Agen Terpercaya  
 
 
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

CERBUNG Entah

Status
Please reply by conversation.
Bimabet
YANG LALU, BIARLAH BERLALU



POV NATA

Arghhhh menyebalkan, kenapa juga aku harus mendapat tugas menjadi pengawas tes SPMB tahun ini, siallllll. Hari ini kan masih liburan, harusnya kan aku bisa santai dirumah menikmati liburan dengan bangun siang dan bermalas-malasan sepanjang hari. Pasti kalian berpikir aku cewek yang malas ya? Eits jangan pernah berpikiran seperti itu padaku. Karena aku punya cara tersendiri dalam menikmati masa liburan.

Kenapa juga aku harus terpilih menjadi pengawas tes tahun ini sih, padahal baru juga masuk tahun ketigaku menjadi dosen di PTN XXX dikota ini. Arghhhh bikin emosi saja. Huff huff sabar res.. sabar, siapa tau nanti loe bakal dapat kejutan. Siapa tau ada peserta tes yang ganteng dan naksir ama loe, ya kan hehehe. Eits jangan kira gue kepedean ya, karena hampir semua cowok yang baru melihatku pasti terbengong-bengong karena kecantikanku seperti saat pertama aku menjadi dosen di kampusku sekarang. Hal itu sudah bukan menjadi rahasia lagi karena memang aku cantik, tinggi semampai lah kalau kata orang kota mah, yah meskipun gak berisi-berisi amat sih. Toh aku masih pede dengan toketku yang bisa dibilang standar tapi padat dan gak nggantung kayak pepaya. Hahaha boleh dong sekali-kali membanggakan apa yang kita punya.

Eh ngomel mulu dari tadi sampe lupa belom kenalan. Nama gue Resti, Resti adinata tepatnya. Sekarang umurku menginjak 26 tahun. Banyak yang bilang kalo aku cantik dan itu tepat sekali. Tinggi aku 165 cm dan ini bisa dibilang cukup tinggi kalo dibandingin sama anak cewek pada umumnya, badanku gak kurus-kurus amat sih dan yang perlu kalian garis bawahi adalah aku gak g-e-n-d-u-t. Catet itu ya. Kulitku sih bisa dibilang putih mulus karena banyak yang bilang kalau penduduk asli kota ini masih ada keturunan dari Ken Dedes. Kalo toket sih lumayan lah gak gede-gede amat dan juga gak k-e-c-i-l, catet itu. Jangan tanya ukuran karena itu privasi aku, so tolong hargai apa yang harus menjadi rahasia wanita ya hehe.

Sekarang aku bekerja sebagai salah satu dosen dikampus XXX tepatnya di fakultas psikologi, aku ngajar mata kuliah psikologi kepribadian. So kalian jangan macem-macem jika lagi dekat denganku karena aku dukun. Hahaha bukan-bukan, psikologi itu bukan seperti dukun yang bisa menerawang atau membaca garis tangan. Jadi tolong buang jauh-jauh pemikiran itu dari otak kalian ya.

Dikota ini aku tinggal berdua dengan bibi yang selalu membantuku dirumah peninggalan nenek ini. Jika kalian bertanya dimana orangtuaku maka akan kujawab bahwa mereka berdua sudah bahagia disurga karena ibuku meninggal waktu melahirkan adikku dan ayahku meninggal karena kecelakaan lalu lintas saat berangkat bekerja. Nenekku sendiri meninggal 4 tahun yang lalu karena sakit.

Jika kalian bertanya kenapa aku bilang saat ini hidup berdua dengan bibiku dan ibuku meninggal waktu melahirkan adikku maka jawabannya adalah adikku meninggal tahun kemarin waktu usianya 20 tahun. Yap adikku satu-satunya yang paling kusayangi meninggal karena tusukan dari berandalan ditempatku mengajar. Yap adikku juga kuliah dikampus tempatku mengajar tapi beda fakultas. Dia meninggal tepat didepan mataku waktu kita berdua dan satu temannya sedang asik berjalan ketika akan berangkat ke pasar membeli bahan untuk membuat rujak manis kesukaannya dan sampai sekarang aku memendam dendam pada orang yang menusuk adikku dan teman adikku karena gara-gara adikku melindungi temannya ini akhirnya adikku meninggal.

Jika kalian bertanya kenapa aku dendam pada teman adikku ini, maka jawabnya adalah karena aku sendiri juga nggak tau. Mungkin hanya dengan melampiaskan rasa sakit dihatiku ini dengan cara menyalahkan teman adikku yang sebenarnya tidak bersalah menjadikanku sedikit bisa menerima kematian adikku. Well cukup sekian aja yah curhatan aku karena aku harus segera mandi dan berangkat ke kampus untuk menjaga tes masuk kampus ditempatku mengajar.

Brrr.. dingin banget sih hari ini, jadi tambah males aja untuk berangkat ke kampus” umpatku sambil melepaskan handuk yang membalut tubuhku lalu mengacak-acak isi lemari untuk memilih baju yang akan kupakai. Segera kuraih dan kukenakan BH warna putih dan celana dalam dengan warna senada dan tak lupa baju Hem putih, blazer, dan rok span.

Tok.. tok.. tok..

Terdengar bunyi ketokan di pintu kamarku.

“Mbak sarapannya udah Mateng dan sudah ada dimeja, mbak mau mbok bikinin teh panas sekalian ta?” terdengar suara mbok Yem dari balik pintu kamarku.

Lalu kuberanjak dari ranjang kamarku kearah pintu dan membukanya.

“Nggak usah mbok, Resti nanti minum air putih saja. Ini juga sudah mau berangkat kok” ucapku sambil tersenyum.

“Ya udah mbak, mbok tinggal nyuci baju dulu ya” ucapnya sambil tersenyum lalu berjalan meninggalkanku.

Makasih ya mbok karena mbok sudah perhatian sama aku” ucapku dalam hati.

Kuraih tas dan ponselku lalu bergegas menuju meja makan dan mulai memakan nasi goreng bikinan si mbok.


“Argh sial, udah jam 07.55 aja” umpatku ketika sampai di ruang sekretariat. Segera kuraih dua amplop coklat yang masing-masing berisi lembar soal dan lembar jawaban. Tak lupa kulihat di ruang berapa aku harus menjaga tes kali ini. Segera ku berjalan dengan tergesa-gesa menuju ruang tes yang harus aku awasi.

Ah sampai juga” batinku ketika terlihat pintu ruangan tempatku. Kesal juga kurasa karena selama lima jam nanti harus menjaga tes ini tanpa ada jeda waktu istirahat, ditambah mood jelek karena harusnya pagi ini aku masih bermalas-malasan dikamar, tapi nyatanya harus menjaga tes. “Sialllll” batinku.

“Selamat pagi teman-teman, selamat datang di kampus negri XXX, yah langsung saja kita mulai tes hari agar tidak terlalu lama membuang waktu” ucapku sambil mengeluarkan lembar soal dan lembar jawaban yang ada didalam amplop coklat, sekilas kuedarkan pandangan keseluruhan peserta yang ada didalam ruang.

Degh...

Restu, kamu kah itu dek?” batinku ketika melihat seorang anak yang mirip sekali dengan adikku. Dia nampak mencolok karena memakai baju batik dan peserta lain memakai baju putih sesuai ketentuan yang tertulis. Perlahan logikaku berbisik jika dia bukanlah restu meskipun sangat mirip dengannya.

“Mas kenapa kamu pakai baju batik, bukannya sudah dijelaskan dilembar persyaratan bahwa tes hari ini menggunakan baju putih dan celana hitam” ucapku sambil menunjuknya. Sebenarnya aku malas untuk mempermasalahkan hal ini, tapi sudah ada himbauan dari ketua panitia agar sekecil apapun kesalahan peserta harus ditindak tegas. Hal ini dilakukan agar peserta tes yang nantinya diterima dikampus ini bisa disiplin.

“Maaf Bu, bukan maksud saya untuk tidak mematuhi peraturan tersebut tetapi baju seragam putih SMA saya sudah terlanjur saya serahkan kepada pihak sekolah untuk disumbangkan kepada adik kelas yang membutuhkan dan untuk celana kain hitam saya tidak punya” ucapnya dengan sangat tenang.

“Jangan bohong, kamu belum jadi mahasiswa aja sudah banyak alasan lalu bagaimana nanti jika kamu sudah jadi mahasiswa haah?” ucapku dengan nada Tinggi. Sebenarnya aku malas melakukan ini tapi mau bagaimana lagi karena permintaan dari ketua panitia.

“Bajumu tidak kamu pakai pasti karena kamu buat coret-coret pada acara kelulusan kemarin kan, ngaku aja deh” ucapku sambil mencoba memprovokasinya karena penasaran sampai sejauh mana dia bisa bersikap tenang.

“Huff, yasudah kalau ibu memang tidak percaya” ucapnya seraya berdiri sambil mengambil tasnya.

Kemudian aku berpikir kenapa aku bisa sampai setega ini. Kasihan dia jika sampai tidak mengikuti tes ini hanya karena persoalan sepele.

“Mau kemana kamu?” ucapku sambil melihatnya berjalan keluar.

“Mau pulang kerumah, Lagian kenapa saya harus tetap disini jika jadi sasaran kemarahan ibu hanya karena saya tidak memakai baju seperti yang diharuskan, kan lebih baik saya pulang saja” ucapnya, kali ini dia kelihatan mulai emosi namun mencoba untuk tenang. Hal ini terlihat dari nafasnya yang mulai memburu. “Jika memang saya tidak diperbolehkan untuk mengikuti tes ini lebih baik mengusir secara halus dari pada berbicara kasar seperti itu” ucapnya lagi sambil berjalan tanpa menoleh kearahku.

“Tunggu” ucapku dengan nada tinggi, sejujurnya aku mulai kesal dengannya. Kenapa juga ia harus pergi sih. Perlahan aku pun teringat sosok adikku yang selalu cuek dan memilih pergi ketika sedang kunasehati. Kelas pun yang tadinya ramai perlahan mulai tenang.

Segera kutarik pergelangan tangannya ketika kami sudah berada diluar ruang tes. Seketika ia berhenti lalu membalikkan badannya, terlihat nafasnya mulai memburu pertanda emosinya sudah mulai naik.

Degh...

Seketika rasa sebal dan emosiku padanya perlahan mulai menghilang ketika kupandangi wajahnya. “Astaga, restu adikku. Apakah anak laki-laki ini yang kau maksud dulu.

Sesampainya dirumah sakit aku tetap menggenggam tangannya, tak pernah terputus doa yang keluar dari mulutku untuknya. Nampak sebuah senyum tulus dari adikku kala memandang mataku. “Maafkan restu ya kak nata, karena restu tidak bisa menemani kak nata lagi. Tapi akan tiba saatnya nanti seseorang yang menggantikanku untuk menjaga kak nata” ucapnya sambil tersenyum manis. Perlahan mata Restu mulai terpejam dengan senyum tersungging di bibirnya sampai akhirnya denyut jantungnya berhenti. “Restuuu.........”

“Siapa kamu? Kenapa kamu mirip dengan adikku” ucapku melemah ketika teringat kepergian Restu untuk selama-lamanya.

“Yang jelas aku bukan adikmu, dan juga baru kali ini kita bertatap muka Bu” ucapnya terlihat kebingungan.

“Lalu kenapa kamu keluar?” Tanyaku tersadar ketika melihat dia kebingungan.

“Karena sudah nggak minat mengikuti tes ini” ucapnya santai sambil membakar rokoknya.

“Nggak sopan” ucapku sambil meraih rokok yang ada dibibirnya lalu membuangnya. “Njengkelin banget dia ini lama-lama, tapi entah kenapa sifat yang ditunjukkan kala dia emosi mirip sekali dengan Restu” batinku.

“Ibu ini kenapa sih? Toh disekitar sini juga tidak ada tanda larangan untuk merokok” ucapnya kesal sambil menunjuk kesekitar.

Ya Tuhan, kenapa dia mirip sekali dengan Restu, bahkan sifatnya pun sama persis” batinku. Tanpa sadar mataku mulai berkaca-kaca ketika memandang kearah matanya. “apa benar dia adalah sosok yang kau maksud dulu dek” batinku.

“Ibu ini kenapa? Apa saya ada salah sama ibu? Kok ibu sampai begitu terlihat benci padaku. Saya minta maaf jika saya pernah berbuat salah pada ibu atau mungkin perkataan saya yang tadi tanpa sengaja sudah membuat ibu marah kepada saya” ucapnya nampak kebingungan.

Ya tuhan, kenapa sampai dia mirip sekali dengan Restu, bahkan ketika dia tidak bersalah sekalipun dia tetap meminta maaf. Dan yang paling jelas adalah dia tidak bisa melihat orang lain bersedih”. Pikirku.

“Tidak, kamu tidak salah” hanya itu yang bisa kukatakan. Sejujurnya aku ingin sekali memeluknya meskipun dia bukan Restu adikku karena dia sangat mirip sekali dengannya, baik kemiripan wajah dan juga sifatnya. Tanpa sadar akupun menundukkan wajahku dan tanpa bisa dicegah air mataku jatuh dengan bebasnya. “Dek mbak rindu kamu dek” ucapku dalam hati.

“Huff, yasudah. Saya minta maaf jika perkataan saya tadi menyinggung ibu. Saya tidak ada maksud untuk menyakiti ibu dengan ucapan saya tadi. Baiklah saya mohon undur diri karena saya rasa ibu tidak mengijinkan saya untuk mengikuti tes ini” ucapnya.

“Tunggu, kumohon masuklah kembali” ucapku tanpa sadar meraih tangannya lalu memandang wajahnya. Entah mengapa ketika melihat matanya, kumerasa sangat nyaman seperti saat bersama Restu. Nampak dia mengernyitkan dahi ketika kuminta dia kembali masuk kedalam.

“Nggak, saya nggak akan masuk jika ibu masih menangis. Apa nanti yang dipikirkan peserta tes kalau ibu masuk kedalam masih dengan keadaan menangis” ucapnya seraya menyerahkan sapu tangan yang ada ditangan kanannya.

Restu, apa benar kalau dia adalah orang yg kamu maksud dulu dek?” batinku.

“Terimakasih” ucapku sambil menerima sapu tangan darinya. “Restu, apakah dia ini kamu, atau dia hanyalah orang yang kamu maksud dulu” batinku.

“oke ayo masuk” ucapku sambil menarik tangannya.

“Tunggu Bu, aku tidak akan jika ibu belum tersenyum” ucapnya sambil menahan tarikan tanganku.

“Iya” ucapku dengan tersenyum. Aku tersenyum karena yakin dia bukanlah restu, tapi sifat dan pribadinya mirip sekali dengan Restu adikku.

“Nah kalau senyum gitu kan ibu jadi terlihat cantik dan tidak judes seperti tadi” ucapnya dengan mengedip-ngedipkan kedua matanya.

“Apa kamu bilang?” ucapku sambil melotot, namun sepertinya sia-sia karena aku sadar bahwa ada rasa Berdebar pada hatiku kala dia mengucapkan kalimat itu.

“Yasudah ibu duluan, kan nggak enak kalau saya yang masuk duluan” ucapnya sambil membuat gestur mempersilahkan ku terlebih dahulu.

“Baiklah” ucapku berjalan mendahuluinya.

...​

“Hufff, sangat membosankan. Baru juga 30 menit aku mengawasi peserta tes tapi kenapa rasanya seperti sudah berjam-jam saja, arghhhh” batinku sambil melihat layar ponselku. Perlahan kubuka galeri pada ponselku, lalu kupencet folder bertuliskan 'restu'. Kubuka satu persatu foto adekku yang tersimpan di memori ponselku. Tanpa terasa air mataku jatuh menetes kala memandangi fotonya.

“Kamu dimana dek? Tanyaku pada orang diseberang saluran telpon.

“Udah dibawah mbak, mbak Nata masih lama ta? Ucapnya

“Ini udah mau turun, tinggal absen finger doang” ucapku sambil berjalan kearah kotak hitam yang ada disamping meja satpam.

“Iya mbak tak tunggu dibawah. Oh iyabak, nanti kita jalan sama Oka juga ya. Karena aku gak enak sama dia, sebenarnya aku ada janji sama dia tapi mbak nata maksa ngajak jalan-jalan kepasar. Terpaksa aku ngajakin dia sekalian” ucapnya.

“Iya gak pa-pa, tapi ada satu syarat dek” ucapku padanya sambil mulai berjalan.
“Hmmm,, pasti gak boleh ngerokok kan selama jalan-jalan nanti” ucapnya.
“Yup betul, 100 buat adeknya kakak hihihi” ucapku sambil tertawa.
“Diusahakan ya mbak, hehehe” balasnya.
“Itu suatu keharusan dek, gak boleh ditawar” balasku dengan nada sedikit tinggi.
“Ya ya ya, atur deh asal...” ucapnya.
“Asal apa?” tanyaku.
“Asal nanti Dibikinin rujak yang enak ya mbak, hehehe” balasnya.
“Ya ya ya” ucapku sambil menirukan gaya bicara adekku.
“oke” jawabnya singkat lalu mematikan telepon.

Sesampainya dibawah kami langsung berjalan menuju gerbang belakang kampus, karena angkot yang mengarah menuju pasar kota hanya melewati jalan yang berada di gerbang belakang kampus. Posisiku berada di samping Restu, sedangkan Oka berada dibelakang kami berdua. Gerbang belakang kampus sudah mulai terlihat dan suasana sudah agak lengang sore ini meskipun masih pukul tiga sore. “tumben sepi, biasanya masih rame deh jam segini” batinku sambil melihat alroji yang melingkar di tanganku.

“Restu awas” teriak Oka yang ada di belakangku.

Dughh,, sreeeeeeeek... Terlihat satu sepeda motor jatuh dan menyeret dua orang pengemudinya karena ditendang oleh Oka. Pengemudi motor itu sengaja mau menabrak Restu, tapi Oka dengan sigap menendang muka orang yang mengemudikan motor itu sampai hilang keseimbangan lalu terjatuh dan nampak keluar darah dari hidungnya karena tendangan Oka, sedangkan yang dibonceng terlihat tak sadarkan diri dan dari kepalanya banyak mengeluarkan darah akibat terbentur ke aspal .

Terlihat 6 orang berada diatas 3 buah sepeda motor dengan jarak yang berdekatan, dan setiap orang yang dibonceng membawa balok kayu sambil diayun-ayunkan.

“Anggota ‘loki’ ka, hati-hati” ucap restu pada Oka.

“Mbak Resti cepet lari ke pos satpam mbak” ucap Restu padaku, lalu aku segera berlari kearah pos satpam disebelah gerbang belakang.

Terlihat Oka meraih ransel yang ada di punggungnya lalu dengan sekuat tenaga ia melemparkan tas tersebut kearah pengendara motor yang paling depan. Kemudian motor itu oleng lalu jatuh dan membuat dua motor yang ada dibelakangnya juga terjatuh karena tertimpa motor yang ada didepannya.

“Bangsaaaat” ucap seseorang yang menjadi target lemparan ransel oleh Oka tadi. Lalu mereka berdua enam berlari menuju restu dan Oka. Oka terlihat sudah bersiap dengan kuda-kuda ala pencak silat yang ia kuasai, begitu juga dengan Restu yang sudah bersiap-siap dengan kepalan tinjunya. Restu dan Oka sudah saling memunggungi karena ke enam orang tadi sudah memutari mereka berdua.

Aku sendiri sudah tidak asing dengan situasi ini, karena kampus ini sudah terkenal dengan kebrutalan mahasiswanya. Entah mengapa meskipun ini kampus negeri, tapi banyak diantara mahasiswa yang kuliah di kampus ini begitu suka berkelahi. Aku juga tidak tau untuk apa mereka berkelahi atau apa tujuan mereka.

Terlihat Restu sudah menumbangkan dua musuhnya dengan pukulan pendek tapi dengan kecepatan dan power yang bisa dibilang diatas rata-rata. Begitu juga Oka, dia sudah menumbangkan tiga musuhnya dengan variasi pukulan dan tendangan ala pencak silatnya. Fokus restu dan Oka sekarang tertuju pada satu musuh yang tersisa, sampai pada akhirnya Oka berlari lalu meloncat sambil mengarahkan pukulannya kearah wajah musuhnya. Baaam... Tampak mulut dan hidung musuhnya mengeluarkan darah segar. Mereka lalu tersenyum sambil melakukan tos dan berjalan kearahku tanpa memperdulikan musuhnya yang terlihat berdarah-darah dan pingsan. Sampai sesaat terlihat seorang yang mau menabrak Restu tadi berlari sambil membawa pisau lipat ditangan kanannya.

“Deeeek awaaaaas” ucapku pada Restu dan Oka.

Mereka berdua lalu menoleh kebelakang, Restu sedikit lebih cepat menoleh kebelakang dan melihat seorang yang berlari kearah Oka sambil membawa pisau lipat ditangan kanannya. Dengan sigap Restu mendorong tubuh Oka menjauh agar tak terkena tusukan dari orang tersebut. Oka nampak terpental karena dorongan dari restu, Tapi sial bagi Restu karena tusukan yang harusnya mengarah kepada Oka malah menjadi bumerang dan mengenai perutnya. Pisau itu menusuk sebelah kiri perut Restu. Restu yang terkaget karena tusukan itu hanya bisa memegangi perutnya. Tampak seringai tipis diwajah penusuk restu, lalu ia menusuk lagi perut Restu sampai baju Restu berubah warna merah karena darah Restu. Oka yang melihat hal itu tidak tinggal diam, ia lalu berdiri dan secepat kilat menendang tangan si penusuk Restu sampai pisau yang dipegangnya terlempar kebelakang. Karena posisi Oka berada disamping penusuk restu, lalu ia melakukan tendangan memutar dan mengarahkan pada belakang kepala penusuk restu dan seketika itu juga pingsan karena tendangan Oka.

“Oka nampak menangis sambil memapah Restu kearahku. Aku yang hanya bisa menangis karena tak percaya lalu meraih ponselku dan menelpon rekan dosen yang masih berada di fakultas guna meminjam mobilnya untuk membawa Restu kerumah sakit. Tak seberapa lama mobil pun datang sang membawa kita bertiga ke rumah sakit.

Sesampainya dirumah sakit aku terus menggenggam tangan Restu, tak pernah terputus doa yang keluar dari mulutku untuknya. Nampak sebuah senyum tulus dari adikku kala memandang mataku. “Maafkan restu ya kak nata, karena restu tidak bisa menemani kak nata lagi. Tapi akan tiba saatnya nanti seseorang yang menggantikanku untuk menjaga mbak nata” ucapnya sambil tersenyum manis. Perlahan mata Restu mulai terpejam dengan senyum tersungging di bibirnya sampai akhirnya denyut jantungnya berhenti. “Restuuu.........”

Aku hanya bisa menangis meraung-raung sambil memanggil-manggil nama restu, tapi Restu tak juga membuka matanya.

“Maafkan Oka mbak, maafkan Oka karena nggak bisa melindungi Restu” ucap Oka seraya merangkul ku dengan tubuh tubuh yang bergetar karena tangisnya yang memilukan hati.

Selanjutnya pandanganku menjadi gelap.


Tak terasa waktu tes sudah berakhir. Segera kurapikan dan kumasukkan kembali lembar soal dan jawaban kedalam amplop coklat yang berada diatas meja sambil sesekali melirik para calon mahasiswa yang mulai berhamburan keluar dari ruangan tes. Sampai akhirnya pandanganku tertuju pada seorang anak yang sedari awal tadi menyita perhatianku karena kemiripannya dengan Restu adikku.

Ia nampak masih enggan untuk meninggalkan ruangan tes. Ia masih duduk di bangkunya sambil melihat kearah ponsel yang ada ditangannya dengan sesekali melihat kearah pintu keluar.

nanggung banget nih kalau pulang sekarang” batinku. Sesaat kualihkan pandanganku padanya. Nampak ia meraih tasnya dan mulai beranjak meninggalkan ruangan. “Ajakin dia ngopi aja, sekalian minta maaf karena kejadian tadi” pikirku.

...​

Huuuuufff... Akhirnya sampai juga di kantin dosen setelah tadi membujuknya dan sempat dia tolak karena suatu alasan. Sengaja aku memilih kekantin dosen karena aku dan Restu dulu sering makan disini. Disini juga masakannya lebih enak dan yang lebih penting adalah aku udah kenal sama salah satu penjual makanan disini, bisa dibilang langganan sih.

Setelah sampai di kantin, aku memberinya kode agar segera duduk di bangku yang berada dipojok. Bukan karena sengaja aku memilih duduk di bagian pojok, tapi karena hanya tinggal bangku yang dipojok tersebut yang masih kosong.

Aku berjalan menuju salah satu stan makanan langganan ku setelah memastikan dia berjalan menuju bangku yang kumaksud tadi. Segera kupesan dua cangkir kopi hitam untuk aku dan untuknya. Jika kalian bertanya kenapa aku memesan kopi hitam juga, karena sejak dulu aku sudah menyukai minuman ini dan lagi sebenarnya aku adalah perokok. Ya aku adalah perokok, sejak setahun yang lalu atau tepatnya sejak kematian Restu adikku. Untungnya hanya rokoklah yang menjadi canduku untuk menghibur diri, tapi aku tidak merokok disembarang tempat dan lebih memilih ditempat tertentu saja. Bukan karena malu, tapi aku hanya sedikit menjaga image saja hehehe.

Baru beberapa saat aku duduk didepannya, terdengar dering ponsel miliknya. Nampak ia enggan untuk menjawab panggilan diponselnya. Tapi aku beri kode agar ia menjawab panggilan telpon tersebut. Ternyata dari ayahnya.

Entah mengapa aku merasa seperti sudah lama mengenal dia saat ngobrol dengannya, padahal baru hari ini kita bertemu. Mungkin karena dia mirip adikku, tapi juga tidak sepenuhnya dia mirip adikku.

Mungkin sekilas dia terlihat sangat mirip dengan adikku, tapi postur tubuhnya cenderung 'berisi' dari pada adikku. Adikku dulu terlihat tegap dan tubuhnya terlihat maco karena basic olah raga tinju yang dia tekuni, sedangkan Seno terlihat terlihat tegap namun cenderung chubby. Restu memiliki kulit putih sedangkan Seno memiliki kulit coklat cenderung hitam, namun hal ini tidak mengurangi kharismanya. Jujur saja Seno terlihat lebih berkharisma dari pada Restu. Mungkin karena pembawaan Seno yang lebih kalem daripada Restu. Tapi dibalik itu, aku penasaran dengan sorot mata Seno. Sorot matanya terlihat tenang dan menenangkan. Aku merasakan sendiri kala menatap matanya tadi pagi. Tapi aku merasa dibalik sorot mata itu tersimpan sebuah rasa kecewa yang sudah lama terpendam.

Tak terasa sudah pukul tiga sore kala kulihat alroji yang melingkar di tanganku.

“Ibu sudah mau pulang?” ia bertanya sambil menyesap kopinya.

“Iba ibu iba ibu, emang aku istri bapakmu?” jawabku sewot. Jujur aku merasa sebel kala ada yang memanggilku dengan sebutan 'ibu' pada saat bukan jam mengajar dikampus.

Setelah itu suasana terasa mencair karena Seno menimpali dengan candaannya. Jujur aku merasa sangat terhibur dengan candaannya, entah karena sifat cengengesannya yang mirip dengan sifat Restu dulu atau aku yang memang rindu dengan adikku.

Puja kerang ajaib, ulululululu

Terdengar dering ponselnya dan langsung ia terima tanpa perlu kusuruh, berbeda seperti saat dia ditelpon oleh ayahnya tadi. “Mungkin dari pacarnya” batinku.

Sayup-sayup terdengar suara lelaki yang bertanya tentang keberadaanya diseberang sambungan telponnya. Sedikit aku merasa lega karena hal itu, tapi aku berpikir kenapa aku merasa lega karena mengetahui bahwa yang menelpon adalah laki-laki? Apa aku suka padanya? Padahal baru kali ini aku bertemu dengannya. Atau mungkin aku memang rindu kepada adikku yang kebetulan sangat mirip dengannya.

kantin dosen” ucapku spontan tapi hanya dengan gerak bibir tanpa suara kala melihat Seno yang melihat kearah kiri dan kanan. Perasaanku berkata bahwa dia tidak tau tempat ini. Hal ini persis seperti Restu kala kebingungan.

Beberapa saat setelah itu dia terlihat mengacungkan jari tengahnya kearah pintu masuk. “Mungkin temannya yang menelpon tadi” batinku. Kemudian aku menoleh kebelakang karena penasaran dengan orang orang yang ditunggu Seno sedari tadi.

Aku terkejut kala melihat seorang anak yang baru saja memasuki kantin ini. Aku teramat sangat membencinya. Dia adalah Oka, yang tidak lain adalah sahabat adikku dulu. Ya, aku sangat membencinya karena dia lah Restu adikku meninggal dunia. Karena tindakan Restu yang mendorongnya sehingga dia luput dari tikaman lawannya, namun naas bagi Restu karena tikaman yang meleset itu malah mengarah ke perut Restu sampai akhirnya Restu meninggal karena luka tusukan yang sangat banyak di bagian perutnya.

“Dia orang yang sedari tadi kamu tunggu sen?” tanyaku dengan nada tinggi karena emosiku yang tiba-tiba naik karena melihatnya.

“Iya mbak” jawabnya gugup. Mungkin dia bingung dengan perubahan emosi yang tiba-tiba karena melihat Oka.

“Yasudah aku pulang dulu, dan kamu jangan terlalu dekat dengan bajingan itu” ucapku padanya. Selanjutnya kuambil tas yang berada di sampingku lalu berjalan keluar. Tak lupa sebelum keluar aku sempatkan untuk membayar kopi yang aku pesan tadi kepada ibu kantin.

Ibu kantin terlihat kebingungan kala menerima selembar uang dua puluh ribuan dariku tanpa berbicara satu katapun padanya. Segera kulangkahkan kakiku menuju parkiran dan bergegas pulang mengendarai motor matic ku.

Sesampainya di rumah segera kuparkirkan motorku di dalam garasi yang berada disamping rumah. Bergegas kulangkahkan kaki menuju kamarku dan membaringkan tubuhku diatas kasur. Kuraih figura kecil yang berada diatas meja dekat kasurku. “Dek, mbak kangen” ucapku lirih sambil melihat kearah foto adikku.

Hatiku sedikit kesal karena hari ini harus bertemu dengan Oka. Perlahan kuraih tasku yang berada diatas meja dan mengambil rokok yang berada didalam tas lalu membakarnya sebatang. Kunikmati alunan irama yang tercipta kala api mulai merambat membakar lintingan tembakau ini. Ku hembuskan perlahan sambil menikmati gejolak emosi yang tersulut karena terbesit kenangan menyakitkan yang menimpa adikku kala melihat wajah Oka tadi. Hingga akhirnya satu batang rokok pun telah habis.

Kuberanjak dari kasur dan melangkah menuju ruangan yang berada disamping kamarku. Kumenuju ke arah kamar yang sudah lama tak aku masuki, ya itu adalah kamar restu. Entah kenapa setiap memasuki kamar itu aku selalu terbayang akan adikku. Terbayang oleh kenangan yang pernah kita lalui bersama dulu.

Segera kuraih kunci motor yang berada diatas meja lalu melangkah turun menuju garasi. Sesampainya disana segera kukeluarkan sebuah motor RX-king milik adikku. Ya, hanya inilah barang milik adikku yang selalu kurawat dengan baik. Karena motor ini adalah motor pertama Restu yang kuberikan padanya sebagai hadiah diulang tahunnya yang ke 18 tahun.

Segera kupacu motor ini menuju makan restu dengan santai. Sejujurnya aku masih harus beradaptasi lagi dengan motor kopling ini karena sudah lama aku tidak mengendarainya. Ya semenjak 3 bulan yang lalu aku tidak pernah memakainya lagi karena aku merasa kurang nyaman jika mengendarainya untuk berangkat kekampus, karena aku lebih sering mengenakan rok waktu mengajar.

Sesampainya dikompleks pemakaman, segera kuparkir motor king ini didekat pintu lalu berjalan kearah makam Restu.

Aku terkejut kala melihat makam restu. Makam itu nampak bersih dari rumput liar dan terlihat taburan bunga yang sepertinya mulai layu diatas makamnya.

Sepertinya baru-baru ini ada yang datang kemari dan membersihkannya” batinku.

Segera aku berjongkok disamping makam restu dan mulai memanjatkan doa untuknya. Tanpa sadar air mataku mengalir saat tanpa sadar aku membelai batu nisan restu.

“Dek, mbak kangen sekali denganmu. Mbak pengen cerita-cerita lagi denganmu seperti dulu. Makan rujak bareng, jalan-jalan bareng dan ngopi bareng dek. Hiks hiks hiks”

Entah sudah berapa lama aku menangis disamping makam adikku sampai sesaat terdengar langkah kaki mendekat kearahku. Segera kuseka pipiku yang basah karena air mata lalu menoleh kebelakang.

Aku melihat dua sosok orang yang kukenal berjalan kearahku, namun yang membuatku terkejut adalah seorang yang berperawakan jangkung yang terlihat menenteng sekantong bunga yang biasa dibuat untuk nyekar diatas makam.

“Mau ngapain kamu kalian kemari?” upacku dengan nada tinggi.

“Lho mbak nata kok disini?” ucap seorang yang baru kukenal. Ya, dia adalah Seno. Seorang bocah yang sangat mirip dengan almarhum adikku dan aku baru mengenalnya tadi. Dan disampingnya adalah Oka. Dia terlihat kaget kala melihatku sedang berada dimakan adikku, sesaat ia terlihat menyembunyikan bunga yang dia bawa di balik badannya.

“Ehh.. s..sa..ya m..ma..u nengokin Restu mbak” ucap Oka tergagap sambil menundukkan wajahnya.

Aku terdiam kala mendengar jawabannya. “apakah dia yang membersihkan dan menabur bunga dimakam Restu?” batinku.

“Yasudah kami undur diri dulu mbak, mungkin sekarang mbak sedang tidak ingin diganggu kan” ucap Seno memecah keheningan.

Terlihat Seno menarik tangan Oka untuk meninggalkan aku sendiri disini. Akhirnya mereka berdua berjalan menuju pintu keluar komplek pemakaman ini. Aku yang hanya bisa terdiam memandang mereka berjalan keluar akhirnya memutuskan untuk melanjutkantkan doa untuk Restu agar dia tenang disana.

Aku memutuskan untuk pulang setelah selesai membacakan doa dan sedikit membersihkan daun-daun kering yang berserakan diatas makam Restu.

“Sudah mbak?” ucap seseorang di belakangku kala aku baru saja berdiri.

“Ehh.. sudah pak” jawabku kepada seorang yang berdiri di belakangku.

mungkin dia salah satu pegawai disini, tapi kenapa dia membawa sekantung bunga?” batinku kala melihat sekantung bunga yang dia bawa ditangan kanannya.

“Sudah mau pulang pak? Kok keliatannya sudah rapi?” tanyaku basa-basi.

“Masih sebentar lagi mbak, tapi tadi ada yang minta tolong buat naburin bunga dimakam yang barusan mbak bersihin” jawabnya sambil memandang kearah makam Restu.

“Kok minta tolong ke bapak dan nggak ditabur sendiri pak?” tanyaku menyelidik.

“Pasti ini perbuatan si Oka agar aku tidak marah lagi kepadanya” batinku yang sedikit emosi.

“wah saya kurang tau mbak, padahal tiap Minggu dia selalu datang ke makam ini untuk nyekar dan bersih-bersih makam ini. Mungkin karena sekarang ada mbak disini makanya dia minta tolong ke saya” ucapnya.

Aku terkejut kala mendengar ucapan dari petugas pemakaman umum ini.

“Apa benar Oka selalu datang kesini setiap Minggu” batinku.

“Yang benar pak, apa dia setiap Minggu selalu datang kesini?” tanyaku menatam tajam kearah matanya.

“Bener mbak, ngapain juga saya bohong. Saya sudah delapan bulan bekerja disini dan selalu melihatnya datang kesini setiap Minggu mulai dari awal saya bekerja disini” ucapnya sambil terus memandang makam restu.

Aku kembali terkejut kala mendengan penuturannya. Tak nampak kebohongan dari tatapan matanya ataupun gesture tubuhnya.

“Kalau nggak salah namanya itu Oka” ucapnya sambil melirik kearah kiri dari tubuhnya.

“Saya dulu pernah bertanya kenapa dia selalu nyekar ke makam ini tiap Minggu dan dia menjawab kalau yang terbaring dimakam ini adalah seorang teman, sahabat, saudara, sekaligus pahlawan baginya. Saya saja sampai bingung apa maksud dari ucapannya itu” jawabnya sambil terus memandang makam Restu.

“Jej..ja..jangan bohong pak” ucapku yang nampak mengagetkannya. Entah mengapa kali ini dadaku terasa sesat saat mendengarkan ucapannya.

Apakah selama ini aku salah karena membencinya? Apa mbak salah dek?” batinku seperti tak percaya pada omongan orang yang ada didepanku ini.

“Hehehe, ngapain juga saya bohong pada mbak. Gak ada untungnya juga kalau saya membohongi mbak” jawabnya sambil menatap mataku dan kemudian dia pun tersenyum.

“Yasudah saya mohon ijin untuk nyekar dulu mbak, karena sebentar lagi juga sudah waktunya pulang” ucapnya seraya mendekat ke makam Restu. Lalu dia pun segera menabur bunga yang sedari tadi dia bawa.

“Mari mbak saya duluan” ucapnya sambil berjalan meninggalkanku yang termenung memikirkan ucaapnnya tadi.

Dek apa mbak salah karena selama ini mbak membenci Oka meskipun sebenarnya dia tidak bersalah? Dan apa yang harus mbak lakukan untuk menebus kesalahan yang mbak perbuat selama ini kepada Oka dek? Jujur mbak masih belum bisa menerima kepergian mu dek” ucapku dalam hati.

Yasudah, mbak pulang dulu ya dek. Maafkan mbak jika selama ini mbak jarang nengokin kamu dek” batinku. Lalu aku pun bergegas meninggalkan pemakaman ini dengan hati yang terasa sesak.

Sesampainya dirumah aku pun memutuskan untuk mandi. Setelah itu aku membaringkan tubuh dikasur karena tiba-tiba mataku terasa berat.

Sayup-sayup aku terjaga kala mendengar suara gemercik air yang mengganggu tidurku. Terdengar pula suara gesekan dedaunan akibat tertiup angin dan suara burung bersahut-sahutan. Pelan-pelan aku coba membuka mata, namun terasa begitu berat. Sesaat terasa sebuah elusan lembut di pipiku.

“Mbak.. bangun.. katanya kangen” terdengar suara lembut berbisik di telingaku.

“Mmhhhhh... Ada apa sih dek?” ucapku sambil merenggangkan badan.

Deghhh...

Seketika aku tersadar bahwa yang membangunkanku adalah Restu. Perlahan ku coba membuka mata yang terasa sangat berat. Aku langsung terkejut kala melihat bahwa aku tidak berada dikamar tidurku. Didepanku terlihat pemandangan sebuah taman yang dihiasi oleh kebun bunga dan kolam ikan dengan air mancur tepat ditengahnya. Terdapat sebuah pohon besar berada tepat disamping kolam tersebut. Dan ada sebuah bangku panjang berwarna putih tepat dibawah pohon tersebut.

Seketika air mataku menetes kala melihat Restu adikku bersandar di bangku tersebut sambil menyilangkan kaki kanan diatas kaki kirinya. Dia nampak mengenakan baju serba putih yang membuatnya terlihat berwibawa.

Kemudian dia melambaikan tangannya kepadaku lalu memberikan kode agar aku duduk disampingnya. Seketika aku langsung menghampiri lalu memeluknya dengan erat. Terasa ia membelai rambutku dan mengecup keningku. Hal ini dia lakukan untuk memberitahuku bahwa dia baik-baik saja, karena dia tau bahwa aku tak akan mungkin percaya oleh ucapannya.

Hal ini dulu sering dia lakukan untuk menenangkan ku ketika dia selesai bertanding diatas ring. Ya, sebenarnya dulu dia adalah petinju amatir sewaktu SMA tapi entah mengapa dia tidak meneruskan hobinya ini ketika dia memasuki perguruan tinggi setelah di pertandingan terakhir dia tidak sengaja membunuh lawannya.

“M..mbaak ka..ngen dekk.. hiks hiks” ucapku sambil terisak dan terus memeluknya.

“Kalau mbak kangen adek kan bisa nengokin adek di makam mbak” ucapnya sambil terus membelai rambutku.

“Sudah jangan nangis lagi ya mbak, apa mbak tega kalau adik terus melihat mbak bersedih seperti ini” lanjutnya.

Aku hanya bisa menggelengkan kepala ku yang berada di dadanya sambil terus terisak.

“Udah dong nangisnya mbak. Nanti adek jadi ikutan nangis juga nih kalau mbak nangis terus” ucapnya sambil memegangi kedua pipiku dan menghapus air mataku dengan jempolnya.

Aku mulai melepaskan pelukanku dan memandang wajah adekku. Tanpa terasa aku juga ikut tersenyum kala melihat senyum manisnya.

“Adek kenapa tega ninggalin mbak sendiri?” Ucapku sambil membelai wajah adekku.

“Maafkan adek ya mbak, bukan maksud adek untuk ninggalin mbak sendirian. Tapi ini sudah takdir yang kuasa dan adek yakin jika ini yang terbaik buat mbak dan adek juga” ucapnya sambil tersenyum.

“Tapi... Hiks.. hiks..”

“Udahan dong nangisnya mbak, adek kesini bukan untuk melihat mbak menangis” ucap adikku sambil menyeka air mataku.

Kemudian aku memeluknya lagi dengan erat sambil membenamkan mukaku di dadanya.

“Mbak boleh adek nanya satu hal gak?” ucapnya sambil mengelus rambutku.

“Mau nanya apa dek.. hiks.. hiks..” ucapku sambil terus terisak.

“........” dia tidak menjawab pertanyaanku.

“Dek..” ucapku sambil melepaskan pelukanku dan memandang wajahnya. Dia tersenyum sambil menyeka air mata yang menetes di pipiku.

“Mbak kenapa membenci Oka?” tanyanya.

“Padahal Oka nggak berbuat salah kan ke mbak nata” ucapnya

“Tapi kan gara-gara dia, adek jadi...” aku tidak meneruskan ucapannya karena Restu menempelkan jari telunjuknya di bibirku.

“Oka nggak salah atas kejadian itu mbak” ucapnya.

“Tapi...” lagi dia menempelkan jari telunjuknya ke bibirku.

“Ini sudah jadi takdirnya Restu mbak, dan mungkin jika waktu itu Restu nggak ngelakuin hal itu pasti Restu juga bakal meninggal mbak. Kan mbak tau sendiri kalau Restu itu Hemophobia (takut darah) kan” ucapnya sambil tersenyum.

“Pasti dia juga bakal menusuk Restu ketika dia sudah berhasil menusuk Oka. Karena mereka pasti tau jika Restu takut ketika melihat darah yang sangat banyak, terlebih itu adalah darah teman Restu sendiri” sambungnya.

Aku hanya bisa terdiam ketika mendengar ucapan Restu. Dan aku baru teringat akan hal itu. Ketika dipertandingan terakhirnya dia memukul jatuh lawannya hingga kepalanya membentur sudut ring. Sampai kemudian lawannya dinyatakan tewas akibat gegar otak karena pendarahan parah yang keluar dari hidung dan telinganya. Seketika itu Restu langsung jatuh pingsan karena melihat banyaknya darah yang keluar dari telinga dan hidung lawannya.

“Kalau boleh Restu mohon mbak maafin Oka karena memang dia tidak bersalah mbak dan bagaimanapun juga Oka itu sahabat Restu yang selalu melindungi Restu” ucapnya sambil memandang kearahku.

“Iya dek, mbak akan coba untuk memaafkan Oka” ucapku.

“Janji ya mbak” ucapnya.

“Mbak akan mencobanya dek” ucapku.

“Janji ya” ucapnya sambil menyodorkan jadi kelingkingnya.

“Mbak usahakan ya” jawabku sambil menyambut hari kelingkingnya.

Restu terlihat menganggukkan kepalanya lalu dia memelukku kembali.

“Oh iya dek, mbak tadi bertemu seseorang yang mirip sekali denganmu” ucapku sambil mencoba melepaskan pelukannya.

“Beneran mbak?” tanyanya sambil memandang wajahku.

“Iya dek, apa dia itu yang adek maksud dulu” ucapku.

“Jaga dia mbak, karena dialah orang yang akan menjaga mbak nata” ucapnya sambil tersenyum.

“Sayangi dia mbak, karena masa lalunya teramat kelam bagi seorang anak seperti dia. Dan juga bimbing dia, karena adek ingin dia tidak bernasib seperti adek. Adek yakin dia akan bisa merubah suasana kampus XXX mbak” ucapnya lagi.

“Emang masa lalunya seperti apa dek?” tanyaku pada Restu.

“Mbak tanya sendiri aja ke dia” ucapnya sambil tersenyum.

“Emang adek pernah tau dia?” ucapku sambil mengernyitkan dahi.

“Adek hanya pernah tau dari Oka mbak” ucapnya dengan memandang lurus kedepan.

“Jaga dan bimbing dia” ucapnya yang kali ini sambil memelukku.

“Oh iya mbak, adek boleh minta satu hal nggak?” tanyanya sambil memandang mataku.

“Apa itu dek?” tanyaku

“Adek minta mbak berhenti merokok ya, adek nggak mau hanya karena kepergian adek membuat mbak menjadi seorang perokok. Bukannya dulu mbak selalu memarahi adek kalau adek kebanyakan merokok” ucapnya sambil tersenyum padaku.

“Mbak usahain ya” ucapku.

“Mbaaaakk..” ucapnya lagi.

“Iya.. iya.. mbak janji. Bawel banget sih” ucapku sambil cemberut.

Kemudian dia memelukku lagi, kali ini dia memelukku dengan sangat erat.

“Trimakasih ya mbak” ucapnya.

Cup...

Kali ini dia mengecup keningku, entah mengapa kemudian mataku menjadi sangat berat dan terpejam. Seketika aku membuka mata, pemandangan langit-langit kamarku lah yang langsung terlihat olehku.



Bersambung sodara-sodara
 
Status
Please reply by conversation.
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd