Agen Terpercaya  
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

CERBUNG DI ATAS LANGIT MASIH ADA LANGIT

Status
Please reply by conversation.
Bimabet
menarik ceritanya
 
Buat yang gak sabaran di tetangga sebelah sudah episode 41 mohon dukungannnya


BAB 13. MENGANTAR NYAWA



“Kakang Semar mungkin gubuk itu tempatnya!” tunjuk Turangga.

"Bukan mungkin lagi, tapi aku yakin memang itulah tempat yang kita cari.”

Ki Semar Mesum mendengus keras dan menoleh kearah dua anak buahnya. Mereka sejenak saling berpandangan satu sama lain. Ketiganya telah siap untuk pertarungan yang sangat berbahaya.

Mereka bertiga kemudian telah berkelebat cepat ke arah pondok di tengah hutan alas randu itu. Ki Semar Mesum, Turangga dan Ranggawuni berhenti di depan pondok yang begitu sepi.

"Dewa Maut! Keluarlah, kami datang untuk menjemput nyawamu...hahahhahahaha!" Ki Semar Mesum berteriak lantang dengan jumawa.

Namun sejauh ini tak ada tanda-tanda sahutan. Apa lagi terlihatnya wujud orang yang diteriaki. Mereka bertiga sejenak Saling berpandangan. Raut wajah ketiganya nampak tegang. Ki Semar Mesum yang ingin segera menghisap tenaga dalam Dewa Maut dengan tak sabar menghantamkan pukulan tenaga dalam jarak jauh ke pondok itu.

Pondokan itu hancur lebur namun terlihat sesosok tubuh sedang duduk ditengah reruntuhan pondok yang hancur. Dia seperti tidak terpengaruh oleh pukulan yang dilontarkan oleh ki Semar Mesum.

Sosok itu adalah laki-laki separuh baya dengan tubuh cacat tanpa lengan kiri dan kaki kanan. Rambutnya panjang bergerai diikat dibagian kepala.

Tiba-tiba meledak tawa keras yang membahana dari lelaki itu. Karena gelak tawa sosok itu dengan pengerahan tenaga dalam, membuat suara tawa itu seakan menusuk gendang telinga siapa saja yang mendengarnya.

"Kalian mengantar nyawa mengusik ketenangan tempatku!" ujar lelaki yang duduk di atas puing-puing.

Lelaki itu adalah Dewa Maut yang begitu menggemparkan rimba persilatan. Meski telah cacat namun tetap saja aura mengerikan terpancar dari tubuhnya.

Diam-diam Ki Semar Mesum, Ranggawuni dan Turangga jadi tergetar hatinya. Mereka sadar, orang yang duduk di tengah reruntuhan pondok itu tingkat tenaga dalamnya masih sangat jauh di atas mereka. Namun demikian, ketiga orang ini merasa bahwa dalam keadaan cacat seperti itu tentu dia tidak akan mampu mengerahkan ilmunya dengan sempurna. Bahkan mungkin akan kesulitan. Bayangkan saja tangan kanan menopang tongkat untuk berdiri karena kaki kanan putus. Sementara tangan kiri juga putus lalu dengan apa dia akan menyerang lawannya. Hal itulah yang membuat mereka berani menantang Dewa Maut dengan tujuan menyedot tenaga dalamnya yang tentu tidak hilang meski telah cacat. Apalagi tenaga dalam itu sangat tinggi. Betapa hebatnya Ki Semar Mesum kelak bila bisa menyedot semua tenaga dalam orang sakti itu. Maka dengan percaya diri ketiganya sama-sama melangkah maju.

"Hay orang cacat! Bersiaplah untuk mampus!" kata Ki Semar Mesum.

Tiga gulungan angin pukulan berwarna kelabu melesat menyambar ke arah tubuh Dewa Maut. Bukan hanya sampai di situ, tiga sosok ini segera berpencar ke samping kanan dan kiri, dan satunya melompat berjumpalitan keudara. Mereka segera kembali kirimkan serangan. Kini dari arah atas, samping kanan dan samping kiri melesat angin pukulan yang bergulung-gulung! Ki Semar Mesum yang berjumpalitan di telah berada dibelakang tubuh Dewa maut dan mencoba menyerang dari arah belakang langsung menggunakan ajian Penyedot Sukma.

Meski dalam keadaan duduk, Dewa Maut dengan tenang menghadapi serangan-serangan itu. Sebagai tokoh kejam yang membuat banjir darah di rimba persilatan dia sambut serangan lawan dengan hantamkan telapak tangan ke tanah. Dia tidak tanggung-tanggung langsung menggunakan ilmu tapak Dewa Menampar Bumi. Lelaki cacat itu memekik sangat keras. Telapak tangannya yang memerah menghantam tanah mengakibatkan dentuman keras yang membuat tempat sekeliling dia duduk berguncang hebat. Hawa panas berupa asap keluar dari tanah dan membuat ketiga musuhnya terhuyung-huyung dan terpukul mundur beberapa tombak sambil memuntahkan darah.

Dewa Maut melesat dan mengibaskan tongkatnya yang langsung menebas putus kepala Ki Semar Mesum yang langsung tewas dengan tubuh yang kehilangan kepala akibat pecah. Kibasan tongkatnya tak berhenti karena langsung menyambar tubuh Turangga yang tak mampu menghindar dan tewas seketika dengan tubuh remuk akibat hantaman tongkat.

Ranggawuni yang terluka parah sudah pasrah tak berdaya dalam kengerian menanti hantaman tongkat dari Dewa Maut.

“Ilmu rendahan seperti ini hanya mengantar nyawa saja!” dengus Dewa Maut.

Dia berdiri dengan tongkatnya di hadapan Ranggawuni yang terduduk dengan tubuh menggigil pucat.

“Aku mengampuni sehelai nyawamu anak muda. Tapi kamu akan aku jadikan budakku. Mungkin suatu ketika aku bisa jadikan kamu murid. Itu kalau aku merasa kamu layak. Tapi untuk saat ini kamu adalah budakku. Panggil aku Tuan.”

“Terima kasih tuan !”

“Dan kamu jangan berpikir bisa lari dariku karena ilmu meringankan tubuh rendahan milikmu tak akan ada gunanya bagiku.”

Ranggawuni yang sudah bersukur lolos dari maut merasa tidak perlu main gila dengan berani membantah orang cacat yang sakti ini. Bisa dibiarkan hidup meski jadi budaknya Ranggawuni sudah merasa senang. Apalagi bila dia mengingat bagaimana dia bisa terikat dengan Istana dan tidak bisa lolos dari sana selama ini. Teringat hal itu Ranggawuni mengeleng-gelengkan kepala. Kekelaman yang dialaminya sejak jadi antek-antek istana lebih mengerikan daripada menjadi budak Dewa Maut.

Momok yang mengerikan baginya di istana itu tentu tidak akan mudah lagi mengancamnya. Karena kini dia sudah jadi budak Dewa Maut. Pasti tuannya itu akan melindungi dia dengan kesaktiannya yang maha dahsayt. Ranggawuni yakin dengan itu setelah melihat sendiri bagaimana cara tewasnya Ki Semar Mesum dan Turangga. Dia percaya pasti tuan barunya itu akan membela dia kalau mahluk yang paling ditakutinya di istana itu menemukannya. Sudah berkali-kali dia mencoba meloloskan diri dari kekangan istana kerajaan tapi tetap saja tidak bisa. Kali ini dia merasa tidak akan lagi menjadi antek istana.

Ranggawuni berpikir meski terus jadi budak Dewa Mautpun dia harus bersyukur daripada terus melayani hasrat bejad momok istana. Kalau benar dia akan jadi murid Dewa Maut maka lebih bagus lagi. Karena dengan ilmu dari Dewa Maut dia akan bisa menghabisi momok istana yang begitu memuakan bagi Ranggawuni. Dendam dan rasa muak akan sosok menjijikan baginya itu begitu kuat.

Sementara Dewa maut merasa menjadi percaya diri untuk kembali ke rimba persilatan akibat pertarungan yang baru di alaminya. Nafsu membunuhnya kembali bangkit. Apalagi dia ingin kembali bertemu dengan Telasih yang diam-diam mulai dia rindukan.

Sebelumnya hal yang membuat dia merasa berat hati kembali ke rimba persilatan adalah tubuhnya yang cacat. Dia merasa tidak leluaas berjalan dan berkelana di dunia yang luas dengan tubuh seperti ini. Tapi melihat Ranggawuni entah kenapa ia terpikir untuk menjadikan pemuda itu sebagai budaknya. Yang akan mengendongnya saat menjelajahi dunia persilatan. Mencarikan makanan saat dia lapar. Dan semua keperluan yang sulit dia kerjakan karena cacat tubuhnya. Itulah sebabnya dia membiarkan Ranggawuni tetap hidup meski kedua rekannya telah dia bantai dengan kejam.

***

Sudah sekian lama Telasih berpisah dengan kedua orang tuanya. Sebenarnya saat pamit kepada gurunya dia berniat untuk langsung menemui kedua orang tuanya itu. Tapi Pertemuan dengan Sadawira telah merubah segalanya. Kini bahkan dia telah menikah dengan pemuda itu yang baru saja dia kenal.

Setelah tiga purnama Sadawira sudah menguasai semua ilmu milik Telasih. Maka sudah saatnya bagi Telasih untuk mengajak suaminya itu menemui orang tuanya di kadipaten Parwata. Dia berencana mengesahkan pernikahannya itu dengan upacara adat dan agama. Dua hari perjalanan dengan kuda menuju ke tempat itu dari gunung Welirang. Tapi mereka berdua hanya berjalan kaki karena tidak memiliki kuda. Kadang berjalan santai kadang melesat menggunakan ilmu meringankan tubuh.

Sepanjang perjalanan hati Sadawira dipenuhi beragam pikiran. Di dalam hati Sadawira tetap saja dia teringat gurunya Andini. Entah bagai mana nasibnya sekarang. Apa dia selamat dari pertarungan dengan Ki Semar Mesum. Perasaan rindu melanda Sadawira apalagi saat mereka singgah makan di warung sebuah kademangan. Mereka mendengarkan percakapan orang-orang yang sedang makan di situ.

“Kisanak selamat dari pembantaian di padepokan gunung merapi?.” Tanya seorang lelaki gemuk pendek berambut gondrong.

“Iya beruntung aku hanya terluka luar saja.” sahut lelaki satunya lagi yang wajahnya ada bekas luka goresan.

“Apa benar pelakunya hanya seorang?.” Tanya seorang lagi yang berkulit gelap dengan kepala botak.

“Iya wanita cantik berpakaian serba merah. Hingga dia dijuluki iblis betina bergaun merah.” Kata lelaki gemuk tadi.

“Hmmm kenapa rimba persilatan harus kembali mengalami bencana. Belum lagi kemunculan Setan cacat penyebar maut beberapa hari lalu. Dia juga suka melakukan pembantaian.” ujar orang dengan bekas luka diwajahnya.

“Kalau cerita tentang setan cacat penyebar maut aku juga sudah dengar. Dia baru baru ini melakukan pembataian di padepokan lembah wlingi.” Ucap lelaki berkulit gelap berkepala botak.

Sadawira dan Telasih mendengar cerita orang-orang yang nampaknya kaum pendekar yang sedang makan di warung itu dengan seksama. Keduanya begitu tertarik dengan kabar-kabar terbaru rimba persilatan yang terasa mengejutkan. Iblis Betina bergaun merah? Siapakah itu. Telasih bertanya-tanya dalam hati. Sementara Sadawira malah merasa cemas jangan-jangan Iblis Betina Bergaun Merah itu gurunya Andini yang telah berganti nama.

Sebaliknya mengenai setan cacat penyebar maut Telasih tidak ragu lagi itu adalah gurunya. Karena siapa lagi pendekar cacat yang ilmunya begitu tinggi. Apalagi sifatnya yang begitu suka membantai orang. Tidak ada lagi orang dengan ciri-ciri semacam itu selain gurunya. Tapi kenapa dia sampai kembali turun gunung. Bukankah setelah cacat dia yang adalah Dewa Maut merasa tidak percaya diri lagi untuk muncul di rimba persilatan.

Telasih merasa tidak enak hati mengingat gurunya. Tentu gurunya itu akan bertanya-tanya kenapa tidak terdengar kabar Telasih muridnya membalaskan dendam pada musuh-musuhnya. Mungkin itulah sebabnya sang guru kembali ke rimba persilatan karena ingin turun tangan langsung untuk menghabisi musuh-musuhnya yang tak kunjung mendapatkan pembalasan dendam.

“Tapi masih lebih mengerikan iblis cacat penyebar maut. Dia tidak menyisakan satupun orang kalau membantai.”

“Benar ilmu iblis cacat itu bisa membunuh oang banyak dalam sekali pukul.”

“Kalau kejadian di padepokan Gunung Merapi masih cukup banyak pendekar yang selamat karena wanita keji itu hanya mengincar tokoh-tokoh utama saja. Jadi Ki Jayataka, Palguna dan beberapa tokoh ternama lain tewas. Orang-orang rendahan seperti aku mungkin dibiarkan lolos.”

“Kamu mungkin beruntung lolos.”

“Tidak juga. Memang orang tidak penting seperti aku dibiarkan saja. Bahkan pasangan pendekar suami istri Mahesa dan Savitri juga lolos. Tapi sayang Savitri terluka parah hingga dia keguguran. Padahal dia hamil besar saat datang kesana. Kenapa juga dia ngotot ikutan acara para pendekar. ”

Kaget Sadawira mendengar percakapan terakhir orang-orang itu. Apa dia tidak salah dengar, apa Savitri yang mereka maksud adalah Savitri bibiknya. Terus Mahesa itu apa Mahesa yang membunuh pamannya Danar. Mana bisa orang jahat yang membunuh pamannya menjadi suami bibiknya. Dia berharap saja kalau apa yang didengarnya salah. Atau Savitri itu Savitri yang lain dan Mahesa itu Mahesa yang lain.

“Rencana perlawanan kaum pendekar bubar begitu saja. Tidak ada yang bisa diharapkan lagi. Meski tokoh-tokoh jahat dari Istana dikabarkan sudah tewas. Seperti Ki Semar Mesum, Suraseta dan lainnya tapi bukan berarti kekejaman penguasa berhenti.”

“Entah siapa lagi yang dijadikan pelindung Arya Weling setelah kematian ki Semar Mesum. Kenapa tokoh licik itu susah untuk dibunuh.”

“Iya padahal beberapa pendekar pernah mencoba menerobos istana untuk membunuh biang keladi kekacauan itu tapi mereka kini tinggal nama saja.”

“Pasti ada orang berilmu tinggi di istana yang tidak kita kenal.”

“Iya kemungkinan itu sangat besar.”

Sadawira dan telasih terus mengikuti percakapan mereka dengan seksama. Sampai orang-orang itu selesai makan dan pergi meninggalkan warung. Kedua pasangan suami istri muda itupun telah menghabiskan makanan mereka. Sehabis makan Sadawira dan Telasih kembali melanjutkan perjalalan. Tinggal sehari perjalanan dengan kuda jaraknya menuju kadipaten Parwata.

“Aku tadi mendengar nama bibikku disebut oleh orang-orang di warung makan.”

“Siapa ? Savitri itu atau iblis betina bergaun merah?”

“bibi Savitri, aku tidak tahu apa Savitri yang mereka maksud adalah benar-benar Savitri bibik aku atau orang lain. Soalnya yang membuat aku bingung dari cerita mereka itu adalah suami Savitri bernama Mahesa.”

“Kenapa memangnya?”

“Mahesa itu nama pembunuh paman Danar suami dari bibi Savitri.”

“Hmmmm jadi kamu bingung kenapa bibi kamu yang suaminya terbunuh malah kawin dengan pembunuh suaminya?”

“Ya begitulah kalau memang kedua orang itu benar-benar orang yang aku maksud.”

“Rumit juga. Mungkin saja bibimu tidak tahu bahwa Mahesa itu pembunuh suaminya.”

“Tapi kan Mahesa itu orang jahat dan licik mengapa bisa orang seperti itu diterima oleh bibi Savitri sebagai suami. Meski dia tidak tahu bahwa Mahesa yang bunuh suaminya.”

“Mungkin bibikmu itu tidak tahu kalau Mahesa adalah orang jahat. Bukankah orang jahat itu terkadang licik dan berpura-pura jadi orang baik dimata orang yang dia sukai.”

Sadawira berharap bahwa nama-nama itu adalah orang berbeda dan tidak terkait dengan bibinya. Kemudian dia teringat cerita orang-orang di warung makan tadi tentang iblis betina bergaun merah.

“Aku juga cemas soal wanita berjuluk iblis betina bergaun merah.”

“hmmmm kamu berpikir itu kak Andini guru kamu?”

“Aku pikir begitu. Mungkin saja dia mengira aku sudah mati dan dia menjadi lebih kejam.”

“Kamu kenapa berpikir begitu?”

“Iya aku tahu guruku itu akan sangat marah dan putus asa kalau kehilangan aku. Karena dia sangat menyayangiku.”

“Menyayangi sebagai murid?”

Sadawira kaget dengan pertanyaan Telasih istrinya. Tidak mungkin dia berterus terang bahwa Andini gurunya menyayangi dia bagai seorang wanita dewasa menyayangi lelaki yang disukainya. Dia merasa kelepasan bicara. Sedapat mungkin Sadawira harus menyembunyikan hubungan yang pernah terjalin antara dia dengan Andini gurunya dari Telasih istrinya. Apalagi hubungan itu menyangkut hubungan badan seperti hubungan yang sepatutnya hanya dilakukan oleh sepasang suami istri.

***

“Paduka yang mulia memasuki istana.”

“Hormat kepada yang mulia paduka raja!”

Salam penghormatan kepada Prabu Wijayakarana bergema bersahut-sahutan saat sang raja negeri Jawadwipa itu melangkah memasuki istana. Raja berpenampilan layaknya seorang pesolek itu melangkah anggun menuju singgasana. Wajah sang raja yang baru berusia 35 tahun itu sesungguhnya sangat tampan. Tapi semakin hari dia lebih terlihat semakin tepat untuk disebut sangat cantik daripada tampan. Para punggawa Istana duduk bersimpuh ditempat masih-masing tidak berani menatap wajah sang prabu.

“Arya Weling kamu sudah menemukan jejak Ranggawuni ?” tanya sang Prabu dengan suara yang makin mirip suara wanita.

“Belum paduka yang mulia.” Sahut sang patih Arya Weling.”Dikediaman Dewa Maut yang ditemukan hanya sisa-sisa tubuh Ki Semar Mesum dan Turangga.”

“Bocah berandalan itu mungkin selamat dan lari dari pertarungan. Tapi kenapa dia tidak kembali ke istana?”

“Kemungkinan seperti itu baginda yang mulia.”

“Hmmmmm apa aku harus keluar istana lagi demi mencari dia?” ucap sang Prabu seolah bertanya pada diri sendiri.

“Hamba serahkan kepada keputusan baginda yang mulia saja.”

“Baiklah aku serahkan urusan kerajaan padamu seperti biasa. Aku merasa galau sebelum menemukan Ranggawuni. ”

“Hamba menerima titah baginda yang mulia.”

“Aku serahkan lambang kerajaan padamu.”

Setelah menyerahkan lambang kerajaan kepada patih Arya Weling sang prabu Wijayakarana melesat bagai kilat menghilang dari singgasana. Path Arya Weling geleng-geleng kepala melihat junjungannya. Tapi hatinya merasa senang karena kembali dia diserahi tugas memimpin kerajaan selama sang Prabu keluar istana. Dia tersenyum licik mengingat raja yang seharusnya lebih memperhatikan kerajaan malah lebih suka dengan hal-hal yang tidak lazim bagi kebanyakan orang.

Bersambung.
 
Makasih updatenya Suhu @jin_yong
Mantaappp
Gak kebayang klo iblis betina bergaun merah itu Andini dan ketemu ama Sadawira dan Telasih. Cemburu dong. Atau Gurunya Telasih yg ketemu mereka. Maksa Telasih ngelayanin lg nafsunya dong. Wooo... klo mrk berantem, siapa menang tuh.
Btw... siapa tuh yg jadi momok di istana. Semenyeramkan itu yak?
Keren ceritanya Hu @jin_yong
Monggo dilanjut
 
Status
Please reply by conversation.
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd