Agen Terpercaya  
 
 
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

CERBUNG Entah

Status
Please reply by conversation.
Wanita yang aneh


“hosh hosh hosh hosh” suara nafasku terengah-engah didepan ruang tes yang berada didekat pintu masuk yang aku lewati tadi karena sudah tiga kali naik turun gedung tiga lantai sambil sedikit berlari untuk mencari ruang tempat tesku dan bodohnya aku tidak mengecek gedung ini terlebih dahulu dan memilih mengecek digedung yang terletak di bagian paling belakang dari kampus ini.

Yosh akhirnya ketemu juga, kampret-kampret kenapa staminaku jadi berkurang begini ya. Padahal hanya enam bulan aku tidak ‘bermain-main’ kepasar dan hanya fokus untuk belajar. Yah mungkin setelah ini aku harus sering-sering bermain kepasar lagi” batinku.

Sebenarnya istilah 'bermain-main' dipasar itu adalah usahaku mencari tambahan uang jajan. Bukan karena orang tuaku yang kekurangan, tapi hanya inisiatif ku aja untuk berolah raga sekedar mengangkat belanjaan orang yang berbelanja atau pun menaiki turunkan barang dari kios ke mobil angkut begitupun sebaliknya dan istilah kerennya sih kuli panggul hehe.

Memang hari-hariku lebih banyak berkumpul dengan dengan para preman yang lebih memilih untuk menjadi kuli angkut dari pada memalak pemilik kios dipasar. Pernah kutanya kepada salah satu preman yang disegani disana kenapa mereka mau menjadi kuli angkut, padahal mereka sebenarnya preman yang menguasai wilayah tempatku tinggal. Mereka hanya menjawab “tanya saja pada bapak sampean mas” sambil tersenyum dan diikuti dengan senyuman para preman lainnya yang juga berprofesi sebagai kuli angkut dipasar tersebut. Aneh sebenarnya tapi tak kutanggapi lagi karena bukan urusanku juga untuk menanyakan hal tersebut lebih jauh, yang terpenting kan mereka tidak membuat keributan dipasar ini pikirku.

Kuedarkan pandanganku ke sekitar berharap bertemu dengan teman sekolahku yang mungkin tes disini juga, namun tak seorangpun disini yang aku kenal. Setelah kuperhatikan ternyata mereka semua yang ada disini juga melihatku dengan tatapan aneh. Mungkin mereka melihatku dengan tatapan aneh karena hanya aku sendiri yang memakai baju batik dan celana jins. Ah bodoh amat lah pikirku, toh seperti ucapku tadi “aku tidak menaruh harapan untuk kuliah disini dan aku disini hanya untuk mengetes kemampuan otakku saja. Toh seandainya aku diterima pun bisa dipastikan aku tidak akan memasuki kampus ini.

Kumasuki ruangan ini setelah tadi sempat melihat denah ruang duduk yang ada dipapan pengumuman yang berada didepan ruang tes. Entah sial atau mujur, aku berada tepat didepan meja dosen yang bertugas untuk menjaga tes masuk kali ini. Kulihat ponselku sejenak untuk melihat apakah ada balasan dari mas Oka dengan menyandarkan punggungku pada kusi kayu tempat dudukku. “lima menit lagi tes akan dimulai” batinku. Kupuskan untuk mempersiapkan pensil dan penghapus yang ada didalam tasku agar nanti tidak terburu-baru.

Nampak seorang wanita muda berumur mungkin 25 tahunan dengan tinggi kira-kira 165 cm an memasuki ruangan tes, dia terlihat cantik namun sepertinya dia bukan tipe wanita yang lembut karena terlihat dari caranya berjalan dan dari sorot mata tajamnya. Dia terlihat sangat tegas dengan baju putih yang dibalut blazer warna hitam dan rok span hitam. Matanya tidak begitu bulat namun pandangan matanya terlihat begitu dingin dan ini yang membuatnya nampak tegas. Payudaranya tidak begitu besar namun terlihat bulat dan hal ini menjadikannya terlihat serasi dengan tubuh tinggi semampainya.

“Selamat pagi teman-teman, selamat datang di kampus negri XXX, yah langsung saja kita mulai tes hari agar tidak terlalu lama membuang waktu” ucapnya sambil mengeluarkan kertas coklat dari amplop coklat yang ia bawa sambil melirik kearah kami semua dan berakhir padaku. Sesat dia nampak memperhatikanku, memandang lekat kearahku dari atas kepala hingga ujung kaki.

“Mas kenapa kamu pakai baju batik, bukannya sudah dijelaskan dilembar persyaratan bahwa tes hari ini menggunakan baju putih dan celana hitam” ucapnya sambil melihat kearahku, terlihat dari sorot matanya yang tajam mengisyaratkan bahwa dia tidak main-main dengan perkataannya padaku.

“Maaf Bu, bukan maksud saya untuk tidak mematuhi aturan tersebut tetapi baju seragam putih SMA saya sudah terlanjur saya serahkan kepada pihak sekolah untuk disumbangkan kepada adik kelas yang membutuhkan, dan untuk celana kain hitam saya tidak punya bu” jawabku tenang.

“jangan bohong, kamu belum jadi mahasiswa aja sudah banyak alasan lalu bagaimana nanti kalau kamu sudah jadi mahasiswa hah? Jawabnya dengan sedikit membentak ku.

“Bajumu tidak kamu pakai pasti karena kamu buat coret-coret pada acara kelulusanku kemarin kan, ngaku aja deh” sambunya dengan sedikit ketus sambil tetap menatap ke arahku dengan tajam.

“Huff, yasudah kalau ibu memang tidak percaya” ucapku sambil mengambil tas yang ada dibawa bangku lalu berjalan keluar meninggalkan ruangan tes.

“Mau kemana kamu?” bentaknya sambil tetap memandangku dengan tatapan tajamnya.

“Mau pulang kerumah, lagian kenapa saya harus tetap disini jika jadi sasaran kemarahan ibu hanya karena saya tidak memakai baju seperti yang diharuskan, lebih baik saya pulang saja” ucapku sambil tetap berusaha tenang. Sejujurnya emosiku sudah mulai naik karena apa yang aku ucapkan tadi adalah sebuah kejujuran.

“Jika memang saya tidak diperbolehkan untuk mengikuti tes ini lebih baik mengusir secara halus dari pada berbicara kasar seperti itu” ucapku lagi tanpa melihat kearahnya sambil berjalan kearah pintu.

“tunggu” ucapnya dengan nada yang lebih tinggi dari sebelumnya sambil berjalan mengikutiku. Suasana ruang tes yang tadinya agak ramai karena bisik-bisik dari seluruh peserta akhirnya hening seketika itu juga.

Aku yang sudah diluar kelas segera terhenti karena kurasakan sebuah tangan yang menggenggam lengan kananku. Kemudian aku berbalik dan memandangnya dengan sedikit emosi. Terlihat dia nampak terdiam sambil memandang lekat wajahku. Tak nampak lagi ekspresi tegas seperti tadi pada wajah wanita ini. Aku yang tadinya sudah sedikit emosi menjadi sedikit bingung karena perubahan ekspresinya.

“Siapa kamu? Dan juga kenapa kamu sangat mirip dengan adikku? Tanyanya dengan suara lemah.

“Yang jelas aku bukan adikmu, dan juga baru kali ini kita bertatap muka Bu” jawabku sekenanya karena sejujurnya aku bingung harus seperti apa menjawabnya.

“Lalu kenapa kamu keluar?” tanyanya dengan nada yang sudah mulai tenang.

“Karena sudah nggak minat untuk mengikuti tes ini” jawabku datar seraya merogoh ke dalam tasku. Lalu mengambil sebatang rokok dan membakarnya.

“Nggak sopan” ucapnya sambil meraih rokok yang ada di bibirku lalu membuangnya ketempat sampah yang tidak jauh darinya.

“Ibu ini kenapa sih? Toh juga disekitar sini tidak ada tanda larangan untuk merokok” ucapku kesal. Ia terdiam dengan tetap memandangku, tapi pandangan matanya kali ini sudah berbeda. Nampak matanya mulai berkaca-kaca dengan tetap memandang kearah mataku.

“Ibu ini kenapa? Apa saya ada salah sama ibu sampai ibu begitu terlihat benci kepadaku? Saya minta maaf jika memang saya pernah berbuat salah pada ibu atau mungkin perkataan saya tadi tanpa sengaja sudah membuat ibu marah kepada saya” jawabku bingung ketika melihat matanya mulai berkaca-kaca.

“Tidak, kamu tidak salah” ucapnya sambil terus memandangku lalu kemudian menunduk. Terlihat tubuhnya bergetar dan bulir air mata menetes melewati pipi putihnya yang tanpa dipoles make up sama sekali.

Cuk ada apa sih dengan wanita ini, kenapa sekarang ia jadi menangis. Toh perkataan ku tadi kurasa biasa aja dan tidak menyinggungnya sama sekali” batinku sambil menggaruk kepalaku yang sebenarnya tidak gatal.

“Huff yasudah, saya minta maaf jika perkataan saya tadi menyinggung ibu. Saya tidak ada maksud untuk menyakiti ibu dengan ucapan saya tadi” ucapku dengan pandangan lurus kearah taman yang ada didepan ruang kelas.

“Baiklah saya mohon undur diri karena saya rasa ibu tidak mengijinkan saya untuk mengikuti tes ini” ucapku sambil mulai melangkah meninggalkannya.

“Tunggu, kumohon masuklah kembali” ucapnya sambil menarik tanganku. Kini ia memandang wajahku lagi dengan sesenggukan. Terlihat air matanya perlahan mulai terhenti dan mulai terlihat senyum yang dipaksakan.

Aih aneh sekali wanita ini, tiba-tiba marah, tiba-tiba menangis, tiba-tiba tersenyum” ucapku dalam hati sambil mengernyitkan dahiku karena sejujurnya aku masih bingung dengan wanita ini.

“Nggak, saya nggak akan masuk jika ibu masih menangis. Apa nanti yang dipikirkan peserta tes yang lain jika ibu masuk kedalam masih dengan keadaan menangis” ucapku seraya menyerahkan sapu tangan yang sedari tadi sudah ada ditangan kananku. Untung saja tempatku berdiri ini terhalang papan pengumuman lebar yang ada didepan kelas, sehingga peserta lain yang ada didalam kelas tidak bisa melihatku.

“Terimakasih” ucapnya sambil meraih sapu tangan yang aku berikan kepadanya, lalu iya menyeka air mata yang ada di mata dan pipinya. Sejujurnya sekarang iya sudah nampak cantik dan berbeda seratus delapan puluh derajat jika dibandingkan saat iya memarahiku tadi.

“Oke ayo masuk” ucapnya lagi.

“Tunggu Bu, aku tidak akan masuk jika ibu belum tersenyum. Jawabku mencoba mencairkan suasana terasa mulai mencair.

“Iya” ucapnya seraya tersenyum. Dan kali ini nampak senyumnya begitu lepas dan tidak ada kesan keterpaksaan.

“Nah kalau senyum gitu kan ibu jadi terlihat cantik dan tidak judes seperti tadi” jawabku coba merayunya. Entah kenapa aku tidak canggung seperti ketika berbicara dengan cewek yang ada didepan gerbang tadi. Kali ini rasanya aku seperti berbicara dengan kakak dan ibuku yang ada dirumah.

“Apa kamu bilang?” jawabnya sambil memperlihatkan ekspresi judes namun kali ini sangat kelihatan sekali kalau dibuat-buat.

“Yasudah ibu duluan, kan nggak enak kalau saya ynag masuk duluan” jawabku sambil mempersilahkan ia untuk masuk terlebih dahulu.

“Baiklah” ucapnya sambil berjalan memasuki ruangan dan akhirnya aku mengekor dibelakangnya.

Sesampainya didalam ruang tes suasana begitu hening, tampak raut muka keheranan dari para peserta tes yang memandang kearahku namun kuabaikan saja dan aku memilih untuk fokus mengerjakan soal yang telah dibagikan kepadaku.

...​

“Huff akhirnya selesai juga” batinku. Segera kuraih ponsel yang ada disaku celana sekedar untuk melihat pukul berapa saat ini dan memastikan apakah ada notifikasi.

“Sudah jam satu siang” gumamku lirih.

Seluruh peserta tes yang ada di ruangan terlihat mulai meninggalkan kelas, tapi aku belum beranjak meninggalkan ruangan ini. Aku sengaja masih duduk diruangan ini karena sejujurnya aku malas meninggalkan ruangan karena harus berdesakan dengan peserta lain yang juga akan meninggalkan ruangan ini. Nampak wanita yang berada di depanku juga mulai mengemasi kertas-kertas yang ada di bangkunya.

Kurenggangkan otot badanku untuk mengusir lelah. Lebih tepatnya badanku yang kelelahan karena selama lima jam harus duduk dan mengerjakan soal tes yang ada. Bukannya lemah, tapi berpikir selama lima jam itu sangat melelahkan buatku karena aku tidak dianugerahi otak yang cerdas, hal ini terbukti dengan nilaiku dulu yang bisa dikatakan standart atau lebih bisa dikatakan pas-pasan.

“Yosh mari pulang” ucapku pada diriku sendiri hanya untuk memberi semangat agar tidak kalah dengan rasa capek yang mendera.

“Tunggu” terdengar suara dari dalam kelas sewaktu aku baru sampai diluar pintu kelas.

Ada apa lagi sih” pikirku. Aku pun berhenti dan menoleh kearah wanita itu berdiri. Karena sudah pasti dia memanggilku karena hanya aku yang baru saja akan meninggalkan ruangan ini.

“Ada apa Bu?” tanyaku dengan suara datar.

“Ada waktu? Aku ingin ngobrol-ngobrol denganmu sambil makan siang. Kutraktir, anggap saja sebagai permintaan maaf ku atas kejadian tadi pagi” ucapnya sambil tersenyum.

“Kalau untuk kejadian tadi pagi saya rasa ibu tidak perlu meminta maaf, karena kalau dipikir-pikir kan saya yang bersalah karena tidak memakai baju yang sudah ditentukan” jawabku sambil merogoh kedalam tasku untuk mengambil rokok lalu membakarnya.

“Dan untuk makan siang saya minta maaf Bu, bukan saya tidak mau tapi saya belum lapar” ucapku sambil menghembuskan asap rokok kearah luar.

“Tolonglah, aku hanya ingin ngobrol sebentar denganmu” pintanya sambil mulai berjalan mendekat kearahku sambil membawa map coklat yang berisi lembar soal dan jawaban ditangan kirinya.

“Baiklah jika ibu memaksa, tapi saya hanya akan minum kopi saja karena saya belum lapar” jawabku sambil mulai berjalan namun terhenti karena tiba-tiba saja tangan kiriku sudah digandeng olehnya.

Dia yang tersadar juga ikut berhenti dan melihat kearahku, namun aku hanya diam dan memandangnya dengan tatapan aneh. Kemudian dia berjalan kembali sambil sedikit menarik lenganku dan berkata “ayo kita segera ke kantin, jangan hanya diam dan mematung saja”

Aneh sekali dia ini” batinku, sambil berjalan kembali aku mencoba untuk melepaskan tanganku dari gandengan tangannya namun sia-sia karena dia semakin keras memeluk lenganku dan sekarang kurasakan benda kenyal menekan erat ke lenganku.

“Empuk” ucapku spontan karena himpitan dadanya pada tanganku. Dia kemudian berhenti dan segera menoleh kearahku sambil melotot, tanpa aba-aba dia langsung melepaskan pelukan tangannya dari lenganku dan langsung mencubit lenganku.

“Awww aduuuuh” aku yang tersadar kemudian mengaduh karena merasakan sakit dilenganku dan mengelus-elus lenganku sendiri.

“Ngomong apa kamu hah?” ucapnya sambil tetap melotot kearahku.

“Ehhhh” aku segera tersadar karena kebodohan mulutku yang sering keceplosan itu dan langsung menutup mulutku dengan kedua tanganku.

“Maaf Bu maaf” ucapku sambil tetap menutup mulutku sambil menundukkan muka karena malu.

Kampret bener ini mulut, kenapa selalu seenaknya nyeplos sih” umpatku dalam hati.

“Mesum” ucapnya kemudian berjalan sambil menarik tanganku. Namun kali ini dia tak merangkul tanganku melainkan hanya menggenggam pergelangan tanganku.

“Maaf Bu, maafkan mulutku ini yang sering keceplosan diwaktu enak. Hehehe ” ucapku sambil tersenyum dan berjalan disampingnya.

“Lupakan, dan jangan diungkit lagi” ucapnya sambil terus berjalan tanpa menoleh kearahku.

Sesampainya di kantin aku sedikit merasa bingung dengan tatapan orang-orang yang berada disana yang melihat kearah kami berdua. Segera dia memberi kode agar aku menuju bangku kosong yang ada disudut kantin dengan menunjuk kearah tersebut. Aku hanya membalasnya dengan sebuah anggukan. Kemudian ia melepaskan genggaman tangannya dan berjalan kearah penjaga kantin untuk memesan makanan.

Aku memilih duduk disebelah pojok karena bisa menyandarkan punggung ke tembok sekedar untuk melepas lelah. Kuambil rokok pemberian bapakku saat aku berpamitan padanya tadi pagi sesaat sebelum aku berangkat ke terminal, yah meskipun bukak rokok kesukaanku setidaknya aku bisa sedikit berhemat. Kubakar satu batang sambil menghisapnya dalam-dalam dan menghembuskannya perlahan.

“Asik bener nih nerokoknya, bagi dong sebatang” ucapnya yang ternyata sudah berdiri di sebelahku sambil meletakkan dua cangkir kopi hitam.

“Ah ibu ini bisa saja kalau menegurku” ucapku sambil tersenyum malu karena merasa ditegur.

Puja kerang ajaib, ulululululu

Terdengar bunyi dering ponselku yang ada diatas meja, terlihat nama BAPAK sedang menelponku, hanya kupandangi ponselku sambil tanganku meraih secangkir kopi yang ada di hadapanku lalu menyesapnya.

“Angkat saja, kali aja ada yang penting kan” ucap wanita di dedapanku sambil melirik kearah ponselku.

“Yakin pasti bukan hal yang penting, dan ibu jangan kaget dengan pembicaraanku nantinya jika aku angkat panggilan ini” jawabku datar dengan pandangan lurus kearah pintu keluar.

“Angkat saja, kali aja bapakmu kangen” jawabnya dengan tersenyum sambil menaik-turunkan kedua alisnya.

Kampret berani sekali dia ngeledekin aku” batinku.

“Halo pak” ucapku.
halo le, Pye?” (halo le, gimana?)
“Pye apane?” (gimana apanya?)
Iso gak mau?” (bisa gak tadi?)
“Lumayan”
lumayan opo iki maksude? Lumayan iso ngerjakno opo lumayan empuk? Hehehe” (lumayan apa ini maksudnya? Lumayan bisa ngerjain apa lumayan empuk?)

Uhuk huk huk. Terlihat wanita di depanku tersedak ketika meminum kopinya dan melihatku dengan ekspresi keheranan.

“Podo lumayane” (sama lumayannya) ucapku menjawab pertanyaan bapak sambil melihat kearah wanita di depanku dengan menaik-turunkan kedua alisku.
eh sopo seng keselek iku le?” (eh siapa yang tersedak itu?)
“Seng empuk pak” (yang empuk pak) jawabku iseng.
Oalah yowes le, seng ati-ati yo. Iling-ilingen tujuanmu budal Nang kono iku gae tes, duduk dolan opo maneh gae kisruh” (yasudah le, hati-hati ya. Ingat tujuanmu berangkat ke sana itu untuk tes, bukan bermain ataupun bikin ribut)
“Oke boss”
Yowes bapak tak nerusno nyapu omah, iki sakno ibuk ket maeng sambat kesel soale” (yasudah bapak mau nerusin menyapu rumah, kasian ibuk dari tadi mengeluh capek)
“Oke boss, seng resik ya hahaha” (ok bisa, yang bersih ya hahaha)
Wooo kampret, eh iyo le bapak Kate ngomong” (wooo kampret, oh iya bapak mau ngomong ke)
“Ngomong opo pak?” (ngomong apa pak?)
Bapak kenalno po'o Karo seng due empuk dek ngarepmu iku hehehe” (bapak kenalkan dong sama yang punya empuk didepanmu itu, hehehe)
“Gampang, sesok tak jak moleh terus langsung tak omongno Nang ibuk Yo” (gampang pak, besok tak ajakin pulang terus tak bilangin ke ibuk ya)
Tut Tut Tut terdengar bunyi tanda bahwa telpon telah terputus. “Ah kampret nih bapak” umpatku kesal.

“gendeng” ucap wanita yang ada di depanku sambil menggeleng-gelengkan kepalanya.

“Kok iso bapak ambek anak podo gendenge iku” (kok bisa bapak dan anak sama gilanya) imbuhnya

“Hehe kan tadi sudah kubilang Bu, jangan nyesel jika kuangkat telponnya” jawabku sambil menghisap rokok yang tinggal sedikit lagi akan membakar filternya.

“Emang bapakmu ada disini ya kok bisa tau kejadian tadi?” tanyanya dengan wajah serius

“Enggak Bu, dia dirumah kok. Dikota sebelah tepatnya” jawabku sambil membuang puntung rokok kebawah meja dan meminjamnya.

“Kamu ini loh kebiasaan, kan sudah ada asbak diatas meja kenapa dibuang kebawah sih” ucapnya sambil sedikit cemberut.

“Ehh, kebiasaan?” jawabku sambil mengernyitkan dahi.

“Ehh bukan bukan, maaf maaf” ucapnya sambil menunduk.

Sesaat ia meraih cangkir kopinya dan meminumnya perlahan sambil menatap keatas.

“Huff, oh iya kita sedari tadi ngobrol terus tanpa mengetahui nama masing-masing” ucapnya.

“Haha iya, saya juga baru nyadar. Saya Seno Bu” ucapku sambil mulai menyalakan rokokku lagi.

“Saya Resti Adinata” balasnya sambil tersenyum.

“Hmmm Resti Adinata ya” jawabku sambil memandangnya dan mengangkat sebelah alisku.

“kalau boleh saya panggil Bu Nata aja ya Bu”. jawabku asal, sebenarnya aku bisa menebak jika panggilannya adalah resti. Tapi karena ada satu hal dari masa laluku yang membuatku tidak akan memanggilnya resti.

“Ehh... Sepertinya ada kenangan buruk nih dengan nama 'Resti'” balasnya sambil tersenyum, Namun iya terlihat sedikit berpikir kala mendengar aku memanggilnya nata.

“Hehe Cuma masa lalu Bu, dan saya malas untuk membicarakannya” jawabku datar.

“Hmmm... Oh iya, yang telpon tadi itu bapakmu? Ucapnya.

“Iya Bu, kenapa?” jawabku sambil menghembuskan asap rokok kearah samping.

“Dia peramal ya? Kok dia bisa tau 'insiden' tadi” tanyanya sambil menggerakkan dua jarinya memberi kode petik dua padaku.

“Entahlah Bu, saya juga bingung. Dia seperti selalu mengetahui apa yang terjadi padaku meskipun dia tak bersamaku” jawabku cuek sambil menyesap kopiku.

“Tapi kok kamu nggak seperti ngomong sama bapakmu, lebih seperti ngomong sama temanmu” ucapnya

“Itu dia Bu, dia berubah menjadi sosok 'temanku’ ketika pertama kali aku bermasalah waktu di SMA, dan hal itu bertolak belakang saat sebelum aku terlibat masalah untuk pertama kalinya. Dulunya dia sangat diktator dalam mendidikku” balasku sambil menghembuskan asap rokok.

“Eh kok jadi bahas bapakku Sih Bu, apa ibu mau saya kenalkan sama bapakku?” jawabku iseng untuk mengalihkan topik pembicaraan.

“Ih gak lah, males aku kalau nantinya jadi ibu tirimu” jawabnya sambil tertawa.

“Ya kan gakpapa Bu, kali aja ada kejadian seperti stepmom stepmom gitu. Ehhh...” balasku lalu kemudian tersadar dan menutupi mulutku dengan kedua tanganku.

Kampret kampret, kok bisa keceplosan lagi. Kampret bener nih mulut” batinku sambil menahan malu.

“Ehhh,,, kamu,,” jawabnya sambil melotot kearahku.

“m..maaf Bu, maaf. Buka itu maksudku. M..maksudku tadi itu stepmom stepmom jahat pada anak tirinya. Yang selalu jahat pada istri tua dan anak tirinya” balasku sambil menggaruk belakang kepalaku sambil tergugup.

“Hahaha kamu itu ya. Tingkah polamu itu loh lucu banget, mirip sama adikku” jawabnya sambil tertawa menutup mulutnya dengan tangan kanan.

“lho yang bener Bu? Berarti adik ibu sama gantengnya sepertiku dong” jawabku sambil cengengesan.

Dia terdiam sambil mengarahkan pandangan keatas, nampak matanya berkaca-kaca dan bahunya bergetar. Sesaat ia mengeluarkan sapu tangan dariku yang kuberikan waktu dikelas tadi dan mulai menyeka air matanya.

“Maaf Bu kalau saya ada salah sama ibu” ucapku spontan karena kebingungan melihatnya menangis.

“Nggak kok, aku cuma teringat dengan adikku” ucapnya sambil mencoba tersenyum. Nampak raut kesedihan dari ekspresi wajahnya.

“Kalau kangen ya dihubungi dong Bu, jangan tiba-tiba nangis kayak gitu, kan saya jadi takut dikira ngapa-ngapain ibu” ucapku sambil memberi kode padanya kalau banyak orang yang melihat kearah kami.

“Hehe maaf ya” ucapnya sambil tersenyum

“Oh iya, jangan panggil aku ibu dong. Aku kan masih 26 tahun. Emangnya aku terlihat sudah seperti ibuk-ibuk ya” ucapnya sambil cemberut tapi nampak dibuat-buat.

“Ibuk-ibuk seksi” ucap mulutku Begitu saja tanpa bisa ku cegah.

“Eh buset ini mulut enak banget nyeplosnya ya” ucapku sambil menampar-nampar pelan bibirku.

“Kamu itu bisa aja” ucapnya tersipu malu, terlihat jelas semu merah di pipinya. Sesaat ia melihat jam tangan yang ada ditangan kirinya.

“Ibu sudah mau pulang?” tanyaku padanya.

“Iba ibu iba ibu, memang kapan aku nikah sama bapakmu.” Ucapnya dengan nada marah namun jelas terlihat dibuat-buat.

“Eh maaf Tante” balasku sekenanya.

“Tante? Emangnya aku istri om mu?” tanyanya sambil mengernyitkan dahi.

Kok dia jadi mirip Tante Qthi tadi sih” keluhku dalam hati.

“Bukan begitu maksudku, aku nggak enak kalau harus manggil 'mbak', karena ini masih dikampus” jawabku.

“Nggak apa-apa kok, lagian juga mungkin mereka mengira kamu itu adikku” balasnya.

“Huff, iya deh” jawabku sambil mematikan rokok kedalam asbak yang ada di depanku.

Puja kerang ajaib, ulululululu

Kembali terdengar dering ponselku yang ada diatas meja dan terlihat nama mas oka berada dilayar ponselku. Secepat kilat kuangkat panggilan mas oka, karena sedari tadi kutelpon tapi tak dijawabnya.

“Halo mas”
Halo sen, Nok ndi kowe?” (halo sen, dimana kamu?)
Kantin dosen” ucap mbak Nata namun hanya gerak bibirnya saja.
“Kantin dosen mas ok” jawabku
Edan kon, Lapo ngopi ndek kunu iku?” (gila kamu, ngapain ngopi disitu?)
“Lha wes kadung lungguh e, opo'o emange nek ngopi ndek kantin dosen?” (lha udah terlanjur duduk, emangnya kenapa kalau ngopi di kantin dosen?)
Ngkok ae tak jelas no. Sido mampir nang umahku a? Iki bapak Ket wingi takon terus Nang aku” (nanti aja kujelaskan. Jadi mampir ke rumahku gak? Ini bapak dari kemarin nanya terus ke aku)
“Asline kepingin mas ok, tapi aku males opar oper angkot e” (sebenarnya ingin mas ok, tapi aku malas naik turun angkot)
Halah, ngomong ae njaluk susul tell gathell” (Halah, bilang aja minta dijemput tell gathell)
“Hahaha wes weruh ngunu, Lapo takon barang” (hahaha sudah tau gitu, ngapain nanya)
Yowes entenono, sepuluh menit ngkas aku wes ndek kunu” (yasudah tungguin, sepuluh menit lagi aku dah disitu)
“Woyoo” ucapku seraya mematikan telepon dari mas Oka.

“Temanmu?” tanya mbak Nata.

“Bukan mbak, tetanggaku tapi sudah pindah ke kota ini dan sudah seperti masku sendiri” jawabku sambil membakar rokok lagi.

“Ooo. oh iya sen, jangan kebanyakan ngerokok. Gak baik” ucapnya sambil menatap mataku.

“Gak baik buat dompet ya mbak, hehehe” ucapku sekenanya. Karena aku sangat tidak suka diingatkan dengan canduku dalam merokok yang sudah seperti kenalpot 2 tak ini.

“Maaf jika kamu tersinggung dengan kata-kataku barusan” ucapnya sambil tetap memandang mataku

“Nggak apa-apa mbak, aku tau kok kalau itu tandanya mbak sayang dan perhatian padaku” ucapku sambil tersenyum.

“Oh iya sen, boleh aku minta nomor mu? Siapa tau suatu saat aku butuh teman untuk sekedar ngopi dan ngobrol” ucapnya sambil mengeluarkan ponselnya.

“Iya mbak, 0821xxxxxxxx. Mbak bisa menghubungiku via WhatsApp saja. Karena kalau via SMS gak bakal ku balas kecuali mbak yang telpon, dan juga jangan sekali-kali kirim SMS mama minta pulsa ya mbak hehe” ucapku sambil menghembuskan asap rokok.

“Gak bakal aku SMS mama minta pulsa, tapi aku SMS Tante minta sayang” ucapnya sambil menaik-turunkan alisnya.

“Haha akhirnya ngaku juga kalau udah tante-tante ya” ledekku padanya.

“Sialan kamu sen” ucapnya sambil mencoba mencubitku tapi hanya bercanda.

Nampak dari arah pintu masuk seorang pemuda berjalan dengan menggunakan celana jins pendek dan kaos oblong berwarna hitam. Sepintas pemuda jangkung dengan tinggi 185 cm melihat kearahku sambil melambaikan tangannya. Aku balas lambaian tangannya dengan mengacungkan jari tengahku kearahnya. Ya, dialah mas Oka yang sedari tadi kutunggu batang hidungnya. Mbak Nata yang posisi duduknya membelakangi pemuda itu lantas menoleh kebelakang kemudian memandang kearahnya. Sepintas mas Oka terlihat terkejut ketika melihat mbak Nata yang memandangnya. Nampak mas Oka berjalan kearahku namun dengan menundukkan kepalanya tanpa berani melihat kearah mbak Nata. Senyum yang sedari tadi tersungging di bibirnya seketika itu juga hilang. Seketika ia terlihat sangat gugup kala berjalan kearahku.

“Dia orang yang sedari tadi kamu tunggu sen?” tanya mbak Nata dengan nada suara ketusnya.

“Iya mbak” jawabku kebingungan dengan perubahan suasana hati mbak Nata.

“Yasudah aku pulang dulu, dan kamu jangan terlalu dekat dengan bajingan itu” ucap mbak Nata kepadaku seraya berdiri dan meraih tasnya kemudian berjalan keluar.

Aku yang tak tau apa yang terjadi hanya bisa termenung melihat mbak Nata berjalan keluar meninggalkan kantin. Mas Oka masih nampak menunduk tak berani bersuara kala berpapasan dengan mbak Nata. Lantas aku mempersilahkan mas Oka untuk duduk dan lalu membakar rokokku lagi. Entah apa yang terjadi pada mereka berdua batinku. Kulihat mas Oka menoleh kebelakang ketika sudah duduk dikursi yang ada didepanku.

“Huuuh” dengusnya sambil meraih bungkus rokokku yang ada diatas meja lalu mengambil sebatang dan membakarnya. Nampak ia sedang mencoba untuk mengurangi kegugupannya dengan menghembuskan asap rokok itu perlahan-lahan.

“Opo’o mas?” (kenapa mas?) tanyaku sambil memandangnya heran.

“Ngkok ae tak critani” (nanti saja aku ceritain) jawabnya lalu menghisap rokok dalam-dalam.

“Oke bon” jawabku tetap memandangnya.

“Gausah ngunu po'o nek ndelok aku” (jangan gitu kalau ngelihat aku) ucapnya.

“Biasa ae ta, gausah ngegas ngunu. Mosok gak wero ta nek adik'e Iki kangen” (biasa saja, gak usah ngegas gitu. Masa gak tau kalau adiknya ini kangen) ucapku menarik turunkan alisku.

“Asuuuu, males aku mbok kangeni tell” (asuuuu males aku kamu kangeni tell) ucapnya dengan sedikit kesal.

Hahahaha tawa ku lantas mas Oka pun juga iku tertawa. Terlihat orang-orang yang ada disekitar kami memandang kearah kami dengan pandangan anehnya.

“Cabut Saiki a?” (pulang sekarang?) tanya mas Oka.

“Gasss” ucapku seraya berdiri dan memasukkan bungkus rokok kedalam tas. Lantas aku berjalan kearah ibu kantin untuk membayar minumanku dan minuman mbak Esti tadi.

“Pinten buk?” (berapa buk?) tanyaku pada ibu kantin

“Sampean seng ngopi Karo Bu Resti maeng ta?” (kamu yang ngopi sama Bu Resti tadi?) tanya ibu kantin dengan tatapan aneh.

“Nggeh buk” (iya buk) ucapku sambil merogoh saku belakang untuk mengambil dompet.

“Wes mari dibayar mbak Resti maeng mas” (tadi sudah dibayar mbak Resti mas) jawab ibu kantin.

“Ooo nggeh pun buk, matur nuwun” (ooo yasudah Bu, terimakasih) balasku berbalik.

“mas.. mas..” ucap ibu kantin seraya menghentikan langkahku.

“Kulo buk?” (saya buk?) tanyaku seraya menunjuk diriku sendiri.

“Iyo, sampean Iki dulure Bu Resti ta?” (iya, kamu ini sodaranya Bu Resti?) Tanyakantin sambil melihatku dari ujung rambut sampai ujung kaki.

“Sanes buk, Kulo wau namung tes teng mriki” (bukan buk, saya tadi hanya tes disini) jawabku sambil tersenyum.

“Ooo tak kiro kembarane adik'e Bu Resti” (ooo saya kira kembaran adiknya Bu Resti) jawabnya sambil manggut-manggut.

“Sanes buk, hehehe. Nggeh pun monggo buk” (bukan buk, hehehe. Yasudah mari buk) jawabku.

“Yo mas, ati-ati” ( yaas, hati-hati) jawabnya. Kemudian aku berjalan kearah luar menuju arah mas Oka yang sedang menungguku di samping pintu keluar.

“Suwene tell?” (lama banget tell) tanya mas Oka

“Iyo mas, wes resiko dadi arek ganteng. Nang kono Nang kene mesti ditakoni wong-wong” (iya mas, sudah resiko jadi anak ganteng. Kesana kesini selalu ditanyain orang-orang) ucapku sambil mengusap-usap daguku.

“Ganteng kok seng nakoni emak-emak” (ganteng kok yang nanyain emak-emak) ucapnya sambil meledekku.

“Hahahasuu” ucapku sambil menggaruk belakang kepalaku.

Lalu kami pun pergi kerumah mas Oka dengan menaiki motor RX-King milik mas Oka. Tapi ketika masih berada ditengah perjalanan mas Oka tiba-tiba menghentikan motornya tepat di kios pedagang bunga.

“Kate Lapo mas?” (mau ngapain mas?) Tanyaku.

“Tuku kembang lah tell, mosok kate murel hehe” (beli bunga lah tell, masak mau ena'-ena', hehe) ucapnya sambil tertawa.

Seketika mas Oka masuk kedalam kios meninggalkanku yang masih kebingungan. Tak seberapa lama mas Oka keluar kios dengan membawa bunga tujuh rupa yang biasa dibuat nyekar ke pemakaman.

“Ngkok mampir nang kuburane koncoku disek Yo” (nanti mampir sebentar ke makam temanku ya) ucapnya sambil menunjukkan bunga yang ada ditangan kanannya.

“Oalah tak kiro kembang iku Kate pean gadoh” (ooo saya kira bunga itu mau sampean makan) jawabku manggut-manggut.

“Gathell, mbok kiro aku jaranan a tell gathell” (sialan, kamu kira aku pemain muda lumping apa) jawabnya sambil menjual kepalaku.

“Hahahaha” jawabku hanya tertawa.

Kemudian kamipun melanjutkan perjalan kearah makam teman mas Oka. Sesampainya disana terlihat ada sebuah motor RX-king yang mirip dengan milik mas Oka, tapi sepertinya mas Oka tidak melihatnya.

Kemudian kamipun masuk kedalam komplek pemakaman sampai saat pandanganku mengarah ke seorang wanita yang sedang berjongkok disamping makam yang ada didepanku.

sepertinya aku nggak asing dengan orang itu” batinku. Kami pun terus melangkah sampai dekat dengan orang yang sedang berjongkok itu. Kemudian dia pun menoleh kearah kami karena mungkin terganggu dengan suara langkah kaki kami.

Aku terkejut kala ngetahui bahwa orang yang ada didepanku adalah mbak nata. Nampak matanya memerah entah karena habis menangis ataupun marah.

“Mau ngapain kalian kemari?” ucapnya dengan keras.

“Lho mbak Nata kok disini” ucapku bersamaan dengan mbak Nata.

Aku terkejut dengan ucapan mbak nata yang sepertinya sepertinya sangat marah. “kenapa sih wanita ini? Apa dia marah pada mas Oka?” batinku.

“Ehh.. s..sa..ya m..ma..u nengokin Restu mbak” ucap mas Oka tergagap. Terlihat ia menundukkan wajahnya dan menyembunyikan bunga yang ada ditangannya kembalikan badannya.

Aku yang merasa bingung dan terkejut akan hal ini segera berinisiatif meninggal tempat ini. Segera ku menarik tangan mas Oka sambil berjalan meninggalkan tempat ini. Mas Oka yang terkejut karena tarikan tanganku langsung berjalan mengikutiku.

“Maafkan aku sen, Gara-gara aku, dia juga ikut membencimu” ucap mas Oka sambil tetap menundukkan wajahnya.

“Santai ae lek, ngkok tak speak e cek gak purik maneh pacare samean, hahaha” (santai aja paman, nanti tak rayunya biar gak marah lagi pacarmu) jawabku kemudian tertawa.

“Pacar ndasmu amoh kui tell, trus Ket kapan awakmu wani nyepik kodew?” (pacar kepalamu lunak itu tell, terus sejak kapan kamu bermain ngerayu cewek?) Jawab mas Oka yang sudah mulai kembali ketabiatnya semula.

“Lhoh emange mbak Nata iku duduk pacare samean a?” (lho emangnya mbak Nata itu bukan pacarmu kah?) Jawabku kebingungan.

“Yo duduk lah tell, ngkok ae tak critani” (ya bukanlah tell, nanti aja tak ceritain) jawab mas Oka.

“Eh sek sek diluk” (eh sebentar dulu) jawab mas Oka sambil berjalan kearah seorang petugas pemakaman yang terlihat baru keluar sebuah bangunan kecil.

“Pak Dhe” ucap mas Oka sambil mengajaknya bersalaman.

“Ohh sampean mas, Pye Pye?” (ohh kamu mas, gimana gimana?) Jawabnya sambil menjabat tangan mas Oka.

“Pak Dhe arep njaluk Tulung sekarne kembang Iki Nang makam seng biasane tak Jujuk ya” (Pak Dhe mau minta tolong buat naburin bunga ke makam yang biasa saya tuju) ucap mas Oka sambil menyerahkan sekantong bunga yang ada ditangannya.

“Okee, eh tapi dungaren kok gak nyekar dewe?” (oke, eh tumben gak nyekar sendiri?) Jawabnya sambil mengernyitkan dahi.

“Gak popo pak dhe, koyok e lagi onok keluarga e sik an” (gak papa pakdhe, sepertinya sedang ada keluarganya) jawab mas Oka sambil tersenyum.

“Oalah, oyi wes” (ooo oke) jawabnya sambil tersenyum juga.

“Iki gawe ngopi Karo tumbas rokok pakdhe” (ini buat ngopi sambil beli rokok pakdhe) jawab mas Oka sambil menyodorkan selembar uang dua puluh ribuan.

“Halah gak usah mas. Padane karo sopo we” (Halah nggak usah mas, kayak sama siapa saja sih) jawabnya sambil menolak uang tersebut.

“Lha nek samean tolak ngene aku maleh gak sido njaluk tulung pak dhe” (kalau anda tolak gini saya gak jadi minta tolong pak dhe) jawab mas Oka sambil berusaha meraih bunga yang ada ditangan petugas pemakaman.

“Wealah, ngunu ae nesu. Yowes yowes kene” (gitu aja marah, yaudah sini) jawab orang tersebut sambil menengadahkan tangannya.

“Nah nek ngene kan penak aku nek arep njaluk tulung maneh, hehe” (nah kalau gini kan enak kalau saya mau minta tolong lagi) jawab mas Oka sambil tersenyum lalu menyerahkan uang yang ada ditangannya.

“Yowes aku tak balik dhisik Yo pak dhe” (yasudah saya balik dulu ya pak dhe) ucap mas Oka sambil berjalan lalu merangkul pundak ku.

“oyi, ati-ati sam” jawab petugas itu.

Mas Oka hanya menjawab dengan mengangkat jempolnya. Kemudian kamipun jalan kearah rumah mas Oka.

Gimana ya kabar budhe Laras dan pakdhe Narto? Ah sudahlah, nanti juga bakal ketemu” Batinku saat berada dijalan ketika menuju rumah mas Oka.



Bersambung sodara-sodara
 
Status
Please reply by conversation.
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd