Agen Terpercaya  
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

CERBUNG - TAMAT G I G O L O

Status
Please reply by conversation.
Mantab bener si Asep bisnis lancar perlendiran pun lancar hahahha
Terimakasih update nya suhuuu
 
Part 32





M
eski ada kesempatan, aku tak mau habis - habisan dengan Bu Lia. Setelah dia orgasme 3 kali, aku pun memuntahkan air maniku di dalam memeknya. Dan seperti yang sudah kujanjikan, kukasih dia 1 strip pil kontrasepsi.

Setelah mandi sebersih mungkin, kuajak Bu Lia ke notaris, untuk menandatangani akte jual beli rumah dan tanahnya itu.

Ketika hari mulai sore, aku sudah kembali ke villa Bu Dhea ... !

Wanita muda yang mulai kubiasakan menyebut Mamie itu terheran - heran melihatku sudah datang. Padahal janjinya besok sore aku baru akan pulang ke villanya.

“Kok sudah datang lagi. Kenapa ?” sambutnya setelah memeluk dan menciumi bibirku.

“Aku ingat terus sama Mamie, “ sahutku, “Takut Mamie benar - benar sedih kalau ditinggalkan terlalu lama. “

“Mmmm ... Papiiiie .... ternyata hati Papie baik sekali ... “ Mamie Dhea memelukku erat - erat. Aku pun mengusap - usap punggungnya dengan sepenuh perasaan juga.

Aku cuma tersenyum. Lalu Mamie Dhea mengajakku duduk di sofa yang menghdap ke aquarium raksasa itu.

“Transaksi pembelian rumahnya udah selesai ?” tanyanya sambil mengusap - usap telapak tanganku.

“Udah, “ sahutku.

“Terus dollar itu dibeliin apa ?” tanyanya lagi.

“Kusimpan di safety deposit box sebuah bank, supaya aman, “ sahutku.

“O my God !” seru Mamie Dhea sambil menepuk - nepuk dahinya sendiri.

“Kenapa ?”

“Aku kok gak pernah kepikiran untuk menyewa safety deposit box. Makanya kusimpan semua dollarku di bunker. Padahal kalau di safety deposit box bank pasti jauh lebih aman lagi. “

“Dollar sebanyak itu memang rawan kalau disimpan di sini. “

“Iya. Makanya setelah menyimpan dollar itu, aku stay di sini terus. Urusan bisnis pun kuselesaikan di sini. “

“Maaf ... bukannya dollar itu peninggalan suami Mamie ?”

“Bukan. Itu hasil penjualan beberapa blok tanahku di Thailand. Kalau bunker itu sudah ada sejak suamiku masih ada. Tapi dahulu hanya dipakai untuk menyimpan surat - surat berharga. Ohya ... aku ingin melihat pabrik garment Papie. Boleh gak ?”

“Udah sore gini ... karyawan juga udah pada pulang. “

“Biarin aja. Aku hanya ingin melihat asset Papie itu. Mungkin aja aku akan menanam invest di pabrik Papie nanti. “

“Oke, “ aku mgnangguk, “Mau dandan dulu atau mau casual gitu aja ?”

“Begini aja ya, “ ucapnya sambil mengusap - usap celana denim dan baju kaus biru tua yang dikenakannya.

“Iya. Dalam pakaian apa pun Mamie tetap cantik. “

“Mmmm ... terima kasih, “ Mamie Dhea tersenyum manis. “Mau pake mobilku apa mobil Papie ?”

“Pake mobilku aja deh. Aku belum pernah nyetir sedan sport yang bunyinya kayak rentetan tembakan gitu. “

“Hihihiiii ... aku masih punya mobil lain di Jakarta. Itu iseng aja, pengen nyobain bawa sedan sport ke luar kota. “

Beberapa saat kemudian Mamie Dhea sudah berada di dalam sedan hitamku, yang kukemudikan menuju kota kembali.

“Pabriknya di tengah kota ?” tanya Mamie Dhea.

“Nggak lah. Di luar kota, tapi di sebelah barat, di daerah industri. Kalau kita sekarang kan ada di utara. “

“Selain pabrik itu, pasti Papie punya bisnis lain. Kalau gak punya bisnis lain, masa bisa langsung beli pabrik. “

“Memang ada. Tapi bisnisnya cuma duduk manis di depan laptop. “

“Bisnis apa tuh ?”

“Belajar main saham. “

“Wow ... main saham itu sekali - sekali bisa meledak lho. Tapi harus jeli dan hati - hati. “

“Iya sih. Harus punya faktor lucky juga. Karena gak sedikit pemain saham yang rugi dan rugi terus. “

“Iya. Sifatnya kan spekulatif. Terus ... selain main saham, apa lagi bisnis Papie ? SIapa tahu aku bisa berinvestasi. Dollar di bunker itu mau kuhabiskan. Biar aku bebas mengikuti Papie ke mana - mana. “

Tadinya aku ingin merahasiakan kepemilikan hotel hadiah dari Mbak Mona yang kini sedang dibangun di belakangnya itu. Tapi aku takut terbongkar di kemudian hari, lalu Mamie Dhea akan menganggapku sebagai pembohong. Bukankah sekali lancung ke ujian, seumur hidup orang takkan percaya lagi ?

Akhirnya aku berkata, “Punya juga bisnis lain. Sebuah hotel sederhana yang kini sedang dibangun untuk dijadikan hotel bintang empat. “

“Nah ... itu dia ... berarti bisnis Papie ada yang sejalan dengan bisnisku. Nanti sepulang dari pabrik, aku ingin lihat hotel Papie ya. “

Aku cuma mengiyakan. Dan berharap semoga dia tidak menanyakan asal - usul hotel itu.



Hari sudah hampir malam ketika sedanku memasuki halaman depan pabrik garmentku. Dua orang satpam membuka pintu gerbang dan mengangguk sopan sambil berkata, “Selamat malam Big Boss. “

Aku belum pernah memperkenalkan diri kepada siapa pun di pabrik ini, kecuali kepada Bu Fina saja. Tapi mungkin Bu Fina sudah memberitahu apa dan siapa owner baru pabrik ini. Mungkin nomor sedan hitamku ini pun sudah dicatat oleh satpam dan petugas security lainnya.

“Malam, “ sahutku, “Bu Fina sudah pulang ?”

“Sudah Big Boss. Sekitar dua jam yang lalu, “ sahut salah seorang satpam.

“Kalau begitu tolong bukakan pintu ruang kerja dirut. Aku mau ke situ. “

“Siap Big Boss ... !”

Lalu kuparkir mobilku di tempat parkir yang sudah disediakan khusus untuk owner pabrik.

“Gede juga pabriknya ya ?” cetus Mamie Dhea waktu turun dari mobilku.

“Lumayan. Dibelinya juga dengan harga murah, karena ownernya pindah ke luar negeri. “ sahutku.

Mamie Dhea kuajak meninjau seluruh bangunan pabrikku. Lalu kuajak ke ruang kerja Bu Fina. D I situ aku mencari - cari, sampai akhirnya kutemukan gambar arsitek yang kumaksudkan. Gambar design pengembangan pabrik garmentku.

“Wow ... kelihatannya Papie ambisius juga ya. Ini bangunan barunya malah jauh lebih besar dari bangunan yang sudah ada. Memangnya apa jenis produksinnya dan target pemasarannya ke mana ?”

“Tadinya pabrik ini hanya memproduksi pakaian biasa. Katakanlah pakaian kebarat - baratan. Sedangkan aku akan mengkhususkan ke produksi busana muslim dan muslimah. Targetnya untuk ekspor ke Timur Tengah. “

“Ogitu ya. Sudah ada agen yang mengatur ekspor itu nanti ?”

“Gak pakai agen lagi. Aku sudah berhubungan dengan calon importirnya langsung. Mereka siap menerima produksi pabrik ini. “

“Hebaaat, “ Mamie Dhea mengacungkan jempolnya, “Ternyata langkah Papie sudah sedemikian jauhnya ya. “

“Seminggu lagi pabrik ini akan mulai aktif kembali, setelah ditinggalkan oleh owner lamanya. Jenis produksinya berubah, bukan lagi pakaian barat, tapi pakaian muslim dan muslimah. “

“Iya. Aku senang melihat semuanya ini Paps. Sekarang aku ingin lihat hotel Papie. Bisa ?” tanyanya.

“Oke, “ aku mengangguk, “Kalau ke hotel sih jam duabelas malam juga gak apa - apa. “

Beberapa saat kemudian sedan hitamku sudah meluncur lagi di atas jalan aspal. Menuju hotelku yang sebenarnya tadi terlewat waktu mau ke pabrik. Karena letaknya agak di luar kota. Searah dengan jalan pulang menuju villa Mamie Dhea nanti.



Jam tanganku menunjukkan pukul setengah sembilan malam ketika aku tiba di hotelku. Kebetulan. Karena jam segini Anggraeni pasti sudah pulang.

Anggraeni semakin bersemangat setelah tiap minggu aku mentransfer dana ke rekening tabungannya. Supaya dia tidak kekurangan apa - apa lagi.

Ketika aku sudah memasuki lobby hotel lamaku, para karyawan dan karyawati membungkuk dan mengucapkan selamat malam padaku. Aku pun mengangguk sambil tersenyum ramah. Memang aku tak pernah memperlihatkan muka kecut kalau sedang berjumpa dengan karyawanku sendiri. Agar mereka merasa dihargai dan tetap semangat melakukan tugasnya masing - masing.

“Yang di depan tadi ada bangunan yang kosong, buat apa ?” tanya Mamie Dhea yang sedang melangkah di samping kiriku.

“Itu untuk rumah makan, “ sahutku, “Bangunannya system modullar. Jadi dalam dua minggu juga selesai membangunnya. Mungkin tiga hari lagi grand openingnya. “

“Wah, ternyata Papie kreatif sekali ya. Aku makin bahagia mendengarnya, “ ucap Mamie Dhea sambil menepuk - nepuk punggungku, “Terus yang sedang dibangun itu mana ?”

“Di belakang, “ sahutku, “ayo kita ke sana. Masih mentah bangunannya. Baru bangun tiang - tiangnya. “

Dengan bersemangat Mamie Dhea mengikuti langkahku ke bagian belakang hotel lamaku.

Meski sudah malam, namun ada beberapa orang buruh bangunan yang sedang ngelembur. Sedang merangkai besi beton, sedang ngecor di sana sini, ada pula yang sedang berada di puncak tiang yang akan disambungkan dengan tiang lainnya. Dengan sendirinya mereka bekerja dengan sorotan lampu dari sana sini.

Mamie Dhe memperhatikan bangunan hotelku yang masih mentah itu. Tapi dia sudah bisa menebaknya. “Mau dibangun lima lantai ya ?” tanyanya.

“Iya, “ sahutku sambil mengangguk.

“Kenapa hotelnya gak bintang lima sekalian ?” tanyanya lagi.

“Aku ingin hotelku tidak terlalu mahal. Dan yang aku tahu, hotel bintang empat lebih ramah pada konsumen. Satu hal yang aku hindari, syarat - syarat untuk membuka hotel bintang lima sangat bertele - tele. Karena itu aku putuskan untuk membangun hotel bintang empat saja. Lebih mudah syarat - syaratnya. “

Mamie Dhe menganguk - angguk, seperti puas mendengar jawabanku.

“Seperti rumah makan yang baru akan dibuka tiga - empat hari lagi itu, sebenarnya layak untuk memakai istilah restoran. Tapi istilah itu terkesan mahal. Masyarakat banyak yang akan menghindar nanti. Karena itu aku akan menamainya rumah makan. Bukan restoran. “

“Iya, iya ... aku suka dengan pandangan Papie itu, “ ucap Mamie Dhea sambil melingkarkan lengannya di pinggangku, “Terus ... apakah Papie masih membutuhkan investasi untuk pembangunan hotel ini ?”

“Jangan Mam. Hotel ini sudah ada yang menanam investasi dan takkan kekurangan lagi, “ sahutku yang langsung teringat Mbak Mona yang sudah menyediakan dana untuk membangun hotel bintang 4 itu sampai selesai.

“Ohya ?! Sayang ya. Padahal aku selalu tertarik pada kegiatan properti dalam bentuk apa pun, “ kata Mamie Dhea dengan nada kecewa.

“Kalau Mamie mau, mendingan dibangun hotel lain, yang seratus persen milik Mamie, “ ucapku.

“Haaa ?! Aku punya tanah seluas sepuluh hektar, yang letaknya tidak jauh dari villaku. Di tanah itu aja bangun hotelnya ya. Kan villaku dekat daerah wisata. “

“Yap ! Tanah sepuluh hektar sih jangankan dibangun hotel, dibuat perumahan pun cukup, “ sambutku.

“Nggak ah, aku gak tertarik jadi developer perumahan. Syarat - syaratnya ribet juga. Harus membangun perumahan sederhana dulu lah, ini lah itu lah ... mendingan bikin hotel bintang empat aja. Aku mau mengikuti pandangan Papie. Mau bangun hotel bintang empat aja, agar lebih merakyat. “

“Sertifikat tanah sepuluh hektar itu atas nama PT ?” tanyaku.

“Iyalah, “ sahut Mamie Dhea, “Kalau atas nama pribadi mana bisa. Kan ada batas kepemilikan tanah. “

“Iya, iya ... nanti PT yang membangun hotel itu, pakai PT pemilik tanah itu saja. Supaya gak ribet ngurus ijin - ijinnya. “

“Iya, bisa. Tapi kalau aku sudah mulai sibuk lagi, Papie aja yang ngurus semuanya ya. Kecuali ... “ ucapan Mamie Dhea terhenti di tengah jalan.

“Kecuali apa ?” tanyaku.

“Kecuali kalau aku hamil ... “

Mendengar ucapan polos itu, aku terharu. “Amiiin ... “ sahutku. Lalu kucium pipi Mamie Dhea dengan mesra.

“Sebenarnya yang terbaik sih sebelum aku hamil, kita harus nikah dulu. Gak usah rame - rame. Nikah secara diam - diam aja. Yang penting kita sah sebagai suami istri. “

“Tapi aku masih punya kontrak dengan Mamih selama empat bulan lagi. Kalau kontrak itu sudah selesai sih aku siap - siap aja menikah dengan Mamie. “

“Masih banyak ibu - ibu yang harus Papie gaulin ?”

“Banyak sih nggak. Tapi aku minta sama Mamih agar bisa istirahat setiap habis melayani kliennya. Soalnya aku juga harus mengurus bisnisku sendiri. Jadi gak bisa tiap hari bisa meladeni perempuan. Karena banyak liburnya itulah, kontrak yang sudah kutandatangani jadi lama. Jadi empat bulan. “

“Kalau udah nikah sama aku, bisa kan Papie berhenti jadi anak buah Mamih ?”

“Iya. Terlalu lama jadi gigolo juga gak enak. Takut ngetop nanti. Lalu aku terkenal ke mana - mana. Iiih amit - amit. Aku gak mau terkenal sebagai gigolo ngetop. “

“Asal mula jadi anak buah Mamih itu gimana ?”

“Hmmm ... masa laluku penuh dengan kepahitan dan kegetiran. Sengsara lah. Untuk makan sehari - hari juga harus banting tulang di pasar. Cuma bantu angkat belanjaan ke sana - sini. Makanya begitu berjumpa dengan teman karibku yang udah duluan jadi gigolo, aku jadi tertarik. Lalu ... akhirnya aku direkrut Mamih sebagai anak buahnya. Begitulah ... suratan takdir suah tertulis seperti itu. “

“Suratan takdir pula yang membuatku bisa berjumpa dengan Papie. Kalau Papie bukan anak buah Mamih, mungkin kita takkan pernah kenal. Berarti jalannya memang harus begitu. Tapi nanti, kalau kontrak Papie sudah selesai, aku ingin agar kita tinggal di luar negeri. Untuk menghapus jejak masa lalu kita. Setelah orang - orang melupakan Papie, barulah kita kembali lagi ke sini. Bagaimana ? Papie setuju ? ”

“Pindah ke negara mana tepatnya ? “

“Ke Singapura bisa, ke Thailand bisa, ke Filipina atau ke Australia juga bisa. Di negara - negara itu aku punya aset properti yang cukup banyak. Pokoknya kita harus menghilang selama beberapa tahun, agar tiada yang kenal lagi kalau kita kembali setelah menghilang sekian lama. “

Aku sangat tertarik mendengar rencana itu. Tapi bagaimana dengan Tante Sharon, Mama Lanny dan Mbak Mona ? Bukankah mereka sedang mengandung benihku ? Selain daripada itu, aku pun sulit meninggalkan Mbak Mona yang telah membanjiriku dengan uang yang tak terhitung lagi banyaknya.

“Yahhhh ... nanti kupikirkan lagi sematang mungkin, “ ucapku sambil melangkah kembali ke hotel lamaku.



Jam 23. 15 kami meninggalkan hotel, menuju villa Mamie Dhea lagi.

Tengah malam kami baru tiba di depan villa itu. Capek dan ngantuk terasa membebaniku, karena seharian hilir mudik, sempat abis - abisan pula dengan Bu Lia di atas ranjang. Dari luar tampak ada seorang wanita sedang melangkah menuju pintu depan.

Mamie Dhea kaget dan berbisik di dekat telingaku, “Itu Mama ... mamaku ... nanti aku akan mengenalkan Papie padanya sebagai calon suamiku ya. “

“Iya, “ sahutku dalam kaget juga.

Sambil merapikan rambutku yang riap - riapan, aku melangkah di samping Mamie Dhea, sementara wanita setengah baya yang bodynya berbentuk seperti guitar spanyol itu berdiri di ambang pintu, mengenakan celana legging hitam dan baju kaus tebal berwarna hitam pula.

“Mama ... ! “ seru Mamie Dhea sambil menghambur ke dalam pelukan ibunya, “Naek apa ke sini tadi ?”

“Pake taksi. “

“Emangnya mobil Mama ke mana ?”

“Lagi diservice di bengkel. Makanya mama pake taksi aja, saking kangennya sama kamu, “ ucap ibunya Mamie Dhea itu sambil menoleh padaku, “Ini siapa ?”

“Calon suamiku Mam ... “ sahut Mamie Dhea sambil melambaikan tanganku agar mendekat dan mengenalkan diri kepada ibunya.

Dengan sopan kucium tangan wanita itu setelah menyebutkan namaku. Wanita setengah baya itu pun menyebutkan namanya, “Rosanna ... “

Lalu kami melangkah masuk ke dalam villa.

“Masih muda sekali calon suamimu ini Dhea ... ” Bu Rosanna menoleh lagi padaku.

“Iya. Umurnya tiga tahun lebih muda dariku, “ sahut Mamie Dhea, “Tapi di usia semuda itu dia sudah jadi pengusaha sukses Mama. Sudah punya pabrik garment, punya hotel dan aktif di bursa saham. “

“Ooo ... gitu ya ... “ Bu Rosanna mengangguk - angguk sambil tersenyum, “Syukurlah kalau calon suamimu anak muda berprestasi. Supaya ada perimbangan dengan langkah bisnismu. “

Lalu Mamie Dhea menghampiriku dan berkata setengah berbisik, “Tunggu sebentar ya. Mungkin ada hal penting yang mau Mama sampaikan padaku. “

“Oke, “ aku mengangguk. Lalu melangkah ke sofa yang berhadapan dengan aquarium itu. Duduk di sofa itu sambil memperhatikan betapa lucunya ikan - ikan Afrika yang banyak typenya itu. Ada yang kuning lemon, ada yang seputih salju, ada yang lorong - loreng merah kayak harimau, ada yang loreng - loreng biru hitam dan sebagainya.

Agak lama Mamie Dhea bersama ibunya, sampai akhirnya muncul juga, lalu duduk di samping kiriku. Dan langsung mengecup pipi kiriku, disusul dengan bisikan, “Kasiaan ... pasti kesel menunggu ya. “

“Gak. Cuma ngantuknya udah gak tahan, Beib ... “ sahutku.

“Ya ayo kita tidur. Aku juga udah ngantuk, “ ucapnya.

“Aku tidur di mana ?” tanyaku.

“Ya seperti biasa di kamarku. Masa tega biarin aku bobo sendirian. “

“Mamanya tidur di kamar lain ?” tanyaku lagi.

“Iya, “ sahutnya sambil berdiri.

“Mama gak bakal marah aku tidur sekamar dengan Mamie ?”

“Nggak lah. Kan udah kubilang, Papie calon suamiku. Ayo, “ Mamie Dhea menarik tanganku agar berdiri.

Aku pun berdiri dan mengikuti Mamie Dhea ke dalam kamarnya.

Setibanya di dalam kamar, Mamie Dhea menutup dan menguncikan pintu kamarku. Lalu mencuci mukanya dengan jeruk lemon. Mengganti pakaiannya dengan kimono dan langsung naik ke atas bed. Aku pun mengenakan kimono bersih yang selalu tersedia di lemari kecil, masuk ke kamar mandi untuk cuci kaki, lalu menuju bed dan merebahkan diri di samping sang Kekasih.

“Walau pun asli orang Indonesia, Mama lahir dan besar di Jerman, “ kata Mamie Dhea perlahan, “karena itu Mama udah terbiasa juga dengan kebiasaan di Eropa. Cewek baru pacaran aja diperkenankan tidur dengan cowoknya. Sambil saling mengenal watak masing - masing, katanya. “

“Apalagi dengan calon suami ya.”

“Iya. Papie emang serius mau jadi suamiku kan ?”

“Serius, “ sahutku singkat.

Dia mengecup pipiku. Lalu berkata lagi perlahan, “Mama besok mau meeting dengan rekan - rekan bisnisnya tiga hari berturut - turut di sebuah hotel. Papie mau kan nganterin Mama ?” Kemudian Mamie Dhea menyebutkan nama hotel itu, yang aku tahu sebagai sebuah hotel bintang lima.

“Sama Mamie juga ?”

“Nggak. Justru besok aku mau kedatangan rekan - rekan bisnisku juga. “

“Laki - laki ?”

“Rekan - rekan bisnisku perempuan semua. Ibu - ibu yang sebaya sama Mama semua. Gak ada cowoknya seorang pun. “

“Masa sih ?!”

“Video call aja besok kalau gak percaya sih. Biar jelas jenis kelamin mereka. Hihihiii ... jangan curiga sama aku Paps. Aku akan benar - benar setia padamu. “

“Terus selama tiga hari itu aku harus bolak - balik nganterin Mama ke sini. “

“Ya nggak lah. Papie standby di hotel aja. Kalau Mama pengen dianterin ke tempat lain, anterin aja. Bisa kan jadi pengawal Mama selama tiga hari ?”

“Okay, I will follow whatever you want, Baby. “

“Nah gitu dong. Soal bayaran, jangan takut. Aku akan membayarnya selama Papie bersamaku. “

“Mam ... jangan ngomong gitu dong. Aku sama sekali gak memikirkan soal bayaran. Aku cuma mikirin bagaimana canggungnya nanti bersama mamamu yang baru kukenal sejam yang lalu. “

“Nanti kecanggungannya pasti cair. Dalam soal gaul, aku malah kalah sama Mama. Karena Mama lahir dan besar di Eropa, sedangkan aku lahir dan besar di pelosok Sulawesi Utara. “

Aku tidak menyahut lagi. Malah memijat - mijat betis kananku yang pegal. Mungkin karena mobilku matic, sehingga kaki kananku digunakan untuk menginjak pedal gas dan rem seharian.

“Kenapa ? Sakit betisnya ?” tanya Mamie Dhea.

“Nggak ... cuman pegel. “

“Aku pijetin ya. Biar berkurang pegelnya, “ Mami Dhea memegang betisku, lalu mengurut - urut dan memijatinya dengan telaten. Aku pun menelungkup dan membiarkan betisku dipijati terus olehnya.

Sampai akhirnya aku tertidur nyenyak. Tidak tahu lagi apa yang dia lakukan padaku selanjutnya.



Esok paginya aku terbangun setelah kulihat tak ada lagi Mamie Dhea di sampingku. Aku pun turun dari bed dan langsung masuk ke kamar mandi. Lalu mandi sebersih mungkin. Dalam keadaan berkimono, aku langsung ke luar lewat pintu samping, karena kulihat Bu Rosanna sedang ngobrol dengan puterinya di ruang depan.

Aku menghidupkan mesin mobilku untuk memanaskannya, karena mungkin sebentar lagi aku harus mengantarkan Bu Rosanna ke kota.

Sambil menunggu mesin mobilku panas, kubuka bagasiku. Kubuka koper pakaianku yang selalu standby di bagasi mobilku, supaya gampang kalau harus menginap disuatu tempat tanpa direncanakan sebelumnya.

Lalu kukeluarkan kemeja tangan panjang yang terbuat dari sutera biru muda dan celana panjang hitam, bukan jeans. Mungkin aku harus sedikit formal, karena akan menuju sebuah hotel bintang lima. Kemeja dan celana panjang itu kubawa ke dalam kamar, sambil menjinjing sepatu yang akan kupakai nanti. Pakaian bekas kemaren kumasukkan ke dalam sebuah kantong plastik yang kuambil dari bagasi tadi. Sepatu casual yang dipakai kemaren pun kumasukkan ke dalam kantong plastik itu.

Kemudian kukenakan celana panjang hitam dan kemeja tangan panjang biru muda ini. Kukenakan juga kaus kaki dan sepatuku. Setelah menyisir rambutku di depan cermin meja rias, aku melangkah ke luar sambil menjinjing kantong plastik berisi pakaian kotor dan sepatu casualku. Karena sudah berpakaian formal, aku tidak ragu untuk melewati ruang depan, untuk menyimpan kantong plastik ini di bagasi mobilku.

Ketika aku mau melewati Mamie Dhea dan mamanya, Mamie Dhea mencegatku. Untuk melingkarkan lengannya di pinggangku sambil bergaya di depan ibunya, “Mama ... calon suamiku tampan kan ?”

Bu Rosanna tersenyum dan mengangguk, “Memang tampan sekali Yos .. Yosef itu. Sebanding dengan kecantikanmu Sayang, “ kata Bu Rosanna yang pagi itu sudah berdandan, mengenakan blouse putih dan spanrok berwarna orange.

“Mmmm ... terima kasih Mama Sayaaang, “ sahut Mamie Dhea.

“Sebentar mau nyimpan pakaian kotorku di bagasi, “ ucapku pada kekasihku.

Mamie Dhe malah merebut kantong plastik berisi sepatu dan pakaian kotor itu sambil berkata, “Pakaian kotor ya kasihkan si Bibi, supaya dicuci. “

“Ada sepatunya juga itu Mams, “ ucapku.

“Biarin aja. Sepatunya biar dibersihkan juga sama si Bibi, “ ucap Mamie Dhea yang tanpa ragu mengecup pipiku di depan mamanya. Lalu ia memanggil pembantunya, “Biii ... !”

“Iya Non ... !” si Bibi bergegas menghampiri majikannya.

“Ini pakaian kotornya masukin ke mesin cuci. Sepatunya bersihkan dan jemur ya. “

“Baik Non, “ si Bibi menyambut kantong plastik itu dari majikannya. Lalu melangkah ke belakang lagi.

Lalu Mamie Dhea menoleh ke arah mamanya, “Ayo sarapan pagi dulu sebelum berangkat Mam. “

Bu Rosanna mengangguk. Lalu bangkit dari sofa dan melangkah duluan ke ruang makan.

Di meja makan sudah terhidang tiga mangkok bubur ayam, roti tawar yang sudah dipotong - potong dan diletakkan di atas piring lonjong.

Aku dan Mamie Dhea pun duduk di kursi yang berdampingan. Sementara Bu Rosanna duduk di depanku, yang terhalang oleh meja makan.

“Kalau sarapan pagi, Yosef ini gak suka makan nasi Mam. Paling juga bubur ayam, roti bakar atau lasagna, “ kata kekasihku kepada mamanya.

“Memang sebaiknya pagi - pagi jangan menyantap makanan berat dulu. Begitu kan Yos ?” ucap Bu Rosanna sambil memandangku.

“Betul Bu, “ sahutku.

“Eh ... Yosef kan udah jadi calon mantuku. Jangan manggil Ibu lagi. Panggil aku Mama aja, biar sama dengan Dhea kalau memanggilku ya. “

“Iii ... iya Mam ... Mama ... “ sahutku agak gugup. Kemudian aku mengambil roti tawar yang kujadikan potongan kecil - kecil dan kutaburkan ke bubur ayam yang masih mengepul panas itu.

Dengan sendok bebek, kami bertiga mulai menyantap bubur ayam yang masih panas ini. Secangkir kopi panas pun sudah dihidangkan di dekat mangkokku. Sementara cangkir di depan Bu Rosanna dan Mamie Dhea berisi susu murni yang panas dan mengepulkan uap juga.

Karena menyantap sarapan pagi sambil ngobrol, tanpa terasa kami menghabiskan waktu setengah jam di depan meja makan. Sampai akhirnya Bu Rosanna melihat jam tangannya, “Wah, sudah jam setengah sembilan. Kayaknya kita harus berangkat Yos, “ kata Bu Rosanna padaku.

“Siap Mam, “ sahutku sambil berdiri, “Ada barang yang mau dibawa ?”

“Cuma koper pakaian itu, “ sahut Bu Rosanna sambil menunjuk ke sebuah koper berwarna silver yang sudah diletakkan di dekat pintu ruang makan.

Dengan sigap aku menyeret koper beroda itu ke depan. Dan kuletakkan di dalam bagasi mobilku.

Lalu kuhidupkan mesin mobilku yang tadi sudah dipanaskan ini. Sementara Bu Rosanna kulihat sudah keluar dari pintu depan villa, diantar oleh puteri tunggalnya.

Mamie Dhea membukakan pintu depan sebelah kiri untuk mamanya. Aku pun sudah duduk di belakang setir sedan hitamku.

Bu Rosanna cipika cipiki dulu dengan puterinya, lalu masuk ke dalam mobilku. Setelah menutupkan pintu kiri depan, Mamie Dhea membuka pintu kanan depan. Hanya untuk mencium bibirku, lalu berkata, “Take care Honey. I love you. “

“Love you too... “ sahutku Sambil menutupkan kembali pintu di sebelah kananku, karena Mamie Dhea sudah menjauh dari pintu mobilku.

Lalu aku menjalankan mobilku. Dan seperti biasa, dua orang berseragam hitam security dan seorang satpam membuka pintu gerbang, sementara kedua petugas security bergegas menyetop kendaraan yang mau lewat, agar mobilku bisa menyeberang dengan mudah, kemudian kubelokkan mobilku ke kanan dan melesat meninggalkan villa kekasihku itu.

“Mobilmu keren juga Yos, “ kata Bu Rosanna ketika mobilku sudah melaju di jalan raya.

“Ah, dibandingkan dengan mobil Dhea sih gak ada apa - apanya Mam. “

“Aku malah gak suka sedan kuning itu Yos. Suaranya meledak - ledak memekakkan telinga.

“Hahahaaa ... kemaren juga aku gak mau nyetir sedan sport itu. Karena aku tau suaranya kayak rentetan tembakan. Bisa bikin orang - orang jadi gusar nanti. “

“Iya. Padahal Dhea punya banyak mobil. Kenapa juga pake mobil itu. ”

“Dia bilang pengen nyoba aja Mam. Mungkin sayang juga kalau punya mobil semahal itu gak dipake - pake. “

“Iya juga sih. Ohya, kamu serius mau nikah dengan Dhea Yos ?”

“Serius Mam. Walau pun usiaku baru menjelang sembilanbelas, gak ada salahnya kawin muda kan ?”

“Gak apa - apa. Kalau sudah sama - sama mampu, kenapa juga harus diulur - ulur. Aku juga dahulu nikah muda Yos. Usia tujuhbelas sudah melahirkan Dhea. “

“Berarti Mama sekarang baru tigapuluhsembilan tahun ya. “

“Iya. Terus kamu udah pernah bercinta dengan Dhea ?” tanya Bu Rosanna membuatku salah tingkah.

“Kalau pernah kenapa Mam ?” aku balik bertanya.

“Gak apa - apa. Di Jerman sih masalah itu bukan hal yang taboo. “

“Ohya, kata Dhea, Mama lahir dan besar di Jerman ya ?”

“Iya. Tapi aku nikah sama orang Indonesia juga di Frankfurt. Karena aku males pacaran sama cowok bule. Kasar - kasar. Gak ada ramahnya sedikit pun. “

“Sekarang malah sedang trending, cewek bule senang sama cowok Indonesia. “

“Memang betul. Cewek Russia, Jerman, Spanyol, Italia, Portugal, Swiss dan sebagainya, pada seneng cowok Asia, khususnya Indonesia. Karena bangsa kita terkenal ramah ramah, sabar dan suka membantu antar sesama manusia. “

“Iya Mam. Di luar negeri malah ada negara yang menganggap tersenyum itu kekanak - kanakan. Maka di negara itu kita takkan bisa melihat senyum - senyum acan. Hahahaa ... aneh kan Mam ?”

“Iya. Di negara kita malah ada istilah keep smiling. Terutama di antara pelaku bisnis seperti aku ini. “

“Ohya ... Mama ini pelaku bisnis apa Mam ?”

“Gak jauh dari bisnis Dhea. Malah aku duluan yang bisnis properti. Lalu Dhea mengikutiku. Bahkan kemudian menikah dengan raja properti juga, tapi hanya beberapa tahun mereka berumahtangga, lalu suami Dhea meninggal di usia yang belum tua - tua benar. Enampuluh tahun juga belum. Eh ... Yosef tahu kan hotel yang dituju sekarang ?”

“Tau Mam. Hotel bintang lima. Nanti meetingnya di hotel itu juga ?”

“Ya iyalah. Kalau di tempat lain, bisa kena macet di jalanan. Lalu pada terlambat menghadiri meeting. “



Sejam kemudian sedan hitamku sudah berada di basement parkir hotel bintang lima itu.

Ternyata Bu Rosanna dan rekan - rekan bisnisnya sudah membooking sejumlah kamar di hotel itu, sesuai jumlah peserta meeting. Sehingga aku dan Bu Rosanna langsung diantarkan oleh seorang bellboy, menuju lift yang akan menaikkan kami ke lantai 5.

Yang membuatku bingung, ternyata kamar yang sudah dibooking oleh Bu Rosanna itu hanya menyediakan satu tempat tidur berukuran lebar.

Lalu ... apakah akan terulang lagi peristiwa seperti Hui Ying dan Tante Fang, Anggraeni dan Bu Ida, Bi Mita dan Tina - Tini ?

Aaaah ... semoga tidak terjadi lagi. Karena kali ini aku sudah dalam tahap serius akan menikahi Dhea tercinta.

Mantep huuuuuuu
 
Status
Please reply by conversation.
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd