Agen Terpercaya  
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

CERBUNG DI ATAS LANGIT MASIH ADA LANGIT

Status
Please reply by conversation.
https://assets.**************/post-image-6319487e98ad8.jpg


BAB. 21 Mengejar Sang Pengecut Hina
Sadawira siuman dan mendapati dirinya masih berada di tengah hutan dalam suasana sangat gelap karena malam dan tidak ada cahaya bulan. Dia merasa badannya sangat panas padahal dia ada di hutan di sebuah pegunungan dalam suasana malam yang dingin. Kabut dengan hawa sangat dingin menyelimuti hutan tempat Sadawira sadarkan diri dari pingsannya. Tapi itu semua tidak berpengaruh pada Sadawira. Dia tetap diserang rasa panas yang begitu kuat. Pemuda itu bahkan sudah tidak kuat lagi menahan rasa panas yang ada dalam tubuhnya.

Sadawira berlari bagai kesetanan mencari di mana ada sungai atau telaga. Dia ingin segera berendam di air dingin untuk mengusir rasa panas yang bagai hendak membakar tubuhnya. Setelah berlari dengan menggunakan ilmu meringankan tubuh kesana kemari akhirnya Sadawira menemukan sungai yang cukup besar. Sadawira langsung menceburkan tubuhnya kedalam sungai itu.

Bukan rasa dingin yang di dapat oleh Sadawira melainkan air sungai itu bahkan menjadi panas. Sadawira berteriak karena putus asa dan menerjang apa saja yang bisa dia terjang. Batu-batu sungai berterbangan dan hancur kena pukulan Sadawira. Bahkan percikan air yang terhambur mengenai pepohonan di tepi sungai membuat pohon-pohon itu hancur.

***

Para pimpinan Padepokan Gunung Lawu telah hampir sepakat untuk menghukum Mahesa dengan tuduhan membunuh Danar dan melakukan fitnah keji terhadap Sadawira. Semua merasa yakin bahwa Mahesa benar-benar bersalah. Tapi Ki Gumilang yang juga ikut dalam pembicaraan antara Savitri dan para tetua padepokan menyarankan untuk mengadili dulu Mahesa.
“Kita tidak bisa langsung menghukum Mahesa dan menetapkan dia bersalah dalam hal ini. Karena kemungkinan Mahesa tidak bersalah juga tetap ada. Sebab tidak ada saksi mata yang melihat kejadian sebenarnya!” Ucap Ki Gumilang.
“ Saksi matanya adalah Sadawira. Dia tidak mungkin berbohong.” Sahut Savitri.
Dia sangat kesal mendengan pernyataan ki Gumilang. Tentu saja hal ini menimbulkan perdebatan panjang antara yang sependapat dengan ki Gumilang maupun yang tidak setuju.
“Sadawira juga punya kemungkinan berbohong.”
“Kapan dia berbohong? Sepanjang ini dia tidak pernah berbohong!”

Akhirnya diambil jalan tengah yaitu mengadili Mahesa. Segera saja para tetua memutuskan untuk menemui Mahesa di rumahnya dan membawa dia ke padepokan untuk di adili.
“Dia sudah tidak ada, pasti ada yang memberi tahu dia bahwa dia akan diadili!” Geram Ki Wajrapani.
“Iya Ayah pasti karena orang itu yakin si Mahesa pengecut licik itu memang bersalah! Sahut Savitri dengan penuh amarah.
Sebagian besar warga padepokan kesal dengan hilangnya Mahesa dan maikn yakin bahwa lelaki itu memang benar pembunuh Danar.
“Umumkan kepada seluruh orang rimba persilatan bahwa Mahesa bukan lagi bagian dari padepokan Gunung Lawu. Dia harus ditangkap hidup atau mati.”
Ki Wajrapani memutuskan untuk mengejar Mahesa yang dia anggap sebagai seorang lelaki penmgecut yang sangat hina. Dia memerintahkan seluruh anggota padepokan untuk menangkap mahesa hidup atau mati. Ki wajarapani bahkan sudah menetapkan bahwa Mahesa memang bersalah karena lari dari tanggungjawab.

Di bentuklah beberapa kelompok untuk mengejar Mahesa. Savitri memutuskan untuk ikut melakukan pengejaran. Dia sudah sangat yakin bahwa Mahesa benar-benar pelaku pembunuhan suaminya dan juga memfitnah Sadawira. Ditemani dua murid perempuan padepokan dia akan melakukan pengejaran itu setelah mendapat izin dari ayahnya. Selain mengejar Mahesa dia juga mau mencari Sadawira sekaligus minta maaf.

Setelah kelelahan setelah seharian dia mengerahkan ilmu meringankan tubuhnya mengejar suaminya Mahesa, Savitri memilih untuk beristrirahat di atas pohon besar. Apalagi suasana sudah sangat gelap karena hari telah malam. Ditemani dua murid perempuan padepokan yakni Nariratih dan Widuri. Kedua murid perempuan itu malam ini tidur di atas pohon lainnya. Mereka beristirahat dengan tenang hingga terdengar teriakan-teriakan dan bunyi benda-benda yang dipukul. Kemudian terdengar pohon-pohon bertumbangan.

Mendengar itu Savitri dan kedua muridnya melompat dari atas pohon dan tidak lama setelah itu mereka melihat pohon yang tadinya mereka tempati untuk tidur telah hancur. Dari arah sungai meski gelap mereka masih bisa melihat seorang pemuda di dalam sungai sedang mengamuk menghantam apa saja.

Savitri melesat ke arah sungai hendak menyerang pemuda yang diduga mengancam mereka. Tapi demi melihat siapa anak muda itu Savitri menarik serangannya.

“Sadawira...” Teriak Savitri.

“Bibi, kau mengejarku? Kau mau membunuhku. Silahkan bunuh aku. Aku memang jahat!”

“Tidak Sadawira. Bibi yang salah. Bibi percaya dengan apa yang kamu katakan.”

“Terlambat bibi. Sekarang aku mau mati. Tubuhku panas sekali aku tidak mampu melawan rasa panas ini. Kalau bibi mau bunuh aku bunuh saja.”

“Apa yang terjadi Sadawira, kenapa kau sampai seperti ini.”

Sadawira jatuh pingsan di dalam sungai. Savitri panik melihat kejadian itu.

“Cepat selamatkan dia dari dalam sungai.” Teriak Savitri.

“Baik guru.” Jawab kedua muridnya serentak.

“Kita bawa dia ke lembah cekung!” perintah Savitri.

Segera mereka membopong Sadawira meski dengan susah payah. Mereka mengerahkan ilmu meringankan tubuh untuk secepatnya bisa sampai di lembah cekung tempat kediaman seorang tabib sakti. Karena jarak dari hutan tempat mereka beristrahat dan lembah cekung tidak terlalu jauh maka perjalanan memakai ilmu meringankan tubuh itu tidak membutuhkan waktu lama.

Untunglah selama pingsan suhu tubuh Sadawira berangsur normal hingga mereka sampai di depan rumah tabib sakti.

“Maaf ki Acarya kami mengganggu malam-malam. Ponakan saya sakit parah ki!”

“Tidak perlu minta maaf segala. Ayo bawa masuk anak itu.” Ujar ki Acarya.

Tiba-tiba Sadawira menggeliat. Nampaknya dia telah siuman. Dia menatap orang-orang dalam keremangan cahaya pelita. Ada Savitri bibinya kemudian dua gadis belia serta seorang kakek yang sudah sangat sepuh.

“Aku di mana?” tanya Sadawira

“Kamu di lembah cekung di rumah tabib ki Acarya.” Sahut Savitri.

“Tubuhku selalu memanas beberapa saat setelah bangun dari tidur dan semakin panas!”

“Coba aku periksa, tadi saat kamu masih tidur hawa tubuh kamu normal!”

Ki Acarya menempelkan telapak tangannya pada bagian dada Sadawira. Dia mengerutkan keningnya menandakan ada hal yang serius dari tubuh Sadawira.

“Aliran darah kamu kacau balau. Tubuhmu kini mulai panas dan akan makin panas!” ujar Ki Acarya.

Ki Acarya menontok beberapa jalan darah di tubuh Sadawira dan beberapa saat kemudian Sadawira menjadi tak sadarkan diri.

“Maaf aku membuat dia pingsan lagi. Karena jika dibiarkan maka dia akan makin panas dan mungkin akan mengamuk.” Ucap ki Acarya

“Benar ki tadi kami bertemu dia dalam keadaan mengamuk!” Seru Savitri.

“Ini akibat aliran darahnya yang terganggu. Sepertinya aliran darah ponakanmu kacau balau. Hanya saat dia tak sadarkan diri justru aliran darahnya menjadi normal.”

“Apakah bisa disembuhkan?”

“Aku akan coba. Butuh waktu lumayan lama. Setiap dia sadarkan diri harus segera di totok untuk kembali dibuat pingsan. Karena kalau dia sadarkan diri dalam waktu beberapa saat tubuhnya akan makin panas. Tapi aku akan beri dia ramuan agar dia bisa bertahan beberapa saat untuk dia makan dan minum. Akan tambah parah kalau dia tidak makan dan minum.”

Ki Acarya terlihat mengeluarkan peluh di dahinya saat dia menyalurkan hawa murni ke tubuh Sadawira. Dia juga beberapa kali melakukan totokan di bagian-bagian tertentu tubuh ponakan Savitri itu.

***

Debur ombak menghantam batu batu karang di tepi pantai di sebuah tempat di selatan. Tak jauh dari kumpulan batu karang itu terdapat sebuah goa yang cukup sulit untuk dimasuki kecuali oleh orang yang memiliki ilmu meringankan tubuh yang tinggi. Itulah goa yang dinamai sebagai goa larangan. Tak banyak yang tahu tempat itu.

Mahesa telah dua hari berada di dalam goa larangan. Dia kembali melihat dengan seksama tulisan dan gambar di dinding goa larangan. Meski dalam keremangan goa yang hanya di terangi oleh cahaya yang keluar dari hasil pembakaran ranting-ranting kering. Kemarahan yang meluap-luap dan tekadnya yang dia tanamkan di dalam hati saat hendak lari dari padepokan gunung lawu mulai menurun. Tadinya dia menggebu-gebu bertekad akan mengebiri dirinya demi menguasai ilmu yang diceritakan oleh gurunya ki Semar Mesum. Ilmu Sukma Paripurna yang hanya bisa dikuasai setelah seorang lelaki memotong kemaluannya.

Ki Semar Mesum adalah murid dari pendekar penghuni goa larangan ini. Guru ki Semar Mesum ki Ludira hanya menguasai jurus penyedot sukma hingga akhir hayatnya, karena hanya itu yang mau dan sanggup dia pelajari. Kemudian ilmu penyedot sukma itu diturunkan pada Ki Semar Mesum muridnya. Ki Semar Mesum meski pernah tinggal di goa larangan selama berguru dan disana dia membaca petunjuk serta gambar-gambar ilmu Sukma Paripurna tetapi dia tidak mau menguasai ilmu itu. Sebabnya adalah keharusan melakukan kebiri membuat siapapun berpikir panjang bahkan menolak melakukannya.

Mahesa dari sejak jauh dari goa larangan hingga makin mendekat tekadnya untuk menguasai ilmu Sukma Paripurna makin menurun. Apalagi ketika dia melihat-lihat tulisan dan gambar-gambar yang terpahat di dinding goa niat untuk mengebiri diri sendiri langsung musnah. Untuk apa hidup dan dilahirkan sebagai lelaki kalau harus kehilangan lambang kejantanan lelaki. Bukankan dia adalah lelaki yang suka sekali dengan wanita. Bahkan dia adalah lelaki pemetik bunga. Mengapa hanya karena persoalan dengan Savitri dan padepokan gunung lawu dia harus kehilangan miliknya yang paling berharga dan menjadi seorang banci.

Lagipula mempelajari ilmu lain yang juga terdapat di goa ini yang hanya bisa dimasuki oleh murid ki Ludira dan murid ki Semar Mesum memberi keuntungan juga buat Mahesa. Dia bisa bersembunyi dengan aman dari kejaran orang-orang padepokan gunung lawu sekaligus meningkatkan ilmunya. Meski dia tidak yakin bahwa ilmu lain yang bisa dia dapat di sini bisa setinggi ilmu Sukma Paripurna.

Tapi ada hal menarik yang dia baca dari dinding goa itu. Ada semacam tulisan yang mendahului petunjuk gerakan dan gambar-gambar gerakan dari ilmu sukma paripurna. Mahesa berulangkali membaca dengan penuh perhatian kata-kata dari tulisan dengan huruf hanacaraka itu. Dia terus memikirkan kata-kata yang sepertinya hanya kata-kata biasa saja yang tidak seindah kata-kata para sastrawan. Artinya juga mudah dimengerti seolah tak ada makna tersirat dari kata-kata yang tertulis itu. Yang bunyinya antara lain seperti ini.

“Kalau sudah tidak bisa menjadi lelaki sejati buang saja kemaluanmu.”

“Lelaki sejati tidak akan melakukan hal bodoh.”

“Kalau sudah tidak mampu jadi lelaki sejati potong saja kemaluanmu.”

“lelaki sejati akan memilih untuk tidak bertindak bodoh.”

“Tapi tak semua sanggup jadi lelaki sejati.”

“Maka mengebiri diri sendiri adalah pilihan.”

“Dunia memang kadangkala sering terbalik.”

Setelah tulisan kata-kata semacam kata pembuka itu kemudian terdapat petunjuk tentang syarat-syarat untuk bisa mempelajari jurus ilmu sukma paripurna. Lalu gerakan dan dasar-dasar gerakan yang harus dilatih untuk memulai mempelajari ilmu tersebut. Dilanjutkan dengan gambar-gambar gerakan.

Mahesa mencoba mengikuti petunjuk dan melakukan berberapa gerakan itu namun susah dan tidak berarti apa-apa serta tidak menghasilkan tenaga sama sekali. Berulangkali dia mencoba mengikuti semua petunjuk dan melakukan gerakan sesuai gambar di dinding goa tapi hasilnya sia-sia. Mungkin harus benar-benar melakukan syarat seperti yang tertulis bahwa harus melakukan kebiri.

Mahesa tertawa sinis karena dia tidak akan sebodoh itu melakukan kebiri. Dia adalah lelaki sejati seperti tulisan di dinding goa itu. Dia juga bukan orang yang mau melakukan tindakan bodoh. Bukankah mengebiri diri sendiri adalah tindakan bodoh. Dia tidak akan melakukannya.

Tiba-tiba pikiran Mahesa sampai pada kesimpulan bahwa pasti ada cara menguasai ilmu itu tanpa harus melakukan tindakan bodoh seperti mengebiri kemaluan sendiri. Harus ada cara untuk menemukan petunjuk menguasai ilmu itu selain dengan melakukan kebiri. Mahesa memutar otaknya mencari kemungkinan-kemungkinan atau petunjuk yang bisa membawanya menemukan cara menguasai ilmu Sukma Paripurna.

***

Sundari sudah sekian pekan berada di rimba persilatan melanggar aturan keluarganya. Selain kesal dengan ayahnya yang menikah lagi dia juga sedang memenuhi pesan pelayannya. Surti pelayannya itu meninggal saat melahirkan bayi yang tidak jelas siapa ayahnya. Bayinya sekarang di rawat oleh pelayan lain lembah welas asih atas perintah Sundari. Surti sendiri sebelum jadi pelayan di lembah welas asih adalah seorang seniman pelukis di kota kadipaten yang lumayan jauh dari lembah Welas asih.

Dia berjalan sedemikian jauh hingga sampai di desa yang dekat dari lembah Welas Asih. Saat itu dia hendak bunuh diri dengan melompat ke jurang namun di bawah jurang itulah letaknya lembah welas asih. Kebetulan Sundari sedang berlatih ilmu silat dekat dengan tempat yang akan jadi tempat Surti mendarat dari lompatan bunuh dirinya. Sundari menyelamatkan Surti dengan selendangnya.

Ternyata gadis bernama Surti itu hendak bunuh diri karena diperkosa oleh seorang lelaki tak dikenal. Karena gadis itu seniman lukis maka saat selamat dan jadi pelayan Sundari dia menyempatkan diri untuk melukis wajah pemerkosanya. Dengan penuh harap dia meminta Sundari mencari lelaki yang dilukisnya itu untuk dihukum karena telah merenggut kehormatannya dan membuat dia hamil. Dia ingin sundari membawa lelaki itu untuk menemui dia dan mempertanggungjawabkan perbuatannya. Sayangnya Sutri kini telah tewas sebelum bertemu orang yang memperkosanya. Tapi Sundari sudah bertekad akan menghukum lelaki itu dengan kejam karena seenaknya mengambil kehormatan seorang wanita.

Sundari membawa lukisan Surti itu dan selalu mengamati lelaki-lelaki di rimba persilatan siapa tahu ada yang berwajah sama dengan yang dilukis oleh Surti. Sundari yakin bahwa pelaku adalah orang rimba persilatan dari cerita Surti bahwa dia seolah lumpuh tak bisa bergerak saat lelaki itu mulai menggagahinya.

Namun hingga sekian lama dia menjelajahi rimba persilatan belum bertemu wajah yang sama dengan yang ada dilukisan. Sundari beberapakali bertanya ke orang-orang apa pernah melihat wajah yang ada dilukisan tapi belum pernah menemukan ada yang mengenalnya. Memang dunia begitu luas dan menemukan pemerkosa itu bagai mencari jarum di tumpukan jerami.

Saat ini dia telah berada di sebuah kadipaten yang tidak jauh dari gunung lawu. Waktu menjelang malam dia memutuskan untuk tidur di penginapan. Walau kadipaten ini kecil dan tidak terlalu ramai tetap saja ada penginapan yang lumayan untuk disewa.

Bersambung
 
https://assets.**************/post-image-63194aab686e5.jpg


BAB. 22 PRABU WIJAYAKARANA

Telasih tak menemukan Barda di rumahnya. Kata kedua orang tuanya Barda diajak pergi ke kotaraja oleh ki Jara ayah Telasih. Tentu saja Telasih agak kaget dan bertanya-tanya untuk apa ayahnya mengajak Barda ke kota raja. Dia penasaran dan memutuskan untuk kembali ke kotaraja mencari tahu urusan apa Barda harus ikut ayahnya. Selain itu Telasih juga sedang kangen dengan Barda karena dia adalah wanita yang memang sejak merasakan persetubuhan pertama dengan orang yang tidak dia kenal mejadi sangat suka dengan namanya persetubuhan. Telasih tidak merasa malu mengakui pada dirinya sendiri bahwa dia wanita yang haus akan birahi.

Saat Telasih melihat lokasi tempat dia mengalami pemerkosaan dia kembali terkenang semua kejadiannya dan wajah pelakunya. Terbersit dendam dihati Telasih dengan orang yang seenaknya mengambil kehormatannya sekaligus membuka sisi liar dirinya.

****

Kekuasaan patih Arya Weling memang begitu besar. Itu sangat dirasakan oleh Telasih ketika dia memasuki gerbang istana dan mengenalkan diri sebagai putri kinasih maka segala kemudahan memasuki istana segera didapatkan olehnya. Padahal pengamanan istana begitu ketat. Selaian dikawal oleh para prajurit pengawal istana juga ada para pendekar kepercayaan istana yang ikut menjaga.

Telasih benar-benar disambut bagai putri bangsawan di istana raja. Pengawal istana segera mengantarkan dia ke istana kepatihan. Di sana dia disambut oleh patih Weling dan Kinasih istrinya yang juga ibu kandung dari telasih. Meski dikabarkan sebagai pejabat culas tapi sikap patih Arya Weling terhadap Telasih cukup sopan.

“Aku tak menyangka putrimu ini sedemikian cantik.” Ucap Patih Arya Weling kepada Kinasih.

“Siapa dulu ibunya.” Sahut Kinasih.

Telasih merasa jengah dengan pujian dari patih Arya Weling yang saat ini terhitung sebagai ayah tirinya itu.

“Oh ya Telasih kenalkan putriku Ambalika!” ujar Patih Arya Weling.

“Oh iya aku Telasih.”

“Aku Ambalika.”

Sambil tersenyum keduanya saling bersalaman. Meski sempat bertemu saat bentrok beberapa waktu lalu tapi Ambalika tidak begitu mengingat wajah Telasih. Ambalika cukup ramah dan menerima kehadiran Telasih yang sekarang jadi saudara tirinya.

“Telasih kamu akan terkejut saat melihat sang Prabu!” kata Kinasih ibunya.

“Emang kenapa ibu?”

“nanti saja saat kamu ikut acara di ruang sidang istana.”

“Oh ya Kinasih dan Ambalika temani Telasih melihat-lihat istana kepatihan ini. Sekaligus kalian antarkan dia ke kamar yang akan dia tempati kalau dia mau tinggal di istana ini.” Perintah patih Arya Weling.

“Baik yang mulia.” Sahut Kinasih.

Istana kepatihan meski tidak semegah istana raja tetap saja jauh lebih bagus dan megah dibanding rumah saudagar kaya raya di kademangan bahkan kadipaten sekalipun. Telasih mendapatkan kamar tidur yang mewah melebihi kamar penginapan paling mahal yang pernah dia tinggali.

“Oh ya boleh ibu tinggal kalian berdua?” tanya Kinasih pada Telasih dan Ambalika saat mereka telah berada di taman halaman depan istana kepatihan.

“Oh boleh bu!” jawab kedua putri itu hampir bersamaan.

Kinasih meninggalkan Telasih dan Ambalika berdua di taman halaman depan istana kepatihan. Taman itu begitu tertata rapi dengan bunga-bunga yang terawat.

“Maaf bolehkan aku berterus terang padamu?” tanya Telasih.

“Boleh saja, soal apa?” Ambalika balik bertanya.

“Kamu ingat pertarungan di istana kepatihan ini beberapa waktu lalu?”

“Pertarungan? Hmmmm aku ingat. Tapi kenapa kamu bertanya tentang itu?”

Tentu saja Ambalika ingat karena hanya sekali saja kejadian pertarungan di istana kepatihan. Lebih-lebih yang melakukan pertarungan itu adalah dirinya sendiri. Tapi dia merasa agak heran juga kenapa Telasih sampai bertanya soal itu.

“Karena akulah yang bertarung denganmu saat itu!” ucap Telasih dengan enteng.

“Hmmmmm pantas aku seperti pernah lihat wajah kamu, tapi untuk apa kamu menyusup ke istana kepatihan tempo hari?”

“Aku mendengar kabar ibuku diculik orang istana dan aku pergi menyelidiki sampai kesini. Tapi setelah bertemu ibu keesokan harinya baru aku tahu ibuku telah menikah dengan ayahmu. Aku minta maaf karena buat keributan tempo hari.”

“Tak perlu minta maaf. Aku juga kalau mendengar ibuku di culik orang tentu aku akan berbuat seperti yang kamu lakukan. Malah aku tidak menyelidiki segala tapi langsung mengamuk.”

Telasih hendak bertanya kalau dimana ibu kandung Ambalika sekarang tapi urung karena dia merasa pertanyaan itu bisa saja membuat Ambalika tidak nyaman. Tapi dari perbincangan mereka selanjutnya Telasih dapat menarik kesimpulan bahwa Ambalika cukup bersahabat dan tidak menunjukan sikap permusuhan sama sekali meski Telasih sudah berterus terang bahwa dialah yang bertarung dengan Ambalika malam itu.

***

Savitri sangat sedih melihat apa yang di alami oleh Sadawira keponakannya. Setelah beberapa waktu lalu selalu diserang rasa panas yang membara sekarang setelah ditangani tabib ki Acarya, Sadawira malah menjadi kedinginan jikalau sadarkan diri. Tubuhnya menggigil dan berkeringat sangat dingin laksana es.

Savitri menjadi sangat menyesal kenapa dia tanpa pikir panjang langsung saja menghajar Sadawira bagai kesetanan. Pasti anak ini mengalami guncangan mental karena apa yang dia ungkap malah tidak dipercaya oleh orang-orang yang dikasihinya. Sadawira tentu sangat menderita dan akibatnya dia menjadi seperti ini. Harusnya dia berpikir jernih dulu sebelum percaya begitu saja dengan kata-kata Mahesa dan langsung main pukul pada ponakannya yang sudah tidak tahan lagi menyimpan rahasia. Pasti Sadawira berharap besar bahwa keluarganya akan percaya dan akan menghukum lelaki yang telah membunuh pamannya. Tapi yang didapat adalah semua malah mempercayai kata-kata Mahesa.

“Kasihan sekali kau nak! Kau harus menderita karena lelaki licik bernama Mahesa itu. Semoga kau bisa sembuh.” Savitri hanya bisa berkata dalam hati melihat Sadawira yang sedang diobati oleh ki Acarya.

Rasanya sudah sangat putus asa karena setelah sepekan belum ada tanda-tanda Sadawira membaik dari penderitaannya. Malah dirasa semakin parah saja. Semua itu hanya menambah penyesalan di hati Savitri. Sementara Mahesa lelaki pengecut itu malah berhasil melarikan diri. Kalau saja Sadawira telah berhasil disembuhkan maka Savitri merasa tenang dan bisa memikirkan bagaimana cara untuk mencemukan Mahesa dan menghukumnya dengan hukuman yang kejam lewat tangannya sendiri.

“Bagaimana perkembangan ponakanku, ki Acarya ?”tanya Savitri dengan harap-harap cemas setelah melihat ki Acarya keluar dari kamar tempat Sadawira diperiksa.

“Anak itu sangat kuat dia sudah melewati siksaan rasa panas dan kini dia juga sedang mengalami siksaan rasa dingin.”

“Jadi keadaannya bagaimana? Apa bisa disembuhkan?”

“Tenanglah dia sangat kuat dia akan bisa melewati siksaan rasa dingin dan semoga setelah itu dia akan pulih. Tapi tergantung diri anak itu juga. Aku hanya membantu memperbaiki aliran darahnya yang kacau saja.”

Savitri merasa agak lega mendengar penjelasan tabib bernama ki Acarya itu. Seoga saja memang akan demikian jalannya. Bahwa Sadawira diserang rasa panas kemudian rasa dingin dan akhirnya dia akan pulih.

***

Siang ini istana sang Prabu kembali ramai karena sang Prabu sudah kembali dari pengembaraannya. Tampak iring-iringan para pengawal dan dayang, yang mengiringi Raja memasuki ruang sidang istana untuk duduk di atas singgasana, tahta kerajaan. Dan lalu para orang bangsawan, Patih, menteri-menteri, para tumenggung, Senopati dan para pembesar lainnya, memberi hormat kepada junjungannya.

“Yang mulia paduka raja memasuki istana.” Terdemgar teriakan petugas istana.

“Hormat pada yang mulia raja.” Kemudian terdengar lagi sahutan dari petugas istana lain. Ucapan penghormatan tiga kali diteriakan oleh petugas itu.

Mereka para hadirin di ruang sidang istana bersujud setelah itu. Kemudian sang prabu , mempersilahkan semuanya untuk bangkit dari sujudnya.

Tampak terlihat Patih Arya Weling mendampingi Sang Prabu. Sementara Kinasih ada dibarisan para wanita bangsawan. Di samping kanan Kinasih terlihat seorang wanita belia yang cantik jelita. Dia tak lain adalah Telasih putri kandung Kinasih. Hari ini adalah untuk kedua kalinya Telasih hadir di ruang sidang istana. Dia terlihat begitu senang dan bahagia bisa kembali menghadiri upacara sidang istana.

Di sebelah kiri Kinasih ada putri Ambalika anak kandung patih Arya Weling sekaligus anak tiri Kinasih. Wanita yang juga seorang pendekar sakti itu nampak makin akur dengan ibu tirinya Kinasih dan anak dari ibu tirinya itu Telasih. Dia memang seorang anak perempuan yang selalu patuh pada ayahnya.

Di sisi yang lain terlihat Pangeran Wikramapala paman dari sang Prabu. Sesekali dia melirik ke arah sang ponakannnya itu. Dalam hatinya dia ingin sekali mengangkat desas desus soal sang Prabu yang katanya telah berubah jadi wanita. Dia ingin menggugat hal itu dan berniat melengsengkan keponakannya karena menurutnya seorang lelaki yang berubah jadi wanita tidak berhak menduduki tahta. Itu aib bagi keluarga kerajaan sebagai wakil yang maha kuasa di bumi.

Sebenarnya dia ingin menggugat sang Prabu justru disaat sang Prabu sedang tidak ada. Tapi dia masih ragu dan mencoba mencari dukungan dari keluarga kerajaan lain untuk menguatkan niatnya. Saat niatnya sudah sangat kuat sang Prabu telah hadir. Dia malah mengurungkan niatnya karena merasa sangat berbahaya bila harus mengungkap isu itu saat sang Prabu hadir.

Berkali-kali melihat sang Prabu membuat Kening pangeran Wikramapala jadi berkerut. Dia merasa ada yang janggal dalam diri keponakannya. Sejak kembali dari pengembaraan Sang Prabu tampil dengan gagah dan gerakan lemah gemulai dia selama ini malah tidak terlihat. Cuma saja kali ini sang Prabu lebih banyak diam. Pangeran Wikramapala yang mengenal betul keponakannya tentu merasa bahwa ada yang aneh dengan penampilan raja saat ini. Dia merasa sang Prabu seperti berbeda.

Tiba-tiba semua orang di ruang sidang istana dikejutkan dengan terdengarnya suara tertawa seseorang. Suara tertawa yang keluar mengandung tenaga dalam yang sangat tinggi. Seperti suara seorang perempuan. Kemudian setelah suara itu terdengar tak lama kemudian melangkah masuk kedalam istana seorang perempuan yang terlihat sangat cantik bagai sedang melayang di udara.

“Siapa yang begitu lancang duduk di singgasana sebagai raja di saat aku masih hidup?” tanya wanita cantik itu.

Patih Arya Weling sangat kaget melihat kehadiran wanita itu. Wajahnya pucat pasi karena dia sangat mengenal wanita itu. Tepatnya orang itu. Karena dia adalah Prabu Wijayakarana yang suka tampil menjadi perempuan dan malah kini telah berubah wujud jadi perempuan karena ilmu serat sukma. Patih Arya Weling bertanya-tanya kenapa dia muncul mendadak dan mempermasalahkan singgasana kerajaan yang selama ini dia tidak perdulikan.

Padahal patih Arya Weling atas usul Kinasih memutuskan mencari lelaki yang berwajah mirip dengan sang Prabu untuk didudukan di istana. Semua itu dilakukan demi untuk meredam isu sang Prabu telah menjadi wanita. Karena kalau isu itu membesar dan semua orang terpengaruh maka singgasana akan dengan mudah direbut oleh pangeran Wikramapala.

Patih Arya Weling memutuskan untuk berpura-pura tidak mengenl wanita jadi-jadian itu. Kalau terjadi apa-apa dia percaya bahwa putrinya Ambalika dan putri tirinya Telasih akan mampu melindunginya. Karena dia telah mengetahui kesaktian Telasih dari cerita Ambalika. Belum lagi tangan kanannya yang baru pengganti Ki Semar Mesum berjuluk Setan Cacat Penyebar Maut yang selalu siap siaga menjaga diri sang patih.

“Kamu siapa ?” hardik Arya Weling.

“Kamu jangan pura-pura bodoh Arya Weling. Aku memberi kewenangan menjalankan pemerintahan kerajaan padamu bukan berarti kamu seenaknya menciptakan raja palsu!” bentak wanita itu.

Semua orang di istana sangat kaget melihat wanita itu. Sebagian malah langsung percaya bahwa inilah sang Prabu yang telah berubah jadi wanita. Dialah raja yang sebenarnya karena dia adalah sang prabu Wijayakarana.

“Dasar wanita gila? Bicaramu ngawur! Pengawal tangkap orang ini!” peritah Arya Weling.

“Hmmmmm kamu coba-coba main gila.” Wijayakarana mendengus.

Pengawal yang mendekat untuk meringkus Wijayakarana hanya dengan kibasan lengan kiri langsung tumbang dengan nyawa melayang.

“Kamu raja palsu mampuslah!” Teriak Wijayakarana sambil hantamkan pukulan maut jarak jauh kearah lelaki yang disebutnya raja palsu itu.

Lelaki yang duduk di singgasana itu pucat pasi. Namun Telasih dengan cepat melesat ke arah singgasana dan dengan kibasan tanganya dia menangkis pukulan jarak jauh Wijayakarana. Ambalika juga bergerak cepat dan langsung berdiri melindungi ayahnya, patih Arya Weling. Dari luas gedung istana raja masuk beberapa tokoh persilatan pelindung patih Arya Weling di pimpin oleh Setan Cacat Penyebar Maut.

“Jadi benar kamu telah menjadi wanita!”Teriak pangeran Wikramapala.

Perhatian orang-orang langsung beralih kepada pangeran Wikramapala. Semua kaget bahkan ada yang ketakutan mendengar kata-kata dari pangeran yang merupakan paman dari sang Prabu Wijayakarana. Mereka takut pangeran yang tidak memiliki ilmu silat itu akan dengan mudah dihabisi oleh prabu Wijayakarana.

“memangnya kenapa paman?” tanya Wijayakarana.

“Memalukan. Itu sebuah aib, kamu tidak berhak lagi jadi raja!”

“Kata siapa aku tidak berhak. Dan siapa juga yang mampu merebut tahta dariku?”

“Meski kamu sakti tapi tak ada rakyat yang mau memiliki raja seorang wanita jadi-jadian!”

“Siapa yang menentangku akan menerima hukuman. Aku memang tidak suka dengan segala tetek bengek pemerintahan dan kerajaan tapi tahta ini milikku dan aku lebih tidak suka dengan orang yang seenaknya mengambil milikku.”

“Hahahhaha tahta ini wangsit dari yang maha kuasa. Aku yakin yang maha kuasa sangat murka dengan orang yang merubah kelaminnya. Hahhahahaha kamu sudah tidak memiliki wangsit untuk bertahta.”

“Jadi paman ingin merebut tahta? Coba saja kalau mampu!”

“Cukup omong kosong ini. Sang Prabu sekarang sedang duduk di singgasana dan kamu perempuan berani sekali mengaku sebagai pemilik tahta!” bentak Arya Weling.

‘Arya Weling manusia tak tahu diuntung. Aku harus secepatnya membunuh orang menjijikan sepertimu!”

Prabu Wijayakarana nampak bersiap menyerang Arya Weling yang juga sama dengan pangeran Wijayakarana tak memiliki ilmu silat sama sekali. Tapi Ambalika putri tunggalnya sudah siap siaga sejak tadi untuk menyongsong serangan Wijayakarana. Ruang istana yang biasanya khidmat dan tenang kini akan berubah menjadi ajang pertarungan. Setan Cacat Penyebar Maut yang sebelah matanya bagian kanan ditutup kain hitam karena rusak dan tangan kirinya tidak memiliki jemari juga sudah siap di samping kanan Arya Weling ditemani beberapa anak buahnya.

Semua yang berdiri di pihak patih Arya Weling siaga namun mereka memberi kesempatan untuk putri Ambalika menghadapi sendiri lawannya lebih dulu.

“Paman Wikramapala lihatlah orang ini mau menjadikan manusia rendahan yang tidak memiliki darah keturunan raja sebagai pemegang tahta. Sementara kau hanya sibuk memikirkan segala aib omong kosong. Silahkan pilih kau mau ikut orang-orang hina ini lalu mampus ditanganku atau ikut aku ponakanmu?”

bersambung
 
https://assets.**************/post-image-6319af14e40b4.jpg


Part 23. Ketegangan Di Istana Raja

Sementara itu beberapahari lalu terlihat rombongan orang-orang yang mengusung tandu berjalan menyusuri hutan lebat di wilayah pinggiran kadipaten Banjaran. Mereka terdiri dari empat lelaki yang mengangkat tandu dan sebelas lelaki yang mengiringi tandu itu beserta empat wanita yang ikut rombongan. Sementara di dalam tandu terdapat seorang wanita.

“Kita berpisah di sini.” Ujar Seorang yang nampaknya sebagai pemimpin rombongan.
“Baik tuan besar.” Sahut orang-orang yang lain yang ada dalam rombongan ini.
“Kalian meneruskan perjalanan ke lembah cekung. Sementara aku akan pergi ke kotaraja jejak Sundari ada di sana. Ikut denganku 5 orang saja yang lainnya ikut isteriku ke lembah cekung.” Perintah pimpinan itu.
“Baik tuan Besar.”
Rombongan itu kemudian berpisah di dalam hutan yang satu menuju ke lembah cekung dan yang lainnya ke arah kotaraja. Yang ke lembah cekung adalah rombongan yang menggunakan tandu terdiri dari wanita yang ada dalam tandu dan ke empat penggiring wanita beserta empat penggotong tandu diikuti enam pengawal pria. Sementara yang ke arah kotaraja terdiri dari lima pria yang dipimpin ketua rombongan yang disapa sebagai tuan besar.

***
Kembali ke suasana dalam istana saat ketegangan antara pangeran Wikramapala dengan seorang wanita yang mengaku sebagai prabu Wijayakarana.
“Hahahahahaha aku tidak memihak siapapun karena akulah yang kini paling berhak atas tahta kerajaan.” Kata pangeran Wikramapala dengan Jumawa.
“Jadi terbukti kau adalah penyebar fitnah bahwa raja telah jadi perempuan dan kau berniat merebut tahta? Hahhahaha akhirnya kau mengaku sendiri!”
“Memangnya kenapa kau sendiri kan mengaku telah jadi perempuan dan itu aib jadi akulah yang paling berhak!”
“Sayangnya aku bukanlah prabu Wijayakarana, aku bohong hahahahaha. Yang duduk di tahta itulah prabu Wijayakarana. Aku Sukesih pendekar pengawal pribadi sang Prabu. Aku sengaja menjebakmu wahai pangeran. Agar semua keluarga kerajaan dan semua rakyat tahu bahwa kamu adalah seorang tukang fitnah dan pemberontak.”

Semua kaget mendengar pengakuan wanita itu. Termasuk patih Arya Weling sendiri dan orang yang duduk di kursi singgasana menjadi prabu Wijayakarana. Tentu saja yang paling kaget adalah pangeran Wikramapala.
“Kamu bohong. Kamu adalah Wijayakarana yang telah jadi perempuan!” Seru Pangeran Wikramapala.
“Mana ada seperti itu. Omong kosong dari mana laki-laki bisa jadi perempuan. Yang mulia Prabu. Hukumlah pangeran Wikramapala seberatnya karena berani memfitnah baginda dan mau merebut tahta!” Teriak wanita yang kini mengaku sebagai pendekar wanita Sukesih setelah sebelumnya mengaku sebagai Prabu Wijayakarana.
“Benar yang mulia jatuhkan hukuman untuk pemberontak ini!” sahut Patih Arya Weling.
Sang patih itu kini merasa di atas angin karena Sukesih yang sesungguhnya adalah prabu Wijayakarana yang asli berbalik mendukung prabu Wijayakarana palsu ciptaannya.
“Ba....baik...a...a...ku serahkan pada kalian untuk mengadilinya!’ Dengan takut-takut orang yang menjadi sang Prabu Wiajayakarana itu bertitah.
“Sukesih tangkap dan hukum mati pangeran Wikramapala dan siapa saja yang membela dia!” Patih Arya Weling memerintah.
“Baiklah. Sekarang siapa yang memihak pangeran Wikramapala silahkan berdiri didekatnya dan yang tidak segera menjauh dari pangeran.” Ujar Sukesih sambil mengambil pedang dari tangan seorang prajurit pengawal.
“Meski kamu berpura-pura aku tetap mengenalmu. Kaulah Wijayakarana yang demi nafsu sesat telah merubah diri menjadi perempuan. Orang yang duduk di tahta itu adalah orang yang hanya mirip denganmu. Seorang raja palsu ciptaan patih licik itu. Lihatlah semua para kerabat kerajaan sekalian. Perhatikan wajah keduanya kalian akan tahu bahwa mana yang asli mana yang palsu. Kalau kalian mendukungku silahkan berdiri disisiku. Meski aku harus mati aku tidak akan rela kerajaan ini dipegang seorang yang menyalahi kodratnya atau malah dikuasai oleh orang yang palsu dan tidak memiliki darah bangsawan kita.” Dengan nada bergetar penuh emosi pangeran Wijayakarana berkata cukup panjang.
“Masih ada kata-kata lain yang mau kau ucapkan? Silahkan. Juga buat yang bersimpati pada pangeran ini silahkan bergabung.” Kata Sukesih dengan nada mengejek.
Orang–orang yang kebetulan berada dekat pangeran Wikramapala dengan ketakutan segera menjauhkan diri. Meski dalam hati kecil mereka mengakui bahwa kata-kata pangeran itu adalah benar namun ancaman yang akan mereka terima bila mendukung pangeran Wikramapala sangat jelas dan tegas yakni hukuman mati.
“Ayah aku mendukungmu.” Ujar seorang pangeran muda berusia 22 tahun.
Dia bergegas melangkah mendekati ayahnya dan berdiri tanpa ragu disisi kanan ayahnya.
“Aku kagum padamu Dananjaya. Kau berani menjaga kehormatan kerajaan.” Kata pangeran Wikramapala dengan terharu. Dia mengusap-usap bahu putranya itu dengan mata berkaca-kaca.
“Aku juga mendukungmu yang mulia suamiku.” Ujar seorang wanita cantik berusia empat puluhan tahun.
“Terima kasih istriku atas kesetiaan dan dukunganmu!”
Istri pangeran bernama putri Amaranggana dengan tabah ikut melangkah untuk berdiri disisi suaminya. Pangeran Wikramapala menggandengnya kemudian memeluk istrinya itu.
“kami juga bersama ayah!” ucap dua orang putri yang sama-sama masih sangat belia berusia sekitar 16 tahunan dan 14 tahunan.
Mereka berdua adalah putri dari pangeran Wikramapala. Putri Mayang dan putri Sarita Keduanya dipeluk dengan penuh haru oleh ayah mereka. Air mata kedua putri itu bercucuran karena mereka mengerti akan ancaman maut yang telah dijatuhkan buat ayah dan diri mereka.
“Masih ada lagi yang mendukung pemberontak ini?”
Ternyata lumayan juga orang yang mendukung Pangeran Wikramapala. Bahkan ada beberapa menteri berani menyatakan dukungan buat pangeran Wikramapala.
“Hmmmm bangsat kalian berani mati membela pemberontak.” Dengan geram Sukesih memaki.
“Kami rela berkorban demi kesucian tahta kerajaan dari aib dan kepalsuan!” teriak seorang punggawa kerajaan yang memihak pangeran Wikramapala.
“Crash..”
Kepala punggawa itu putus menggelinding diringi jeritan ngeri dari sebagian orang yang ada di ruangan sidang istana.
“Siapa lagi yang mau menyusul disilahkan sambil mengucapkan kata-kata terakhir!” Ucap Sukesih laksana dialah orang paling berkuasa di dalam istana ini.
“Dasar wanita jadi-jadian. Aku mengadu jiwa denganmu.”
“Crash...”
Seorang kerabat pangeran Wikramapala nekad mencabut pedang namun sebelum pedangnya lolos dari sarungnya dia sudah kehilangan nyawa dengan kepala putus. Suasana makin tegang. Sukesih bagai orang paling berkuasa di Istana dan siap membantai siapa saja. Meski dia bukan pendekar pedang namun karena memiliki ilmu tenaga dalam tingkat tinggi maka tebasan pedangnya sangat cepat dan mematikan.
“Ayo masih ada yang mau mengucakan kata-kata perpisahan?”
Semua yang berdiri dipihak pangeran Wikramapala terdiam ketakutan. Namun mereka tidak punya pilihan karena tidak ada ampunan untuk putusan hukuman mati yang ditetapkan. Wajah mereka pucat pasi diliputi kengerian. Namun mereka tidak merubah pendiriannya membela pangeran Wikramapala.
“Hmmmm rupanya kalian sudah tak berani berkata apa-apa lagi. Baiklah aku habisi sekalian nyawa kalian.”
Sukesih melesat dan sabetkan pedangnya dengan sangat ganas karena dia ingin menghabisi keluarga pangeran Wikramapala serta para pendukungnya secepatnya.
“crash..crash...crash...”
Pangeran Wikramapala dan keluarganya yang tak memiliki ilmu beladiri sama sekali mungkin akan dengan mudah ditangan Sukesih. Bahkan jika memiliki ilmu silat juga tak akan lolos dari kesaktian Sukesih. Beberapa kerabat dan prajujit pengawala yang berdiri melindungi keluarga pangeran Wikramapala tewas menggenaskan. Semua seakan pasrah akan nasib buruk yang menimpa paman dari prabu Wijayakarana itu.
Telasih hanya bisa diam menyaksikan semua itu. Sedari tadi hati kecilnya ingin turun tangan menghentikan pembantaian yang dilakukan dengan keji oleh Sukesih. Tapi ibunya Kinasih menggenggam erat lengannya dan saat dia menatap wajah ibunya itu Telasih melihat ibunya menggelangkan kepala seolah tahu bahwa anaknya itu hendak melakukan sesuatu dan dia mencegahnya.
Demikian pula dengan putri Ambalika dia juga sangat ingin turun tangan dan sudah siap bertarung habis-habisan dengan Sukesih alias prabu Wijayakarana. Tapi demi melihat tatapan ayahnya dia urungkan niatnya itu. Dia malah menyesalkan Sukesih telah berbalik mendukung raja palsu ciptaan ayahnya. Padahal kalau saja raja yang telah jadi wanita itu ngotot tetap pada pendirian semula tentu pertarungan hebat melawan prabu Wijayakarana alias Sukesih yang diidamkan oleh putri Ambalika akan benar-benar terwujud.
“Tring...”
Sukesih sangat kaget ketika pedang yang hampir menebas pangeran Dananjaya tiba-tiba putus dan lebih kaget lagi karena serangkum angin pukulan bertenaga dalam hebat menghantam kearahnya. Sukesih melompat menghindari serangan dan dengan cepat segera membalas melakukan pukulan serat sukma tingkat pertama kearah penyerangnya. Kemudian bermunculan orang-orang yang bergerak sangat gesit segera menotok tubuh pangeran Wikramapala dan keluarga serta kerabatnya yang masih hidup dan membopongnya keluar dari Istana dengan sangat cepat. Jumlah mereka semua tujuh orang sekalian dengan orang yang menghatam putus pedang yang digunakan oleh Sukesih.
Sukesih hantamkan lagi beberapa pukulan namun ilmu meringankan tubuh orang-orang itu sangat hebat sehingga mereka bisa lolos dari istana dan lenyap tanpa bisa dicegah oleh siapapun. Sukesih melesat keluar berusaha terus mengejar orang-orang yang menolong pangeran Wikramapala itu.
***
Ki Acarya terlihat bercakap-cakap dengan begitu serius. Lawan bicaranya adalah Saviti.
“Aliran darah ponakanmu itu tidak sekacau waktu pertama datang kesini. Juga kalau badannya tiba-tiba panas atau dingin juga tidak sepanas dan sedingin beberapa waktu lalu.”
“Jadi dia sudah mulai membaik ki?”
“Itu belum bisa dipastikan. Karena sekarang dia justru mengalami panas dingin yang terus melanda dan satu lagi aku merasa kurang sopan untuk mengatakannya.”
“Apa itu ki Acarya?”
“Maaf kalau aku terpaksa mengatakannya. Begini ... hmmmmm Kemaluan Sadawira, maaf saat panas dingin itu berdiri tegak dan hanya akan kembali normal bila dia tak sadarkan diri.”
Savitri kaget sekaligus sangat risih dan malu mendengar kata-kata ki Acarya. Dia juga memang beberapa hari ini melihat apa yang dikatakan oleh tabib ki Acarya. Apalagi saat dia mengantar Sadawira mandi di sungai. Mengingat hal itu Savitri jadi makin malu pada dirinya sendiri. Karena dia beberapakali tidak dapat menahan diri untuk mencuri lihat kemaluan keponakannya itu. Dia sejujurnya sangat kaget melihat ukuran kemaluan itu yang jauh lebih besar dari milik Mahesa atau Danar. Savitri kemudian geleng-geleng kepala mengusir pikiran-pikiran aneh dikepalanya.
“Terus apa masih ada harapan dia untuk disembuhkan ki?”
“Untuk aliran darah yang kacau sudah mulai menunjukan tanda-tanda membaik. Tapi soal kemaluannya itu benar-benar aneh.”
Savitri hendak bertanya cara bagaimana untuk memulihkan keanehan yang dialami Sadawira. Tapi dia jadi malu sendiri untuk menanyakan itu. Dia hanya bisa terdiam sambil berusaha mengusir bayangan kemaluan Sadawira yang terus melintas dibenaknya.
“Aku akan meracik ramuan untuk mencoba memulihkan penyakit aneh yang dialami Sadawira.” Ujar Ki Acarya.
“Semoga Sadawira secepatnya pulih.” Sahut Savitri.
“Tapi aku butuh bunga teratai dari telaga pancawarna! Bahan-bahan ramuan lain aku punya. Hanya itu saja yang harus di ambil dari tempatnya.”
“Oh kalau begitu aku dan murid-muridku yang akan pergi ke telaga itu.”
“Oh baguslah semoga ramuan ini bisa manjur menyembuhkan ponakanmu.”
Segera Savitri bergegas mempersiapkan kepergian ke telaga pancawarna untuk mengambil bunga teratai dari sana. Tentu saja dia mengajak kedua muridnya menemani dia. Saat sore berangkatlah Savitri beserta kedua murid perempuan padepokan gunung Lawu ke telaga pancawarna.
***
Rombongan orang yang mengusung tandu nampak menyusuri Jalan menuju ke lembah cekung. Sudah tidak terlalu jauh jarak ke tempat tujuan, rombongan itu terus melangkah ke sana. Kadang mereka menggunakan ilmu meringankan tubuh sehingga tandu diusung dengan setengah melayang terlihat begitu hebatnya. Sebuah tandu bagai terbang dengan empat orang yang menggotong tandu. Sementara para penggiringnya juga memperlihatkan kemampuan ilmu meringankan tubuh yang hebat.
Hingga menjelang senja rombongan itu sudah sampai di lembah cekung. Tujuan mereka adalah rumah ki Acarya tabib mumpuni yang tersohor di rimba persilatan. Setelah tiba di depan pintu rumah segera salah satu dari anggota rombongan mengucapkan salam.
“Sampurasun...”
Sekian saat tidak ada jawaban dari dalam rumah sederhana milik tabib itu. Sampai lima kali ucapan salam tetap belum terlihat ada tanda-tanda bahwa penghuni rumah ada di dalam. Mereka memutusan untuk beristirahat di sekitar rumah ki tabib itu. Ada yang sekedar duduk dipekarangan rumah ada yang tiduran di beranda rumah. Sementara yang berada di dalam tandu tetap berada dalam tandu dan beristirahat di sana.
Saat sedang beristirahat tiba-tiba dari arah utara rumah ki Acarya sang tabib itu terlihat orang datang mendekat. Karuan semua anggota rombongan bersiaga. Nampak seorang kakek tua membopong seorang anak muda yang tak sadarkan diri di punggungnya.
“Wah ada tamu rupanya!” Ujar orang tua itu.
“Benar kami sedari tadi menunggu ki Acarya!” ujar salah satu pengawal.
“Baiklah aku sedang mengobati anak muda ini. Apa ada yang bisa kubantu?Mari silahkan masuk.”
Ki Acarya membawa lelaki dalam gendongannya yang tak lain adalah Sadawira kedalam rumah. Kemudian meletakan Sadawira di sebuah dipan di ruang tengah rumahnya.
“Majikan perempuan kami yang membutuhkan penyembuhan dari tuan tabib.”
“Penyakit apa gerangan yang dia derita, coba bawa masuk ke dalam rumah majikan kalian biar aku periksa!” seru ki Acarya.
Ke empat lelaki itu kemudian mengusung tandu ke dalam rumah ki Acarya. Karena rumah itu kecil maka sebagian rombongan tetap berada di luar rumah. Hanya dua orang pelayan perempuan yang ikut ke dalam beserta dua pengawal pria yang pandai bercakap-cakap.
Tandu yang tertutup dengan tirai itu segera dibuka. Dari dalam tandu terlihat seorang wanita setengah baya yang terlihat masih sangat cantik, namun wajahnya pucat. Dia terbaring didalam tandu. Mungkin dia sedang tidur karena kelelahan.
“Majikan kami ini lumpuh tuan Tabib!”
“Oh iya nama majikan kalian siapa? Dan dari manakah gerangan?”tanya ki Acarya .
“Majikan kami bernama Andini istri dari ki Baradwaja dari lembah Welas Asih.” Jawab salah satu pelayan wanita lumpuh itu.
“Oh kalau begitu segera gendong dia ke dipan dalam kamar sebelah sana!” perintah ki Acarya sambil menunjukan kamar yang dimaksud.
Wanita setengah baya itu di gendong keluar dari atas tandu oleh pengiring wanitanya dan dibaringkan di dipan dalam kamar. Ki Acarya kemudian meraba urat nadinya. Keningnya berkerut dan wajahnya terlihat begitu serius.
“Dia lumpuh akibat disengat ular sungai yang ganas.” Ujar ki Acarya.
“Benar ki Tabib, apa masih bisa disembuhkan?” Tanya seorang pelayan wanita lumpuh.
“Hmmmmm akan aku usahakan. Meski cukup berat.”
Bersambung.
 
Status
Please reply by conversation.
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd