Agen Terpercaya  
 
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

MISTERI HISTORY OF AXEL

Bimabet
Hmmm Axel memegang peranan penting dalam LPH..kenapa tiba2 penulisnya beda?? Tolong di klarifikasi agar tidak terjadi hal-hal seperti copas karya orang lain..btw suhu serphant juga sempat bikin History of Axel..yg suka baca LPH dan ngikutin pasti tau..
Klarifikasi apaan bos?
Emang lu siape?
Kok minta klarifikasi?
 
Kalian tidak usah meributkan sesuatu yg baru di sini
Kalau ada org yg mau bikin cerita
Ya harusnya kalian support
Bukan kalian blg klarifikasi ato malah bilang plagiat ato gimana
Tinggal baca dan support aja susah

Iya nih, harusnya TS klarifikasi, ini kan cerita punya lurah mesum, kok sekarang yg post orang lain? :gila:

Eh ikutan ketcup basah ah
:panlok3::panlok3::panlok3:
 
Akhirnya salah satu subes kembali... Berharap bisa sampai tamat....
 
AXEL #3 THE MAID


Besok malamnya…

Sapto dengan terburu-buru pulang ke rumah. Ia baru saja balik dari rumah Alfa, sebuah pertemuan yang menghasilkan kesepakatan cukup mengerikan. Sapto sampai rumah hampir jam setengah 1 pagi. Ia berharap Axel masih bisa di kontak. Karena ini sifatnya urgent. Begitu sampai kamar, Sapto menyalakan rokok lalu menelepon Axel. Ia lega karena Axel masih bisa di hubungi. Namun tidak di angkat. Sapto mengulanginya lagi namun hasilnya sama. Saat Sapto merasa kesal, Axel kemudian menelepon balik.

“Sap, lo buka tirai kamar lo dah.”

“Anjir, maksudnya apaan?”

TOK…TOK…

Sapto kaget dan menoleh ke arah jendela kamar yang tertutup tirai karena ia mendengar dengan jelas jendelanya di ketuk dua kali dari luar.

“Itu gue yang ngetuk, bukan setan. Mana ada setan ganteng kayak gue,” seloroh Axel.

Sapto langsung menyibakkan tirai jendela dan ia tidak percaya dengan penglihatannya.

Ia melihat Axel yang mengenakan pakaian serba hitam, memamerkan senyumnya saat ia menyibakkan tirai kamar.

Anjing ! Darimana ia tahu rumah gue? Kenapa ia tahu gue sudah ada di rumah? Bahkan ia tahu posisi kamar gue? rasanya lebih serem ngeliat Axel depan kamar gue jam setengah 1 pagi di bandingkan liat setan jam 3 pagi !! pekik Sapto dalam hati.

“Hoi, cepat bukain pintu, kita ngobrol di kamar lo aja,” kata Axel lewat sambungan telepon.

“Bentar-bentar…” Sapto lalu keluar kamar dan membuka pintu lewat dapur. Kemudian ia mengajak Axel masuk ke kamarnya. Sapto ngeri sebenarnya kalau ada anak dari sekolahannya tahu Axel datang ke rumahnya.

“Gak usah takut, gak ada yang tahu gue di sini, kecuali empat makhluk. Elo, Tuhan, Setan dan Malaikat. Sap, biar cepat gak usah lo nanya ke gue di luar konteks, seperti nanya dari mana gue tahu rumah elo dan sejenisnya. Intinya nemuin rumah elo itu gampang. Ayo cepat ceritakan ke gue tentang hasil rapat karang taruna para bajingan SMA SWASTA RRR.”

Sempat terbersit di pikiran Sapto, ia sepertinya salah bekerjasama dengan Axel. Level kenakalan, kecerdikan Axel sudah di luar ekspetasinya. Tapi sudah terlambat untuk menyesal, terlebih Axel kini berada di depannya, di dalam kamarnya.

Sapto menghisap kuat-kuat nikotin dalam rokok, ia butuh nikotin untuk membuatnya merasa tenang. Ia lihat Axel juga mengeluarkan rokoknya sendiri. Ia menunggu dirinya untuk mulai bercerita.

“Untuk misi pertama yang ngincar elo langsung, masih sama, efektif mulai besok.Untuk misi kedua, 100-120an anak SMA SWASTA RRR akan datang dan menyerang sekolahan elo tepat jam 2 siang di saat anak-anak SMA NEGERI RRR sedang berkumpul di depan sekolah setelah jam pelajaran usai. Mereka semua bersenjata. Satu anak SMA SWASTA RRR di target menyerang satu siswa SMA NEGERI RRR. Motor-motor untuk melarikan diri atau kabur setelah selesai ngebacok kalian, akan di siagakan di sepanjang trotoar jalan Cendana, Jalan Jaksa dan Jalan Merapi. Rencana penyerangan 100% di eksekusi empat hari lagi lebih tepatnya hari Selasa Siang.”

Sapto berhenti sejenak karena tanpa gue sadari, gue cerita sambil gemetaran.

“Santai saja Sap. Minum dulu lah.Info lo luar biasa premium, gak sia-sia gue keluar duit 13 ribu.”

Sapto lalu menyambar air mineral di kamar. “Terus apa yang akan lo lakukan?counter attack? Di benak Alfa, anak-anak sekolah lo gak akan menyangka dan bersiap menghadapi serangan frontal."

Namun reaksi Axel justru hanya menggelengkan kepala dan berkata singkat. “Gak ada.”

Sapto terkejut. “Apa maksud lo dengan kata ‘gak ada’?”

“Bayar 60 ribu sekarang juga, maka gue ceritain rencana gue.”

Sapto nyaris saja memaki Axel namun bisa ia tahan. “Terserah elo dah,” cuma itu yang meluncur dari mulut Sapto. Ia mengira Axel membeli informasi dari dirinya di pergunakan untuk mengalahkan SMA SWASTA RRR.

“Haha gak usah lo pikirin terlalu jauh, dosa gue yan tanggung. Done. 5 ribu udah gue transfer ke elo,” terang Axel.

Sapto melihat notifikasi di ponselnya bahwa ada uang masuk ke rekeningnya 5 juta. Baru kali ini Sapto merasa bersalah menerima uang dari Axel. Tapi ia tidak bisa menggambarkan rasa bersalahnya.

“Sap, satu pertanyaan terakhir, lo boleh jawab, boleh tidak.”

“Apa?”

“Lo ikut serta dalam rencana penyerangan?”

“Entahlah, “ jawab Sapto sambil menatap asap rokok yang ia hembuskan ke atas.

Axel mengangguk. “Oke, gue cabut. Senang bekerjasama dengan elo..” Axel bangkit berdiri dan menepuk pelan pundak Sapto yang malah seperti orang melamun.

Axel lalu berjalan dengan santai, ia menuju ke mobil yang ia parkir ke seberang jalan. Axel sengaja menggunakan mobil Innova hitam yang tidak mencolok. Bisa gawat kalau ia berkeliaran naik mobil Nissan GT-R R35. Akan sangat menarik perhatian dan bisa mengundang masalah tidak perlu.

“Dasar Sapto ******,” kata Axel saat ia sudah berada di dalam mobil.

Axel mengolok Sapto karena ia tahu Sapto pasti akan ikut ke dalam rencana penyerangan, mana berani Sapto membantah Alfa. Sapto tidak punya alasan serta keberanian untuk menolak perintah Alfa. Axel tahu bahwa Sapto kini di liputi perasaan bersalah.

Sapto kini terjebak, ia tidak akan mungkin berani cerita kepada Alfa cs bahwa Axel tahu rencana penyerangan dengan detail. Hal itu sama saja tindakan bunuh diri. Yang bisa Sapto lakukan sekarang hanyalah, mengikuti arus. Ia akan berusaha menghindari clash secara frontal, yang penting ia selamat. Dan tentu saja menghabiskan uang haram hasil dari “menjual” teman-temannya.

Setelah Axel sampai rumah, ia langsung menuju kamar dan mengambil notes. Axel menulis beberapa rencana selanjutnya, bocoran hari penyerangan sangat membantu memuluskan rencana Axel. Setelah satu jam, berdialektika dengan pikirannya sendiri, rencana Axel rampung. Ia membacanya sekali lagi.

SABTU :
- ASSAULT X1
- ASSAULT X2

MINGGU :
- BIG BOS
- PREPARE THE STAND

SENIN :
- LETTER FROM GOD
- BURN THE FIRE

SELASA :
- BEAUTIFULL CHAOS
- JOKER SMIRK
- BYE RRR

“Terlihat bagus. Tapi lebih bagus lagi jika bisa gue eksekusi,” gumam Axel.

Ah pasti bisa, toh ini bukan pertama kalinya gue berada di kondisi seperti ini gyahahahahha. Waktu penyerangan empat hari lagi… berarti besok adalah weekend terakhir gue di Kota ini, batin Axel.


***

Bunyi benturan di pintu kamar, membuat Axel kesal. Ia mengantuk karena baru bisa tidur jam 3 pagi. Rasanya baru terlelap beberapa menit, padahal ini sudah jam 6 pagi. Axel yang terjaga berusaha untuk tidur lagi namun sia-sia kantuknya sudah menguap. Karena kesal, Axel meraih asbak di meja dan ia lemparkan ke arah pintu, “BERISIK ANJING, KERJA YANG BENER!!!” umpat Axel. Ia menduga para asisten rumah tangga (ART) di rumah yang sedang bersih-bersih, yang sudah menimbulkan suara berisik.

BRAK !!!

Asbak dari kaca tebal memang tidak sampai pecah, puntung rokok dan abu berhamburan di lantai. Namun benturannya yang sangat keras ke pintu membuat dua ART di luar kamar, terlonjak kaget.

“Tuh Mas Axel marah kan gara-gara kamu, makanya hati-hati kalau ngepel,” ujar ART bernama Anies yang sudah bekerja 5 tahun di rumah ini, memperingatkan Dewi, ART baru yang juga keponakannya di mana ini adalah hari pertama Dewi mulai bekerja.

“Maaf Mbak Anies, gak sengaja,” kata Dewi yang masih belum reda detak jantungnya karena kaget mendengar benturan di pintu serta teriakan dari dalam kamar. Memang tidak terdengar jelas teriakannya, namun yang jelas suara tersebut terdengar marah sekali.

Sebelumnya saat Dewi tengah mengepel dengan tongkat pel, ujung tongkat membentur pintu kamar, pintu kamar milik sang raja kecil.

“Jadi gimana ini Mbak Anies?” lanjut Dewi merasa khawatir.

“Biarin dulu, Mas Axel biasanya gak kasar seperti ini. Cuma kalau Sabtu atau Minggu pagi gini, Mas Axel biasanya baru balik jam 4-5 subuh. Mabuk-mabuk abis pesta gitulah. Jadi kalau weekend ART gak ada yang berani masuk ke kamarnya untuk bersih-bersih. Kami menunggu di panggil atau Mas Axel sendiri yang keluar kamar.”

Dewi manggut-manggut. “Ya ampun masih kelas 1 SMA sudah mabuk-mabukan?” komen Dewi heran.

“Pssst kamu ini! Bisa gawat kalau Mas Axel dengar ! udah sekarang ambil kain kering, terus lanjut pel biar gak licin. Kalau di sini sudah bersih, kamu lanjut pel di lantai 2. Hati-hati, banyak vas dan guci di atas. Kalau ada-apa, Mbak Anies di dapur, mau masak. Di lantai 2 ada telepon, nah kamu cukup tekan nomor 11 nanti langsung ke sambung ke telepon yang ada di dapur,” terang Mbak Anies.

“Wuih canggih yo Mbak.”

Ndeso men koe nduk.(Kampungan sekali kamu)” ejek Mbak Anies sambil menahan tawa.

Nyat aku wonk ndeso mbak, gak koyok Mbak Anies, wis dadi wong kutho, wis penak uripe nan kene, (memang aku orang kampung mbak, tidak seperti Mbak Anies, yang sudah jadi orang Kota, sudah enak hidupnya di sini).”

“Haha yowis, ah. Ayo lanjut bersih-bersih, Mbak mau masak.”

“Njih Mbak Anies,” ucap Dewi sambil menahan kesal.

Betapa dongkol dan kesal hati Dewi di bilang “ndeso” sama Mbak Anies. Padahal ya sama-sama dari kampung, masih saudaraan pula. Dewi tahu sih mungkin Mbak Anies cuma bercanda, tetapi karena efek mendengar pintu di lempar dengan sesuatu sehingga ia masih berdebar-debar dan agak capek, Dewi gampang tersinggung. Dewi memaklumi dirinya sendiri, karena ia belum pernah kerja sebegini keras, sampai keringetan ia menyapu dan ngepel pakai seragam ART pula. Rumah ini memang mewah dan bagus banget, namun ya besar. Pantas jika ART di sini ada tiga orang, di luar tukang kebun dan sekuriti.

Selain dirinya dan Mbak Anies ada satu lagi ART, Nita namanya, dia sedang pergi belanja barang kebutuhan di supermarket. Berbeda dengan dia dan Mbak Anies yang tinggal di rumah ini yang menyediakan lima kamar untuk tiga pembantu, satu untuk tukang kebun dan satu untuk sekuriti. Nita kalau sore pulang karena ia orang asli sini. Jadi satu kamar pembantu di isi oleh Trisno, sekuriti baru. Trisno berjaga bergantian dengan Ahok, sekuriti senior yang sudah bekerja saat rumah ini jadi.

“Dasar perawan tua…” gumam Dewi pelan saat Mbak Anies sudah menghilang dari tu pandangan. Percuma hidup enak, gaji besar dan punya majikan yang royal, kalau belum laku, ejek Dewi dalam hati. Dewi tak kuasa tidak membicarakan Mbak Anies di belakang. Namun masih sebatas di batin saja sih karena ia takut menyinggung Mbak Anies, karena berkat Mbak Anies, ia bisa ikut kerja sana dia di sini.

Setelah cerai sama mantan suaminya di mana pernikahan mereka hanya bertahan seumur jagung, Dewi hendak mendaftar jadi TKI. Modal nekat saja sih karena ia stress hidup di kampung. Apalagi 6 bulan pernikahan, ia belum memiliki anak jadi ia masih bebas kemana saja. Tapi kemudian Mbak Anies yang sedang pulang ke kampung pas ada acara nikahan kakaknya Dewi yakni Mas Kris, cerita kalau di rumah tempat ia bekerja sedang cari 1 ART karena ada yang berhenti kerja.

Sebenarnya Dewi agak gengsi sih jadi ART, tapi Dewi mikir, bukannya kalau jadi TKI juga sama-sama jadi pembantu? Udah gitu ada rasa takut dalam diri Dewi kalau ia kena jebak agen penyalur TKI ilegal dan Dewi juga yakin gak mungkin bisa menguasai bahasa Mandarin atau Arab dalam waktu. Hingga akhirnya Dewi mengaku berminat.

“Yakin kamu Dew?” tanya Mbak Anies kala itu.

“Yakin sih Mbak,” meski bilang yakin tapi Mbak Anies tahu bahwa Dewi masih merasa ragu-ragu.

“Kalau kami masih ragu, lihat ini.”

Mbak Anies lalu mengeluarkan ponselnya, ponsel merk Oppo, memang bukan seri terbaru, tapi Dewi tahu itu ponsel mahal, kemudian Mbak Anies menunjukkan foto-foto rumah tempat Mbak Anies bekerja.

“Ya ampun,ini rumah apa istana Mbak? Gede dan bagus banget, pasti enak kerja di situ. Eh tapi pasti capek banget beres-beres rumah segede gini.” ujar Dewi.

“Ada tiga pembantu kok di rumah, satu tukang kebun dan dua sekuriti. Kita cuma beres-beres di dalam rumahnya. Capek sih tapi lama-lama udah biasa.”

“Kalau pemilik rumah atau majikan Mbak Anies gimana?galak? Cerewet?”

“Santai kok. Mereka jarang banget di rumah. Tuan Sidharta dan Nyonya William jarang banget ke rumah itu. Paling cuma satu bulan sekali nengok. Terus Mbak Alexa malah jarang, gak bisa di tebak kapan pulangnya, mungkin setahun cuma berapa kali aja pulang karena ia kuliah di Inggris. Nyonya William itu asli londo dari Amerika. Jadi Mbak Alexa dan Mas Axel itu cantik, ganteng karena blasteran.”

“Oalah. Mbak rumah segitu besar kok gak di tempati sih?” aku merasa heran mendengar penuturan Mbak Anies.

“Ada kok Mas Axel tinggal di rumah semenjak ia masuk ke SMA NEGERI RRR. Sebelum Mas Axel menempati rumah ini, malah jarang banget di tengok sama yang punya rumah. Tuan atau Nyonya singgah ke situ kalau pas urusan dengan bisnis saja. Rumah asli Tuan Sidharta dan Nyonya Wiliam kan di Kota XXX.”

Dewi geleng-geleng mendengarnya. “Rumah macam istana gini cuma sebagai rumah singgah.”

“Ya namanya orang pinter punya usaha tambang dan properti, ya pasti tajir melintir duit gak berseri. Dengar-dengar dari Pak Ahok, Tuan Sidharta itu rumahnya banyak banget ya salah satunya rumah tempat Mbak kerja. Makanya daripada rumah kosong di huni makhluk halus, Nyonya William minta para ART untuk tinggal dan jaga rumah. Bayangin saja 5 tahun kerja di situ, baru setengah tahun terakhir ini, ada anggota keluarga Tuan Sidharta yang menetap nempatin rumah, si Mas Axel. Jadi kebayang kan, enaknya pekerjaan Mbak Anies, kadang udah kayak rumah sendiri hehehe.”

Dewi manggut-manggut mendengarnya. Kalau majikan yang punya rumah jarang ada di rumah, gaji besar dan lebih banyak nyantai, ini sih aku juga minat, pikir Dewi.

“Jadi gimana? Masih minat?”

“Yowis, aku coba Mbak Anies, suwun njih.”

“Oke, tapi aku tak laporan sama Bu Hermina dulu.”

“Bu Hermina siapa Mbak?”

“Bu Hermina itu orang kepercayaan Nyonya Williamya yang punya peran sebagai Kepala Rumah Tangga gitulah. Karena saking banyaknya rumah milik Keluarga Sidharta dan tiap rumah gak boleh sama sekali kosong jadi ya mesti ada ART yang merawat, membersihkan sekaligus tinggal di situ. Jadi Bu Hermina ini yang rekrut serta memilih langsung ART, tukang kebun, sopir sampai ke sekuriti yang di sodorkan oleh agen penyalur tenaga yang di tempatkan di rumah. Pokoknya Bu Her ini yang bisa kasih keputusan terima atau tidak, ya bahkan bisa ganti para pelayan kalau kerjanya gak bagus.”

“Oh gitu.”

“Wes, kamu tenang saja. Kamu kirim saja atau WA ke Mbak fotomu, foto close up kayak foto KTP sama foto full badan.”

“Fotoku mbak?”

“Iyalah. Karena Mbak cukup dekat dan akrab, sering WA-WA dengan Bu Her, Mbak di pasrahi yang cari ART baru untuk di rumah, tapi tetap yang kasih keputusan akhir Bu Her. Tenang aja pokoknya, apalagi kita masih sodaraan. Tunggu kabar Mbak dari Anies saja.”

“Kapan Mbak Anies, aku dapat kabar?”

“Nek kamu bisa kirim foto hari ini, hari ini juga langsung ta ajukan ke Bu Her.”

Singkat kata, setelah Dewi mengirimkan foto dirinya kepada Mbak Anies dan Mbak Anies lapor ke Bu Her, besoknya Mbak Anies datang ke rumah Dewi dan mengatakan lima menit lagi Bu Her mau video call langsung dengan Dewi. Dewi tentu saja kaget karena mendadak.

“Haduh, aku mesti gimana Mbak? Aku kan rung siap.” ujar Dewi sambil gugup.

Namun Mbak Anies segera menenangkan Dewi.

“Sudah kamu tenang saja, jawab jujur apa adanya tentang kondisimu, termasuk kamu statusnya janda tanpa anak. Bu Her itu baik kok orangnya. Besok pagi itu Mbak mesti sudah balik Kota, kata Bu Her nek dia cocok sama kamu, Mbak di minta langsung ajak kamu ke Kota besok alias kamu langsung kerja.”

Antara senang, deg-degan dan proses serba cepat, saat kemudian Bu Her melakukan video call dan tanya-tanya tentang Dewi, Dewi sudah agak tenang. Apalagi benar kata Mbak Anies, Bu Her itu orangnya punya tutur kata lembut sehingga setiap hal yang ia tanyakan bisa Dewi jawab termasuk statusnya sebagai janda.

“Pertanyaan terakhir dari saya, kenapa kamu memutuskan bercerai dengan suami?”

“Karena saat kami menikah di usia belia, kami secara fisik kami memang sudah siap namun tidak dengan emosi dan cara berpikir. Menikah bukan cuma urusan hubungan suami-istri namun ternyata juga butuh kedewasaan. Makanya baru beberapa minggu setelah menikah, kami sering bertengkar karena urusan sepele. Ego masih sama-sama tinggi, tidak mau ngalah. Tiga bulan sudah pisah rumah, saya kembali tinggal bersama orang tua. Kedua orang tua kami coba untuk membuat kami rujuk namun percuma. Akhirnya dengan berat hati, di bulan keenam kami menyudahi usia perkawinan dan resmi bercerai.”

Dewi benar-benar gamblang menceritakan dirinya, tidak ia tutup-tutupi bahwa ia terlalu mudah di mabuk cinta dan masih memiliki sifat labil. Dewi pasrah namun ia tidak akan marah atau menyesal jika ia tidak di terima bekerja bersama Mbak Anies karena sifat blak-blakannya ini.

Setelah mendengar jawaban dari Dewi, Bu Her lalu mengatakan keputusannya akan ia informasikan secepatnya kepada Mbak Anies.

Malam harinya, setelah selesai makan dan mencuci piring kotor, Dewi mendapat telepon dari Mbak Anies.

“Dewi, kamu siap-siap ya, gak usah bawa baju banyak-banyak. Cukup bawa KTP. Besok kamu ikut saya ke Kota RRR. Bu Her mau terima kamu kerja bareng saya,” ujar Mbak Anies dengan suara ruang riang.

Dewi tentu saja senang ! akhirnya ia bisa kerja di Kota bareng Mbak Anies sepupunya. Selain gajinya lumayan, dapat kamar gratis, makan sehari-hari tidak perlu mikir, ia dapat kesibukan yang membuatnya bangkit dari pahitnya perceraian di usianya yang masih terbilang belia, 19 tahun.

Setelah menyapu dan membersihkan debu-debu di sofa serta perabotan rumah yang ada di lantai 2 (hampir tidak ada debu sih sebenarnya), Dewi mengepel dengan tongkat kain pel alias dengan cara manual. Sebenarnya di rumah ini ada mesin pengepel yang canggih yang biasa di pakai oleh para cleaning service di mall-mall, namun karena Dewi belum terbiasa dan agak takut pakainya, jadinya Dewi ngepel dengan tongkat pel seperti biasa ia lakukan di rumah. Air yang sudah di berikan pewangi sekaligus pembersih lantai hanya sedikit agar cepat mengering dan licin.

Sambil mengepel, sesekali Dewi memperhatikan ke bagian foto keluarga yang tergantung di lantai 2, tepat di atas TV berukuran 42 inci. Foto keluarga Sidharta.

Saat hari pertama ia berada di rumah, Dewi terkejut saat melihat foto pemilik rumah yang ada di lantai satu. Karena Tuan Sidharta, majikan sekaligus pemilik rumah ini adalah seorang politikus, pengusaha sukses, anggota DPR yang kemarin saat kampanye pilpres sering muncul di TV. Ada rasa bangga dalam diri Dewi karena ia bekerja di rumah pejabat terkenal, ganteng pula.

Untuk Nyonya William, memang perempuan bule tulen, hidung mancung cantik seperti artis Hollywood meski tidak memiliki rambut blonde. Tidak mengherankan jika keturunan keduanya memiliki fisik serta paras rupawan khas anak blasteran. Putri Sulungnya saja cantik banget. Namun anak kedua majikannya lah yang membuat Dewi ser-seran karena meski masih belia tapi gantengnya gak ketulungan, bule banget wajahnya seperti Mamanya. Mirip artis-artis sinetron blasteran yang sering ia lihat di TV.

Dewi yang masih muda tentu masih gampang terpesona liat cowok-cowok ganteng.

Aih pokoknya senang karena ia punya anak majikan yang ganteng abis !

Namun tiga hari tinggal dan kerja di rumah ini, belum sekalipun ia bertemu langsung dengan sang bungsu bernama Axel Sidharta William. Kata Mbak Anies memang Mas Axel kadang pulang ke rumah, kadang tidak.

“Lho kalau tidak tidur di rumah sini, Axel tidur di mana Mbak?” tanya Dewi saat itu.

“Hotel sepertinya. Tapi entahlah Mbak juga kurang tahu, eh Dewi, biasain manggil Axel dengan ‘Mas Axel’. Meski ia lebih muda dari pada kamu tapi ia tetap ”ndoro”(majikan) kita. Mas Axel sih baik, gak iseng dan gak terlalu pilih-pilih dalam hal makanan. Apapun yang Mbak Anies masak, pasti Mas Axel makan,meski hanya masakan Mbak saja yang mau ia makan, ia tidak mau makan kalau yang masak si Nita. Itu salah satu sifat yang Mbak suka dari Mas Axel.”

Setelah selesai mengepel lantai atas, sambil membawa ember kecil dan tongkat pel, Dewi turun ke bawah. Di saat yang sama, Axel yang hanya mengenakan boxer membuka pintu kamar.

Keduanya berpandangan.

“Heh, lo siapa?” tanya Axel.

Dewi lalu buru-buru turun dari tangga, membuat payudaranya bergoyang-goyang. Axel tentu saja menikmatinya.

Sepertinya ia pembantu baru, untuk face gak terlalu cantik, sedikit pesek tapi badannya, bagus ramping, posturnya cukup tinggi, kulitnya putih, rambutnya hitam panjang terurai. Namun payudara Dewi yang terlihat membusung di balik seragam, membuat Axel betah menatapnya.



“Saya Dewi Mas Axel, ART baru di sini.”

“Oh.”

“Maaf Mas Axel, saya tadi gak sengaja membentur pintu kamar Mas dengan tongkat pengepel, maaf mas,” kata Dewi takut-takut.

“Lain kali hati-hati. Dewi, lo siapanya Mbak Anies? Satu daerah.”

“Iya Mas, saya hitungannya masih keponakan Mbak Anies.”

“Berapa usia lo?”

“19 tahun mas, status saya janda,” Dewi kaget kenapa ia malah cerita bahwa ia janda, padahal Mas Axel gak nanya status. Mungkin sebenarnya Dewi sedang gugup karena dua hal. Pertama, karena Mas Axel aslinya gantengg puol. Kedua, Mas Axel cuma pake boxer dan penis Mas Axel terlihat membesar,menonjol. Dewi tak kuasa untuk tak melirik. Sebagai cewek yang sudah tahu nikmatnya bercinta, melihat tonjolan penis majikannya yang begini besar, membuat hati Dewi berdesir.

Axel yang pengalaman dalam hal cewek, terkejut sekaligus senang karena ART barunya janda muda bertubuh molek. Axel juga tahu kalau Dewi mencuri-curi pandang menatap penisnya.

Boleh juga ni anak baru gue kerjain, batin Axel.

“Mbak Anies kemana?” tanya Axel.

“Lagi masak Mas.”

“Oh. Dewi, tolong bersihkan kamar gue, berantakan kotor banget.”

“Baik Mas, saya ambil sapu dulu.”

“Oke.”

Kemudian Axel masuk kamar dan berbaring di atas tempat tidur, Axel memposisikan penisnya lebih tegak. Saat Dewi masuk ke dalam kamar Axel sambil membawa sapu, ia terkejut melihat posisi baring Axel, apalagi Axel menatapnya. Boxer Axel semakin telihat besar. Sesak nafas pokoknya Dewi melihat pemandangan erotis ini.

“Dewi..kunci kamarnya..kalau Mbak Anies manggil, diam dan jangan menyahut..”

Dewi deg-degan, ia memang gadis kampung, tapi ia bukan gadis bodoh. Ia bisa merasakan niat mesum dari Axel. Tapi di saat yang sama, Dewi penasaran apa yang hendak majikannya lakukan.

“Ba..baik mas.”

CTIK.

Dewi mengunci pintu kamar, saat ia membalikkan badan, ia melihat Axel sudah telanjang bulat, penisnya berdiri tegak. Axel tersenyum.

Dewi nyaris pingsan melihat penis paling besar yang pernah ia lihat langsung.

“Dew, kesini…” pinta Axel.

Dewi bagai kerbau di cocok hidungnya, menuruti perintah Axel dan berjalan perlahan mendekati Axel…..


XXX***XXX

 
Terakhir diubah:
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd