Agen Terpercaya  
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

CERBUNG HIPNOTIS

Status
Please reply by conversation.
PART 4


Denta Pov

Seperti biasa, kopi dan rokok selalu jadi temanku di pagi hari. Aku pun segera mengambil cangkirku dan kuseruput kopi yang masih agak panas ini. Kemudian kuhisap rokok dalam-dalam lalu aku hembuskan secara perlahan melewati mulut dan hidungku. Partnerku pagi ini adalah kakek yang juga sangat menikmati kopi dan rokoknya. Kami pun berbincang-bincang hangat dan kadang diselingi gurauan. Tiba-tiba saja, bunyi smartphone-ku berdering kencang di tengah obrolanku dengan kakek. Sejenak kulirik identitas si penelepon lalu kuangkat telepon.

“Ya, Hallo ...” Sapaku pada orang kepercayaan yang mengurus bengkelku yang bernama Nurdin. Pemuda baru lulus SMK setahun yang lalu tapi memiliki kejujuran paripurna.

Boss ... Uang bengkel hasil bulan ini aku transfer ke si boss ya ...” Kata Nurdin di seberang sana.

“Lah ... Kenapa? Kamu simpan saja dulu ... Kenapa harus repot ditransfer?” Tanyaku heran.

Berabe boss ... Banyak yang mau kasbon ... Aku gak berani ngasih dan jadi masalah deh ... Lebih baik gak pegang sama sekali ...” Ungkap Nurdin setengah mengeluh.

“He he he ... Ya udah ... Emang berapa penghasilan bengkel bulan ini?” Tanyaku ingin tahu.

Lima belas juta boss ... Sudah dipotong macem-macem ...” Jawab Nurdin lagi.

“Ya udah ... Kamu transfer uangnya kalau gak mau pegang ... Oh ya, transfer sepuluh juta saja ... Yang lima juta kamu bagi rata sama yang lain ...” Perintahku pada Nurdin.

Oke ... Siap boss ... Terima kasih ...” Sahut Nurdin lalu sambungan telepon terputus. Aku pun meletakan smartphone di atas tikar lalu melanjutkan acara pagiku dengan kakek.

“Syukurlah ... Kakek senang ... Kamu sudah jadi orang yang berhasil ... Tinggal saatnya kamu berbaikan dengan orangtuamu ...” Ucap Kakek yang beribu kali kudengar. “Bantu mereka ... Kehidupan orangtuamu perlu kamu angkat ... Terutama ibumu ...” Lanjut kakek dengan wajahnya yang datar dan aku melihat ada sesuatu yang berat di pikirannya.

“Ya kek ... Nanti aku ...” Ucapanku tak tuntas karena langsung disambar kakek.

“Jangan nanti ... Sekarang ...” Ucap kakek terdengar tegas.

“Iya ...” Jawabku tegas juga tak ingin kakek ngomel.

Akhirnya aku sebisa mungkin mengalihkan tema pembicaraan agar kakek tidak melulu bercerita tentang kehidupan kedua orangtuaku. Dan tak terasa matahari semakin tinggi, kakek harus melakukan rutinitasnya melatih silat di paguron. Sementara aku berniat pergi ke kota kabupaten untuk menemui Tika. Wanita cantik itu semalam hadir dalam mimpiku.

Setelah memanaskan mesin mobil sekitar sepuluh menit, aku pun tancap gas. Aku langsung menuju kota kabupaten. Membelah jalanan di pagi hari, saling berebut ruas dengan pengendara lainnya, aku sesekali bersenandung kecil. Sekadar mengisi kebosanan di jalan. Dan aku baru menyadari ketika akan sampai di kota kabupaten, kebanyakan lagu yang kunyanyikan adalah lagu-lagu milik The Beatles. Lagu-lagu yang sering kudengar waktu aku SMA. Aku tertawa pelan saat menyadarinya.

Setelah memarkir kendaraan dekat gang di mana Tika bertempat tinggal. Aku menanyakan pada seseorang letak rumah Tika. Aku pun mendapat informasi yang aku inginkan dan langsung saja aku menuju rumah yang ditunjuk orang itu. Aku sampai di sebuah rumah yang sederhana seperti rumah-rumah di sekitarnya. Setelah itu, aku menghampiri pintu lalu mengetuk tiga kali. Tak lama, pintu terbuka. Seseorang yang keluar dari balik pintu itu langsung tersenyum ramah padaku.

"Ya ampun ... Ganteng banget ... Aku sampai pangling ...” Ucap Tika sambil melotot memandangi wajahku. “Ayo kang, masuk ... Aku sudah lama nunggu loh ... Sampai basah pantatku duduk terus dari tadi ..." Sapa Tika sembari menarik tanganku agak kuat.

"Aaahhhh ... Kamu bisa aja ..." Jawabku sembari tersenyum.

Aku masuk ke dalam sebuah ruangan kecil yang terlihat seperti ruang tamu. Di dalam ruangan ini tidak ada kursi dan meja, hanya terdapat sebuah karpet sebagai alas duduk. Di bagian sampingnya terdapat ruangan seperti kamar tidur. Di bagian paling belakang ada dapur dan kamar mandi. Ternyata rumah sederhana ini disekat menjadi tiga ruangan. Namun, rumah Tika sangat bersih, dapurnya bersih, semuanya tertata rapih.

"Maaf ... Rumahnya kecil, soalnya aku tinggal sendiri ..." Sambutnya sambil berjalan ke tempat kompor gas. Tika mulai memasak air.

"Oh ... Jadi kamu tinggal sendiri ... Kalau anak-anak di mana?” Tanyaku ingin tahu setelah berdiri di sampingnya.

“Anak-anak tinggal sama neneknya ... Di kampung ... Aku pulang sebulan sekali ke sana ... Nengok anak ...” Jawab Tika dengan bibir yang tersenyum kecil.

“Hhhmm ... Kelas berapa anakmu?” Tanyaku berlanjut sambil melingkarkan tangan di pinggulnya.

“Yang satu baru lulus SMK dan yang satunya lagi kelas sebelas SMK.” Jawabnya dan tentu keningku langsung berkerut, tidak menyangka anak-anak wanita ini sudah pada remaja.

“Lulus SMK? Berarti sudah dewasa dong?” Tanyaku terus karena rasa penasaranku.

“Hi hi hi ... Iya ... Emang kenapa?” Tika terkekeh lirih sambil memandang wajahku.

“Em ... Tapi kamu kelihatan masih muda sekali ...” Kagumku pada penampilan Tika yang masih tampak muda. Tadinya aku berpikir kalau Tika berusia sekitar 27 - 30 tahunan.

“Hi hi hi ... Makasih ... Aku ini udah mau 41 tahun loh ...” Katanya yang sukses membuatku terperanjat. Pengakuannya membuatku sedikit menaikkan alis.

“Masa?” Gumamku masih tak percaya kalau wanita ini telah berkepala empat.

“Hi hi hi ... Sudah ah ... Jangan ngomongin umur ... Malu ... Yuk, ke depan ...!” Ajak Tika sambil membawa dua gelas kopi panas.

Kami pun duduk di ruang depan dan berbincang-bincang. Tak lama berselang, aku menarik tubuhnya mendekat dan memeluknya dari belakang. Menyandarkan daguku di bahunya. Sejujurnya, aku sangat tidak fokus pada obrolan. Fokusku habis oleh bukit kembar wanita ini. Kaos berleher rendah yang ia pakai terlihat terlalu sesak untuk ukuran buah dadanya itu. Darahku terasa bergetar hingga tanganku tak tahan mendiamkan gundukan daging kenyal itu. Tanganku bergerak pelan semakin ke atas, menangkup dua bukit indah milik Tika dan meremasnya pelan.

“Ih akang ... Pagi-pagi ...!” Ucap Tika agak tinggi tapi ia membiarkan tanganku bermain di dadanya.

“Kamu sangat menggairahkan.” Bisikku di telinganya.

Seketika itu juga, Tika bergerak mengganti posisi tubuhnya. Kini ia duduk di pangkuanku menghadapkan wajahnya ke wajahku. Aku memeluknya erat, begitu eratnya pelukanku hingga buah dadanya menyentuh tubuhku. Kupandangi wajahnya yang sedikit lebih tinggi dariku. Wajah itu sudah semerah buah cherry, sama dengan bibirnya. Kujamah juga bibir itu dengan bibirku. Rasanya begitu hangat dan lembut. Lidah Tika menjelajahi mulutku, mencari lidahku untuk kemudian saling berpagutan bagai ular.

Setelah puas, Tika kemudian berdiri di depanku. Ia berjalan ke arah kamarnya. Pas di ambang pintu, satu demi satu pakaiannya berjatuhan ke lantai. Tubuhnya yang polos tanpa sehelai benang pun seakan akan menantang untuk diberi kehangatan olehku. Dan dengan genit ia menoleh kepadaku lalu mengedipkan sebelah mata. Ia pun masuk ke dalam kamar. Darah kelelakianku yang sudah mengalir deras membimbingku untuk mengikuti Tika ke dalam kamarnya. Aku menelanjangi diri sebelum masuk kamar. Setelanya, aku masuk dalam keadaan bugil.

Aku yang sudah sangat ‘on’, langsung menindih tubuh Tika yang sedang duduk di pinggir kasur hingga dia terlentang dengan kaki terjulur ke lantai. Terus kulahap gundukan-gundukan daging di dada montok Tika dengan nikmat. Sementara itu, Tika mulai mendesah-desah dan menggelinjang. Kepalanya mendongak ke atas dan matanya terpejam. Goyangan-goyangan lidahku yang terus menjilati puting susunya yang tinggi dan lancip begitu bertubi-tubi tanpa henti. Tika menggerinjal-gerinjal dengan keras.

"Aaaaggghhhh ... Ooooohhh ... Oooooohhh ...." Desahan-desahan kenikmatan semakin banyak bermunculan dari mulut Tika.

Tika terlentang di kasur dengan kaki-kakinya yang jenjang terjulur ke lantai. Tubuh bugilnya yang putih dan mulus beserta buah dada yang montok dengan puting susu nan tinggi yang teronggok kokoh di dadanya, memang sebuah pemandangan yang sangat menawan hati. Lalu aku berlutut di lantai menghadap selangkangan Tika. Kurenggangkan kedua kakinya yang menjejak di lantai. Betul-betul suatu pemandangan yang merangsang sekali. Bukit segitiga yang menjendul dengan dagingnya yang tebal itu ditumbuhi bulu-bulu yang tidak begitu lebat, tidak cukup menutupi bagian celah lubang yang diapit pipi kanan kirinya. Tepi bukit itu persis seperti pipi bayi yang montok menggembung, saking tebalnya sehingga menjepit bibir vagina hanya terkuak sedikit meskipun pahanya sudah kukangkangkan lebar-lebar. Penasaran kukuakkan bibir vaginanya dengan jari-jariku untuk melihat lebih ke dalam, tapi belum lagi jelas.

“Aaahhh ... Kang ...” Tika coba menegur tapi aku tidak peduli. Langsung saja kusosorkan mulutku ke tengah lubang yang baru kukuakkan itu.

Di bagian inipun untuk beberapa lama kupuaskan diriku dengan menyedot menjilat-jilat tengah lubangnya, sesekali menyodok-nyodokkan ujung lidah kaku lebih ke dalam, membuatnya mengejang sampai membusung dadanya. Atau juga menggigit-gigit klitoris, menarik-nariknya serta menjilati cepat membuatnya menggelinjang kegelian. Serupa dengan puting susunya, bagian inipun sudah mengeras tanda dia sudah terangsang naik berahinya, tapi Tika juga tetap membiarkan aku bermain sepuas-puasnya. Begitu hebat rangsangan yang kubuat pada dinding lorong kenikmatan tersebut, membuat air bah segera datang membanjirinya.

"Aaaagghhhhhh ... Oooooohhh ... Aaahhh ..." Terdengar rintihan Tika dari mulutnya yang megap-megap setengah membuka.

Ketika kurasa sudah cukup lama aku mengecap asyik lewat mulutku dan sudah cukup matang dia kubawa terangsang, aku pun berdiri lalu menindih. Dengan tangan bertumpu ke atas kasur, kucoba mengarahkan ujung penis ke lubang yang lubang vaginanya yang terasa licin dan basah. Kepala peniskku berhasil menemukan pintu masuk. Perlahan-lahan kuhujamkan batang kemaluanku ke dalam lubang hangat itu. Tubuh Tika berkejat-kejat dibuatnya merasakan nikmat penetrasi yang sedang kulakukan saat ini.

"Oooohhhh ... Uuuuccchhh ..." Tak ayal jeritan-jeritan mengalir dari mulutnya.

Akhirnya batang keperkasaanku amblas semua ke dalam vaginanya diiringi dengan jeritannya. Kenikmatan ini kian bertambah menjadi-jadi setelah aku melakukan penetrasi lebih dalam dan intensif lagi. Berikutnya kami seolah tidak ingin melepaskan dekapan menyatu ini. Seluruh permukaan tubuh depan melekat erat dengan bagian atas kedua bibir saling melumat ketat sedang bagian bawah kedua kemaluan pun bergelut hangat. Gerakan memompa dari batang kejantananku di dalam kemaluan Tika semakin kupercepat.

Terdengar suara kecipak-kecipak dan lenguhan kami berdua karena terlalu asyiknya kami bersenggama. Seiring dengan tangan yang kembali meremas-remas dada montok Tika, batang kejantananku terus melakukan serangan-serangan yang tanpa henti di dalam lubang yang bertambah kencang denyutan-denyutannya. Penisku memerah yang terus berdenyut-denyut dan amat licin akibat begitu membanjirnya cairan-cairan kenikmatan yang keluar dari dalam vaginanya. Ini merupakan sensasi sendiri bagiku yang merasakan batang keperkasaanku seperti merasa diurut-urut oleh seluruh permukaan dinding vagina.

"Oouuugghhhhh ... mmmpphhhh ..." Tika mengerang-ngerang tidak karuan, sementara tubuhnya juga melonjak-lonjak dengan keras.

Sekuat tenaga kuhujam-hujam penis dengan lebih ganas lagi ke dalam liang senggamanya. Rasanya hampir habis tenaga dan nafasku dibuatnya. Tetapi nafsu birahi yang begitu menggelora tampaknya membuatku lupa pada kelelahanku itu. Ini dibuktikan dengan sodokan kejantananku yang berusaha menusuk sedalam-dalamnya. Bahkan berkali-kali ujung batang kejantananku sampai menyentuh pangkal liang tersebut, membuat Tika menjerit keenakan.

"Kaaanngh ... Aku ... mau... keluar..." Tika melenguh agak kencang.

Sepertinya Ia merasakan sudah tidak bisa menahan orgasmenya lagi. Akan tetapi, aku belum merasakan akan klimaks sedikit pun. Langsung kutambah kecepatan genjotan-genjotan batang kejantananku di dalam liang nikmatnya. Begitu buasnya sodokan-sodokanku itu, membuat tubuh Tika bergoyang-goyang hebat, dia merintih tanpa henti. Kemudian tubuhnya mengejang dan bergetar hebat.

“Aaaacchhh ... Kaanngghh ...!” Erangan panjang Tika dengan tubuh yang mengejat-ngejat dan tak lama berselang penisku terasa disiram cairan hangat dari dalam vaginanya.

Aku hentikan genjotanku untuk menikmati kenikmatan kedutan dan cengkraman kuat vaginanya pada penisku. Setelah beberapa saat berciuman, dengan segera aku berlutut di atas ranjang. Kuminta Tika untuk berlutut juga membelakangiku dengan tangan bertumpu di kasur, jadi kami kini dalam posisi doggy style. Kemudian Tika kudorong sedikit ke depan, sehingga pantatnya agak naik ke atas, untuk lebih memudahkan batang kejantananku untuk melakukan penetrasi ke dalam vaginanya. Setelah itu langsung kusodok kemaluan yang sekarang sudah terlihat agak merekah itu dengan batang keperkasaanku dari belakang. Tubuh Tika terhenyak hingga hampir terjungkal ke depan akibat kerasnya sodokanku itu, sementara mulutnya menjerit keenakan. Dalam sekejap, senjataku itu seluruhnya ditelan oleh liang nikmat itu dan langsung menjepitnya.

Jepitan liang senggama Tika yang berdenyut-denyut menambah gairah birahiku yang memang sudah menggelora. Dengan cepat, kutarik kejantananku sampai hampir keluar dari dalam liang senggamanya, lalu kutusukkan kembali dengan cepat. Kemudian kutarik dan kusodok lagi, seterusnya berulang-ulang tanpa henti. Doronganku yang keras ditambah dengan sensasi kenikmatan yang luar biasa membuat Tika beberapa kali nyaris terjerembab. Namun itu tidak menjadi masalah sama sekali. Bahkan sebaliknya, membuat permainan kami berdua menjadi kian panas. Semua otot dalam tubuh mengejang ketat. Gesekan dua benda sensitif kami kian panas. Satu sama lain tidak ada yang mengalah.

"Ooocchh... uh... uh... uh..." Nafasku terengah-engah.

Kurasakan sekujur tubuhku mulai kehabisan tenaga. Tenagaku sudah begitu terkuras, tetapi aku belum mau berputus asa. Kucoba mengeluarkan sisa-sisa tenaga yang masih ada semampuku. Dengan sedikit mengejang, kugenjot batang kejantananku kembali ke dalam lubang kenikmatannya sekuat-kuatnya. Tika pun tidak mau kalah, dia maju-mundurkan tubuhnya dengan ganas.

Akhirnya, Tika melenguh panjang, muncratlah laharnya, akan disusul beberapa detik kemudian oleh kemaluanku. Lalu secepat kilat kukeluarkan penis dari dalam lubang kenikmatan Tika dan langsung jatuh terkapar di kasur. Kemudian, Tika langsung meraih batang kejantananku itu dan dimasukkan ke dalam mulutnya. Tika mengocok penisku di dalam mulutnya yang memang agak kecil. Namun Tika berhasil melumat batang keperkasaanku hingga memuncratkan lahar kenikmatan yang keluar begitu banyak dari batang keperkasaanku yang langsung ditelan seluruhnya, hampir tanpa sisa. Belum puas sampai di situ, ia masih menjilati sekujur batang kejantananku sampai bersih total. Lalu kami berdua tergeletak di atas tempat tidur dengan tubuh telanjang yang dibasahi oleh keringat. Tak lama, Tika bergerak ke atas tubuhku.

“Kamu selain pintar ngegombal ... Pintar juga di atas ranjang ... Baru denganmu aku merasa puas ...” Katanya sambil mendekatkan wajahnya ke wajahku.

“Masa?” Aku pura-pura tak percaya.

“Beneran, kang ... Aku gak bohong ...” Katanya sembari membelai kejantananku yang sudah lemas.

“Hhhmm ...” Aku hanya bergumam dan tiba-tiba saja perutku berbunyi tanda minta diisi. “Aku laper ... Kita makan di restoran yuk!” Ajakku pada Tika.

Tika pun mengangguk lalu bangkit dari atas tubuhku. Kami pun mandi dahulu membersihkan keringat yang menempel di tubuh. Selesai mandi dan berpakaian lanjut berdandan, kami segera keluar rumah menuju restoran yang letaknya di depan gang. Tapi, restoran ternyata belum siap dengan masakannya. Hanya ada beberapa yang matang. Akhirnya, aku mengajak Tika untuk makan di restoran lain dan aku ingin makan di restoran yang agak bonavide. Kami pun meluncur menuju arah alun-alun karena aku ingat ada restoran besar di sana.

Hanya setengah jam, aku sampai ke restoran dimaksud. Kami langsung saja memesan makanan setelah mendapatkan meja. Aku dan Tika ngobrol sebentar karena makanan yang aku pesan segera datang. Aku dan Tika berbincang berbagai hal selama kami menyantap makanan masing-masing. Kali ini Tika yang lebih banyak berbicara sementara aku yang kalem mendengarkan. Aku melihat wajah gembira Tika di sana dengan senyum lebar yang senantiasa terukir di bibirnya. Sampai tak terasa, kami selesai makan dan kembali ke mobil.

“Kang ... Aku ke toilet dulu ... Pengen buang air ...” Tiba-tiba Tika keluar dari mobil dan langsung berjalan cepat kembali ke dalam restoran mencari toilet. Terpaksa aku menunggunya.

Belum ada dua menit sejak Tika keluar dari mobil, tiba-tiba mataku menangkap sesuatu yang sangat menarik. Aku melihat Dewi dan seorang pria memasuki restoran. Aku menajamkan mata terus melihat mereka dan ternyata keduanya duduk di meja persis di samping jendela restoran yang sedikit terbuka. Entah kenapa, tiba-tiba saja perasaanku digulung rasa penasaran yang teramat sangat dengan sedikit bumbu cemburu. Aku pun turun dari mobil lalu berjalan agak melipir dengan maksud agar Dewi dan prianya tidak mengetahuiku kalau aku akan menguping pembicaraan mereka. Tak lama, aku sudah berdiri di dinding samping jendela dan langsung saja aku menajamkan telingaku untuk mendengarkan percakapan Dewi dan teman prianya.

“Sekarang yang penting kita harus bayar si Kosim ... Kasih saja uangnya pada istrinya ... Jangan ditunda-tunda, sangat berbahaya kalau istrinya buka mulut ...” Terdengar suara laki-laki mengucapkan kalimat yang belum sepenuhnya aku mengerti.

“Iya ... Tenang saja ... Nanti sore aku akan ke rumahnya ... Istrinya sudah aku kabari, dia menyetujui kalau pembayaran akan dilakukan nanti sore ...” Suara Dewi yang sangat kukenal pun masih tidak aku mengerti.

“Sekarang ... Gimana dengan pembagian kita?” Tanya si pria dengan nada serius.

“Kok nanya lagi? Kita kan sudah sepakat kalau kamu akan mendapatkan tanah yang ada di Desa Cipancing.” Suara Dewi terdengar sewot.

“Bukan itu maksudku ... Kapan aku mendapatkan sertipikat tanahnya?” Ucap si pria masih terdengar datar.

“Sekarang juga!” Hening untuk beberapa saat. “Nih ...!” Ucap Dewi kemudian.

“Terima kasih ... Semoga rencana kita ini berjalan lancar ke depannya.” Kata si pria terdengar senang.

Mereka pun sepertinya mulai menyantap makanan, terdengar olehku suara beradunya sendok dengan piring. Tiba-tiba ujung mataku melihat Tika keluar dari dalam restoran dan segera saja aku meninggalkan tempat pengintaianku. Baru saja dua langkah, Tika mengetahui keberadaanku. Dengan berjalan cepat aku hampiri Tika yang sedang berdiri menungguku di tempatnya.

“Ngapain akang di sana?” Tanya Tika dengan suara heran.

“Gak ... Gak apa-apa ... Cuman cari angin saja ...” Kilahku cari alasan.

“Kok, cari angin jauh-jauh ... Kan bisa di sana lebih adem ... Tuh di bawah pohin dekat mobil ...” Ucap Tika dengan nada curiga sambil melirik ke arah tempatku mengintai tadi.

“Ya udah ... Yuk kita pulang ...” Kataku mengajak wanita itu sambil mengambil lengannya lalu menariknya.

Kami pun menaiki mobil namun aku merasa kalau Tika seperti penasaran dengan dua orang yang aku intai tadi. Beberapa kali kepalanya mengarah ke sana. Mobilku pun bergerak perlahan dan keluar area parkir restoran. Saat mobil di ambang gerbang restoran, lagi-lagi Tika menengok ke belakang yang aku pastikan kalau Tika masih penasaran dengan kedua orang tersebut. Tak lama, Tika pun duduk dengan posisi menghadap ke depan lagi.

“Kenapa?” Tanyaku heran melihat sikapnya.

“Gak apa-apa ...” Jawabnya sambil tersenyum.

“Sepertinya kamu penasaran ya dengan orang itu?” Tanyaku sedikit memancing.

“Ah ... Tidak juga ... Ngarang aja kamu ...” Sahutnya sambil mengerucutkan bibirnya.

Aku pun tersenyum melihat tingkahnya yang selalu cemberut bila terdesak. Aku injak gas agak dalam supaya cepat sampai karena sejujurnya aku sangat penasaran dengan percakapan Dewi dengan pria itu. Aku mencurigai sesuatu, ada sesuatu yang tidak masuk akal dan tidak etis menurutku. Sesampainya di depan gang rumah Tika, aku pun langsung pergi dan menolak ajakan Tika untuk singgah.

Aku besut mobilku kembali ke rumah kakek. Rasa penasaran benar-benar menyerangku, hingga aku mengemudikan mobilku seperti melayang. Dalam waktu satu jam lebih, akhirnya aku sampai juga di rumah. Setelah turun dari mobil, langsung saja aku menemui kakek yang sedang mencangkul di ladang yang letaknya di belakang rumah.

“Kek ... Kakek kenal dengan orang yang namanya Kosim?” Tanyaku sesaat setelah berada dekat kakek. Kakek pun menghentikan aktivitasnya lalu menengok ke arahku.

“Banyak yang bernama kosim di sini ... Salah satunya, orang yang ngebacok Tatang ...” Jawab kakek yang sukses membuatku terkejut. Dan rasanya aku sudah mempunyai benang merah.

“Kosim sekarang ditahan di mana?” Tanyaku lagi pada kakek.

“Masih di Polsek ... Barusan kakek menemui dia di sana ...” Jawab kakek sambil meneruskan mencangkulnya.

Tanpa berlama-lama, aku meninggalkan ladang. Setelah agak jauh dari kakek, aku berlari kencang ke pangkalan ojeg. Lumayan juga jaraknya sampai nafasku ngos-ngosan untuk mencapai tempat itu. Sesampainya di pangkalan ojeg, aku langsung diantar ke Polsek dan hanya setengah jam sampai di sana. Setelah membayar ongkos dengan langkah pasti, aku memasuki kantor polisi sektor tersebut dan meminta polisi untuk mempertemukan aku dengan tahanan yang bernama Kosim. Dengan perdebatan yang sedikit alot, akhirnya aku diizinkan menemui Kosim di penjara.

“Bapak boleh mengunci pintu penjara ini ...” Kataku sesaat setelah berada dalam penjara yang pernah aku singgahi ini. Polisi itu pun menyetujuinya, mengunci pintu penjara. Dan kini aku berada di dalam penjara berdua dengan orang yang bernama Kosim.

“Bapak Kosim ...” Kataku dan laki-laki itu mengangguk. Jelas di mukanya tampak wajah takut, cemas dan resah.

“Mau apa kau ke sini?” Tanyanya sambil melangkah menjauh saat aku mendekatinya. Laki-laki begitu waspada seakan dirinya sedang terancam.

“Tenang pak Kosim ... Aku hanya ingin ngobrol saja ...” Kataku seraya menghentikan langkah.

“Lebih baik kamu pergi saja ... Tak ada yang perlu dibicarakan ...!” Katanya agak keras dan melotot.

Melihat gelagat yang kurang bersahabat, langsung saja aku geser cincin ajaibku hingga berada di telapak tangan dan jempolku menekan mata cincin agak kuat. Dan memang tujuanku menemui Kosim adalah untuk mencari informasi.

“Kosim ... Dengar baik-baik ...! Kamu sekarang adalah budakku ... Kamu akan patuh padaku dan berkata jujur, sejujur-jujurnya ... Paham ...!” Kuucapkan kata-kata hipnotis itu dan seperti biasa akan dijawab dengan anggukan dan senyuman. Aku pun segera menggeser cincin pada posisi semula dan melanjutkan obrolan kami.

“Ke sini Pak Kosim ... Dekat denganku ...” Pintaku yang segera diturutinya. Laki-laki itu mendekat dan berdiri di depanku. “Sekarang jawab dengan jujur ... Kenapa Pak Kosim membacok Pak Tatang?” Tanyaku.

“Karena saya perlu uang.” Jawabnya dengan tatapan kosong.

“Perlu uang? Berarti ada yang bayar?” Tanyaku lagi.

“Iya ...” Jawabnya.

“Siapa?” Tanyaku lagi.

“Ibu Dewi ...” Langsung saja aku memejamkan mata sesaat setelah mendengar pengakuan Pak Kosim. Berarti jelas sudah kecurigaanku, terbayar lunas.

“Apa ada orang lain yang bersama Ibu Dewi?” Tanyaku berlanjut.

“Tidak ...” Jawabnya.

“Sadarlah!” Kataku mengucapkan kata penyembuhan.

Kosim tersadar dan seperti bangun tidur. Laki-laki itu melotot untuk sesaat lalu meloncat dua langkah ke belakang sembari memasang kuda-kuda, tapi tetap saja roman takutnya tidak hilang dari wajahnya. Aku pun tersenyum melihat kekonyolan orang itu. Tanpa menghiraukannya lagi, aku menggedor terali besi pintu penjara. Tak lama, polisi yang mengantarkan tadi sudah membukakan pintu penjara. Aku pun keluar dan langsung berpamitan untuk kembali pulang.

Ternyata benar kecurigaan kakek yang awalnya tidak terpikirkan olehku sama sekali, boleh jadi oleh semua orang. Kosim hanyalah boneka yang kebetulan membutuhkan uang, sementara Dewi dan si pria yang kutemui di restoran adalah otak dari pembunuhan ini. Sungguh miris, demi harta orang berani melenyapkan nyawa orang lain. Kecintaan dan kebanggaan yang berlebihan terhadap harta membuat lupa pada norma. Ambisi kuasa dan harta, menggelapkan mata hati seperti tak ada nurani.

Setelah mengetahui lantas aku pun bingung sendiri. Memilih diam atau mengungkap. Sepanjang perjalanan pulang, aku berpikir dan menimbang baik dan buruknya. Hingga kakiku sudah menginjak lantai rumah, pilihan pun belum ditemukan, walau fakta pembunuhan itu tak pernah pudar bercokol di otakku. Akhirnya, aku datangi kakek dan nenek di ladang lalu membantu mereka meladang. Tanganku yang memegang cangkul mengayun ringan dan cepat ke arah rumput liar.

“Denta ...” Panggil kakek. Aku menoleh padanya yang sedang duduk di bawah pohon mahoni sambil menghisap rokok nipahnya.

“Ada apa kek?” Tanyaku sembari mendekat lalu duduk di sampingnya.

“Sekarang kamu pergi ke rumah Pak Hendarto ... Bawa surat kakek dan kasih sama dia ...” Ucap kakek dengan tatapan mata lurus ke depan. Pak Hendarto adalah seorang polisi berpangkat perwira yang bertugas di Polres.

“Hhhmm ... Apakah kakek mau mengusut terbunuhnya Pak Tatang?” Tanyaku.

“Ya ... Kakek menduga kuat ada motif di belakang terbunuhnya Tatang. Makanya, kakek mau menyuruh Pak Hendarto mengusutnya.” Ungkap kakek.

“Baiklah ...” Kataku seraya berdiri dan berjalan ke arah rumah.

“Suratnya minta ke nenekmu.” Ucap kakek.

“Iya ...” Jawabku.

Sesaat setelah sampai di rumah, aku segera membersihkan badan dan berdandan. Tak lama, aku sudah berada di jalanan desa, mengendarai mobilku perlahan. Aku sudah menyangka kalau kakek tidak akan diam berpangku tangan. Kakek pasti turun tangan bila ada kejadian besar yang berhubungan dengan keluarga besarnya. Sekitar lima belas menit berselang, aku sampai di jalan kabupaten yang beraspal mulus. Langsung saja aku besut kendaraanku kencang. Jalanan yang lengang membuatku bisa sampai ke rumah Pak Hendarto dalam waktu kurang dari satu jam saja. Rumah yang sudah sering kukunjungi ini tampak sepi, namun aku terus masuk ke halaman rumah tersebut.

Aku turun dari mobil, berjalan mendekati pintu rumah tersebut lalu memencet bel rumah beberapa kali. Tak lama, pintu rumah terbuka menunjukkan seorang pria gagah dengan pakaian dinas kepolisiannya. Pria gagah tersebut menyambutku dengan sangat ramah dan merangkul bahuku mengajak ke ruang belakang. Memang, aku sudah sangat mengenal perwira polisi ini bahkan Hendarto telah menganggapku sebagai saudara.

“Pada kemana ini, pak?” Tanyaku karena merasa suasana di rumah ini begitu sepi.

“Pada pergi, Ta ... Ibu dan anak-anak pergi ke alun-alun ...” Jawab Hendarto sambil mengocek kopi lalu menyerahkan satu gelas kepadaku.

“Oh ... Jalan-jalan sore ...” Kataku sambil tersenyum.

“Ya ... Biasa ... Anak-anak suka sekali jalan-jalan ke alun-alun ... Bagaimana kabar kakekmu?” Tanya Hendarto. Kini kami duduk berhadapan di kursi meja makan.

“Baik, pak ... Dan saya ke sini memang mau menyampaikan surat dari kakek untuk bapak ...” Ungkapku sembari menyodorkan surat kepada Hendarto.

“Pasti ada sesuatu.” Gumam Hendarto sambil menerima surat dari tanganku.

“Ya, pak ... Kakek penasaran dengan kasus pembunuhan di Desa Sekar.” Jelasku sedikit saja.

“Ya ... Saya juga mendengar kabar itu ...” Ucap Hendarto lalu membaca surat yang ditulis kakek. Beberapa saat terdengar helaan nafas dari hidung dan mulut perwira polisi itu. “Kakekmu mencurigai kalau pembunuhan itu ada motif lain di belakangnya ... Dan selama ini kakekmu tak pernah salah ...” Lanjut Hendarto sambil menatapku.

“Kakek memang sejak awal sudah curiga.” Ungkapku menyetujui ucapan Hendarto barusan.

“Kalau sudah ada perintah begini ... Haruslah dikerjakan ...” Senyum Hendarto mengembang. “Oh ya ... Dua minggu lagi ada penerimaan anggota kepolisian ... Apa kamu tidak tertarik untuk mengikuti jejak kakekmu?” Tanya Hendarto tiba-tiba.

“Entahlah, pak ... Saya kurang tertarik ...” Jawabku tidak bersemangat.

“Kakekmu itu bisa dibilang legend di kesatuan kepolisian ... Seorang jenderal polisi yang tidak takut pada siapa pun ... Beliau banyak mengungkap kejahatan-kejahatan besar ... Namanya sangat harum di institusi kepolisian ... Sayang, tak ada satu pun keturunannya yang mengikuti jejak kebesarannya ...” Ungkap Hendarto berapi-api yang sudah sering kudengar dari mulutnya.

“Saya kurang tertarik jadi polisi, pak ... Dan mungkin hanya kakek saja yang menjadi polisi di keluarga kami.” Kataku coba memberi alasan.

“Denta ... Kakekmu sangat berharap kamulah penerusnya ... Kamu punya kesempatan yang sangat luas ... Banyak orang yang mau tapi tidak diberi kesempatan menjadi polisi ... Aku sangat berharap, penuhi cita-cita kakekmu ... Kasian beliau kalau angan-angannya tidak kesampaian ...” Kata Hendarto setengah membujuk.

Sebenarnya aku ingin sekali membanggakan kakek, tapi dengan caraku sendiri bukan mengikuti keinginannya. Aku tidak akan bisa mengikuti kakek yang super jujur dan berdedikasi tinggi pada pekerjaannya. Pada jamannya, kakek memiliki posisi tinggi di kepolisian, tapi saking jujurnya tetap saja hidup sederhana tidak punya apa-apa. Aku tidak ingin seperti kakek. Aku ingin menjadi orang kaya. Hidup dengan penghasilan pas-pasan dan kadang diejek-ejek oleh orang lain, membuat jiwa mudaku memberontak tak terima dengan keadaan seperti itu.

“Ya sudah ... Kalau memang gak mau ... Tapi aku harap kamu pikirkan lagi baik-baik nasehatku ...” Katanya padaku sambil menghela nafas dalam-dalam. Aku tidak melihat wajahnya, tetapi aku tahu getar suaranya menandakan bahwa harapan Hendarto sama besar seperti harapan kakekku.

“Ya ... Nanti saya pertimbangkan dulu ... Oh, ya pak ... Saya pamit saja ... Ada yang masih harus saya kerjakan.” Aku berpamitan dengan alasan yang dibuat-buat.

“Oh ya ... Silahkan ... Bilang ke kakekmu ... Perintahnya segera kami laksanakan ...” Ucap Hendarto.

Hendarto mengantar sampai ke mobilku. Segera saja aku keluar dari pekarangan rumah perwira polisi tersebut lalu mengarahkannya kembali ke desaku. Pikiran pun melayang pada ucapan dan nasehat Hendarto padaku tadi. Terbersit pikiran, menjadi polisi pun bisa membuatku kaya raya asal jangan seperti kakek. Banyak polisi ‘nakal’ yang memiliki kehidupan yang sangat mapan. Buktinya, perwira tinggi polisi sejawat kakek dulu memiliki harta yang sangat berlimpah, tanah di mana-mana dan saat pensiun bisa pelesiran mengelilingi dunia.

“Hhhhmm ... Boleh juga ...” Gumamku pelan sambil mengetuk-ngetuk stir mobil. Sekarang aku putuskan akan mencoba daftar menjadi anggota kepolisian. Aku akan menjadi polisi dengan caraku sendiri.

Singkat cerita, saat hari sudah gelap, aku sampai di rumah kakek. Aku duduk di depan kakek sambil menikmati teh panas dan goreng pisang panas. Aku ceritakan tentang perjalananku menemui Hendarto tadi sore. Kakek mendengarkan sambil manggut-manggut saja. Selanjutnya kami berbincang tentang kematian Tatang yang dianggap kakek terlalu janggal. Kakek merasa tidak percaya kalau Tatang mati terbunuh begitu saja karena secara kasat mata Tatang adalah orang kuat yang memiliki banyak pengawal.

“Kecurigaan kakek bertambah besar saat kakek melihat mayat korban ... Dari luka bacoknya, kakek tidak melihat ada perlawanan ... Bacokannya sangat mulus dan terlalu bersih ... Boleh jadi Tatang dibokong, tapi kemungkinannya sangatlah kecil karena Tatang selalu dikawal centeng-centengnya ...” Kakek mengungkapkan kecurigaan atas pembunuhan Tatang. Perlu diakui kalau mata polisinya masih sangat tajam.

“Aku gak sampai berpikir ke sana ... Kakek kok bisa memprediksi seperti itu ...” Kataku sembari mengambil gorengan pisang lalu meniup-niupnya supaya agak dingin.

“Karena pengalaman ... Karena pengalaman membuat kita menjadi tahu bagaimana menghadapi persoalan.” Jelas kakek lalu menghisap rokok nipahnya.

“Kek ... Aku mau daftar jadi polisi ...” Kataku datar tanpa ekspresi. Kakek menoleh padaku dengan wajah datarnya dan terlihat sebelah alisnya terangkat.

“Kamu sudah yakin mau jadi polisi?” Kini terdengar nada suara kakek yang berharap.

“Iya ... Aku yakin ... Aku ingin jadi polisi ... Seperti Pak Hendarto ...” Jawabku setengah bercanda. Aku ingin jadi polisi tetapi tidak ingin seperti kakek.

“Hhhmm ... Baguslah ... Kakek senang mendengarnya ... Tapi kakek mau ... Keinginanmu itu keluar dari lubuk hatimu yang paling murni ... Tidak ada tekanan atau paksaan dari siapa pun ... Itu benar-benar niat tulusmu ...” Kata kakek.

“Iya kek ... Aku memang sekarang baru kepikiran ... Kalau menjadi polisi adalah profesi mulia ...” Kataku sepertinya sangat ngasal, keluar begitu saja dari mulutku. Sebenarnya aku hanya sekedar ingin menyenangkan hati kakek saja.

“Bagus ... Bagus ...” Kakek tersenyum bahagia sambil menggut-manggut.

Obrolan berlanjut hingga kakek menceritakan pengalamannya semasa menjadi polisi sejak kakek menjadi bawahan sampai menjabat di posisi yang cukup tinggi di Mabes. Cerita yang paling berkesan saat kakek menangkap salah satu anak pejabat negara yang terlibat sindikat narkotika internasional. Walau banyak ancaman kakek tidak surut membongkar sindikat narkotika tersebut, sampai akhirnya semua yang terlibat berhasil dipenjarakan. Tak terasa, malam semakin larut, rasa kantuk mulai mendera. Aku dan kakek akhirnya masuk ke kamar masing-masing. Setelah merebahkan tubuh di atas kasur, aku pun mulai terlelap di tidurku.​

-----ooo-----

Dua Hari Kemudian ...

Waktu terus bergulir dan yang tersisa hanya cerita dalam setiap proses kejadian. Segala tindakan yang tidak direncanakan dengan matang, pasti menimbulkan bencana maupun penyesalan di kemudian hari. Itulah setidaknya yang dihadapi Dewi saat ini. Bagaimana pun polisi akan lebih handal mencari bukti. Dampaknya pastilah lambat laun kejahatannya akan terbongkar.

Seperti hari ini, pembongkaran makam Tatang rencananya dijadwalkan pada pukul 08.00 pagi. Namun jadwal pembongkaran makam tertunda karena hujan turun di sekitar TPU. Di lokasi pemakaman dipasang tirai berwarna merah di salah satu sisi makam. Pembongkaran dan otopsi dilakukan secara tertutup. Sementara keluarga besar Tatang menunggu di sisi luar tirai merah dan terlihat menangis. Pembongkaran makam Tatang baru dimulai pukul 10.00 dan otopsi langsung dilakukan di pemakaman. Saat proses pembongkaran makam yang dilakukan secara tertutup di dalam tirai merah, terlihat warga sekitar berdatangan di lokasi. Saat otopsi, dokter forensik dari kepolisian dan Rumah Sakit melakukan pemeriksaan luar dan dalam organ jenazah Tatang. Selain itu, dokter juga mengambil sampel organ untuk diperiksa lanjutan di laboratorium guna memastikan penyebab kematian.

Seperti biasa, aku menjadi sandaran Dinda yang saat ini turut menyaksikan pembongkaran makam ayah tirinya. Adikku menutupi matanya yang bengkak dengan kaca mata hitam dan berkali-kali mengusap lelehan air mata dengan tissue. Dari sekian banyak keluarga besar hanya Dewi yang tampak tegang. Wanita itu menangis namun kurasa tangisannya bukanlah tangisan kesedihan. Aku yakin Dewi menangis karena ketakutan. Ya, wanita itu merasa takut kalau aksinya diketahui pihak berwajib.

“Kenapa harus dibongkar? Kasian papah ... Hiks ...” Lirih Dinda sambil terus menyandarkan dirinya padaku.

“Biarkan saja polisi yang mengungkapnya ... Mudah-mudahan tidak terjadi apa-apa.” Aku coba menghibur Dinda. Mataku terus memperhatikan Dewi yang sedang sibuk dengan smartphone-nya.

Dewi ... Dewi ... Bodoh sekali dirimu ... Sebentar lagi kamu bakal masuk bui ... Tapi aku berharap kamu selamat ...” Kataku dalam hati menyesali perbuatan Dewi yang sangat bodoh menurutku.

Proses otopsi masih terus berlangsung, namun Dewi terlihat meninggalkan lokasi pemakaman. Aku sebenarnya ingin mengikutinya namun Dinda tak sedetik pun mau lepas dariku. Suasana di lokasi semakin ramai, antusias warga yang ingin melihat mencapai ratusan orang. Pada akhirnya, Dinda memintaku untuk mengantarkannya pulang. Aku pun berjalan sambil memapah Dinda keluar kompleks pemakaman. Dan baru kali ini aku merasakan repot mempunyai adik. Untung saja, di luar kompleks pemakaman aku bertemu salah seorang saudara yang mau mengantarkan Dinda pulang. Aku menghela nafas lega seperti terbebas dari tugas yang sangat berat. Melihat situasi yang semakin ramai, akhirnya aku memutuskan untuk pulang.

“Ta ...!” Suara panggilan sukses membuatku menahan langkah. Aku menoleh ke arah sumber suara dan ternyata teman SMA sedang tergopoh-gopoh berjalan ke arahku. Ridwan adalah teman sekolah yang kini tampak gagah dengan seragam dinas kepolisiannya.

“Edaaaannn ... Mantap pisan ...” Pujiku sesaat setelah aku berhadapan dengan polisi muda ini. Kujabat tangannya sangat erat. Tambahlah keinginanku untuk menjadi polisi saat melihat Ridwan yang begitu elegan dengan seragam kepolisiannya.

“Ha ha ha ... Kamu mah bisa aja ... Gimana kabarnya?” Tanya Ridwan dengan senyum lebarnya. Tangan kami masih saling berjabatan.

“Baik ... Sehat ... Maneh gagah pisan uy ...” Pujiku lagi sambil memperhatikan penampilan Ridwan dari ujung kaki sampai ujung kepala.

“Sudah ... Jangan memuji terus ... Aku ingin ngobrol ... Tuh ada pos kamling ...” Ajak Ridwan sembari berjalan duluan menuju pos kamling yang ia tunjuk. Aku pun mengikutinya karena seperti yang sangat penting.

“Aya naon? (Ada apa, red).” Tanyaku setelah duduk bersebelahan dengan polisi muda tersebut.

“Gini, Ta ... Bener kamu teh kakaknya si Dinda?” Tanya Ridwan dengan raut muka yang tampak menahan malu.

“Hhhhmm ... Kenapa? Kenapa maneh ujug-ujug nanyain dia?” Aku mencium gelagat kalau pemuda itu menyukai adikku.

“Nggak ... Aku hanya ingin tahu saja ...” Ujarnya sembari melirik sekilas padaku.

“Iya ... Dinda adalah adik sebapak tapi beda ibu ... Maneh suka ya sama si Dinda?” Langsung saja aku ‘todong’ dengan pertanyaan itu.

“He he he ... Syukurlah kalau kamu sudah tahu ...” Jawabnya sembari ngelemes dan tersenyum tipis.

“Ha ha ha ... Usaha sendiri atuh ... Jangan minta bantuan segala ... Tapi jangan sekarang, gak tepat waktunya ... Dia sedang gak mood nerima cowok ...” Kataku sambil menepuk-nepuk bahunya.

“Kamu gak keberatan kalau aku mendekati Dinda?” Tanyanya lagi dan kini matanya menatapku.

“Aku sebagai kakak gak bisa ngelarang atau nyodor-nyodorin cowok sama dia ... Kalau Dinda suka, aku mah tinggal dukung aja ... Tapi kalau Dinda merasa terganggu, baru aku turun tangan ...” Kataku sangat jelas.

“Kamu gak bisa bantu?” Wajah Ridwan berubah jadi memelas.

“Ha ha ha ... Malu atuh sama seragam ...!” Aku tepuk punggungnya sambil tertawa.

“Ah ... Gak ada hubungannya dengan seragam ... Ini masalah hati ...” Ridwan berkelid.

“Nunggu waktu yang tepat ... Sekarang keadaannya sangat tidak memungkinkan ... Nanti aku coba bicara dengan Dinda ... Tenang saja, aku bantu ...” Kataku.

“Nah gitu ...! Baru CS ...!” Ridwan tersenyum lebar.

Lalu kami pun larut dalam obrolan hangat. Obrolan yang saling menerima pendapat, kritikan, dan masukan, tanpa adanya ketegangan maupun pemaksaan. Dengan gaya bicaranya yang luwes dan meyakinkan, aku semakin kagum dengan sosok Ridwan saat ini. Cocoklah bila ia bisa bersanding dengan adikku. Tak terasa obrolan kami harus disudahi oleh waktu yang makin siang, kami pun bergegas meninggalkan pos kamling ini. Sementara Ridwan berbaur dengan rekan-rekan polisi yang lain, aku langsung saja pulang ke rumah kakek.​

----ooo----


Author Pov

Awan berbalut jingga, terik matahari perlahan menghangat seraya menuruni lengkung langit. Penuh dengan ketenangan yang menyiratkan waktu istirahat untuk para pekerja yang telah menunaikan tugas mereka masing-masing. Begitulah suasana sore hari sering terintepretasi dalam benak beberapa orang. Waktu untuk melepas lelah, waktu untuk berkumpul bersama keluarga, pasangan ataupun sahabat. Dan taman kota adalah satu dari beberapa tempat yang lumrah menjadi saksi waktu berkumpul dan merayakan hari yang telah terlewati. Hijaunya rumput, rindangnya pohon dan sejuknya air dalam kolam air mancur merupakan pemandangan yang melegakan dan menyejukkan hati. Banyak orang melepas jenuh dan mencari secercah kebahagiaan sederhana dengan berkunjung di taman kota pada sore hari.

Di sebuah bangku di bawah pohon kamboja, terlihat pula sepasang kekasih menghabiskan waktu sore bersama. Tatapan mata si wanita seakan tak ingin berpisah dari kekasihnya. Tangan sang pria menyulam lembut tangan sang wanita. Seakan kehidupan di luar bangku kayu yang mereka duduki berhenti untuk sekejap merayakan kebersamaan mereka, dimana mereka saling menyayangi namun cara yang ditunjukan kurang masuk akal. Ya, saling menyayangi tanpa menginginkan suatu ikatan.

“Tika ... Mas Hendarto sudah membeli rumah buat Tika ... Segeralah pindah dari rumah kontrakan dan kalau bisa segeralah keluar dari lingkungan Gang Buntu ...” Ucap seorang perwira polisi dengan sangat lembut penuh kasih sayang.

“Maaf mas ... Saya tidak akan keluar dari rumah kontrakan dan Gang Buntu, sebelum mas mengabulkan permintaan saya ...” Jawab si wanita yang dipanggil Tika oleh Hendarto.

“Masalah Dewi sudah pasti dipenjarakan ... Dia sebentar lagi akan menjadi Tersangka kasus pembunuhan suaminya ... Dewi sudah terperangkap permainan yang mas bikin ... Tinggal tunggu waktu saja ... Dewi akan masuk penjara dengan hukuman 20 tahun ...” Ungkap Hendarto penuh keyakinan.

“Kalau Kang Jaja bagaimana?” Tanya Tika ingin tahu nasib dari orang suruhannya.

“Dia pasti aman ... Sudah mas kondisikan kalau dia akan baik-baik saja ...” Jawab Hendarto sembari meremas jemari wanitanya. Jaja adalah ‘boneka’ yang sengaja disimpan oleh Hendarto untuk mempengaruhi Dewi agar mau membunuh Tatang.

“Ya, mas ... Saya tidak mau Kang Jaja dipenjara ...” Lirih Tika sembari meletakkan kepalanya di bahu Hendarto.

Kali ini Tika lumayan bisa bernafas lega karena dendamnya akan terbalaskan. Tika mempunyai kehidupan yang membuatnya terpuruk dan menderita. Ditambah lagi kehadiran seseorang yang membuat ia merasa tersingkirkan dan tak dianggap ada. Itu semua menjadikan ia menyimpan dendam. Dendamnya yang telah tersimpannya bertahun-tahun lamanya. Satu orang yang membuatnya menderita kini telah diambang kehancuran. Saatnya Tika berpikir untuk menghancurkan satu orang lagi yang paling ia benci.

“Tika ... Beberapa hari yang lalu anakmu datang ke rumahku ... Dia memberikan surat dari Pak Suminta untukku ... Tidakkah kamu ingin menemuinya?” Ucap Hendarto setengah berbisik.

“Fuufftt ... Aku memang merindukannya ... Saya ingin sekali melihat wajahnya ... Saya sampai lupa bagaimana wajahnya sekarang ... Tapi, anak itu sangat membenci saya ... Rasa bencinya begitu besar ... Sebesar kebencian kakeknya pada saya ...” Suara Tika sarat dengan kesedihan.

“Kalau tidak dimulai darimu ... Keadaan ini akan terus berlangsung ... Cobalah mengalah dan memberanikan diri ... Kalau Pak Suminta aku rasa sudah memaafkanmu ... Datanglah! Temui dia ...” Hendarto berkata setengah memaksa.

“Aku belum siap, mas ... Nanti saja kalau saya sudah siap ...” Tika kukuh dengan pendiriannya.

Hendarto dan Tika pun berdiam diri. Kini tangan Hendarto bergerak memeluk pinggang kekasih gelapnya. Keduanya telah menjalin asmara selama setahun namun menyadari kalau mereka tidak akan pernah bisa menyatu. Tika dan Hendarto memilih menjalin kasih dengan cara seperti ini walau demikian mereka merasa nyaman dengan hubungan yang tak masuk akal seperti ini.

Pada saat Tika mengetahui kalau Hendarto adalah seorang perwira polisi, Tika pun berkeluh kesah atas dendamnya kepada Dewi yang dianggapnya telah merusak kebahagiaan wanita itu. Rasa cinta yang mendalam membuat Hendarto mau menuruti permintaan Tika untuk membalaskan sakit hati wanita yang dicintainya itu. Dibuatlah skenario untuk ‘menjerumuskan’ Dewi. Skenario mulai dijalankan dengan ‘menyusupkan’ Jaja dalam kehidupan Dewi yang pada akhirnya Dewi terjerat dalam pelukan Jaja. Jaja pun terus menanamkan ismenya kepada Dewi untuk menguasai seluruh harta kekayaan Tatang. Dan akhirnya, Dewi termakan juga, lalu menyuap seorang miskin untuk membunuh Tatang, termasuk menyuap para pengawal Tatang agar memuluskan rencananya.

Tika yang bernama asli ‘Atikah’ mulai tersenyum senang. Betapa dendam itu sudah sangat lama dirawat, sehingga berkarat dan senantiasa dihidupkan agar dendam itu tidak pernah padam. Dan sakit hatinya sebentar lagi akan terbayar lunas dengan dipenjarakannya Dewi selama belasan tahun. Sakit hati yang ia simpan lama itu kini akan terbalaskan dengan bantuan Hendarto. Tika sangat menantikan detik-detik Dewi dipenjara. Dalam hatinya berjanji akan melihat saat Dewi masuk ke dalam bui.

Keduanya duduk di bangku taman, bergandeng tangan, bercerita tentang hidup, bertukar harap yang takkan redup, menghabiskan waktu, sore itu. Tika menyayangi Hendarto, dan Hendarto pun mencintai Tika. Namun pada saat ini, Tika mulai membuka hatinya pada pria lain. Tika mulai menyukai ‘Iwan’ karena pemuda itu sangat penuh perhatian padanya. Perhatiannya sebanding dengan perhatian yang diberikan Hendarto, tapi Iwan memiliki satu kelebihan dibanding Hendarto yaitu mampu memberinya kepuasan batin dalam bercinta. Entahlah, Tika merasakan sesuatu yang sangat menakjubkan saat dirinya ‘digagahi’ oleh pemuda itu.​

Bersambung

Sambungannya ada di sini ...
Alamak... incest dong denta. 🤣
Ternyata tika ini emak kandungnya.
 
PART 5


Denta Pov

Sore ini, hujan turun sangat deras hingga membasahi setiap lamunan. Terdengar suara gemuruh petir menggelegar bagai cambuk yang menghantam kuat menuju daratan. Dan, aku masih tetap memandangi langit gelap hingga pandangku menerobos jendela dan sampai pada kejauhan awan-awan yang entah kapan berhenti menebar tangis. Saat ini, aku berusaha memahami diriku sendiri yang terus digelayuti rasa bimbang. Aku bimbang akan nasib Dewi di kemudian hari. Entahlah, yang jelas saat ini serasa ada perasaan yang sangat kuat yang menyarankan aku untuk menyelamatkan Dewi.

Dengan payung aku menerobos hujan deras menuju mobilku yang terparkir di halaman rumah. Kubuka pintu mobil lalu masuk ke dalamnya. Menyalakan mesinnya agar panas. Kusandarkan punggungku ke jok mobil. Mendongak ke atas dengan mata terpejam. Diam-diam kuraba isi hatiku. Ternyata begitu susahnya menghapus Dewi dalam ingatan. Kuhela napas dalam-dalam dan rasanya masih sesak. Kuhembuskan lalu kuhela lagi dan rasanya masih sama. Akhirnya aku lebih memilih berangkat ke tempat yang bisa membuka kebimbangan hatiku.

Padahal dia itu penjahat ... Tapi kenapa aku sangat ingin menolongnya ...” Gumamku dalam hati. Benar-benar aku tidak mengerti dengan isi hatiku. Seolah ada kekuatan yang mendorongku untuk memastikan akan sebuah kebenaran. Betapa tidak, terbersit di pikiranku, jangan-jangan pria di restoran yang bersama Dewi tempo hari adalah biang keladinya.

Wiper terus bergoyang membasuh percikan hujan yang jatuh di kaca mobil. Mobil pun jalan perlahan karena jalanan desa yang lumayan parah tergenang air. Setengah jam lebih aku berkendaraan hingga akhirnya sampai di rumah bi Isah. Aku memutuskan ke rumah bibiku ini karena saran-sarannya terkadang masuk akal dan juga bi Isah terkenal sekali sebagai wanita biang gosip, mungkin akan banyak cerita yang bisa kujadikan referensi.

Ketika aku turun dari mobil dan mendapati bi Isah sedang berdiri di depan pintu rumah dengan rokok yang terselip di bibirnya. Hujan masih saja deras seperti dua jam yang lalu, seakan enggan untuk berhenti. Aku pun mengambil ancang-ancang untuk berlari menerobos hujan. Aku belari sekencang-kencangnya dan sampai juga di hadapan bi Isah.

“Mau ngajak bibi ngebaso?” Langsung saja keluar candaan bi Isah. Aku pun tersenyum sambil mengibas-ngibaskan air hujan yang melekat di rambut dan pakaianku.

“Kalau mau ... Nunggu hujan reda ...” Kataku santai.

“Masuk!” Kata bi Isah sembari masuk ke dalam rumahnya. Sementara aku mengikutinya dari belakang, sambil menimbang apa yang sebaiknya kulakukan atau kukatakan.

Setelah menutup pintu depan, aku menuju ruang tengah rumah. Dari balik pintu bagian tengah, terlihat ruangan seluas lebih kurang 3x3 meter, seorang wanita sedang duduk bersila di lantai beralaskan karpet. Posisi duduknya yang sembarangan kemudian ia betulkan, matanya memandangku tanpa berkedip. Aku pun sedikit terkesiap, tak menyangka akan bertemu lagi dengan wanita seusia bibiku di tempat ini.

“Nah ... Akhirnya ketangkep juga ... Aku sekarang bisa menghajarmu ...” Suara kesalnya kentara sekali dibuat-buat.

“He he he ... Masih dendam aja sama aku, bi ...?” Tanyaku bercanda sambil duduk di sebelahnya.

“Plaaakkk ...!” Ia memukul pahaku agak keras. Wanita itu bernama bi Rani yang dulu sering kuintip kalau sedang mandi di sungai dan aku sering sekali kepergok olehnya.

“Kamu ini suka ngintipin bibi mandi ... Kamu memang kurang ajar ...” Ujarnya sambil melotot namun tetap saja terlihat sedang berdrama.

“Ha ha ha ... Kan bukan aku saja yang ngintip ... Lagian, sukanya mandi di sungai tempat kami mancing ...” Sanggahku sambil tertawa.

“Hi hi hi ... Emang dia mah mesum, Ran ... Jangankan kamu, bibinya saja dia intipin ...” Sambung bi Isah yang sukses membuat pipiku memanas.

“Huh ... Dasar ... Mana ah! Bibi minta ganti rugi!” Kata bi Rani sembari membuka telapak tangannya seperti meminta sesuatu.

“Iya ... Nanti aku kasih ... Tapi sekarang aku ingin bicara dulu yang penting ... Aku ingin minta saran sama kalian ...” Kataku mulai serius. Kukeluarkan rokok dalam saku celana lalu membakarnya sebatang.

“Ran ... Bikin kopi ...” Ucap bi Isah kepada teman gosipnya. Bi Rani pun bangkit lalu bergerak ke dapur. “Kamu mau ngobrolin Tatang kan?” Tanya bi Isah seolah tahu isi kepalaku.

“Iya ...” Jawabku singkat lalu menghisap rokok dalam-dalam. Memang aku berinsiatif untuk mengajak bi Isah bicara tentang kematian Tatang, tetapi aku tidak tahu harus dimulai dari mana dulu.

“Si Tatang matinya memang dibunuh Kosim ... Tapi orang semacam Kosim gak bakalan ujug-ujug kalau gak ada sebab musababnya ... Lagi pula, si Kosim itu orangnya gak banyak tingkah, orangnya baik kok ... Ini pasti ada apa-apanya ...” Bi Isah mulai berprediksi. Aku merenung setelahnya, apakah aku langsung to the point saja pada bi Isah. “Hei ...! Malah ngelamun ...?!” Ujar bi Isah sambil menepuk pahaku.

“Em ... Gini bi ... Aku dapet informasi dari si Ridwan ... Si Ridwan polisi ...” Aku tahan ucapanku dan terlihat bi Isah menggut-manggut. Aku yakin bi Isah masih mengenal temanku yang satu itu. “Kata si Ridwan, kalau ibu Dewi terlibat dengan pembunuhan ini ...” Aku terpaksa berkata bohong untuk menghindari salah persepsi dan menyembunyikan pertemuanku dengan Kosim di penjara.

“Kita juga sudah menyangka ke situ ...” Tiba-tiba bi Rani datang dengan membawa baki berisi kopi tiga gelas. Ia pun meletakkan baki di tengah-tengah kami bertiga.

“Benar dugaan bibi juga ... Kalau Dewi terlibat pembunuhan suaminya ... Bibi dari dulu sudah melihat kalau Dewi hanya mengincar harta si Tatang saja ...” Jelas bi Isah sangat serius.

“Dewi itu gak mencintai suaminya ... Aku sering lihat kalau si Dewi sering jalan sama laki-laki lain ...” Sambung bi Rani mempertajam pernyataan bi Isah.

“Nah ... Apa bibi kenal dengan si laki-laki yang sering jalan sama ibu Dewi?” Tanyaku mulai antusias. Aku tatap wajah bi Rani lekat-lekat.

“Namanya Jaja ... Dia dulu pacar si Dewi waktu masih sekolah ... Si Jaja sekarang tinggal di kota kabupaten ...” Ungkap bi Rani yang pantas sekali kalau dijadikan informan polisi.

“Bibi tau alamat Jaja di kota kabupaten?” Tanyaku lagi.

“Em ... Tau persis sih nggak ... Tapi, menurut kabar rumahnya deket dengan Polres ...” Jawab bi Isah sambil mengerungkan dahinya.

“Ya, bisa jadi mereka berdua yang merencanakan pembunuhan ... Kedua orang itu pengen bersatu terus membunuh si Tatang deh ... Jadi alesannya karena cinta ... Hi hi hi ...” Kata bi Isah yang diakhiri dengan kekehannya.

Sangat beralasan apa yang dikemukakan bi Isah, bisa jadi karena cinta Dewi berani melakukan hal yang sangat bodoh itu. Kami pun terus berdiskusi tepatnya bergosip ria tentang kehidupan Dewi. Kepulan asap rokok dari kami bertiga membumbung tinggi ke udara terus menuntun arah obrolan tentang kasus pembunuhan Tatang. Ternyata gosip yang aku dengar benar-benar bermanfaat, setidaknya aku bisa lebih jelas melihat posisi Dewi dalam kasus ini.

Hujan pun reda, jam menunjukkan pukul 19.05 malam. Setelah ‘dipalak’ oleh kedua wanita itu, aku pun meninggalkan rumah bi Isah. Setelah lima belas menit berlalu, tibalah aku di jalanan becek yang dalam, jebakan bagi semua jenis kendaraan kecuali kapal terbang. Kendaraan melaju sangat pelan, dibutuhkan tingkat kesabaran sangat tinggi untuk melalui jalan ini. Akhirnya aku sampai di jalanan yang agak mulus dan melanjutkan perjalananku ke kota kabupaten.

Singkat cerita, aku sampai juga di rumah Dewi. Aku berjalan menuju pintu rumah megah itu. Tiba-tiba terlihat seseorang yang sepertinya sedang menunggu. Dia duduk di kursi teras rumah dengan raut muka penuh kegelisahan. Sorot matanya pun terlihat sayu menatapku yang baru saja datang. Wanita cantik itu menatapku, tak ada senyum juga sapaan. Dia tidak mengindahkan kedatanganku, matanya fokus menatap layar smartphone yang memantulkan cahaya membias di balik mata bening miliknya. Sejujurnya aku tak tahu harus bagaimana. Namun yang jelas aku merasa iba dan kasihan melihatnya.

“Angin malam tidak baik untuk kesehatan.” Aku mulai pembicaraan yang sepertinya akan sangat berat karena suasana hati lawan bicaraku sedang tak karuan. “Ada yang ingin aku bicarakan.” Akhirnya aku keluarkan kata-kata yang sukses membuat Dewi menoleh ke arahku sambil mengernyit, kedua alisnya hampir bertemu.

Aku pun duduk di kursi sebelah meja yang memisahkan antara kursinya dan kursiku. Aku coba merangkai kata dalam hati sebelum akhirnya aku benar-benar membuka obrolan yang sesungguhnya. Aku tarik nafas dulu biar sedikit relaks.

“Ibu ... Sebenarnya aku tahu apa yang sedang terjadi ... Aku tidak akan bertanya kenapa ibu melakukan itu ... Tapi, sebaiknya yang harus ibu lakukan saat ini adalah pergi sejauh mungkin dari sini karena polisi akan segera mengetahui perbuatan ibu ...” Tegasku dengan suara dibuat lembut. Seketika itu juga, aku bisa melihat kalau Dewi sangat terkejut.

“Ah ... Ka..kau ...” Dewi terperanjat hebat dan langsung membangunkan diri. “Ja..jadi ...” Ucapannya tidak tuntas. Nampak jelas sekali kalau ia sedang terkejut hebat terlihat pada ekspresi wajahnya kala itu. Dewi menatapku dengan berkaca-kaca seakan tidak percaya bahwa aku mengetahui perbuatannya.

“Ibu Dewi gak usah khawatir ... Aku akan diam ... Dan aku akan membantu ibu untuk menyelesaikan masalah ini ...” Ungkapku sejujur-jujurnya. Aku melihat sangat jelas ada keraguan di dalam gesturenya. “Percayalah padaku ... Aku akan membantu ibu ... Dan jangan pernah ragu padaku ...” Kataku lagi penuh penekanan.

“A..aku gak..***k tau ...” Ucapnya terbata-bata dan sangat terlihat jelas sekali kebingungan menyelimuti wajahnya yang ayu. Dewi duduk kembali di tempatnya. Badannya lemas seperti tidak ada tenaganya.

“Sekarang ... Ibu persiapkan saja baju dan barang-barang ... Ibu harus segera pergi dari sini ...” Pintaku sangat serius. “Ibu harus bergerak cepat sebelum polisi datang menjemput ibu.” Kataku lagi.

Dewi tertegun dalam diamnya malah sekarang bahunya sudah berguncang kecil dan terdengar isak tangisnya yang sangat pelan. Aku semakin kasihan melihatnya. Kuhampiri dia dan berdiri tepat di depannya. Dia menengadahkan wajahnya menatapku. Wajah penuh harap. Kuletakkan kedua tanganku di pundaknya.

“Carilah tempat persembunyian yang aman untuk sementara waktu.” Kataku lemah lembut berusaha agar Dewi mau mempercayaiku.

Matanya yang basah membesar saat aku mengucapkan kata-kata itu seolah tidak percaya dengan apa yang didengarnya. Aku mencoba memberikan sesuatu. Aku balas tatapannya dan aku kumpulkan sebanyak mungkin tekad yang kumampu. Ya, aku akan menolongnya dan membantu untuk menyelesaikan masalahnya.

“Cepatlah, sebelum semuanya terlambat ...” Kataku lagi sambil berlalu dari hadapan Dewi.

Aku berjalan menuju mobilku lalu meninggalkan rumah itu. Sebenarnya aku sangat bingung dengan tindakanku ini. Apakah ini benar atau salah, aku pun tak tahu. Namun yang jelas getaran naluriku seperti menyelinap ke dalam hati hingga ingin menyelamatkan Dewi. Aku akan coba membongkar kasus pembunuhan ini hingga jelas siapa ‘dalang’ sesungguhnya. Dengan kemampuanku menghipnotis, aku sedikit yakin akan bisa membuka tabir pembunuhan ini.

Malam terus merangkak naik dan jarum jam tak henti mengabari pergantian detik demi detik. Aku melintasi lagi jalanan yang tergenang air. Air meluap dari parit dan menggenangi badan jalan, tapi kondisinya masih aman untuk dilintasi. Percikan air masih bisa ditoleransi. Aku lihat jam di dashboard mobil yang menunjukkan pukul 20.20 malam. Kuputuskan kembali ke rumah kakek sambil memikirkan langkah-langkah yang akan aku lakukan untuk pengungkapan kasus pembunuhan Tatang.​

----ooo----

Pagi ini cuaca memang agak mendung tetapi seperti biasa di desa ini mendung belum tentu akan turun hujan. Air pancuran terasa dingin, lebih dingin dari biasanya dan badanku agak menggigil. Setelah selesai mandi dan berdandan, seperti biasa aku dan kakek melakukan ritual pagi di ruang depan. Berbincang-bincang sambil menikmati kopi dan rokok. Kebiasaan ini tidak bisa aku hindari dan bahkan menjadi kebutuhan dan wajib aku lakukan setiap hari.

Usai embun menghilang, matahari pun mulai meninggi. Aku bergegas pergi ke kota kabupaten. Sesekali aku pacu kendaraanku dengan kecepatan yang agak berlebihan menurutku. Dan satu jam berlalu aku pun sampai di rumah Tika. Sayang sekali, Tika tidak berada di rumahnya. Setelah bertanya pada tetangga sebelah, ternyata Tika sejak semalam pergi, dijemput oleh seorang pria. Sebenarnya ada sedikit perasaan kecewa ketika mengetahui hal tersebut, tetapi setelah aku pikir, tak ada alasan aku harus kecewa, toh Tika adalah wanita bebas.

Aku pun akhirnya meninggalkan rumah Tika dan berniat mengunjungi seorang teman lama yang menurut kabar telah sukses dan memiliki kehidupan super makmur. Nama teman lamaku ini adalah Irwan yang sejak dulu berada di ketiakku. Irwan selalu berlindung padaku jika dirinya mendapat masalah. Sungguh tidak menyangka kalau kini ia sekarang telah menjadi raja kaya. Kabar itu aku dapatkan dari Firman semalam dan memang Irwan sudah lama mencariku.

Kendaraanku meluncur agak kencang karena jalanan lumayan lengang. Setelah bertanya pada orang-orang di jalan, akhirnya aku sampai di sebuah rumah super megah. Rumah berlantai dua itu memiliki halaman seluas lapangan sepak bola, belum lagi halaman belakangnya yang ditanami pohon jati yang tak terhitung jumlahnya. Aku diantar oleh seorang security untuk menunggu di gazebo yang letaknya ada di halaman belakang rumah megah ini. Terdapat gazebo di tengah taman digunakan untuk bersantai dan menikmati udara segar taman.

“Denta ...” Suara Irwan terdengar dari arah belakang. Aku pun berbalik badan sambil tersenyum, menyambut temanku yang juga sedang tersenyum ramah padaku.

“Gila bener ...! Jadi juragan sekarang mah ...” Kataku seraya merangkulnya melepas rindu.

“He he he ... Sepertinya nasibku sedang beruntung ...” Jawabnya sembari menepuk-nepuk punggungku.

“Syukurlah ... Jadi ada yang bisa aku buat pegangan ... Ha ha ha ...” Kataku setengah bercanda yang diakhiri oleh tawa terbahak-bahak.

“Ha ha ha ... Buat kamu mah, aku gak keberatan ... Memang, aku ingin sekali mengajakmu bekerja bersamaku ...” Ungkap Irwan sambil mengurai pelukannya. “Kamu bisa kaya sepertiku kalau kamu mau kerja denganku.” Ucapnya lagi terdengar sangat bersungguh-sungguh.

“Wow ... benarkah?” Aku sangat antusias mendengar penuturan Irwan. Memang aku memiliki cita-cita menjadi orang kaya rasanya tawaran Irwan sangat masuk akal.

“Benar Ta ... Asal kamu mau ... Kamu akan menjadi orang kaya ... Lihat! Apa yang aku punya sekarang ...” Kata Irwan agak menyombongkan dirinya tapi wajar memang ia punya yang disombongkan.

Kami pun mulai berbincang-bincang ringan dan sesekali tertawa lepas saat mengingat masa masa sekolah dulu. Kami ngobrol seru sekali dan mulai membahas tentang pekerjaan yang tengah dijalani Irwan. Awalnya aku terkejut saat Irwan mengakui kalau dirinya berprofesi sebagai ‘penyelundup’ barang-barang mewah dengan cara pemalsuan surat-surat kepabeanan. Namun saat mendengar hasil yang akan didapat setelah pekerjaan selesai, aku pun menjadi tertarik juga.

“Kapan aku bisa mulai bekerja?” Tanyaku antusias.

“Minggu depan ada barang masuk ... Kamu nanti aku simpan di ujung paling depan ... Karena di pelabuhan banyak sekali kecoa-kecoanya ... Kalau bisa kamu halau kecoa-kecoa itu untuk menghemat biaya penurunan barang ...” Ujar Irwan tak kalah bersemangatnya denganku.

“Benar nih ... Aku akan dapet bayaran 200 juta?” Tanyaku agak kurang yakin.

“Serius ... Setelah pekerjaan selesai ... Aku bayar kontan ...” Jawab Irwan.

“Okay kalau begitu ... Minggu depan aku ikut ...” Kataku lagi.

Aku pun mendapat pengarahan dari Irwan tentang tata kerjaku nanti yang memakan waktu hampir dua jam. Aku rasa pekerjaan tersebut bisa aku lakukan, intinya aku hanya memastikan barang selundupan aman sampai keluar pelabuhan. Tentu aku sangat bersemangat karena aku akan mendapatkan bayaran yang sangat besar.

Akhirnya, aku berpamitan pada Irwan karena hari sudah siang. Setelah saling menukar nomor kontak, aku pun meninggalkan rumah super megah itu. Kupacu kendaraanku dengan kecepatan sedang, cenderung pelan. Aku tidak sedang terburu-buru, walaupun sudah lewat tengah siang. Aku masih ingin menikmati perjalanan ini. Dan tiba-tiba saja perutku terasa keroncongan, padahal tadi di rumah Irwan aku sudah menghabiskan beberapa potong roti. Segera aku tepikan kendaraanku dan aku berjalan ke warung bakso. Di dalam warung bakso aku melihat ada dua gadis berseragam SMA yang kesemuanya seperti mulai pasang aksi. Mereka menatapku dengan tatapan genitnya.

Sekilas aku tak bisa membedakan antara dua gadis remaja itu. Dua-duanya berwajah cantik, putih, dan mulus. Sungguh wajah yang enak dipandang. Selain itu keduanya juga punya tubuh mungil, dengan dada yang tidak begitu besar namun montok dan menantang yang mereka coba sembunyikan dibalik seragam SMU lengan panjang yang agak longgar dengan jilbab tipis yang tidak terlalu panjang namun cukup menutup buah dada mereka, lengkap dengan rok panjang abu-abunya.

Sungguh gadis-gadis berjilbab yang mungil dan sangat menggemaskan. Entah kenapa aku tak bisa melepaskan pandanganku dari wajah dan payudara kedua gadis berjilbab tersebut tanpa kusangka salah satu gadis itu melihatku, tampaknya dia tau kalau daritadi aku sedang menikmati tubuhnya, lalu dia tersenyum padaku.

“Hai ...” Sapaku pada mereka karena aku melihat kedua gadis ini bisa ‘diprospek’. Terlihat sekali jika gadis-gadis ini type gadis yang mencari kesenangan hidup dengan cara mudah.

“Hai akang ... Mau ditemenin gak?” Tanya seorang gadis yang memiliki tahi lalat di hidungnya.

“Em ... Boleh ... Kalian sudah makan?” Tanyaku sembari duduk di depan gadis yang menyapaku. Mereka sangat mudah akrab dengan orang yang belum dikenal seperti aku. Aku mulai berpikir sepertinya dua gadis ini bisa ‘kupakai’ hari ini.

“Baru minum aja ... Traktir kita-kita ya kang ...” Sahut si gadis bertahi lalat di hidung itu sambil mengusap lenganku mesra.

“Ya udah ... Tunggu sebentar ... Aku pesen dulu baksonya ...” Kataku lalu bergerak ke arah penjual bakso yang sedang mesem-mesem gak jelas.

“Tiga ya mas ... Jangan pake lama ...” Pintaku pada penjual bakso.

“Siap bos ... Oh, ya ... Minumnya apa?” Tanyanya sebelum aku pergi.

“Es teh manis saja ... Tiga ...” Kataku lagi.

“Siap ...” Jawabnya lagi sambil terus tersenyum gak jelas.

Aku kembali ke meja dan melanjutkan obrolan. Seperti biasa aku memperkenalkan diri dengan nama samaran andalanku ‘Iwan’. Imas adalah gadis bertahi lalat di hidung yang memang dialah yang banyak bicara dibanding temannya. Reni gadis imut berkerudung tapi senyuman dan tatapan genitnya sanggup membuatku horny. Terasa bagaimana kejantananku mulai menunjukkan reaksi. Mereka dengan segala gaya seksinya membuat kejantananku menggeliat. Lama kelamaan aku semakin yakin kalau kedua gadis ini adalah bisyar atau bispak. Aku tahu dari cara bicaranya yang vulgar dan hafal mati tempat-tempat privat beserta tarifnya. Selain itu, mereka tak sungkan-sungkan menceritakan cara-cara dan bagaimana agar setiap pada saat berhubungan intim tidak menyebabkan kehamilan. Ya, kini waktunya bersenang-senang walau harus mengeluarkan sedikit uang.

“Sekarang enaknya kita kemana?” Tanyaku untuk membuka jalan.

“Di atas ada taman wisata kang ... Enak tempatnya buat ngadem ...” Jawab Reni menunjuk tempat yang ia sukai.

“Buat ngedem atau buat gituan ... Hi hi hi ...” Kata Imas sangat kemayu sambil melirik temannya yang juga langsung tersenyum genit.

“Ya dua-duanya ... Hi hi hi ...” Sambut Reni sambil mengulum senyumnya. “Tapi kalau mau gituan kan ... Harus ada itunya ...” Lanjut Reni yang kini melirik padaku dan untungnya aku langsung menangkap maksud gadis berkerudung itu.

“Sebutkan saja ... Berapa?” Tanyaku langsung pada sasaran. Mereka ternyata meminta sejumlah uang dan persyaratan.

“Akang mau pake kita berdua?” Bisik Imas sambil mencondongkan tubuhnya.

“Iya ... Kalian berdua ...” Tegasku sambil menganggukan kepala.

“Dua juta untuk berdua ...” Kata Imas yang agak membuatku terkejut. Harga mereka mahal juga tapi tak apalah yang penting aku bisa ‘ngasah pedangku’.

“Oke ... Sekarang kita ke lokasi ...” Kataku sambil berdiri lalu membayar makanan yang telah kami habiskan.

Tak lama, kami pun bergerak ke lokasi taman wisata yang sebenarnya aku juga pernah ke sana. Sebuah hutan lindung yang menyediakan wisata air terjun dan tempat perkemahan, serta banyak villa-villa untuk penginapan. Jarak dari kota kabupaten ke lokasi hanya satu jam lebih. Kami akhirnya mencapai jalan yang terus menanjak dan meliak-liuk. Di sepanjang perjalanan kami bisa menyaksikan pemandangan yang begitu mempesona dari dalam mobil. Setelah satu jam berkendaraan, kami pun sampai di lokasi wisata alam ini.

Aku masuki gedung loket tempat penyewaan villa. Sayang, villa tidak bisa disewa hanya 12 jam harus full satu hari. Tapi tak apa, harga sewa villa tak terlalu mahal dan masih bisa dijangkau olehku. Setelah selesai melakukan transaksi, aku dan kedua gadis itu langsung menuju villa yang aku sewa. Villa terdiri atas ruang depan dan dua kamar tidur dengan kamar mandi pribadi di setiap kamar. Satu dapur kecil dengan tempat makan. Villa ini memang sangat cocok buat yang ingin berlibur sekaligus menenangkan diri.

“Kamu sering ke sini ya?” Tanyaku pada kedua gadis itu setelah memasuki villa yang aku sewa. Aku pun duduk di sofa panjang yang ada di ruang depan villa.

“Hi hi hi ... Si Reni tuh yang paling sering ke sini ...” Imbuh Reni sembari cekikikan.

“Ah ... Kamu juga ... Aku tau tempat ini kan dari kamu ...” Sanggah Reni sambil cemberut.

“He he he ... Sudah ah ... Kalau umur kamu berapa?” Tanyaku pada Imas yang baru saja duduk di sampingku.

“Em ... 19 tahun bulan depan kang ... Kalau Kang Iwan, berapa?” Imas balik bertanya padaku.

“Dua tiga mau dua empat ... Kalau kamu Ren ...?” Tanyaku pada Reni sambil menarik tangannya agar duduk di sebelahku. Kini aku diapit dua gadis bisyar itu.

“Aku 18 tahun kang ... Emang kenapa sih nanya-nanya umur segala ...?” Tanya reni agak menaikan nada suaranya.

“Enggak ... Enggak apa-apa ... Pengen tau aja ...” Jawabku sambil tersenyum. Benar-benar aku sangat bersemangat dengan dua gadis ini. Tanganku melingkar di bahu keduanya membuat kepala kami saling berdekatan.

“Ih kang?!” Tiba-tiba Reni memekik.

“Ada apa?” Tanyaku heran dan kaget mendengar pekikan Reni.

“Ini kenapa?” Tanyanya sembari meraih benda keras di selangkanganku. Penisku memang sudah terasa panas dan tegang sekali.

“He he he ... Udah gak sabar ...” Candaku seraya kedua telapak tanganku mulai menyentuh buah dada kedua gadis ini. Terasa sekali masih kenyal dan padat, aku remas pelan buah dada mereka.

“Hi hi hi ... Aku juga kang ... Udah pengen ...” Ujar Reni tanpa malu-malu.

Imas menggerakkan jari lentiknya membuka resleting celana panjangku. Dengan sedikit mengangkat pantat, celanaku tertanggal dari tempatnya. Tangan Imas pun mulai berani mengelus-elus penisku dari luar celana dalamku. Namun itu tak berlangsung lama, karena Reni memaksa membuka celana dalamku hingga ‘burungku’ terlepas dari sarangnya.

“Wow ... Panjang sekali ...!” Pekik Imas yang telah menggenggam penisku. Aku pun tersenyum melihat kekagetan Imas dan Reni.

Tak lama kemudian, Imas mendekatkan bibirnya ke kepala penisku, menjulurkan lidahnya untuk menjilat. Perlahan-lahan, ia menjilati kepala penisku. Ia menjilati batang penisku dengan bersemangat. Sementara itu, aku sudah berciuman dengan Reni sambil mempermainkan bongkahan buah dadanya. Lidah kami saling melilit di dalam mulutnya dan tanganku merasakan kekenyalan bukit kembarnya. Permainan cinta ini diawali dengan foreplay sebagai ‘sajian pembuka’ untuk memancing gairah masing-masing.

“Buka baju kalian ...!” Pintaku sambil menahan nikmat.

Akhirnya kedua gadis itu membalikkan badan membelakangiku sambil melepas pakaiannya. Kulihat punggung mereka yang mulus dengan hiasan bra, body mereka sungguh menggetarkan tanpa timbunan lemak di perut, ketika melihat bokong mereka, aku makin kagum dengan ke-sexy-annya, pantat mereka padat membentuk body seperti gitar spanyol nan indah.

Darahku berdesir makin kencang saat Reni membalikkan badannya menghadapku, buah dadanya yang sungguh montok indah nian terbungkus bra satin, kaki bukitnya menonjol seakan ingin berontak dari kungkungannya, kaki Reni yang putih mulus berhias celana dalam krem mini di selangkangannya menutupi bagian indah kewanitaannya. Reni menyilangkan tangannya di dadanya seakan menutupi tubuhnya dari sorotan mata nakalku.

"Alaaaa ... Sok suci kamu ... Lepas aja BH-mu sekalian ..." Imas menggoda temannya yang memang Imas telah telanjang sepenuhnya. Tetapi kali ini Reni tak menurutinya, dengan masih memakai bikini dia ikutan Imas mengeroyok selangkanganku, tangannya berebut dengan Imas mengocokku, kutarik tubuh Imas untuk duduk di sampingku, aku ingin melihat saat Reni menjilat dan mengulum penisku tanpa gangguan Imas.

Mula mula agak ragu Reni menjilati kepala penisku tapi akhirnya dengan penuh gairah lidahnya menyusuri seluruh bagian kejantananku sebelum akhirnya memasukkan ke mulutnya yang mungil. Aku mendesis penuh kenikmatan saat penisku menerobos bibir dan mulut Reni. Sungguh kenikmatan yang tak pernah terbayangkan sebelumnya, kenikmatan yang bercampur dengan sensasi yang hebat. Penisku makin cepat meluncur keluar masuk mulut Reni. Diluar dugaanku ternyata Reni sangat mahir bermain oral, jauh lebih mahir dibandingkan Imas, sepertinya dia lebih berpengalaman dari sobatnya. Lidah Reni menari-nari di kepala penisku saat berada di mulutnya, sungguh ketrampilan yang hanya dimiliki mereka yang sudah terbiasa, aku harus jujur kalau permainan oralnya sangat luar biasa. Begitu penuh gairah Reni memainkan penisku membuatku terhanyut dalam lautan kenikmatan, kepalanya bergerak liar turun naik di selangkanganku. Aku mendesah makin lepas dalam nikmat.

Imas kembali ke selangkanganku, kini kedua gadis bergantian memasukkan penisku ke mulutnya diselingi permainan dua lidah yang menyusuri kejantananku secara bersamaan, aku melayang makin tinggi. Tak lama berselang Imas sudah ingin melakukan permainan yang sesungguhnya dan menyuruh Reni berhenti. Imas memasang kondom yang entah darimana asalnya, dikulumnya sebentar penisku yang terbungkus kondom lalu dia naik ke pangkuanku, menyapukan ke memeknya dan melesaklah penisku menerobos liang kenikmatannya saat dia menurunkan badan. Kejantananku perlahan tapi pasti ambles semuanya. 15 cm dengan kepala seperti jamur yang melebar sudah terbenam sepenuhnya. Aku merasakan memek Imas hangat dan licin.

"Aduuhh ... Ssshh ... Gila Ren ... Enak ... Penuh rasanya ..." Komentar Imas setelah penisku tertanam semua di liang memeknya.

Reni duduk di sebelahku melihat sahabatnya merasakan kenikmatan bercinta. Pinggul Imas dirapatkan ke pahaku, kali ini tubuhnya bergerak ke depan dan merangkul tubuhku. Matanya kini terpejam dan dia sekarang menggerakkan badan bagian bawahnya secara ritmis. Naik dan turun terus menerus dengan gerakan cepat. Buah dadanya yang montok tampak menggeletar dan terlempar kesana kemari saat tubuhnya bergerak naik turun. Imas pun mulai mendesah-desah keenakan.

Ketika desahan Imas makin liar aku tak tahan lagi, kuraih kepala Reni dalam rangkulanku dan kucium bibirnya. Ada perasaan aneh ketika bibirku menyentuh bibirnya, perasaan yang tidak pernah kujumpai ketika berciuman dengan wanita manapun. Setelah sesaat berciuman agak canggung, akhirnya kami mulai menyesuaikan diri, saling melumat dan bermain lidah, jauh lebih bergairah dibanding dengan Imas atau lainnya, kami seolah sepasang kekasih yang sudah lama tidak bertemu. Kocokan Imas makin liar tetapi lumatan bibir lembut Reni tak kalah nikmatnya.

Agak gemetar tanganku ketika mulai mengelus punggung telanjang Reni, dengan susah payah, meskipun biasanya cukup dengan tiga jari, aku berhasil melepas kaitan bra yang ada di punggung. Masih tetap berciuman kulepas bra-nya, tanganku masih gemetar ketika menyusuri bukit di dada Reni, begitu kenyal dan padat berisi, kuhentikan ciumanku untuk melihat keindahan buah dadanya, jantungku seakan berdetak tiga kali lebih cepat melihat betapa indah dan menantang kedua bukitnya yang berhiaskan puting kecoklatan di puncaknya. Desah kenikmatan Imas sudah tak kuperhatikan lagi, kuusap dan kuremas dengan lembut, kurasakan kenikmatan kelembutan kulit dan kekenyalannya, gemas aku dibuatnya. Reni menyodorkan buah dadanya ke mukaku, langsung kusambut dengan jilatan lidah di putingnya dan dilanjutkan dengan sedotan ringan, dia menggelinjang meremas rambutku.

“Kang pindah yuk ke ranjang ...!” Pinta Imas sambil melepaskan penyatuan tubuh kami. Imas langsung menarikku ke dalam kamar sementara tanganku menarik Reni.

Lalu kami pindah ke ranjang, Imas nungging mengambil mengambil posisi doggie, langsung kukocok dia dari belakang sambil memeluk tubuh sexy Reni. Kukulum puting kecoklatannya untuk kesekian kalinya bergantian dari satu puncak ke puncak lainnya. Reni mendesis nikmat, inilah pertama kali kudengar desahan nikmat langsung darinya, begitu merangsang dan penuh gairah di telinga. Tanpa kusadari, ternyata Reni sudah melepas celana dalamnya, aku kembali terkesima untuk kesekian kalinya, selangkangannya yang indah berhias bulu kemaluan yang sangat tipis, bahkan nyaris tak ada, sungguh indah dilihat.

Sambil terus menggenjot memek Imas, tangan kananku mulai membelai memek Reni. Reni menjerit tertahan saat kucoba memasukkan jari tengahku ke dalam dirinya, terasa begitu hangat dan lembab. Kocokan keluar masuk tanganku semakin membuat Reni kelojotan tak tentu arah, Reni mulai menggerakkan pinggulnya yang tadi hanya diam karena itu aku yakin Reni dalam keadaan sangat terangsang.

Aku pun segera mencabut penisku dari dalam memek Imas, lalu tidur terlentang diantara kedua gadis cantik ini dengan penis yang masih tegak tegang menantang. Imas kembali bergoyang pinggul di atasku. Reni kuberi isyarat untuk naik ke kepalaku, dia langsung mengerti, kakinya dibuka lebar di depan mukaku, terlihat dengan jelas memeknya yang masih kemerahan seperti daging segar, kepalaku langsung terbenam di selangkangannya, lidahku menyusuri bibir dan klitorisnya sambil meremas pantatnya yang padat. Desahan Reni bersahutan dengan Imas. Kedua gadis ini menggoyangkan pinggulnya di atasku, memek Reni menyapu seluruh wajahku. Reni mendesah keras dan tubuhnya menegang ketika kusedot memeknya, hampir dia menduduki wajahku.

Beberapa menit berselang, Imas minta bertukar tempat, rupanya dia ingin mendapatkan kenikmatan seperti yang aku berikan kepada Reni. Kini memek Imas yang basah tepat di atas mukaku, sementara Reni melepas kondom yang membalut penisku, membersihkan sisa cairan dari memek Imas dengan selimut lalu mulai menjilatinya. Rasa asin dari memek Imas tak kuperhatikan, cairannya menyapu mukaku, sementara kemaluanku sudah mengisi rongga mulut Reni dengan cepatnya. Aku begitu asyik menikmati memek Imas dengan lidahku, tanpa kusadari Reni sudah mengambil posisi untuk memasukkan penisku ke memeknya. Aku baru tersadar ketika Reni sudah naik di atas tubuhku dan menyapukan penisku ke bibir memeknya.

Bleesss ...!

Aku terbelalak hebat merasakan penisku seperti dicengkram dan dihisap sangat kencang. Jilatanku di memek Imas pun terhenti saking merasakan jepitan memek Reni. Reni mulai menggerakan pinggulnya dan luar biasa memeknya terasa menggigit dengan lembut. Rasa kewanitaan milik Reni sungguh membuatku mabuk kepayang.

Akhirnya kuputuskan untuk mengakhiri Imas terlebih dahulu. Kusibakkan bibir memek yang menutupi liang memek indahnya, terlihatlah lorong sempit memerah yang basah berlendir. Lidahku terjulur untuk mengkait-kait lorong itu. Badan Imas semakin bergetar dan erangannya sudah berganti menjadi jeritan-jeritan tertahan. Jempol tangan kananku tak diam, kugunakan untuk menekan dan memutar-mutar klentitnya yang semakin menonjol keras. Gerakannya sudah semakin menggila sudah tak malu-malu lagi menekan-nekan selangkangannya agar lebih dalam memasukkan lidahku ke dalam liang memeknya yang kurasakan semakin berkedut.

“Aahh … Aahhh … Ouh …. Kang …. Terusssss … Ouh …” Jeritan Imas semakin keras, pantatnya semakin maju menekan wajahku. Akhirnya dengan tak sabar kedua kakinya menjepit kepalaku dengan keras sambil melonjak-lonjak tak karuan dan menjerit-jerit menjemput nikmat yang bertubi-tubi datang padanya hingga akhirnya Imas menjerit panjang.

“Aaaaaaahhhhh …………” Badannya melenting, pantatnya lebih ditekan dan tangannya mencengkram kaku di lenganku serta kakinya semakin keras menjepitku. Lalu beberapa detik kemudian pantatnya berkedut-kedut dan liang memeknya berkontraksi sangat hebat dan melamuri lidahku dengan cairan kenikmatan. Dan setelah itu badannya terhempas ke kasur.

Kini aku bisa bebas ‘mengerjai’ memek nikmat milik Reni. Kuraih buah dada montok Reni dan kuremas-remas gemas penuh nafsu. Kutarik Reni dalam pelukanku, kukocok penisku dari bawah, desahannya begitu bergairah di telingaku. Merasa kurang nyaman, akhirnya kami bergulingan, kini aku di atasnya, kunikmati ekspresi kenikmatan wajah cantiknya yang sedang dilanda birahi tinggi. Jepitan memeknya sangat ketat seolah tidak mengijinkan penisku masuk lebih dalam.

“Sempit sekali ...” Kataku tak tahan rasa nikmatnya.

Kuhentikan tekananku agar memek Reni menyesuaikan dengan ukuran penisku. Kulumat lagi bibirnya yang mendesah-desah. Dia mengangkat kakinya dan menempatkannya di atas pantatku. Dia tekan pantatku yang semakin memperdalam masuknya penisku ke memeknya. Memek Reni mengempot seperti menyedot penisku. Tak sabar menerima sensasi itu akhirnya kutekan pantatku sampai masuk semua batang penisku. Kuputar-putar pantatku yang membuat penisku memutar di dalam memeknya dan tekananku tetap kuat walau sudah amblas semuanya ditelan memeknya. Rupanya penisku menabrak semua urat syaraf yang ada di liang memeknya yang membuat Reni kenikmatan.

“Enak banget Kang ... Aaaahhh ...” Ucapnya sambil mengerang.

Aku merasakan kenikmatan luar biasa, cengkraman lorong nikmat milik Reni semakin ketat saja. Mulai kuayun pantatku hingga penisku menusuk-nusuk memeknya. Seperti piston begitu penisku keluar masuk memeknya sambil mengeluarkan suara berdecak-decak membuat badannya terlonjak-lonjak di tempat tidur. Kedua tangannya mencengkram kasur dan dia berusaha menegakkan kepalanya melihat keluar masuknya penisku di memeknya.

Aku bangkit dari posisi tertelengkup. Kini aku berjongkok di antara paha Reni. Kuangkat kedua kaki Reni ke pundakku, dengan meremas kedua buah dadanya sebagai pegangan aku mengocoknya keras dan cepat. Reni menjerit keras antara sakit dan nikmat, kepala penisku serasa menyentuh dinding terdalam dari memeknya. Tangannya mencengkeram erat lenganku, matanya melotot ke arahku seakan tak percaya aku melakukan ini padanya, tapi sorot matanya justru menambah tinggi nafsuku, dia kelihatan makin cantik dengan wajah yang bersemu merah terbakar nafsu, lebih menggairahkan dan menggoda, makin dia melotot makin cepat kocokanku, makin keras pula jerit dan desah kenikmatannya. Dan tak lama kemudian dia sampai pada puncak kenikmatan tertinggi.

“Aaaaaccchhh ....” Reni mendesis indah, dan dengan diiringi jeritan kenikmatan panjang dia menggoyang goyangkan kepalanya, cengkeraman di lenganku makin erat, tubuhnya menegang, dia telah mencapai orgasme lebih dulu, kunikmati saat saat orgasme yang dialami Reni. Tubuh Reni perlahan mulai melemah, kuturunkan kakinya dari pundakku lalu kukecup bibir dan keningnya.

“Kang ...” Sebuah suara membuatku menoleh.

Imas yang berada di sampingku sudah bersiap menerimaku, posisi menungging dengan kaki dibuka lebar. Penisku yang masih tegang siap untuk masuk ke memek lainnya. Rupanya Imas tak pernah melupakan pengamannya, dia memberiku kondom sebelum penisku sempat menyentuh bibir memeknya. Sementara Reni tak peduli dengan hal itu, aku tak khawatir karena memang tidak berniat memuntahkan spermaku di memeknya. Reni memasangkan kondom di penisku dan kembali untuk kesekian kalinya penisku menguak celah sempit di antara kaki Imas.

Kupegangi pantat Imas yang padat berisi, kocokanku langsung cepat. Desahan Imas begitu juga makin keras terdengar, kuraih buah dadanya yang menggantung dan kuremas sambil tetap mengocoknya. Terus terang setelah merasakan nikmatnya bercinta dengan Reni, terasa Imas begitu hambar, padahal saat pertama tadi dia begitu menggairahkan, kini aku hanya berusaha untuk memuaskan dia dan secepat mungkin mencapai orgasme dengannya supaya berikutnya aku bisa lebih ‘all out’ dengan Reni.

Kocokan kerasku membawa Imas lebih cepat ke puncak kenikmatan, tangan Imas dan Reni saling meremas, teriakan orgasme Imas mengagetkanku, apalagi diiringi dengan denyutan dan remasan kuat dari memeknya, penisku seperti diremas-remas. Akhirnya aku pun harus takluk pada kenikmatan cengkeraman memek Imas, menyemprotlah spermaku di dalam memeknya. Kembali dia menjerit merasakan denyut kenikmatan penisku, kami saling memberi denyutan nikmat. Tubuhku langsung ambruk di atas punggung Imas. Beberapa saat kemudian, kami bertiga telentang dalam kenangan dan kenikmatan indah. Aku telentang di antara dua gadis cantik yang menggairahkan.

“Kayaknya akang masih penasaran sama Reni ...” Kata Imas seraya bangkit dan turun tempat tidur. “Hajar kang sampai memeknya melar ... Hi hi hi ...” Lanjut Reni lalu keluar kamar.

“Akang masih mau?” Tanya Reni sambil mempermainkan kejantananku yang mulai mengeras.

“Bener kata Imas ... Akang masih pengen ngerasain memekmu ...” Bisikku dan disambut senyuman Reni.

Aku berdiri, kusodorkan penisku ke mulutnya, dia menggenggam dan mengocoknya, memandang ke arahku sejenak sebelum menjilati dan memasukkan penisku ke mulutnya. Tanpa kesulitan, segera penisku meluncur keluar masuk mulut mungilnya, kembali kurasakan begitu pintar dia memainkan lidahnya. Antara jilatan, kuluman dan kocokan membuatku mulai melayang tinggi. Puas dengan permainan oralnya, aku rebahkan Reni di atas kasur lalu jongkok di antara kedua pahanya, aku pun menyapukan penisku ke memeknya. Reni menatapku dengan pandangan penuh gairah. Dengan sekali dorong melesaklah penisku kembali ke memeknya yang ketat, dia masih tetap menatapku ketika aku mulai mengocoknya. Reni mendesah liar seperti sebelumnya, kakinya mengangkang lebar. Aku tak pernah bosan menikmati ekspresi wajah innocent yang memerah penuh birahi, makin menggemaskan. Buah dadanya bergoyang keras ketika aku mengocoknya, dia memegangi dan meremasnya sendiri.

Kuputar tubuhnya untuk posisi doggie, dia tersenyum, tanpa membuang waktu kulesakkan penisku dari belakang, dia menjerit dan mendorong tubuhku menjauh, kuhentikan gerakanku sejenak lalu mengocoknya perlahan, tak ada penolakan. Kupegang pantatnya yang padat berisi, Reni melawan gerakan kocokanku, kami saling mengocok, dia begitu mahir mempermainkan lawan bercintanya. Aku bisa melihat penisku keluar masuk memek gadis itu. Kupermainkan jari tanganku di lubang anusnya, dia menggeliat kegelian sambil menoleh ke arahku. Kuraih buah dadanya yang menggantung dan bergoyang indah, kuremas dengan gemas dan kupermainkan putingnya. Aku sepertinya benar-benar menikmati tubuh indah Reni dengan berbagai caraku sendiri. Kuraih tangannya dan kutarik kebelakang, dengan tangannya tertahan tanganku, tubuh Reni menggantung, aku lebih bebas melesakkan penisku sedalam mungkin. Desah kenikmatan Reni mekin keras memenuhi kamar ini. Kudekap tubuhnya dari belakang, kuremas kembali buah dadanya, penisku masih menancap di memeknya, kuciumi telinga dan tengkuknya, geliat nikmat Reni makin liar.

“Ooohh ... Aaahhh ... Kaangghh ...!” Erang nikmatnya tak henti-henti.

Kulepaskan tubuh Reni, kami terus bercinta dengan doggie style. Tak terasa lebih setengah jam kami bercinta dan mulai ada tanda-tanda orgasme diantara kami. Kami saling bergoyang pinggul, saling memberi kenikmatan sementara tanganku menggerayangi dan meremas buah dadanya. Nikmat sekali goyangan Reni, lebih nikmat dari sebelumnya, berulang kali dia menoleh memandangku dengan sorot mata penuh kepuasan. Penisku melesak-lesak makin kuat dan dalam. Kocokanku makin keras, sekeras desah kenikmatannya. Kubalikkan tubuhnya, dia telentang di atas kasur, kunaikkan satu kakinya di pundakku, kukocok dengan cepat dan sedalam mungkin.

“Kaaanngghh .. Aaaaaccchhh ...!” Reni memekik panjang.

Ternyata Reni sudah orgasme duluan. Aku semakin cepat mengocoknya, tak kuhiraukan teriakan orgasme Reni, makin keras teriakannya makin membuatku bernafsu. Semenit kemudian aku menyusulnya ke puncak kenikmatan, kembali dia berteriak keras ketika penisku berdenyut menyemprotkan sperma di memeknya. Aku telah membasahi memek dan rahim Reni dengan spermaku, dia menahanku ketika kucoba menarik keluar.

“Haduh ... Aku keluar di dalam ...” Kataku sambil ngos-ngosan.

“Gak apa-apa kang ... Aku bawa pil KB kok ...” Ucapnya membuatku lega.

Kami pun berciuman sejenak sebelum turun dari tempat tidur. Imas ternyata sudah mandi duluan dan sudah rapi dengan seragam SMU-nya. Aku dan Reni pun mandi bareng dan sempat melakukan persetubuhan sekali lagi di kamar mandi. Kami tak hiraukan Imas yang menggedor-gedor pintu kamar mandi karena kesal lama menunggu. Baru setelah selesai mandi, kami bertiga meninggalkan villa menuju kota kabupaten kembali. Sepanjang jalan kami bercanda dan tertawa-tawa hingga satu jam tak terasa. Kami pun akhirnya sampai di sebuah gang di mana rumah Imas berada.

“Makasih ya kang atas uangnya ... Hi hi hi ...” Kata Imas sambil turun dari mobilku. “Kalau mau gituan lagi, telpon Imas ya ...” Lanjutnya sangat genit.

“Sip ...” Kataku seraya mengacungkan jempol. “Sekarang di mana rumahmu?” Tanyaku pada Reni yang sedari tadi duduk di jok sampingku.

“Sebenarnya aku gak ingin pulang ...” Katanya terdengar seperti sedang kesal.

“Loh ... Kenapa?” Tanyaku heran.

“Aku gak mau ketemu ibuku ...!” Nada suara Reni semakin terdengar sangat kesal. “Males ketemu dia ... Kerjaannya ngomel-ngomel melulu ...” Lanjut Reni masih dengan kesalnya.

“He he he ... Kalau orangtua ngomel-ngomel seperti itu ... Tutup mulutnya dengan uang ...” Candaku sambil tersenyum.

“Emang ... Tapi sayang ah ...” Ucap Reni sembari mendelik dan cemberut.

“Ha ha ha ....” Aku terbahak-bahak mendengar pengakuan Reni.

Mobil terus melaju dengan kecepatan yang agak berkurang dari sebelumnya, menerobos jalanan yang agak macet sementara hari mulai gelap. Beberapa menit berselang, aku sampai di sebuah kompleks perumahan. Tak lama, aku disuruh berhenti di depan sebuah rumah sederhana. Seorang perempuan berdiri di teras rumahnya, sepertinya sedang menunggu seseorang. Tadinya aku akan langsung meninggalkan Reni, namun aku putuskan untuk bicara terlebih dahulu dengan wanita itu agar Reni terhindar dari omelannya. Aku dan Reni berjalan mendekati si wanita yang memang sedang menekuk wajahnya.

“Maaf tante ... Maaf sekali lagi ... Reni saya bawa dulu untuk bantu-bantu di perusahaan saya.” Terpaksa aku membuat berharap muka si wanita berubah cerah. Dan ternyata usahaku membuahkan hasil. Tiba-tiba wajah wanita itu menjadi sumringah.

“Oh ... Begitu ya ... Iya, gak apa-apa, kang ... Malah saya yang berterima kasih mau ngajak Reni bekerja ...” Sahut si wanita itu yang memang ibunda Reni.

“Sama-sama tante ... Kalau begitu saya pamit dulu ...” Kataku sambil melirik Reni yang sedang senyam-senyum gak jelas dan menatapku.

“Eh ... Mampir dulu atuh ... Ngopi dulu di rumah tante ... Ayo ...!” Ajak si wanita yang menurutku cukup cantik ini.

“Iya kang ... Mampir dulu ...” Reni mendekatiku lalu menarik tanganku. Terpaksa aku mengikuti langkah Reni memasuki rumahnya.

“Silahkan duduk ...!” Kata ibunya Reni sesaat setelah aku berada di ruang tamu.

“Terima kasih ...” Jawabku sambil duduk di sofa berwarna merah.

“Tante bikinin minum dulu ya ...” Kata ibunya Reni sembari tergopoh-gopoh ke ruang belakang rumahnya. Dan aku hanya tersenyum saja.

“Hi hi hi ... Si akang bisa aja ...” Bisik Reni sambil cekikikan kecil.

“Biar ibumu gak marah-marah ... Dan mudah-mudahan jadi baik sama kamu selamanya ... Dikiranya kamu bekerja ... Setuju gak?” Balas bisikku.

“Mantap kang ... Hi hi hi ...” Reni terlihat senang dengan usahaku.

Beberapa menit berselang ibunya Reni datang dengan membawa baki berisi segelas kopi dan makanan ringan. Wanita itu meletakkan bawaannya di atas meja. Wanita itu mengenakan blouse longgar berwarna jingga dengan satu kancing yang terbuka di bagian atas. Payudaranya yang besar terlihat sedikit mengintip saat dia membungkuk. Mataku seperti tak mau lepas dari dada itu yang sangat montok.

“Silahkan diminum ... Maaf, cuma ini yang ada ...” Kata ibunya Reni.

“Terima kasih tante ...” Kataku sambil tersenyum dan menganggukan kepala.

“Silahkan kang ... Aku ke dalam dulu ...” Kata Reni yang tiba-tiba pergi meninggalkanku begitu saja.

“Sudah lama ketemu dengan Reni?” Ibunya Reni bertanya sembari duduk di sofa dengan memeluk baki.

“Lumayan tante ... Mungkin lima atau enam bulan yang lalu ...” Bohongku lagi.

“Emang akan ini punya perusahaan apa?” Tanya wanita itu sudah seperti wartawan saja.

“Usaha kecil-kecilan tante ... Aku punya matrial ...” Kebohonganku berlanjut.

“Oh iya ... Boleh tante tahu ... Em, siapa nama akang?” Tanya si wanita agak malu-malu.

“Nama aku ... Iwan ... Tante.” Jawabku sedikit tertahan.

“Oh iya ... Nama tante ... Tari ...” Katanya yang sukses membuat keningku berkerut. Sepertinya aku sangat familiar dengan nama itu. Pada saat yang bersamaan aku merasa tidak enak hati.

“Maaf ya tante ... Suami tante kerja di mana?” Tanyaku dengan perasaan yang semakin tak karuan.

“Tante itu janda ...” Tari mengulum senyumnya sembari menunduk malu. “Dua kali gagal ... Jadi sekarang memilih untuk sendiri saja ...” Lanjutnya.

“Oh, maaf ...” Kataku pelan.

“Gak usah minta maaf begitu ... Gak ada yang salah kok ...” Katanya masih dengan muka malu-malu.

“Kalau Reni dari suami tante yang mana?” Saking penasarannya aku menjadi berani bertanya seperti itu.

“Dari suami yang pertama ...” Jawabnya dan itu membuat jantungku semakin berdebar-debar. Entah kenapa aku mempunyai firasat yang sangat buruk tentang ini. Rasanya ingin bertanya sesuatu namun aku sangat tidak berani mengatakannya.

Aku sangat gelisah saat ini, keringat mulai membasahi dahiku. Aku terus menatap Tari, memperhatikan setiap gerakannya. Rasa penasaranku semakin tinggi untuk mengetahui lebih banyak tentang wanita di hadapanku ini. Akhirnya perlahan aku geser cincin ajaibku hingga berada di telapak tangan dan jempolku menekan mata cincin agak kuat.

“Tari ...” Kata ajaib pertama yang keluar dari mulutku. Tari pun menoleh dan tanpa disadarinya ia telah masuk ke dalam sugestiku. “Jawab dengan sejujur-jujurnya ... Setelah menjawab keadaan kembali normal dan kamu lupa kalau aku telah bertanya padamu dan dijawab olehmu ... Tari, siapa nama suami pertamamu dan berasal dari mana?” Tanyaku dengan kekuatan hipnotisku.

“Dia bernama Budiman sering dipanggil Budi ... Asal dari Desa Sukamukti ...” Jawabnya dan langsung saja badanku menjadi lemas. Otakku rasanya penuh dan badanku gemetar hebat karena panik. Aku balikkan lagi posisi cincin dengan jari gemetar dan tatap gelisah.

“Hei ... Kamu kenapa?” Tanya Tari yang telah sadar seperti sediakala.

“Oh ... Eng..nggak ... Enggak apa-apa ...” Ucapku tertahan dan kuyakin saat ini wajahku pasti terlihat pucat. Tak disangsikan lagi kalau wanita ini adalah istri ketiga ayahku dan Reni adalah adikku.

Sungguh perasaanku saat ini sedang tak menentu setelah kejadian tadi siang bersama Reni. Aku benar-benar tak menyangka kalau aku telah berbuat separah itu. Flashback tiada henti, rasa bersalah pun tak hilang. Sekali pun perbuatanku itu tidak disengaja namun tetap saja aku merasa bersalah. Aku pun bangkit dari duduk lalu keluar rumah dan berdiri di teras rumah. Kuhirup udara sedalam dada, agar energi di alam bebas membuyarkan kegelisahanku.

“Kamu kenapa?” Suara Tari membuyarkan lamunanku. Wanita itu kini berada di sampingku sambil menatap heran.

“Tante ... Ini ... Saya titip uang buat Reni ... Saya tadi lupa membayar tenaganya ...” Kataku sembari mengeluarkan sepuluh lembar uang berwarna merah dari saku celana yang memang telah kupersiapkan sejak di villa.

“Oh ... I..iya ... Nanti tante sampaikan ...” Kata Tari sembari menerima uang dari tanganku.

“Tante ... Saya permisi ...” Kataku tanpa menunggu jawaban langsung saja aku beranjak dari teras rumah menuju mobilku.

Tak lama berselang, kupacu kendaraanku kembali ke rumah kakek. Pikiranku kacau-balau semeraut bagaikan benang kusut yang tak terurai. Ya, aku sedang berpikir dan pikiran-pikiranku berantakan, bahkan saling mencekik satu sama lain. Begitu sulitnya untuk menerjemahkan serangkaian peristiwa yang tak pernah kumengerti.

Mobilku masih deras melaju, membelah udara malam. Setelah satu jam berkendaraan, akhirnya aku sampai juga di rumah kakek. Kuparkir mobil di tempat biasanya lalu bergegas masuk ke dalam rumah. Setelah ngobrol sejenak dengan kakek dan nenek, aku langsung saja masuk ke dalam kamar. Aku rebahkan tubuh di atas kasur. Mataku sayu-sayu meredup. Rasa kantuk mulai menyerangku. Saatnya aku menenangkan pikiran dengan cara tidur. Tak lama, aku pun terlelap dalam iringan suara katak dan jangkrik.​

Bersambung
Bah sudah nidurin adeknya dia😂
 
Status
Please reply by conversation.
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd