Agen Terpercaya  
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

CERBUNG Hak Asasi Money 21+ [On Going]

***
14
Fakta

Ida Ayu Agnia Dewantari.

Nama yang indah untuk mahasiswa kedokteran berprestasi dari Kampus UB. Gadis asli Bali. Namanya sudah terkenal di Kota Anggur karena termasuk ke dalam jajaran bidadari kampus. Parasnya cantik menawan dengan segudang onderdil memikat mata garangan. Masih menjadi misteri gerangan apa yang membuat setiap mata lelaki beristri kerap tergoda melihat daya pikat serta pesona yang terpancar dari diri si gadis Bali. Terlebih inner beauty gadis yang akrab dipanggil Dayu itu memancar menggoda mengundang untuk dijadikan istri kedua. Caranya menatap, berjalan, dan berinteraksi, sanggup menghipnotis siapa pun lawan bicaranya.

Namun, semua itu terpatahkan saat Dayu bertemu dia. Ya, dia yang sedang menggendong bocil perempuan dan berjalan berdampingan bersama sahabatnya, Elle.

Dia ... Bara, di mata Dayu nampak menakutkan. Dalam artian, lelaki bertubuh kurus namun berotot itu pembawaannya tenang tapi waspada. Santai tapi siap. Halus tapi tajam. Dan yang menyebalkan, Bara tak bisa didekati. Tembok lapis baja seolah menjadi benteng pertahanan si sableng. Kokoh tak tergoyahkan.

"Ngomong-ngomong, kamu sebelumnya pernah ketemu cowok itu, kah?" Novia membuka obrolan. Ia bertanya dengan pandangan lurus ke arah jalan. Mobil Civic hitam yang ia kendarai dengan Dayu duduk anteng di sebelahnya bersiap menuju suatu tempat.

"Siapa?" Dayu sok bodoh.

"Hm."

"Hehehe. Pernah, Bu." Ada nada tidak yakin saat Dayu menjawab. "Pesona yang nggak bisa dilawan dari cowok itu bikin saya nggak fokus akhir-akhir ini."

Novia memasukkan persneling mobil, dan mendahului Bara serta dua bebannya, lantas menoleh barang sebentar melalui kaca tengah, sebelum bertanya, "Kamu tidak berpikir kalau kamu menyukai cowok itu, kan?"

Dayu tersenyum samar. "Sayang sekali. Tapi ucapan Ibu benar adanya."

"Sepertinya saingan saya bertambah satu." Novia memberi kode ala perempuan kepada Dayu. Kode untuk menjauhi Bara. Yang kemudian, Novia kembali berucap saat mendapati Dayu yang hanya tersenyum kepadanya, "Saya penasaran. Kebetulan macam apa, sampai-sampai bidadari kampus punya hubungan dengan cowok kurus itu? Benar-benar takdir yang aneh."

"Entahlah, Bu." Dayu tersenyum simpul. Membuka jendela mobil, lalu mengeluarkan POD. Nge-vape santai sembari menikmati liquid rasa mangga yang menyegarkan. "Ibu sendiri?" tanya Dayu, setelah beberapa saat terdiam.

"Saya punya sedikit memori. Saya masih ingat betul reka kejadiannya."

"Apa ada hubungannya sama Rantai Hitam?"

"Mungkin iya, mungkin tidak." Novia menjeda, "Kejadiaannya sudah lama. Mungkin ... lima tahun yang lalu." Novia mulai bercerita, "Berto, adik saya, dulu ngebet minta quality time berdua sama saya. Pengen holiday ke Kota Pisang, katanya. Ya udah dong, saya turutin aja daripada ngerusak mood saya. Singkat cerita, pas kita berdua nyasar salah baca maps, kita malah apes dicegat sama kawanan begal, yang waktu itu kita masih ada di wilayah Kota Apel. Jadilah Berto di keroyok sama mereka sampai sekarat demi melindungi saya. Waktu itu, Berto bukannya lemah, dia hanya kalah cepat sampai kena tikam. Alhasil, tikaman itu bikin stamina dia berkurang. Sampai di mana, tinggal saya sendirian di situ. Takut luar biasa, mana saya hampir dilecehkan. Ngeri banget. Walaupun mereka sempet pegang punya saya, pegang doang, beruntung ada tiga bocah SMP nyelametin kita. Dan seperti yang sudah saya duga, salah satu dari ketiga bocah itu justru lupa sama saya."

"Tiga?" Dayu mengulang.

"Iya. Dua cowok, satu cewek. Mereka kuat banget. Lecet pun enggak. Padahal mereka menghajar begal-begal itu nggak pakai senjata. Murni tangan kosong."

"Begitu, ya?" Dayu mengetuk-ngetukkan jari di kaca mobil. Kemudian, ia menoleh ke arah Novia. "Menurut Ibu, apa dia orang baik?"

"Kalau yang kamu maksud Bara, ya ... dia baik karena menolong orang tanpa pamrih. Saat itu, setelah para begal dibuat babak belur, saya sama Berto dipanggilkan ambulan dan ditangani pihak rumah sakit Kota Apel. Semua administrasi dibayar sama mereka. Aneh. Padahal kamu tau sendiri kan kalau kami nggak miskin-miskin amat sampai harus dibayari segala? Huh, kesel."

"Kalau pandangan saya, walaupun dia baik, dia tetap jahat," gumam Dayu.

"Aku ingin dengar alasanmu."

"Dia pinter manipulasi. Seolah-olah nggak butuh imbalan dalam melakukan apapun. Dia juga pinter bikin orang penasaran, termasuk kita. Tapi ..." Dayu mengeluarkan ponsel. Membuka galeri, lalu menunjukkan sebuah foto kepada Novia. "Setelah tau niat dia yang sebenarnya, orang akan berpikir dua kali untuk mengenalnya lebih dalam."

Mata Novia membola. "Dia ... Bara?"

Senyum miring Dayu tersungging. "Ya. Ini Bara." Dayu menghela nafas kecil, "bagi Bara, semua orang adalah alat. Termasuk keluarganya sendiri. Foto ini ..." Dayu menggoyang-goyangkan ponselnya, "hanya satu dari sekian banyak kejahatan yang dilakukan Bara."

"Tunggu sebentar. Apa kamu korban Bara?"

"Ya. Dia telah mengambil milik saya yang paling berharga."

Perkataan Dayu tak disambung oleh Novia. Sebab, jika Novia menyahut, itu akan berisiko membongkar luka lama yang dialami Dayu. Cara terbaik untuk menghormati Dayu adalah diam.

Sampai kemudian, tibalah mobil yang dikendarai Novia di sebuah bangunan berwarna biru muda yang berada di perempatan gate depan Kampus UB. Lokasinya terletak di antara toko material dan toko alat konstruksi. Bangunan tersebut tidak besar. Yang membuat beda adalah ruko tersebut dijadikan lapak khusus barang lelaki. Namanya Dominion.

Tanpa mematikan mesin, Novia melipirkan mobil di pinggir jalan, lalu bertanya, "Di sini, Dayu?"

"Iya, Bu. Terima kasih sudah mau saya repotin."

"Nggak masalah kalau buat mahasiswa berprestasi seperti kamu."

"Ah, Ibu terlalu memuji. Saya nggak se-wah yang Ibu kira, kok."

"Lantas, kalau bukan mahasiswa berprestasi, apa perlu saya katakan jika kamu lebih senang dicap agen ganda?" Novia tersenyum simpul. "Atau multi-agen, maybe?"

Dayu tertawa menanggapi lelucon yang diucapkan sang dosen. Salah sih tidak, hanya saja Dayu merasa tersentil karena posisinya cukup krusial dan sulit. Menjadi mata-mata memang seberbahaya ini. Terlebih Dayu seorang perempuan. Di mana, sewaktu-waktu nyawa gadis Bali itu bisa terancam andai ia melakukan sedikit saja kesalahan.

"Nggak perlu seserius itu sampai kamu menyiapkan pistolmu. Toh, saya hanya kepo sedikit." Novia berkata sarkas. Saat di mana Novia dapati Dayu mengambil pistol jenis Glock 31 yang berisikan 13 peluru dari dalam tas, lalu diletakkan di belakang punggung.

Dayu mengedipkan sebelah mata. "Oh, enggak. Ini sedikit teknik ancaman aja, Bu."

"Semoga, ya."

"Ya." Dayu melepas seatbelt. Membuka pintu, keluar dari mobil. Kemudian, Dayu menutupnya pelan. Badannya membungkuk untuk sekadar melihat ke arah Novia. Diiringi senyum tulus, Dayu berucap, "sekali lagi terima kasih. Hati-hati di jalan, Bu."

Novia mengangguk. "Sure. Selamat bertugas, Detektif."

***

Sambil berjalan santai, Bara menanggapi ringan ocehan Aura yang mengungkapkan kekesalannya karena sedari tadi ia tak diperhatikan. Aura merajuk dan menolak digendong. Bocah imut itu ingin jalan sendiri. Digandeng pun enggan.

"Aura. Papa minta maaf, ya, Sayang?" Bara masih mencoba membujuk. Namun, usahanya mengkhianti hasil. Aura tetap kukuh pendirian. Bayangkan kalau ada Dira di sini, bisa kena double kill Bara dibuatnya. Bajingan.

Sampailah Bara di tempat semula: tukang ice cream. Kantung plastik Bara masih tersisa tiga biji, namun ia putuskan untuk membeli lagi demi mengambil hati si imut.

Masih dengan pipi yang menggelembung lucu, Aura menjawab, "Ndak mau es kyim, Papa. Aula mau tu, tu." (Tidak mau es krim, Papa. Aura mau itu, tuh.)

Mata Bara mengerjap. "Susu?"

"Ukan! Tu, tu!" (Bukan! Itu, tuh!) Aura menunjuk penjual cimol dengan telunjuk pendeknya.

Elle tertawa ringan melihat tingkah dan cara bicara si imut Aura. Tak perlu diragukan lagi jika bakat alami ciri khas perempuan yang dimiliki Aura sudah nampak di usia sedini ini.

Tanpa banyak drama, segera Bara dekati penjual cimol. Membeli cimol 5 ribu polosan tanpa bumbu untuk Aura. Sebelum itu, Bara melirik ke arah Elle. "Elle mau juga, ta?"

"Emang masih ada uangmu, Bar?"

"Jangan meremehkan kantong pengusaha batu akik."

"Hahahaha. Ada-ada aja." Elle tertawa renyah. "Aku beliin 5 ribu aja biar sama kayak si bocil."

"Oke."

Dua plastik cimol sudah di tangan. Yang satu polosan tanpa bumbu, yang satu bumbu pedas balado.

Kembali Bara dan para woman melanjutkan jalan. Sesekali Bara menyuapi Aura cimol sambil menggendong si imut. Serba bisa Bara ini. Sudah cocok menjadi papa baru.

"Btw, kamu jadi kuliah di UB?" pertanyaan basa-basi, Elle tetap nekat menanyakan hal itu. Sekadar memastikan jika Bara tidak pindah haluan.

"Menurutmu?"

"I know. Ambil jurusan apa?"

"Sesuai basic bidang pas SMA. Aku ambil Kimia."

Elle melongo. "Serius?!"

"Ada wajahku keliatan bercanda?"

"Bukan gitu." Elle memperbaiki ekspresi. Tak elok rasanya jika menggunakan mimik meremehkan. Elle tak ingin melihat orang dari tampilan luarnya saja. Andai benar Bara mengambil program studi Kimia di Fakultas MIPA, betapa encernya otak pemuda itu. "Maksudku, kamu kuat mikir rumus, angka, dan segala hal ribet lainnya?"

"Pekerjaan sampinganku di Kota Apel berhubungan sama prodi yang aku ambil, El."

"Boleh deh diceritain dikit kalau nggak keberatan."

Jadi, sebelum dan sesudah kematian papa angkat Bara -Lele- Bara dan Abner bahu membahu mengurus peninggalan perusahaan milik keluarga si raja preman. Laboratorium riset mutakhir, Fasilitas Senjata dan Bio Teknologi Hastabrata. Kalau Abner bertugas sebagai manajemen sumber daya. Nah, kalau Bara tugasnya sebagai Research and Development. Kolaborasi antar keduanya yang sudah berlangsung selama empat tahun terakhir ini menciptakan produk yang dikenal dengan vaksin HIV. Hal ini bertujuan untuk meminimalisir angka kematian para pelaku praktik seks bebas alergi kondom, dan maunya keluar di dalam karena enak. Bajingan!

"Anak SMA sejenius ini? Yang benar saja!" Elle berdecak. Ia sampai tak tahu harus berkata apa. Dibalik wajah Bara yang seperti preman, tersimpan otak cerdas ber-IQ tinggi di dalamnya. Sukar dipercaya, tapi inilah Bara. Pemuda dengan segudang misteri.

"Aneh, kah?" Bara bertanya sebal. Ucapan yang dilontarkan Elle membuat Bara harus sedikit sombong di hadapan si bule. Maka dari itu, kalimat selanjutnya yang sudah Bara susun rapi segera ia keluarkan, "Sayang kalau otak pintarku nggak dimanfaatin dengan baik. Setidaknya tongkat estafet yang dipercayakan kepadaku dan kakakku harus semakin berkembang. Syukur-syukur di perkuliahan aku dapat formula dan ide untuk bikin obat keabadian. Kalau manjur, aku jual khusus buat para sultan."

"Pasti mahal, kan?"

"Murah. Cuman 10 miliar."

"Murah gigimu!"

Obrolan santai bertajuk menginterogasi Bara tipis-tipis telah mengantarkan langkah keduanya kembali ke kostan Rantai Hitam.

Sebelum masuk kembali ke dalam, terlebih dahulu Bara membenarkan posisi Aura dalam gendongannya. Tak ketinggalan menjejali mulut Aura dengan cimol. Selewat, ekor mata Bara menangkap pergerakan sosok gadis yang langsung nyelonong masuk ke dalam kostan. Siapa lagi kalau bukan Elle.

Bara geleng kepala. Ia mengekor Elle seraya bersiul. Baru saja masuk, ia sudah disambut oleh tatapan super tajam seluruh penghuni. Termasuk dua singa betina, yang entah sejak kapan bergabung bersama para lelaki di ruang tamu.

Aktifitas mereka tak jauh berbeda dari biasanya. Makan hidangan buatan Bintang, sambil memutar minuman sisa semalam. Kali ini tanpa campuran. Murni Bacardi Spiced Rum Gold. Kalau sudah begini, efek mabuk lebih cepat naik ke kepala, disambung kegiatan positif saling curhat.

"Halo, bolo Kurowo. Kok tambah sip ngene bolo-boloku? Hehehe." (Halo, sahabat Kurawa. Kok tambah sip gini sahabat-sahabatku? Hehehe.) Sapa Bara sambil menebar senyum kepada semua orang. Senyum terakhir pudar saat pandangannya bertemu dengan Dira. Entah apa sebabnya, Bara merasa enggan melihat Dira hari ini. Masalahnya, si wanita India itu duduk bersebelahan dengan Putra, yang notabene hampir membuatnya terbaring di rumah sakit andai Bara tak melindunginnya. Menggelikan.

"Asu tho? Adekmu iki ancen nggatheli sak ndunyo, Ber." (Anjing, kan? Adikmu ini memang menjengkelkan sedunia, Ber.) Ipang nyeletuk.

Berto menghela nafas panjang, sebelum menyahut, "Lah mboh. Teko-teko koyok wong gak nduwe duso. Setan ae sampek sujud nganti benjut lek ndelok dapurane gathel sithok iki." (Entahlah. Datang-datang seperti orang tidak punya dosa. Setan aja sampai sujud sampai benjol kalau melihat wujud menjengkelkan satu ini.)

"Banyak kali bicara kau. Mau awak kasih retak ginjal kau?" Erwin ngegas.

"Gue tampol juga lama-lama lu, taik!" tukas Bayu, gemas.

"Duduk sini ko. Giliran ko ini. Dasar pecinta janda." Leo menegur.

"Wes gak usah kakean cangkem koen. Marengene kancanono aku masak ndek mburi." (Sudah tidak usah banyak ngomong kamu. Habis gini temani aku masak di belakang.) Bintang ikut nimbrung.

"Akhirnya penyanyi kita sudah tiba. Mari kita sambut sekuntum bunga bangkai yang tampan dan bajingan, Paduka Lord Adipati Joko Bara Widodoro." Saga berkelakar. Beda sendiri.

"Ojok digojloki talah, rek. Gak sakno ta karo abu gosok Irak iki? Deloken raine sampek mengkeret koyok iwak sepat." (Jangan dibercandai, dong, guys. Tidak kasihan kah sama abu gosok Irak ini? Lihatlah wajahnya sampai mengkerut seperti ikan mujair.) Loki melerai. Tapi justru malah ikut meledek Bara.

Satu persatu penghuni menyuarakan isi hatinya. Hanya beberapa yang memilih diam tanpa respon dan ekspresi. Lihat saja. Dimulai dari Rio yang memilih diam dan memasang wajah ketus. Di sampingnya ada Putra yang sedang menguap sambil mengucek mata. Dan di sebelah Putra ada Dira yang tengah menunduk, dan sesekali menatap Bara jika dibutuhkan. Yang terakhir ada Sarah yang sibuk merokok sambil bersedekap di depan dada. Khusus Sarah yang duduk dipangku Berto, pandangan gadis itu sedikit lunak. Ada benih kerinduan saat matanya bertumbuk dengan Bara.

Respon Bara sendiri menyambut jawaban teman-teman barunya hanya cengar-cengir sambil ngupil. Kotoran di ujung kuku ia sentil. Kebetulan tepat mendarat di hidung Saga.

Seperti biasa. Saga paling mudah dipancing dan emosi. Ia marah-marah sambil melempari kulit kacang ke arah Bara.

"Woi. Kena anakku, cuk. Hati-hati, dong." Bara mengur sambil menghalau lemoaran kulit kacang sembaranga.

"Asu. Anak katanya," gerutu Saga.

"Emang kamu serius mau jadiin Aura anakmu, Bar? Itu berarti ...?" Berto menggantung ucapannya. Ia lanjutkan sisanya di dalam hati, bocah ini nggak serius pingin nikahin Mbak Dira, kan?

"Cuman ngambil Aura-nya aja. Kalau Ibunya sih, tergantung." Bara melirik sekilas ke arah Dira, lalu berjalan mengambil duduk di single sofa. "Mending aku cosplay jadi sugar daddy aja kali, ya."

"Lucu. Ucapan itu keluar dari mulut bedebah yang sudah menghabisi ayah anak itu dan meniduri ibunya." Rio yang sedari tadi diam, angkat bicara. Nyelekit sampai ke ulu hati.

"Makasih pujiannya, Mas Rio." Sekali lagi Bara melirik Dira, yang kali ini wajah wanita India itu terlihat geram menahan emosi. Sejurus, Bara mengembalikan Aura kepada Dira. Setelah itu, Bara mengambil rokok di atas meja, kemudian membakarnya.

"Cih. Bocah sialan." Rio acuh tak acuh. Memilih mengalihkan suaka ke mana saja asal tidak menatap Bara. Entah mengapa ia benci sekali sikap santai terkesan tengil si sableng.

"Jadi gimana, Bar?" Loki bertanya. Ambigu. "Oh. Bentar dulu. Pace, kasih garangan ini minum. Haus dia kayaknya habis jalan-jalan sama Aura."

Leo mengangguk mengiyakan. Tatapannya yang bengis mensyiratkan kejengkelannya kepada Bara. Ia penuhi sloki, lalu disodorkan kepada si sableng. "Ko kasih habis sudah, cukimai."

"Jangkrek. Onok ae alasan wong-wong iki ngejaki mendem." (Jangkrik. Ada aja alasang orang-orang ini ngajaki mabuk.) Dengan seratus persen keraguan, Bara menerima gelas sloki. Lantas, ia mengangkat sloki, yang jari kelingkingnya refleks terangkat ke atas. Setelah itu, Bara meletakkan sloki di atas meja. Dilanjutkan menghisap rokok dalam sekali untuk mengimbangi alkohol jenis Rum ini.

"Anjing. Gue emang udah curiga ini anak doyan minum, njing." Bayu berseloroh.

"Iya. Si bujang ini kentara betul biasa main di club sama kek kau, nih, Bay," timpal Erwin.

Bara hanya bisa garuk-garuk tengkuk leher. "Jangan gitu, Bang. Aku cuma anak rumahan. Ini pun kalian yang ngerusak aku."

"Bajingan. Gak dirusak juga sudah rusak kamu, ho." Berto mencibir.

"Adekmu, Ber." Saga geleng-geleng.

Tampolan Berto berikan kepada Saga. "Adekmu sisan, ho."

Tak mau kalah, Saga mendaratkan botol kosong ke lutut Berto sampai si empunya mengaduh. Mereka bertengkar dan berdebat lagi. Tiada habisnya.

Suasana yang cukup akrab penuh kebersamaan ini bertahan untuk beberapa lama. Meski harus dibumbui drama baku hantam satu sama lain, bukan berarti mereka saling bermusuhan penuh dendam kesumat. Ini hanyalah cara para pria berkomunikasi dan menunjukkan kepedulian.

"Soal kuliahmu nanti, gimana jadinya, Bar?" Loki memulai obrolan. Serta merta ruang tamu senyap. Hanya denting sloki dan botol yang terdengar saling bersinggunggan. Semua kompak diam karena kali ini Loki mulai serius.

Bara berdeham. "Seperti yang sudah aku katakan sebelumnya, Mas. Aku her-registrasi di gelombang duanya. Di jadwal tulisannya tanggal 15. Jadi kurang lebih dua minggu lagi."

"Sudah mantep ambil Kimia?" tanya Loki, lagi.

"Begitulah. Aku hanya mengikuti passion aja."

"Prospek kerjanya juga bagus, sih. Sama seperti Pace Leo. Oh iya, Pace juga anak MIPA. Jadi di sana kamu ada yang ngawasin."

"Siap. Mohon bantuannya, Abangku."

"Jangan ko kasih habis perawan di sa pu fakultas. Sa hantam kepala ko." Erwin melotot.

Bara memainkan kedua alisnya naik turun. "Aman aja, Bang. Incip-incip dikit nggak pa-pa kali, ah."

BRAK!

Belum tuntas obrolan ngawur para pemabuk ini, meja ditendang oleh Dira sampai bergetar. Tatapan tajam terfokus ke arah Bara. Sungguh, tak bisa lagi Dira menahan amarah yang memuncak karena ucapan Bara yang semakin tak terkontrol.

Sedetik, Dira berdiri sambil melangkah cepat meninggalkan ruang tamu. Tanpa sepatah kata, ia membuka pintu kostan, lalu menutupnya keras-keras. Membuat semua orang bertanya-tanya. Ada apa gerangan yang membuat Dira bertindak seperti itu?

Jawaban yang pasti belum ditemukan. Namun, dugaan kuat terarah pada Bata. Ya, Bara justru yang terlihat paling santai di antara penghuni kostan.

"Hari ini sudah dua orang yang kerasukan umbul-umbul," kelakar Bara.

"Omonganmu kurang enak didengar tadi, Bar. Kayaknya Mbak Dira ngambek sama kamu." Saga memberi komentar.

"Mana aku peduli. Toh, kita cuman-"

"Cuman apa?" Putra membuka mata. Kelopak layu itu memancarkan aura mematikan. Terasa gelap, hitam, dan mencekam. "Kalau kamu nggak ngejar Dira, jangan salahkan aku kalau aku yang akan menjaganya."

"Jangan dikira kita lagi syuting film. Aku nggak sebaik itu." Bara membakar rokok lagi. Menatap datar ke arah Putra, lalu melirik Loki. "Hubungan kita cuman sebatas misi penyelamatan Aura. Tidak lebih. Soal satu ranjang, bagiku itu bonus. Yang penting aku sudah menjalankan misi dengan baik dan terhindar dari ancaman kematian Mas Loki."

"Hehehe. Kamu jahat, sih." Elle menyindir, "Bara Geni. Ternyata kamu bukan cowok sejati. Aku kecewa sama cowok pengecut kayak kamu."

Bara mengendik. "Aku hidup bukan untuk membuat orang lain bahagia. Kecewa pun itu urusanmu, bukan urusanku."

"Oh ya? Apa dong artinya kamu ngajak Aura jalan-jalan? Bikin nyaman bocil itu sampe kelet banget sama kamu? Belum lagi adik kesayangan Mas Loki itu daritadi melihatmu dengan wajah penuh harap jika kamu menegurnya, memanjakannya, memeluknya? Apa? Apa tujuanmu, Bara!"

"Kalem aja, El. Nggak usah pake urat ngomongnya."

"Bangsat!" Elle menerjang maju. Berniat memukul kepala Bara. Namun sayang, kepalan tangan Elle dihindari dengan mudah oleh Bara. Praktis, Elle doyong ke depan. Hampir terjerembab jikalau Bara tidak memutar badan dan memegangi pinggang si bule. "JANGAN SENTUH AKU, PENGECUT!" bentak Elle, seraya mendaratkan tamparan panas di pipi Bara.

"Baiklah."

Bara melepaskan tangannya dari pinggang Elle. Sengaja ia tak mengelus pipinya yang terasa terbakar. Pantas memang Bara mendapatkan itu. Terlebih, Bara baru saja mematahkan dua hati sekaligus.

"Maumu apa, Bar?" tanya Loki, santai.

"Duduk santai di sini sambil menikmati minuman dari Bang Leo."

"Sa suka ko punya gaya, cukimai," ucap Leo, sambil main mata.

"Sudah diputuskan." Putra berdiri. Sedikit sempoyongan. Untung Rio sigap menahan tubuh si tampan berwajah ngantuk itu. Sebelum menegakkan badan, Putra mengais rokok, dompet, dan ponsel miliknya yang ada di meja. Ia berjalan memutari meja. Hingga kemudian, Putra sampai di tempat di mana Bara duduk, lalu berucap, "Aku sengaja nggak menghajarmu karena kamu sudah membuat Dira kecewa. Tidak. Karena aku menghormati Dira yang sepertinya menaruh perasaan kepadamu. Tapi, asal kamu tau, sesekali peka dan bersikap lembut kepada wanita itu perlu."

"Makasih nasihatnya, Mas Putra. Hanya saja aku nggak berniat memenuhi ekspektasi kalian." Bara ikut berdiri. Saling berhadapan. Bagaikan air dan api, keduanya tak memiliki rasa takut akan intimidasi yang dipancarkan satu sama lain. "Aku adalah aku. Yang bisa mengatur hidupku hanya aku. Sekalipun harus berhadapan dengan iblis dari dasar neraka, pantang bagiku mengibarkan bendera putih."

"Semoga kamu nggak menyesali pilihan yang sudah kamu ambil ini."

"Ya."

Benar. Aku tidak akan menyesal dengan pilihanku karena aku lebih memilih mematikan hatiku agar tidak ada yang tersakiti saat aku mati nanti, batin Bara. Sebelum akhirnya ia kembali duduk, dan menenggak jatah minumannya.
 
Terakhir diubah:
ngeri ceritanya hu, bikin penasaran teruss lanjut sampai end hu:haha:
 
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd