren.

Di pesantren ini, ada 4 bangunan berdinding semen dan 3 rumah panggung. Rumah semen pertama adalah rumah pimpinan. Letaknya ada di dekat pintu masuk. Di sebelahnya, terdapat rumah panggung yang penggunaannya ditujukan untuk tempat pelajaran menjahit kami. Di depan rumah pimpinan, terdapat dua bangunan yang tengah dibangun. Rencananya bangunan tersebut akan difungsikan sebagai mushallah dan kelas menjahit yang baru.

Di belakang bangunan yang tengah dibangun tersebut terdapat lapangan yang biasanya kami jadikan sebagai tempat olahraga berat tiap sore. Terkadang, kami bermain voli hingga bulutangkis. Di dekat lapangan, terbentang sebuah jalan setapak yang membatasi lapangan dengan kelas belajar kami.

Selain berbatasan dengan kelas, lapangan juga berbatasan dengan rumah dari Ustadzah Hafsah dan Ustadz Ikhlas yang ada di sebelahnya. Di sebelah kelas, terdapatlah kamar kami sebagai santri. Jadi, jika kami tidak masuk belajar, terkadang Ustadz datang untuk “Menggrebek kami semua”.

Selain bangunan yang masih dipakai, kami juga punya bangunan bertembok semen yang sudah tidak dipakai. Dulu, ruangan itu digunakan sebagai kelas belajar dan terdiri dari 3 ruang kelas. Namun, setelah beberapa atapnya roboh karena efek umur dan gempa yang pernah mengguncang daerah kami, akhirnya tempat itu tidak digunakan lagi. Rencananya, Indria mengajak kami ke bangunan itu hari ini untuk menonton video yang sudah ia download menggunakan HP pemberian dari Ustadz Farid.

Gw dan Mira menyelinap masuk ke dalam ruangan tersebut. Pada ruangan pertama, tak ada orang. Meski begitu, sayup-sayup kami mendengar suara nafas manusia dari ruangan sebelah. Terdengar suara berbisik tipis yang hampir dimakan suara lain.

Gw dan Mira masih di ruangan pertama. Berusaha meminimalkan suara agar tidak ketahuan. Sebab, kamis sudah pernah kedapatan oleh Ustadz Ikhlas yang mencari kami karena tidak masuk belajar pelajarannya. Karena ruangan yang ada terhubung dengan pintu, maka kamu masuk lewat pintu tersebut untuk menyeberang ke ruangan sebelah yang jauh lebih berantakan. Ruangan tersebut dipenuhi kain yang menggantung.

Haaaa…….Haaaaa…..Haaaaaaaa

Suara berbisik yang kami dengar tadi ternyata berasal dari ruangan ini. Mira menahan gw.Kami tertutupi oleh sebuah kain hitam yang menggantung. Di beberapa bagiannya, kain itu sudah robek di makan umur. Tidak hanya itu, ruangan ini pun difungsikan seperti gudang di mana beberapa kayu bekas pembangunan, dipindahkan ke sini. Tidak hanya itu, beberapa lemari kayu yang sudah hancur, masih berdiri di dekat gw dan Mira berdiri sekarang.

Meski ditutupi oleh kain hitam, kaki gw dan Mira sebenarnya tidak tertutupi. Namun, posisi gw dan Mira sulit dilihat oleh orang di ruangan itu karena tertutupi oleh tumpukan barang tidak jelas sisa gempa dulu. Mira memberiku kode untuk tidak berisik dan menunjuk ke jelas sobekan kain hitam yang tergantung itu. Mengintip dari situ, gw tahu kalau orang di depan kami bukan Cuma satu, tapi dua orang.

“Coba, perhatiin cewe itu, Ma”, perintah Mira padaku.

Aku mengangguk, kufokukan mataku kepada pemandangan di depanku. Seorang perempuan bercadar yang sedang berbaring. Di balik gamisnya, gw bisa melihat ada lelaki besar yang memasukkan kepalanya ke dalam bagian rok dari gamis yang dikenakannya.

Perempuan itu barangkali tidak begitu melihat kami karena lebih berfokus pada pria yang sedang mengerjai bagian kemaluannya. Sesekali ia nampak menengadahkan kepalanya ke atas. Sedangkan si pria berbadan besar itu asyik menggaruk bagian sensitif sang perempuan dengan lidahnya.

Hmfff. Hmfffff.

Oaaahhhh. Haaaaa.


Lenguhan tersebut membuat gw dan Mira sadar, perempuan yang sedang dikerjai oleh lelaki itu adalah Indria. Dia nampak sesekali merintih dan mendesah panjang menikmati setiap jilatan sang pria ke bagian tubuh sensitifnya.


Indria sendiri merupakan teman kami sesama santriwati yang cantik dan lincah. Ia merupakan santri yang keluarganya yang terdiri dari kakak dan ayahnya saja harus meregang nyawa akibat peristiwa gempa beberapa tahun lalu di tempat ini. Setelah diangkat menjadi Washifah, dia akhirnya tinggal di rumah pimpinan pondok dan hanya beberapa kali menghadiri kelas belajar. Namun, kami tetap bertemu dengannya saat kelas keterampilan serta kelas kewanitaan. Setelah masuk menjadi Washifah, ia akhirnya menjadi bercadar, seperti halnya Mba Isma, Kakakku, serta Mba Silvia.

Tiba-tiba, Buaaaaaaaak!!!
(Bersambung)
Sippp om lanjutkan...
 
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd