"Hajar, piye kondisine Nada? Bocah wedok kluyuran wae bengi-bengi. Ngisin-ngisini wong tuwo. Ngene iki oleh-olehane, kuwalat!", (Hajar, gimana kondisi Nada? Anak gadis keluyuran malam-malam. Bikin malu orang tua. Ya begini ini akhirnya, kena karma orangtua!) laki-laki paruh baya dari sepasang suami istri tadi memanggil Hajar sembari ngomel tak jelas.
"Sampun to Romo, sampun duko rumiyin. Prayogi mirsani Nada, mbokbilih saget ngendikan langsung kalihan piyantune", (Sudahlah papa, jangan marah dulu. Lebih baik kita lihat Nada, mungkin bisa kita interogasi langsung orangnya) istri dari laki-laki tersebut menenangkan. Dibalik halus tutur katanya terbesit sifat arogan tak ubahnya seperti sang suami.
"Romo.. Biyung.. Langkung prayogi malih menawi mboten langsung nuduh Nada ingkang mboten-mboten. Naminipun kesripahan njih diluar kekuasaan kita", (Papa.. Mama.. Lebih baik lagi jika kita tidak langsung menghakimi Nada. Namanya musibah itu diluar kekuasaan kita) seorang pria muda berkisar usia 30 an tahun yang datang bersama mereka turut urun berbicara menengahi ketegangan yang terjadi.
"Nada mengalami tabrak lari om, rencana besok pagi mau di foto rontgen, tadi saya sudah mengabarkan via sms ke kak Angga kalau kondisi Nada tidak memungkinkan untuk langsung dibawa pulang", Hajar berusaha serapi mungkin menata kalimatnya menghadapi sepasang suami istri yang ternyata adalah orangtua Nada. Orangtua Nada datang bersama dengan kakak tertua Nada yang bernama Bangga Pambudi. Nada biasa memanggilnya dengan sebutan kak Angga. Kak Angga adalah seorang co-pilot suatu maskapai penerbangan domestik. Ia telah menikah, namun belum dikaruniai putra. Saudara kandung Nada yang lain adalah kak Andira Kirana, seorang cewek yang lahir diantara Angga dan Nada. Saat ini kak Dira hidup dan tinggal bersama suaminya di Jakarta. Suami Dira seorang yang kaya di Jakarta. Ia memimpin di salah satu anak perusahaan PT. Tiga Mandiri Perkasa.
Orangtua Nada yaitu Raden Kusno Hadiwidjojo dan Raden Roro Estu Kinasih adalah keturunan dari keratonan solo yang konon masih mengalir darah biru di dalam tubuh mereka. Latar belakang pekerjaan pak Raden..eh..pak Kusno yang sebagai pemilik pabrik plastik di Surabaya juga turut menunjang karakter tinggi hatinya ala kebangsawanan.
"Halah..ngalem cah kuwi. Ayo kono digugah Bune, tak ceramahane kene!", (Halah..manja tuh anak. Ayo Ma bangunin aja, biar ku ceramahi!) Pak Raden yang uring-uringan tak jelas berniat merangsek ke dalam ruang VIP Nada. Namun langkah itu terhenti saat Dana tiba-tiba menghalangi di ambang pintu.
"Hehh..kowe sopo kowe?!. Ora nduweni sopan santun ngalangi dalane wong sepuh !", (Hehh..kamu siapa?!. Tidak sopan menghalangi jalan orang tua!) mata pak Raden melotot sangar melihat seorang pemuda menghambat niatnya.
"Sebelumnya maaf pak jika dianggap kurang sopan. Tapi kondisi Nada masih lemah. Rontgen saja baru dilakukan besok. Apa tidak sedikit over jika harus dibangunkan dan dimarahi?", dengan sopan Dana berusaha memberikan pemahaman kepada orangtua Nada yang terlihat grasa-grusu.
"Kowe cah wingi sore wae wes wani-wani nuturi aku hah??!", (Kamu anak kemaren sore aja kok sudah beraninya menceramahi aku hah??!) Nada suara pak Raden meninggi. Intonasi tajam dan kaku laksana mencabik relung hati Dana dan yang lain.
"Hajar, bisa tolong kamu jelaskan kepada bapak ini tentang siapa kita?. Dan beliau bertiga ini siapa?. Agar tidak terjadi kesalahpahaman lebih jauh", Dana dengan tatapan tajam dan sorot mata yang tegas memandang dingin kepada pak Raden. Baru kali ini Indra dan Khusna yang notabene adalah sahabat dekat Dana melihat ketajaman pandangan dingin mata Dana yang seperti ini.
"Beliau bertiga ini adalah orangtua dan kakaknya Nada mas. Namanya Pak Kusno, Bu Estu, dan Kak angga. Dan perkenalkan Pak.. Bu..kami ini sahabat-sahabatnya Nada", bening suara Hajar mengalir lembut menghantarkan kalimat sejuk yang secara nurani seharusnya orang akan mereda emosinya bila mendengarnya.
"Lhukk koen..Kusno jenenge Jo. Memper jenengmu, Khusna heheh", (Lho.. Kusno namanya Jo. Mirip namamu, Khusna heheh) Indra berbisik lirih disamping Khusna. Untung saja si empunya nama Kusno tak mendengarnya. Bisa ngamuk tuh orang kalau tahu namanya dipakai oleh Indra menjadi bahan candaan.
"Iya pak. Kalau memang hendak marah, silahkan marahi kami, karena Nada sedang bersama kami saat musibah terjadi. Kami dan Nada sedang menjenguk Pak ali yang sedang sakit. Njenengan bisa tanya langsung ke beliau jika tidak percaya", pembelaan Dana atas Nada semaksimal mungkin ia lakukan demi menyelamatkan Nada dari amukan pak Raden dan Nyai Dasima.
"Niliki wong kumel iki?. Potongane ae jelas wong mlarat. Nyapo Nada sampek kenal lan kluyuran tekan omahe wong susah iku??!", (Menjenguk orang kusam ini?. Dari tongkrongannya aja udah keliatan kalau orang miskin. Ngapain Nada sampai kenal dan keluyuran kerumah tuh orang susah??!) Bukannya mengendurkan tensi amarahnya, sekarang malah Pak ali yang menjadi bulan-bulanannya Pak Raden.
"Pak!. Jaga mulut bapak jika ingin dihargai orang!. Katanya ningrat, terpelajar, tapi omongannya ga mencerminkan sekali. Aku ga terima jika bapakku di umpat seperti itu!", telinga Najar panas mendengar bapaknya dihujat habis-habisan oleh pak Raden.
"Eh kowe cah wadon menengo kowe. Ora ilok ngomong kasar marang priyayi. Klambi lan paesanmu wae pating pecotot njlekonet koyok upruk ngono. Wehh.. Bapak lan anak kok yo podo
wae..", (Eh kamu anak cewek tutup mulutmu. Ga pantas kamu berkata kasar pada seorang ningrat. Baju dan dandananmu aja seksi menor kayak pelacur gitu. Wahh.. Bapak dan anak kok ya sama aja..) Bu Estu yang awalnya terlihat lembut dan diam ternyata setali tiga uang tak ubahnya seperti karakter Pak raden. Bu Estu mencemooh Najar tanpa ampun.
"SUDAHHHH.. Hikks hik..dia bapak dan kakakku!. Tolong jangan hina mereka!. Nada yang kukenal itu orang yang baik dan halus perasaannya. Aku bingung, menurun dari siapa sifat Nada itu! Hikk..", tangis Hajar pecah menerima hadiah pahit dari keluarga Nada untuk keluarganya. Khusna berusaha memberikan pelukan penenang di bahu kekasihnya.
"Ooo..kowe anake to Jar?. Kok ga memper yo. Ojo-ojo kowe di pek anak karo wong kuwi..ehhm.. Podo karo Nada lan sak dulure. Papa mama mu yang asli kan wong sugih ning dharmahusada !", (Ooo.. Kamu anaknya Jar?. Kok ga mirip ya. Jangan-jangan kamu anak pungutnya orang itu..ehmm.. Sama dengan posisi Nada berikut saudaranya. Papa mama kamu yang asli kan orang kaya raya di dharmahusada!) Kembali Bu Estu mengobral ucapan tanpa mengenal belas kasihan.
"Hikks..kami salah apa buu?? Sampai kalian berdua menghina kami seperti itu!. Ohhh..jadi Nada, kak Dira, dan kak Angga itu anak angkat kalian ya??", Hajar sudah habis kesabarannya. Dengan menahan tangisan, Hajar menghardik kedua orangtua Nada.
"Sudah... Ini rumah sakit. Jangan ribut. Romo biyung tolong simpan saja kalimat-kalimatnya. Mending Romo biyung saya antar pulang daripada marah-marah disini!", suara Angga dengan berwibawa menyerobot masuk diantara perseteruan keluarga tersebut. Angga benar-benar sangat menyayangkan perilaku orangtuanya.
"Kowe cah lanang kurang toto kromo, potonganmu yo koyoke kowe wong kurang. Nada kuwi pacarmu yo??. Mulai saiki ojo cedaki Nada maneh!. Awas kowe sampek aku ngerti yen isih nggambasi Nada maneh!. Ayo Ngga bali wae. Sumpek aku kumpulan karo wong-wong kampungan..", (Kamu cowok yang kurang tata krama, tongkronganmu juga sepertinya kamu orang miskin. Nada kamu pacari ya??. Mulai detik ini jangan dekati Nada lagi!. Awas kamu jika masih ketahuan PDKT ke Nada lagi!. Ayo Ngga kita pulang. Alergi rasanya kumpul sama orang-orang udik..) Pak raden menyisakan satu umpatan lagi sebelum akhirnya mereka beranjak pulang. Satu bisikan Angga kepada Hajar mengisyaratkan bahwa ia akan kembali lagi setelah ini tanpa orangtuanya.
Apakah jiwa Nada bisa diselamatkan? next bagian 9, Cum-ing soon..