BAB. 19 Pertarungan Dahsyat
Angin pegunungan bertiup sepoi-sepoi membawa kesejukan jiwa. Namun sosok-sosok yang ada di tempat itu jiwa mereka jauh dari kata tenang. Di lereng gunung di sebuah bagian yang lumayan datar berdiri seorang pendekar berumur sekitar empatpuluhan dengan tubuh cacat mengenakan tongkat penyangga di tangan kanannya yang masih utuh. Sementara tangan kirinya telah putus di bahagian lengan, sang pendekar mengerahkan segenap hati dan jiwanya untuk menghadapi pertarungan yang dirasa akan jadi yang terberat dalam hidupnya. Karena dari aura dan sorot mata musuh yang berdiri di depannya sang pendekar cacat itu bisa mengukur seberapa hebatnya tenaga dalam yang dimiliki wanita cantik itu.
Memang benar musuh lelaki cacat itu adalah seorang wanita cantik yang tidak begitu mudah ditebak berapa usianya, mungkin berkisar tigapuluhan, umur wanita itu. Dia memiliki rambut hitam bergelombang panjang sebahu, cantik namun memancarkan aura menakutkan. Berdiri anggun dengan gaun yang mewah berwarna merah. Dia berdiri tanpa memegang sebilah senjatapun. Mungkin dia jenis pendekar yang mengandalkan jurus-jurus tangan kosong. Dengan penuh keberanian wanita itu menatap lawannya dengan pandangan mata yang tajam dan keji.
“Engkau harus mati ditanganku hari ini, sebab berani menghalangiku mendekati dia kekasih hatiku.” dengan dingin sang wanita cantik bicara.
“Kamulah yang akan binasa ditanganku. Karena menghalangi jalanku. Lagipula orang yang kau bilang kekasihmu itu tidak suka denganmu. Tapi sudahlah itu bukan urusanku. Tapi sebelum kau mampus aku ingin tahu siapa namamu wahai gadis cantik.”
“Hmmmm kaulah yang akan mampus jadi sebelum kau mati penasaran aku sebut saja namaku. Aku Sukesih!”
“Bersiaplah menyambut kematian !” Teriak sang pendekar cacat.
Lelaki cacat itu adalah Dewa Maut. Dia langsung melesat dan hantamkan tongkat dengan dilambari ilmu tarian dewa perang.
Wanita cantik itu mendengus dingin dan menyongsong serangan Dewa Maut. Ranggawuni mundur menjauh dari arena pertarungan. Dia berharap-harap cemas agar majikan barunya Dewa Maut memenangi pertarungan ini. Wajahnya tegang dan pucat pasi. Lari dari pertarungan ini justru hanya akan menambah ketegangan dan kecemasan di hatinya. Itu juga akan berakhir sia-sia.
Pertarungan yang dahsyat terjadilah ketika dua makhluk itu bergebrak dengan hebat. Pohon-pohon bertumbangan terkena angin pukulan dari kedua pendekar yang sedang bertarung. Tanah seputaran daerah pertempuran mereka porak-poranda terkena jurus-jurus yang maha hebat. Bumi bagai terguncang oleh gempa yang dahsyat. Tanah, batu dan pepohonan berhamburan kemudian berubah menjadi semacam senjata yang mematikan. Tatapan mata wanita yang mengaku bernama Sukesih itu semakin tajam, membawa kekuatan yang teramat kelam. Terlihat hawa pembunuhan terpancar dari tatapan matanya itu.
“Ajian serat sukma. “
Teriak Sukesih disusul dengan sebuah pukulan yang mengandung kekuatan yang mengerikan. Telapak tangan wanita itu mulai terlihat berubah menjadi kelabu. Dewa Maut memutar-mutar tongkatnya membentuk serangan badai yang maha dahyat. Apapun yang tersambar oleh putaran tongkatnya akan hancur tanpa ampun. Bagai gulungan puting beliung menghancurkan segalanya.
Sukesih wanita cantik itu melihat dan paham kedahyatan jurus lawannya, namun ia tidak gentar, Ia segera merapal jurus serat sukma tingkat kedua. Dengan ganas wanita itu malah masuk kedalam gulungan tongkat Dewa Maut. Lelaki cacat yang harus berdiri dengan satu kaki karena tongkatnya dijadikan senjata itu kelabakan karena tidak menyangka bahwa musuhnya akan melakukan hal nekad seperti itu.
Dewa Maut memutuskan untuk menggunakan ilmu lima jemari dewa menyongsong Sukesih yang telah berada sedemikian dekat dari tubuhnya. Wanita itu melakukan serangan yang sangat berbahaya dengan telapak tangannya yang kini sudah berubah menghitam. Terjadi pertemuan dua pukulan yang mengakibatkan benturan hebat mengandung tenaga dalam sangat tinggi.
“Blarrrrr....”
Terdengar suara dentuman yang sangat memekakkan telinga ketika pukulan lima jemari dewa bertemu dengan pukulan ajian serat sukma tingkat kedua. Akibatnya mereka harus berjumpalitan karena menahan dorongan yang bisa membuat mereka terhempas menghantam tanah.
Tak ada pilihan lain bagi Dewa Maut selain harus menurunkan ilmu pamungkasnya. Ilmu pukulan Telapak Dewa Menampar Bumi. Sementara Sukesih telah menyiapkan serangan susulan yang kemungkinan akan lebih mematikan dari yang sebelumnya.
Ranggawuni semakin cemas menyaksikan apa yang sedang terjadi. Pertarungan dua orang dengan ilmu yang sangat mematikan membuat susana tenang di lereng gunung lawu terganggu. Tak butuh waktu lama pertarungan itu telah mengundang hampir seluruh warga padepokan gunung lawu turun gunung dan menyaksikan pertarungan yang mungkin belum pernah mereka lihat sebelumnya. Bahkan ketua padepokan ki Wajarapani ikut hadir termasuk para tetua lainnya. Hanya suami istri Mahesa dan Savitri yang tidak terlihat di tempat itu.
“Hebat sekali pertarungannya ya.”
Ranggawuni kaget ketika tiba-tiba mendengar orang berbicara di sampingnya. Suara yang halus khas seorang wanita. Ranggawuni segera menoleh dan benar saja di sampingnya telah berdiri seorang gadis cantik usia sekitar duapuluh tahunan. Gadis itu berdiri cukup dekat dengannya sambil melihat ke arena pertarungan. Dia mengenakan pakaian putih bercampur kelabu dengan bentuk seperti pakaian kaum pendekar wanita.
“Eh iya.” Sahut Ranggawuni menjawab dengan agak gugup.
“Kamu memihak siapa?”tanya gadis itu lagi.
“Yang cacat itu majikanku.” Jawab Ranggawuni.
“Oh..!”
“Aku berharap majikanku memenangkan pertarungan ini. Karena akan buruk akibatnya jika dia kalah.” Ucap Ranggawuni seolah bicara pada diri sendiri.
“Akan buruk? Memangnya wanita itu jahat ya? Kalau aku lihat wajahnya memang sepertinya jahat!” gadis belia itu terus bicara.
“Memang dia jahat tapi dia bukan wanita.” Kata Ranggawuni dengan ketus.
Gadis cantik itu tidak mengerti dengan apa yang diucapkan oleh Ranggawuni. Tapi pemuda itu tidak perduli. Sebab apa yang di lihat didepan matanya membuat Ranggawuni makin cemas karena pertarungan semakin sengit. Dewa Maut melesat ke udara berjumpalitan dan kembali mendarat sembari hantamkan telapak tangannya ke tanah. Terdengar dentuman hebat diiringi munculnya asap panas berwarna putih dengan hawa yang pekat dan sangat panas. Tanah yang dipijak terasa berguncang hebat. Kekuatan ilmu telapak dewa menampar bumi benar-benar sangat dahsyat. Seolah gempa sedang terjadi di sekitar lereng Lawu diringi angin yang bergemuruh.
“Ajian Serat Sukma.”
Sukesih kembali berteriak keras sambil merapalkan ilmu ajian serat sukma tingkat ketiga. Telapak tangannya berubah menjadi hitam kemerahan. Dua kekuatan bertemu, terlihat dari arah Ranggawuni wanita bernama Sukesih itu melayang menembus kepulan asap menerjang dengan telapak tangannya kearah tubuh Dewa Maut yang masih dalam keadaan setengah jongkok.
“Blammmmm...”
Ledakan keras menggelegar keluar dari pertemuan kembali kekuatan hebat. Sukesih terdorong kembali hingga harus berjumpalitan dan mendarat dengan sempoyongan , sementara sang Dewa Maut tubuhnya terbenam kedalam tanah sampai pinggangnya. Di memuntahkan darah segar dari mulutnya, ia terluka dalam parah.
“Ajian Serat Sukma...”
Sukesih mengambil kesempatan itu untuk kembali melakukan serangan. Melihat hal itu Ranggawuni dengan nekad melesat kearah Dewa Maut mencoba melindungi orang yang jadi majikannya itu. Tapi dia terlambat karena telapak tangan Sukesih yang telah menjadi merah menyala sudah mendarat di tubuh Dewa Maut tanpa bisa dicegah dan hasilnya sangat mengerikan.
Akhir dari perjalanan hidup sang pembantai yang sangat suka menyebar maut telah sampai. Nyawanya melayang dengan tubuh hancur berkeping-keping. Ranggawuni yang tingkat tenaga dalamnya belum seberapa dibanding Sukesih sia-sia saja melakukan pembelaan untuk majikannya. Tapi karena Sukesih tidak menganggap Ranggawuni sebagai musuh melainkan sebagai kekasih maka dia tidak melakukan serangan balik dan hanya membiarkan saja Ranggawuni menerjang ke arahnya. Karena wanita cantik itu hendak menangkap pemuda tampan yang diakuinya sebagai kekasih.
Tapi tiba-tiba saja sebuah selendang melesat mengarah ke tubuh Sukesih sekaligus membuat Ranggawuni terlempar menjauh dari wanita yang hendak meringkusnya itu.
“Hei apa yang kau lakukan? Kenapa kau menghalangi aku menangkap kekasihku?” ujar Sukesih kepada gadis cantik yang menyerangnya dengan selendang.
“Kekasih? Benarkan dia kekasihmu?”
Gadis itu bertanya kepada Ranggawuni yang sudah berdiri setelah sempat terlempar dan jatuh agak jauh dari Sukesih.
“Bohong. Wanita jadi-jadian ini bukan kekasihku.”
Teriak Ranggawuni dengan marah.
“Tega kau berkata begitu Ranggawuni.” Ucap Sukesih dengan nada sedih.
“Aku tidak percaya kamu kekasih dari pemuda ini. Kamu kelihatan lebih tua.” Ucap gadis cantik itu dengan enteng.
Alangkah marahnya wanita bernama Sukesih mendengar perkataan itu. Membuat dia tidak bisa menahan diri lagi untuk menyerang dengan ganas. Beberapa orang padepokan gunung lawu yang melihat itu mengeluarkan jeritan ketakutan. Mereka yakin bahwa gadis belia itu bukan apa-apa dibanding wanita bernama Sukesih itu. Mereka juga tidak ada yang berani membela sang gadis karena sadar bahwa ilmu mereka tidak ada apa-apanya dibanding wanita bernama Sukesih.
Beberapa sesepuh padepokan gunung lawu termasuk ketua padepokan Ki Wajarapani memilih untuk tidak ikut campur dengan apa yang terjadi. Pertarungan baru kembali pecah di tempat itu. Gadis belia dengan selendangnya ternyata mampu mengimbangi Sukesih.
Semula Sukesih mengira dia akan bisa secepatnya menghabisi gadis belia itu dengan mudah. Tapi setelah beberapa jurus dia baru sadar bahwa gadis belia itu punya kemampuan yang tidak bisa dianggap remeh. Sukesih yang kelelalahan setelah bertarung dengan Dewa Maut memutuskan untuk menghentikan pertarungan.
“Berhenti...!” Teriak Sukesih.
“Kenapa?” Gadis belia yang cantik itu bertanya dengan heran.
“Untuk apa kita buang tenaga yang tidak perlu. Aku hanya ingin membawa pulang kekasihku jadi aku minta kau tidak usah menghalangi.” Sukesih berkilah.
“Hei kamu apa mau pergi dengan perempuan ini?” tanya gadis belia itu.
“Aku tidak mau. Dia bukan perempuan dia...” sahut Rnggawuni.
“Cukup Ranggawuni.” Bentak Sukesih.
“Jadi bagaimana? Kamu mau memaksa dia ikut kamu sedangkan dia tidak mau.” ucap Gadis belia itu.
“Kalau aku memaksa kamu mau apa?” tanya Sukesih dengan marah.
“Kita bertarung lagi, kan memang kita sedang bertarung Cuma kamu yang minta berhenti.”
Sukesih kesal tapi dia merasa sangat lelah dan dia juga mengalami luka dalam meski tidak begitu parah. Kalau dia memaksa untuk kembali bertarung dengan gadis belia itu resikonya cukup tinggi. Maka Sukesih memilih untuk pergi saja. Bukan hal sulit bagi dia untuk menemukan jejak Ranggawuni dilain waktu. Tetapi untuk menjaga harga dirinya dia perlu bicara sesuatu terhadap Ranggawuni.
“Kali ini aku membiarkanmu Ranggawuni karena aku tidak mau menurunkan tangan keji pada gadis muda bau kencur. Tapi lain kali kamu harus ikut aku!” ucap Sukesih.
“Terserah kamu bilang apa aku sudah tidak mau ikut denganmu lagi.”ucap Ranggawuni.
Pemuda tampan itu telah bangkit rasa percaya dirinya karena perlindungan gadis cantik yang tak pernah dia duga sebelumnya. Sukesih hanya tertawa mendengar kata-kata Ranggawuni. Kemudian dia melesat pergi dengan ilmu meringankan tubuhnya.
Para anggota padepokan gunung Lawu di pimpin oleh ketuanya mendekat dan menjura memberi hormat pada gadis belia yang baru muncul itu.
“Salam hormat kami untukmu gadis belia.” Ucap Ki Wajarapani.
“Salam hormat juga dariku untuk kalian. Perguruan kalian sering disebut di rimba rimba persilatan. Jadi aku harus hormat kepada kalian para sesepuh.”
“Nona terlalu menyanjung perguruan kami yang biasa saja. Tapi boleh kami tahu siapa namamu gadis belia dan dari perguruan mana?”
“Aku Sundari. Aku tidak punya perguruan.”
“Tapi ilmumu sangat tinggi. Oh iya mohon maaf kami mau menangkap anak muda ini!” kata ki Wajrapani.
“menangkap dia?” gadis yang ternyata adalah Sundari itu bertanya dengan heran sambil menunjuk Ranggawuni.
‘Dia anak buahnya Dewa Maut tentu dia harus kami tangkap karena Dewa Maut adalah musuh besar kami.”ujar Ki Wajarapani.
“Hmmmm... Aku sudah terlanjur melindungi dia. Aku akan tetap melindungi dia sampai aku merasa sudah tidak perlu lagi.”Jawab Sundari dengan enteng.
“Kami tidak ingin ribut denganmu gadis muda. Tapi Dewa Maut orang yang sangat kejam tentu anak buahnya demikian pula. Membiarkan dia selamat sama saja dengan memelihara bahaya besar yang akan mengancam dikemudian hari.”
“Aku sudah terlanjur melindungi dia jadi maaf aku tidak akan menyerahkan dia pada kalian.” Sundari berkata dengan tegas.
“Kalian ini sebenarnya mau apa? Aku ini hanya budaknya Dewa Maut dan tidak punya kehebatan untuk mengancam kalian.” Ranggawuni ikut menyela.
“Baiklah mungkin kami harus percaya bahwa kamu memang tidak berbahaya.“ Ki Wajarapani melunak.
Ketua padepokan gunung lawu itu berpikir bahwa pasti gadis itu memiliki guru yang sangat sakti dan mengambil sikap bermusuhan dengan gadis itu akan merugikan perguruan. Sementara anak muda yang mengaku sebagai budaknya Dewa Maut kelihatannya tidak begitu berbahaya. Tingkat kepandaiannya menurut dugaan ki Wajrapani hanya setingkat dengan Mahesa dan hal yang mustahil dia akan dengan cepat menjadi sosok yang membahayakan rimba persilatan.
Akhirnya Sundari dan Ranggawuni pergi meninggalkan lereng gunung Lawu setelah menguburkan mayat Dewa Maut. Sementara para anggota padepokan gunung lawu dan para pimpinannnya masih penasaran dengan wanita cantik yang bisa membunuh Dewa Maut yang mengaku bernama Sukesih. Mereka juga penasaran dengan gadis belia yang cantik yang bernama Sundari dan pemuda budak Dewa Maut yang ingin mereka tangkap tapi tak bisa. Karena apa daya mereka juga tidak mau menambah musuh.
***
Sadawira sudah merasa lebih baik setelah tiga hari bersemadi di hutan. Sebelumnya dia istirahat di penginapan yang dipesan oleh Sundari beberapa waktu lalu. Dia memilih untuk bersemadi di hutan biar lebih tenang dan tenaganya bisa pulih. Ada rasa kecewa juga di hati Sadawira ketika teringat Sundari.
Gadis yang masih belia itu begitu cantik namun dia tidak seperti dua wanita lain yang pernah dekat dengan Sadawira. Mereka para wanita itu mau menemaninya untuk beberpa waktu. Andini lumayan lama. Demikian juga Telasih meski tidak selama Andini. Sementara Sundari hanya terasa sekejap saja langsung minta diri untuk pergi. Sadawira jadi sadar bahwa tidak semua wanita tertarik padanya. Kenyataan hidup seperti itu membuat Sadawira kecewa.
Tidak dapat dipungkiri Sadawira sangat membutuhkan wanita disisinya. Meski dia dikecewakan oleh Telasih tapi tidak membuat Sadawira membenci wanita. Tidak sama sekali dia malah berharap dapat pengganti Telasih. Sementara berharap bisa bertemu kembali dengan Andini gurunya sudah tidak mugkin lagi. Sampai sekarang dia tidak mendengar kabar tentang gurunya itu. Malah orang rimba persilatan punya cerita dari mulut kemulut yang tersebar bahwa Bidadari Hati Beku tewas jatuh ke jurang akibat bertarung dengan Ki Semar Mesum dan kawan-kawan.
Sadawira merasa hidupnya kini tak tentu arah. Keluarganya di padepokan gunung lawu sudah menganggapnya sesat. Bahkan Savitri bibinya sudah sangat membencinya dan memukulinya dengan kesetanan. Mengingat semua itu Sadawira makin kecewa.
Bersambung.