Agen Terpercaya  
 
 
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

CERBUNG Hakim Dan Hukum

Part - 1​

~AntaManda~​








Dengan secangkir kopi hitam yang baru saja di buat, juga sebatang rokok yang sudah tersulut dan mengeluarkan asap, nampak seorang pria duduk nyaman di bangku panjang yang tersedia di teras rumahnya.

Ponsel di tangan kiri ia abaikan, meskipun sempat merasakan getar yang menandakan adanya sebuah pesan. Sejak pertama duduk sehabis isya' tadi, matanya tak pernah lepas dari jalanan di depannya yang merupakan perempatan dan juga jalan utama desa. Entah apa yang menarik dari sana, padahal hanya ada lalu-lalang kendaraan yang lewat sejak tadi.

Sampai akhirnya, mata pria bernama Arga Antasena itu terpancing juga untuk melihat ke arah lain. Lebih tepatnya ke arah objek yang baru saja keluar dari rumah di seberang jalan.

Rumah Sena dan rumah di seberang jalan tak saling berhadapan. Muka rumah Sena menghadap ke timur, sedang rumah dari objek yang berhasil membuatnya tertarik itu menghadap ke utara.

Perhatian Sena teralih sepenuhnya pada sosok yang sedang berdiri menatap ke arahnya, seorang gadis yang berhasil merekahkan senyum di bibirnya tanpa sadar. Sayangnya, ketertarikan dan senyum yang Sena pancarkan malah di balas raut cemberut oleh sosok di seberang.

Sena yang tak mengerti alasan cemberutnya sosok di seberang hanya bisa mengerutkan kening. Membatin dalam hati apa kesalahan yang ia buat kali ini.

Tapi kemudian sebuah kode di berikan oleh sosok di seberang, yang Sena artikan sebagai perintah agar segera mengecek ponsel. Dari situ lah akhirnya ia sadar dan mengerti. Ternyata ia mengabaikan pesan dari sang jelita sejak tadi.

Tak ingin mendapat kemarahan, buru-buru ia mengecek ponselnya yang tadi terabaikan. Dan seperti yang sudah dapat Sena tebak dalam kepala, beberapa pesan yang di terima semuanya berisi kemarahan.

Maaf, ngelamun tadi.

Balasan segera Sena kirimkan. Lalu ia kembali melihat ke arah bidadari di seberang yang sudah duduk di bangku teras sedang bermain ponsel, mungkin sedang melihat pesan yang ia kirimkan.

Sena merekam baik-baik setiap ekspresi yang di hadirkan sang jelita. Meski hanya dari samping, ia masih bisa melihat dengan jelas ekspresi yang berhasil membuatnya tersenyum sendiri bak orang gila.

Getar kembali hadir di ponselnya, tapi ia tak langsung melihat dan membaca pesan tersebut. Ia lebih dulu menanti sang pujaan hati menoleh ke arahnya lagi, dan itu benar-benar terjadi kemudian.

Saling tatap terjadi diantara mereka, dan itu terjadi cukup lama. Perlahan namun pasti, wajah kesal yang di tunjukan sang jelita mulai berganti menjadi cerah yang menyilaukan hati.

Sena terlena, senyum sang jelita berhasil menyihirnya. ia di buat semakin dalam mencintai sosok di depan sana. Sosok yang memiliki nama Amanda, nama yang indah seperti rupa dan perilaku pemiliknya.

Bergegas Sena mengetik beberapa kata setelah membaca pesan yang di kirimkan pacar lima langkahnya.

Kangen, pengen peluk. Bisa?

Icon
kirim ia tekan. Hanya dalam sepersekian detik, ia bisa melihat pesannya sudah di terima oleh Manda. Tapi tak secepat yang tadi, rupanya kali ini Manda butuh waktu lebih lama untuk membalas pesannya yang hanya empat kata.

Sena menjadi gemas sendiri. Ingin sekali ia melangkah ke rumah seberang lalu duduk di samping kekasihnya. Tapi untungnya ia masih waras dan sadar, sehingga keinginan yang ada di kepalanya itu tetap menjadi sebuah keinginan saja.

Sejatinya pesan tersebut adalah sebuah kode yang hanya di mengerti keduanya. Kode ajakan bertemu yang sudah mereka sepakati sejak dulu.

Lama-kelamaan senyum Sena mulai memudar juga karena tak kunjung mendapat balasan. Sehingga ia pun memutuskan untuk mengirim lagi sebuah pesan kepada sang kekasih.

Lama banget mikirnya, Neng. Nggak usah sungkan buat bilang ngga bisa, aku pasti ngerti dan paham kok. Santai sis, pacarmu ini punya pengertian tingkat dewa.

Pesan kembali Sena kirimkan, bersama kepala yang sigap menegak dan kembali melihat ke depan. Senyum tak lupa ia pasang kembali, guna menutupi sedikit kecewa yang mau bagaimanapun juga wajar untuk hadir dalam hati.

Tapi belum juga Sena mendapat balasan yang di inginkan, sebuah interupsi lebih dulu hadir dari orang yang telah melahirkannya ke dunia.

"Sena! Makan dulu!" teriak sang Mama terlampau keras dari dalam rumah. Bahkan suara itu juga sampai ke telinga Manda yang langsung mengalihkan perhatian ke arahnya. Luar biasa sekali.

"Iya, Mah!" Sena sigap bangkit dari duduknya. Namun sebelum melangkah masuk, ia lebih dulu berpamitan pada Manda lewat gesture tubuh dan gerakan bibir tanpa suara.

Setelah berpamitan yang hanya Manda tanggapi dengan diam, Sena mulai menapaki lantai keramik dan masuk kedalam rumah. Tapi belum sampai ia melewati ruang tamu, sebuah getar kembali hadir pada ponsel yang ia genggam. Ternyata pesan dari Manda.

Jam 10, ya? Aku juga kangen sama kamu.

Seketika wajah Sena berubah cerah setelah membaca pesan tersebut. Bergegas ia membalikkan tubuh dan kembali berjalan keluar untuk melihat Manda.

Sampai di ambang pintu, ia bisa melihat Manda yang rupanya sudah berdiri dan kebetulan juga menatap ke arahnya. Senyum cerah bisa Sena tangkap dari sang kekasih. Lalu seakan belum cukup menghipnotis, sebuah kedipan genit pun di layangkan kearahnya. Detik itu juga, hati Sena porak-poranda seperti terkena gempa.

"Sena! Cepat makan!"

Sena dan Manda kompak tertawa bersama tanpa suara, karena mendengar teriakan sang mama yang sampai di telinga mereka berdua itu.

Melambaikan tangan sebagai tanda perpisahan, keduanya kemudian kompak berbalik dan masuk ke dalam rumah masing-masing dengan senyum yang terpatri di wajah masing-masing.

Kecerahan pada wajah Sena setia bertahan, bahkan setelah ia sampai di dapur dan duduk di meja makan. Rina sang mama yang tengah menyajikan makanan di bantu Dinda sang mantu pun mengerutkan kening heran. Ia geleng-geleng kepala, lagi-lagi anak bungsunya melamun tak tahu tempat dan waktu.

Sepiring ayam goreng Rina letakkan ke atas meja makan dekat dengan Sena. Lalu setelah itu, ia menepuk cukup keras bahu si bungsu agar sadar.

Sena yang sedang membayangkan hal-hal indah tentu terkejut bukan main dan kontan menoleh pada sang Mama. "Mama apaan, sih?"

"Oh, masih waras ternyata. Mama kira gila," gumam Rina lebih ke arah menyindir. Tanpa rasa bersalah, Rina meninggalkan Sena menuju dapur yang menjadi satu dengan ruang makan.

Mata Sena nyalang mengikuti pergerakan sang mama. Ia kesal dan ingin sekali meluapkan kegondokkannya. Namun mengingat dosa yang ia kumpulkan sudah terlalu banyak, alhasil ia hanya bisa menggerutu sebagai pelampiasan rasa kesal.

Dinda yang ada di seberang meja tertawa kecil sembari menata hidangan ke atas meja. "Makanya jangan bengong terus. Kebiasan banget kamu itu, ngelamun nggak tahu tempat dan waktu."

Wajah Sena semakin tertekuk setelah mendengar komentar Dinda. Lagi-lagi ia tak bisa memberikan argumen balasan, sebab perkataan Kakak Iparnya itu memang benar. Ia memang sering melamun secara tiba-tiba tanpa tahu tempat dan waktu, dan itu sudah menjadi kebiasaannya sejak dulu.

Walau sebenarnya bukan hal besar yang patut di keluhkan, kebiasaan buruk Sena ini memang cukup mengganggu dan menjengkelkan bagi orang terdekatnya.

Bagaimana mereka tidak jengkel. Saat di ajak mengobrol atau curhat, Sena bisa tiba-tiba diam tak merespon sama sekali, dan itu sangat sering terjadi. Jadi wajar apabila orang-orang di sekitarnya mengeluhkan itu.

Setelah semua sudah lengkap tersaji di atas meja, Dinda dan sang Mama pun ikut bergabung bersama Sena yang tanpa permisi sudah mengambil makanan lebih dulu.

Seharusnya ada beberapa orang lagi yang bergabung di meja makan. Sena memiliki tiga kakak, dua laki-laki dan satu perempuan. Kakak pertamanya bernama Rizal, dan perempuan bernama Dinda yang duduk tepat di seberang Sena adalah istri Rizal yang belum genap setahun di nikahi.

Usia Rizal dan Dinda terpaut cukup jauh, kurang lebih 7 tahun. Jika melihat usia, sebenarnya Dinda akan lebih cocok jika bersanding dengan Sena. Mereka cuma beda satu tahun, dan itupun Sena yang lebih tua. Juga, alasan Rizal dan Dinda menikah pun bukan karena cinta, tapi lebih kepada perjodohan yang di atur oleh kedua orang yang melahirkan mereka.

Rizal sebenarnya santai-santai saja dan tak ingin buru-buru menikah meski sudah menginjak kepala tiga. Ia tak terlalu peduli dengan umur ataupun pernikahan. Satu-satunya alasan ia mau menikah dan menerima ide perjodohan sang mama adalah karena Karin, adik perempuannya.

Rina sang mama memiliki peraturan yang cukup ketat terkait adat dan budaya. Ia mewajibkan anak-anaknya untuk menikah sesuai urutan, di larang melangkahi. Sedangkan pada waktu itu, Karin yang sudah menginjak usia 28 tahun lebih dulu siap dan ingin segera membina rumah tangga dengan Irul suaminya sekarang. Jadi dengan alasan kasih sayang terhadap adiknya, Rizal pun menyetujui perjodohan yang di idekan oleh sang mama.

Karin kini tinggal provinsi sebelah tempat suaminya berasal. Tapi itu hanya sementara. Rina sang mama memberikan syarat kepada Irul suami Karin sebelum pernikahan, meminta mereka untuk tinggal di kota sini saja. Irul menyetujui syarat itu, namun ia meminta sedikit waktu untuk mempersiapkan segalanya sebelum benar-benar pindah kesini.

Untuk anak ketiga Rina yang bernama Ardan, sudah dua tahunan pria 26 tahun itu bekerja sebagai TKI di Korea Selatan. Bisa di bilang, Ardan adalah anak kebanggaan keluarga ini selain Karin. Sebab berkat Ardan, ekonomi keluarga Rina yang dulunya lumayan susah kini jauh menjadi lebih baik.

Berkat Ardan, mereka bisa membangun ulang rumah mereka yang dulu sangat sederhana. Bahkan beberapa bulan kedepan, rencananya Rina akan membangun lagi sebuah rumah di tanah kosong yang ada di samping rumah mereka sekarang.

Tidak hanya itu saja. Ardan juga berperan besar dalam membantu kedua kakaknya untuk memiliki pekerjaan dan usaha yang layak.

Seperti dalam kasus Karin. Uang puluhan juta rela Ardan gelontorkan secara percuma untuk membantu memuluskan jalan sang kakak menjadi PNS dan perangkat desa Sima pada tahun depan. Tapi itu sebanding, karena apa yang akan mereka dapat jauh lebih besar di banding harga yang mereka harus bayar.

Dan meski tak sebesar dengan uang yang di keluarkan untuk Karin, Ardan juga ikut membantu Rizal sang kakak pertama dalam usaha perikanan yang kurang lebih satu tahunan ini telah di jalani. Termasuk juga modal pernikahan Rizal dulu.

Jasa Ardan yang sangat besar itu pasti akan mereka bayar lebih. Walaupun Ardan membantu dengan ikhlas tanpa pamrih, jelas mereka tahu yang namanya balas budi dan saling membantu. Itu adalah pelajaran utama dan dasar yang Rina ajarkan selama ini.

Untuk anak bungsu yang kini asik makan sambil bermain ponsel, sudah pasti Sena menjadi adik yang paling di manja oleh kakak-kakaknya.

Menjadi objek pesuruh ketiga kakaknya saat kecil dulu, ternyata membuahkan hasil yang setimpal di masa sekarang. Setiap bulan Sena selalu menerima uang pajak dari ketiga kakaknya. Jadi meskipun telah menjadi pengangguran hampir satu tahunan, pria 23 tahun itu tak perlu pusing memikirkan bagaimana cara membayar kopi di warung langganan.

Belum selesai dengan makanan yang sedang di santap, kegiatan mereka terpaksa harus terjeda oleh suara kendaraan dari depan rumah. Suara yang tak asing di telinga mereka itu kontan membuat Dinda dan Rina kompak menoleh ke arah Sena.

Seperti yang sudah mereka duga kemudian, Sena bangkit dari duduknya dan berjalan menjauh sebelum menghilang masuk ke dalam kamar tanpa sepatah kata.

Raut wajah Rina berubah sendu dengan pandangan ke arah pintu kamar anaknya. Makanan di piring Sena bahkan masih setengah lebih, tapi anaknya memilih pergi karena tahu akan ada sosok lain yang segera datang.

Melihat ibu mertuanya nampak sedih, Dinda pun mengulurkan tangan dan memberikan elusan pada pundak rapuh yang di paksa kuat untuk menahan derita. Hampir setahun sudah ia di sini, jadi ia tahu apa yang terjadi pada keluarga suaminya.

Hanya beberapa detik setelahnya, sesosok pria tua berumur setengah abad lebih pun muncul dari ruang tengah menuju ke arah Rina dan Dinda. Ia adalah Juna, suami dari Rina sekaligus ayah mertua Dinda.

"Udah makan, Pah?" Rina mengubah raut wajahnya agar tampak normal, begitu juga dengan Dinda yang langsung menyapa dengan senyum manisnya.

Juna hanya mengangguk sekilas dan terus melangkah melewati meja makan, sebelum akhirnya berhenti tepat di depan dispenser.

Hanya berupa anggukan, namun Rina dan Dinda kompak langsung bisa paham. Juna tak mau di tanya lagi. Jangan berbicara lagi, atau akan ada bencana yang terjadi.

Meskipun sama-sama irit bicara, Sena dan ayahnya jelas memberi aura yang berbeda pada orang lain di sekitarnya. Aura dingin yang di hadirkan Juna lebih ke arah menakutkan. Berbanding terbalik dengan Sena yang justru sangat mententramkan.

Terkait Sena yang memilih pergi setelah mendengar suara motor ayahnya tadi, alasannya adalah karena Sena ingin menghindar dari pertemuan. Lebih-lebih berada dalam satu ruangan dengan pria yang ia panggil papah itu. Sebab terakhir kali itu terjadi, sebuah pertikaian besar langsung muncuk disana, bahkan hampir terjadi adu pukul andai saja Rizal tidak datang tepat waktu dan memisahkan mereka.

Sena sangat membenci pria yang menurutnya sama sekali tak bertanggung jawab itu. Tapi meski begitu, ia tetap menaruh hormat sebagai seorang anak. Karena jika tidak, sudah dari dulu ia menghajar pria tua itu tanpa segan-segan.

Beberapa menit setelahnya, pintu kamar Sena kembali terbuka dan menampilkan sosoknya yang sudah berganti baju. Untungnya Sena tak sempat berpapasan dengan sang ayah yang beberapa saat lalu masuk ke dalam kamar. Dan sekali lagi tanpa bersuara, Sena melangkah pergi begitu saja keluar rumah.

Ketika sampai di luar, Sena melihat ada sebuah mobil yang terpakir di halaman rumah Manda. Sepertinya ada relasi bisnis orang tuanya yang datang. Maklum, orang tua Manda adalah pemasok besar kebutuhan pangan untuk di setorkan ke kota.

Mengabaikan rasa penasaran yang sedikit timbul, dengan ringan Sena kembali berjalan kaki menyusuri jalanan yang masih cukup ramai di pukul 8 malam ini. Tujuannya kali ini adalah warung langganan yang hanya berjarak empat rumah saja.

Saat sampai di depan warung, matanya bisa menangkap kehadiran beberapa orang yang semuanya di kenal. Ia menyempatkan diri menyapa beberapa orang sebelum masuk ke dalam warung yang ternyata cukup penuh.

Kembali Sena menyapa orang-orang yang ada di dalam warung, sembari mengedarkan mata mencari sosok sahabatnya.

"Si Ardit belum ke sini, Mbak?" tanya Sena pada sosok wanita di balik etalase makanan bernama Jihan, yang tetap terlihat menawan meski usia tak lagi muda. Itu juga alasan kenapa ia di panggil 'Mbak' oleh pengunjung warung yang rata-rata seusia Sena.

"Itu di ruang tamu, lagi main game kayaknya." Dari suara, Jihan sudah tahu kalau yang bertanya adalah Sena, teman bermain anak pertamanya sewaktu kecil dulu. "Kamu pesan nggak? Biar Mbak repotnya sekalian ini," tambah Jihan yang memang terlihat kerepotan membuat pesanan para pelanggan.

"Yaudah, kopi kayak biasa. Jangan lupa! Di tambah cinta," kata Sena yang seketika membuat kehebohan di dalam warung. Celetukan ngawur mulai berdatangan dari kanan kiri, yang hanya ia tanggapi dengan senyuman. "Aku di ruang tamu, ya, Mbak," tambahnya lagi, sebelum akhirnya menghilang dari pandangan Jihan yang hanya bisa geleng-geleng kepala karena di gombali pria seumuran anaknya.

Sena kemudian melangkah masuk ke dalam rumah mbak Jihan yang masih satu bangunan dengan warung. Seperti yang di katakan mbak Jihan sebelumnya, Sena bisa melihat ada Ardit sahabatnya yang berjongkok di atas kursi ruang tamu. Pria tak tahu etika itu nampak serius dengan ponselnya. Pasti bermain game.

Sena berjalan mendekat ke arah Ardit yang sepertinya tak sadar ada orang mendekat. Sebuah jitakan cukup keras di hadiahkan untuk sang teman tercinta.

"Udah di sini aja lo babi." Sena mendorong tubuh Ardit sampai jatuh tiduran di kursi yang untungnya panjang. Lalu tanpa bersalah mengisi kekosongan tempat yang Ardit tinggalkan.

"Anjing lah! Rusuh banget sih lo!" hardik Ardit sangat kesal. Susah payah ia mencoba duduk kembali dengan mata yang masih fokus pada ponsel. "Tuh, kan! Mati gue anjing!" Ponsel Ardit lempar begitu saja ke atas meja di depannya. Hilang sudah mood-nya bermain game.

Ardit sedang melakukan war di dalam game bersama teman online-nya saat Sena tiba-tiba datang dan mendorong tubuhnya hingga jatuh tiduran dengan posisi miring. Karena hilang fokus dan kontrol, akhirnya karakter yang ia mainkan di dalam game pun mati sia-sia.

"Lagian lo kayak lagi di rumah sendiri aja. Jongkok di atas tempat duduk, nggak ada sopan-sopannya," omel Sena sembari mengambil rokok dari dalam kantong celana pendek yang saat ini di kenakan.

"Yeee... Bodo amat. Rumah calon bini sendiri ini," cuek Ardit tak peduli. Ponsel di meja ia ambil kembali. Tapi bukan untuk bermain game lagi, melainkan mengakhiri permainan yang masih berlangsung dengan cara menekan gambar home di layar ponsel.

"Calon bini mata lo!" Sekali lagi Sena menoyor kepala Ardit. "Di gampar bang Joy baru tahu rasa lo."

"Ya, kan gue ikut ngasih nafkah mbak Jihan juga." Ardit ikut meraih rokok miliknya yang tergeletak di atasa meja. "Gue ngopi di sini itu secara nggak langsung ngasih nafkah mbak Jihan juga loh. Jangan salah," kelakarnya yang jika di pikir-pikir memang cukup masuk akal.

"Ngasih nafkah kok cuma sepuluh ribu." sahut sebuah suara tiba-tiba ikut nimbrung. Ternyata dari mbak Jihan, yang datang mengantarkan kopi pesanan Sena.

Kontan Sena tertawa keras mendengar sindiran dari mbak Jihan yang lumayan bikin gatal telinga laki-laki. Bahkan Ardit sendiri pun sampai melotot tak terima dengan perkataan mbak Jihan yang walaupun membuat hati sakit, memang benar adanya.

"Eh, mbak," Kepulan asap lebih dulu Ardit keluarkan dari mulutnya, agar lebih nyaman saat bersuara. "Berapapun yang gue kasih tuh harusnya di syukuri, Mbak. Jangan lihat nominalnya, tapi ketulusannya."

"Alesan." cibir Mbak Jihan yang tengah meletakkan kopi di depan Sena. "Bilang aja nggak mampu ngasih lebih." lanjutnya lagi memberi serangan pamungkas, sebelum akhirnya berjalan keluar ruangan dan kembali ke warung.

Di beri serangan mematikan seperti itu, Ardit langsung terkapar tak berdaya. "Anjing, mulutnya pedes banget." meski tahu kalau mbak Jihan hanya bercanda, entah kenapa ia tetap merasakan sakit di ulu hati. "Awas aja ntar, gue tabok pantatnya biar tahu rasa."

Tepat setelah berkata begitu, Ardit kembali terhuyung dan jatuh kesamping untuk kedua kalinya. Adalah Sena yang dengan sekuat tenaga menoyor kepala teman laknatnya itu.

"Eh, monyet! Itu emaknya temen main lo!" sembur Sena kembali tertawa. Temannya satu ini memang jenis langka.

Perlu Sena akui, Otak Ardit ini sebenarnya encer dan pemikirannya pun luas. Terbukti tadi, bisa melogiskan hal-hal yang tak mungkin di pikirkan orang lain. Sayangnya, kelebihan yang di miliki temannya itu tak di manfaatkan secara maksimal, cuma di gunakan untuk merayu dan membohongi wanita saja.

"Yang bener lah, Sen." Ardit kembali duduk dengan wajah memelas. "Bisa remuk pinggang gue lo jorokin mulu."

"Suruh siapa punya mulut enteng banget." cuek Sena yang kemudian meraih ponsel di saku. "Kuy lah login. Kita bantai bocil epic abadi," ajak Sena yang langsung di angguki semangat oleh Ardit.

"Gasssssskuennnnn!"

Dapat di tebak setelahnya. Mereka berdua pun langsung asik dengan ponsel dan game yang di mainkan. Larut dalam permainan yang membuat lupa akan segala masalah di kenyataan. Juga, pantang menyerah demi sebuah kemenangan yang walau sesaat tapi terasa sangat menyenangkan.

Saling menghina pasti terjadi ketika salah satu ada yang mati, dan itu membuat suasana menjadi lebih cair lagi. Pertemanan memang seharusnya seperti ini. Tak mengambil hati sekasar apapun ucapan temannya, selagi itu niatnya bercanda.

Sembari bermain, sebenarnya Sena juga sedang membunuh waktu. Bermain game adalah salah satu solusi jitu ketika sedang menunggu. Karena tanpa sadar, waktu tiba-tiba cepat berlalu.

Itu terjadi kemudian. Sebuah panggilan datang di ponsel Sena, yang mana menjadi pertanda sekaligus pengingat akan janji dengan sang jelita. Tak mau membuang banyak waktu, ia segera menekan icon home di layar ponselnya tanpa menjawab panggilan Manda.

Kemudian Sena berdiri dari duduknya dan merogoh kantong celana untuk mengambil dompet. Dua lembar sepuluh ribuan ia ambil dari sana, yang kemudian di taruh ke atas meja.

"Gue cabut dulu, ya. Ada yang penting," terangnya secara singkat sembari memasukkan bungkus rokok ke dalam saku celana. "Ntar kasih mbak Jihan duitnya, sekalian punya lo ini," tambahnya lagi sebelum mulai berjalan keluar dari ruang tamu.

Senyum sumringah terpampang nyata di wajah Ardit yang sigap meraih uang di depannya. "Gini kek, bayarin temen."

"Tapi inget!" Tiba-tiba kepala Sena muncul kembali dari ambang pintu. "Bilang ke mbak Jihan, kalau gue yang nafkahin dia." Dan kepala Sena menghilang begitu saja setelah berkata seperti itu.

Seakan di buru waktu, Sena langsung berlari menjauh di iringi makian mesra dari Ardit yang tak terima temannya menafkahi mbak Jihan. Kurang dari 30 detik, Sena sudah sampai di samping rumah Manda yang kebetulan tepat berhadapan dengan muka rumahnya sendiri.

Pandangan ia edarkan untuk melihat keadaan sekitar. Karena walaupun sudah larut malam, bisa saja ada orang yang tiba-tiba lewat di jalanan utama desa ini. Tidak lupa ia juga memastikan rumahnya sendiri yang untungnya lampu ruang tamu sudah mati. Artinya, para penghuni di rumahnya sudah tidur. Minimal masuk ke dalam kamar masing-masing lah.

Setelah memastikan keadaan benar-benar aman, barulah Sena melanjutkan langkah dengan sangat pelan menuju jendela kamar Manda yang ada di bagian tengah. Ia melakukannya sepelan mungkin agar tidak menimbulkan suara, sebab kemungkinan di pergoki keluarga Manda juga besar adanya. Intinya tak ada yang benar-benar aman.

Sampai di depan jendela kamar Manda, tangan Sena kemudian terjulur untuk mengecek apakah jendelanya di kunci atau tidak. Sebab itu adalah kode terakhir dari Manda yang memastikan keadan di dalam telah aman.

Ternyata jendela tidak di kunci, berarti aman. Dengan ketelatenan tingkat tinggi, juga kesabaran yang luas tak bertepi, Seba mulai menarik jendela dengan amat perlahan agar tak menimbulkan bunyi. Akhirnya, jendela berhasil terbuka, walau membutuhkan waktu yang lebih lama dari seharusnya.

Seperti bajing lompat yang sudah sangat pro, Sena langsung meloncat melewati jendela yang tingginya lebih dari satu setengah meter tanpa kesusahan. Terbukti sekarang, pengalaman adalah segalanya.

Sena berhasil mendarat sempurna di dalam kamar tanpa menimbulkan suara yang berarti. Sejujurus dengan itu, tepat di seberang ruangan, ia bisa melihat sosok yang sanga di rindukan duduk nyaman di meja belajar membelakangi dirinya.

"Hai Sayang," sapanya dengan senyum yang mengembang sempurna.

Lagi-lagi ekpetasi tak sesuai kenyataan. Sena yang berharap mendapat balasan senyum dari Manda, justru malah mendapat pelototan ganas.


Manda menyilangkan jari tepat di depan bibir sebagai isyarat. "Pelan-pelan!" hardiknya dengan suara tertahan. Otomatis Sena langsung membekap mulutnya sendiri. Kalau ini sampai ketahuan, maka sia-sia semua perjuangannya yang mirip seperti orang mau maling ayam.

Sena terdiam beberapa saat, memastikan apakah semuanya aman. Dan setelah yakin tak ada yang mendengar suara kencangnya tadi selain Manda, barulah ia berbalik dan menutup jendela yang sengaja ia biarkan tetap terbuka untuk berjaga-jaga. Semuanya beres, saatnya menghampiri sang kekasih yang sudah kembali fokus pada laptop di depannya.

Sampai di belakang kursi yang Manda duduki, Sena segera mengulurkan tangannya untuk melingkari leher sang kekasih. Lalu di ikuti tubuhnya yang mulai membungkuk sampai bibirnya bisa menyentuh puncak kepala sang jelita. Akhirnya, ia bisa menghirup lagi aroma harum kesukaannya.

Pergerakan jari Manda di atas keyboard laptop sukses berhenti, termasuk kedua matanya yang mulai terpejam mengikuti naluri. Meski samar, ia bisa merasakan hangat mulai menyalur ke seluruh tubuhnya. Membuat rasa nyaman yang menenangkan memenuhi hati dan jiwa.

Sedikit demi sedikit beban yang ada mulai terlepas dari diri keduanya, termasuk pula beban rindu yang hampir membuat hati rontok karena tak lagi bisa menyangga.

Manda merasa jauh lebih baik dengan adanya Sena yang memeluk dan mencium dirinya. Rasa lelah yang menumpuk karena harus menjalani tugas praktik sebagai seorang bidan sirna dalam sekejap mata.

"Kangen banget." lirih Manda dengan suara yang manja. Mustahil Sena tak senang mendengar ungkapan Manda yang jarang terjadi ini.

Kekasihnya juga seperti kebanyakan wanita lain yang tak mau mengungkapkan perasaannya lebih dulu. Memilih diam memendam, lalu tiba-tiba merajuk dan membuat dirinya kelimpungan.

Sena sedikit menarik sedikit kepalanya. Mengganti bibirnya dengan hidung, agar lebih leluasa dalam menghirup aroma stroberi yang menguar dari rambut Manda. "Kangen banget, ya?" tanya Sena yang di jawab Manda dengan anggukan sekilas. "Terus tadi kenapa pakai mikir dulu waktu aku ajak ketemu?"

Sontak Manda cemberut mendengar pertanyaan Sena yang kadang-kadang memang suka menusuk. "Aku ada tugas."

"Lah, hubungannya apa?" bingung Sena tak mengerti. Tapi sekejap kemudian ia langsung paham apa maksud Manda. "Oh, aku ganggu kamu?"

Manda menggelengkan kepala menyangkal, namun setelahnya malah mengangguk tanda membenarkan.

Sena jadi gemas sendiri atas jawaban Manda yang sangat membingungkan. "Jadi yang mana? Iya apa enggak?"

"Aku ngga bisa fokus kalau ada kamu," terang Manda memutuskan untuk berkata apa adanya. "Bawaanya pengen kamu manjain terus. Pengen terus meluk kamu. Juga, pengen terus di peluk kamu." Tepat setelah mengatakan itu, kepala Manda langsung tertunduk malu.

Kalimat Manda yang sejatinya biasa saja itu sukses menghipnotis Sena. Tubuhnya meremang dari kaki sampai kepala. Baginya, apa yang Manda katakan tadi adalah hal paling manis yang pernah ia dengar.

Tanpa berkata, Sena segera menarik dagu Manda dari belakang agar mendongak. Lalu tanpa permisi, ia menghujani kecupan di pipi, hidung, dan juga mata sebelum berakhir pada bibir tipis yang mengucapkan kata-kata ajaib tadi.

Lumatan dengan sangat perlahan Sena lakukan, dan Manda yang juga menginginkan pun tak kuasa melakukan penolakan. Belaian lembut yang di berikan Sena berhasil membuatnya terbuai, hingga melupakan tugasnya yang sedikit lagi hampir selesai.

Sama sekali tak ada ketergesaan baik dari Sena maupun Amanda dalam permainan ini. Mereka paham ini bukan ciuman karena nafsu, tapi lebih kepada sentuhan rindu setelah lama tak bertemu.

Saling menerima dan memberi terjadi tanpa adanya rasa ingin mendominasi. Hisapan di balas hisapan, lumatan di balas lumatan, dan begitu seterusnya hingga sebuah geraman keluar dari Manda yang tak lagi memiliki pasokan oksigen dalam paru-paru.

Andai saja Sena tak mendengar geraman dari Manda di sela-sela pagutan mereka, sudah pasti ia betah melakukan proses melepas dahaga yang menyenangkan ini. Tapi setiap hal memang harus ada yang berakhir, termasuk juga dengan kegiatan yang sedang mereka lakukan. Sehingga dengan sangat terpaksa, Sena menjadi pihak pertama yang menarik diri dari kegiatan mereka.

Manda yang tak mempunyai daya langsung menjatuhkan kepala pada sandaran kursi dan meraup oksigen di sekitar dengan rakus untuk mengisi kekosongan di paru-paru. Sena pun begitu. Ia menjatuhkan kepala di pundak kanan Manda dengan napas compang-camping seperti habis di kejar warga.

Keduanya sibuk mengatasi diri sendiri. Memberi makan paru-paru yang kelaparan, supaya jantung kembali berdetak dalam ritme normal.

Dari keduanya, Manda berhasil menjadi yang pertama memulihkan diri. Ia menoleh ke kanan di mana kepala Sena berada. "Aku selesaiin tugas bentar, ya?" izin Manda sambil mengelus rahang tegas Sena dengan jemarinya yang lentik dan halus. "Tinggal dikit doang, kok. Kamu main game aja dulu. Oke?"

Sena sedikit memiringkan kepala agar bisa melihat wajah Manda yang ternyata sedang tersenyum dengan sangat manisnya. Ia mengangguk meng-iyakan, namun tentu ada syarat yang lebih dulu harus Manda jalankan. "Cium dulu."

Terkekeh kecil, dengan senang hati Manda pun melaksanakan perintah dan mencium sekilas bibir kekasihnya.

"Udah, nanti lagi." katanya sembari mengacak rambut tebal Sena.

"Beneran, ya! Nanti aku tagih." peringat Sena yang kemudian menarik diri dan langsung menjatuhkan diri pada ranjang yang berada tepat di belakangnya.




Jika memenuhi segala kemauan pasangan adalah kunci dari sebuah kelanggengan, maka itu sangat mudah di lakukan. Dan pastinya, takkan ada yang namanya perpisahan.



~J_bOxxx~
Ijin pasang tenda hu...
 
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd