Agen Terpercaya  
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

CERBUNG Diary Davina (Bandung-Jakarta Underground Stories)

Bimabet
Semakin lama aku kurang begitu terangsang dg adegan sex mu @Davina-hime, tp aku merasa tak bisa lepas dr curhat kehidupan mu, kisah hidup mu memang aneh, kisah hidup yg tdk biasa, sulit menggambarkan perasaan mu ... Teruskan curhatmu @Davina-hime ........
 
Keren Davina..... Sex scene terbaik dari sejak diary pertama kamu....
Sex scene ama mama kamu itu paling hot banget dah, Ternyata mama kamu juga ada bakat lesbian juga sis.
buktinya sejak remaja dibiarin kamu menjilatin vaginanya..
Incest scene nya wow banget dah.... mantul
Hamil in aku pah, buntingin.... sange nya udah ke ubun ya sis .....:alamak:

ya, gitu lesbian incest itu

iya itu dirty word ya. tapi klo seks asli jarang kyk gitu
klo karangan cerita seks banyak omongan kotor nakalnya. klo asli itu kalimat "udah ahh.. udah gue mau nangis," itu udah sexy binal.

Semakin lama aku kurang begitu terangsang dg adegan sex mu @Davina-hime, tp aku merasa tak bisa lepas dr curhat kehidupan mu, kisah hidup mu memang aneh, kisah hidup yg tdk biasa, sulit menggambarkan perasaan mu ... Teruskan curhatmu @Davina-hime ........

maksudnya itu gimana? kurang hot adegan seks yg kutulis?
perasaan wanita itu rahasia huhuu makanya jalanin hidup simple life aja lebih mudah.

Adegan mama lara ama cowok lain masih ada kah? Atau cerita waktu mama lara masi jadi sub?

ada, bdsm seks scene include mama Lara-nya byk momennya :hati:
klo waktu jadi sub itu masa lalu jadi flashback
 
Suka nih beginian, coba kalo mama sama papa barengan 'perkosa' anaknya, seru tuh

Si papa kalo abis sarapan, dikasih 'dessert' vagina anaknya, ugh
Si mama ga mau nambah 'peliharaan' cewek?

mmm papa itu romantis jadi perkosa bareng mama sih ndak. klo 3some romantis sih iya.
peliharaan sub?
udah ada 3 sub mama itu. dan cukup selektif juga milih sub. yang ngasih formulir lamaran banyak, DILF juga ada. :hati:

Ditunggu updatenya cerbungnya ya. Req cerita yg hardcore

yg hardcore itu contohnya gimana? :rose:
 




Rasanya nyaman sekali dibonceng oleh papa naik motor hitam Honda Win keluaran Tahun 2005; motor kopling jadul milik Alm. Ayahnya, menusuri jalanan pagi Kota Bandung. Aku yang mengenakan kemeja putih berlengan panjang dibalut jaket kulit hitam---lalu kaki indahku jeans biru pensil panjang, bersepatu high heels merah, memeluk tubuhnya itu dari belakang dengan erat dan manja. Kupeluk tubuh papa yang memakai jaket denim tentara abu-abu yang selalu dikenakannya bila keluar rumah. Ia memakai helmet fulface hitam KY*T sedangkan aku memakai helmet fullface abu-abu NH*K.

Seperti kedua orang yang sedang pacaran, entahlah hatiku rasanya hangat, sampai-sampai aku senderkan kepalaku pada punggungnya. Aku mengenangnya, papa yang dulu pertama kukenal sebelum menikah. Baik sekali orangnya, perhatian, menjagaku, dan senyumnya itu lepas membuatku tertarik padanya. Menyesalkah pilihan hidupku ini? Tidak, aku tidak menyesalinya, selama masih bisa bersama papa, tidak apa-apa untukku apalagi keluarga kandungku apa yang bisa kumiliki dari mereka sekarang? Tidak ada.

Kami berdua yang menaiki motor menyusuri Jalan Dipati Ukur Bandung, melewati Universitas Unpad dan juga Unikom, kemudian masuk ke Jalan Dago melewati terminalnya melewati Dago Pakar, terus menuju ke arah kebun teh, subang. Di spot warung yang dulu papa ajak aku bertemu Pak Baskoro, kami berdua berhenti untuk duduk menikmati pemandangan kebun teh yang asri. Udaranya dingin dan agak berkabut. Papa yang duduk di sebelahku di saung pinggir jalan, masih menggunakan sarung tangan kulitnya, menegak Kopi AB*C susu panas yang dia pesan. Aku juga meminum kopi goo*d day vanilla hangat. Hal seperti ini adalah yang kusuka, ketika papa mengajakku jalan keluar berdua sampai-sampai aku berdandan cukup cantik memoleskan makeup serta lipstik oranye le neige, mau kemana atuh? Mama menegurku seperti itu yang hanya kubalas dengan ‘mau jalan sama papa dong’.

Aku tanya apakah ada pertemuan dengan Pak Baskoro lagi, papa jawab tidak hanya menunggu teman di sini ingin ngobrol. Aku lega mendengar itu karena tidak harus ditinggal lagi di sini. Kami bicara santai cukup lama sekitar setengah jam bicara tentang pengalamanku di kota jakarta, jalan-jalan ke mana saja, kubilang ke monas. Pengalaman lain yang kualami tidak kuceritakan pada papa, itu menjadi rahasiaku sendiri saja.

Kami berdua lalu dikejutkan dengan kedatangan pria yang menaiki Motor Honda RX King Merah jadul. Ia mengenakan helm IN*K half-face serta masker motor pada wajahnya. Kakak itu memarkirkan motornya di samping motor Honda Win papa, lalu turun berjalan ke arah kami. Dia melepas helmetnya dan ternyata Kak Bimo, orang yang kukenal yang pernah mampir ke rumah Mama Lara. Dia mengenakan sweater hoodie merah yang dibalut rompi motor kulit kelompok motornya yang dibagian punggungnya terdapat logo besar serta tulisan.


Duh ges ngaropi, si eneng meuni geulis (Duh sudah mulai ngopi, adik perempuanku sangat cantik)”, tegurnya padaku. Kak Bimo yang berambut gondrong terakhir kulihat seperti axel rose, kini rambutnya pendek ganteng.

“Wah Kak Bimo keren banget gayanya, aku mau dong rompi begitu,” jawabku tersenyum. Padahal kutahu untuk mendapatkan rompi kelompok motor itu perlu waktu yang sangat panjang. Kak Bimo lalu memesan kopi juga serta gorengan hangat untuk disantap bersama kami. “Davina mau sate kelinci?” serunya, aku geleng-gelengkan kepala tidak mau karena kasihan dan tidak tega kelinci yang lucu dijadiin santapan.

Papa dan Kak Bimo lalu mengobrol santai, pertemuan ini benar-benar pertemuan antara teman yang sudah lama tidak saling bertemu. Bicara tentang apa kabarnya juga keluarganya. Aku yang menjadi bagian dari keluarga papa, senang bisa hidup dan mengenal teman-teman papaku. Setelah selesai ngopi selesai makan gorengan, barulah Kakak Bimo mulai bicara serius, “Urang hayang maneh ngilu jeung urang (Aku ingin kamu ikut denganku),” katanya pada papa. Papa sendiri melirikku yang masih meneguk kopi hangat yang belum habis. “Davina ges gede, bae titah ngilu. Kudu apal kerjaan bapak na (Davina sudah besar, biarkan ikut. Harus tahu apa kerjaan papanya).”

Kami akhirnya menuju salah satu villa di subang. Villa ini memiliki kolam renang dan terlihat tertutup sepi. Di terasnya terdapat dua; N-Max abu-abu dan Satria FU terparkir. Ada apa ini ya, ujarku dalam hati mengikuti Papa dan Kakak Bimo masuk ke dalam villa. Di sana aku melihat aa aa yang tidak kukenal mengenakan kaos hitam berjeans rombeng tangannya bertattoo, dia kemudian salaman macho dengan Kk Bimo dan juga Papa. Dua orang lain keluar hampir sama mengenakan kaos dibalut kemeja, sedangkan satu orang lagi telanjang dada berkeringat badannya gym sixpack, “Nuhun ges datang a (Makasih sudah datang kakak),” ujarnya pada Kakak Bimo.

Di dalam aku lihat seorang wanita yang sedang duduk di kursi meringkuk melihat kami, sedangkan pada lantainya kulihat pria yang terbaring dengan wajah penuh darah karena dipukuli. Aku baru menyadari bahwa kedua tangan mereka yang terakhir memperkenalkan diri itu penuh darah.

Kakak Bimo mendekati pria yang terbaring itu lalu berjongkok mengamatinya, “Ini cewek keberapa yang mau lu perkosa anjing..” serunya bernada tinggi, “Leni bukannya udah lu buntingin selepas dia lulus SMA baru banget,” dijambak kepalanya diangkat agar pria itu bisa melihat Kak Bimo.

“Anak mana sih?” tegur papa.

“Anak bandung, ngga. Ini keparat juga baru lulus SMA udah bikin ulah. Dikira belaga di sekolah bisa mamprang di jalanan,” seru Kak Bimo melepaskan jambakkannya lalu berdiri menyepak kepalanya. Ia yang terlihat mengerikan cukup membuatku takut. Begitu ia melihatku dan melihat kk kk di sini, ia kemudian mengambil nafas dan berusaha bersikap lebih dingin. “Davina renang aja dulu itu ada kolam renang di villa,” serunya yang dibalas dengan anggukan papa yang mengartikan menyuruhku keluar ruangan villa ini.

Aku kemudian membuka pakaianku di salah satu kamar yang ada. Kakak-kakak yang lebih dahulu berada di villa ini mengintip aku yang sedang membuka pakaian. Aku kemudian menanggalkan baju luarku hanya memakai sport-bra putih serta thong hitam saja lalu berjalan keluar kamar dilihat oleh kk kk itu yang kuberi senyum nakal. kuceburkan diri ke kolam renang yang berada di luar di samping rumah.

Sekitar 5 menit aku lihat papa datang menemuiku dan tersenyum. Aku yang sedang berenang kemudian mendekat ke tepi kolam, “Mau renang juga? Hayukk,” ujarku mengajak. Papa menggelengkan kepala tersenyum kemudian menelepon mama yang bisa kudengar percakapannya. “Udah 3 bulan, bisa ke sini? Dia gak mau ngelahirin anak hasil hubungan mereka. Ini bangsat udah hamilin anak orang masih juga dibawa ke villa buat dipake.”

Aku yang melihat itu cuma bisa diam mendengarkan, “Davina jangan masuk dulu ya,” seru papa padaku.

“Papa mau ngapain?”

Aku yang habis berenang basah, diberikan handuk oleh salah satu dari kakak itu yang mengenakan kemeja. Kulihat papa berjaket abu-abu tentara yang masih memakai sarung tangan kulit motornya, sedang menghajar pria pemerkosa itu yang diikat pada kursi. Papa meninju wajahnya berkali-kali dan terakhir kulihat ia mencekiknya. “Anak SMA mana maneh? (Anak SMA mana kamu?) Jawab Goblog..” seru papa bengis. Tiba-tiba aku dikagetkan dengan sentuhan Kakak Dion pada pundakku, aku tidak menyangka ia ada di sini, sejak kapan datangnya tidak kudengar.

“Anak SMA deket alun-alun, udah gua suruh anak-anak panggil saha nu megang,” potong Kak Dion pada papa, “udah gua suruh anak-anak bawa ke sini,” tutupnya.

Kak Bimo yang mengenakan Rompi M.C. mendekati papa lalu bicara, “Ini anak anjing udah perkosa Leni adek temen gua, Rangga. Sampai hamil tanggung jawab enggak. Anjing pemuda kayak gini gak boleh dibiarin lepas.”

Papa diam mendengar itu lantas kemudian mendekati wanita yang sepertinya ketakutan dan diam saja dari tadi. “Ini keparat awalnya bilang mau anter kamu ke dokter buat ****** tapi dia nyekap kamu buat dipake lagi di villa ini. Kamu bener-bener masih mau ****** janin kamu itu? Om masih bisa cancel,” rayu papa pada wanita muda itu, yang terlihat seperti wanita baik-baik bukan wanita yang ditindik gals nakal. Wanita itu hanya mengangguk tanpa bicara, mungkin takut sama papa.

Selang beberapa lama terdengar suara motor yang datang terparkir. Aku lihat mobil Mama Lara juga diparkir di depan yaitu Honda Jazz hitam. Ada dua orang anak-anak yang datang sambil membawa seorang pemuda seperti sudah lulus SMA. Dia kemudian diseret untuk melihat pemerkosa yang berlumuran darah itu untuk diminta klarifikasi kenal atau tidaknya dia dengan pria tersebut. “Henteu a teu kenal abi mah (Tidak kak, tidak kenal aku),” anak alumni SMA yang badannya tinggi di bawah mata berkantung hitam, ditindik telinga kirinya kemudian dihajar papa sampai jatuh. “Sia nu megang, sia ngaku teu kenal anjing!! (Kamu yang pegang, kamu bilang tidak kenal anjing!!) Yeuh goblog barudak Alumni SMA maneh kalakuan, ges ngarusak sabaraha awewe?! (Ini Goblog Anak Alumni SMA kamu, udah ngerusak berapa perempuan?!)”

Kakak-kakak yang lain diam saja melihat papa yang meluapkan emosinya. Sampai-sampai kulihat sarung tangan hitam papa kotor oleh darahnya juga.

Mama yang terlihat cantik dengan pakaiannya kemudian masuk menuntun wanita yang sedang hamil itu untuk keluar ruangan, “Kamu ikut sama tante sekarang,” ucapnya manis kemudian melirikku, “Kamu di sini aja, jagain papa mu supaya gak kelewatan,” aku yang mendengar itu mengangguk.

Papa yang masih menghajar Ketua Geng SMA itu dibiarkan mama, sedangkan Kakak Bimo tiba-tiba saja menendang lurus perut pemerkosa yang berlumuran darah itu sampai kursinya terjatuh. “Masalah perlendiran wae meuni teu bisa kitu nyewa lonte atau bondon (Masalah lendir perempuan, tidak bisa gitu sewa pelacur aja),” sindir Kakak Dion yang menyilangkan tangannya di dada; mengenakan jaket gunung abu-hitamnya yang khas, “MOKONDO, hayangna gratisan wae Anjing! (Mokondo, maunya gratisan aja anjing!),” teriaknya dibalas dengan ucapan ampun a ampun a.

Mama Lara pergi dengan mobilnya dari villa ini. Begitu juga Kakak Bimo yang kemudian bersama rekan-rekannya membawa pemerkosa itu untuk dibawa ke rumah sakit diobati. Papa bilang jika ingin melaporkan, siapapun baik itu korban atau keluarga untuk langsung untuk membuat delik perkosaan ke kantor polisi, polisi juga bisa memproses langsung tanpa persetujuan korban karena termasuk delik biasa. Kakak Dion dan anak-anak juga ikut pamit meninggalkan villa sambil membawa Ketua Geng SMA yang bonyok wajahnya. Aku dan papa ditinggal di villa ini hanya berdua. “Harus bilang sama penanggung jawabnya ngembaliin kunci,” tukasnya.

“Papa serem juga ya?” kataku padanya.

“Masa? Enggah Ah,” senyumnya sambil mengecup rambutku, “Papa sebenernya gak ingin ngasih liat ke kamu, sikap papa yang kayak tadi.”

Aku geleng-gelengkan kepala. “Gak apa-apa, aku juga ingin tahu wajah papa yang lain yang tidak pernah kulihat itu.”

Di Stadion Jalak Harupat, soreang di luarnya, aku belajar menaiki motor kopling Honda Win 100 ini. Papa melihatku yang sedang belajar motor dari pinggir lapangan dekat dengan emang-emang tukang es krim. Terkadang papa tertawa ketika aku mengganti gigi terus mati. Pokoknya di situ aku sudah panas dingin, kesal marah tapi lama kelamaan aku mulai membiasakan diri mengendarai motor besar ini. Berbeda sekali dengan matic N-Max atau Honda Beat yang biasa kukendarai.

Aku istirahat di pinggir lapangan bersama papa setelah selesai memarkirkan Motor Honda Win yang berat itu. Honda Win, jadi inget Ayah Berwin huhu. Kulahap cilor yang kupesan dibumbui sausnya. Ini mengingatkanku lagi dengan pertemuan dulu bersama papa yang juga sama makan cilor yaitu aci bulat dilapisi telor ditusuk sate. “Nanti sebelum pulang, Davina anter papa sebentar mampir ke suatu tempat,” tegur papa di hari yang sudah sore. Aku tanya, ada urusan lagi, papa jawab iya.

Mampirlah kami ke Jalan Sukajadi setelah sampai lagi ke Kota Bandung, kami tiba di tempat karaoke dan spa di wilayah ini yang cukup terkenal. Aku bingung, ini papa mau ajak aku ke tempat pijet. Pijet bawa anaknya? Nakal banget. Makin aneh saja pikiranku. Kala itu sudah pukul 6 sore langit sudah mulai gelap dan kutahu ini sudah jam buka dari tempat ini. Di parkirannya papa menemui seorang wanita yang masih berpakaian kasual kaos putih bergaris, celana jeans, dan mengenakan jaket. Aku tebak teteh-teteh itu adalah salah satu terapis tempat ini yang belum berganti gaunnya.

“Apa ini, Rangga?” seru teteh cantik itu pada papaku yang memberikannya amplop uang kertas cokelat yang cukup tebal.

“Jika kamu tidak mau menerimanya, biar kamu terima demi anakmu di rumah,” jawab papa mengambil tangannya lalu meletakkan amplop uang kertas tebal yang berwarna cokelat itu padanya. Teteh itu terpana diam sejenak sebelum kemudian ia memasukkan amplop itu ke dalam tas tangannya yang berwarna pink. “Nanti kalau kamu ada waktu senggang ke rumah aja ya, nanti aku kasih servis lebih di rumah,” ucapnya yang kudengar diparkiran motor tidak jauh dari tempat mereka bicara.

Teteh cantik dengan rambut panjang hitam kecokelatan itu mengecup pipi papaku di depanku. Dia melihatku yang diam tidak jauh memandangi mereka sedang memperhatikannya. Tersenyum lah ia padaku sebelum akhirnya masuk menuju pintu depan double door gedung Karaoke dan Spa yang terbuat dari kaca.

Papa dan banyak perempuan lain yang malah aku tidak kenal siapa teteh ini.

Papa kemudian bersiap untuk naik motor lagi, mengambil helmetnya yang berwarna hitam terpasang pada kaca spion depan kanan, “Nanti aku bakalan bilangin mama, klo papa ngasih uang banyak ke perempuan udah punya anak,” ketusku kesal. Papa Rangga hanya tersenyum melihat tingkahku, “Nggak apa-apa, kasih tahu saja Mama Lara biar papa dimarahin.”

***​

Aku bicara dengan Mami Mai yang cantik keturunan sunda, hal yang tidak biasa bagi terapis yang diminta berjajar untuk dipilih melihatku bersama papa, ayah dan putrinya memilih mau terapis wanita yang mana. Kupilih wanita itu yang sudah berdandan cantik mengenakan gaun hitam transparannya seperti yang lain. Dia wanita yang memberikan senyuman padaku tadi di luar.

“Papa pilih terapis yang lain yaaaa…” suaraku manja.

Aku memakai karet gelang bernomor loker di pergelangan tanganku ini. Melakukan showering dengan air dingin dahulu tubuhku membilasnya agar segar, sebelum kemudian aku menuju teteh-teteh terapis yang kupesan untuk pijat refleksi. Teteh Intan namanya. Ia memakai baju putih ketat rok pendek, sedangkan aku hanya mengenakan handuk saja di badanku. “Boleh tahu nomornya?”, serunya yang kusebut satu persatu angkanya. Ia kemudian menelepon Kasir untuk mengecek nomor itu sesuai dengan pesanan. Aku kemudian berbaring tengkurap pada kasur yang disediakan. Rasanya canggung dan dingin karena aku tidak bicara begitu juga Teh Intan yang mulai mengambil minyak aroma terapinya ke dalam baskom.

“Sudah lama kenal papa?” tanyaku, yang sedang dipijat punggungnya menggunakan minyak oleh kedua tangannya.

“Iya lumayan lama,” jawabnya manis. “Papa ndak pernah bilang ke aku punya teteh, jahat banget,” gerutuku, sambil merasakan pijatannya yang nikmat turun dari punggung ke pinggangku. Kepalaku yang menyamping ke arah lain kemudian berpaling melihat ke arah Teh Intan. Ia tidak melihatku hanya memijit memperhatikan tubuh putihku. Aku dengan rambut diikat sanggul, sedangkan dirinya digerai panjang bebas membuatku terpesona sesaat, ”Teh, kancing bajunya buka aja…” genitku, ia melihatku, memalingkan matanya tersenyum sambil membuka tiga kancing bajunya. Aku bisa melihat belahan dadanya sambil dipijit tubuhku yang pegal karena perjalanan bolak-balik cukup jauh seharian.

“Berapa kali papa nyewa teteh di spa ini?”

“Cuma satu kali,“ jawabnya singkat sambil memijat paha belakangku turun ke kaki, “memang bukan tipe yang suka main di spa sih papa tuh,” balasku, “tapi tetep jalanin hubungan sama teteh, berarti teteh spesial.”

“Enggak seperti yang kamu kira, aku gak jadi simpanan papamu,” serunya menjawab membela diri.

“Jadi simpanan juga gak apa-apa teh asal aku tahu dan orang rumah tahu. Klo sembunyi-sembunyi nanti ada yang marah,” ujarku yang membuatnya diam. “Teh Intan lepas aja bajunya, gak apa-apa kita kan sama-sama perempuan,” mintaku rayu. Dia berpikir sejenak lalu membuka pakaiannya itu satu persatu di depanku. Payudaranya besar seukuranku 34D seperti ukuran kesenengan papa walaupun aneh untuk Teh Puri yang ukurannya kecil bisa papa suka. Kami berdua sedang telanjang bulat dan aku masih dipijitnya dan mulai menyentuh bongkahan pantatku. “Di balik ya,” katanya seperti memberi sinyal, aku kemudian membalikkan badanku ini memperlihatkan langsung tubuh telanjang mulusku padanya. “Pijetnya agak nakal ya teh..” kubuka tali rambutku membuat rambut panjangku yang cokelat kepirangan tergerai panjang sepertinya.

Teh Intan kemudian melumuri tubuhnya dengan minyak aroma terapi yang kucium berwangi melati. Dimainkan minyak itu pada kedua payudaranya dibalur pada perutnya turun pada selangkangannya, juga pada pahanya. Ia kemudian berada di atas tubuhku lalu menindihku membuat kedua payudara kami saling bersentuhan, ia goyangkan badannya membuat itu saling bergesekan lembut maju mundur. Aku mulai menikmatinya apalagi saat dua jemarinya mulai menyentuh kliorisku dan juga bibir vaginaku. Nafasku mulai menjadi panjang tidak teratur. Aku mengangkangkan kakiku membukanya agar jemarinya mudah untuk masuk pada tubuhku. “Kalau teteh bikin enak aku, nanti aku belain teteh klo mama marah trus tau hubungan teteh sama papa,” ujarku mengancamnya untuk muasin aku. Teh Intan menciumi leherku, membuatku terangsang hebat, dua jemarinya ia keluar masukan pada tempo yang sedang. Ia mengemut payudaraku, lalu mempermainkan puting susuku yang sudah tegang mencuat menggunakan lidahnya yang digerakkan memutar. “Ahhh… shhhh duhh enak teh, ganti posisi dong 69,” kataku mulai tidak fokus.

Kujilati memeknya yang ada di atasku, kucengkram bongkahan pantatnya agar posisinya tetap walaupun terkadang bergetar bergoyang karena keenakkan oleh lidahku yang menggelitiknya. Ia menjilati vaginaku dan terkadang menyedot-nyedot klitorisku, itu membuatku melayang. Kocokannya pada vaginaku juga semakin cepat membuat memekku semakin becek. Aku orgasme dibuatnya merasakan rasa gatal nikmat lega yang keluar dari tubuhku ini. Dia menstimulasi klitorisku menggunakan jarinya membuatku geli sekali karena sensitif baru saja klimaks. Dibalikkan badannya itu yang curvy sexy, kami saling berpandangan melihatku yang terlihat lelah keenakkan.

“Nanti klo mau main lagi, kamu pilih teteh lagi,“ ujarnya tersenyum manis, menyibak rambutnya yang menutupi dadanya. Aku balik tersenyum kecil padanya, “Aku bakalan RO lagi teh, teteh juga termasuk kesayangan papa sih,” genitku sambil mencubit puting payudaranya itu. Kami berdua kemudian selesai dan membersihkan diri lalu berpakaian kembali.

Kulihat papa duduk di lobby menungguku. Ternyata papa tidak sama sekali menyewa terapis lain, dia hanya memesan minuman dan ngobrol berdua bersama Mami Mai. Aku tidak bicara soal Teh Intan, begitu juga papa tidak mau bertanya apa saja yang terjadi di ruangan pijat tadi.

Kami berdua kembali ke parkiran bersiap untuk pulang ke rumah Mama Lara. Tiba tiba aku ingin bertanya, “Kenapa Honda Win 100? Tidak mengendarai RX King atau CBR 250R cc lebih besar? tanyaku yang melihat papa menaiki motornya dan belum memakai helmetnya. “Karena ada kenangan di motor ini,” jawabnya, “kenangan tentang keluarga papa, tentang Alm. Ayah Papa.”

“Keluarga, itu sangat penting buat papa?” tanyaku.

“Davina, Mama Lara, semua yang di rumah, dan seluruh teman-teman papa termasuk Teh Intan itu keluarga papa.”


- Diary 10

no quote
 
Terakhir diubah:
Diulang berkali-kali semakin enak cerita nya. Semakin mengerti kisah diary kamu sis 🤗
Diary yang penuh warna, romantika, action, rape, incest, lebians.. Dll

Mantul deh.. Perlahan lahan semakin matang penyampaian nya..
Lancrot kan sis.. 😘
 
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd