Agen Terpercaya  
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

CERBUNG Disappear?

Status
Please reply by conversation.
Bimabet
“Laboran Kimia Analitik,” lanjutku.

Semua mata tertuju pada laboran kimia analitik, seakan tak percaya dengan apa yang mereka dengar. Semua kata-kata yang aku keluarkan sama dengan apa yang diucapkan oleh Arta, titik-komanya pun sama. Tapi satu hal yang membuatku heran dan merasa aneh. Dia, pelaku tersangka pembunuhan ini masih tetap tenang. Dia berdiri, dengan wajah datarnya.

“Bagaimana mungkin seorang yang tidak berada ditempat adalah pelaku pembunuhan? Ditambah lagi apa alat yang bisa menajadikan bukti kalau saya adalah pembunuhnya?” sebuah pembelaan yang membuatku sedikit gugup.

“Tenang mas, aku tahu mas Jiwa bingung. Ini adalah masalah waktu,” ucap Arta yang kudengar dari mikrophone.

Aku menghela nafas panjang. Mencerna kembali kata-kata yang diucapkan setelahnya.

“Alat yang anda gunakan membunuh adalah alat yang tidak terlihat. Bahkan tidak akan ada yang menyadari kalau alat itu masih ada di sekitar kita,” jelasku, membuat tatapan matanya sedikit berubah

“Alat itu adalah Gas Karbon Dioksida. Gas yang berada dalam tabung oksigen yang berada di dalam ruang timbang,” jelasku.

“Gas yang berada dalam tabung adalah gas karbon dioksida cair. Dimana lokasi selang berada di belakang meja sehingga orang tidak akan sadar kalau ada gas yang mengalir. Ruangan tertutup, dan profesor yang selalu fokus, anda pasti tahu bagaimana watak profesor. Dia tidak menyadarinya, seperti yang analisa saya tadi, profesor keracunan Gas karbon dioksida. Dan orang yang membawa gas itu dan juga melakukan isi ulang gas adalah anda. Anda pula yang melakukan pengaturan dari luar ruang timbang. Sidik jari anda juga tercetak di dalam remot pengendali,” jelasku.

“Eh...” dia sedikit terkejut ketika mendengar penjelasanku.

“Anda lucu sekali pak polisi, bagaimana saya pelakunya? saya hanya mengambil gas sesuai pesanan dan memasukan ke dalam ruang timbang seperti semestinya? Dan saya tidak tahu isi dari tabung tersebut. Ditambah lagi bagaimana saya melakukannya, sedangkan saya tidak berada di gedung laboratorium saat kejadian?” belanya kembali, menghilangkan keterkejutannya.

“Benar apa kata teman saya, Tidak mungkin dia pak. Karena dia yang selalu membantu profesor ketika di lab analitik. Dia yang selalu tahu apa yang dibutuhkan profesor?! Dan tadi saat sebelum kejadian tepatnya pagi hari dia juga mengatakan kepadaku di dalam laboratorium lantai bawah, kalau akan pergi ke luar kampus. Bagaimana mungkin dia adalah pelakunya?” bela seorang laboran dari lantai bawah.

Eh, aduh... lho kok... hadeeeeh....” aku mendengar Arta mengalami sesuatu di tempat sembunyinya.

“Arta, apa yang kamu lakukan? Cepaaat katakan sesuatu!” bathinku.

Maaf mas ada gangguan,” ucapnya. Haduh ini anak, situasi seperti ini malah meminta maaf. Kenapa dia tidak melanjutkan analisanya lagi.

“Pak Polisi, bisa anda menjelaskannya?” tanya seorang Dosen.

“Eh, sebentar...” aku kemudian berpura-pura berpikir, menunggu Arta melanjutkan analisanya. Tak perlu lama, dia melanjutkan analisanya.

“Lihat bukan? analisa anda tidak berdasar pada fakta-fakta yang terjadi pada kejadian!” ucap tegas laboran analitik, semua seakan menjadi tidak lagi percaya padaku.

“Memang anda mengatakan kepada laboran lantai bawah untuk pergi tapi itu juga dari dalam laboratorium kimia. Dan dia tidak tahu apakah anda benar-benar pergi. Menurut penuturan mahasiswa yang mengantar larutan ke ruang timbang, dia juga mengatakan kalau anda tidak berada didalam laboratorium analitik tersebut. Dan... itu... mmm” aku berhenti, sesuai dengan perintah Arta.

“Nah, benar bukan. Saya tidak berada di saat kejadian bahkan mahasiswa itu juga mengatakan hal yang sama. Berarti analisa anda benar-benar tidak berdasar!” jelasnya. Aku memandangnya. Dia tampak sekali bangga dengan apa yang dia kemukakan.

“Seharusnya anda mencurigai mahasiswa yang mengantar larutan tersebut karena bisa jadi dia yang melakukan semuanya?!” ucapnya.

“Mahasiswa tersebut?” tanyaku.

“Iya, mahasiswa dan seorang teman perempuannya yang mengantar larutan ke dalam laboratorium!” jelasnya.

“Kenapa...?” tanyaku, sesuai dengan apa yang diakatakan Arta.

“Jelas bisa jadi dia! Dia juga yang kemarin sore berada di ruang bawah tanah, bisa jadi dia juga yang mengatur semuanya!” jelasnya denga kebanggaan.

“Kenapa?” aku kembali mengikuti ucapan Arta, entah kenapa dia hanya mengatakan kata itu dari tadi.

“Sudah Jelaskan dia! Dan sudah aku jelaskan sebelumnya!” terangnya tegas sekali lagi, dengan nada penuh dengan emosi.

“Tidak mungkin mahasiswa itu membunuhnya,” ucapku.

“Tidak mungkin??! Jelas dia bisa pelakunya! Dia yang tadi pagi membawa larutan ke dalam lab analitik bersama perempuan berkerudung, dan dia juga kemarin yang berada di ruang bawah tanah saat listrik padam! Bisa jadi dia juga yang melakukan trik, mengatur beban, es, benang, cincin dan juga ketujuh pensil dengan posisi yang sama dengan analisa anda. Dialah pelakunya bukan aku!” ucapnya, kini nadanya semakin meninggi, emosinya terpancing.

“Tidak mungkin dia, bagaimana mungkin dia bisa melakukannya?” tanyaku mengikuti nada bicara arta.

“Aku sudah jelaskan bukan. Analisa anda tidak berdasar! Dan itu membuat kredibilitas Polisi turun di mata masyarakat!” bentaknya sekali lagi.

“Benar juga apa kata laboran kimia analitik pak polisi, bisa jadi memang mahasiswa yang mengantar larutan itu tadi” ucap seorang Dosen laki-laki, membela laboran analitik.

“Bukaaaan, bukan itu... Yang aku maksud, bagaimana anda tahu kalau mahasiswa itu bersama dengan seorang mahasiswi atau teman perempuannya? Bagaimana anda bisa tahu jumlah pensil yang berada dir ruang bawah tanah?” tanyaku.

“Eh, bukannya tadi anda bilang kalau ada mahasiswa yang mengantar larutan dan juga benda-benda yang berada di dalam ruang bawah tanah!” bentaknya, walau di awal dia sedikit terkejut.

“Saya memang mengatakan ada mahasiswa yang mengantar larutan ke ruang timbang, di mana profesor berada. Dan aku juga mengatakan benda-benda yang berada di ruang bawah tanah. Tapi...” semua memandangku.

“Saya tidak pernah mengatakan kalau mahasiswa itu bersama teman perempuannya, bahkan apa yang perempuan itu kenakan. Dan... saya tidak menyebutkan detail jumlah benda yang berada di ruang bawah tanah. Bagaimana anda bisa tahu?” tanyaku, semua orang tertegun mendengar penjelasanku. Mata mereka kembali ke arah laboran kimia analitik.

“Eh, i-itu ka-karena... karena aku tahu saat kejadian aku ikut menolong profesor dan dia berada disitu, da-dan saya juga yang pertama kali manaikan tuas ketika listrik padam untuk pertama kali, i-iya, i-itulah mengapa sa-saya tahu jumlah pensilnya...” ucapnya.

“Bukan! Bukan itu alasan anda! Karena anda bersembunyi di suatu tempat, tempat yang tidak terlihat oleh orang lain. Jika anda datang pada saat kejadian ditemukannya profesor seharusnya anda tidak pernah tahu mahasiswa itu mengantar larutan bersama siapa? Karena dari keterangan yang anda berikan, anda tidak berada di gedung laboratorium, tapi... tapi anda mengetahuinya yang berarti dari tempat anda bersembunyi anda bisa melihat keadaan di sekitar lab analitik.”

“Memang anda pamit kepada laboran lantai bawah, dan itu berada di dalam laboratorium. Sedangkan laboran lantai bawah tidak tahu, setelah anda keluar dari lab, apakah anda benar-benar pergi atau tetap kembali ke lab analitik. Bisa jadi anda anda masuk ke dalam ruang bawah tanah, mengatur trik yang anda lakukan. Menunggu suasana sepi, dan itu mudah bagi anda karena anda hafal dengan jadwal praktikum mahasiswa. Setelah suasana sepi, anda keluar dari ruang bawah tanah, bersembunyi sembari menunggu waktu yang tepat untuk kembali ke lab analitik sesuai waktu yang telah anda hitung. Waktu yang telah anda hitung dari latihan memadamkan listrik dengan trik anda.”

“Dan di saat bersembunyi itu anda mengetahui atau bisa jadi melihat mahasiswa dan mahasiswi yang membawa larutan,” jelasku.

Semua mata seakan tidak percaya. Wajah laki-lai itu menjadi gugup. Selang beberapa saat dia terduduk dan tersenyum memandang kosong meja praktikum.

“Dan... kemarin dari keterangan yang anda buat, anda pulang pukul 14:00 sampai dirumah pukul 14:30 dan anda tetap berada di rumah hingga pagi, tetapi... anda mengetahui mahasiswa yang berada diruang bawah tanah, pada pukul 16:00. Semua yang anda katakan tidak sesuai dengan keterangan yang anda buat. Ditambah lagi anda tahu jumlah pensil dengan tepat, sedangkan dari keterangan yang anda buat, anda tidak pernah menaikan tuas ketika listrik padam. Hanya memberikan kunci asli kepada profesor.”

“Dan satu bukti lagi, saya yakin masih ada di dalam tubuh anda... kunci ganda yang menurut keterangan semua laboran, kunci itu hanya ada satu semenjak dibangunnya gedung laboratorium. Itulah yang...”

Ucapanku terpotong ketika dia mengangkat tangannya, memperlihatkan telapak tangannya yang putih tapi tak seputih apa yang dilakukannya.

“Sudah cukup pak... Baiklah. Saya pelakunya,” ucapnya lirih tanpa tenaga. Tangannya merogoh sesuatu dari dalam sakunya, kunci ruang bawah tanah.

“Mas kenapa mas?” ucap Dosen perempuan.

“Apa yang sebenarnya kamu lakukan?! Apa alasannya?!” Bentak seorang laboran lantai dasar.

“Hem hem...” dia sedikit tertawa tertahan.

Dia kemudian menegakkan tubuhnya, menghela nafas panjang. Senyum masih terlukis di bibirnya, namun tatapan matanya kosong. Tatapan matanya tidak menyiratkan sedikitpun penyesalan.

“Bagaimana anda tahu gas yang berada dalam tabung adalah gas karbon dioksida cair, bukan gas oksigen?” tanyanya, mata kami sempat bertatapan namun hanya sementara.

“Dari larutan yang dibawa oleh mahasiswa. Larutan itu adalah larutan kalsium hidroksida. Memang akan sangat sulit larutan itu bereaksi dengan gas karbon dioksida dengan udara. Namun, ruang timbang yang tertutup dan juga pekatnya konsentrasi gas karbon dioksida. Membuat larutan kalsium hidroksida bereaksi dengan gas tersebut, menghasilkan...” jelasku terhenti ketika dia melihat ke arahku.

Calcium Carbonate,” ucapnya lirih, dan dari dalam mikrophone arta membenarkan pernyataan laboran kimia analitik.

“Aku berharap semua tetap tidak terlihat tapi akhirnya tetap terlihat.”

“Itu semua salah profesor... dia memberi tahu aku tentang gas itu. Dia yang memberitahukan kepadaku betapa beracunnya gas itu jika dalam ruangan yang tertutup. Padahal aku hanya lulusan SMA. Itu semua salahnya memberitahukan aku tentang gas itu,“ ucapnya lirih.

“Apa yang kamu lakukan sebenarnya! Dia yang membuatmu bekerja disini! membantumu melewati masa-masa sulit! Memberi kelonggaran waktu untuk bekerja agar kamu bisa mengurus mertuamu dan anakmu! Apa kamu tidak sadar akan hal itu!” bentak seorang dosen laki-laki penuh amarah.

“Aku tahu pak. Dia yang membantuku masuk ke dalam kampus, bekerja dan aku bisa mendapat penghasilan untuk memenuhi kebutuhan keluargaku. Aku sangat menghormatinya tapi... tapi yang dia lakukan adalah kesalahan besar. Mengambil perempuan yang sangat aku cintai, istriku. Dia seharusnya sadar betapa tua dirinya, tapi masih juga mengambil istri orang. Bahkan dia membayar istriku untuk menemaninya, aku melihatnya dengan mata kepalaku sendiri... ini semua pantas untuknya,” jelasnya lirih, membuat semua orang tertegun mendengarnya. Tak ada satu orang pun berani membalas pernyataanya.

“Tidak dia tidak mengambilnya...” ucapku, kembali mengikuti ucapan Arta walau sebenarnya aku bingung dengan apa yang diucapkan Arta.

“Apa maksud pak polisi? Anda tidak tahu apa yang saya lihat, bahkan ada yang mengirimkan gambarnya ketika mereka berdua makan bersama di sebuah warung!” dia sedikit tersulut emosinya.

“Tidak, dia sedang menolongmu. Dari keterangan yang dibuat mahasiswa tersebut pada, kemarin sore profesor bercerita kepadanya. Istrimu datang ke profesor Dodokambek, untuk meminta bantuan karena istrimu tahu profesor tidak akan menolaknya. Dia datang untuk meminta tambahan biaya pengobatan untuk anak dan orang tuanya yang tidak lain adalah mertuamu. Dia juga yang mengantar istrimu. Jika profesor mengajak makan istrimu di warung, bisa jadi itu hanya sebuah kebetulan,” jelasku.

“Tidak itu tidak mungkin, jika profesor berniat membantuku dia pasti akan bic...” ucapannya terhenti ketika aku menggelengkan kepalaku.

“Dia tidak ingin anda merasa berhutang budi kepadanya. Profesor bercerita kepada mahasiswa tersebut, pernah anda sedang sakit dan sudah izin namun profesor tidak tahu. Profesor tahu anda sedang sakit ketika anda ditanya oleh salah satu dosen. Saat profesor bertanya kepada anda, anda menjawabnya ‘saya banyak hutang budi sama profesor, sekalipun sakit saya akan datang’. Itulah mengapa dia merahasiakan itu semua, agar anda tidak merasa tertekan ketika profesor meminta bantuan anda. Dia ingin anda bekerja dengan tenang tanpa tekanan seperti karyawan lain. Jika penjelasan saya ini salah, anda bisa langsung bertanya pada istri anda,” jelasku menirukan Arta.

Raut mukanya berubah seketika, matanya mendelik tajam seakan tak percaya dengan penjelasanku. Matanya memeprlihatkan sebuah ingatan yang tiba-tiba menerkam dalam pikirannya. Membuat air dari matanya mengalir...

“Ja-jadi selama ini... Sa-saya... mencaci maki istri saya, me-memarahinya, da-dan mem-membunuh malaikat yang me-menolongku... i-itu i-itu... tidaaaaakk....” teriaknya.

Tangisnya keras, kepalanya dibeturkan ke meja praktikum. Tangan kanannya memukuli meja dengan keras seiring dengan tangisan penyesalannya. Air mata itu sebelumnya tidak terlihat, keluar dengan derasnya dikala bertemu dengan kenyataan pahit yang dia hadapi. Anggotaku kemudian mendekatinya, menarik kedua tangannya ke belakang tubuh. Memborgol, walau sebenarnya kami, polisi, juga mempunyai sisi manusia tapi keadilan tetap harus ditegakan.

Pelan kulihat dia mulai berdiri, dengan tangis dia mulai melangkah mengikuti tarikan Anggotaku.

“Maafkan aku... maafkan aku...”

Di sela isak tangisnya ketika dia melangkah keluar. Tak ada satu pun yang berani menyalahkan kesalahpahamannya, semua telah terjadi dan tidak mungkin waktu bisa diputar balik. Sebuah penyesalan, penyesalan yang sangat mendalam.

“Sebentar pak...” ucapnya ketika di mulut pintu, membuat langkah Anggotaku terhenti sejenak. Kepalanya sedikit menengok ke belakang.

“Sekali lagi aku minta maaf, jika dari kalian semua menginginkan aku mati. Aku siap...”

“Dan pak polisi...” ucapnya kepadaku.

“ya..” jawabku.

“Katakan pada mahasiswa itu, jaga perempuan berkerudung itu baik-baik....” lanjutnya.

“Kenapa?” tanyaku.

“Karena mereka mengingatkan ketika pertama kali bekerja disini, istriku selalu membantuku mengerjakan pekerjaanku di lab. Lab ini akan menjadi kenangan terindahku, dan juga kenangan terburukku,” ucapnya.

Semua terdiam, melihatnya kembali melangkah. Selang beberapa saat kemudian, aku memberikan pengarahan kepada Dosen dan Karyawan untuk selalu melakukan cek di setiap barang yang dikirim. Melakukan jadwal penjagaan bergilir terhadap setiap ruangan, agar tidak hanya satu orang yang bertanggung jawab pada satu ruangan saja. Setelahnya, aku memerintahkan anggotaku untuk membereskan ruangan.

Semua mahasiswa kemudian dipulangkan dan diliburkan untuk satu hari kedepan. Sekedar untuk mensterilkan kampus dan menenangkan suasana kampus. Aku bersama anggotaku kemudian keluar dari gedung laboratorium menuju untuk kembali ke kantor. Arta? Entah dimana dia sekarang, aku kemudian meneleponnya, mengatakan kepadanya kalau aku akan sudah di luar gedung laboratorium dan akan menghubunginya lagi nanti.






Kumatikan mikrophone setelah analisa kejadian selesai dan masih tetap berada di ruang gudang. Menanti suasana menjadi sepi, sambil melihat si penyihir. Hadeeeh... ini cewek asal meluk. Di tengah-tengah aku melakukan analisa pula. Hufth, pasti nanti kalau ketemu sama mas Jiwa, aku bakal dimarahi. Dan.. mati aku, kedekatanku dengan mas Jiwa sudah diketahui oleh si penyihir. Hmmmm... tapi memang Desy kelihatan capek sekali. Nyenyak sekali dia tidurnya. Sampai dia memelukku erat seperti ini. Tapi kenapa dia bisa datang tiba-tiba ke sini? Bagaimana dia bisa tahu kalau aku ada disini?

Eh, tapi empuk juga. Sial kenapa pikiraku jadi mesum, benar kata Desy dan Winda kalau aku ini mesum. Aku melihatnya tertidur di dadaku dengan nyaman sekali. Sedang asyik melihatnya tiba-tiba ada kecoa merambat di punggungnya, spontan tanganku langasung menyapunya. Dan tangan Desy langsung memegang lenganku.

“Dasar mesum!” bisiknya,

“Hadeh, itu tadi ada kecoa De...”

Klek...

Krieeeet...


Tiba-tiba pintu gudang terbuka. Aku langsung menyilangkan jari dibibirku. Desy langsung terdiam. Entah siapa yang datang, yang jelas aku tidak pernah mengatakan kepada mas Jiwa kalau aku bersembunyi di gudang. Dari suara yang aku dengar, dia sedang ingin menelepon seseorang. Aku mengetahuinya dari bunyi “tut” beberapa kali.


“Halo Bos.”

“Beres bos, satu orang sudah mati tanpa campur tangan kita.”

“Ha ha ha... iya bos, bodoh sekali si laboran itu. Gampang dipanas-panasi.”

“Iya bos, semuanya beres.”


Tiba-tiba seekor tikus entah dari mana bergerak di kaki Desy. Di saat dia ingin menjerit, aku langsung membungkam mulutnya. Menarik tubuhnya hingga rapat denganku, dan kini aku benar-benar memeluknya. Aku perlihatkan raut wajahku kepadanya, isyarat agar dia tetap diam. Gerakan yang tiba-tiba tadi membuat suara gaduh dan aku yakin membuat orang yang ada di dalam satu ruangan denganku curiga.

“Sebentar bos.”

Pelan, Aku menendang tikus itu, membuat tikus berlari menjauhiku. Berlari menuju ke arah orang yang tidak aku kenal.

Cit.. cit... cit... cit...

“Ah, tidak bos. hanya tikus sialan”

“Begini bos, untuk anak yang bos maksud tadi saat kejadian memang ada tapi pada saat analisa kasus anak itu tidak ada. Kalau menurut perkiraanku, anak itu tidak terlalu bahaya bos.”

“I-iya bos, maaf, aku kan tidak tahu bos seberapa bahayanya anak itu. tapi analisa kasus tadi, kuncinya ada di anak itu bos.”

“Ya bos, siap aku akan berhati-hati.”

“Sial, kalau saja tidak ada keterangan dari mahasiswa brengsek itu pasti aku masih bisa memanas-manasi tanpa harus campur tangan,” gerutunya.

Cit.. cit... cit... cit...

“cit cit cit, makan nih tikus kampret!!!” bentaknya.


Tiba-tiba tikus itu terbang dan membentur dinding. Desy ketakutan sekali ketika melihat tikus itu datang lagi dengan keadaan sekarat. Aku memeluknya lebih erat, memasukan wajahnya ke dalam pelukanku.

Langkah kaki orang itu terdengar menjauh dari ruang gudang. Aku langsung bergerak pelan, mencoba mengintip. Berharap aku bisa melihat sebagian dari tubuhnya tapi sial. Karena aku memeluk Desy, aku terlambat. Orang itu sudah tidak terlihat lagi. Aku kemudian berdiri melepaskan pelukanku. Bergerak cepat mendekati pintu yang terbuka, tapi lagi-lagi aku kehilangan orang itu.

Trap... trap... trap...

Terdengar langkah seseorang menuruni tangga, ya, aku yakin pasti orang yang baru saja di dalam ruang gudang. Aku langsung berinisiatif bergerak keluar ruang gudang dengan mengendap-endap tapi...

“Artaaaa..... tikus aaaaar... tikuuuuus tikuuuuus.”

“takuuuutt... tikuuuussss.... itu tikuuuuuus tikuuuuuuuus,” rengek Desy.

Kuurungkan niatku ketika mendengar rengekan Desy dari sudut ruang gudang yang tak terlihat. Benar-benar menyusahkan, seandainya saja tidak ada perempuan ini pasti aku sudah tahu siapa laki-laki tadi. kugelengkan kepalaku, melangkah mendekati Desy.

Tepat di depannya aku menahan tawaku. Dia terduduk dengan kedua kaki rapat tertekuk keatas, kedua tangannya mengepal disamping kepalanya. Kedua matanya tertutup rapat, plus bibir meweknya. Ditambah lagi tubuhnya yang bergetar. Setengah geli setengah kasihan pas melihat si penyihir yang benar-benar merasa ketakutan. Tahu sendiri orang ketakutan, mau lari tidak bisa, mau teriak juga tidak bisa. Ha ha ha...

“Des, itu tikusnya sudah sekarat... jangan cengeng dong,” ucapku.

“Takuuuut takuuuuut tikuuuus takuuuuut tikuuuuuss itu tikuuuus takuuuuut takuuuut bangeeeet... takuuuuuut...” rengek ketakutannya, aku berjongkok.

“Hayo indak oyeh anyis” candaku tapi tubuhnya tetap bergetar, ha ha ha... aku benar-benar geli.

Aku langsung meraih lenganya, menariknya. Kedua tangannya langsung menggenggam lenganku. Matanya masih tertutup rapat, menoleh ke arah berlawanan dengan si tikus. Langkahnya pelan, gemetar. Aku semakin ingin tertawa ketika menuntunya keluar dari ruang gudang.

“Dasar cengeng, masa sama tikus saja takut,” ejekku.

“Sudah ini sudah di luar gudang, jangan takut lagi buka mata kamu Des,” ucapku. Sesaat kemudian dia membuka mata.

Plak!

“Aduh kenapa sih?” tanyaku.

“Aku itu takut sama tikus!” bentaknya degan satu tangan mengusap air mtanya. Aku tidak menyangkan jika Desy akan bersikap seperti ini.

“Eh, maaf, sudah jangan nangis Des,” tenangku.

Sekali lagi pukulan ringan mendarat di bahuku. Aku tidak mencoba untuk menghindar, hanya mampu tersenyum melihat kelakuannya. Kakinya dihentakan di lantai beberapa kali, seperti anak kecil, dan baru kali ini aku melihatnya tidak sedewasa biasanya. Beberapa kali aku menenangkannya, tapi tetap saja dia merengek. Mungkin karena pengaruh rasa takut di gudang tadi.

“Sudah Des... sudah, jangan nangis gitu Des... aduuuh...” tenangku, tapi tetap tak berhasil.

“Sudah, ini kan dah sore, bagaimana kalau kita pulang saja. nangisnya dilanjutin nanti dikos saja he he he,” candaku.

Tulit tulit jreng tulit tulit jreng. Ringtone sematponku. Aku langsun berinisiatif mencari di dalam sakuku. Tapi, yang kutemukan malah bungkus Dunhill. kutarik tas punggungku. Membuka setiap resleting tapi tidak aku ketemukan.

“Nih...” ucap Desy, aku langsung menoleh ke arahnya. Wajahnya masih memperlihatkan wajah anak-anak yang kehilangan permen.

“Lho kok ada di kamu?” tanyaku, meraih sematponku. Aku melihat nomor mas Jiwa yang menelepon. Aku melangkah mundur, bersandar pada tembok sembari memberi isyarat kepada Desy untuk diam selama aku menelepon.

“Halo mas”

Ar, dimana kamu sekarang?

“Aku masih di gedung lab, tadi sembunyi di gudang.”

Oh, ya sudah nanti aku hubungi lagi. Malam nanti.

“Eh...” Desy tiba-tiba mendekatiku dari samping, dengan berjinjit didekatkan telinganya di telingaku.

“Ada apa?”

“Tidak mas, tidak.. ya nanti aku ceritakan semuanya, oiya mas apa suasana kampus sudah sepi?”

Sudah, semua yang berada di gedung lab semuanya sudah pulang. Sudah aku pastikan tidak ada yang tinggal sekarang, dan sekarang kamu cepat pulang. malam nanti aku akan meneleponmu

“Eh, iya mas.”

Mas Jiwa kemudian menutup telepon. Kuhela nafas panjang lalu menoleh ke arah Desy. dia langsung membuang mukanya. Benar-benar aneh ini si penyihir. Aku senggol lengannya tapi tak ada respon. Setelah beberapa kali aku menyenggol, baru kemudian dia menoleh ke arahku.

“Anterin aku pulang,” akhirnya keluar juga kata-kata dari mulutnya.

“Lha? Kamu kan bawa mobil,” balasku.

“Gak, dah dibawa temen ke kos. Pokoknya anterin atau....” kata-katanya lembut, dengan satu jari telunjuknya menyangga dagu. Matanya melirik ke arahku, sebuah ancaman. Itu sebuah ancaman!

“i-iya iya, aku antar...” ucapku dengan gerakan kedua tangan menyetop kata-katanya. Dia kemudian terkekeh.

Aku tahu apa yang akan dia katakan, aku tahu maksudnya. Daripada apa yang aku lakukan hari ini tersebar lebih baik aku mengikutinya. Dan sialnya, perempuan ini yang tadi nangis-nangis sekarang malah ketawa-tawa.

Kami turun bersama setelah persetujuan dengan penuh pemaksaan. Dia masih saja tertawa terkekeh ketika berjalan di sampingku dengan tas yang dia cincing didepan. Sesampainya di lantai bawah, suasana sudah sepi. Kami kemudian melanjutkan ke arah tempat parkir.

“Mbak, lha helmnya mana?” tanyaku, dia menggeleng.

“Lha nanti kalau kena tilang?” tanyaku.

“Bukannya punya kenalan polisi?” tanyanya dengan sedikit nada menyepelekan.

“Hufth... Daripada berdebat, ya sudahlah. Lebih baik aku langsung ke kosnya,” bathinku.

Segera aku naik Varitem dengan gadis penyihir. Motor aku nyalakan.

“Nanti... pulangnya habis ditelpon sama bapaknya polisi,” ucapnya.

“Eh, lho kok?” protesku.

“Atau...” balasnya.

“I-iya...” jawabku mengiyakan.

“Cari jalan tikus aja,” ucapnya sembari menepuk pundakku.

“Gayamu mbaaaak mbak, tadi aja takut sama tikus sekarang suruh nyari jalan tikus. Tak amabilin tikus lha sukurin kamu mbaaak,” gerutuku.

Plak plak plak...

Tiga pukulan sukses mendarat di pundakku lebih keras dari sebelumnya.

“Awas kalau berani nunjukin tikus lagi!” bentaknya.

Inggih kanjeng Ratu (Iya kanjeng ratu),” candaku dengan menahan sakit di pundak.

Motor pun berjalan. Berhenti sejenak di pos satpam untuk menghilangkan kecurigaan karena pulang paling akhir dari mahasiswa lain. Setelahnya aku menjalankan motorku dan kembali di jalanan menuju kos si penyihir.

“Eh...” aku terkejut.

“Dah jalan...” ucapnya lirih.

Sebuah pelukan erat terasa dari belakangku, ketika motor memasuki jalanan sempit. Jalanan yang tak mungkin teman-temanku tahu. Jalan ini setahuku adalah jalan alternatif. Jarang orang lewat sini karena jarang ada kos-kosan didaerah sini. Ya, tak akan ada yang tahu ketika si penyihir memeluk dengan erat dari belakang tubuhku. Menuju jalan pulang, pulang ke istana penyihir. Hiiiii...
 
Terakhir diubah:
Cuma mau bilang pertamx :haha:
 
Haduuuuuhh...

Maaf maaf, lama banget ya?
Oia sedikit koreksi nih untuk cerita nubie yang amburadul, memang pada dasarnya nubie bukan seorang penulis. jadi mohon maaf itu kalau masih acak-acakan. seharusnya di scene 10 ada detail yang harus ditambahkan. detail yang nubie maksud adalah petunjuk ke pelaku, tapi aduh, ternyata nubie ini lupa atau mungkin lebih tepatnya terlewatkan. maksudnya biar di scene 11 itu ndak hambar. eh, kelupaan, dan kalau scene 11 terasa hambar mohon maaf, karena nubi cuma pecinta sesuatu yang berbau detektif, tapi bukan penulis yang pandai membuat scene kasus.


kasus di atas sebenarnya hanya sebuah pengembangan, tapi ndak sama persis dengan sumbernya.

mohon maaf atas keterlambatannya, terima kasih

:ngupil:

:ngacir:
 
User di-banned, maka konten otomatis dihapus.
User is banned, content is deleted automatically.
 
:ampun: makasih dah update senpai... Updatenya :mantap: terjawab sudah kematian profesor dodokambek... :semangat: terus senpai dono...
 
PERTAMAX :haha:

weleh ada apdet to? :huh:
baca dulu kalo gt, komen ntar :baca:

edited-
wew, si desy makin misterius nih, ntah kawan atau lawan
untuk penjelasan gimana prof mbek bisa tewas ane skip suhu, ga nyampe otaknya :ampun:
mulai memasuki konflik2 berat nih kyk nya
next apdet bisa lah kasih bumbu ss dikit biar ada manis2 nya gt :pandajahat:
 
Terakhir diubah:
Status
Please reply by conversation.
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd