Agen Terpercaya  
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

CERBUNG HIPNOTIS

Status
Please reply by conversation.
Sp
PART 7


Denta Pov

Kota Kecamatan Cikupa cukup jauh dari tempat kakek. Aku harus menempuh satu jam perjalanan mobil untuk mencapai kota kecamatan tersebut yang berlawanan arah dengan kota kabupaten. Dengan perasaan yang tak menentu, aku menginjak pedal gas lebih dalam lagi, aku pacu mobilku hingga kecepatan maksimal, beberapa lampu lalu lintas aku terobos saat menyala merah dan semua mobil dan truk yang lewat di jalanan aku salip, dan kadang aku berjalan di lajur kanan. Entah mengapa, saat ini aku merasa iba dengan keadaan Dewi. Rasa iba yang muncul dari dorongan ‘nafsu’ untuk menolongnya yang sedang ditimpa kemalangan.

Satu jam sudah, aku memasuki kawasan kota kecamatan Cikupa. Aku cari lokasi rumah yang dikirim Dewi padaku dan setelah bertanya pada beberapa orang akhirnya aku sampai di sebuah rumah besar yang tampak tidak terawat dan tampak sangat sepi sekali seperti tanpa penghuni. Halaman luas ditumbuhi rumput dan ilalang yang tumbuh sesuka hati di sembarang tempat. Teras rumah begitu kotor seakan tak tersentuh air beberapa bulan. Sarang laba-laba pun tampak menjuntai di langit-langit rumah.

Aku ketuk pintu rumah yang terlihat terkunci rapi. Beberapa kali aku ketok tak ada tanda-tanda ada orang di dalam. Setelah beberapa menit tak ada respon, aku keluarkan smartphone dari saku celanaku lalu mencari nomor kontak terakhir yang meneleponku. Akhirnya aku telpon dan hanya tiga kali nada sambung, telponku diangkatnya.

Ya Denta ... Kamu di mana?” Tanya Dewi terdengar sangat berharap.

“Di depan rumah ibu,” jawabku.

Oh ... Iya, tunggu ...!” Katanya dan langsung sambungan telepon terputus.

Tak lama kemudian terdengar seperti kunci dimasukkan ke lubang kunci pintu dari dalam, dan akhirnya pintu pun terbuka. Langsung aku melihat sebuah wajah cantik yang sendu dan pucat. Dewi tersenyum senang, namun senyumnya tiba-tiba menghilang. Aku melihat kegetiran terlukis di balik raut mukanya. Aku bergerak masuk ke dalam rumah yang sangat berantakan dan kotor.

“Ini rumah siapa?” Tanyaku sesaat setelah menelisik keadaan rumah yang menurutku sangat tak layak menjadi tempat hunian.

“Ini rumah belum jadi ... Tadinya rumah ini dibangun untuk Dinda ...” Jawab Dewi sambil berdiri di sisiku. “Kita ngobrolnya di kamar saja karena ruangan itu yang paling bersih.” Lanjut Dewi sambil melangkah agak goyah seperti kakinya tak punya tenaga.

Aku yang melihat cara jalan Dewi yang kepayahan segera saja aku sambar tubuhnya hingga dalam gendonganku. Dewi agak memekik kaget namun ia pun langsung melingkarkan tangannya ke leherku dan membenamkan wajahnya di bahuku. Aku bawa Dewi ke lantai dua di mana kamar tidurnya berada. Sesampainya di kamar, ternyata Dewi tidak mau turun dari gendonganku. Wanita itu malah memintaku untuk tetap memangkunya. Tentu aku sangat tidak keberatan untuk terus memeluk tubuh wanita cantik ini.

“Aku takut sekali ... Hiks ...” Dewi mulai bersuara di atas pangkuanku. Saat ini aku duduk di sisi ranjang.

“Sabarlah ... Dan kuatkan diri ...” Bisikku coba memberinya semangat.

“Aku akan dipenjara ... Hiks ... Hiks ... Hiks ...” Dewi menangis tersedu-sedu meratapi nasibnya yang semakin sempit.

“Ibu gak akan pernah masuk penjara ... Percayalah ...” Kataku yang sukses membuat Dewi mengurai pelukannya. Wajah cantiknya itu mengarah ke wajahku dengan raut terkejutnya.

“Bagaimana bisa?” Tanyanya heran namun terdengar nada harapan yang begitu tinggi.

“Aku punya rencana ... Tapi ibu harus mau mengikuti rencanaku ...” Tegasku sambil memberinya senyum.

“A..aku akan mengikuti rencanamu ... Asal aku tidak dipenjara ...” Ungkap Dewi begitu bersemangat.

“Ya sudah ... Lebih baik sekarang ibu istirahat ... Badan ibu hangat, ibu perlu istirahat ... Berbaringlah!” Kataku sambil membaringkan tubuh bahenol Dewi.

Dewi pun berbaring di atas kasur sambil memandangi wajahku. Saat aku hendak bergerak menjauh, tiba-tiba tangan Dewi menahanku bahkan menarikku pelan sehingga aku menjadi berbaring di sampingnya. Dewi memelukku sambil membenamkan wajahnya di dadaku. Mau tidak mau aku pun memeluk tubuh wanita itu untuk memberi kehangatan dan kekuatan padanya. Aku usap-usap punggung Dewi dengan sesekali aku cium pucuk kepalanya. Tak lama, aku mendengar dengkuran halus dari Dewi. Aku pun ikut memejamkan mata dan masuk ke alam mimpi mengikuti Dewi.​

###

Sinar matahari pagi menyilaukan mata. Aku bangkit dari tempat tidur karena tidak mendapati Dewi di kamar ini. Secepatnya aku keluar kamar dan berlari ke arah ruangan yang baru saja terdengar bunyi dari sana. Ternyata Dewi sedang memasak sesuatu. Wanita itu pun menoleh padaku dengan sedikit senyum. Aku pun menghampiri Dewi lalu berdiri di sampingnya.

“Kita sarapan mie instan saja sekarang ... Karena Dinda belum datang juga ...” Kata Dewi yang terlihat agak cerah.

“Ya, gak apa-apa ...” Jawabku singkat sambil menerima semangkuk mie instan dari tangan Dewi. “Emang ... Dinda kemana?” Tanyaku kemudian.

“Dia sedang ke kota kabupaten ... Mencari seseorang yang bisa menolongku ... Tapi ternyata ... A..aku sudah menjadi tersangka ...” Suara Dewi terdengar sangat sedih.

“Memang polisi sudah menetapkan tersangka?” Tanyaku ingin tahu keadaan sebenarnya.

“Sudah ...” Jawab Dewi sambil menganggukan kepala. “Akulah tersangkanya.” Lanjut Dewi sambil terisak pelan.

“Sudahlah ... Lebih baik kita makan dulu ...” Ajakku.

Kami pun akhirnya sarapan dengan menu mie instan. Aku terus menghiburnya meskipun butuh waktu yang cukup lama dan kesabaran yang tinggi. Usahaku ternyata membuahkan hasil yang cukup lumayan. Dewi sudah bisa tertawa dengan obrolan lucu kami. Aku berharap keberadaanku menjadi penghibur yang bisa melipur kesedihan dan kegalauannya.

“Semalam kamu bilang bisa menyelamatkan aku ... Sebenarnya apa rencanamu?” Tanya Dewi setelah selesai dengan sarapannya.

“Em ... Aku tidak akan memberitahu ibu ... Masalahnya ini agak di luar nalar ... Yang penting, aku ingin ibu selamat dari bui ...” Jelasku sambil menatapnya.

“Aku tak peduli ... Ya, yang penting aku tidak dipenjara ...” Suara Dewi pelan, wajahnya murung kembali. “Denta ... Aku bersumpah ... Kalau kamu bisa menyelamatkan aku dari penjara ... Aku akan mengabdi padamu ... Akan aku serahkan jiwa dan ragaku pada orang yang bisa menyelamatkan aku ... Aku sangat takut di penjara ...” Tuturnya bersungguh-sungguh.

“Hhhhmm ... Aku akan pegang janji ibu ... Dan akulah yang akan menyelamatkan ibu ...” Kataku penuh keyakinan.

“Selamatkan aku ...” Pinta Dewi lirih penuh pengharapan. Kedua tangannya menggenggam tanganku di atas meja. Kubalas genggamannya mencoba memberi wanita ini kekuatan.

“Aku pasti bisa menyelamatkan ibu agar tidak dipenjara ... Percayalah ...!” Kataku sambil memberinya senyum.

Tiba-tiba terdengar suara pintu diketuk, berulang kali, semakin lama semakin keras membuat daun telinga bergetar. Aku pun bergerak ke arah pintu depan dengan suara ketukan pintu berubah menjadi gedoran-gedoran. Sejenak aku intip dari kaca jendela dan ternyata Dinda yang tampak sangat panik. Langsung saja aku buka pintu dan Dinda pun memburu masuk ke dalam rumah.

“Akang ...!” Dinda berteriak. Entah kaget atau panik, aku tak tahu. “Cepat selamatkan mamah ... Polisi telah mengetahui persembunyian kita ...!” Ucap Dinda yang ternyata dia sedang panik.

“Telat!” Kataku saat melihat beberapa orang merangsek masuk ke halaman rumah. Aku perkirakan mereka adalah polisi berpakaian preman. “Tahan mereka selama mungkin!” Perintahku pada Dinda lalu berlari ke arah dapur.

Dewi gemetar dengan wajah ketakutan. Dia menatapku dengan alis yang terangkat. Tampak sekali kepanikan tingkat tinggi sudah menjalar keseluruhan pikirannya. Sambil mendekat aku geser cincin ajaibku pada posisi yang seharusnya lalu ketekan agak kuat dengan jempol.

“Dewi ...” Saat itu juga Dewi sudah tersugesti olehku. “Sejak saat ini, kamu menjadi lupa dengan dirimu sendiri ... Seluruh memori hidupmu hilang sampai aku mengembalikannya lagi ... Sekarang, namamu Ratih ... Ingat Ratih ... Kamu akan histeris jika ada polisi yang menangkapmu ...!” Kataku yang dijawab dengan anggukan kecil.

Inilah rencanaku untuk menyelamatkan Dewi. Aku buat wanita itu seperti orang hilang ingatan. Masalahnya aku pernah membaca kalau dalam aturan hukum pidana terdapat alasan penghapus pidana yang salah satunya adalah alasan pemaaf. Wujud alasan pemaaf salah satunya karena melihat sisi pelaku yang tak waras. Setelah memastikan Dewi lupa dengan dirinya sendiri, baru aku berlari menuju ruang depan yang mulai terdengar kegaduhan di sana. Dinda dengan mati-matian sedang menghalau para polisi masuk ke dalam rumah.

“Dinda ... Biarkan mereka masuk ...!” Teriakku setelah berada di ruang depan.

“Gimana sih akang ...! Aku gak mau mereka menangkap mamah ...!” Teriak marah Dinda berbalik kepadaku.

“Jangan halangi aparat penegak hukum ... Biarkan saja mereka menangkap mamahmu ... Biar hukum yang menyelesaikannya ...” Kataku lagi sambil menarik adikku lalu memeluknya kuat-kuat karena ia meronta-ronta sambil berteriak histeris.

“Silahkan pak ...!” Aku malah mempersilahkan para polisi masuk.

“Terima kasih ... Di mana Tersangka berada?” Salah seorang polisi bertanya padaku.

“Ada di belakang, pak ... Tapi dia sedang sakit dan depresi ...” Jawabku sesantai mungkin sambil terus menahan Dinda.

“Akang ... Akang jahat ...! Kenapa membiarkan mamah ditangkap ...!” Teriakan Dinda menggelegar seakan ingin meruntuhkan bangunan ini.

“Kita akan mendapat masalah kalau kita menghalangi aparat menangkap mamahmu ... Biarkan saja ...” Kataku sengaja agak keras supaya terdengar oleh para polisi yang kini tengah berjalan cepat menuju dapur. “Sssstt ... Tenangkan dirimu ... Kita ikuti saja dulu ... Nanti kamu akan tahu ...” Bisikku di telinga Dinda. Dan tiba-tiba rontaan Dinda berhenti.

“Akan tahu?” Dinda bertanya sambil menoleh ke wajahku.

“Kita lihat saja ... Makanya kamu harus tenang ...” Kataku sambil tersenyum lalu melepaskan pelukanku.

Tak lama terdengar teriakan histeris Dewi yang tidak mau dibawa polisi. Wanita itu melawan sekuat tenaga dan meyerang para polisi yang hendak menangkapnya. Dewi berteriak-teriak kalau dirinya bukanlah Dewi. Ia memanggil dirinya sebagai Ratih. Entah bagaimana proses selanjutnya, Dewi pun berhasil dilumpuhkan dengan diikat tubuhnya dan diborgol tangannya. Dewi dibawa oleh salah seorang polisi dengan dipanggul, walau demikian Dewi masih saja berusaha berontak.

“Kang ... Gimana ...?” Lirih Dinda yang merasa kasihan ibunya diperlakukan seperti itu.

“Kita ikutin ke kantor polisi ...” Kataku.

Beberapa menit berselang, mobilku dan mobil Dinda mengikuti mobil polisi yang berjalan di depan kami. Tentu yang dituju adalah Polres di kota kabupaten. Laju kendaraan lumayan kencang dan dari kaca mobil aku bisa melihat polisi yang membawa Dewi seperti kewalahan karena wanita itu terlihat terus berontak dan meronta-ronta layaknya seperti orang tidak waras. Aku pun tersenyum dan merasa yakin kalau rencanaku akan berhasil dengan gemilang. Sengaja aku buat Dewi tidak waras untuk menghindari hukuman.

Dua jam lebih di jalanan dan akhirnya aku pun sampai di Polres. Aku turun dari mobil lalu berjalan menuju Dinda yang juga baru saja sampai. Wajah Dinda sangat khawatir sambil melihat ibunya yang tiada lelah terus berontak dan meronta-ronta di panggulan seorang polisi. Sebenarnya aku juga heran, kenapa sugestiku sampai sedahsyat itu.

“Ayo ...!” Ajakku pada Dinda.

Aku dan Dinda berjalan memasuki Kantor Polres untuk melihat proses pemeriksaan selanjutnya. Aku diterima oleh seorang Polwan dan diantar ke ruang tunggu. Kami tidak diperkenankan mengikuti lebih jauh untuk sementara waktu. Dinda tak bisa diajak bicara, ia tak mau dipeluk, ia gemetar, ia hanya jalan mondar-mandir seperti setrika sambil meremas-remas tangannya.

“Duduklah!” Kataku.

“Apa yang akang rencanain sih?” Tanyanya dengan mata melotot.

“Duduklah ...! Nanti kita akan tau hasilnya ...” Kataku santai.

Dinda tak mau menuruti perintahku. Ia tetap jalan mondar mandir resah. Sesekali ia menengok ke arah pintu ruangan. Sehingga pada akhirnya aku pun mendiamkan saja apa yang sedang terjadi. Aku duduk santai sambil memperhatikan tingkah adikku. Sampai setengah jam berlalu, seorang polisi datang ke ruangan tunggu dan Dinda langsung saja menyerobotnya.

“Bagaimana pak ... Bagaimana ibuku?” Tanya Dinda dengan suara gemetar.

“Ibu saudari kayaknya belum bisa diperiksa ... Keadaannya sangat kacau sehingga kami terpaksa membiusnya.” Jawab sang polisi.

“Apa??? Kenapa ibu saya???” Tanya Dinda semakin panik saja.

“Sebaiknya saudari pulang saja dulu ... Menunggu kabar dari kami ... Ibu saudari sepertinya memerlukan perawatan ...” Ujar si polisi.

“Yuk ... Kita pulang ...! Serahkan saja semuanya pada pihak yang berwenang ... Kita tunggu saja kabar ibumu di rumah.” Ajakku pada Dinda.

“Akang saja yang pulang!!! Aku mau di sini!!!” Ucap Dinda terdengar marah.

“Silahkan ...! Aku mau pulang ...!” Kataku sambil berlalu begitu saja.

Aku berjalan keluar Kantor Polres meninggalkan Dinda yang bersikukuh ingin menunggu ibunya di sana. Aku secepatnya meninggalkan area itu dan kendaraan aku arahkan ke rumah Tari. Ya, aku perlu mandi dan ganti baju. Sebelum sampai di rumah Tari, aku mampir di sebuah toko baju dan membeli kaos berkerah untuk pakaian gantiku. Saat keluar toko, aku berpapasan dengan seorang wanita cantik yang hendak masuk.

“Bu Marni ...” Sapaku. Sungguh aku terpana melihat penampilannya yang membuatku lupa segalanya.

“Eh, Denta ... Baru belanja?” Jawabnya sangat ramah lalu bertanya. Dia tersenyum menatapku hingga memunculkan lesung pipinya. Membuatku tak tahan untuk membalas senyumannya.

“Iya ... Ini beli kaos ...” Jawabku. “Bu Marni mau belanja juga?” Tanyaku kemudian. Dalam keadaan seperti ini, pikiran iseng kelakianku mendadak bergejolak.

“Iya ... Tapi mau lihat-lihat dulu ...” Jawabnya sambil tersipu.

“Ya udah ... Gimana kalau aku anter ...?” Aku coba menawarkan diri dan dijawab dengan anggukan.

Saat ini aku seperti terhipnotis oleh aura Marni yang membuatku ingin menguasainya. Penampilan wanita itu sangat berbeda, tampil anggun dengan memakai gaun terusan berwarna pink, memperlihatkan tubuhnya yang seksi. Pikiranku menjadi keruh dengan kenangan bersamanya yang kembali bergelayut. Aku masih ingat betul dengan lekuk tubuhnya yang aduhai. Gairah dan hasratku seakan telah lepas dari kurungannya, memberikan isyarat agar aku harus ‘menikmati’ tubuhnya.

Setelah mengambil tas khusus toko tersebut untuk belanja, Marni mengitari sembari memasukkan baju pilihannya pada tas yang dibawanya. Sesekali ia bertanya padaku tentang baju pilihannya dan langsung saja kujawab sangat cocok. Setelah merasa cukup, kami pun ke kasir untuk membayar belanjaan. Aku dengan segera membayar belanjaan Marni walau wanita itu sempat menolak. Tak lama, kami pun keluar toko lalu kuajak Marni ke mobilku.

“Mau langsung pulang atau kemana dulu?” Tanyaku setelah kami berdua berada di dalam mobil.

“Em ... Aku lagi bosan di rumah ... Gimana kalau kita keliling dulu ...” Jawab Marni dengan roman wajahnya berubah menjadi agak sendu.

“Baiklah ...” Kataku lalu menjalankan mobil.

Sambil menyetir aku melihat ke arah kanan dan kiri untuk melihat Pom Bensin karena minyak penggerak mobilku sudah hampir habis. Beberapa menit berselang aku menemukan sebuah Pom Bensin yang banyak dijejali sepeda motor. Aku masuk ke tempat itu lalu mengisi full pertalite. Setelah mengisi bahan bakar. Aku membawa Marni menuju sebuah cafe yang tak begitu jauh dari tempat pengisian bensin.

Kami pun masuk ke area cafe yang lumayan lengang dan sebuah bangku yang berada di area outdoor menjadi pilihanku. Seorang waiters datang menghampiri kami dan mencatat pesananku dan Marni. Tak lama menunggu pesanan kami pun diantar. Kami berdua saling bertukar cerita di sela-sela menyantap makanan. Setelah itu obrolan kami menjadi larut dan disertai candaan-candaan ringan. Tak sadar aku pun menatap lekat wajah Marni saat wanita di hadapanku sedang fokus pada makanannya.

“Kenapa melihatku seperti itu?” Tanya Marni yang sukses membuatku terkejut. Namun sudah terlanjur, sekalian saja aku balas tatapan matanya secara frontal.

“Bu marni cantik sekali.” Kataku tanpa ragu karena aku sudah bisa membaca situasi.

“Ih ... Sudah keriput begini dibilang cantik ...” Marni lagi-lagi tersipu malu mendengar perkataanku. Marni terlihat tidak marah malah pipinya langsung bersemu merah.

“Beneran loh bu ... Bu Marni sangat cantik ... Seperti bidadari yang tersesat di bumi dan tak tau jalan kembali kekhyangannya.” Kataku dengan rayuan yang disertai sentuhan tangan. Aku genggam jemarinya memberinya tanda kalau aku memang tertarik padanya.

“Hi hi hi ... Makasih ...” Marni tersenyum sambil menunduk namun terasa sekali kalau wanita itu membalas remasan tanganku walau sangat lemah. Sudah bisa dipastikan kalau aku mendapat sinyal positif darinya.

“Aku ingin sekali menjadi kekasihmu ...” Kataku pelan tanpa sungkan sama sekali sebab aku sudah bisa menebak jawabannya. Marni semakin tersipu dan menundukkan kepalanya.

“Aku kan istri bapak kamu ...” Ucap Marni sangat pelan seakan ia sangat berat mengatakan itu. Ia seperti masih tidak percaya dengan ucapanku. Tapi setelah itu bibirnya terangkat membentuk senyuman.

“Aku tidak peduli ... Yang aku pedulikan adalah kamu ...” Kataku dengan mengganti sebutan ‘ibu’ dengan ‘kamu’ agar bisa menepiskan status.

“Kamu gak takut dosa?” Tanyanya yang terdengar bercanda. Meskipun Marni masih tampak begitu santai, tetapi matanya menunjukan kilatan kebahagiaan dalam bola hitam tersebut.

“Aku akan sangat berdosa kalau aku tidak bisa membahagiakanmu ...” Kataku lagi dengan rayuan kelas elementer namun cukup membuat Marni semakin melebarkan senyumnya.

“Terima kasih ...” Marni tersenyum sangat manis dan menggemaskan. Aku pun tersenyum puas melihat ekspresi Marni ketika aku menggodanya dengan candaan receh.

Ya, tak membutuhkan banyak kata basa-basi, aku dan Marni akhirnya menjadi kita. Ternyata aku sekarang tahu kalau Marni sejak awal sudah menyukaiku namun karena status ia harus menahan perasaannya. Ditambah lagi, sekarang suaminya sudah tidak memperhatikannya lagi. Sering ditinggal berhari-hari tanpa kabar berita. Bahkan ia berpendapat tidak akan ada gunanya membangun rumah tangga yang sudah bobrok.

“Kayaknya ... Sudah tidak ada harapan lagi untuk dipertahankan ...” Ucapnya sebagai penutup ceritanya dengan mata yang berkaca-kaca.

“Sudahlah ... Jangan dipakai pusing ... Tinggalkan saja dia ... Lebih baik hidup bebas dan cari kebahagiaan sendiri ...” Kataku menyemangatinya.

“Iya ... Memang itu juga yang ada dalam pikiranku ... Aku ingin hidup senang dan bahagia ...” Katanya seraya tersenyum lagi.

Selesai makan kami ngobrol beberapa menit. Setelah itu, kami keluar cafe dan akan melanjutkan acara ‘jalan-jalan’ kami. Aku melajukan kendaraan tanpa arah yang pasti. Hanya mengitari kota kabupaten sambil ngobrol ke sana ke mari. Sampai melewati tengah hari, akhirnya aku memutuskan untuk mengantar Marni pulang. Aku lajukan cepat kendaraanku hingga sampai di rumahnya.

“Kemana suamimu?” Tanyaku sesaat setelah masuk ke dalam rumahnya.

“Entahlah ... Dari kemarin gak pulang ...” Sahutnya dengan nada sebal.

“He he he ... Baguslah ... Biar jangan pulang sekalian ... Biar kita bisa bersenang-senang di sini ...” Kataku sambil meraih pinggang dan tangannya. Dengan sekali tarikan, tubuh kami sekarang berhadap-hadapan.

“Aaahh ... Kamu ini ...!” Pekik Marni terkejut. Namun itu hanya beberapa saat. Setelahnya, ia malah mengalungkan lengannya di leherku.

“Kita akan mulai kebahagiaan kita sekarang juga.” Bisikku sambil menatap matanya lekat-lekat.

“Caranya?” Tanya Marni dengan berbisik juga setengah mendesah.

Tak perlu dijawab pertanyaannya karena aku yakin wanita itu sudah tahu apa yang aku maksud. Langsung saja aku cium bibir Marni tanpa memperdulikan matanya melotot karena terkejut. Aku sudah tidak bisa lagi menahan hasrat yang sejak tadi aku tahan. Marni hanya terdiam, aku pegang tengkuk lehernya agar memperdalam ciuman dan usahaku berhasil. Marni merespon ciumanku dengan melayani lidahku yang berusaha masuk ke rongga mulutnya.

Dalam waktu yang singkat ciuman kami langsung panas. Aku sedikit memiringkan kepala untuk memperdalam lagi ciuman yang sudah dalam itu. Marni sedikit kewalahan mengimbangi permainanku, kedua lutut wanita itu sedikit bergetar tanda tak kuat menopang tubuhnya yang sudah diliputi nafsu. Aku yang mengetahui bahwa kaki Marni bergetar langsung saja menggendong wanita itu ala bridal style, jadinya aku berciuman dengan Marni yang berada digendonganku. Marni sedikit memerah dengan posisi barunya sekarang, digendong seperti seorang pengantin yang baru saja menikah ditambah lagi dengan ciuman panas yang sedang kami lakukan.

Sambil terus berciuman, aku berjalan ke arah sofa. Aku perlahan-lahan menurunkan badan sehingga sekarang aku duduk di atas sofa. Aku meletakan Marni yang berada dalam gendongan itu untuk duduk di pangkuanku. Tangan sebelah kiri menopang agar kepala Marni tidak terlalu rendah dan tangan kanan melingkar di perut langsing Marni. Lidahku menyapu bersih rongga mulut Marni kemudian mengabsen deretan giginya. Lidah kami saling melumat satu sama lain, saling merasakan bagaimana rasa dari lidah dari pasangannya itu.

Aku menidurkan Marni di sofa sambil terus dalam ciuman panasku. Marni mencengkram baju depanku. Wanita itu sekarang kehabisan nafas karena ciuman yang berlangsung kurang lebih sepuluh menit. Aku yang mendapatkan cengkraman di baju mengerti akan hal itu. Aku langsung melepaskan ciumanku dengan Marni. Benang saliva terhubung di antara dua bibir kami, nafas Marni sedikit tersenggal-senggal. Dia menghirup oksigen dengan rakus sambil menatapku yang berada di atasnya dengan mata yang sayu apalagi dengan rona merah di wajahnya itu membuatku yang melihatnya semakin bergairah. Aku mendekatkan bibirku ke arah telinga kanan milik Marni.

“Bolehkah aku menelanjangimu?” Tanyaku. Setelah itu, aku menjilati telinga Marni untuk merangsang wanita itu. Marni menggeliat pelan saat merasakan deru nafasku berada di telinganya apalagi saat aku menjilati telinganya.

"Enggh ... Aakh ... Iya-h ..." Jawab Marni yang mendesah tak karuan karena mendapatkan rangsangan dariku. Merasa sudah mendapat persetujuan, aku pun segera melucuti pakaian wanita seksi ini.

Aku meneguk ludah saat melihat betapa mulusnya tubuh putih nan aduhai itu seperti sebuah keramik yang sering kali dipel setiap hari. Selain cantik daya tarik Marni memang pada kulitnya yang mulus putih bersih dan bentuk payudaranya yang bulat sempurna meskipun tidak bisa dikatakan kecil. Puting Marni sudah mencuat ke atas pada puncak payudaranya yang bulat sempurna itu. Aku pun memegang dan meremas benda kenyal itu. Marni hanya mendesah keenakan saat payudaranya diremas olehku. Tanganku sebelah kanan meremas payudara Marni yang sebelah kiri sambil sesekali mempelintir puting kecoklatan yang sudah mengacung dan mengeras karena terus terangsang. Akhirnya aku mendekatkan wajahku ke arah payudara sebelah kanan Marni. Setelah sampai aku pun melahap gundukan besar itu, dengan sedikit rasa rakus aku menghisap puting payudara itu seperti bayi yang menyusu pada ibunya.

Bosan bermain di payudaranya, tangan kananku bergerak ke arah perut rata Marni dan bermain-main di pusarnya. Tanganku akhirnya turun dan menggapai vagina Marni yang sudah basah dengan cairan lengket yang keluar dari liang senggamanya. Jariku menggesek-gesek sesekali menekan dan meremas di mulut kewanitaannya. Jari-jariku mulai membelai dan sesekali menusuk menerobos ke dalam lubang kenikmatannya sehingga menjadi semakin basah.

“Kamu sudah sangat basah." Kataku setengah menggoda. Marni hanya memandangku yang berhenti melakukan kegiatan merangsangnya. Badanku pun turun, wajahku kini menghadap tepat di selangkangan Marni yang sudah basah kuyup itu. Tanpa sungkan aku menjulurkan lidah untuk merasakan cairan tersebut dan kedua tanganku menahan paha Marni agar terus mengangkang.

“Aaaahhhh .... Aaahh ... Aaahh ...” Suara desahan Marni mengalun merdu. Aku hanya bergumam tak jelas disela kesibukanku itu. Aku menelusupkan lidah tak bertulangku ke dalam vagina Marni, mengobrak-abrik semua yang ada di dalamnya. Marni mendesah dan sesekali meremas rambutku yang mungkin bermaksud menyalurkan semua rasa nikmatnya.

“A-aku ... A..aku keluaaarrhh ..." Kata Marni memperingatkanku dan setelah itu cairan lengket keluar dari vagina Marni. Aku pun dengan senang hati menelan semua cairan orgasmenya. Tak lama, aku pun mengarahkan pandangan ke arah Marni yang sepertinya sudah selesai menikmati orgasmenya, mata kami saling bertemu satu sama lain dan hanya nafsu yang ada dalam pandangan itu.

"Sayang ... Tidak baik kan membiarkan wanita telanjang tapi laki-lakinya masih memakai baju secara utuh?" Kata Marni terdengar menyuruhku untuk melepaskan pakaian.

"Eh? Baiklah aku akan membuka baju." Jawabku sambil membuka semua pakaian yang masih melekat di tubuh. Wajah Marni memerah seperti kepiting rebus saat melihat kejantananku yang mengacung seperti tongkat.

Langsung saja aku membuka pahanya lebar-lebar dan bersiap memasukkan kejantananku yang sudah sepenuhnya menegang. Sejenak aku tatap wajahnya dan Marni menganggukan kepalanya memberi tanda bahwa ia sudah tahu apa yang akan aku lakukan. Dengan pelan-pelan nan lembut, penisku menyusuri bibir vagina Marni. Perlahan kepala penisku mulai menyerang masuk dan menembus bibir vaginanya. Kucoba mendorong penisku masuk perlahan-lahan ke celah yang terasa masih sempit itu. Tak lama seluruh batangku ditelan habis oleh vaginanya. Rasanya luar biasa, penisku yang tertanam dalam-dalam pada liang vagina Marni, dinding vagina yang basah dan hangat itu, seakan-akan memijati penisku, sensasi yang sungguh nikmat sekali, seakan-akan aku lagi berada di suatu tempat yang dinamakan surga.

“Besar sekali punyamu, sayang ... Aaahh ...” Ucap Marni sambil mendesah.

“Hhhmm ... Nikmatilah ...” Kataku seraya mengayun pinggulku, menggerakan kejantananku di liang nikmatnya.

Ketika batang kejantananku keluar masuk di liang kewanitaannya, dibalas juga oleh Marni dangan memaju-mundurkan pantatnya. Rasanya sangatlah enak, batang kejantananku seperti dihisap-hisap. Kemudian tempo permainan aku cepatkan. Aku mulai memperlihatkan tehnikku. Aku memaju-mundurkan batang kejantananku lalu sesekali menggoyangnya ke kiri dan ke kanan. Tanganku pun tak lupa meraba-raba payudaranya. Puting payudaranya yang berwarna coklat kupuntir dan kucubit. Marni semakin menggeliat-geliat keenakan.

“Aaaahh ... Aaaahh ... Aaahh ... Aaahh ...” Desah Marni saat kuhajam-hujam kuat penisku ke dalam vaginanya.

Keringat kami bercucuran menambah semangat gelora birahi kami. Aku memejamkan mata karena kenikmatan surgawi ini, gesekan nikmat dari selangkanganku ini menyebar luas ke seluruh tubuhku bagaikan gelombang dashyat yang menenggelamkan. Luar biasa nikmat rasanya, padahal rasa ini hanya berasal dari gesekan dua bagian tubuh manusia saja, tapi nikmatnya hampir tak tertahankan. Aku pun makin bersemangat menyambut sensasi ini dan menambah daya gempurku.

“Eenaak ... Saayaangh ... Aaaahh ...” Marni ternyata type wanita yang berisik saat sedang bersenggama. Mulutnya terus meracau karena nikmat yang dirasakannya.

Dengan tak henti-henti penisku menggedor-gedor vagina wanita ini. Membuat dirinya berteriak-teriak dan mendesah-desah. Sementara payudaranya berputar-putar seiring kocokan penisku. Sekitar 20 menit, kami saling mencari kenikmatan dan bunyi benturan alat kelamin kami terdengar sangat jelas. Kini gerakan Marni sudah tidak karuan, tampaknya birahinya telah memuncak sampai kepala, badannya mulai bergeter-getar dan mengejang, dan tak tertahankan lagi.

“Aaahh ... Ooohh ... Aaahh ...” Vagina Marni berdenyut-denyut melepas nikmat. Dia telah mencapai orgasme, kemudian terlihat lega yang menyelimuti dirinya.

Aku menghentikan genjotanku. Kemudian kepalaku diarahkan ke dada Marni. Wanita itu pun mendesah kecil ketika bibirku bertemu dengan puting susu kirinya. Aku menggelitik putingnya dengan sangat lembut. Tiba-tiba aku mendengar suara Marni agar aku melanjutkan genjotanku. Tanpa harus disuruh dua kali, aku pun mulai memompakan penisku lagi ke dalam tubuhnya.

Aku gerakan penisku dengan gerakan maju mundur dengan lembut sampai vaginanya becek sekali. Setelah sekitar lima menit gerakanku berubah total. Gerakanku menjadi liar dan ganas, penisku memompa vaginanya dengan keras, badan Marni berguncang hebat, pantatnya mengimbangi dengan cara meliuk-liuk mengikuti gerak hentakanku, rambutku habis diacak-acaknya.

“Terus sayang ... Oohhh ... yang dalam ... Aaacchhh ...” Kakinya bergerak melingkari pinggangku dan mulutnya menciumku dengan ganas, terdengar indah jeritan nikmat Marni di ruangan ini. Dan selang lima menit kemudian, pantat marni bergerak liar, nafasnya semakin memburu, mukaku habis dicium oleh dia, tiba-tiba badan dan pahanya mengejang kaku. Pada saat yang sama aku merasakan penisku tersiram cairan hangat di dalam sana.

Melihat Marni sudah mencapai orgasme yang kedua, aku kini melepas seluruh rasa birahi yang tertahan sejak tadi dan makin cepat megenjot keluar masuk lubang vagina nikmat miliknya. Gerakan penisku semakin kencang menghujam vaginanya, nafasku pun semakin cepat memburu tuk mengejar sesuatu yang indah yang menungguku di depan sana.

“Sayaghh ... Aaahh ... Sssstt ... Aaahh ... Uuuhh ...” Marni merintih merasakan gempuranku. Badannya terlonjak-lonjak menerima setiap benturan selangkangan, payudaranya pun membal-membal mengikuti goyangan kami.

“Aaaahh .... Ooohh ... Aaaaahh ...!” Aku merintih-rintih panjang menuju puncak kenikmatan. Dan aku pun mencapai klimaks. Penisku meledak karena tekanan dari dalam tubuhku, dan akhirnya penisku menyemburkan air mani hangat ke dalam vagina wanita itu yang masih berdenyut nikmat.

Aku langsung rubuh menimpa tubuh Marni. Sejenak kami terdiam menikmati suasana yang baru saja lewat. Ruangan kecil itu pun hanya dihiasi soundtrack nafas kami yang terengah-engah. Perlahan aku bangkit dan duduk di samping tubuh Marni yang masih terbaring lemas. Dadanya masih turun naik dengan nafas berat, aku melihat ke arah vaginanya, tampak memerah. Aku terus menatap sekujur tubuh telanjang itu, putih mulus, halus dan wangi, sedikit mengkilap karena keringat, sejenak aku terpana.

“Makasih ya ... Tadi itu sangat indah sekali ...” Ucap Marni yang menatapku mesra.

“Hhhhmm ... Sama-sama sayang ...” Jawabku sembari mengusap wajahnya yang berkeringat.

“Denta ... Aku harap kamu benar-benar akan membahagiakan aku ...” Tiba-tiba saja Marni berujar demikian seolah ada keraguan pada dirinya.

“Tolong kasih tahu aku ... Bagaimana caranya supaya kamu bahagia ...” Kataku menantang.

“Penuhi semua kebutuhanku ... Aku ingin rumah mewah, mobil, perhiasan, uang yang banyak ... Hanya itu yang bisa membuatku bahagia ...” Jawabnya sejujur-jujurnya.

“Aku akan berikan itu semua padamu, asal kamu mau menjadi pelayanku ...” Kataku lagi.

“Hi hi hi ... Pelayan? Bukan pelayan kali, sayang ... Tapi simpananmu ...” Ucap Marni yang memang harus kuakui kata itu lebih manusiawi.

“Ya apalah istilahnya ...” Kataku sambil tersenyum.

“Berarti ... Simpananmu sudah tiga ya ...” Kata Marni yang membuatku terhenyak. Aku tatap matanya dalam-dalam ingin menafsirkan apa yang dimaksudkannya. “Hi hi hi ... Jangan melihatku begitu ... Karena aku sudah tahu semuanya dari Tari ...” Lanjutnya sangat ringan sambil bangkit dari terlentangnya lalu duduk di sampingku.

“Tari???” Gumamku tak percaya.

“Iya ... Tari ... Kenapa ...? Kaget ...?” Marni memang sedang mencandaiku. “Kami bertiga sudah bicara bareng dan kalau kamu lah yang akan menjadi pelindung kami ...” Lanjut Marni sambil melingkarkan tangannya ke pinggangku.

“Bagaimana bisa? Bagaimana kalian sangat percaya padaku?” Aku pun akhirnya mengutarakan keherananku dengan bertanya secara beruntun.

“Hi hi hi ... Cerita itu ada di Atikah ... Ibumu ...” Jawab Marni sambil terkekeh.

“Atikah???” Gumamku lagi tak percaya.

“Nanti kamu akan tahu sendiri ...” Ucap Marni sambil berdiri lalu menarik tanganku.

Aku mengikuti langkah Marni yang mengajakku ke dalam kamar tidurnya. Di kamar ini kami melanjutkan pertempuran cinta kami beberapa ronde. Sebelum akhirnya kami membersihkan diri dan berpakaian rapi. Tanpa aku sangka, Marni mengajakku ke tempat Tari. Kami pun segera melaju ke sana. Dan hanya beberapa menit saja, aku dan Marni sudah berada di rumah Tari. Sang tuan rumah pun menyambutku dengan senyuman genit dan candaan mesum.

“Gimana jepitan dia? Masih berasa?” Canda Tari setelah kami duduk di ruang tamu.

“Sialan!!!” Sewot Marni sambil mengerucutkan bibirnya.

“Hhhhmm ... Kemana Tika?” Tanyaku berusaha membelokan tema pembicaraan.

“Dia lagi jalan sama pacarnya ... Biarin dulu ... Lagi ngurusin sesuatu ...” Ucap Tari yang membuatku merenung.

“Hei ...! Kok jadi diem ...?” Ujar Marni sambil menggoyangkan tubuhku.

“Dia punya pacar?” Tanyaku penasaran.

“Iya ... Tapi jangan cemburu ya ... Walau bagaimana pun ... Kami bertiga adalah istri-istrimu ...” Ucap Tari yang mendadak serius. Dan memang, aku lagi-lagi harus berbesar hati dengan hubungan yang sangat tidak biasa ini.

“Aku gak cemburu atau sakit hati ... Bagiku yang terpenting bisa happy-happy sama kalian ...” Kataku sembari merangkul kedua wanita yang duduk di samping kiri dan kananku.

“Nah begitu dong ... Ini yang namanya laki-laki ...” Respon Tari sambil meremas selangkanganku.

“Reni mana?” Tiba-tiba aku teringat adikku.

“Ah, gak tau lah ... Anak itu semakin gak bisa diatur ... Baru aja pulang sekolah, langsung saja keluar ... Dan pasti dia gak akan pulang ...” Ungkap Tari agak sewot.

“Jangan dimarahin melulu ... Dia itu gak betah di rumah karena ibunya ngomel melulu ...” Kataku sambil meremas buah dadanya.

“Ih ... Aku gak pernah ngomel-ngomel kok ...” Sanggah Tari dengan mata mendelik.

“Sudah ... Biarin saja ... Anak sudah gede ini ...” Marni coba menengahi perdebatan aku dan Tari. “Lebih baik, kita bicarakan rencana kita.” Lanjut Marni sangat serius.

“Rencana?” Kataku lagi heran sekaligus penasaran.

“Jadi gini ... Kami sebenarnya ingin membangun usaha ... Semacam cafe atau restoran ... Sekaligus jualan memek ...” Ucap Tari dan kalimat yang terakhirlah yang membuatku terkejut.

“Denta ... Aku bisa mengelola cafe dan Tari sama Tika yang mengelola bisnis terselubungnya.” Lanjut Marni berusaha meyakinkan aku.

“Sebenarnya cukup menarik ... Tapi apa kalian yakin dengan usaha ini?” Tanyaku ingin keyakinan karena aku sudah bisa membayangkan kalau usaha ini memerlukan modal yang cukup besar.

“Semuanya sudah terprogram ... Kami sudah merencanakan dengan matang ... Bahkan barang dagangan sudah siap ... Tinggal ada pemodal saja ... Dan kami memilihmu sebagai pemodalnya ...” Terang Tari menggebu-gebu.

Tari kemudian menerangkan langkah-langkah dari rencana bisnisnya. Aku simak baik-baik dan sesekali bertanya bila ada yang kurang aku mengerti. Rencana usahanya masuk akal dan juga berprospek cerah. Saat Tari mengatakan budget yang ia perlukan, aku bisa bernafas lega karena uangku bisa meng-cover apa yang mereka butuhkan. Intinya modal tersedia padaku.

“OK ... Aku setuju ...” Akhirnya aku mengabulkan rencana bisnis mereka.

“Yes ...! Makasih sayang ...!” Tari memelukku sambil mencium bibirku sekilas.

“Kalau begitu, besok kita ke Bandung ... Buat cari lokasi cafenya ...” Sambut Marni yang sedang memeluk lengan kiriku.

“Besok aku harus pulang ke Jakarta ... Aku ada kerjaan dan juga harus daftar kepolisian.” Kataku agak sedih.

“Wow ... Kamu mau jadi polisi? Cocok dong! Nanti kamu bisa jadi backing usaha kita!” Seru Tari.

“Ya ... Mudah-mudahan saja diterima ...” Kataku. “Nanti, aku akan transfer biaya akomodasinya. Kalian pergi sendiri saja ya ...” Lanjutku.

“Okay ...” Respon Tari sangat bersemangat.

Dan kami pun melanjutkan obrolan hingga malam. Sebenarnya aku masih ingin berlama-lama dengan kedua wanita cantik ini namun aku harus pulang karena besok aku harus kembali ke Jakarta. Aku sudah berjanji dengan Irwan untuk ikut mengeluarkan barang selundupan dari pelabuhan. Selain itu, aku juga harus mendaftar menjadi anggota kepolisian. Aku pun akhirnya meninggalkan rumah Tari untuk kembali ke rumah kakek. Aku lajukan kendaraan dengan menekan pedal agak dalam agar cepat sampai di tujuan.​

----ooo----

Author Pov

Tika tampak bingung dan mengerucutkan bibirnya dengan gemas. Dalam hati, wanita itu kecewa dan sangat tidak percaya kalau ternyata Dewi sudah lupa ingatan. Tika dan Hendarto sedang menonton video rekaman. Video yang menunjukkan seorang wanita berteriak-teriak histeris di sebuah ruangan interogasi kepolisian. Tika tanpa henti menggeleng-gelengkan kepala. Ia merasa kecewa dengan keadaan yang tak pernah diduganya seperti ini.

“Dewi depresi berat sehingga menjadi gila ... Tapi menurutku, ini adalah ganjaran yang setimpal dengan dosa-dosanya ...” Ucap Hendarto hati-hati coba menghibur Tika.

“Tidak ... Ini tidak setimpal ... Dengan gila, Dewi tak akan pernah merasakan sakit yang pernah aku alami.” Tukas Tika berkaca-kaca.

“Tapi bagaimana lagi? Polisi pasti akan menghentikan kasus ini karena tersangkanya gila.” Hendarto mulai agak kesal. Suaranya terdengar meninggi.

Tika pun merenung bingung, tak tahu lagi harus bagaimana melampiaskan dendamnya. Tika menepis tangan Hendarto yang hendak merangkulnya dan langsung cemberut. Tika sangat marah dan kesal karena rencananya mengalami kegagalan. Wanita itu tidak puas dengan Dewi yang menjadi gila. Keinginan Tika adalah Dewi mendekam di penjara dengan waktu yang lama.

“Antarkan aku pulang!” Suara Tika datar, namun sorot matanya begitu kelabu, sebuah tatapan keganjilan yang menyisakan seberkas luka pedih.

“Tika ... Bukannya aku ...” Ucapan hendarto tidak tuntas keburu diserobot Tika yang tiba-tiba kalap.

“AKU MAU PULANG!!!” Pekik Tika yang memekakan telinga lawan bicaranya. Wanita itu langsung bangkit dan berjalan cepat keluar cafe yang sejak setengah jam ia singgahi.

Hendarto segera saja menutup laptopnya lalu menyusul Tika. Terlihat air mata Tika meleleh di pipinya. Kekecewaan menumpuk, berusaha membereskan luka-luka lama tetapi tak kesampaian karena orang yang ia incar mendadak gila. Sesampainya di mobil, Hendarto membukakan pintu buat Tika lalu wanita itu masuk dan duduk dengan gelisah. Hendarto kemudian masuk dari pintu satunya lalu duduk di belakang kemudi. Hendarto melajukan mobilnya dan tak ada suara yang keluar dari mulut keduanya selama beberapa menit.

“Aku ingin dia mati.” Ucap Tika akhirnya memecah keheningan. Namun suaranya seperti mendesis. Seolah ingin melampiaskan amarahnya.

“Apa kamu sudah ikut gila? Jangan keterlaluan begitu! Hilangkan pikiran seperti itu ...! Bahaya ...!” Kini Hendarto benar-benar marah.

“Aku sangat tidak puas ... Aku kecewa ... Kalau kamu gak mau membantu lagi ... Turunkan aku di sini ...” Lagi, suara datar penuh angkara murka keluar dari mulut Tika.

“Tika ... Sadarlah ...! Dewi yang menjadi gila ... Itu sudah hukuman yang sangat berat baginya ... Sudahlah! Cukup sampai di sini saja ... Gak usah dilanjutkan ...” Hendarto berusaha menyadarkan Tika.

“Turunkan aku di sini!” Desis Tika tak terima nasehat kekasihnya itu.

Hendarto tidak menggubris permintaan Tika. Laki-laki itu terus melajukan mobilnya bahkan semakin kencang. Dan tak lama, Hendarto menepikan mobilnya persis di depan gang rumah Tika. Tanpa berkata satu kata pun, Tika langsung keluar mobil dan meninggalkan Hendarto begitu saja memasuki gang. Hendarto menghela nafas panjang dan langsung saja laki-laki itu melajukan mobilnya kembali. Sementara itu, Tika yang sangat kecewa, menangis sesegukan. Hingga sampai di rumahnya, Tika langsung masuk ke dalam kamar lalu menumpahkan kekecewaannya dengan menangis sampai terlelap tidur.​

----ooo----

Denta Pov

Setelah enam jam perjalanan aku akhirnya sampai di rumahku yang telah kutinggal selama tiga minggu kurang. Ada sedikit rasa rindu ketika melihat rumahku ini. Bagaimana pun rumahku adalah istanaku. Aku suka tempat tinggalku, aku senang bisa tinggal di rumah yang nyaman, bersih dan tertata rapi. Setelah masuk ke dalam rumah, aku rebahkan diriku di atas sofa di ruang tengah sambil nonton acara televisi yang didominasi oleh acara berita tengah hari.

“Kang ... Mau minum yang dingin atau yang panas?” Tanya pembantuku yang cantik bernama Suti, seorang janda anak satu asal Cilacap. Walaupun berstatus sebagai pembantu namun aku perlakukan wanita ini sebagai ‘ibu negara’ di rumahku.

“Aku ingin minum susumu ... Sini ... Aku kangen sekali ...” Kataku sambil menepuk sofa meminta Suti duduk di dekatku.

“Ih ... Akang ...” Suti pun tersenyum seraya mendekatiku lalu duduk di pinggiran sofa menghadapku.

“Kamu gak kangen sama akang?” Tanyaku setengah bercanda sambil membuka kancing kemejanya.

“Kangen kang ... Akang lama sekali pulangnya ...” Ucap Suti agak sendu. Tangan wanita itu kini membuka kancing dan resleting celanaku tanpa aku suruh. Kemudian dengan sedikit bantuanku, celana panjang dan kolor yang aku kenakan sudah tergeletak di atas lantai.

“Ada urusan yang gak bisa aku tinggalkan ...” Kataku sembari meremas dua buah bukit kembarnya yang masih terbungkus bra berwarna hitam.

“Urusan cewek ya ...?” Kata Suti sambil cemberut. Tangannya mulai mempermainkan penisku dengan meremas, memijit dan mengocoknya sehingga membuat penisku menjadi tegang dan keras.

“Ya ... Diantaranya itu ...” Jawabku santai. Aku semakin bersemangat ketika gundukan daging kenyal di dada Suti terasa mengeras. Memang, pembantuku ini sangat mudah horny, hanya dengan sentuhan kecil saja keinginan bercintanya langsung muncul.

“Kang ... Ini sudah keras ...” Suti menggenggam penisku erat.

“Cepat masukin ke tempatnya!” Kataku sambil menyeringai.

Suti pun bangkit, ia membuka seluruh kain yang melekat di tubuhnya. Buah dadanya yang mencuat menantang dan kulitnya yang ditumbuhi bulu halus, apalagi bulu kemaluannya yang sangat rimbun berjejer rapih seperti barisan semut sampai ke pusarnya membuat nafsuku semakin memuncak. Suti pun mulai menaiki tubuhku dan menduduki penisku. Ia kemudian bergerak maju mundur sehingga penisku bergesekan dengan memeknya yang tembem.

Tak lama, secara perlahan Suti mulai mengarahkan penisku yang panjang dan besar ke dalam liang memeknya. Ditekan tubuhnya turun secara perlahan. Tampak ia sedikit meringis. Namun, dengan perlahan-lahan ia menggoyang-goyang pinggulnya sambil menurunkan pantatnya supaya penisku bisa terbenam lebih dalam di liang memeknya. Sungguh nikmat sekali. Otot lubang memeknya begitu kuat mencengkram penisku. Sambil mulut Suti tak berhenti mendesah, ia terus menggoyang-goyang pinggulnya dan menekannya supaya penisku terbenam lebih dalam secara perlahan. Sampai akhirnya, penisku amblas di dalam lubang memeknya yang lembab dan hangat.

“Ooouuhhh ... Sssshhhhh ... Ooouuhhh ... Sssshhhhh ...” Desah Suti sambil menggoyang-goyang pinggulnya memutar.

Perlahan-lahan ia mulai menaik turunkan pinggulnya mengocok penisku yang terbenam di lubang memeknya. Sesekali ia kembali menggoyang memutar pinggulnya membuatku merasakan nikmatnya cengkraman otot memeknya. Perlahan aku mulai menaik turunkan pinggulku mengimbangi gerakan Suti. Setelah lebih dari 15 menit, gerakan Suti semakin liar. Sambil terus menaik turunkan penisku yang terbenam di lubang memeknya, aku arahkan tanganku untuk meremas-remas susu besar pembantuku yang cantik ini. Terasa begitu kenyal dengan puting besar yang sudah sangat mengeras. Aku mainkan jari-jemariku memilin-milin puting susunya. Akhirnya tubuh Suti ambruk menindih tubuhku sambil mencium dan menjilati wajahku. Nafasnya terasa hangat menyentuh kulit wajahku. Dengan desah yang semakin seksi dan sarat akan suasana birahi.

“Oooooouuuuuuhhhhh ... Sssshhhhhhh ... Aaaaaaaaahhhhh ... Keluaaaarr ...!” Lenguh Suti sambil badannya mengejang-ngejang. Terasa memeknya berkedut-kedut dan mencengkram erat penisku. Sehingga aku hentikan gerakan penisku demi merasakan kedutan dan cengkraman yang terasa nikmat pada penisku.

Tampak gerakan pinggul Suti mulai mengendur sehingga aku minta ia untuk berbari telentang di sofa menggantikanku. Tanpa banyak bicara, Suti mulai melepas penisku dari dalam lubang memeknya kemudian telentang di atas sofa. Aku mengatur posisi di atas tubuh pembantuku ini, kemudian aku angkat kedua kakinya ke atas. Tangan Suti kemudian menggenggam penisku yang licin penuh cairan memeknya untuk diarahkan ke dalam lubang memeknya.

Sambil memegang kaki wanita itu, aku mulai tekan penisku memasuki lubang memeknya. Terlihat memeknya yang tembem semakin memerah. Aku pun mulai memaju mundurkan penisku ke dalam lubang memeknya dengan cepat. Tubuh Suti ikut terhentak-hentak akibat gerakan maju mundurku yang cepat mengocok penis ke dalam lubang memeknya. Sehingga mulut Suti terus menganga mengeluarkan desahan dan erangan kenikmatan.

“Ssssssshhhhh ... Aaaaaaahhhh ... Ooooooouuuhhhh ... Ooouuuuuuhhhh ... Sssshhhh ... Aaaaaahhhh ...” Desahnya dengan mulut menganga dan mata terus terpejam.

Di bawah 20 menit aku kocok dengan cepat memeknya, kembali Suti mendapat orgasmenya. Tangannya mencengkram kuat tanganku yang sedang memegangi kakinya. Tubuhnya mengejang hebat. Suti mengalami orgasme yang keduanya ini dengan hebat dan muncrat kemana-mana. Terasa cairan hangat mengalir deras membasahi batang penisku. Dan penisku terasa ditarik-tarik ke dalam rahimnya terasa seperti dipijat pijat.

“Ooooouuuuuuhhhh ... Sssssshhhhhh ... Oooouuuuuuuuhhhhh ...” Lenguh Suti sambil tubuhnya mengejang-ngejang kuat. Kedutan dan cengkraman memeknya kembali terasa. Aku hentikan gerakanku menikmati kembali sensasi nikmat pada penisku akibat orgasme Suti.

Nafas Suti masih terengah-engah. Sesudah pembantuku menguasai dirinya kembali, aku balikan tubuhnya yang telentang untuk tengkurap. Aku tarik pantatnya hingga berhadapan dengan selangkanganku. Dengan posisi doggy, aku mulai menusukan penisku dengan perlahan ke lubang memeknya. Agak sulit karena posisinya terlalu rendah. Sehingga dengan lutut menyentuh lantai, Suti menaikan sedikit pinggulnya ke atas sehingga antara penisku dan lubang nikmatnya sejajar. Perlahan aku tusuk kembali memeknya yang sudah basah oleh lendir cintanya. Dengan agak kuat aku dorong penisku perlahan-lahan. Suti mengerang sambil membenamkan wajahnya ke bantal sofa.

“Aaaaaaaauuuuuhhhhhh ... Oooooooouuuuuuwwww ... Ssssssshhhhh ...” Erang Suti sungguh seksi sekali terdengar di telinga.

Setelah penisku terbenam seluruhnya di dalam memek Suti, aku mulai memaju mundurkan penisku mengocok memeknya secara perlahan. Suti terus mengerang dan mendesah sambil wajahnya tetap terbenam di bantal sofa yang empuk dan lembut.

“Ooooouuuuuhhhh ... Ssssshhhhh ... Ooooouuuuuuhhhhh ...” Desah Suti semakin sering dan cukup keras.

Memek Suti sudah sangat terasa licin sehingga aku leluasa mempercepat gerakan memaju mundurkan penisku. Sambil terus bergerak memaju mundurkan penis dengan cepat, aku remas-remas pantat montoknya yang menggemaskan.

Semakin cepat aku memaju mundurkan penisku ke dalam memek Suti, aku semakin merasakan kenikmatan pada penisku. Sehingga penisku mulai terasa gatel dan geli nikmat. Sampai akhirnya, aku tak kuat lagi menahan gelombang yang membuat syaraf menegang. Aku hentak-hentakan tubuhku menghantam pantat montok Suti sambil menyemprotkan spermaku ke dalam lubang senggamanya.

Belum usai spermaku terkuras habis, tubuh Suti mengejang-ngejang. Pantatnya ia tekan-tekankan sambil kepalanya mendongak ke atas. Sehingga penisku kembali terbenam lebih dalam di dalam memeknya. Meluncurlah lenguhan panjang dari mulutnya.

“Ooooouuuuuuhhhh ... Ssssssshhhhhh ... Aaaaaaaaaahhhhhhhhhhhhh ...!” Lenguh Suti mendapatkan orgasmenya lagi.

Dengan nafas ngos-ngosan, aku tahan tubuhku supaya tidak ambruk menindih tubuh Suti. Setelah usai gelombang orgasmeku dan orgasme Suti, perlahan aku cabut penisku dari liang nikmatnya. Keringat membasahi sekujur tubuhku. Aku duduk di lantai tepi sofa untuk beberapa saat sebelum akhirnya aku bangkit lalu memakai celanaku. Suti masih terkulai lemas dengan senyum di bibirnya, masih menikmati sisa-sisa orgasmenya. Dan tiba-tiba saja smartphone-ku berdering keras. Dengan mudah aku melihat siapa yang menelponku, tertera dengan jelas "Irwan". Segera saja kuangkat telepon itu.

“Ya ... Wan ... Aku sudah di Jakarta ... Siap bergerak ...!” Kataku sambil melihat jam di dinding yang menunjukkan pukul 13.00 siang.

Segera ke lokasi, Ta ... Ada perubahan jadwal kedatangan ... Barang datang dua jam lebih awal ...” Ungkap Irwan di seberang sana.

“Oh ... Siap ...! Aku siap-siap dulu ...” Kataku lalu mematikan sambungan telepon.

“Akang mau pergi lagi?” Tanya Suti dengan mimik tidak senang.

“Ada kerjaan ... Hanya sebentar ... Nanti malam akang pulang ...” Kataku sambil berlalu dari hadapannya.

“Awas kalau gak pulan! Gak akan aku bukakan pintu!” Ancam Suti dengan nada kesal.

“Iya ... Akang pasti pulang ...” Kataku santai.

Aku pun mandi dan berdandan sedikit agar terlihat sedikit elegan. Suti telah mempersiapkan baju dan celana yang akan aku pakai. Aku ceritakan pada Suti kalau aku diminta bantuan oleh seorang teman untuk mengeluarkan barang mewah di pelabuhan. Walau kami hidup tanpa ikatan, namun Suti memperlakukan aku selayaknya sebagai suami. Wanita ini sangat peduli bahkan menurutku agak sedikit posesif.

“Aku pergi ...!” Kataku setelah siap dengan segala sesuatunya.

“Awas! Harus pulang!” Katanya lagi masih dengan nada mengancam.

“Siap ibu ratu ...” Candaku sambil mengalungkan tanganku di bahunya.

Suti mengantarkan sampai garasi. Setelah mencium keningnya, aku pun naik ke dalam mobil kemudian melajukan keluar rumah dan bergerak ke arah pelabuhan. Macet, bising, hiruk pikuk. Itulah kata yang identik dengan jalanan Jakarta yang selalu riuh dengan klakson ribuan kendaraan pada hari-hari biasa. Jarak satu tempat ke tempat lain yang mestinya hanya ditempuh 20 hingga 30 menit harus ditempuh berjam-jam karena macet. Sudah menjadi pemandangan lumrah bila sepeda motor salip kanan-kiri, seolah tak punya waktu untuk meladeni kemacetan. Mobil-mobil juga nekat melewati jalur TransJakarta.

Namun, semua gambaran itu berbeda dengan hari ini. Jalanan Jakarta sepi saat melaksanakan libur bersama yang digagas pemerintah. Tak ada riuh kendaraan di jalanan Jakarta. Sepi meruak hampir di seluruh jalan protokol. Banyak orang yang memilih menikmati dengan bersepeda bersama teman atau keluarga. Sesekali terlihat juga orang-orang berjalan kaki. Ya, nyatanya libur bersama bisa membuat Jakarta jadi sepi. Orang-orang menikmati jeda sesaat dari rutinitas yang seperti tak kunjung habis.

Kendaraanku melaju kencang bebas hambatan. Jarak antara rumah dan pelabuhan tak lebih dari 20 kilometer. Dengan demikian, aku hanya memerlukan waktu satu jam kurang untuk sampai pelabuhan. Hawa udara laut mulai tercium. Gerbang pelabuhan telah terlewati. Aku pun berhenti di sebuah gudang yang tak jauh dari lokasi bongkar muat pelabuhan.

“Sebentar lagi barang kita turun. Kita tunggu di sini dulu sampai barangnya masuk ke dalam gudang.” Jelas Irwan setelah aku berada di dekatnya.

“Siapa dia?” Tanyaku pada Irwan saat melihat seorang pria sedang mendekat ke arah kami.

“Dia pejabat pelabuhan ... Biasalah minta jatah ...” Bisik Irwan seperti tak melanjutkan ucapannya karena keburu dua orang pria tersebut berada dekat dengan kami.

“Selamat sore Pak Irwan ... Kelihatannya ada yang akan berlabuh di sini ...” Ucap pria tersebut dengan mimik yang antusias namun menyebalkan.

“Iya Pak ... Mohon bantuannya ... Seperti biasa ...” Jawab Irwan sangat ramah terkesan kalau temanku ini sangat memerlukan pertolongannya.

“Siap Pak Iwan ... Jangan khawatir ... Saya tunggu di kantor ya ...” Katanya lagi semakin menyebalkan.

“Siap Pak ... Tunggu saja saya di kantor ...” Balas Irwan sambil sedikit membungkukan tubuhnya.

Orang itu pun berlalu dengan langkah yang terlihat ringan. Di benakku terasa sekali kekurangsukaan terhadap dia karena sudah seperti tukang palak pasar saja. Irwan kemudian menceritakan fungsi orang itu yaitu sebagai pemberi akses keluar barang-barang di pelabuhan. Tanpa orang itu, barang apapun yang turun dari kapal mustahil bisa keluar.

“Biar aku saja yang mengantar upetinya.” Tawarku pada Irwan.

“Hhhmm ... Padahal aku punya tugas lain buat kamu ... Itu kamu lihat, gerombolan pengangkut di sana ... Mereka juga sering meminta uang ... Tapi terkahir-terakhir ini, mereka meminta dengan jumlah yang tinggi kadang gak masuk akal ... Karena mereka tahu kalau barangku adalah barang ilegal ...” Jelas Irwan.

“Tugasku apa buat mereka?” Tanyaku.

“Singkirkan mereka dari sana ... Mereka menghalangi barang kita untuk keluar ...” Kata Irwan sambil memandangku.

“Jadi tugasku cuma itu?” Tanyaku lagi ingin keyakinan.

“Ya ... Tugasmu menyingkirkan mereka dari sana ...” Jawab Irwan dengan wajah khawatir.

“Deal ...!” Kataku sambil berjalan mendekati gerombolan pengangkut yang kuhitung ada tujuh orang berbadan kekar.

Setelah sekitar 50 langkah, aku kini sudah berada di dekat gerombolan tersebut. Tentu saja aku disambut dengan wajah mereka yang sangar serta pakaian yang serba ketat seperti hendak memperlihatkan otot-otot badannya. Namun, bagiku itu bukan suatu masalah yang berarti. Dengan santai aku mulai bicara pada mereka.

“Bapak-bapak ... Mohon perhatiannya sebentar ...” Kataku sambil mempersiapkan cincin ajaibku.

“Elo anak buah si Irwan?” Tanya seorang diantara mereka dengan nada tidak bersahabat. Dengan sekali gerakan, kini cincinku sudah berputar ke telapak tangan sementara jempolku sudah menekan batu cincin dengan sangat kuat.

“Bapak-bapak ...” Aku tahan ucapanku untuk memastikan sugestiku sudah menguasai mereka. Terasa sekali rasa hangat batu cincinku sebagai pertanda ketujuh orang di hadapanku sudah tersugesti olehku. “Bapak-bapak semua ... Sekarang bubarlah ... Pulang ke rumah masing-masing ... Bapak-bapak semua lupa kalau hari ini ada barang yang bapak tunggu ... Dan seterusnya lupa ... Paham ...!” Kata-kata ajaibku keluar dengan sangat lancar dan langsung dijawab oleh mereka dengan anggukan.

Secara bersamaan ketujuh orang itu membubarkan diri. Dua buah mobil jeep tua mereka naiki dan tak lama bergerak menjauh lokasi. Aku pun menggerakan cincinku kembali pada tempatnya lalu berjalan menghampiri Irwan yang menatapku seperti orang kebingungan.

“Lah ... Kamu apain mereka?” Tanya Irwan sangat heran saat aku sudah berada di depannya.

“Hanya diomongin ...” Jawabku santai.

“Imposible ... Begitu mudah kamu mengusir mereka?” Pertanyaan Irwan berlanjut dan terdengar semakin keheranan.

“Sudah ... Jangan dibahas ... Yang penting kerjaanku selesai ...” Kataku sambil menepuk-nepuk bahu temanku yang masih tak percaya dengan apa yang aku lakukan.

“Busyet ... Aku aku sedang bermimpi ...” Guman Irwan sembari mengusap wajahnya.

“Ha ha ha ... Sekarang mana uang upeti itu ... Aku akan urus sama orang tadi ...” kataku sambil mengulurkan tangan dengan telapak terbuka.

Irwan seperti terhipnotis olehku padahal aku tidak melakukannya. Sebuah tas berukuran sedang ia berikan kepadaku. Tanpa banyak basa basi, aku menuju kantor yang ditunjuk Irwan. Patokannya adalah ada sebuah plang nama di pintu masuk kantor dengan tulisan ‘SUPARDJO’. Aku tahu bahwa isi tas ini adalah uang dengan jumlah tidak kurang dari 300 juta. Daripada diberikan kepada orang itu lebih baik uang ini untukku saja. Tak lama, aku pun menemukan ruangan yang memang aku tuju. Aku ketuk pintu beberapa kali dan pintu pun terbuka. Wajah orang yang tadi kulihat muncul di baliknya.

“Oh ... Silahkan masuk ...!” Sapanya sangat ramah.

“Terima kasih ...” Responku tak kalah ramah. Aku pun masuk lalu dipersilahkan duduk di sofa yang terletak di ujung ruangan.

“Bagaimana? Sudah siap biaya administrasinya?” Tanyanya sambil menyeringai. Tampak sekali orang ini sangat berharap. Dan tanpa membuang waktu, aku geser cincinku ke telapak tangan lalu kutekan dengan jempol.

“Pak ...” Aku tahan ucapan dan saat itu juga orang di depanku telah dimasuki sugestiku. “Sekarang bapak keluarkan saja surat-surat yang kami perlukan ... Dan setelah itu bapak lupa semuanya tentang barang kami yang turun di pelabuhan ini ... Dan bapak juga lupa pernah memberikan surat-surat keperluan kami ... Dan tidak ingat kalau hari ini kami datang ke sini ... Setelah selesai membuat surat-surat, bapak tertidur pulas sampai jam tujuh malam ... Paham ...!” Kata-kata ajaibku dijawab dengan anggukan.

Pejabat pelabuhan yang bernama Supardjo mulai sibuk di meja kerjanya. Entahlah apa yang ia kerjakan dan beberapa saat berselang Supardjo menyerahkan beberapa berkas surat penting kepadaku. Selanjutnya, aku suruh orang itu duduk di kursi kerjanya dan langsung saja ia terlelap. Aku bawa surat administrasi pelabuhan beserta tas berisi uang yang kini telah menjadi milikku. Sesampainya di gudang, aku tidak melihat Irwan di sana. Secepatnya aku simpan tas di dalam mobilku lalu mencari kawanku dengan berkeliling di sekitar gudang.

“Gimana? Beres?” Tiba-tiba suara Irwan muncul dari arah belakang. Aku pun berbalik lalu bergerak mendekatinya.

“Nih ...” Kataku sembari menyodorkan berkas hasil kerja Supardjo. Sesaat Irwan memeriksa berkas itu dan tak lama tersenyum.

“Bagus ... Pekerjaanmu selesai ...” Katanya seraya menepuk dadaku dengan berkas yang baru saja ia baca.

“Selesai? Cuman begini?” Tanyaku sedikit tak percaya.

“Iya ... Kamu sekarang boleh pulang ... Nanti upahmu aku transfer ...” Kata Irwan sumringah.

“Ini serius? Kerjaku selesai?” Tanyaku lagi karena masih tak percaya.

“Serius ... Kerjamu sudah selesai ... Tugasmu kan cuma menghalau preman-preman pelabuhan saja ... Mereka sudah pergi dan barang akan segera turun ... Dengan ini ...” Irwan mengangkat berkas di tangannya.

“Ya sudah kalau begitu ... Aku pulang ...” Kataku sambil menjabat tangan kawanku yang harus masih mengantar barang selundupannya. “Oh iya ... Aku kok penasaran ... Barang yang turun sekarang apa ya?” Tanyaku pada Irwan sambil berjalan ke arah mobilku.

“Sedan Mercedez sport keluaran terbaru ...” Jawab Irwan. “Ok, Ta ... Aku harus ke sana dulu ... Tunggu saja kabar dariku ...” Ucap Irwan kemudian sambil berjalan cepat berbelok ke arah kiri.

“Siap ...” Jawabku yang masih terus berjalan lurus ke arah mobilku.

Sesampainya di mobil, aku dengan cepat masuk dan duduk di belakang kemudi. Sebelum menyalakan mesin, aku melirik tas di jok sampingku sambil tersenyum puas. Tak kusangka aku mendapatkan uang besar dengan sangat mudah. Kemudian, aku nyalakan mesin mobil dan melaju keluar pelabuhan. Kupacu kendaraanku dengan kecepatan cukup tinggi, membelah jalanan yang lumayan sepi. Satu jam berselang, aku pun sampai di rumah. Setelah menyimpan tas berisi uang di dalam lemari, aku merebahkan tubuh di atas kasur, merilekskan tubuh setelah seharian beraktivitas. Tak lama, Suti masuk ke dalam kamar dan berbaring di sebelahku. Kami pun akhirnya melakukan aktivitas ranjang sampai kami kehabisan tenaga dan tertidur lelap.

Bersambung

Kalau disidik sidik ya hu, sptnya irwan membuntuti denta ke Kantor syah bandar. Dan tahu denta bisa mengendalikan orang.
 
Status
Please reply by conversation.
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd