Agen Terpercaya  
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

DRAMA TAMAT GELOMBANG NESTAPA

Bimabet
Lanjutan




“KAAAAMMMUUUUUU!!!” teriak Soffie saat melihat sosok Hendrik yang diikuti oleh Briptu Arni di belakangnya.

“Apa kabar Soffie? Ternyata kamu, masih cantik seperti dahulu.” sapa Hendrik.

Melihat adanya gelagat buruk, Renata menarik masuk Soffie dan menutup pintu dengan cepat. Tapi Briptu Bakti langsung sigap, ia menerjang daun pintu hingga pintu terdorong keras membuat Renata jatuh terpental dan pingsan karena kepalanya terantuk di sudut kursi. Lalu Briptu Bakti merangsek masuk dan mengacungkan pistolnya pada Soffie.

“Jangan bergerak, kalo tidak! Aku bunuh kamu!” ancam Briptu Bakti serius.

“Bangsat kamu Hendrik. Nggak puas-puasnya kamu ngancurin aku dan keluargaku.” Soffie tak gentar dengan ancaman Bakti, ia langsung meraih tubuh Renata yang pingsan.

“Siapa kalian, apa mau kalian ke sini?” Asih muncul dan mencoba menghadang Hendrik.

“Wah, wah...! Ternyata istri muda si Surya cantik sekali dan wooow....! Masih ampuh juga kontol si Surya.” puji Hendrik saat melihat Asih yang sudah berbadan dua. Lalu dengan gesit tangannya menangkap tangan asih dan tangan yang lainnya mengelus pipi dan mengendus aroma tubuh Asih.

“Dan mereka berdua, mau kita apain ini?” sahut Briptu Bakti sambil menodongkan pistolnya. Hanya Briptu Arni yang sedari tadi diam tak bergerak seperti ada yang mengganjal di hatinya.

“Ikat mereka, dan kita bawa mereka sebagai umpan si Surya.” Perintah Hendrik tegas sambil memeluk Asih. Asih meronta-ronta melepaskan diri dari dekapan Hendrik sedangkan Bakti langsung meringkus dan memborgol Soffie.

“Ndan, tolong jangan kasar! Dia sedang hamil!” ujar Briptu Arni mencoba mengingatkan Hendrik. Dia tidak tega melihat perlakuan kasar Hendrik pada Asih.

“Emang, gue pikirin. Bukan anak gue ini! Hahaha...” ujar Hendrik tak peduli dengan tawa lebarnya ia lalu berusaha mencium leher Asih. Namun Asih terus memberikan perlawanan karena mendapatkan perlakuan tidak senonoh dari Hendrik.

Kriiing…

Tiba-tiba handphone Hendrik berdering.


Dengan rasa kesal, ia melepas Asih dengan mendorong tubuhnya pada Briptu Arni.

“Borgol dia!” perintah Hendrik pada Briptu Arni. Briptu Arni pun dengan terpaksa mengikuti perintah Hendrik.


“Hallo, Ndan. Ada kabar buruk.” ujar orang dari telepon sana memberitahu.


“Ya hallo Jaki. Ada kabar apa?” jawab Hendrik dengan wajah tidak tenang.

“Gudang boss Shencen habis terbakar semalam.” jawab Jaki dari ujung telepon sana. Dia adalah salah seorang oknum kepolisian reserse yang juga menjadi salah seorang anak buah Hendrik.

“AAAAPPPPAAA!” Hendrik nampak kaget dan marah. “ Terus di mana mereka sekarang?”

“Anuu, Ndan. Menurut info yang saya dapat. Di dalam gudang ada lima jasad yang hancur terbakar. Diduga itu adalah Boss Shencen beserta anak buahnya!”

“Brengsek! Siapa yang melakukan semua ini,? Siapa yang berani-beraninya menghancurkan bisnisku?” sahut Hendrik berang setelah mendengar laporan dari anak buahnya.

“Anu, Ndan. Kita belum mendapatkan info tentang pelakunya. Tapi menurut saksi mata, mereka melihat beberapa preman yang keluar dari gudang.” jawab Jaki melaporkan dari ujung telepon sana.

“Apa Surya sudah tau hal ini?” tanya Hendrik pada anak buahnya yang sedang meneleponnya.

“Keliatannya sudah Ndan. Tadi salah seorang anak buahnya melapor ke dia! Oiya, Ndan. Suruhan Komandan keliatannya telah gagal, Putrinya komandan Surya sekarang terlihat dimarkas dan….!!” Jaki tak meneruskan ucapannya




“maksud kamu semua gagal, coba kamu laporan yang bener jangan setengah setengah!!” Hardik Hendrik merasa mengkal dengan laporan yang gak tuntas.



“eeeuuu Surya telah menangkap mereka semua dan juga Saya dengar Surya telah memliliki bukti-bukti untuk menangkap



Komandan dan sekarang dia telah menghadap Pak Dirga..!” ujar Jaki melaporkan temuannya pada Hendrik.



“Brengsek!!! Ya sudah, mau tidak mau kamu dan yang lainnya sekarang langsung ke villaku!!” sahut Hendrik memerintahkan Jaki dan anak buahnya yang lain untuk mengikuti rencananya selanjutnya “Cepat atau lambat mereka akan menangkap kita. Jadi Jaki jangan lupa bawa perlengkapan. Dan jangan bodoh kayak si Bakti, Ingat jangan pernah abaikan perintahku dan jangan pernah sedikitpun kalian mengkhianati aku atau aku akan hancurkan kalian hingga semua keluargamu!”


“Terus urusan Putrinya!??”



“Gue gak peduli dengannya, karena gue dah mendapatkan yang lebih berharga daripada bocah ingusan yaitu gue sudah menangkap istrinya Surya dan sekarang telah mereka telah dibawa menuju Villa, Tugas kalian adalah menjaga agar Surya jangan sampe membawanya lagi, kalo perlu dalam keadaan genting bunuh mereka semua MENGERTI!!” perintah Hendrik


“Beres, Ndan!!” sahut Jaki anak buah Hendrik dari ujung telepon sana.

Kliik.


“Brengsek!” maki Hendrik. Dia membanting HP-nya ke lantai hingga hancur tak berbentuk.

“Ada apa, Ndan ?” tanya Briptu Bakti yang tak mengerti persoalan.

“Si Shencen sudah mati, seiring hancur gudang penyimpanan kita. Pasti ini ulah, antek-anteknya si Surya..!” sahut Hendrik geram.

“Pasti ini ulah Si Anton, Ndan!” ujar Briptu Bakti menyela.

“Iya. Aku yakin itu! Sekarang Surya sedang membeberkan bukti yang dia dapat ke si Dirga!” jawab Hendrik kesal.

“Terus apa yang kita lakukan sekarang?” tanya Briptu Bakti bingung.

“Tertangkap dan hidup menderita seumur hidup atau kita melawan sampe mati.” Sahut Hendrik. Dia tersenyum menyeringai sambil menatap tubuh Renata yang tergolek pingsan.



Sementara ketika Hendrik sedang menelepon, Asih yang sedang diringkus dan akan diborgol Briptu Arni bertanya lirih. “Nak, kenapa kamu lakukan ini semua? Apa kamu tidak malu sebagai seorang Polwan melakukan hal keji ini pada kami?”

Briptu Arni diam tak menjawab sambil memborgol tangan Asih.

“Apa kamu mempunyai anak dan suami? Apa kamu tak malu pada mereka?” cecar Asih dengan beberapa pertanyaan. Asih lalu berbalik menatap Briptu Arni. Briptu Arni yang merasa jengah oleh tatapan Asih langsung menunduk. Tak lama kemudian terdengar isak tangisnya.

“Kenapa kamu menangis, nak?” tanya Asih lembut.

“Saya terpaksa, Bu. Hikkss… Mereka akan ….!” Jawab Briptu Arni pelan sambil mengusap air matanya.

“Sudahlah, tak usah kamu teruskan. Ibu mengerti. Hanya jika ada kesempatan nanti. Larilah kamu, sebisa mungkin jangan kamu berhubungan dengan dia lagi!” jawab Asih sambil memandang Hendrik dengan tajam. Briptu Arni pun ikut menatap Hendrik.

“Lihat itu...! Keliatannya, langkah dia sudah hancur berantakan. Jangan kamu terbawa hancur oleh kebejatan dia! Aku kasih tanda, jika kamu sudah bisa lari dan jika kamu berhasil lolos. Katakan pada suami dan anakku, ‘bahwa aku amat menyayangi mereka semua’!” ujar Asih sambil menganguk tersenyum pada Briptu Arni saat melihat Hendrik yang membanting handphone-nya.

Briptu Arni hanya bisa terdiam, nggak mengerti maksud Asih.



“Gimana lu dah hubungi si Badrun tadi?” tanya Hendrik pada Briptu Bakti.

“Sudah, Ndan. Sebentar lagi mereka datang.” jawab Briptu Bakti.

“Untuk sementara kita mesti berpencar! Lu pergi ke villa! Bawa kedua bini si Surya, terserah kalian mau apain mereka. Tapi gadis ini, gue yang bawa!” ujar Hendrik memberi instruksi pada Briptu Bakti.

Klonteng...


Sreeekk...


Terdengar suara pagar terbuka beberapa orang memasuki rumah Surya.


“Bak, lu bersama Tompel langsung ke Villa! Ntar Jaki dan kawan-kawan akan kumpul di sana! Sedangkan Badrun dia ikut denganku! Drun, bawa gadis ini ke mobil dan dua orang mereka bawa ke mobil si Bakti!” ujar Hendrik memberi perintah ketika orang yang bernama Badrun dan Tompel masuk ke dalam rumah.

“Siaaap, Boss!” sahut mereka dan langsung menarik paksa Asih dan Soffie. Dan dua orang lainnya membopong tubuh Renata.

“Bangsat, lepaasssskan!” maki Soffie. Dia terus saja meronta dan berusaha melawan.

“Hahaha...” Salah seorang tertawa nyaring. Dan orang itu ternyata bernama Badrun. “Ayo cantik, ikut dengan kami! Entar kami service, kalian berdua. Tompel. Nih kesukaan lu, cewek yang bunting.” Badrun mencolek dagu Asih saat melewatinya.

“Anjing kalian…! Biadab…! Lepasin kami!” maki Soffie. Dia meronta dengan keras hingga akhirnya terlepas lalu Soffie berusaha menghalangi Tompel yang akan menarik paksa Asih.

“Huahaha…” Tompel tertawa terbahak-bahak. Dengan seringai mesum ia berkata. “Ayo Neng, ikut Akang! Jangan melawan!”

“Mbak, kita jangan melawan! Ikuti aja, apa kata mereka! Kita pasti akan kalah.” bisik Asih pada Soffie.

“Tapi..!” Soffie seakan mau protes namun sekali lagi Asih mencoba meyakinkan Soffie.

“Mbak pasti percaya sama Asih, ‘kan??”

Akhirnya Soffie pun pasrah mengikuti apa mau mereka. Dengan ditarik paksa mereka memasuki mobil hitam dengan diikuti oleh Briptu Arni yang ikut masuk ke dalam mobil itu.



“Sih. Renata, Sih! Tooolong...! Tolong...!” Soffie kembali panik ketika melihat tubuh Renata dibopong oleh Hendrik dengan kendaraan terpisah dengan mereka. Dari dalam mobil Soffie melakukan perlawanan pada si Tompel.

“Cepat maju, sebelum menjadi pusat perhatian warga atau orang lain!” perintah Briptu Bakti.


Teriakan Soffie barusan sempat mengundang perhatian warga sekitar. Beberapa di antara mereka pun mendekati kendaraan Bakti dan Hendrik. Meskipun mereka melihat Hendrik melihat berpakaian polisi tapi kecurigaan mereka akan perilaku Hendrik yang membopong Renata, apalagi tahu bahwa Surya adalah salah satu perwira di kepolisian yang tinggal di wilayah mereka, membuat mereka mencoba mendekati untuk mengetahui apa yang terjadi.

“Hey, apa yang kalian lakukan?” Salah seorang laki-laki tua berteriak dari kejauhan.

Tetapi sebelum para warga itu sempat mendekat ke arah mobil Bakti dan Hendri.


Tiba-tiba...


Sambil berteriak Hendrik melepaskan tembakan ke atas.


Dor... Dor... Dor... Terdengar tiga butir peluru meletus ke udara.


“Kalian, jangan ikut campur! Mundur semua!” Ancam Hendrik ke beberapa warga yang mencoba mendekat. Melihat Hendrik mengacungkan pistol para warga pun menahan diri untuk mendekat.

“Badrun, ayo cepet maju! Sebelum mereka lebih banyak yang datang!” teriak Hendrik yang sudah tidak nyaman melihat warga yang semakin banyak. Dan Badrun pun langsung memacu kendaraannya dengan sengaja zig-zag agar warga tak menghalagi jalannya.

Di dalam mobil Bakti. Asih dan Soffie duduk di tengah dengan diapit oleh Tompel dan Briptu Arni. Tompel berusaha menahan Soffie yang terus meronta dan melakukan perlawanan dengan dibantu oleh temannya yang lain dari bangku belakang.

“Ayo cepat, kita pergi!” ujar Briptu Bakti pada sopirnya.

Saat mobil melaju pelan, tiba-tiba Asih yang terbogol tangannya meronta, dan tanpa disadari penculiknya kakinya meraih handle pintu yang memang belum terkunci, hingga pintu tengah mobil terbuka, lalu ia mendorong tubuh Briptu Arni dengan tubuhnya.

“Awas..! Tahan dia...!” teriak Briptu Bakti. Briptu Arni yang kaget oleh gerakan Asih tak sempat menahan keseimbangan sehingga tubuhnya terjatuh berguling-guling di atas aspal.

Plaaaaak... Salah seorang anak buah Hendrik menampar Asih.

“Bangsat kamu…!” teriaknya.


Melihat Briptu Arni yang terguling di atas aspal, sang sopir mencoba menghentikan mobilnya tetapi dicegah oleh Briptu Bakti.

“Jangan berhenti, biarkan dia! Kita nggak bisa menghadapi warga!” perintah Briptu Bakti kepada sopirnya. Mobil pun meluncur meninggalkan Briptu Arni, sementara warga mulai berbondong-bondong mengejar mereka.

Akhirnya mereka pun bisa meninggalkan kompleks dan lolos dari amukan warga.

“Sekarang kita ke mana Bang?” tanya sang sopir pada Briptu Bakti.

“Kita ke puncak! Ke villa, Boss!” sahut Briptu Bakti memberitahu. Sesekali ia mengusap kepalanya untuk menutupi kepanikan. Ia yakin bahwa tindakan ini adalah akhir dari perjalanan hidup dan karirnya di kepolisian, hanya karena uang dia telah mempertaruhkan segalanya untuk bergabung dengan Hendrik.





“Arrrkkh....” jerit Briptu Arni yag terjungkal dari dalam mobil yang melaju.



Tubuhnya berguling-guling hingga akhirnya dia tersadar bahwa dirinya telah ditinggalkan oleh Briptu Bakti rekannya. Sambil menahan sakit, Briptu Arni lalu bangkit. Para warga pun telah mengelilinginya. Beberapa warga ikut memapah Briptu Arni.



Melihat Briptu Arni memakai seragam kepolisian, sesepuh warga bartanya padanya. “Mbak, apa yang terjadi sama keluarga Pak Surya? Apa Mbak polisi anak buah Pak Surya?”

“Eehh, aanuu...” Briptu Arni merasa gugup saat dirinya dipandang curiga oleh beberapa warga.

“Iiiyyaaa Paaakkk. Saya anak buah Pak Surya! Ketika saya sedang berkunjung ke rumah Beliau, mereka datang tiba-tiba dan langsung menculik istri Pak Surya. Untung saya masih bisa lolos, Pak. Ini KTA saya, Pak!” Briptu Arni berbohong pada warga sambil menunjukan kartu identitasnya.

“Waduh bahaya! Ayo cepat, kita hubungi Pak Surya! Sebelum mereka pergi jauh.” ujar lelaki itu

“Nggak usah, Pak! Biar saya aja yang menelepon Pak Surya.” jawab Briptu Arni mencoba mencegah mereka menghubungi Surya agar dirinya bisa meloloskan diri.

“Pak, itu Den Anton beserta kawan-kawannya datang!” Salah satu warga mengabari pada sesepuh warga.




Dan akhirnya, mereka lengah memperhatikan Briptu Arni. Saat mereka menghampiri Anton di rumahnya diam-diam Briptu Arni menyelinap kabur tanpa diketahui warga.




Di kediaman Surya….


“Renata… Renata...! Maaahhhh...! Buuuuu…!” Anton lagsung merangsek masuk ke dalam rumah saat melihat warga yang berkerumun di depan rumahnya. Ia diikuti oleh Badai, sedangkan Sakti dan Bang Iwan mencari informasi warga yang berkerumun.

“Muuuttt... Di mana kamu? Maaahhhhh…! Buuuu…! huuuuuuu… Hiks...” Anton bersandar di tembok sambil meremas rambutnya dan meraung menangis. Badai masih menelusuri se-isi rumah untuk mencari mereka. Tetapi saat itu tak menemukan seorang pun ia kembali kepada Anton.

“Mereka nggak ada, Cing. Maaf kita datang terlambat!” ucap Badai sambil menepuk pundak Anton. Ia yang merasa bersalah karena keterlambatan mereka dan mencoba menenangkan Anton.

“Cing. Ini Pak RW mau bicara sama lu!” ujar Sakti yang tiba-tiba muncul bersama Bang Iwan dan juga sesepuh warga.

“Maaf, Nak Anton! Bapak sebagai pengurus warga tak bisa menghentikan aksi mereka karena mereka mempunyai senjata api. Sehingga kami pun takut untuk memberikan pertolongan.” ucap Pak RW yang juga merasa bersalah atas penculikan yang telah terjadi di depan mata kepalanya sendiri.

“Sudahlah, Pak. Nggak usah merasa bersalah! Kami pun datang terlambat, padahal kami telah mengetahui upaya penculikan ini!” terang Badai untuk menenangkan Pak RW, sementara Anton masih terus meratapi kesalahan dirinya yang telah meninggalkan Renata, Ibu Asih dan Mamah Soffie.

“Hey, Ton! Lu jangan cengeng! Kita masih ada waktu untuk mengejar mereka!” ujar Bang Iwan memberi support pada Anton.

“Kak.. Kak. Ada apa ini? Kok, warga pada ngumpul di sini?!” ujar Nanang yang tiba-tiba muncul di hadapan Anton. Melihat adiknya datang, Anton langsung memeluk tubuh Nanang.

“Nang. Huuu.. Hiks... Maafin, kakak! Kakak nggak bisa melindungi Ibu, Mamah dan Renata… huhuu!!” sahut Anton memberitahu sambil terus menangis tersedu-sedu.

“Maksud kakak apaan? Nanang nggak ngerti!” jawab Nanang yang mulai terlihat panik setelah melihat sikap Anton. Dia pun melepaskan rangkulan kakaknya.

“Nang. Sabar, ya! Renata, Tante Soffie dan Bu Asih diculik.” Badai menerangkan kondisi yang terjadi.

Nanang langsung lemas tak bertenaga saat mendengar penjelasan Badai.

“Siapa yang melakukannya, Kak??” tanya Nanang berang.

“Siapa lagi kalo bukan dia!!” celetuk Sakti ikut emosi.

“Dia.. Maksud kamu Pak Hendrik..??” tanya Nanang. Lalu dijawab Sakti dengan anggukan kepala.

“Bangsat...!” maki Nanang. Lalu ia beranjak berlari keluar tetapi begitu tiba di pintu, dua sosok menghalangi langkahnya dan menahan dirinya.

“Lu, mau ngapain pergi seorang diri? Mau bunuh, dia? Yang ada, lu yang bakalan mati.” kata Guntur setelah menahan tubuh Nanang.


Kedua orang itu ternyata adalah Guntur dan Bimbim, lalu mereka merangkul Nanang dan mengajaknya kembali masuk ke dalam rumah.

“Yang dibilang si Kebo itu bener, Nang. Kita mesti pake siasat untuk menghadapi si Hendrik dan kita juga nggak tau mereka ada di mana!!” ujar Badai menyela.

“Oiya, hampir saya lupa. Tadi ada Polwan, ngakunya anak buah Pak Surya. Jang, bawa Mbak polisi tadi!” teriak pak RW pada seseorang agar membawa sosok polwan tersebut.

“Polwan…?? Jangan-jangan dia!” gumam Badai sambil menatap Sakti, tapi Sakti hanya mengangkat bahu seolah tidak mengerti.

“Anuuu, Pak..! Polwan tadi, sudah kabur..!” sahut laki-laki itu. Dia disuruh pak RW ke luar rumah dan kembali menemui Pak RW di dalam rumah dengan membawa kabar bahwa polisi wanita itu telah menghilang.

“Loh, kok bisa kabur?” sahut Pak RW itu kaget. “Jangan-jangan mereka bersekongkol!”

“Ya sudah, Pak. Kami sudah tahu siapa polisi itu? Sekarang biar kami saja yang mengurusnya! Untuk sementara ini, Bapak suruh warga yang lainnya berjaga-jaga! Dan kalo bisa, mereka dibubarkan dulu biar Anton dan Nanang merasa tenang!” ucap Bang Iwan berbicara dengan Pak RW.

“Baiklah, kalo begitu. Saya pamit dulu, Nak Anton, Nak Nanang. Sekali lagi, saya atas nama warga meminta maaf!” pamit Pak RW. Dan sesepuh warga itu pun meninggalkan mereka bertujuh, hanya Nanang dan Anton yang diam membisu.

Guntur mendekati Anton sambil menampar pipin Anton.

Plaaaakkk…

Tamparan Guntur membuat Anton tersadar akan tangisnya.

“Hanya segitu, mental seorang Anton yang jadi pemimpin kami? Seorang pemimpin yang hanya bisa merengek, menangis tanpa melakukan apapun!” tanya Guntur sambil menatap tajam Anton.

Anton menengadahkan kepalanya sambil memejamkan mata. Seolah sedang mengendalikan pikirannya yang berkecamuk ketakutan. Setelah itu, Anton mengusap air matanya lalu menatap sahabatnya satu per satu.

“Bang Iwan, Dai, Net, Bim, Kebo dan lu Nang. Gue mohon kalian mau bantu gue untuk mengakhiri semua ini. Apa kalian mau?” tanya Anton serius.

“Pasti, Cing. Ini yang gue tunggu! Omongan lu ini, barulah Anton yang gue kenal, sejak dulu.” ujar Guntur sambil merangkul pundak Anton, sementara yang lainnya hanya tersenyum sambil mengangguk tanda setuju.

Lalu Nanang memegang pundak Anton dan berkata. “Kak, meski aku dipecat dari kesatuan. Asal aku bisa menyelamatkan semua anggota keluarga kita, aku tak akan menyesal, Kak. Terima kasih kakak telah mengajakku!” ucap Nanang, dijawab Anton dengan anggukan kepala. Nanang lalu melepas seragamnya sebagai bukti bahwa tindakannya ini di luar tugas dari institusinya.


Kriiiing....

Handphone Bang Iwan berbunyi.

“Juned nelpon!” ujar Bang Iwan memberitahu pada Badai saat tahu siapa yang sedang menghubunginya.



“Hallo, Ned. Gimana sukses lu?” tanya Bang Iwan pada Juned.

“Hahaha.... Tenang, sudah beres. Mereka sudah gosong dilalap api neraka.” tawa Juned di ujung sana sambil memberitahukan kabar bahwa misinya telah berhasil.

“Bagus, Ned. Berarti tanpa mereka, kelompok si Hendrik pasti hancur! Tapi Ned, ada kabar buruk.”

“Hah... Kabar buruk apa?” tanya bang Juned kaget.

“Si Hendrik. Dia telah berhasil nyulik istri Bang Surya, termasuk calon mantunya.” terang Bang Iwan memberitahu.

“Bangsat....! Nggak kapok-kapoknya, dia bikin masalah! Oke. Terus rencana lu, apaan sekarang?” Juned sempat memaki kesal dari ujung sana lalu bertanya pada Bang Iwan tindakan mereka apa selanjutnya.

“Untuk sementara ini, kita masih ngumpul di rumah Bang Surya! Kita belum bisa ambil tindakan!” jawab Bang Iwan lewat HP-nya.

“Oke! Kalo gitu, gue langsung meluncur ke sana!” sahut Juned cepat dan hendak mengakhiri pembicaraan di telepon.

“Bentar, Ned. Si Dai mau bicara!” cegah Bang Iwan agar Juned tidak menutup telepon saat melihat kode dari Badai. Bang Iwan pun memberikan handphone-nya kepada Badai.

“Bang, sebelum ke sini! Tolong kumpulkan semua temen-temen kita! Dan Abang suruh mereka menunggu intruksi selanjutnya! Pastinya, Hendrik udah mempersiapkan kedatangan kita. Dia pasti mengumpulkan semua anak buahnya dan pastinya bakal terjadi kontak fisik yang sangat besar.” ujar Badai menjelaskan pada Juned melalui HP Bang Iwan.

“Oke, Dai. Abang akan suruh si Jamal sama si Joko untuk ngumpulin anak-anak. Dan Abang akan segera bergabung sama kalian di situ!” jawab Juned mengerti.

“Ok, Bang. Ditunggu!” sahut Badai singkat.

Klik


Setelah saling berbicara melalui saluran telpon, Badai mengakhiri pembicaraannya.

“Selagi kita nunggu Bang Juned! Cing, lebih baik kamu lapor dulu ke Om Surya tentang apa yang terjadi. Mudah-mudahan, ada info yang bisa kita dapat dari Om Surya!” ujar Badai sambil menyerahkan HP kepada Bang Iwan.

Tanpa pikir panjang, Anton pun lalu menelepon Surya, Papanya.





Bersambung....





NEXT -----> ~~EPISODE 44~~
 
Terakhir diubah:
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd