Agen Terpercaya  
 
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

CERBUNG - TAMAT Gita Vani: Ceritaku Dengan Pemerkosaan dan Lesbianisme

Part Favorite? (kalau ada)

  • Part 1. Muslihat dan Penderitaan

    Votes: 6 35,3%
  • Part 2. Terbit dan Terbenamnya Matahari

    Votes: 0 0,0%
  • Part 3. Duri Dalam Kenyamanan

    Votes: 2 11,8%
  • Part 4. Perjuangan Buntu

    Votes: 0 0,0%
  • Part 5. Jatuh ke Tanah

    Votes: 5 29,4%
  • Part 6. Pelepasan

    Votes: 0 0,0%
  • Part 7. Kisah Dalam Kabut (END)

    Votes: 4 23,5%

  • Total voters
    17
Part 4. Perjuangan Buntu

“Sssssstttttt aaah.” Aku menjatuhkan sendok dan garpu yang sedang kupegang. Tanganku mencengkram kuat pinggir meja makan, sambil mengernyit tertahan.

“Kamu kenapa sayang?” Tanya Mama, bangkit dari kursinya lalu duduk di sebelahku. Ia menggenggam tanganku dan membelai punggungku. “Kumat lagi ya?”

Aku mengangguk cepat. Vaginaku rasanya seperti terbakar, gatal luar biasa. Tubuhku berteriak minta disentuh. Aku melawan dorongan ini sekuat tenaga, sampai badanku bergetar hebat. Papa ikut duduk di sisiku yang lain, memelukku. Beberapa menit mereka menenangkanku, sampai akhirnya rasa membara yang kurasakan mereda. Aku bersandar lemas, nafasku terengah-engah, namun, aku berhasil menahannya.

“Mama ambilin celana dulu ya,” ujar Mama sambil melangkah pergi.

Aku melirik bagian bawahku. Celana piyama yang kugunakan basah kuyup di bagian selangkangan. Vaginaku mengeluarkan banyak sekali cairan pelumas, mungkin karena sering sekali bekerja keras belakangan ini. Papa menarik celana sekaligus celana dalamku turun. Celana dalamku menempel dengan vaginaku, dan ketika ditarik dapat terlihat lendirku membentuk untaian benang antara vagina dan celana dalamku. Mama kembali, kemudian mereka membantuku membersihkan diri dan memakai celana baru.

Kondisiku jauh membaik setelah Gita datang dan menginap beberapa hari. Aku akhirnya menceritakan semuanya ke Gita, dan atas sarannya, ke kedua orang tuaku juga. Mereka sangat terkejut, namun mereka lebih mencemaskan dengan keadaanku. Mereka berulang kali memelukku, mengatakan semuanya akan baik-baik saja, bahwa kejadian tersebut tidak bisa merusak keutuhan ku sebagai perempuan.

Mereka juga menawarkan untuk mengantarkan ku mencari bantuan profesional. Namun tahap pertama yang kulakukan adalah memakai baju, melawan dorongan untuk masturbasi, dan mencoba kembali hidup normal. Ini adalah hari ke 14 sejak aku memutuskan berubah. Setiap hari penuh dengan kesulitan, seperti yang terjadi barusan di meja makan, namun dengan bantuan dari kedua orang tua ku dan juga Gita aku berhasil melewatinya.

—----------

“Kamu yakin udah kuat?” Mamaku bertanya cemas.

“Iya Ma, aku mau coba kuliah hari ini.” Tepat sebulan setelah aku berhenti masturbasi, aku memutuskan untuk kembali ke kampus. Aku tidak kembali ke kos ku dan Gita untuk sementara ini, karena orang tuaku masih belum yakin dengan kondisi tubuhku. Mereka masih ingin memantau kondisiku setiap hari.

“Kalau belum bisa jangan dipaksa sayang. Apalagi kebetulan Mama sama Papa ga bisa antar. Seenggaknya Mama minta tolong Om ya buat antar?”

Aku menggelengkan kepala. Kejadian di mana Om ku menyetubuhiku hampir setiap hari saat masa-masa terburukku, tentu saja tidak kuceritakan ke siapa pun. Tidak bisa kubayangkan kekacauan yang terjadi bila diketahui bahwa salah satu pemerkosaku adalah seorang keluarga dekat.

“Naik kereta aja Ma. Aku ga akan maksain diri kok. Kalau ga kuat aku pulang.”

—----------

Git, aku ke kampus hari ini

Beneraan? Kamu udah baikan?

Iya, kalau ga dicoba gatau kan hehe. Aku udah dalam kereta nih

Okeee. Yeay bisa ketemu hehe. Ati-ati yaa, kabarin kalau udah sampai

Aku mencari-cari stiker untuk membalas pesan Gita. Aku akhirnya mengirim stiker hati merah besar. Tidak sampai beberapa detik, Gita membalas pesanku dengan stiker yang sama. Aku tidak bisa menahan senyum.

Perhatianku dialihkan dengan pintu kereta yang terbuka. Ternyata aku sampai di stasiun yang menjadi pusat transit berbagai jurusan kereta. Berpuluh-puluh orang masuk ke dalam kereta. Kondisi yang tadinya cukup nyaman, tiba-tiba menjadi berdesakan. Aku yang dalam posisi berdiri terapit oleh orang-orang di sekitarku.

“Uuuhh,” desahku tak tertahan.

Badanku menempel erat dengan orang-orang disekitarku. Badan kami bergesekan seiring dengan jalannya kereta. Aku, yang sudah sebulan tidak merasakan sentuhan, tiba-tiba mendapatkan kehangatan tubuh manusia dari segala sisi. Kondisi ini terlalu berlebihan untukku. Gesekan tubuh mereka di tubuhku terasa enak. Aku berusaha menahan gejolak birahi yang kurasakan, tapi tidak bisa. Dalam sekejap, setiap inci tubuhku menikmati sentuhan fisik dengan orang lain dan menerjemahkannya sebagai rangsangan seksual.

Aku mau lebih. Otakku sudah tidak bisa berpikir jernih. Aku dengan sengaja menempelkan payudaraku ke punggung orang di depan ku, lalu menggesek-gesekannnya.

“Aaahh, enak.”

Pantatku juga bersentuhan dengan orang dibelakangku. Aku memundurkan pantatku dan menggoyang-goyangkannya, berusaha mengais kenikmatan. Uh, aku tidak tahan lagi. Aku mau masturbasi. Aku mau masturbasi!

Aku mengarahkan tanganku, mencoba menggapai selangkanganku. Namun karena padatnya kereta, tanganku terhalang oleh tubuh orang lain. Aku tidak bisa menggapainya. Aku menggesekan selangkanganku pada kaki orang di depanku, mengapitnya dengan kedua kakiku, lalu menggenjotnya.

Lagi-lagi, kereta berhenti dan pintu kereta terbuka. Kali ini, banyak orang yang turun, sehingga kondisi kereta menjadi agak sepi dan tubuhku kehilangan kontak fisik dengan orang-orang. Aku mencari kursi kosong terdekat, lalu duduk. Aku membenamkan wajahku ke tasku, mencoba meredam nafsuku yang sedang berada di puncaknya. Aku mengingat wajah kedua orang tuaku, mengingat Gita, dan perhatian mereka selama ini. Aku tidak boleh mengecewakan mereka.

Aku harus bisa menahannya!

Akhirnya kereta sampai pada stasiun tujuanku. Kakiku masih terasa lemas, aku berjalan terhuyung menuruni kereta dan keluar dari stasiun. Dari sini, aku masih harus naik ojek untuk sampai ke kampus. Aku sadar bahwa aku sangat haus. Kurasakan pahaku dipenuhi jejak cairan cintaku yang mengering. Ternyata tadi vaginaku sudah sangat basah, sampai mengalir menuruni kakiku. Untungnya aku menggunakan rok, jadi tidak terlihat basah dari luar. Aku berkeliling mencari minum, dan akhirnya aku menemukan sebuah warung kecil. Aku mendatanginya dan membeli minuman botol. Sebelum aku sempat meminumnya, tiba-tiba di depanku tampak dua orang pemuda yang tampak seperti berandalan.

“Wih ada yang bening-bening nih. Mau kemana? Ikut kita yuk main-main.” ujar salah satu dari mereka. Sepertinya mereka dalam kondisi setengah mabuk.

Bersambung
Cerita selanjutnya:
Part 5. Jatuh ke Tanah
 
Part 5. Jatuh ke Tanah


Aku tidak menghiraukan mereka, dan mencoba berjalan terus. Tiba-tiba, pergelangan tanganku disentak dan aku diseret ke gang buntu.

“Sombong banget sih diajak ngomong. Ayo sini dibikin enak hehe.”

“Engga mau, lepas!” Aku meronta sekuat tenaga, namun cengkramannya sangat kuat, sampai tanganku terasa sakit.

“Bro udah gue rekam nih. Cepetan telanjangin!” satu dari mereka berdiri agak menjauh, mengarahkan kameranya ke arah kami.

Dengan kasar pemuda ini memegang-megang tubuhku dan melucuti bajuku. Semakin kuat aku meronta, semakin kuat dia mencengkram dan membatasi gerakanku. Kemejaku sudah terbuka, lalu dia menarik braku ke atas, lalu menghisap dan menggigit payudaraku yang terbuka dengan ganas sambil mengunci kedua tanganku.

“Jangann..uuuhh jangan please!”

Ia mengabaikanku. Dia menghisap dan menggigit leher, pipi, lalu mencium bibirku. Air liurnya memenuhi mulutku. Aku mengalihkan mukaku, namun dia mengejar mulutku dan menguncinya, menekanku mundur ke dinding.

“TOLONG! TOLONG!” aku berteriak sekuat mungkin.

Tiba-tiba kurasakan hantaman kuat pada perutku, yang membuatku tidak bisa bernapas untuk beberapa saat. Ia menghantam perutku dengan lututnya.

“Lo bisa diem ga sih? Mau dibikin enak aja susah banget.” Ia mencekikku.

Aku yang tidak bisa bernapas menganggukkan kepalaku panik. Dia melepaskan cekikannya, membuatku terbatuk-batuk.

“Lo nikmatin aja ya.” ujarnya sambil membuka rokku. “Bro, sini liat.”

Temannya yang merekam kami menghampiri.

“Lo liat tuh. Zoom bagian ini.” temannya mendekatkan kameranya ke bagian celana dalamku yang basah kuyup, lalu mereka tertawa.

“Sok-sok nolak daritadi, tapi memeknya udah basah. Ternyata pengen dia hahaha.” tawa dari pemuda yang memegangku.

“Munafik anjing lonte, jangan-jangan lo sengaja nungguin kita ya tadi, minta dienakin?” tanya temannya, sambil mengarahkan kameranya ke wajahku.
Aku menggeleng sambil menangis. Bukan, aku tidak menginginkan ini! Pemuda yang memegangku menurunkan celana dalamku. Ia lalu merogoh kasar vaginaku.

“Liat nih,” ujarnya sambil mendekatkan jarinya yang basah ke wajahku. “Masih ga ngaku?”

Aku menggeleng. Ia memasukan jarinya paksa ke dalam mulutku. Aku hampir tersedak. Dia lalu berjongkok di depanku.

“Bro, memeknya dicukur rapi, khusus biar bisa kita nikmatin.” ujarnya ke temannya, disambut tawa dan hinaan lainnya.

Ia lalu menarik kedua kakiku sampai aku terjatuh ke tanah. Ia melebarkan kakiku, membuka celananya, lalu dengan tanpa izin memasukan kelaminnya ke dalam tubuhku dengan mudah. Ia menggenjotku dengan kasar, memberikan hujaman-hujaman kenikmatan yang sudah lama tidak kurasakan. Saat aku sedang menikmatinya, tiba-tiba dia mencabut penisnya dan berdiri. Aku yang keheranan menatapnya bingung.

“Kenapa bro?” tanya temannya, sambil terus merekam.

“Liat deh.” ujarnya sambil menempelkan kakinya yang beralaskan sepatu ke vaginaku. Posisiku masih terlentang di tanah dengan kaki terbuka lebar.

Permukaan kasar sepatunya menggesek vaginaku, memberikan rasa nikmat. Ku rasakan kakinya bergerak naik turun,

“Ini padahal kaki gue diem loh,” ujarnya pada temannya.

Setelah kuperhatikan lagi, ternyata bukan kakinya yang naik turun, melainkan pinggulku yang bergerak dengan sendirinya mencari kenikmatan. Saat ia menjauhkan kakinya, aku menaikan pinggulku, tidak rela kehilangannya. Ia terus menaikan kakinya sampai aku bertumpu pada punggung dan kedua telapak kakiku, vaginaku kuangkat setinggi mungkin. Aku menggoyangkan pinggulku dengan cepat. Gesekan sepatunya sangat terasa. Aku menggosokan vaginaku ke atas dan ke bawah dengan buas. Akhirnya, berawal dari rangsangan di kereta, kemudian rangsangan yang kuterima saat ini, membuat pertahananku runtuh. Bendungan dalam tubuhku seperti hancur, nafsu selama sebulan penuh mengalir keluar dengan orgasme yang luar biasa. Cairanku muncrat ke segala arah. Aku kemudian terjatuh berbaring kembali ke tanah, terengah-engah.

“Gila ini cewek ga ada harga dirinya. Malah dia genjot sendiri loh sepatu gue.”

“Cewek kayak gini mah jangan dikasih ampun, kita entot abis-abisan.”

Setelah itu mereka memompaku dengan liar, memakaiku bergantian, tanpa ampun. Orgasme demi orgasme kurasakan. Anehnya, berbeda dengan perkosaanku yang pertama, setelah mendapat orgasme nikmat yang kurasakan bukannya berkurang, justru malah bertambah berkali lipat. Aku berharap penis mereka tidak pernah berhenti menggenjotku. Aku ingin kenikmatan ini terus kurasakan.

Setelah berkali-kali, mereka akhirnya kelelahan dan duduk beristirahat. Tubuhku juga sangat lemah, hampir tidak bisa bergerak, namun api di vaginaku belum juga padam. Aku menjulurkan tangan ke arah salah satu dari mereka.

“Lagi..” ujarku lemah.

“Gue capek lonte bangsat. Mau gue cariin anjing buat ngentotin lo? Rendah banget lo jadi orang haha.”

Aku mengangguk, namun mereka tidak melihat ke arahku. Ternyata mereka tidak serius. Aku lihat kamera mereka diganjal dengan bebatuan, sehingga bisa terus menyorot ke arahku. Uuuh. Api ini semakin kuat. Aku meraba vaginaku dengan tangan, namun aku terlalu lemah untuk menggosoknya.

Aku melihat ada tiang listrik di dekat ku. Sambil tetap terlentang, aku menyeret tubuhku, sedikit demi sedikit ke arah tiang tersebut. Aku memposisikan tubuhku agar tiang tersebut menekan kuat selangkanganku. Badanku terkulai lemas. Kakiku terjulur membuka, seperti menduduki motor, hanya saja dalam posisi tiduran. Aku menggoyangkan sedikit pinggulku, dan ternyata sensasinya sangat luar biasa. Tiang listrik tersebut sudah berkarat, sehingga permukaannya tidak rata, penuh dengan gumpalan-gumpalan kasar. Hanya dengan sedikit gerakan, vaginaku seperti digesek berkali-kali. Hanya dengan gerakan minimal, aku mendapatkan orgasmeku.

Gesek, gesek, gesek, orgasme.

Gesek, gesek, gesek, orgasme.

Gesek, gesek, gesek, orgasme.


Berkali-kali siklus ini ku alami. Badanku sangat lelah, bahkan aku merasa bisa pingsan kapan saja. Namun pinggulku tidak bisa berhenti. Orgasme demi orgasme kucapai. Kulihat kedua pemerkosaku bahkan sudah kehilangan minat. Mereka pergi meninggalkan ku dalam kondisi seperti ini. Aku sempat melihat mereka mengambil semua uangku, namun aku tidak peduli. Selama aku masih mendapatkan kenikmatan dari tiang ini, aku merasa cukup.

Bersambung
Cerita selanjutnya:
Part 6. Pelepasan
 
Terakhir diubah:
Part 6. Pelepasan

Kamu yakin ga mau ditemenin?

Iya Git. Aku mau coba sendiri. Mungkin aku akan bisa lebih terbuka.

Itu adalah percakapan chat ku dengan Gita. Sudah beberapa bulan sejak kejadian perkosaanku yang terakhir. Aku tidak ingat bagaimana aku bisa pulang. Yang kuingat hanyalah sekelebatan ingatan di mana orang tuaku harus merawat ku yang berada dalam keadaan shock kembali. Lagi-lagi, mereka dan Gita dengan sabar menjaga dan menemaniku, sampai aku bisa kembali beraktivitas. Aku memutuskan untuk pergi ke jasa konseling. Aku tidak mau merepotkan mereka lebih jauh. GIta yang pertama kali memberitahuku tentang jasa konseling ini. Konselornya adalah teman Gita. Dia memang bukan seorang profesional, namun sudah cukup berpengalaman. Aku lebih merasa aman untuk bercerita kepada orang kenalan Gita, dibandingkan mencari dari internet.

Aku sampai di alamat yang aku tuju. Dari depan, hanya terlihat seperti rumah biasa. Aku menekan bel, lalu seseorang membukakan pintu dan mempersilahkanku masuk. Aku di bawa ke sebuah ruangan yang luas dan tampak nyaman. Aku duduk di sofa di tengah, dan tidak lama kemudian masuk seorang pria yang umurnya sepertinya tidak jauh berbeda denganku.

“Halo,” sapanya sambil tersenyum ramah, duduk di kursi di seberang sofa yang kududuki. Aku menganggukkan kepalaku.

“Vani, temannya Gita kan ya? Gita udah cerita sedikit mengenai kamu. Aku Marco.”

Aku sedikit gugup, menyadari orang ini mengetahui kejadian memalukan yang menimpaku. Muncul keraguan dari diriku, apakah aku harus melanjutkan konseling ini.

“Kamu rileks aja. Mau santai dulu boleh. Mau ngobrol dulu juga boleh. Jangan maksain diri ya. Apa yang terjadi di ruangan ini, ga akan meninggalkan tempat ini. Kamu bisa ngerasa aman disini.” ujarnya. Terdengar wibawa dalam suaranya yang sedikit menenangkanku.

Aku berdiam cukup lama sambil menyusun kata-kata dalam otakku. Marco dengan sabar menunggu tanpa ada kesan tidak sabar.

“Aku dua kali jadi korban perkosaan. Oh tiga kali.” aku memulai. “Tapi aku merasa ada yang aneh.”

“Kenapa kamu merasa aneh, Vani?”

“Rasanya sakit. Aku benci kejadian itu. Tapi aku ga bisa berhenti mikirin tentang itu, dan bahkan aku bahkan masturbasi sambil memikirkan kejadian itu.” ujarku pelan. Rasanya sangat malu, seperti membuka aib sendiri.

Marco menungguku berbicara lebih lanjut, namun aku tidak tahu harus berkata apa. Akhirnya ia memulai berbicara.

“Vani, pertama kamu hebat. Kamu sudah mau terbuka dan melakukan konseling, ini jalan pertama menuju perbaikan. Kedua, kejadian tersebut sama sekali bukan salah kamu. Bukan salah pakaian kamu, bukan salah kamu yang ga bisa jaga diri. Semua itu murni salah si pelaku. Ketiga, kamu berharga Vani. Kejadian yang kamu alami tidak akan membuatmu rusak.”

Aku agak terkejut, karena Marco mengatakan hal-hal yang sangat menenangkanku. Sepertinya dia memang cukup berpengalaman. Sedikit demi sedikit, kepercayaanku terhadapnya meningkat. Aku mampu bercerita dengan lebih tenang dan detail.

“Orgasme selama perkosaan itu hanya respon tubuh Van. Seperti ketika digelitik kamu tertawa. Itu hal yang wajar, bukan berarti kamu menikmati. Kamu tadi bilang sendiri kan, kamu benci kejadian itu. Perasaan kamu valid Van, hanya karena kamu orgasme bukan berarti kamu suka diperkosa. Banyak orang merasa malu ketika terangsang selama diperkosa, dan menyebabkan mereka ragu apakah mereka benar-benar diperkosa, dan akhirnya tidak mau bercerita kepada orang lain. Lagi-lagi, kamu hebat Van.”

Dan lagi-lagi, perkataannya membuatku tenang.

“Mereka bilang aku lonte.”

“Kenyataannya kamu bukan. Kamu tahu, orang-orang terdekat kamu juga pasti tahu.”

Aku mulai meneteskan air mata. Perasaan yang kuanggap memalukan dan kupendam selama ini, ternyata bukan menandakan rusaknya diriku.

“Mengenai masturbasi kamu,” lanjutnya, “Perkosaan itu tindakan yang sangat keji Van. Perkosaan membuat korbannya merasa trauma, yang sering disebut dengan RTS atau rape trauma syndrome. Tidak semua penyintas kekerasan seksual mengalami trauma yang sama. Apapun itu, tidak ada yang salah dan benar. Beberapa orang jadi takut terhadap seks, namun beberapa orang lainnya justru semakin sering melakukan seks, atau dalam kasus kamu, masturbasi.

Kejadian itu menyebabkan rasa shock yang besar, dan mengakibatkan korbannya merasakan depresi, rasa bersalah, dan rasa malu. Gejala yang kamu alami termasuk gejala yang umum, yaitu rasa mati rasa, kebingungan, dan menumpulnya sistem sensorik dan memori.”

Aku mengangguk, mengingat masa-masa di mana aku tidak bisa mengingat dan merasakan apa-apa.

“Kamu juga mengingat kejadian tersebut berulang-ulang, kemungkinan karena trauma tersebut.” lanjutnya. “Wajar saja ketika masturbasi kamu mengingat kejadian itu. Sekali lagi, bukan karena kamu aneh.”

“Jadi gimana ngatasinnya Marco?”

“Pertama, kamu harus sabar Van. Perjalanan ini mungkin bisa panjang, antara berbulan-bulan atau bahkan bertahun-tahun. Saya nanti akan rekomendasiin kamu beberapa obat-obatan yang bisa membantu. Lalu, akan ada program terapi juga yang akan dijalankan bersama-sama dengan orang terdekat kamu. Nanti akan saya share programnya, dan juga jadwal sesi konseling kita selanjutnya. Untuk hari ini, kamu udah berbuat cukup banyak Van.”

Aku bersandar ke belakang. Tentu saja masalahku ini tidak bisa selesai dalam waktu singkat, tapi aku senang karena setidaknya aku sudah melakukan langkah pertama.

“Ada lagi yang mau diungkapkan Van?”

Tiba-tiba, aku mengingat Gita.

“Oh iya Marco, apa kejadian yang kualami ini bisa mengakibatkan ketertarikan dengan sesama jenis?”

“Sangat mungkin berhubungan. Karena bisa diawali dari rasa shock dan trauma. Beberapa bertahan lama, namun bisa juga hilang setelah traumanya mereda.”

Deg. Jantungku berdegup mendengarnya. Apakah perasaanku terhadap Gita ini sungguhan? Atau karena trauma yang kualami, dan kemudian akan hilang?

Bersambung
Final chapter:
Part 7. Kisah Dalam Kabut
 
Terakhir diubah:
Part 7. Kisah Dalam Kabut (END)

Aku mengenakan setelan terbaikku. Di depan cermin, aku menyemangati diriku sendiri. Kamu bisa Vani!

“Wih cantik sekali anak Mama,” ujar Mama saat aku turun.

Aku tersenyum, lalu memeluknya erat. Mama membalas pelukanku sambil membelai kepalaku.

“Semangat ya sidangnya sayang,”

“Doain ya Ma, deg-degan nih. Semoga penguji sidang skripsinya ga galak.”

Aku lalu melepaskan pelukan Mama, lalu memeluk Papa. Tidak banyak kata-kata yang kami ucapkan, namun pelukan eratnya sudah cukup memberiku semangat. Aku kemudian duduk di meja makan, mulai mengoleskan selai pada roti.

“Gita udah lama ga kesini lagi,” ujar Papa sambil meminum kopinya.

Mama terlihat menendang kaki Papa dari bawah meja. Aku tersenyum getir.

Pemulihan ku berjalan baik. Aku sudah berfungsi layaknya manusia normal lainnya. Setiap hari aku memikirkan perasaanku ke Gita, apakah itu cinta atau hanyalah akibat trauma. Namun di atas semuanya itu, perasaan bersalah yang luar biasa menyelimutiku. Kesalahan yang kubuat pada Gita sungguh sangatlah besar. Aku merekamnya, hanya untuk memuaskan nafsu dari lelaki berengsek yang tergila-gila padanya. Bahkan, hubungan kami bisa dekat berawal dari tipu dayaku yang menggodanya demi mendapatkan rekaman tubuh telanjangnya. Aku takut, sangat takut semua akan hancur berantakan ketika dia mengetahuinya. Namun, aku juga tidak bisa memendamnya. Sama seperti perasaanku pada Gita yang ingin kuungkapkan, dosa ini juga mendesak untuk dikeluarkan. Aku masih sangat ingat hari itu, hari di mana aku menceritakan semuanya ke Gita.

Saat aku mengakui kesalahanku, Gita terdiam selama beberapa saat. Matanya berkaca-kaca. Dia lalu tersenyum. Pertama kalinya ku lihat orang yang terlihat begitu sedih saat tersenyum. Tanpa berkata-kata, ia membelai pundakku, lalu berjalan menjauh. Itu adalah hari terakhir aku melihat Gita. Ia tidak muncul lagi, baik di kos maupun di kampus. Sebanyak apapun aku menangis, sesering apapun aku mencoba menghubunginya, ke mana pun aku mencarinya, Gita tetap menghilang dalam hidupku.

—----------

“Mama!” Anak berumur tiga tahun itu berlari ke arahku lalu memeluk kakiku yang sedang duduk. Aku menggendongnya ke pangkuanku.

“Salah dong, Mama kamu yang disebelah”. Ujarku sambil memeluknya gemas.

Aku menoleh ke wanita di sebelahku. Wanita ini sudah lama tidak kutemui, namun kecantikannya tidak berkurang, bahkan bertambah. Ia tertawa.

“Iya kamu gimana sih Nak, Mama disini hehe.” ujar Vani.

Aku lega melihatnya tertawa lepas, mengingat hal buruk yang terjadi padanya di masa lalu. Sekarang, dia sudah berkeluarga dan bahagia.

“Sana main sama Papa Nak,” ujar Vani. Anak tersebut lari menghampiri Marco, yang menyambutnya dengan pelukan.

“Ga nyangka kamu akhirnya nikah sama Marco Van,” ujarku.

“Hehe, iya berkat kamu Van. Kamu yang ngenalin Marco ke aku, yang jadi titik awal kesembuhanku, dan juga kebahagiaanku.”

Suara Vani perlahan menghilang, lalu terdengar isak tangis dari arahnya.

“Heh, kenapa nangis?” ujarku lembut.
“Git..aku bener-bener nyesel Git. Maaf aku udah jahat sama kamu. Aku udah ngerusak hidup kamu. Padahal kamu udah ngasih banyak banget buat aku. Andai aku ga ngerekam kamu Git. Bodoh banget aku.” tangis Vani pecah.

“Van, apa yang udah kejadian udah ga bisa diubah. Aku juga udah maafin kamu. Dan karena Marco ga berhenti nyoba hubungin aku, akhirnya kita bisa ketemu lagi.”

“Tapi Git..”

“Oh ya, nih!” Aku menunjukan jari ku ke arahnya, memamerkan cincin yang melingkar di jari manisku.

“Gita? Kamu…”

Aku mengangguk antusias. Vani menerjangku, memelukku erat.

“Selamat ya Git, selamat!”

Pelukannya terasa hangat. Lebih hangat dari sinar matahari sore yang menyinari kami.

—----------

“Kamu masih mau disini Git?” tanya Vani

“Iya nih, sebentar lagi masih mau santai. Duluan aja kalian.”

“Oke deh. Git, jangan hilang lagi ya please!”

Aku tersenyum manis ke arahnya, lalu melambaikan tangan ke arah Vani, Marco, dan anak mereka.

Aku duduk diam sejenak. Bagian tubuhku yang bersentuhan dengan Vani masih terasa menggelitik. Aku mendekatkan bagian kanan bajuku ke arah hidung, mencoba menghirup aroma Vani yang mungkin masih tersisa. Aku melihat ke arah jari tanganku, ke arah cincin yang baru kubeli sendiri dua hari yang lalu.

“Bodoh” gumamku. “Kamu bodoh banget Vani. Aku sedih bukan karena direkam, tapi karena ternyata kamu ga bener bener ngedeketin aku dengan tulus.”

Aku melepas cincin itu lalu membuangnya.

“Mana bisa aku menikah, kalau aku masih cinta sama kamu.”

Aku memeluk lututku, membenamkan kepalaku di antaranya. Kehangatan sinar matahari menghilang, digantikan dinginnya angin malam. Aku membiarkan angin menyapu tubuhku, berharap sentuhannya bisa mengurangi kesedihanku.

—----------

Final Words

Terima kasih untuk yang membaca sampai akhir (kalau ada) hehe. Aku tahu mungkin cerita ini kurang detail di adegan-adegan panasnya, tapi di level ini aku bisa nulis dengan nyaman.
Mohon maaf karena masih banyak kekurangan!
Jaga kesehatan ya semua, sampai bertemu kembali
 
Sudah share saja sangat saya appreciate, sis....
Ngga semua berani....
But you did....
Good work....
Di tunggu karya lainnya, sis.
 
Passion nulis banget, ya Hu. Ga nunggu rame dikomen baru update. Semangat Suhuu, ditunggu konten selanjutnya yang lebih hot!
 
menarik ceritanya
 
Sudah share saja sangat saya appreciate, sis....
Ngga semua berani....
But you did....
Good work....
Di tunggu karya lainnya, sis.
Terima kasih :((
terimakasih sudah share ampe tamat
Terima kasih sudah membaca
:thumbup:thumbup
Passion nulis banget, ya Hu. Ga nunggu rame dikomen baru update. Semangat Suhuu, ditunggu konten selanjutnya yang lebih hot!
Mungkin harusnya nunggu dikomen yaa, biar lebih rame. Baru sadar kalau updatenya langsung banyak lama-lama tenggelam. Gapapa deh haha. Semangat:thumbup
menarik ceritanya
Yeaay
 
Ending nya cukup emosional, kalau saja ceritanya bisa lebih panjang. Dan gita menjadi istri ke 2 marco
 
Bimabet
Sedih banget gw pen nangis,karena salah satu tokohnya namanya sama kaya mantan gw 😭
Udah bertahun tahun ga ketemu dia,gw posesif banget sama dia ,sampe skrng gw ga bisa lupain dia,gw masih single, tiba² cerita ini ngingetin lagi ke dia ..😭😭
Mungkin dia udah punya keluarga juga kaya Vani?gw gatau sama sekali...huh beginilah cinta deritanya tiada pernah berakhir 😭😭😭
Semoga gw komen gini ga berdosa,apapun itu gw ga membenarkan porn dlm bentuk apapun,iya gw tau gw juga masih suka porn dan gw ngaku salah tapi yah gemana lagi,semoga kelak ketika suatu saat gw nikah bisa lepas dr porn 🥲
 
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd