Agen Terpercaya  
 
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

fanfic arumi bachsin "RUN AWAY"

treezjantan

Suka Semprot
Daftar
22 Apr 2014
Post
14
Like diterima
55
Bimabet
Maaf sebelum nya klo ini repost...
hanya ingin mengangkat kembali maha karya suhu "SIGANTENG_RUSUH"


“Kalo kamu tidak bisa menerima apa keputusan papa, lebih baik kamu keluar dari rumah ini. Dan saat kamu keluar dari rumah ini, kamu bukan lagi anakku! Camkan itu baik-baik!”

“Ooh, fine... ok! Gue keluar sekarang juga dari rumah terkutuk ini, kalau itu maunya papa. Maaf tuan Handoko yang terhormat, selamat malam…”

Pertengkaranku dengan papaku yang semakin menjadi dan bertambah sengit malam itu. Sebagai manusia normal yang masih punya hati nurani, tentunya tak akan bisa menerima dan ikhlas begitu saja dengan ini semua. Menerima papa menikah lagi sementara pusara almarhum mama belum juga kering. Tapi... itulah kenyataan yang harus aku hadapi. Secara sepihak dan semena-mena, papaku, tuan Handoko yang terhormat, menikah lagi saat belum genap 100 hari meninggalnya almarhum mama karena sakit kanker otak yang di deritanya.

Entah apa sebenarnya yang ada di dalam pemikiran papa. Tak bisakah dia meluangkan waktu sejenak untuk sekedar berkabung mengenang kepergian almarhum mama, sebelum memutuskan untuk menikah lagi. Tanpa pemberitahuan atau musyawarah terlebih dahulu dengan aku sebagai anak tunggalnya, papa tiba-tiba saja memperkenalkan seorang wanita yang katanya istri barunya sebagai pengganti almarhum mama. Sementara masih jelas terngiang dan terbayang segala kenangan manis bersama almarhum mama yang tak akan pernah bisa aku lupakan atau tergantikan. Dan pada saat seperti itu aku harus bisa menerima dan mengakui wanita jalang itu sebagai pengganti almarhum mama. Tak semudah itu aku bisa menerimanya. Apalagi di saat aku masih berkabung sepeninggal almarhum mama seperti ini. Di saat segala memory indah itu masih jelas terasa.

Sampai kapanpun aku tidak akan pernah bisa menerima dan mengakui wanita jalang itu sebagai pengganti almarhum mama. Sampai mati mamaku tak akan pernah terganti. Walaupun itu harus aku bayar mahal dengan keluar dari rumah ini, meninggalkan segala kemewahan ini, dan tak lagi diakui oleh tuan Handoko yang terhormat sebagai anaknya, aku ikhlas. Yang pasti, sampai matipun aku tak akan sudi menerima ini semua. TIDAK...!!!

Fine, aku terima kalau itu maunya tuan Handoko. Yang jelas, sampai kapanpun aku tak akan pernah berubah, aku tak akan pernah menerima dan mengakui pernikahan ini. Sekali lagi kupertegas, aku tak akan pernah mau mengakui pelacur bangsat itu sebagai istri papaku.

Oh maaf, tuan Handoko.

Mama, maaf aku harus pergi. Aku tak bisa berlama-lama berada di rumah terkutuk ini. Mama tenanglah beristirahat di alam sana, mama akan selalu berada di hatiku, dan selamanya mama tak akan pernah terganti. Beristirahatlah dalam damai, ma... love you mom...

Bergegas aku keluar dari rumah terkutuk itu setelah berpamitan pada potret mendiang mama yang terpajang indah di tembok kamarku. Dengan berbekal uang seadanya dan beberapa potong pakaian di dalam tas ransel, aku langsung menggendarai motor antik kesayanganku pergi dari rumah yang dulu menjadi rumah bahagiaku, tanpa arah dan tujuan yang pasti. Terpaksa aku harus pergi meninggalkan rumah yang dulu pernah menggoreskan kenangan indah tentang sebuah keluarga kecil bahagia bersama almarhum mama tercinta.

Mau kemana aku setelah ini? Akupun tak tahu harus kemana. Kalaupun aku harus hidup di jalanan, sepertinya itu lebih baik daripada harus tinggal dengan segala kemewahan dan menyaksikan perempuan jalang itu berada di tengah-tengah kami mengantikan posisi mama sebagai istri dan nyonya tuan Handoko. Tuan yang beberapa saat yang lalu adalah papaku, dan sekarang tuan handoko adalah mantan papaku.

“Aaaaaahhhh… bangsaaaattt…!!!” Mengendarai motor antik Honda cb 100 full modif boober warna hitam kesayanganku hadiah ulang tahun dari almarhum mamaku tercinta, aku menyusuri jalanan kota Jakarta di bawah langit malam yang sedang mendung tanpa arah dan tujuan pasti.

oh... kenapa langit pun seakan ikut bersedih dan meratapi. Akhirnya hujanpun turun dengan derasnya meneteskan air matanya membasahi bumi pertiwi. Deras hujan yang membasahi tubuhku, mengaburkan air mata yang tak kalah derasnya mengalir dari sudut sudut bening mataku.

“Menangislah bila harus menangis. Menangislah lepaskan segala beban jiwamu. Caci makilah dunia terkutuk ini sepuas hatimu!” coba kukuatkan hati dan jiwaku yang sedang terluka parah terpuruk goyah.

Dengan badan basah kuyup, aku masih terus memacu motorku menembus lebatnya belantara hujan. Tak kuhiraukan lagi ragaku yang menggigil kedinginan karena basah air hujan dan dinginnya malam. Yang ada di dalam benakku saat ini hanyalah pergi dan lari sejauh mungkin, jauh tanpa harus bersinggungan atau berhubungan lagi dengan keluarga tuan Handoko. Atau bila perlu dan mampu, aku ingin lari dari dunia terkutuk ini. Biarlah aku hidup dengan jalanku sendiri. Biarlah aku jalani hidup ini dengan apa mauku, dengan segala kenangan indah almarhum mama yang terpatri suci di sanubariku, dan dengan segala dendam kesakitanku. Seumur hidup aku akan selalu dan menjaga dendam. Rasa sakit ini terlalu dalam menyayat melukai hati dan jiwaku.

Malam semakin larut dan hujanpun belum menunjukkan tanda-tanda akan reda. Dengan badan basah kuyup kedinginan, kuhentikan motorku di sebuah warung kopi tenda tepi jalan yang berada di emperan sebuah toko yang sudah tutup. “Kopi item, bang... yang pait ya...” kataku.

Sambil menunggu kopi pahit pesananku siap, aku mendorong motor antikku naik, meneduhkannya di pojok emperan toko itu. Kutanggalkan jaket kulit hitam yang kukenakan sambil mengeringkan badanku yang basah kuyup oleh air hujan. Kugerai rambut panjang sepundak bergelombangku dan mencoba mengeringkannya.

“Kopinya, mas...”

“Oh iya... makasih ya, bang.” langsung tanpa basa-basi aku seruput kopi pahit nan panas itu sambil menikmati sebatang rokok filter ketengan yang dijual di kedai kopi tersebut. Kapi pahit ini ternyata masih lebih manis dari derita dan kesakitanku, panas kopi ini ternyata tak sepanas luka hatiku. Aku duduk bersila di pojokan emperan toko itu, melamun merenungi pahitnya derita hidup dan kecewa yang harus aku alami.

Oh iya, hampir lupa. Namaku Andika Bayu Handoko, biasa dipanggil Dika, dan aku baru berusia 21 tahun. Sebelum sepeninggal almarhum mama dan huru-hara yang terjadi saat ini, hidup yang aku jalani sangatlah bahagia dan indah. Aku lahir dan besar di tengah tengah keluarga kecil bahagia yang sangat berkecukupan dan hormonis. Tak hanya itu saja. Aku juga di anugerahi dengan fisik dan penampilan yang sempurna.

Wajah bermata tajam berhidung mancung, sudut-sudut wajah tegas nan gagah semakin merupawankan paras ketampananku. Postur tubuhku yang lumayan tinggi tegap dengan body atletis semakin menunjang kesempurnaan fisik lelaki yang menjadi idaman para gadis-gadis, yang membuat mereka semakin menggilaiku. Dengan rambut ikal panjang sepundak ala Ali Topan, semakin mempertegas kesan cool dan machonya aku. Akulah mungkin gambaran nyata Ali Topan masa kini.

Walaupun aku hidup di tengah-tengah keluarga yang sangat berkecukupan, tak pernah ada sedikitpun dalam benakku hasrat untuk memamerkan atau menyombongkan semua itu. Aku lebih senang menggunakan dan membanggakan motor klasik CB 100 kesayanganku kemana-mana, dari pada mengendarai mobil-mobil mewah yang berderat terpajang di garasi rumahku. Dan saat ini aku tercatat sebagai seorang mahasiswa semester 4 di sebuah unifersitas terkenal di Jakarta.

Kehidupanku yang dulu indah itu sekarang lenyap sirna begitu saja seakan tak berbekas sama sekali.

Pandanganku melayang menyapu ke sekaliling, mencoba mencari tau di mana sekarang aku berada. Hari sudah semakin larut malam dan hujanpun masih saja turun dengan derasnya menyirami tanah bumi pertiwi, seolah sedang ikut menangis dan meratapi kesakitanku.

“Maaf, mas... udah mau tutup, mas.” kata sang abang tukang kopi sambil mengambil gelas bekas kopiku yang sudah kosong.

“Gak sampai pagi, bang?”

“Biasanya sih sampe pagi, mas. Tapi kayaknya hujannya gak bakalan reda ni mas, malah makin deres tu. Mendingan tutup ajalah, mas. Lagian juga sepi banget ni.”

Aku bisa mengerti. Akupun membayar kopi dan rokok yang tadi aku ambil sembari membantu sang abang tukang kopi beres-beres menutup lapak tendanya.

Dan setelah kepergian sang abang tukang kopi itu, sekarang aku benar-benar sendirian berteduh di emperan toko itu. Untung saja aku punya sebungkus rokok gudang garam filter buah pemberian sang abang tukang kopi tadi karena sudah mau membantu menutup lapaknya. Lumayanlah untuk teman iseng di tengah deras hujan dan dinginnya malam ini.

Saat aku sedang asik melamun sambil menghisap sebatang rokok filter, tiba-tiba saja ada seorang gadis muda berlari di tengah hujan yang deras dan tanpa permisi terlebih dahulu langsung bersembunyi di belakang motorku yang terparkir di sudut emperan toko yang gelap. Sesaat tatapan mata kami beradu.

Terlihat raut wajah ketakutan dari gadis itu seakan sedang ada sesuatu yang mengejarnya. Gadis itu mengatupkan kedua telapak tangannya, seakan memohon sesuatu kepadaku yang entah apa itu.

Tak lama berselang, terlihat dua orang pria berbadan kekar yang terlihat seperti bodyguard berlari di tengah derasnya hujan, seakan juga sedang mengejar sesuatu.

“Mas, lihat ada cewek baju item lari lewat sini gak?” tanya salah satu dari pria berbadan kekar tersebut.

“Kurang tau tuh, bang.” jawabku spontan yang entah mengapa aku berbohong. Padahal aku tahu dengan pasti, bahwa cewek yang kedua orang ini maksud sedang bersembunyi di kegelapan pojokan di balik motorku.

“Tolong jangan bohong, mas.” tanya pria itu lagi yang sekarang ditambahi dengan sorot mata tajam seakan menantang.

“Kenapa, bang, kok pake melotot segala? Kalo gue bilang gak tau ya gak tau, bang!” balasku sambil beranjak berdiri dari dudukku seolah menjawab tantangan pria berbadan kekar itu.

“Udah lah, ntar aja... kita kejar ke sono aja yuk.” ajak teman pria tersebut. Kemudian kedua pria tersebut pergi sambil masih diiringi dengan tatapan matanya yang seakan menantang itu.

“Makasih, mas...” arti penafsiranku akan isyarat telapak tangan gadis itu dengan tubuhnya yang menggigil basah kehujanan setelah kedua bodyguard itu telah jauh pergi.

Aku hanya membalas ucapan isyarat terima-kasih gadis itu dengan sebuah anggukan dan senyuman kecil. Lama gadis itu sembunyi di balik motorku, dan akupun kembali duduk di tempatku dan kembali menikmati sebatang rokok untuk mengusir dinginnya malam. Kulihat gadis itu menggigil kedinginan dengan pakaiannya yang basah kuyup. Pakaiannya yang basah dan serba mini (hot pants dan tank top warna hitam) tak mampu melindungi tubuh mungilnya dari dinginnya angin malam saat hujan ini. Timbul rasa iba akan keadaan mengenaskan gadis muda itu.

Kuambil sepotong sweter dari tas ranselku yang kedap air, dan kuberikan kepada gadis yang sedang menggigil kedinginan itu. “Pake nih...” kataku sambil menyerahkan sweter kelabu itu.

Gadis itu menerima sweter kelabu pemberianku, tapi bukannya langsung memakai sweter yang kuberikan, gadis itu malah menatapku dengan lekatnya dengan tatapan mata sayu yang sulit untuk diartikan.

“Pake... kedinginan tu kamu.” aku berkata lagi. “Oh iya... ok, gue balik badan. Tenang aja, gue gak bakalan ngintip kok.” kataku sambil membalikkan badan membelakangi gadis itu.

Sampai di sini masih belum ada sepatah katapun yang keluar dari mulut gadis muda itu. Hanya melalui tatapan matanya dan penafsirankulah kami berkomunikasi. Saat aku sedang berbalik membelakanginya, gadis itu mengganti pakaiannya yang basah dengan sweter kelabu yang aku berikan. Setelah gadis itu selesai berganti pakaian, aku pun kembali berbalik ke arahku semula dan kembali menikmati sebatang rokok filter.

Malam semakin larut dan hujanpun sudah reda. Bergegas aku memakai kembali jaket kulitku yang sudah lumayan kering, kembali bersiap melanjutkan perjalanan tanpa arah dan tujuanku, meninggalkan gadis muda itu sendirian di emperan toko tempat kami berteduh. Kuambil motorku yang di pakainya sebagai tempat persembunyian, kunyalakan dan bersiap kembali melaju menembus kegelapan dan dinginnya malam.

Tapi ada sesuatu yang menggangguku. Saat aku hendak memacu motorku, tiba-tiba saja gadis muda itu meloncat naik di boncengan motorku. “Eh, mbak... apa-apaan ini? Maaf ya, gue harus pergi.”

Gadis itu tak mengindahkan omonganku dan masih diam duduk di boncengan motorku.

“Mbak, maaf ya... tolong turun, mbak.” kataku lagi sambil mematikan mesin motorku dan turun dari motor.

Gadis itu masih saja diam tak menjawab. Tak ada sepatah katapun yang keluar dari mulut gadis itu. Hanya tatapan mata sayu misteriusnya yang seakan menjawab setiap perkataanku.

“Mbak maunya apa sih? Udah deh, mbak... gue mo pergi dan gue gak bisa bawa mbak. Gue mohon mbak turun dari motor gue ya... please, mbak. Lagi pula mbak kan gak kenal siapa gue kan? Kalo gue pemerkosa ato pembunuh gimana coba? Mau mbak gue perkosa, hah?!” hardikku semakin kesal karena tak bisa menurunkan gadis itu dari motor CB 100 boober kesayanganku.
Semua usahaku itu tenyata hanyalah sia-sia belaka. Gadis itu masih saja diam tak menjawab dan masih diam duduk di boncengan motor antikku.

“Heeeehhh... damn it! Up to you lah...” umpatku putus asa. Dengan hati yang kesal, kupacu motor kesayanganku itu meluncur menembus dinginnya kegelapan malam dengan membawa si gadis misterius itu di boncengan motor CB boober kesayanganku.

Lama kami berpacu di atas dua roda si boober, berjalan tanpa arah dan tujuan tanpa saling bertegur sapa. Tak terasa matahari mulai mengintip dari ufuk timur. Dan tanpa aku sadari juga ternyata aku telah sampai di perbukitan perkebunan teh di daerah puncak bogor. Kuhentikan motorku di pinggir jalan dengan pemandangan hamparan kebun teh yang menghijau berhiaskan butiran embun dan berselimut kabut tipis yang menjadikannya semakin elok keindahan panorama. Indah sekali pemandangan panorama puncak di pagi hari, serasa bak berada di negeri khayangan. Terlihat nun kejauhan di sana, sekumpulan ibu-ibu sedang melakukan pekerjaan memetik pucuk-pucuk teh yang harum menghijau. Kembali aku menghisap sebatang rokok buah pemberian si abang tukang kopi semalam, dan kami berdua masih terdiam belum saling bertegur sapa. Masih belum ada sepatah katapun yang meluncur dari bibir gadis itu.

Baru aku menyadari bahwa gadis yang sedang berada di boncengan motorku itu ternyata cantik juga, teramat cantik malah. Bodoh sekali aku baru menyadari itu, bahwa selama ini aku membawa seorang gadis cantik atau mungkin juga malah seorang bidadari di belakang motorku, walaupun aku belum kenal siapa gerangan sang mahadewi.

Wajah ayu dengan raut sayu berambut hitam lurus sebahu. Body yang langsing proporsional sempurna walaupun tak terlalu tinggi dan malah terkesan mungil, didukung kulit yang putih halus bin super mulus. Apa lagi hiasan tahi lalat di dagu sebelah kanannya, beuuuhhhh… Benar-benar perfecto. Sungguh kecantikan bak bidadari yang ternyata baru aku sadari.

“Loe kenapa sih ngikutin gue? Trus loe juga siapa sih? Jawab dong, jangan diam aja napa... loe kagak bisu kan?” tanyaku kepada gadis misterius itu. Jawaban yang aku nantikan pun tak juga keluar dari mulutnya. Lagi-lagi aku hanya disuguhi dengan tatapan matanya yang sayu dari raut wajahnya yang ayu itu.

“Ya udah deh kalo loe masih gak mau ngomong. Gue pergi aja lah, gue gak mau tersangkut masalah gara-gara ini. Kalo loe mau motor gue, loe ambil tuh motor.” kataku kesal sambil mengambil tas ranselku yang aku taruh di tangki motorku, dan berjalan menjauh meninggalkan motorku dengan gadis itu.

“Tunggu...!” suara yang akhirnya keluar dari mulut gadis misterius itu.
Tak kuhiraukan suara yang akhirnya keluar dari mulutnya. Aku masih terus berjalan menjauh, masih dengan sebatang rokok filter yang terbakar terselip di bibirku.

“Please, stop... tunggu!” kata gadis itu lagi, sambil berlari mengejar dan menggenggam lenganku menghentikan langkah kakiku. “Tolong jangan pergi... maafin gue ya? Gue tau gue dah ngrepotin loe, tapi loe jangan pergi... Maafin gue, please...” kata gadis itu lagi, yang sekarang malah di iringi dengan isak tangis lirih.

Sejenak kuhentikan langkahku dan berbalik menghadap gadis yang sedang menggenggam lenganku itu. ”Loe siapa sih? Trus kenapa loe ngikutin gue? Loe tu malah semakin bikin ribet hidup gue yang udah ribet, tau gak sih loe…”

“Nama gue Arumi. Sorry kalo gue dah ngrepotin loe. Gue kabur dari keluarga gue, dan gue gak tau lagi harus kemana. Jadi tolong... please, bawa gue. Gue mohon...” kata gadis itu memohon sambil memperkenalkan dirinya.

“Gue Andika... panggil aja Dika. Apapun masalah loe, gue gak ada urusan. Jadi gue mohon dengan sangat, nona arumi... tolong tinggalin gue. Ok?!” kataku mempertegas penolakanku.

“Please... gue mohon, Andika... bawa gue... please... Gue gak tau lagi harus kemana.” iba memohon gadis itu dengan iringan tangis dan air mata yang mengalir keluar dari sudut-sudut matanya yang sayu.

“Sekali lagi gue mohon ya, non... tolong tinggalin gue... gue gak bisa bawa non Arumi. Non Arumi kan belon kenal siapa gue. Siapa tau gue pemerkosa. Emang mau non gue perkosa, hah?!” kataku menakut-nakuti Arumi agar dia mau meninggalkan aku.

Sejenak Arumi terdiam menundukkan mukanya. Tangisnya masih terisak walaupun semakin lirih terdengar. “Perkosa aja kalo Dika mau perkosa gue. Gue ikhlas kalo emang itu bayaran yang loe minta. Tapi gue mohon... gue mohon bawa gue pergi kemana aja loe mau pergi. Bawa gue jauh dari sini, bawa gue lari dari dunia ini… save me! Gue mohooon, please...” permohonan Arumi yang membingungkanku atas ketersediaannya aku perkosa asalkan aku mau membawanya.

Gadis macam apa ini yang rela menukar kehormatannya demi sebuah tumpangan pelarian. Semakin aku kebingungan bagaimana caranya bisa lepas dari jerat beracun gadis yang tadi memperkenalkan dirinya sebagai arumi tersebut.

Arumi... Arumi... Arumi... Sepertinya aku pernah dengar dan tak asing dengan nama itu. Tapi di mana ya?

“Terserah loe dah, pusing gue. Kalo loe mo ngikutin gue, terserah loe dah... tapi tolong jangan ngrepotin gue, ok? Dan satu lagi, tolong jangan sangkut-pautin gue ke dalam masalah loe, apapun itu. Ccamkan itu baik-baik!”

“Makasih ya, kak... makasih banget.”

“Iya... hapus tu air mata loe, malu gue dilihatin orang-orang. Tus itu baju basah ma BH loe masukin ke tas sini, ntar dikira orang gue ngapa-ngapain loe lagi.” kataku mengijinkan Arumi ikut serta dalam pengembaraanku yang tanpa arah dan tujuan ini seraya menyodorkan tas ranselku untuk menyimpan tank top dan BH-nya yang sedari tadi di tenteng-tentengnya itu. Akupun tak mengerti kenapa aku bisa menarima gadis ini masuk ke dalam petualanganku. Karena rasa iba kah, atau mungkin juga karena kecantikannya?

Oh Arumi… kau memang si cantik berbisa…

Aku lalu kembali ke motor booberku dan bersiap melanjutkan kembali perjalananku yang sekarang tak lagi sendiri, tapi berdua dengan Arumi. The jaourney has begin…

Kembali motor tuaku meraung dan meluncur membawa kami di atas punggungnya. Meluncur kami dengan pelan menyusuri jalan pegunungan puncak yang berkelok-kelok bak ular tangga, sambil menikmati pemandangan panorama indah yang sedikit bisa mengobati galau hatiku. Kami berjalan semakin naik ke atas, semakin ke puncak gunung arah ke kota cianjur.

“Kak, gue mo ke toilet...” rengek Arumi yang terdengar sangat menyebalkan sekali di telingaku.

“Rewel amat, mo ngapain sih?”

“Pengen pipis...”

“Pipis aja pake manja minta ke toilet segala. Di bawah pohon no juga bisa.” kataku dengan hati dongkol karena kerewelannya sambil menunjuk rimbunan pepohonan yang ada di pinggir jalan.

“Tega amat loe, kak... barbar. Arumi kan cewek, kak... masa iya loe suruh gue pipis di bawah pohon sih. Ntar kalo Arumi digigit semut gimana?” rengek manja Arumi yang sudah mulai pasang aksi sok akrab.

“Udah deh, jangan sok akrab...” biarpun dengan hati yang dongkol sedongkol dongkolnya, akupun kemudian menghentikan motorku di sebuah masjid besar yang ada di kawasan puncak pas, mencarikan sang tuan putri mahadewi Arumi sebuah toilet.

“Dah sono turun... tu cari aja toilet di dalam sono tuh.”

“Gak mau...” jawab Arumi.

“Kok gak mau? Gimana sih, suruh pipis di bawah pohon gak mau... dicariin toilet gak mau turun. Loe maunya apa sih? Busyet dah... loe jangan bikin gue pusing napa sih? Loe maunya dianterin trus sekalian gue cebokin gitu?” omelku karena kerewelan Arumi.

“Bukaaaan... gue takut ntar loe kabur ninggalin gue lagi...”

“Ihh... ni kutil rewel amat sih. Udah, sono ah... jadi anak jangan rewe-rewel napa sih?! Untung loe cakep… kalo jelek, dah gue mutilasi juga loe… udah, sono turun!”

Arumi masih diam.

“Turun gak loe?!”

“Iya-iya… gak usah pake urat juga kaleee…”

Setelah aku paksa sambil marah-marah, akhirnya Arumi mau juga turun dari motorku dan masuk ke komplek masjid besar itu mencari kamar mandi yang ada di dalam komplek itu walaupun dengan ragu-ragu.

“Tapi Dika janji ya, jangan tinggalin gue...” katanya lagi yang semakin memanaskan telingaku.

“Anjing… bawel...!” kataku penuh dengan emosi. Setelah Arumi tak terlihat lagi dari pandangan mataku, sempat terlintas dalam benakku untuk kabur dan meninggalkannya. Tapi hati kecil dan nuraniku berkata tidak. Tak sampai hati aku meninggalkan dan menelantarkan gadis secantik itu berkeliaran sendirian di jalanan.

Untung saja Arumi bertemu dengan aku. Coba kalau dia salah bertemu orang, entah bagaimana nasib dia sekarang ini. Mungkin dia sudah diperkosa atau malah sudah dibunuh, dimutilasi, dan mayatnya di jadikan makanan anjing liar. Setelah aku pikir-pikir, sepertinya aku dan Arumi ini senasib. Kami sama-sama lari dari keluarga kami, walaupun aku lebih tepatnya di usir. Tapi judulnya tetap saja sama, kami sama-sama pergi meninggalkan keluarga dan orangtua kami, kami sama-sama ingin lari dari dunia jahanam ini.

Sambil menunggui Arumi keluar dari kamar mandi. Kembali aku mencoba mengingat-ingat siapa Arumi ini sebenarnya. Kenapa nama dan wajahnya seakan tak begitu asing di mataku. Aku merasa seperti tahu dan mengenal nama itu. Berfikir dan terus berfikir, aku mencoba mengingat-ingat siapa sebenarnya gadis yang bernama Arumi ini. Kuexplor kode file mikrocip otakku sampai di ambang batas maksimal gigabitnya untuk mencari jawaban atas kepenasaranku. Hingga akhirnya aku bisa menemukan jawaban itu dari file explorer microcip otakku.

DEG...!

“Tapi... masa sih?” batinku setelah berhasil menemukan jawaban dari dalam brankas file otakku. Kalau otakku masih waras, berarti gadis bawel yang super-duper nyebelin yang mengaku bernama arumi itu adalah...

ARUMI BACHSIN...!!!

Seorang artis sinetron yang sempat beberapa kali aku tonton di tivi karena terpaksa menemani mama nonton sinetron saat mama sedang terbujur sakit. Tapi masa iya sih? Tapi kayaknya gak salah lagi deh.

Saat aku masih setengah percaya dan tidak dengan ingatan buramku, Arumi keluar dari dalam komplek masjid itu dan menghampiriku dengan menyunggingkan senyuman yang ternyata terlihat teramat sangat manis di bibir mungilnya. “Gue yakin loe gak bakal ninggalin gue.” katanya. “Loe baik banget sih jadi cowok, kak? Makasih ya...” cerocos manja kegirangan karena ternyata aku masih sudi menungguinya.

“Loe siapa sih? Loe sebenarnya arumi siapa?” tanyaku spontan dengan dipenuhi kepenasaran akut.

“Loe gak tau gue? Jadi loe beneran gak tau siapa gue, gitu?”

Aku menggeleng.

“Sumpah loe asli gak bo’ong?” Arumi malah balik bertanya kepadaku dengan gayanya yang semakin sotoy sok akrab.

“Lha kalo gue tau, ngapain gue pake nanya, anjing kampret...”

Melihat jawabanku yang penuh dengan kekesalan itu, Arumi malah tersenyum yang semakin membuatku bingung dan bertambah semakin dongkol dengan anak ini.

“Halooo… loe manusia gak ya… atau loe makhluk prasejarah? Loe gak pernah nonton tivi kali ya, atau loe emang gak punya tivi? Gue arumi... Arumi Bachsin! Masa loe beneran gak tau sih? Gue tu tenar tau… artis… selebritis…” jawabnya memperkenalkan nama lengkap dan status sosialnya yang ternyata cocok dengan perkiraanku tadi.

Akhirnya kudapatkan jawaban yang memuaskan dahaga kepenasaranku. Jadi selama ini gadis nyebelin yang tiba-tiba nongol trus langsung ngrepotin ini adalah Arumi Bachsin. Seorang artis sinetron yang lumayan terkenal. Betapa bodohnya aku karena tak bisa mengenali bintang sinetron yang sangat dibenci almarhum mama karena peran-perannya yang cenderung antagonis ini.

Setelah mengetahui siapa jati-diri Arumi ini sebenarnya, bukan berarti aku akan berubah bersikap manis kepadanya. Tak perduli mau siapa dia, mau artis kek, mau tuan putri kek, mau tekek kek. Yang penting judulnya dia datang tiba-tiba di saat yang teramat sangat tidak tepat, dan langsung amat sangat meribetkan a.k.a merepotkan.

Aku lalu mengajaknya ke sebuah warung makan pinggir jalan yang berada tak jauh dari situ untuk mengajaknya bicara dan mengorek keterangan lebih lanjut. Tentang alasan kenapa dia kabur dari rumahnya, dan kenapa juga dia harus datang tiba-tiba dan merepotkanku.

Sambil makan makanan seadanya (ternyata Arumi gak susah juga di kasih makan), Arumi pun menceritakan tentang dirinya, tentang keluarganya, tentang alibi dan kronologis kenapa dia nekat kabur dari rumahnya. Dia menceritakan tentang pemaksaan ibunya yang ingin menjodohkannya dengan seorang pengusaha kaya asal kudus yang telah berusia 30an tahun. Arumi bercerita bahwa dia dipaksa ikut ibundanya ke Yogyakarta untuk dipertemukan dengan pria yang menurut Arumi asal Kudus itu.

Setelah pertemuan itu, Arumi diajak paksa berlibur berdua saja dengan pria pengusaha itu. Dia dibawa ke Singapura pakai pesawat AirAsia. Arumi mengaku tak kuasa menolak karena dalam kontrol dan paksaan kedua orangtuanya, tambah Arumi lagi. Dia merasa memperoleh kekerasan psikis dan fisik dari kedua orangtuanya karena dia dipaksa harus pergi dengan seseorang yang tidak dia kenal dan dia tidak nyaman. Intinya, dijodohkan dan diancam oleh orangtuanya.

Dia juga menceritakan tentang kedekatannya dengan Miller, seorang artis muda asal Malaysia yang tak direstui oleh kedua orangtuanya. Tak cukup sampai di situ saja, Arumi juga di eksploitasi secara financial oleh kedua orang tuanya. Menurutnya, dia dipaksa ibunya untuk tetap bekerja walaupun dia sedang sakit. Dan masih banyak lagi curhatan-curhatannya yang sangat memilukan. Makanya Arumi memilih untuk kabur dari kedua orang tuanya karena sudah merasa tak tahan lagi dengan semua itu.

Seakan tak percaya mendengar semua apa yang dia ceritakan itu. Tak pernah kusangka bahwa gadis cantik yang sangat nyebelin ini ternyata mempunyai permasalah hidup yang sebegitu peliknya untuk anak seusianya. Tak kusangka juga bahwa ada masalah yang lebih pelik dan mengenaskan daripada masalah yang sedang kuhadapi saat ini. Ternyata masalah yang sedang aku hadapi ini tak ada seujung kuku penderitaan gadis 17an tahun ini.

Mulai aku merasa iba dengan penderitaan Arumi. Sebagai saudara senasib, maka seharusnyalah juga kita sepenanggungan. Aku pun lalu memutuskan untuk membawanya turut serta di dalam pelarian dan petualanganku. Lari dari dunia yang sangat menyebalkan ini, lari dari hidup yang tak lagi seindah masa kanak-kanak dulu. Lari untuk mencari dan membentuk jati-diri. Resmilah sudah sekarang kami menjadi rekan sepelarian. Dan di mulailah petualangan kami menjelajahi jalanan mencari pencerahan akan semua masalah yang sedang kami hadapi ini.

***

Tak terasa, sudah seminggu kami bersama-sama. Selama itu kami berkeliaran di jalanan tanpa arah dan tujuan dari satu kota ke kota yang lain. Arumi yang cantik pun bertambah semakin cantik dengan senyuman manis yang mulai sering menghias di bibir mungilnya. Dengan mengenakan celana jeans belel, jaket kulit hitam, dan sepatu kicker biru dongker yang aku belikan di cimol kota Bandung, Arumi semakin kelihatan cantik, wild, dan sexy. Tak terasa uang bekalku sudah mulai menipis karena terkuras habis saat aku pakai membelikan pakaian untuk gadis itu.

“Rum, gimana ni… modal kita dah mulai menipis nie…”

“Trus gimana dong, kak? Sorry ya, kak, gue cuma bisa ngrepotin loe doang.”

“Udahlah, gak usah dibahas. Loe kan emang bisanya cuma bikin ribet doang kan…” uang di dompetku sekarang tinggal cukup untuk biaya hidup sekitar 2 harian lagi.

Di saat sedang berfikir tentang bagaimana caranya bisa mendapatkan uang buat menyambung hidup, baru aku menyadari bahwa tak terasa perjalanan kami telah sampai di kota Jogja. Dan tiba-tiba teringat aku dengan mas Karman dan mbak Sri yang dulu pernah bekerja di rumahku. Dulu pernah beberapa kali aku ikut mereka pulang kampung, sehingga lamat-lamat aku masih ingat di mana rumah mereka, walaupun aku tak begitu yakin lagi dengan ingatanku 10 tahun yang silam itu.

Tak ada salahnya aku mencoba ke sana, siapa tau mereka masih di sana dan kami bisa numpang sementara di rumah mereka sambil mencoba mencari pekerjaan untuk biaya kami melanjutkan petualangan.

“Tenang, Rum… kaya’nya gue punya solusi. Gue inget punya kenalan gak jauh dari sini. Kita kesana aja, gimana?”

“Ya udah, kak… gimana baiknya aja. Gue sih ngikut aja. Mari di lancrooot… eh, sorry… Di lanjuuutttt.” jawab Arumi penuh canda.

Selama seminggu ini, sedikit demi sedikit Arumi telah banyak berubah. Sekarang dia lebih ceria dari pada waktu pertama kali kami bertemu. Ternyata aslinya Arumi adalah anak yang asik dan rame, penuh dengan canda tawa dan semangat, walaupun juga nyebelinnya gak kira-kira. Bahkan kadang bicaranya jorok dan suka nyrempet-nyrempet. Sudah hilang sama sekali sekarang muka murung dan masamnya, berganti dengan raut muka canda dan ceria yang semakin mempertegas ke ayuan wajah blesterannya. Mata sayunya sekarang telah berganti dengan sorot bola mata indah berbinar binar cerah.

Mulai aku tergoda dengan pesonanya, dengan ayu parasnya, dengan cerianya, dengan binar bening matanya, dan dengan sentuhan-sentuhan dan perhatiannya. Apalagi saat dia sedang berada di boncengan si boober, tak segan-segan dia memelukku dari belakang berpegangan. Menempelkan tubuhnya di punggungku, yang membuatku bisa merasakan betapa keras dan kenyalnya gundukan bukit kembar di dadanya yang biar tak terlalu besar tapi cukup montok itu.

Setelah berjalan berputar-putar seharian penuh, setelah bertanya sana-sini, akhirnya kami sampai juga di desa Plumbon, kecamatan Tawangmangu, Karanganyar, tempat tinggal mas Karman dan mbak Sri. Hari sudah menjelang maghrib saat kami sedang sibuk bertanya kesana-kemari kepada warga desa. Hingga akhirnya secara tak sengaja kami malah bertemu dengan mas Karman dan mbak Sri di jalan desa. Ternyata mereka masih mengenali aku walaupun sudah sekitar 10 tahun sejak terakhir kami bertemu.

“Eh, den… den Andika! Ini den Andika kan?” sapa mas Karman.

“Iya, mas…” jawabku.

“Kok aden bisa nyampe ke sini?” tanya mas Karman yang terkejut berpapasan denganku di jalan.

“Iya, den… den Dika mau kemana? Yuk ke rumah mbak Sri aja yuk…” tanya mbak Sri yang tak kalah terkejutnya sambil mengajak kami ke rumah mereka.

Rupanya setelah selama 10 tahun mereka berdua tidak berubah. Mereka masih seperti dulu, masih seperti mas Karman dan mbak Sri yang kukenal dulu baik dari raut wajah maupun fisik, tak ada perubahan sama sekali. Dan mereka juga masih ingat dengan aku, anak manja yang dulu sering mereka gendongin yang sekarang telah tumbuh menjadi seorang pemuda tampan yang gagah.

“Kami emang mau ke tempat mbak Sri dan mas Karman.” jawabku.

“Ya udah… Ayuk, den…” ajak mereka.

Tak berapa lama, akhirnya kami sampai di rumah mas Karman dan mbak Sri. Sebuah rumah yang indah di daerah yang asri dengan di kelilingi kebun salak podoh di samping kanan kiri rumah serta sebuah kolam ikan besar di halaman belakang agak jauh dari rumah. Rumah mereka yang asri model srotong dan bercat kuning gading itu berada di sebuah dukuh yang bernama Plumbon di desa Plumbon, Tawangmangu.

Ooohhh… sungguh tempat yang sempurna untuk menenangkan pikiran dan tempat pelarian. Suasananya yang tenang, alamnya yang indah, dan warganya yang baik hati dan ramah. Inilah mungkin yang disebut dengan surga dunia.

“Ayo, den... silahkan masuk… mari, non…” mas Karman mempersilahkan kami masuk ke rumah kecil sederhananya yang asri nan indah.

Sesampainya di dalam, kami dipersilahkan duduk di ruang tamu di atas kursi rotan. Akupun lalu menceritakan tentang pelarianku, tentang huru-hara yang terjadi sepeninggal almarhum mama, dan tak lupa juga aku memperkenalkan Arumi, gadis yang sedang bersamaku ini. Tak perlu aku menceritakan lebih lanjut tentang Arumi, tentang kenapa dia bisa denganku di sini, karena tanpa aku ceritapun mereka pasti sudah tau melalui pemberitaan-pemberitaan tentang Arumi yang heboh di infotainment. Tak lupa juga mas Karman dan mbak Sri memperkenalkan kami dengan Kinanti, anak gadis sewata wayang mereka yang baru kelas 3 SD. Alangkah senangnya mbak Sri bisa berkenalan dengan seorang artis sinetron yang sering di lihatnya di tivi 14” miliknya.

“Asline luweh huaayuu tinimbang neng tivi-tivi. Jian… huayune puool…” kata mbak Sri mengagumi kecantikan asli Arumi. Memang aku akui, bahwa Arumi lebih cantik polos tanpa make-up dari pada pakai make-up tebal.

Hampir tak percaya mas Karman dengan ceritaku. Karena selama yang dia tahu, pak Handoko yang dia kenal adalah seorang yang arif bijaksana dan bertanggung jawab serta sangat mencintai almarhum mama. Bukan pak Handoko seperti sekarang yang aku ceritakan.

Singkat cerita resmilah sudah mulai malam ini kami numpang di rumah mas Karman dan mbak Sri tanpa batas waktu yang ditentukan. Tapi ada satu yang membuat kebingung di sini. Di rumah mas Karman ini ternyata hanya mempunyai dua buah kamar. Setelah bermusyawarah, akhirnya sampailah kami pada satu kemufakatan. Mas Karman dan mbak Sri tetap tidur di kamar mereka bersama Kinanti anaknya, Arumi di kamar yang satunya lagi, dan aku terserah mau tidur dimana, yang jelas aku tidak kebagian kamar.

***

Pada suatu malam di hari kedua kami numpang di rumah mas Karman dan mbak Sri... Malam sudah menunjukkan jam satu malam, dan aku belum bisa tidur karena malam ini terasa dingin sekali. Ketika sedang asik menonton tivi sambil menikmati sebatang rokok kretek cap jambu bol sedekah dari mas Karman, Arumi keluar dari kamarnya dan menghampiriku.

“Kak dika… anterin gue dong.” rengek nyebelinnya mulai keluar lagi.

“Mo kemana sih?”

“Hehehe… kebelet… anteriiin…” Arumi sok imut.

Terpaksa aku antar dia ke toilet rumah mas Karman yang terletak jauh di belakang rumah, diantara rerimbunan pohon salak di atas kolam ikan. Karena tidak mungkin Arumi berani ke sana sendirian di tengah malam seperti ini. Suasana yang gelap di tambah wangi bunga salak semakin menambah horor suasana malam yang dingin sunyi mencekam ini.

“Tungguin di sini aja, kak… jangan jauh-jauh.”

“Gila kali loe ya… Masa iya gue nungguin di sini? Ya kelihatan lah loe lagi pup, trus bau lagi. Jangan gila dong, dasar munyuk loe…” sungutku kesal karena disuruh menunggu di depan Arumi yang sedang buang air besar. Toilet mas Karman ini hanya disekat dengan anyaman bambu sepinggang orang berdiri, jadi dari tempatku berdiri bisa terlihat jelas segalanya.

“Ya gak usah pake ngatain munyuk juga kali, kak… jangan jauh jauh… Gue takut nih.”

“Iihh… nih anak bawel amat sih… lama-lama gue entot juga loe.”

“Iih, kayak ngomongnya jorok… porno. Pelecehan tuh…”

Akhirnya dengan terpaksa aku tunggui juga Arumi yang sedang buang air besar, walaupun dengan hadiah bau wangi pup yang sangat fantastis dan bombastis.

“Loe artis kok pup loe bau banget sih? Tadi makan bangkai loe ya?”

“Kakak bener bener ih… omongannya kasar. Kaya orang gak berpendidikan dan gak punya tata-krama… sakit tau hati ini loe kata-katain gitu…”

“Bodoh… emang gue pikirin…” hatiku yang dongkol semakin bertambah dongkol tujuh turunan, karena ternyata sang nona artis binti selebritis ini buang air besarnya lama banget.

Tahu kalau aku sedang kesal, Arumi pun mengajakku ngobrol biar aku tak terlalu kesal menungguinya. “Kak… loe katanya mo perkosa gue, kapan?” pertanyaan Arumi yang aku tahu maksudnya bercanda yang ternyata tanpa disadarinya pas tepat menghujam mengenai jantungku. Hampir aku tak percaya pertanyaan seperti itu bisa meluncur keluar dari mulut Arumi.

“Loe gila apa kesambet demit pohon salak sih? Ntar gue perkosa beneran lapor komnas HAM lagi ntar loe.”

“Kalo yang perkosa kayak mah gue mau. Asal…”

“Asal apaan?” tanyaku penasaran dengan kelanjutan kata asal itu.

“Asal…”

Aku menunggu.

“Asal kayak mau ngambilin gue air buat cebok. Hehehe…” jawabnya yang langsung membuatku tersenyum, lucu karena ternyata dari tadi Arumi lupa belum mengambil air buat cebok.

“Anjing… Dasar munyuk… Bangsaaaat… pantesan loe gak kelar-kelar, ternyata loe belon ada air buat cebok to. Dah, susut ajalah pake rok loe tuh.” jawabku asal.

“Jangan jahat apa, kak… cewek itu harus dilindungi, diayomi, disayang-sayang. Makhluk lemah nih… bukannya malah diomel-omelin, dicaci-maki gitu. Sadis bener sih kakak jadi manusia…”

Akhirnya dengan terpaksa kuambilkan Arumi setimba air buat cebok dari sumur yang tak jauh dari toilet futuristic itu. “Sekalian di cebokin gak nih si nona selebritis?” kataku masih dengan kekesalan sambil menyerahkan setimba air itu. Sekilas terlihat betapa putih dan mulusnya paha Arumi sampai ke pangkalnya, dan terlihat juga serimbun bulu hitam tipis yang mengintip di antara jepitan selangkangannya.

“Gak usah ya… ntar loe nakal lagi…”

Selesai itu, kami pun kembali ke dalam rumah mas Karman. Kuperhatikan gadis ini dari belakang, dan diam-diam semakin kukagumi keindahan molek tubuhnya. Arumi terlihat semakin cantik malam ini, dengan pakaian khas gadis desa, rok polkadot lebar selutut dengan atasan kaos oblong warna biru gambar kupu-kupu pemberian mbak Sri. Rambut lurus sebahunya di kepang kuncir dua yang semakin membuat manis penampilan ala gadis desanya.

Sungguh aku terpesona, wahai bidadari…
Sungguh aku mulai jatuh cinta, wahai mahadewi…

Sesampainya di dalam rumah mas Karman dan mbak Sri, kami berhenti dulu di dapur. Sebagai imbalan mengantar ke toilet, aku minta Arumi untuk membuatkan aku segelas kopi.

“Kakak kedinginan ya, tidur di luar?” tanya Arumi sambil menunggu air rebusan buat kopi mendidih.

“Gak, di luar malah puanas kok… Ya iya lah dingin, pake nanya lagi. Tolol apa begok sih loe?” jawabku ketus.

“Janji mulai sekarang kakak gak kasar lagi ngomong ama gue. Stop kakak caci-maki gue lagi. Sebagai balasannya, kamar gue gak gue kunci.” balas Arumi ringan yang membuatku deg-degan melongo seakan tak percaya.

Selesai membuat segelas kopi, kami pun kembali ke dalam rumah, dan Arumi pun kembali masuk ke dalam kamarnya. Kembali aku menonton tivi seperti tadi, tapi kali ini temanku bertambah satu lagi dengan segelas kopi made in Arumi yang ternyata lumayan enak juga.

Terngiang kembali kata-kata gadis itu tentang kamar yang tak dikunci. Jantungku semakin berdebar kencang membayangkan tidur berdua sekamar dengan Arumi. Pikiran-pikiran mesum dan kotorpun mulai bangkit menginfeksi kewarasanku. Timbul pertentangan-pertentangan di dalam diriku sendiri, antara memanfaatkan kesempatan yang telah Arumi buka atau tidak. Antara menuruti hawa nafsu atau menghormati norma dan etika. Lama aku memikirkan itu semua.

Jam sudah menunjukkan pukul dua malam, dan udara malam yang dingin pun bertambah semakin dingin. Pelan aku melangkah ke arah kamar Arumi. Dengan ragu dan debaran jantung yang semakin kencang, kudorong pelan pintu kamar itu yang ternyata benar... pintu itu terbuka, tidak terkunci. Terlihat di atas ranjang kayu di dalam kamar itu seorang bidadari sedang tertidur dengan damainya di dalam temaram. Aku tutup dan kali ini aku kunci pintu kamar itu, lalu aku melangkah pelan mendekati Arumi yang tertidur dan terlihat sangat manis saat sedang terlelap terbuai dalam mimpi. Terlihat wajah polos ayunya, raut wajah yang tenang dan damai bak tanpa noda dosa. Aku duduk di pinggiran ranjang di sampingnya yang sedang terlelap. Kupandangi sejenak wajah ayunya. Ooh, Tuhan… sungguh cantik anak ini. *Kesempurnaan anugrah yang Engkau titipkan padanya. Tapi kenapa setiap keindahan yang Engkau anugrahkan harus diiringi dengan rahasia-Mu.

“Kakak…” kata Arumi yang terjaga menyadari kehadiranku.

“Udah, kamu bobo’ aja.”

“Naik sini, kak…” katanya sambil menggeser tubuhnya, memberikan ruang untukku di atas ranjang kayu itu.

“G-gue tidur di sini?” aku setengah tak percaya dengan ini semua.

“Iya, sini… Ayo naik…”

Aku pun naik ke atas ranjang kayu itu dan membaringkan tubuhku di samping Arumi Bachsin. Tersungging senyum manis di bibir mungilnya yang semakin mempercantik indah parasnya.

“Ntar kalo gue nakal jangan protes ya…”

“Hush… jangan sekarang. Bobok yuk… ngantuk banget nih…” lagi perkataan Arumi yang semakin membuat jantungku berdegub semakin kencang.

“Kak?”

“Heeh…”

“Gue pelukin kakak boleh gak?”

“Iya, asal loe jangan ngiler aja…”

Arumi lalu memiringkan tidurnya menghadap ke arahku, menyandarkan kepalanya di pundakku dan memeluk tubuhku. Dadanya tepat menempel di lengan kananku, sehingga aku bisa merasakan keras dan montoknya payudara Arumi. Pikiran-pikiran mesum mulai menjalar kuat mempengaruhi nuraniku. Dan tanpa bisa ditahan, si otong di bawah sana pelan-pelan mulai bangkit berdiri, bersiaga satu untuk kemungkinan sebuah agresi militer. Tak kuturuti segala godaan nafsu yang menjalariku itu, walau kuakui lama-lama aku tak kuat juga melawan semua ini, itu bukan gayaku.

“Kakak jangan horny ya…”

“Enak aja jangan horny-jangan horny… ini aja gue dah horny berat, Rum. Gue masih normal…”

“Tahan ya, kak Dika kan anak baik.”

Lama aku tak bisa memejamkan mataku karena semua ini. Sekuat tenaga aku berusaha menguasai nafsu yang semakin kuat merasukiku. Sempat terlintas di benakku untuk mamaksanya melakukan itu. Bukankah dia sendiri yang telah memberikan kesempatan itu dengan mempersilahkan aku tidur di sini. Dan sekarang malah dia tidur sambil memelukku.

Tapi nuraniku berkata lain. Rasa ibaku akan segala penderitaannya mengalahkan sisi iblis jiwaku. Terlihat begitu damai paras ayunya tertidur memelukku. Alangkah jahatnya aku seandainya sampai hati memanfaatkan kelabilan jiwanya ini untuk kepuasan hasrat birahiku sesaat. Tak terasa akupun juga sudah ikut tertidur pulas bersamanya.

***

Pagi harinya aku terbangun dari tidur dengan posisi yang sekarang aku juga memeluknya. Kami tidur dalam posisi berpelukan. Kedua kaki kami saling mengapit saling tumpang tindih. Kupandangi wajah ayunya yang tetap ayu bahkan semakin ayu walaupun sedang tertidur lelap. Kudaratkan sebuah kecupan sayang di kening Arumi dengan masih memeluknya, bahkan semakin erat aku memeluk tubuh mungilnya. Kuusapkan tanganku mengelus punggungnya. Usapanku pelan semakin nakal turun menjelajahi tubuhnya, semakin turun dan turun hingga sampai mendarat di bokong indahnya. Kuusapkan lembut jemariku di sana, diiringi dengan remasan-remasan kecil yang membuatnya terjaga dari tidurnya. Sudah lupa aku bahwa di luar kamar, mas Karman dan mbak Sri sudah sibuk beraktifitas. Pasti mereka curiga akan ketidak-beradaanku di tempat biasa, di tempat aku seharusnya tidur.

“Eeemmmmhhhh… kak, met pagi… oooaammm… pagi-pagi tangannya kok udah jelalatan sih… nakal.” kata Arumi yang terjaga dari tidurnya dan mengetahui kenakalan tanganku.

Arumi tak berusaha menghentikan kenakalan-kenakalan tanganku itu, hanya sebuah cubitan kecil di pinggangku satu-satunya isyarat seolah penolakannya. Dia malah tersenyum dengan manis dan semakin mengeratkan pelukannya. Mungkin betul apa kata orang. Wanita yang benar-benar cantik akan kelihatan saat dia baru bangun tidur. Dan mungkin Arumi lah salah satu dari sekian wanita cantik alami itu. Karena dia tetap cantik, bahkan semakin bertambah cantik walaupun baru bangun tidur dengan masih dalam keadaan awut-awutan tanpa make-up.

“Pengen ya, kak?” tanyanya.

“He-eh…” jawabku.

“Hehehe… gak boleh, kak… bukan muhrim…” lagi-lagi senyum misterius itu tersungging di bibir manisnya.

Tak kuteruskan kenakalan jemariku. Tak ingin aku terjebak dalam situsi yang sangat membirahikan ini. Aku pun lalu bangkit dari tempat tidur dan bergegas keluar dari kamar Arumi. Sial bagiku, saat aku keluar dari kamar arumi, aku berpapasan dengan mbak Sri yang sedang mendandani Kinanti, anak gadisnya yang baru kelas 3 SD untuk berangkat ke sekolah. Mbak Sri hanya tersenyum mengetahui aku keluar dari kamar Arumi. Bergegas aku ke kamar mandi dan menyegarkan tubuhku.
 
Terakhir diubah:
Author : siganteng_rusuh
Tak terasa sudah hampir 3 minggu kami numpang di rumah mas Karman dan mbak Sri. Dan berarti juga sudah sebulanan aku dan Arumi kenal dan bersama-sama. Hubunganku dengan Arumi pun semakin intim saja bak sepasang kekasih. Omelan, cacian, dan omongan kasarku pun sudah tak pernah keluar lagi dari mulutku, walaupun kadang-kadang Arumi masih sangat bawel, manja, dan super nyebelin. Arumi juga sudah semakin akrab dengan mbak Sri, bahkan juga dengan ibu-ibu tetangga. Dengan bulik Sumi yang gendut tetangga depan tumah, dengan mbah Nem yang sudah sepuh, mbah Tun pemilik warung kelontong sebelah rumah, bu Suro, budhe Amin, mbak Siti, yu Parti, mbah Gentho, yu Suratmi dah masih banyak lagi ibu-ibu tetangga yang sudah akrab dengan Arumi.

Tak terkecuali juga dengan para bapak-bapak tetangga yang baru kali ini melihat ada wanita secantik Arumi nyata, bukan dari tivi-tivi yang biasa mereka lihat. Mereka semua sudah pada mengenal Arumi. Mareka semua tahu kisah pelarian Arumi dari berita yang ramai di tivi-tivi. Tapi tak ada seorangpun yang membahas atau menanyakan tentang masalah ini kepada Arumi. Barusaha mereka membuat Arumi bahagia dan betah tinggal di sini, memberikan kasih sayang seorang ibu dan keluarga yang tidak Arumi dapatkan dari ibunda dan keluarganya yang malah ingin menjualnya kepada seorang pengusaha kaya.

Keseharian Arumi selama di sini selayaknya keseharian gadis-gadis desa pada umumnya. Biasa Arumi bantu-bantu mbak Sri di dapur, ikut belanja ke pasar, ngumpul-ngumpul dan ngrumpi bareng ibu-ibu tetangga, bahkan Arumi pun kelihatan senang saat ikut mbak Sri ke ladang dan sawah.

Akupun juga begitu. Setiap hari aku bantu-bantu mas Karman di ladang dan sawah, ikut mamandikan sapi, memetik buah salak, dan masih banyak lagi pekerjaan-pekerjaan orang kampung pada umumnya yang aku lakukan.

Arumi suka bermain-main di kali yang tak jauh dari rumah, suka berlari-larian di pematang sawah bak seekor burung pipit yang ceria menyongsong cakrawala. Sering kami menyepi berdua untuk sekedar menenangkan diri di pinggir kali di atas batu besar, duduk-duduk santai di pematang sawah sekedar menikmati sunset, atau naik menjelajahi hutan menikmati keindahan alam.

Candi Cetho, grojokan sewu, dan berbagai lokasi wisata yang ada di sekitar sini pun sudah kami jelajahi semua. Keintiman kami sudah seolah tak mungkin terpisahkan lagi, bahagia kami berada di sini bak sepasang kekasih yang sedang kasmaran.

Dan hampir selama tiga minggu itu pulalah setiap malam aku selalu tidur berdua dengannya. Walaupun aku masuk ke kamar Arumi secara sembunyi-sembunyi, tapi aku tau pasti kalau mas Karman dan mbak Sri mengetahuinya. Dan selama itu pula mereka tidak pernah menegur atau membicarakan tentang itu. Sikap mereka pun juga tak berubah, masih seperti biasanya.

Biarpun tiap malam kami selalu tidur berdua, tapi kami belum sampai melakukan perbuatan itu. Paling hanya tidur berpelukan atau sebatas ciuman di kening dan pipi, serta kenakalan tanganku meraba-raba punggung, paha, bahkan nakal meremas-remas dan mengusapi bokongnya yang ternyata montok dan sekel itu. Semakin aku tau kesempurnaan sejati dari jiwa raga Arumi, semakin aku mengaguminya. Mungkinkah aku diam-diam telah jatuh hati padanya?

Kulitnya yang putih halus mulus, kakinya yang jenjang dengan betis mbunting padi, bokongnya yang montok dan sekel, pinggangnya yang ramping, bahkan buah-dadanya yang montok dan bulat ukuran bh 34a yang kadang-kadang iseng aku remas saat kami sedang bercanda berdua di kamar sebelum tidur. Bukannya aku munafik. Tapi jujur, kenyataannya semua itu semakin menyiksaku. Hampir aku tak kuat menahan keteguhan sedikit imanku yang masih tersisa. Kalau saja Arumi tidak pernah bercerita kalau dia masih perawan, mungkin saja perbuatan itu sudah kami lakukan dari kemarin-kemarin. Mungkin saja aku sudah memaksanya atau memperkosanya. Tapi aku berusaha menahan diriku untuk tidak melakukan perbuatan bejad itu. Perbuatan hina merenggut dan merampas kesucian dan kehormatan seorang gadis yang tengah dilanda prahara dan sedang labil jiwanya. One agains… That’s not my style.

***

Tapi pada suatu malam, akhirnya perbuatan itu terjadi juga. Tapi sumpah… bukan aku yang memulainya atau memaksa Arumi. Tapi Arumi lah yang memaksa dan memperkosa aku dengan keji tak berprikemanusiaan.

Malam itu seperti biasanya, sebelum tidur kami terlebih dahulu berbincang-bincang mencurhatkan segala sesuatu dan bercanda mirip dengan sepasang suami-istri yang sedang sibuk berunding bagaimana caranya besok bisa makan dan membeli beras, atau gimana dengan nanti masa depan anak-anaknya. Seperti itu pulalah yang kita lakukan tiap malam sebelum tidur dan juga malam ini. Tentunya masih diselingi dengan tanganku yang jahil merayap nakal kemana-mana. Dan gilanya lagi, Arumi membiarkan segala kenakalanku itu.

“Kok kakak gak perkosa-perkosa gue sih? Emang kakak gak nafsu ya tiap malam kita begini? Ato jangan-jangan… jangan-jangan kakak maho ya? Hii… sereeeemmm…” kata Arumi yang mulai lagi menggodaku.

“Sembarangan loe, kupret…”

“Eits-eits… gak boleh ngomong kasar sama tuan putri… inget janji, kak… kalo kakak masih bandel juga, sono bobok di luar… gak sudi gue bobok sama cowok barbar…” omel Arumi karena umpatan yang keluar lagi dari mulutku.

“Hehehe… Gak mau… di luar ngingiiiinn…” jawabku sok imut.

“Makanya jangan bandel… btw, pertanyaan gue tadi belon kakak jawab… jawab, kak… apa kak Andika yang terhormat gak nafsu apa tiap malam kita begini?”

“Mmm… gimana ya… nafsu sih nafsu, gila apa gue gak nafsu. Horny berat malah… tapi gue juga masih punya etika dan gengsi kali, Rum… gak mau juga kali gue merenggut paksa kehormatan anak orang. Pencabulan itu namanya. Masa iya Andika yang ganteng ini ditangkap polisi dan masuk penjara gara-gara kasus pencabulan? Hancur dong reputasi gue sebagai cowok terlanjur ganteng, gak gaya banget deh… kayak udah gak laku aja gue.”

“Preeeetttt… kakak sok kegantengan…”

“Ya biariin… Emang aslinya ganteng kan… Loe kan naksir kan ama gue, Rum? Hayo ngakuuu…”

“Hehehe… asal kakak mau potong rambut, kayaknya sih bisa di pertimbangkan.” kata Ayumi yang mulai lagi keluar kesongongannya.

Berani-beraninya di menyinggung rambut keramatku. Jangan sampe aja ni anak memprotes si boober kebanggaanku. Kalau sampai dia berani ngomongin atau nyela si boober kasayanganku, udah gak pikir panjang lagi, aku perkosa juga ni anak di sini saat ini juga.

“Wheeits… gak bisa… rambut keramat warisan Ali Topan nie…”

“Pundeeen kale keramat…” kata Arumi. “Kak, gue sebenernya horny berat loe tiap malam kita begini. Ditambah lagi tangan nakal kakak yang jelalatan ke mana-mana. Tiap malem gue mati-matian nahan horny gue yang dah gak ketahan… jadi nafsu berat gue, kak… ampe basah nie…”

“Apa’an yang basah?”

“Iiihh… ni anak culun amat sih… ya udah deh, gue ajalah yang perkosa kakak… nungguin kakak beraksi mah kelamaan, keburu karatan deh gue…” kata arumi sambil dia beranjak berdiri di atas ranjang.

Aku hanya diam memperhatikan setiap gerak-geriknya. Setelah berdiri, Arumi lalu menyingkapkan rok daster warna orange dengan motif kembang kembang yang lagi-lagi bekas mbak Sri. Terlihat di sana sebuah cd warna putih berenda yang menutupi gundukan memeknya yang ternyata njenong abis bak ikan lohan itu. Tak hanya sebatas menyingkapkan roknya saja, ternyata Arumi malah bablas menanggalkan daster yang dikenakannya itu sampai hanya menyisakan cd putih berenda yang melingkar di pinggul menutupi selangkangannya dan sebuah BH kuning gading. Dengan yakin dan diiringi sebuah senyuman genit ke arahku, Arumi pun lalu melepas pengait bh kuning gading itu dan menanggalkannya. Bergaya bak seorang penari streeptis, Arumi melenggak-lenggokkan tubuhnya sambil meremas-remas halus buah-dada montoknya yang jujur semakin membuatku belingsatan karena nafsu. Masih dengan goyangan bak penari streeptisnya, Arumi lalu pelan-pelan mulai meraih cd yang dikenakannya, dan dengan-pelan juga dia mulai memelorotkan menanggalkan cd itu dan melemparkannya tepat ke mukaku. Sekarang Arumi sudah benar-benar telanjang bulat.

Kuperhatikan setiap lekuk keindahan tubuh telanjang seorang artis yang berdiri telanjang di hadapanku ini. Seorang Arumi Bachsin yang lebih memilih kabur dari keluarganya daripada dipaksa dijodohkan dengan seorang pengusaha kaya asal Kudus, kini malah telanjang bulat dan bergoyang ala striptisers di hadapanku.

Dengan bebas aku bisa menikmati keindahan raganya. Sepasang bukit payudara yang kencang membulat di dadanya dengan hiasan sepasang puting berwana kecoklatan di ujungnya. Pinggul dan perut yang kecil dan ramping tanpa ada timbunan lemak sedikitpun. Dan segundukan daging yang tercepit di tengah tengah selangkangannya dan bermahkotakan rimbunan tipis bulu-bulu jembut. Ooohhh… Sungguh sangat sempurna keindahan tubuh sang kembang perawan. Ingin rasanya aku melompat dan menerkam kemolekan raga itu.

Arumi semakin liar bergaya bak penari streptis. Tangannya kini tak hanya bermain meremasi gundukan tetek di dadanya. Tangan kirinya kini telah merayap turun menjalari tubuhnya berujung di gundukan daging kewanitaanya di sela-sela selangkangannya dan mengusap-usap penuh nafsu penuh eroticity gundukan daging itu. Tubuhnya masih bergoyang ala goyangan penari streeptis yang erotis dengan pandangan mata genit dan lidah yang menjulur keluar bermain membasahi bibir tipisnya yang ranum kemerahan. Desahan pelan seolah sedang berbirahi tinggi pun tak luput juga dia keluarkan sebagai bumbu penyedap hidangan birahinya.

Dan selama Arumi beraksi itu, selama itu pulalah aku masih hanya terdiam tidur menyandar di ranjang menikmati pertunjukan tarian striptis sang artis fenomenal yang sangat erotis.

“Ihh… nyebelin banget sih. Gue dah capek-capek streptisan, kakak masih nyante aja kayak gak ada apa-apa. Kakak bisa gak sih berhenti nyebelin gitu?”

Sebenarnya tanpa dia sadari, keterdiamanku adalah keterguncangan jiwaku dan masih belum bisa meyakini bahwa apa yang ada di hadapanku ini adalah nyata adanya. Belum bisa menerima bahwa ini bukanlah fatamorgana belaka.

Tak tahan lagi mungkin Arumi dengan ketololan dan keculunanku, dia pun lalu duduk bersimpuh di sampingku yang semakin mendekatkan pemandangan indah tubuhnya di kelopak mataku. Tangannya kemudian mulai nakal meraba-raba di pahaku dan berhenti tepat di selangkanganku, tepat di atas gundukan batang kejantananku yang sudah ngaceng berat dengan sempurna. Diusap-usapkan tangan halus mulus miliknya di batang kejantananku yang masih tertutup dengan celana kolor warna hitam. Arumi tersenyum genit setelah tahu bahwa ternyata aku yang sedari tadi diam tak merespon segala usaha rayuan berbisanya, ternyata kejantananku merespon positif godaan beracun itu.

“Sok pura-pura gak peduli lagi… eh gak taunya ngaceng juga. Kakak sok munafik…” katanya memperolok kejantananku yang ternyata merespon godaanya itu.

“Hehehe… tau tuh si otong, gak bisa di atur… gak punya etika tu anak…” jawabku malu-malu.

“Huuuuu… dasar kakak…” kata Arumi sambil menyentil manja kejantananku yang sedang ngaceng sekeras baja tempa itu. Tanpa meminta ijin dan menunggu persetujuanku terlebih dahulu dari sang empunya, Arumi penuh dengan nafsu birahi memelorotkan kolor hitam yang kukenakan, melepasnya dari tubuhku sekalian dengan cd biru yang kukenakan di baliknya dan melemparkannya lagi-lagi ke mukaku.

Langsung batang kejantananku yang berukuran sedang standart asia itu terpampang jelas di depan matanya. Kelihatan dengan agak ragu Arumi meraih dan menggenggamnya, kelihatan sekali bahwa dia belum berpengalaman, masih hijau. Diusap-usapkannya pelan jempol jarinya di kepala kejantananku yang membuat aku mendelik keenakan. Jujur, baru inilah onderdil kelelakianku dipegang seorang perempuan. Dan malam ini pulalah mungkin akhir perjalanan dari keperjakaanku.

“Hihihi… bentuknya lucu ya, kak... ada helmnya segala… mirip jamur…” seringai manja Arumi dengan sedikit bias malu.

“Hehehe… antik ya… loe kagak punya kan?”

“Ya nggak punya lah… gue mah punyanya ini.” katanya sambil meraba selangkangannya sendiri.

“Ini apaan?” godaku.

“Ini ni… ini…”

“Iya, ini apaan?”

“Dari tadi ini-ini mulu… ini tuh… memek!” bisiknya lirih di kupingku dengan bias malu-malu.

“Kalo yang loe pegang itu namanya apa?” godaku lagi.

“Ihh… kakak mah jahat… ngegodain terus… ini mah namanya kontol, kakak sayaaaang…” bisiknya pelan lagi manja di kupingku.

“Kok kayaknya loe grogi gitu, Rum?”

“Ya iyalah, kak… kan baru kali ini gue tau dan pegang yang beginian.”

“Sama, Rum… gue juga baru ini dipegangin kontol gue ama cewek. Loe cewek pertama yang berani-beraninya lancang mainin si joni.”

“Sumpee kakak gak boong? Berarti kakak masih perawan juga dong… gak rugi dong gue… imbang kita, kak… satu-satu. Semenjak megangin ini, kenapa memek gue jadi gatel ya, kak?” kata Arumi sambil merayap naik dan duduk di selangkanganku. Bibir kemaluannya tepat berada di atas batang kejantananku. Seperti sudah naluri, Arumi pun langsung menggoyangkan pinggulnya maju mundur, menggesek-gesekkan batang kejantananku di bibir kemaluannya yang sudah sangat basah itu.

Dan lagi-lagi mungkin karena sudah terlalu dikuasai nafsu yang membuncah, tanpa konfirmasi dan ijin dari sang empunya, Arumi mengangkat sedikit bokongnya, meraih batang kejantananku dan diusap-usapkan di bibir kemaluannya. Dicucuk-cucukkan kepala kejantananku di bibir kemaluannya berusaha dimasukkan ke dalam lobang kewanitaannya yang masih sempit perawan itu.

“Tu-tunggu, Rum… loe dah yakin dengan ini? Pikir dulu… jangan gegabah… kehormatan loe… masa depan loe ini, Rum…” kataku yang berusaha menghentikan aksinya itu.

Seperti tak mengindahkan cegahanku, Arumi masih terus berusaha memasukkan batang kemaluanku ke dalam kemaluannya. Setelah dengan usaha keras, akhirnya ujung kejantananku berhasil masuk ke dalam lobang kemaluannya. Aku bisa merasakan betapa sempit, hangat, dan basahnya lobang kewanitaan Arumi, walaupun baru kepala kemaluanku saja yang masuk ke dalam kewanitaannya. Bisa juga aku rasakan seperti ada sebuah penghalang yang seakan menahan batang kejantananku agar tak masuk lagi lebih dalam ke dalam sana.

Arumi menghela nafas panjang dan memejamkan mata seakan bersiap akan sesuatu. Setelah merasa dirinya siap, tanpa aba-aba dan dengan satu hentakan keras pinggulnya ke bawah, akhirnya masuk juga kejantananku dengan sempurna menembus sang sekat penghalang, yang berarti telah tertembus dan akhir dari riwayat keperawanannya di ujung bilah kejantananku.

“Eehhhh… Aahhhhh…” Jrebb! Prett! “Aaahhhh… sa-sakiiit... kak… Eehhh… m-masuk semua… oohhhh… ugghhh…” rintih dan erangan kesakitan Arumi saat terenggut keperawannya.

Sejenak dia mendiamkan batang kejantananku menancap di dalam lobang kewanitaannya. Tubuhnya limbung ambruk menimpa dan memelukku. Sekilas kulihat tangan kanannya meraba ke belahan pantatnya, dan menunjukkan sesuatu kepadaku.

“Kak… keperawanan gue, kak…” katanya sambil menunjukkan jari tengahnya yang terlumur setitik daras segar keperawanannya.

“Gila apa loe, Rum! Loe kagak mikir apa… masa depan loe itu, Rum…”

“Sst… gue ikhlas, kak… gue ikhlas…” katanya sambil menempelkan jari telunjuknya yang ternoda darah perawannya di bibirku, sehingga meninggalkan setitik bercak merah darah di situ. Beberapa saat kami masih terdiam berpelukan dengan batang kejantananku yang masih menancap di dalam lobang kewanitaannya.

“Masih sakit, Rum?”

“Iya, kak… rasanya selangkangan gue kayak mo kebelah… kontol kakak kerasa banget ngeganjel sampe ke puser. Tapi… rasanya… fantastis…”

Pelan aku pun mulai menggerakkan pinggulku, berusaha mengeluar-masukkan kemaluanku menyetubuhi Arumi. “Stop, kak… jangan dulu… masih perih…” cegah Arumi.

Kuturuti kemauannya itu, menunggu rasa sakit itu menghilang. Kupandangi sejenak wajah ayunya yang tersandar di dadaku. Terlihat ada tetes bening air mata yang mengalir keluar dari sudut-sudut mata indahnya yang sedang terpejam. Semakin erat Arumi memelukku dan semakin dalam ia *membenamkan kepalanya di dalam dekapanku.

“Loe nangis, Rum… loe nyesel ya?” tanyaku akan air matanya itu. Arumi hanya menjawab pertanyaaku ini dengan gelengan kepalanya yang berarti tidak. Tidak, tidak dia tidak menyesali ini.

Perlahan Arumi bangkit dari dekapanku. Kembali dia duduk di selangkanganku, masih dengan batang kejantananku menancap di lobang kemaluannya yang sekarang malah masuk lebih dalam lagi ke dalam sana. Pelan Arumi mulai menggoyangkan pinggulnya maju-mundur, mengeluar-masukkan batang kelelakianku di dalam lobang kemaluannya. Aku pun juga mengimbangi gerakan Arumi itu dengan ikut juga menggerakkan pinggulku. Sambil menggoyangkan pinggulnya maju-mundur, mata Arumi terpejam menikmati resapan kenikmatan birahi yang tak terlukiskan. Sepertinya sudah hilang sama sekali rasa perih saat pertama kali kejantananku menusuk menjebol keperawanannya tadi, yang sekarang sudah berganti dengan kenikmatan yang teramat sangat dan fantastis.

Goyangan Arumi semakin liar dan binal. Desahan, rintihan dan erangan mulai jelas terdengar seiring gerakan pinggulnya mengocok batang kejantananku yang tertancap di lobang kemaluannya. Jepitan lobang kewanitaannya terasa seakan melumat menghisap batang kejantananku.

“Oocchhhh… mmhhh… kaakk… enaaak… eehhmmm…” desahnya.

Aku pun juga tak mau kalah. Tanganku pun mulai beraksi mengusap dan meremasi sepasang payudaranya yang bulat dan montok itu.

“Kakak sa… yang… ooohh… yeaahhh…” semakin keras desahan yang keluar dari mulut manisnya.

“Oooh… Rum, jangan keras-keras desahnya… ntar kedengeran mas Karman sama mbak Sri…”

Arumi seakan sudah tak bisa lagi mendengarkan peringatanku. dia masih saja mendesah dengan keras dan semakin menggoyangkan pinggulnya semakin cepat maju-mundur mengulek-ulek batang kejantananku yang tertancap di lobang kewanitaannya.

Tak mampu lagi aku mengimbangi keganasan Arumi yang semakin binal menjadi itu. Sepertinya tak lama lagi aku akan menyerah. Tak mampu lagi aku menahan sensasi jepitan dan remasan dinding lobang kewanitaan Arumi di batang kemaluanku. kemaluan arumi seakan menyedot-nyedot batang dan kepala kejantananku, melahirkan stimulasi erotis yang tak terbendung lagi.

Kutarik tubuh telanjang Arumi untuk jatuh lagi memeluk tubuhku. Aku sudah merasa tak kuat lagi. Kemaluanku yang sedang tertancap di lobang kewanitaannya dan diulek-ulek, dikocok keluar-masuk dengan liar itu sudah berkedut-kedut nikmat. Rasa nikmat menjalar dan berkumpul di ujungnya siap menembakkan segala kenikmatan birahi.

“Rum… Rum… santai aja, Rum… oohhh… gue gak kuat nie... Ooohhh…” akhirnya aku tak mampu lagi menahan air-maniku untuk muncrat menghambur keluar. Kupeluk semakin erat tubuh mungil telanjang Arumi yang ada di dekapanku.

“Aahhh… Rumm… gue kel… ohh… gue keluaaaarr… oohhhh…” Cret-creet-cret-creet… tubuhku bergetar dengan hebat, dan batang kejantananku pun berkedut-kedut nikmat bersamaan dengan tumpahnya cairan kenikmatan dari ujung kepala kejantananku. Air-maniku tak mampu lagi aku tahan menyembur muncrat di dalam relung kewanitaan Arumi, membuat kemaluan Arumi semakin basah dan becek karena semprotan spermaku yang banyak, panas dan kental.

Seperti tak menghiraukan aku yang sudah terkapar terlebih dahulu, Arumi masih menggoyang pinggulnya dengan liar. Masih mengocok mengeluar-masukkan batang kemaluanku dengan liar dan binalnya. Sampai akhirnya…

Tubuh Arumi pun bergetar dengan hebat dan semakin memeluk erat tubuhku. Dinding-dinding kemaluannya berkedut-kedut semakin kencang meremas-remas batang kejantananku yang sudah lunglai lemas tak berdaya di dalam lobang kewanitaannya.

“Oohhh… kak Dikaaa… emmhhh… eehhh… gue... aahhh… gue pipis, kak… aaoohhh...” dan akhirnya, setelah sebuah hentakan kasar yang semakin dalam membenamkan kemaluanku di dalam lobang kemaluannya, pelukan Arumi yang erat mendekapku pun mulai melemah. Pinggulnya sudah berhenti bergoyang, dan hanya tinggal sesekali berkedut-kedut. Tubuh kami berdua pun ternyata sudah basah dengan peluh dan keringat.

Tiba-tiba suasana menjadi hening. Arumi yang masih menindih tubuhku lemah tak berdaya, menyandarkan kepalanya di dadaku dengan mata terpejam. Nafasnya terengah-engah dengan jantungnya yang berdetak kencang. Akupun juga begitu. Tubuhku lemah tak bertenaga dan sendi-sendi tubuhku seakan lolos tercerai-berai. Sepertinya aku tak sanggup lagi untuk berdiri atau bahkan hanya sekedar menggerakkan anggota badanku.

Setelah beberapa saat saling diam, tiba-tiba saja pinggul Arumi mulai bergoyang lagi maju-mundur, mengocok lagi batang kemaluanku yang sudah lemas lunglai di dalam lobang kewanitaannya.

“Udah, Rum… ampun dah… gue sudah gak sanggup lagi… ampun…” kataku berusaha menghentikan goyangannya. Sungguh, beneran, sumpah, aku udah gak mampu lagi. Kalau dipaksa diterusin, mungkin aku akan tewas saat ini juga.

“Kan kak Dika belon… gue goyang lagi ya, kak… sekarang gantian kakak yang keluar…”

“Aduh, Rum… ampun gue, Rum... gue dah keluar, Rum… dah gak sanggup lagi gue… udah ya, sayang… kita istirahat ya?”

Arumi lalu bangkit dari dekapanku dan merebahkan tubuhnya tidur terlentang di sampingku. Nafas kami masih terengah-engah kelelahan. Tersungging senyum manis di bibirnya sambil memiringkan tubuhnya kembali memelukku dan menyadarkan kepalanya kembali di dadaku.

“Hehehe… kakak udah ya… kok cepet, kak?”

“Ngeledek loe, ya… namanya juga baru pertama, Rum… masih perlu banyak belajar lagi. Lagian loe sih, goyangannya liar bangeet…” kataku mencoba beralasan karena malu sudah kalah duluan.

“Abisnya enak banget sih, kak… sumpah deh. Rasanya itu loh, kak… gak bisa diomongin deh… ajib banget… fantastis deh pokoknya. By the way… makasih ya, kak… ini hadiah ulang tahun terindah yang pernah gue dapetin.” jawab Arumi sambil memberitahukan bahwa hari ini dia sedang berulang tahun.

“Emang loe lagi ulang tahun gitu? Emang sekarang tanggal berapa?”

“Sekarang kan tanggal 19 februari, kak... tepat hari ini gue berulang tahun. Malam ini gue udah genap 17 tahun, dan malam ini juga gue udah jadi wanita sejati seutuhnya. Makasih ya, kak… I love you… Muuuach…” kata Arumi yang di akhiri dengan sebuah ciuman di bibirku.

“Happy birthday ya, Rum…”

“Makasih, kak Andika sayang… I love you…”

Kubelai mesra rambut Arumi penuh kasih sayang. Kuusap-usap juga punggungnya yang putih mulus itu. Sepertinya Arumi sudah kembali tertidur memelukku. Mungkin dia terlalu lelah setelah pertempuran perdana tadi, sebagaimana aku.

Saat arumi tertidur di pelukanku, aku malah belum bisa memejamkan mataku. Pikiranku melayang teringat akan cerita-cerita orang dan membandingkannya dengan aku yang hanya mampu beraksi sekali. Itupun aku kalah menyerah duluan.

“Gila, baru satu gaya aja gue dah kalah, dah kelabakan, dah ampun-ampun. Gimana kalo pake gaya gaya yang lain? Kok orang-orang bisa hebat banget ya… yang katanya kuat ampe setengah jam lah, bahkan ada yang katanya kuat ampe sejam. Yang katanya ceweknya mampu keluar dua kali, tiga kali. Bahkan ada yang bercerita ampe delapan kali… Gila, kuat banget mereka… orang apa kingkong itu ya?” kata batinku.

Tak terasa aku pun juga sudah tertidur lelap karena terlalu kelelahan. Malam itu kami berdua tidur berpelukan telanjang bulat tanpa sehelai benangpun yang menutupi ketelanjangan kami. Sudah tak kami rasakan bahwa sejatinya udara malam ini sangatlah dingin menusuk tulang.

***

Pagi harinya kami bangun kesiangan. Kami bangun saat jam sudah menunjukkan jam Sembilan pagi. Kulihat Arumi masih tertidur pulas, masih dengan posisi memelukku.

“Rum… Rum… bangun, sayang… dah siang ni…” kataku membangunkan Arumi yang masih tertidur pulas itu.

“Mmhhh… oohh… apa yang… eh, selamat pagi…”

“Bangun, Rum… lihat tuh, dah jam sembilan.” kataku sambil menunjuk jam dinding yang ada di dalam kamar.

“Waduh, gila… gimana ini, kak…” jawab Arumi kaget sambil buru-buru bangun dan berpakaian.

“Tahu dah gimana…”

“Mereka pasti tau dong kak, kalo kita bobok bareng?” kata Arumi yang terlihat panik.

“Apa lagi loe semalam ngrintihnya kenceng banget lagi... pasti kedengeran lah ampe kamar mereka… dah, loe aja yang keluar duluan… santai aja… jangan panik... yang terjadi terjadilah…”

Arumi hanya menjawab dengan anggukan kecil. Masih jelas terlukis raut panik di wajah ayunya. Setelah bisa sedikit menenangkan dirinya, dia pun lalu keluar dari kamar. Sementara aku masih di dalam, aku keluar belakangan. Setelah menunggu beberapa saat, mengintai suasana kondusif, akhirnya akupun menyusul keluar dari kamar Arumi. Saat aku melewati dapur hendak ke kamar mandi yang letaknya di belakang rumah mas Karman dan mbak Sri itu, aku lihat Arumi sedang berbincang-bincang dengan mbak Sri sambil bantu-bantu mbak Sri memasak.

“Bangune kesiangan ya, Rum?” tanya mbak Sri.

“Iya ni, mbak… sorry ya… dah numpang, bangunnya siang lagi.” jawab Arumi.

“Yo nggak opo-opo lah, Rum… santai wae, anggep wae rumah Arumi sendiri.”

“Iya, mbak Sri… makasih…”

“Eh, den Dika… sarapan wis siap den, sarapan disik gih…” kata mbak Sri menyuruhku sarapan.

“Ntar dulu deh, mbak… Dika mandi dulu deh… masa belum mandi dah makan sih…”

“Yo wis, bar mandi langsung sarapan yo… kamu juga yo, Rum… ngko bar nyiapi iki, mbak Sri mau ke sawah, nganterke sarapan buat mas Karman.”

“Oh iya, mbak.” lalu aku pun keluar ke kamar mandi.

“Eh, kak… gue dulu ya yang mandi… kak Dika timbain ya…”

“Wuenak aja… nimba sendiri lah…”

“Yaaah… kak Dika… kan Arumi capek…”

“Bodo amat…” jawabku sambil terus ngeloyor keluar.

“Ehh, den Dika… ora boleh begitu sama perempuan. Kamu kan cowok, yo kamu timbain lah… kasian kan Arumi kalo harus nimba sendiri…” sambung mbak Sri menasehatiku.

“Tuh, dengerin apa kata mbak Sri…”

“Huuu… yang di belain… seneeeng…”

Aku pun akhirnya dengan terpaksa menimbakan air untuk mandi Arumi. Sumur di rumah mas Karman dan mbak Sri ini belum pakai pompa air. Jadi tiap mau mandi atau mau ngapain aja harus nimba dulu dari sumur pakai timba kerekan.

Tak terlihat raut wajah aneh atau marah dari mbak Sri. Padahal tidak mungkin kalau mbak Sri dan mas Karman tidak tau kalau kami semalam tidur berdua dan melakukan perbuatan suami-istri itu.

***

Sore harinya sehabis Isya’, aku dan mas Karman sedang asik bermain catur sambil ngobrol di ruang tengah di depan tivi. Sementara Arumi sedang menemani Kinanti mengerjakan PR sekolahnya di sebelah kami.

“Den Dika rencanane arep gimana?” tanya mas Karman sambil bermain catur.

“Ya gak tau lah, mas… mungkin Dika mau cari kerja. Eh, bagi rokoknya ya, mas.”

“Yo, ambil aja…”

Tak lama kemudian mbak Sri keluar dari dapur sambil membawa tiga buah gelas di atas nampan. Yang dua gelas jelas berisi kopi buat aku dan mas Karman. Sementara gelas yang satunya lagi entah berisi apa.

“Iki jamu buat kamu, Rum… kamu minum yo… Ini jamu apik loh buat wanita, ramuan tradisional jowo. Ngko tiap hari mbak bikinin jamu buat arumi, ben badan arumi tambah bagus, tambah apik.” kata mbak Sri sambil menyerahkan gelas yang satunya yang ternyata isinya jamu buat Arumi itu.

“Jamu apa ini, mbak Sri? Pahit gak?” tanya Arumi sambil menerima gelas berisi jamu dari mbak Sri itu.

“Jamu Joao, Rum… namane jamu yo pasti pait to, Rum... wis cepet di minum, dihabisin yo…”

Dengan terpaksa Arumi minum jamu dari mbak Sri itu. Walaupun dengan menutup hidung dan hampir muntah, terpaksa juga Arumi habisin segelas jamu yang kayaknya super pahit itu.

***

Semenjak pengalaman pertama itu, kami sering melakukannya lagi dan lagi. Kami merasa semakin bebas melakukan perbuatan suami istri itu, karena selama ini mas Karman dan mbak Sri tak pernah menegur kami ataupun menunjukkan sikap tidak suka. Mereka tak pernah membahas aku yang hampir tiap malam tidur sekamar dengan Arumi atau menanyakan tentang kegaduhan yang terdengar dari kamar Arumi. Bukannya mereka tidak thau, tapi mungkin mereka pura-pura tidak tahu.

Sedangkan kami berdua bagaikan orang kesurupan yang sedang keranjingan di mabuk cinta. Hampir setiap hari kami selalu melakukannya lagi dan lagi. Sehari saja kami tidak melakukannya, kami sudah kelimpungan tak jelas. Terutama aku tentunya.

Tetap saja, kami tak bisa melakukannya tiap hari walaupun kami merasa bebas. Yang namanya perempuan pasti ada masanya menstruasi. Dan selama Arumi menstruasi, selama itu jugalah kami harus libur berhubungan badan.

Dua minggu setelah pengalaman pertama itu, tamu bulanan Arumi pun akhirnya datang juga. Hampir selama seminggu kami tidak bisa berhubungan badan. Rasanya lama sekali menunggu satu minggu sampai Arumi selesai menstruasi. Setelah menunggu dengan tidak sabar, akhirnya menstruasi Arumi pun berakhir juga.

Saat itu kami sedang berboncengan naik si boober habis dari pasar berbelanja. “Rum, udah belum?” tanyaku.

“Gimana ya… kasih tau gak ya…” ledek Arumi.

“Ayolah, Rum… loe udahan belon mens-nya? Dah gak kuat nih…”

“Maruk amat sih, kak… hehehe… iya, sayang… gue dah kelar mensnya… seneng?”

“Yesss… asik... ntar malam ya, Rum?”

“Ogah ah, males… capek gue…”

“Yaaah… Arumi kok gitu sih, gak asik banget deh… mau ya, sayang… yaaa? please… Ayo dong, Rum… kasihani gue yang ganteng ini, jangan loe sia-siain kegantengan gue, wahai nona Arumi…”

“Idih… rayuan kayak basi… gak mutu tau gak, kak? Kakak emang ganteng tapi rusuh…”

“Hehehe… namanya juga usaha… sah-sah aja kan? Mau ya… Arumi cantik deh…”

“Yeeee… kok maksa sih…! Tapi ya udah deh… iyaaa… ntar malem…”

“Aseek… mantap dah… sip deh… ntar malam beneran ya, Rum… jangan boong ya…”

“Iya…” jawab arumi sambil semakin mengeratkan pelukannya di pinggangku.

Sesampainya di rumah, Arumi langsung masuk ke dapur menyerahkan belanjaan dapur itu ke mbak Sri. Sedangkan aku langsung mencuci si boober kesayanganku. Aku tak mau sedikitpun si boober kotor. Dengan tak sabar aku menunggu agar malam cepat datang dan kami bisa segera beraksi lagi.
 
Author : siganteng_rusuh
Malam yang ditunggu pun akhirnya datang juga. Jam 9 malam, mas Karman dan mbak Sri sudah masuk dan tidur di kamar mereka. Tinggal aku dan Arumi berdua di ruang tengah menonton tivi. Karena sudah tak sabar lagi, sejam kemudian kami pun juga masuk ke kamar kami, kamar jatah Arumi lebih tepatnya.

Sesampainya di dalam kamar, aku pun langsung menelanjangi diriku sendiri tanpa malu-malu lagi dengan Arumi. Arumi pun tersenyum melihatku yang sudah telanjang tak sabaran itu.

“Idih, gak tau malu banget sih kakak, main telanjang seenaknya aja…”

”Hehehe… dah gak tahan atuh, Rum… ayuk ah, cepetan…”

“Iya… ah… sabar dikit napa… gak bakalan ada yang ngrebut juga kaleee…” Arumi pun akhirnya juga ikut menelanjangi dirinya sendiri. Kemudian langsung aku peluk tubuh molek telanjang Arumi tersebut dari belakang. Mengetahui itu, Arumi kemudian membalikkan badannya menghadapku dan langsung memagut bibir sambil berpelukan erat. kami berciuman liar sekali, lidah kami saling menjilat, saling menghisap, saling melilit bersahutan bertukaran ludah. Kami berdua seolah ingin membalas dendam kesumat setelah seminggu libur karena Arumi sedang menstruasi.

Di tengah-tengah ciuman liar tersebut, pelan-pelan tangan kumulai merayap turun ke bokong sexynya, meremas-remas bokong montok nan sexy milik Arumi. Karena merasa kurang nyaman dalam posisi berdiri, aku lalu menggendong tubuh Arumi dan membaringkannya setengah membanting di ranjang. Sesampainya di ranjang, kami kembali berpagutan liar sambil berpelukan, saling piting, saling banting. Tanganku juga mulai menggerayang nakal menjamah ke payudara Arumi yang montok nan ranum membulat itu. Kumainkan jemariku disitu, kuremas-remas gundukan payudara Arumi sambil sesekali putingnya aku pelintir-pelintir gemas.

Puas berpagutan, aku lalu mengalihkan ciumanku turun ke dada Arumi. Kukulum buah-dadanya yang montok itu, sambil memainkan lidahku menghisap ujung putingnya yang mengeras. Tanganku juga bermain di selangkangan Arumi, kuusap dan kuelus-elus belahan bibir kemaluannya yang sudah mulai basah sambil memainkan clitorisnya yang menyempil terjepit di dalam belahan bibir kewanitaan tersebut. Arumi mendesah, merintih, kelojotan keenakan karena aku permainkan clitorisnya.

“Eehhh… oohhhh... iya, kak... ohhh.... enak, kak... t-tapi jangan masukin jari ya, kak… Arum… oooh… Rum nggak m-mau… eemmh… aahh…” desah Arumi sambil memelukku makin erat dan tangannya pun juga mulai nakal meremas-remas bokongku.

Ciumanku kemudian turun ke selangkangan Arumi Bachsin, menghisap gundukan daging kemaluan Arumi itu sambil memainkan lidahku menggelitiki clitoris kecilnya. Jilatanku di clitorisnya membuat Arumi menjadi semakin kelimpungan keenakan. Arumi yang sudah tak tahan lagi itu minta untuk segera aku eksekusi.

“Oohhh... enakk... udah, kak... Rum nggak tahaaan... gak kuat lagi… udah… udah, kak... stooop... aahhh... cepet, kak... ayuk... masukin sekarang... aayyhh...” rintih Arumi yang sudah tak tahan lagi ingin segera merasakan nikmatnya bersebadanan kami.

Aku juga sudah tak tahan lagi, segera kuhentikan hisapan dan jilatanku di kemaluan Arumi lalu kuposisikan tubuh dan pinggulku tepat di tengah-tengah kaki arumi yang sudah mengangkang. Kumainkan sebentar kejantananku, kugesek-gesekkan sebentar kepala kejantananku di belahan bibir kemaluannya sambil tersenyum melihat Arumi yang matanya sudah sayu karena birahi. Mungkin karena sudah tak tahan lagi, Arumi kemudian memegang kejantananku yang malah kumainkan di bibir kemaluannya itu dan langsung mengarahkan kejantananku ke lobang kewanitaanya. Arumi mengapitkan kakinya dan menekan bokongku ke bawah sambil menyambutnya dengan mengangkat pinggul dan bokongnya ke atas, sehingga kejantananku langsung masuk menusuk ke dalam lubang kewanitaannya.

Bleesss... sleeep...

“Oohhh... masuuuk… iya, ini enaakk…” desah Arumi menikmati rojokan batang kelelakianku.

Aku diamkan kemaluanku yang sudah masuk ke dalam lobang kemaluan Arumi tersebut. Aku ingin tahu bagaimana reaksi selanjutnya dari seorang artis yang sedang dilanda birahi ini.

“Kak Dika... ayo dong, kak...” rengek Arumi minta dipuaskan birahinya.

“Ayo apa, Rum?” tanyaku menggodanya.

“Ihh... kak Dika mah jahat... goyangin dong, goyangin... ayo, kak... Arumi dah gak tahan nih... goyangin kak, biar enak… ooohhh… entotin atu kak memek Arumi… mmmmhhh…” rengek Arumi sambil mengerak-gerakkan pinggulnya karena sudah tak sabar lagi menunggu tusukanku.

Akhirnya aku kasihan juga dan menuruti rengekan Arumi yang sedang horny berat itu. Mulai kugoyangkan kemaluanku keluar-masuk lobang kemaluannya. Pertama-tama pelan, tapi makin lama makin cepat, makin keras dan makin liar.

Goyanganku makin lama makin cepat, dengan sesekali diselingi tusukan dalam sehingga kemaluanku yang lumayan panjang tapi masih standart ukuran asia itu menusuk sampai relung kewanitaan Arumi yang terdalam, yang semakin membuat Arumi kelojotan merintih keenakan.

Plok-plok-plok-plok... bunyi selangkangan kami yang beradu karena goyangan kami yang semakin liar. Erangan dan desahan Arumi semakin keras, semakin liar dan semakin menjadi-jadi. Seolah dia sudah tak memperdulikan lagi mas Karman dan mbak Sri yang tidur di kamar sebelah yang mungkin saja bisa mendengar erangan dan desahannya. Begitu juga dengan aku. Aku juga sudah lupa di mana posisi kami berada karena sudah terlanjur di kuasai oleh birahi.

“Oohhh... teruss... tusuk yang dalam, kak... uuhhh... iya... iya gitu... aahhh... enak banget, kak... aahhh... eemmhh…” rintihan dan erangan kenikmatan Arumi yang semakin menjadi.

“Uuhhh... mantep, Rum... enak, aaaahh...” goyangan kami beradu kelaminpun semakin liar dan buas. Seprei ranjang yang menjadi arena kami berduapun menjadi acak-acakan, awut-awutan gak karu-karuan.

Lumayan lama kami berpacu dalam nafsu birahi, sehingga tubuh kami berdua telah basah dengan peluh dan keringat yang bercucuran. Posisi kami pun juga telah berubah. Sekarang Arumi yang berada di atas, mengangkangiku, dan memegang kendali atas ritme permainan kami. Dia menggerakkan pinggulnya maju-mundur, sambil sesekali diselingi goyangan ke kiri dan ke kanan, memutar, memelintir, dan mengocok batang kejantananku yang sedang menusuk di lobang kewanitaannya.

Setelah beberapa lama bergoyang mengulek-ulek kejantananku, akhirnya setelah beberapa lama Arumi sepertinya hampir sampai pada puncak kenikmatannya. Tubuhnya ambruk memelukku sambil melumat bibir dan mulutku. Kembali kami berpagutan liar, dengan pinggul kami masih singkron bergoyang berirama senada.

Hampir pada saat yang bersamaan aku juga merasa sudah hampir tak kuat lagi menahan dorongan kenikmatan yang ingin menyembur nikmat keluar dari ujung kepala kejantananku. Dengan agak kasar kubalik tubuh Arumi dan kembali memegang kendali permainan. Bak Cristiano Ronaldo yang sedang mengutak-atik si kulit bundar, kugoyangkan pinggulku semakin cepat dan semakin liar penuh dengan skill dan trik-trik mumpuni yang baru aku kuasai. Sudah tak kuasa aku ingin segera mendapatkan kenikmatan surgawi itu.

“Oohhh... jangan kasar, kak... aahhh... teruus... Arumi bentar lagi keluar, kak... ahhhh... eeaahhh...”

“Sabar, Rum... aahhh... mmhhh... aku juga… kita bareng yaa… ohhhh... aahhh...” desahku karena juga merasa hampir sampai.

“Oohhh... ini, kak... eemmh... aahhh... Arumi sampeeeee... oohhh...” akhirnya tubuh Arumi mengejang dan bergetar hebat. Tangannya memelukku dengan erat dan kedua kakinya mencengkeram mengapit bokongku agar kejantananku masuk semakin dalam di lobang kemaluannya. Otot dinding rahimnya berkedut-kedut bersamaan dengan tumpahnya cairan kenikmatan dari dalam kewanitaannya.

Hampir bersamaan dengan orgasme Arumi itu, tubuhku pun juga mengejang dan pinggulku juga bergetar hebat. Dalam satu tusukan pamungkas, kuhujamkan kemaluanku sedalam-dalamnya ke dalam kewanitaan Arumi, sambil kumuntahkan semprotan sperma yang hangat dan kental menyirami rongga relung kewanitaannya.

“Aku juga, Rummm... oooooohhhhh...” jeritku. Dan cret-cret-cret-cret-cret... akhirnya tumpahlah sudah kenikmatan surgawi yang sangat aku idam-idamkan itu hampir secara bersamaan dengan Arumi. Tubuhku yang lemas setelah menyemprotkan benih anak-anak keturunanku, kemudian ambruk menimpa tubuh mungil Arumi. Kami berdua terengah-engah dengan nafas yang cepat memburu.

Kucabut kemaluanku dari lobang kemaluan Arumi Bachsin dan tidur terlentang di sampingnya sembari memeluk Arumi yang masih terengah-engah kelelahan sambil memejamkan matanya.

Saking capeknya kami berdua langsung tertidur berpelukan masih dengan tubuh kami yang telanjang bulat tanpa ditutupi dengan selembar benangpun. Sudah tak kami hiraukan lagi cuaca yang sebenarnya dingin itu, karena tubuh kami berdua malah panas karena baru saja di landa birahi yang menggelegar.

***

Keesokan harinya.

“Den Dika, ikut mas ke sawah yo…” ajak mas Karman di suatu pagi.

“Woke, mas… Dika mandi dulu ya.”

“Yo wis, mandine jangan lama-lama yo… tak tungguin di depan. Jangan lupa sarapan dulu kamu.”

“Iya, mas… 86 dah…”

Aku kemudian buru-buru mandi dan gosok gigi. Setelah mandi dan berganti pakaian kemudian aku pergi ke dapur untuk sarapan. Di dapur hanya ada Arumi yang sedang menyiapkan bekal kami nanti di sawah. Sedangkan mbak Sri sedang sibuk mempercantik Kinanti yang akan berangkat ke sekolah.

“Arumi Bachsin oh sayangku sang selebritis… lagi ngapain, dedek?” godaku pada Arumi yang sedang sibuk menuangkan sayur di rantang.

“Selebritis-selebritis… kakak ngledek ya?!” kesal Arumi sembari melempar terong ke arahku.

“Weits… gak kena-gak kena… weekkk…”

“Mbak Sri… kak Andika nakal nih, mbak!” teriak Arumi mengadu ke mbak Sri.

“Den Dika, jangan nakal! Sarapane cepetan, wis ditunggu mas Karman tuh.” teriak mbak Sri dari ruang tengah setelah mendengar aduan dari Arumi.

“Awas loe… beraninya ngadu…” sungutku kesal. “Ambilin makan…”

“Ogah, ambil aja ndiri… sapa suruh tadi pake ngledekin segala…”

Terpaksa aku ambil makan sendiri lalu makan dengan cepat. Selesai makan dengan menu sayur terong, aku bergegas menyusul mas Karman di depan. Sebelum berangkat, aku menyempatkan diri untuk menggoda Arumi lagi. “Dedek Arumi Bachsin sang selebritis kondang yang sering nongol di infotainment... kang mas Andika ke sawah dulu ya… Hehehe…” godaku sambil berlari menghindari Arumi yang berlari mengejarku sambil membawa serokan untuk memukulku.

“Mbak Sri… kak Andika nakal lagi tu, mbak…” adu Arumi setelah tak berhasil mengejarku.

“Den… jangan nakal, den…” tegur mbak Sri kepadaku.

Akupun lalu menemui mas Karman di depan dan berangkat ke sawah.

CLETHAAKK…!

“Auw… sakit tau… bocor ni…” kataku kesakitan sambil mengusap-usap kepalaku yang dipukul Arumi pakai serokan.

“Rasain… syukurin… Weeks…”

“Awas loe ya…” kesalku sambil hendak mengejar Arumi.

“Den Dikaa! Udah-udah… jo panggah gujekan wae… ayo berangkat… buk, bapak ke sawah dulu yo…”

“Nggih, pak… ati-ati…”

Lalu kami pun berangkat ke sawah. Sesampainya di sawah, aku membantu mas Karman menyiangi rumput yang sudah mulai meninggi di sawahnya yang sedang ditanami padi itu. Lumayan luas juga sawah mas Karman ini.

Tak terasa sudah lumayan lama kami bekerja menyiangi rumput, dan hari pun sudah menjelang siang. Mas Karman pun lalu mengajakku untuk istirahat sambil ngrokok dan minum kopi bekal dari rumah tadi di sebuah saung di tengah sawahnya.

“Den Dika, mas mo ngomong ama aden...”

Deg… perasaanku tak enak mendengar omongan mas Karman itu. Jangan- jangan mas Karman mau ngomongin soal aku yang tiap malam tidur bareng Arumi dan melakukan hubungan suami istri.

“Mas Karman mo ngomongin apa ya?” tanyaku dengan perasaan tak menentu.

“Gini, den… aden sayang sama Arumi?”

“Gimana mas ya… Dika jujur ni ya, lama-lama emang Dika sayang juga ama dia, mas. Emang kenapa gitu, mas?”

“Begini ya, den… kalo kamu beneran sayang sama Arumi, kamu bujuk dia untuk pulang ke rumahe…”

“Loh, emang kenapa, mas… mas keberatan ada Arumi di sini?” tanyaku penasaran dengan kata-kata mas Karman itu.

“Arumi itu masih muda, den… masih sangat muda. Masa depane masih panjang, dan anak seusia dia itu seharuse masih berada di bangku sekolah. Mas sama mbakyumu bukane keberatan dengan adane Arumi di sini. Mas sama mbak seneng ada Arumi di sini. Mas sama mbak juga sayang sama Arumi, den. Tapi ini semua demi kebaikane Arumi… demi masa depane dia.”

“Tapi, mas…” jawabku tak setuju dengan usulan dari mas Karman itu.

“Dengerin mas Karman dulu, den… sayang atau pun cinta itu tak harus memiliki atau bersama. Kita sudah cukup bahagia bila melihat orang yang kita cintai bahagia. Apa kamu mau masa depane Arumi gelap karena kurangnya pendidikan? Apa kamu mau melihat Arumi selamane hidup dalam pelarian?”
*
Aku diam dan mencerna kata-kata mas Karman itu. Apa yang diomongin mas Karman itu ada benarnya juga. Pernah beberapa kali aku melihat Arumi yang kelihatan sedih saat melihat Fitri, anak yu Parti yang seusianya sedang berangkat sekolah. Benar apa kata mas Karman. Cinta memang tak selamanya harus memiliki. Aku sayang dan cinta kepada Arumi Bachsin. Aku ingin selalu bersama-sama dia selamanya, aku ingin memilikinya. Tapi aku juga ingin hidupnya bahagia. Aku ingin dia bisa menggapai segala cita-citanya. Aku ingin dia mempunyai masa depan yang jelas dan cerah yang tak akan pernah bisa dia raih bila terus berada di sini. Mungkin benar apa kata mas Karman. Arumi harus pulang ke rumahnya. Dia harus kembali ke sekolah demi masa depannya, demi segala impian dan cita-citanya.

Walaupun pahit aku harus rela. Aku harus rela melepas orang yang mulai aku cintai dan sayangi. Biarlah sementara kami berpisah. Seandainya memang kami berjodoh dan illahi berkehendak, kami pasti akan dipertemukan kembali. Kelak nanti di suatu hari seiring rahasia illahi.

“Iya, mas…. Bener apa kata mas Karman… Dika akan berusaha membujuk Arumi untuk pulang, mas.”

“Iyo, den… kamu harus bisa, demi Arumi. Mas Karman bangga sama kamu. Aden telah tumbuh menjadi lelaki dewasa dari segi usia maupun pemikiran. Mas Karman bangga, den…”

Setelah berbincang membahas masalah Arumi, kami kemudian melanjutkan lagi pekerjaan menyiangi rumput. Seharian kami bekerja di sawah dan baru pulang pada sore harinya.

***

Beberapa hari ini aku selalu memikirkan apa yang dikatakan mas Karman waktu di sawah. Dan beberapa hari ini juga aku selalu berusaha mencari waktu yang tepat untuk menyampaikan ini kepada Arumi, membujuknya untuk mau pulang ke rumahnya dan kembali kesekolah. Hingga akhirnya, pada suatu hari kesempatan yang kuanggap tepat itu akhirnya datang juga.

Malam itu seperti biasanya aku tidur bersama Arumi. Dan seperti biasa juga kami melakukan hubungan suami istri. Saat kami sedang berpelukan kelelahan sehabis bercinta itulah kesempatan yang aku rasa paling tepat untuk menyampaikan ini kepadanya.

“Arumi sayang…”

“Apa, kak?”

“Gue mo ngomong sesuatu ama loe… Loe dengerin baik-baik dan loe cerna apa yang mau gue omongin ini ya…” kataku memulai apa yang akan aku sampaikan.

“Kakak mo nyuruh Arumi pulang ya? Kok kakak bisa jahat gitu sih ama Arumi… Rum sayang ama kak Dika… Rum sayang ama kak Dika… kok kakak bisa tega gini sih? Emang kakak gak sayang ya ma Arumi? Iya, emang gak pernah ada yang sayang ama gue… gak ada!” kata Arumi yang tiba-tiba saja meninggi. Matanya mulai sembab dan sedikit menetes butir-butir air mata dari sudut bening matanya. Tarnyata Arumi sudah bisa menebak mau kemana arah pembicaraanku ini.

“Rum, dengerin gue dulu... Gue sayang ama loe, Rum… gue cinta ma loe. Jujur gue akuin, Rum… lama-lama emang tumbuh cinta itu di hati gue, dan karena gue cinta itulah, gue mau loe pulang, Rum. Gue mau loe bahagia… gue mau loe kembali ke sekolah, walaupun sebenarnya gue juga gak rela kalau harus berpisah ama loe, Rum. Gue gak mau kehilangan loe, Rum… tapi gue harus rela… harus. Demi kebaikan loe, demi masa depan loe… Loe pulang ya, Rum… pleaseee, gue mohon… Loe gak bisa selamanya berada di sini ama gue, Rum. Loe kembali sekolah, loe kembali tata hidup loe, masa depan loe, loe rangkai lagi hidup loe yang indah dan penuh warna itu, loe gapai segala impian dan cita-cita loe… dengan atau tanpa gue…”
Panjang lebar aku membujuk Arumi untuk mau pulang kembali ke rumahnya.

Arumi pun hanya tertunduk terdiam dan menangis. Isak tangisnya semakin terdengar memilukan. Tak terasa aku pun juga ikut menangis. Mataku sembab penuh dengar air mata yang menetes keluar dari sudut mataku. Sedih dan sakit hati ini menyaksikan orang yang aku sayangi dan aku cintai menangis bersedih karena merasa tak ada yang menyayangi dan mencintanya.

“Kenapa, kak? Kenapa gue gak bisa selamanya ama kakak? Kenapa! Kan kakak juga bisa balik ke Jakarta, biar kita bisa selalu sama-sama. Kenapa harus hanya gue yang harus kembali? Kenapa kakak nggak? Kenapa…?”

“Gue dah gak bisa lagi kembali ke sana, Rum. Gue gak bisa… gak bisa… di sana bukan lagi dunia gue, Rum… di sana gue udah dianggap mati.”

”Tolong tinggalin gue sendiri, kak… tolong, gue mau sendiri.” kata Arumi menyuruhku keluar dari kamar.

“Iya, sayang… gue sayang loe, Rum… I love you, muuaahhh…” aku keluar dari kamar itu, membiarkan Arumi sendiri untuk sementara waktu, agar dia bisa berfikir dengan jernih dan mencerna ini semua.

“Hatiku sakit, Rum, hatiku sedih. Aku sebenarnya gak ikhlas kalau harus berpisah denganmu Arumi. Aku sayang kamu. Aku cinta kamu, Arumi. Tapi karena cinta inilah aku harus bisa, aku harus rela berpisah denganmu. Demi kamu… demi masa depanmu… demi cinta kita… aku cinta kamu, Arumi…” Ratap jiwaku bersedih harus berpisah dengan Arumi Bachsin, gadis pertama yang bisa meluluhkan hatiku, gadis pertama yang menggenapi sisi hatiku yang kosong, gadis pertama yang mampu merebut cintaku, gadis pertama yang menjadi kekasihku.

Bagaimanapun juga aku harus rela, karena cinta tak selamanya harus bersama. Cinta itu tak harus memiliki. Sejak dulu beginilah cinta… Deritanya tiada akhir…

***

Bebarapa hari semenjak malam itu, Arumi tak berbicara denganku. Arumi selalu berusaha untuk menghindariku. Terlihat sekali kesedihan yang mendalam di raut wajah cantiknya. Mata indahnya terlihat selalu sembab karena sedang menanggung kesedihan yang sangat mendalam. Tanpa sadar, air mataku juga ikut menetes sedih saat melihat wajah Arumi yang cantik murung bersedih.

Arumi yang beberapa bulan ini begitu bahagia dan ceria tiba-tiba saja menghilang sirna. Akankah senyuman manis itu terbit kembali. Raut wajah murungnya persis seperti raut wajahnya saat pertama kali kita bertemu, saat tiba-tiba dia bersembunyi di balik motorku karena menghindari kejaran kedua bodyguard yang ternyata sewaan ibundanya waktu itu.

Mampukah senyuman manis itu datang lagi…
Mampukan senyuman manisnya kembali mengindahi dunia…

Pada suatu malam, Arumi yang sudah hampir seminggu ini tak mau berbicara kepadaku, tiba-tiba saja menghampiriku yang sedang duduk melamun sambil menghisap sebatang rokok di teras rumah. Masih terlihat raut wajahnya yang bersedih.

“Kak, iya gue mau pulang…” kata Arumi yang mengagetkan lamunanku.

“Eeh… Arumi. Apa, Rum?”

“Iya, gue mau pulang… gue mau pulang, kak.” kata Arumi yang terdengar begitu memilukan. Tetes air mata lagi-lagi mengalir deras membasahi pipi ranumnya. Isak tangisnya kembali terdengar memilukan menyayat hati.

“Gue dah pikir matang-matang, kak… gue turuti apa mau kakak, semua ini demi loe, kak... demi cinta Arumi ke kakak, walaupun gue sedih dan berat kalo harus berpisah ama kakak. Akan selalu gue bawa cinta ini sampai mati, kak. Tapi gue ada satu permintaan ama kakak, gue mohon jangan pernah kakak lupain gue. Tempatin gue selalu di dasar ruang hati kakak yang teristimewa. Arumi perempuan kakak… Arumi kekasih kakak…”

“Iya, Rum… gue juga sayang ama loe… walaupun tak pernah kita ungkapkan, tapi kita adalah sepasang kekasih, Rum… loe gadis gue… loe kekasih gue, Rum… loe akan selalu di hati gue, loe cinta pertama gue, dan mungkin yang terakhir. Cuma loe gadis pemilik hati gue, Rum… hanya loe cinta sejati gue. Gue janji, loe selalu ada di hati gue, di singgasana terindah tak terhapuskan…”

“Makasih ya, kak… Makasih. I love you…”

“I love you to, Arumi…”

Kamipun lalu berpelukan erat penuh haru. Tak bisa lagi kubendung air mata kesedihan yang deras mengalir keluar dari sudut mataku. Kebersamaan kami yang indah selama hampir 4 bulan ini sudah waktunya harus berpisah, sudah waktunya harus berakhir. Setiap pertemuan pasti ada perpisahan. Tak ada pesta yang tak berakhir.

Malam itu kami kembali tidur bersama. Kami tumpahkan seluruh hasrat cinta yang kami punya semuanya malam itu. Seakan kami tak ingin malam itu berlalu dan berganti siang yang berarti juga memisahkan kita. Semalaman kami berpelukan erat seakan tak ingin terpisahkan. Semua air mata tumpah tercurah pada malam itu. Rasa bahagia, haru, dan sedih tumpah-ruah bersatu bercampur-aduk menjadi satu.

Aku buat malam ini begitu special untuk kita, sehingga malam ini tak akan pernah bisa kami lupakan seumur hidup kami. Akan selalu kukenang malam ini sebagai kisah klasik di masa depan. Kulukiskan dengan tinta emas di dasar lubuk sanubariku. Malam di mana aku menemukan cintaku sekaligus malam aku kehilangan kekasihku. Malam yang paling membahagiakan dalam hidupku dan malam yang paling memilukan dalam perjalanan cintaku. Malam ini akan selalu ada di hatiku hingga penghujung waktuku.

“Oohhh… Eemhh… Iya, terus, kak… oohhh… eemhh… tusuk, sayang… lebih keras... I love… aamhhh… I love you...”

Cplok-Cplok-Cplok-Cplok… suara pinggul kami yang liar beradu. Tubuh telanjang Arumi mengangkang di bawah dekapanku. Kupeluk tubuh mungilnya sambil mencumbui, menjilati leher putihnya yang jenjang. Kutinggalkan bekas kemerahan cupangan di leher jenjangnya, yang semoga tak akan hilang selamanya. Yang selamanya akan menjadi tanda bahwa aku pemilik hati ini. Akulah sang penguasa jiwanya.

Kejantananku dengan gagahnya mengayun menusuk dan mengaduk relung rongga kewanitaan Arumi. “Eemhhh… I love you to, Rum… aahhh… uuhhh…”

“Kak… cepetin, kak… aahhh… yang dalem, kak… eehhh… ah… ahh… aahhh… aaahhhh… Rum... oughhh… Rum keluar… oohhhh…” tubuh Arumi mengejang dan bergetar hebat. Kakinya yang mengangkang semakin erat mengapit pinggangku. Tubuhnya melenting seiring tumpahnya kenikmatan dari dalam rongga kewanitaannya.

Tak lama berselang akupun juga menyusul Arumi di puncak bukit kenikmatan ini. “Oooooooohhhh…” Cret-cret-cret-cret… Badanku bergetar dahsyat dengan sebuah tusukan dalam yang menjadi akhir perjuanganku. spermaku muncrat membasahi relung kewanitaanya, menyuntikkan benih-benih anakku langsung di bibir rahimnya. Aku ingin menghamili Arumi. Aku ingin Arumi menjadi ibu dari anakku.

***

Keesokan harinya, Arumi berpamitan kepada mbak Sri dan mas Karman. “Mas, mbak… Arumi mo pamit pulang ke Jakarta, mbak… terima kasih karena sudah mau nampung Rum di sini. Rum minta maaf kalau ada salah Rum yang Rum sengaja ataupun tidak.” pamit Arumi kepada mbak Sri dan mas Karman penuh haru.

“Iya, Rum… sama-sama. Mbak juga minta maaf kalau mbak ada salah sama kamu. Mbak seneng ada Rum di sini. Jangan pernah Rum lupain kami yang disini ya. Kami semua di sini sayang sama Rum.” kata bak Sri sambil memeluk Arumi dengan penuh rasa haru.

“Iya, Rum… mas Karman juga minta maaf kalo ada salah-salah kata sama Rum.”

“Iya, mas Karman… sama-sama, mas.”

Hari itu juga aku mengantarkan Arumi pulang kembali ke jakarta. Sebelum berangkat, Arumi berpamitan dulu kepada semua tetangga-tetangga rumah. Kepada semua warga dukuh Plumbon yang dikenalnya. Suasana sedih dan haru mengiringi pamit Arumi. Semua mata menangis meneteskan air mata sedih harus berpisah dengan Arumi yang cantik dan ceria. Terlalu banyak kenangan indah yang Arumi lukiskan di sini, di dalam jiwa dan kenangan masyarakat Plumbon. Arumi selamanya akan berada di hati masyarakat Plumbon. Arumi akan selalu dikenang dengan indah. Ditempatkan di sudut terindah di singgasana hati mereka. Masa 4 bulan Arumi di sini lebih berarti dari masa 4 abad masa yang lain. Terlalu banyak kenangan yang Arumi guratkan dalam lukisan keabadian dusun ini.

“Ndok ngger cah ayu… welinge si mbah, kowe sing ngati-ati yo ngger. Ojo adigang adigung adiguno, tansah mawas diri. Kembangmu kembang kanthil, kembange anjasmoro.” kata mbah Nem yang sudah sepuh memberi wejangan petuah misterius kepada Arumi.

Wajangan yang entah apa artinya dari si mbah sepuh tersebut. Yang mungkin tentang arti bagaimana Arumi harus menghadapi dan menyikapi dinamika hidup ini. Atau juga makna dari pemahaman kitab primbon kejawen yang si mbah sepuh kuasai.

Jam 3 sore kami berangkat ke kota Solo menuju stasiun Solo balapan untuk naik kereta bengawan solo menuju ke kota Jakarta. Boober kesayanganku aku titipkan di penitipan motor, sementara aku menemani mengantarkan Arumi sampai ke Jakarta.

Tepat jam 6 sore, kereta api bengawan solo mulai berangkat meninggalkan kota Solo menuju Jakarta membawa serta aku dan Arumi di dalam salah satu rangkaian gerbongnya. Semalaman di dalam kereta Arumi tak pernah mau lepas dari dekapanku. Tak kami hiraukan lagi pandangan heran dan sinis para penumpang yang lain. Semakin jauh kereta api melaju, semakin dekat juga saat-saat kami harus berpisah.

Jam 4 pagi akhirnya kereta bengawan solo sampai di Jakarta, di stasiun pasar senen. Sesampainya di stasiun senen, kami kemudian naik taksi menuju ke jalan Moh. Yamin 45 Jakarta pusat, rumah kak Seto, seorang aktifis pemerhati anak. Sesampainya di sana kami disambut kak Seto dengan ramah.

“Kak Seto… saya titip Arumi ya… tolong kak Seto usahain yang terbaik buat Arumi.”

“Iya, nak Andika… kak Seto akan berusaha yang terbaik buat Arumi. Nak Andika gak usah khawatir.”

Setelah menitipkan Arumi kepada kak Seto, sang ketua komnas perlindungan anak, akupun langsung berpamitan kembali ke Solo, kembali ke Tawangmangu, kembali di mana seharusnya aku berada. Tak ingin aku berlama-lama di sini yang malah akan membuat hatiku semakin perih semakin terluka. Semakin berat aku melepas kekasihku. Semakin terluka dalam tersayat dan tercabik asmaraku.

“Rum, gue pamit ya… loe jaga diri baik-baik ya, Rum…”

“Iya, kak… kakak juga jaga diri baik-baik ya… Rum sayang kak Dika…”

“Iya, Rum… Dika juga sayang Arumi.”

Kami pun kemudian berpelukan erat seakan tak rela harus berpisah. Kembali air mata menetes dari sudut mata kami. Suasana yang semakin mengharu-biru makin membebani langkah kepergianku. Semakin tak rela aku kehilangan perempuanku, matahariku, pelita harapan masa depanku. Sang mahadewi pengindah hiasan peraduanku.

“Udah-udah, Rum… sst, jangan menangis…” kataku mencoba menenangkan dan menguatkan Arumi.

“Kakak juga nangis…” kata Arumi sambil menyeka air mataku.

Kulepaskan pelukanku yang mungkin menjadi pelukan terakhirku untuk Arumi. Kemudian aku berpamitan dengan kak Seto yang dari tadi hanya menonton kami yang sedang berpelukan penuh haru.

“Kak, Andika pamit, kak…”

“Iya, Dika… hati-hati di jalan…”

Setalah berpamitan, aku lalu beranjak keluar dari rumah kak Seto. Belum sempat aku keluar dari gerbang rumah kak Seto, Arumi berteriak memanggil namaku, berlari mengejarku dan kembali memelukku dengan erat dari belakang. Tak kubalas pelukan Arumi walau aku ingin. Aku tak ingin pelukanku malah semakin memberatkan langkah kepergianku.

“Kak, I love you…”

“I love you to, Arumi… kamu akan selalu berada di sini…” kataku sambil menunjuk ke dadaku. ”udah ya, Rum… kamu masuk gih, trus inget jangan nangis, jangan pernah nangis. Kenang aku saat kamu bersedih, panggil namaku saat kamu menangis, Rum… dari seberang sana aku ada untukmu,
memelukmu dengan kehangatan cinta dan kasih kita…” aku pun lalu melepaskan setengah paksa pelukan Arumi dan bergegas berjalan keluar dari rumah kak Seto, bahkan hampir setengah berlari.

Tanpa Arumi ketahui, air mataku deras mengalir pilu saat aku melangkah menjauh meninggalkannya. Meninggalkan cintaku yang sudah sedemikian dalam menghiasi indah hatiku. Yang telah menggoreskan lukisan asmara di sanubariku.

Jakarta…

Jakarta sekali lagi menjadi kota kesakitanku. Kota di mana kecewa dan remuk jantungku. Kudoakan selalu yang terbaik dan terindah wahai sang mahadewi.
Bawa selalu cintaku dalam kepak sayap pesonamu. Warnai indah dunia dengan sayang dan kasihku. Bahagiamu bahagiaku, deritamu deritaku.
Selamat tinggal wahai bidadariku.

Jam 8 pagi, aku kembali menggunakan kereta bengawan solo kembali ke kota Solo. Meninggalkan Arumi di rumah kak Seto, meninggalkan cintaku, meninggalkan separuh nafas dan hatiku di Jakarta. Meninggalkan separuh nyawaku di sana bersama cinta kasih dan asmaraku.

Ke jakarta pasti aku kan kembali kelak nanti di kemudian hari. Kan kujemput kembali cintaku. Kan kurenda kembali bahagiaku. Kelak nanti di kemudian hari akan kumiliki lagi wahai sang bidadari.

***

Kini…

Setahun sudah kisah asmaraku yang memilukan itu berlalu. Aku menyaksikan dari sini dari candela dunia saat bahagia kekasihku itu terjadi. Aku menyaksikan prosesi penyerahan kembalinya Arumi Bachsin kekasihku kepada kedua orang tuanya sebulan setelah aku mengantarkannya ke rumah kak Seto. Bahagia sekali aku menyaksikan kekasihku kembali ke dunianya, kembali kepada kedua orang tuanya, kembali merenda masa depan dan cita-citanya. Dapat kutangkap binar indah tatap matanya dari sini. Ia terbitkan lagi senyuman manisnya yang aku rindui, karena dia tau dari sini aku bisa melihat dan menikmati persembahannya.

Kini Arumi sudah kembali lagi seperti sedia kala sebagai-mana ia semestinya. Kembali dia menagih guratan takdir hidupnya. Kembali Arumi mengudara menghias cakrawala layar kaca. Sudah kembali Arumi yang telah meluluhkan hatiku. sudah kembali Arumi yang melukiskan indah di sanubariku.

Sementara kekasihku kembali terbang mengindahi cakrawala dunia. Aku masih berada di sini, di dukuh Plumbon, Tawangmangu. Di sini aku mulai belajar menata dan merangkai hidupku. Menyembuhkan hatiku yang terluka karena cinta dan asmara. Mencoba menggapai khayalku dengan sisa separuh hati dan jiwaku.

Di sini aku tetap menanti sang mahadewi, menanti saat kembali bersatu berasmara kembali. Di sinilah tempatmu Arumi, di sini di dalam singgasana hatiku. Di sinilah bahagiamu, di sinilah kamu akan kembali, kelak nanti di kemudian hari.

Kurasakan, kuterlena di putihnya nuansa.
Yang kau lukis dalam pesona diri.
Sisi batinku, sisi batinmu terpendam di alurnya.
Tak ada tegur sapa antara kita.

Media dunia menbawa terbang tawa ceriamu.
Teruraikan nada rasa.
Terpendam dalam jiwa.

Oooooh… menarilah biar sejenak.
Oooooh… bernyanyilah bahagiakan hati.

Bentangan jarak, meringkas khayal menggairahkan arti hidupku.
Walau hatiku, hatimu takkan bertemu.
Betapa mungkin, dekat dirimu akan kukenali.
Biarkan semua wajar adanya.

*Lain Dunia – Padi*

END

Author : siganteng_rusuh
 
Lah...ngapain dposting ulang?? Khan tinggal liat aza dr thread aslinya...
 
Bimabet
nice story gan, beneran, alur ceritanya, petualangannya..

cuma satu aja yg bikin ane bergidik tiap membacanya.. yaitu saat si MC nya berucap kata2 kasar, memang ada tokoh berucap kasar, tapi penekanan kasarnya disini berlebihan banget.. mungkin kalau agak dikurangi sedikit penekanannya akan terasa lebih halus dan enak dibaca.. menurut ane lho..

maaf kalau ada kata2 yg menyinggung, hanya memberi kritik yg mudah2an membangun.. terus berkarya gan, karya agan sangat menghibur..
 
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd