Agen Terpercaya  
 
 
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

CERBUNG - TAMAT I M P I A N 2




BAGIAN 24
SULIT BUKAN BERARTI TIDAK BISA



“Piye cok.?” (Gimana cok.?) Tanya Joko seperti biasa, lalu dia menghisap rokoknya.

“Emboh.” (Gak tau.) Jawabku dengan entengnya.

“Telek, lek ditakoni mesti ngono jawabanmu cok.” (Taik, kalau ditanya pasti begitu jawabanmu cok.) Sahut Joko.

“Terus piye karebmu.?” (Terus bagaimana maumu.?”) Tanyaku.

“Emboh.” (Gak tau.) Jawab Joko dengan jengkelnya.

“Cok, nggateli.” (Cok, menjengkelkan.) Gerutuku.

Kami lalu diam beberapa saat. Aku mengambil bungkusan rokokku, lalu mengambilnya sebatang dan membakarnya.

“Hiuuufttt,”

Kretek, kretek, kretek, kretek

Aku menarik dalam – dalam isapan rokokku, sampai bunyi bakaran bungkusan kertas yang melilit tembakau ini terdengar merdu ditelingaku.

“Huuuuu.”

Aku keluarkan asap tebal dari dalam mulutku dan menikmati sensasi nikmatnya nikotin yang masuk kedalam tubuhku.

“Ahhhhh.” Nikmat rokok kretek ini, membuat pikiranku melayang sejenak dan meninggalkan semua permasalahan yang ada didalam pikiranku beberapa saat.

“Lek gak iso di enggo, terus tujuane nggawe dokumen perusahaan iku opo.?” (Kalau gak bisa dipakai, terus tujuannya buat dokumen perusahaan itu apa.?) Tanya Joko yang memecahkan lamunanku, sambil melirik dokumen perusahaan yang sudah jadi dan aku letakkan dimeja diantara kami yang duduk berhadapan ini.

Aku lalu melirik kearah dokumen perusahaan itu juga, setelah itu aku melihat kearah yang lain.

PT Biola Sapa Semesta. Itu nama perusahaan konsultan yang aku sepakati bersama Joko. Kami juga sepakat mendirikan perusahaan konsultan bukan kontraktor, karena ilmu yang kami dapatkan selama ini, banyak berkutat dibidang konsultan. Jadi untuk mendirikan perusahaan kontraktor, nanti saja setelah kami mendapatkan pengalaman yang cukup.

Oh iya. Dokumen perusahaan konsultan kami itu sudah jadi, berkat bantuan Pak Tomo dan Bu Yanti. Ingat, hanya dokumen perusahaannya saja yang sudah jadi. Dokumen – dokumen pendukung lainnya belum ada satupun yang jadi, sehingga kami belum bisa menggunakan dokumen itu untuk mengikuti lelang pekerjaan.

Jangankan sertifikat tenaga ahli dan sertifikasi konsultan untuk perusahaan, orang yang memiliki ijazah yang berkompeten dalam bidang ini saja belum kami dapatkan. Kalau boleh dibilang, perjalanan kami untuk mendapatkan proyek ini baru seperempat jalan. Masih panjang dan berliku lagi jalan yang harus kami lalui untuk mendapatkan semua itu.

Aku sih sudah bersyukur banget dibantu Pak Tomo dan Bu Yanti, untuk mendapatkan dokumen perusahaan ini. Belum lagi bantuan dari Bu Har yang mengijinkan kos - kosannya yang kami tinggali, dijadikan kantor untuk perusahaan.

Awal yang baik bagiku dan Joko, karena banyak uluran tangan yang membantu kami. Dan sekarang tinggal bagaimana cara kami untuk melengkapi persyaratan selanjutnya. Tidak mungkin kami terus mengharapkan bantuan dan uluran tangan orang lain lagi. Kami harus berusaha sendiri bagaimanapun caranya.

“Dipikir engko ae lah Jok. Seng penting awak dewe wes nduwe modal dokumen perusahaan.” (Dipikir nanti aja lah Jok. Yang penting kita punya modal dokumen perusahaan.) Jawabku lalu aku menghisap rokokku lagi.

“Cok, mesti ngono omonganmu cok. Seng sregep ngono loh. Tas, tes, tas, tes, tas, tes. Ben ndang mari.” (Cok, pasti begitu ucapanmu cok. Yang rajin/tanggap gitu loh. Tas, tes, tas, tes, tas, tes. Biar cepat selesai.) Ucap Joko dan aku hanya meliriknya.

“Assuu.” Maki Joko lalu diam sejenak.

“Huuuu.” Joko mengeluarkan nafas panjangnya dan kembali aku meliriknya.

“Opo perkoro jenenge perusahaan awak dewe iki seng gak nyambung, dadi angel mlakune yo.?” (Apa gara – gara nama perusahaan kita ini yang gak nyambung, jadi susah jalannya ya.?) Tanya Joko yang ngelantur entah kemana dan membuat kedua alisku langsung mengerut.

“Koen iku ngomong opo seh.?” (Kamu itu ngomong apa sih.?) Tanyaku dengan herannya.

“Nde endi – endi iku, jenenge kontraktor opo konsultan ono hubungane ambe bangunan. Contoe, tegak, kokoh, bangun, perkasa, teguh, bangkit, opo tangguh. Lah awak dewe malah nggawe jeneng biola. Opo awak dewe kate dodolan alat music.? Lapo awak dewe gak nggawe jeneng, PT Tegak Sapa Semesta. Jenenge nyambung ambe kontruksi, terus keren cok.” (Dimana – mana itu, nama kontraktor apa konsultan ada hubungannya sama bangunan. COntohnya tegak, kokoh, bangun, perkasa, teguh, bangkit, apa tangguh. Lah kita malah pakai nama biola. Apa kita mau jualan alat music.? Kenapa kita gak pakai nama, PT. Tegak Sapa Semesta. Namanya nyambung sama kontruksi, terus keren cok.) Ucap Joko, lalu dia menghisap rokokknya.

“Ono seng tegak, tapi dudu bangunan utowo konstruksi cok.” (Ada yang tegak, tapi bukan bangunan atau kontruksi cok.) Ucapku dengan santainya dan aku memancing Joko untuk bercanda.

“Opo.?” (Apa.?) Tanya Joko.

“Manukmu.” (Burungmu.) Jawabku singkat.

“Matamu.” Maki Joko dengan jengkelnya.

“Iki pasak bumi cok, ngawur ae. Kontruksi terhebat nde semesta iki. Asuu” (Ini pasak bumi cok, ngawur aja. Konstruksi terhebat di semesta ini.) Ucap Joko lagi, sambil melirik kearah selangkangannya.

“Yo jenenge diganti PT. Manuk Sapa Semesta ae lek ngono.” (Ya namanya diganti PT. Burung Sapa Semesta aja kalau gitu.) Candaku.

“Bajingan.” Ucap Joko dengan geretan.

“Koen iku lapo seh muring – muring ae.? Manukmu luwe ta.? Durung di ke’i mangan ambe Mba Denok.? Saknoe cok – cok.” (Kamu itu kenapa sih amarah – marah aja.? Burungmu laparkah.? Belum dikasih makan sama Mba Denok.? Kasihannya cok – cok.) Ucapku sambil menggelengkan kepalaku pelan.

“Jiamputtt. Loro otekmu iku cok, asli loro. Gathel.” (Jiamputtt. Sakit otakmu itu cok, asli sakit. Menjengkelkan.) Ucap Joko.

“Jaman susah koyok ngene iki, kudu otek seng rusak seng digawe. Opo maneh wong – wong koyo awak dewe seng duwe modal mek semangat tok. Kudu loro lek iso yo bejat, ben gendeng pisan.” (Jaman susah seperti ini, harus otak yang rusak yang digunakan. Apa lagi orang – orang kaya kita yang punya modal cuma semangat aja. Harus sakit kalau bisa ya rusak, biar gila sekalian.) Ucapku dan Joko hanya menggelengkan kepalanya.

“Cok.” Maki Joko.

“Westalah cok, dilakoni ae. Gusti pengeran iku gak seneng ambe wong seng kerjaane maido ae. Yakinlah cok, yakin kabeh iku pasti indah pada waktunya.” (Sudahlah cok, dijalani aja. Sang Pencipta itu gak suka sama orang yang kerjaannya meragukan sesuatau atau mencela aja. Yakinlah cok, yakin semua itu pasti indah pada waktunya.) Ucapku lalu aku menghisap rokokku dalam – dalam, lalu mengeluarkannya perlahan.

“Salah ta lek aku maido.? Cangkemku iku lek ngomong ancene gak enak koyo ngene. Gusti pengeran iku mesti ngerti aku koyok opo.” (Salah kah kalau aku meragukan sesuatau atau mencela.? Mulutku itu kalau ngomong memang gak enak seperti ini. Sang Pencipta itu pasti paham aku seperti apa.) Ucap Joko.

“Seng penting iku, sabarku, semangatku, tekadku gak kurang – kurang cok.” (Yang penting itu, semangatku, tekadku gak kurang – kurang cok.) Ucap Joko lagi dengan semangatnya.

“Lah terus saiki njalukmu piye.? Uripmu kudu penak terus koyo nde suwargo ngono ta.? Yo matio ae lek ngono cok.” (Lah terus maumu bagaimana.? hidupmu harus enak terus kaya disurga gitu kah.? Ya mati aja kalau gitu cok.) Tanyaku.

“Omonganmu Lang, omonganmu.” Ucap Joko sambil melotot.

“Sektalah. Lek awakmu mati terus melbu suwargo, penak cok. Tapi lek dijegorno nang neroko, yo emboh maneh. Soale lambemu lek ngomong ambe Gusti Pengeran, sak penak udelmu dewe.” (Sebentar dulu. Kalau kamu mati terus masuk surga, enak cok. tapi kalau dimasukan ke neraka, ya gak tau lagi. Soalnya mulutmu kalau ngomong sama Sang Pencipta, seenaknya sendiri.) Ucapku yang tidak menghiraukan ucapan Joko, lalu aku menghisap rokokku lagi.

“Nggatelli koen cok.” (Menjengkelkan kamu cok.) Gerutu Joko, lalu dia menghisap rokoknya juga.

“Wes talah cok, Uwes. Timbangane awak dewe nde kene gak lapo – lapo, mending awak dewe muleh nang kosan. Mejo nde kamar di tokno, gawe persiapan kantor. Mboh kapan digawene, seng penting iku disiapno disek.” (Sudahlah cok, sudah. Daripada kita disini gak ngapa – ngapain, lebih baik kita pulang kekosan. Meja dikamar dikeluarkan, buat persiapan kantor. Gak tau kapan digunakannya, yang penting itu kita siapkan dulu.) Ucapku dengan yakinnya lalu aku menghisap rokokku, setelah itu mematikan rokokku.

“Awakmu kok optimis men seh.?” (Kamu itu kok optimis sekali sih.?) Tanya Joko.

“Terus lek gak optimis, awak dewe kudu opo cok.? Pesimis.? Gak ono nde kamuse Gilang Adi Pratama iku seng jenenge pesimis cok. Kabeh iku mesti ono djalane, kari awak dewe ae seng gelem usaha opo gak.? Terus seng penting iku awak dewe yakin. Gak gelem usaha ambe gak yakin, diguyu gusti pengeran koen cok.” (Terus kalau gak opotimis, kita harus apa cok.? Pesimis.? Gak ada didalam kamus Gilang Adi Pratama itu yang namanya pesimis cok. Semua itu pasti ada jalannya, tinggal kita aja yang mau usaha atau gak.? Terus yang penting itu kita yakin. Gak mau usaha sama gak yakin, ditertawakan Sang Pencipta kamu cok.) Ucapku dan Joko langsung tersenyum malu.

“Asuuu. Keyakinanmu iki seng nggarai aku gak tau ragu lek kate ngelangkah cok.” (Anjingg. Keyakinanmu ini yang membuat aku gak pernah ragu kalau mau melangkah cok.) Ucap Joko lalu dia tersenyum dan aku membalasnya, sambil mengepalkan tangan kananku kearahnya.

“Ojok lali. Semongko.” (Jangan lupa. Semongko.) Ucapku pelan.

“Semangat nganti bongko.” (Semangat sampai mampus.) Jawab Joko, sambil meninju kepalan tanganku pelan.

“Opo.?” (Apa.?) Ucapku sambil mendekatkan telingaku kearahnya.

“SEMANGAT NGANTI BONGKO COK.” (Semangat sampai mampus cok.) Teriak Joko dengan semangatnya, sampai orang – orang yang ada disekitar kami, melihat kearah kami yang duduk disebuah warung, tidak jauh dari kantor Bu Yanti.

“Yo ngono loh cok, semangat.” (Ya gitu dong cok, semangat.) Ucapku sambil berdiri dan berjalan kearah Ibu penjual, lalu membayar kopi pesanan kami tadi.

“Ndokmu iku.” (Telurmu / Bijimu itu.) Terdengar gerutu Joko pelan.

Hiuufftt, huuu.

Yakin dan mau berusaha. Mungkin hanya itu yang saat ini bisa kami lakukan. Dan sekarang lebih baik kami pulang kekosan aja, lalu menyiapkan kosan kami untuk digunakan sebagai kantor. Kalau ruangannya sudah siap, kami berdua akan semakin semangat untuk mengejar dan melengkapi segala kekurangan persyaratan kantor kami. Dan sekali lagi aku yakin pasti ada jalan untuk semua ini dan kantor kami akan segera beroperasi.

Kenapa aku bisa seyakin ini.? Karena aku mempunyai impian yang harus aku raih dan kucapai. Selain itu, banyak dukungan yang aku dapatkan untuk langkahku yang sebenarnya sangat berat sekali ini. Salah satu dukungan yang aku dapatkan dan sangat spesial, datang dari seorang wanita yang hebat, cantik, pintar dan baru saja aku kenal. Ibu Damayanti Kusuma.



Dua bulan yang lalu.

“Aku kira kamu gak datang kekantorku yang jelek ini.” Ucap seorang wanita yang sangat anggun dan terlihat berwibawa sekali. Siapa lagi kalau bukan Ibu Damayanti.

Kami berdua duduk berhadapan, didalam ruang kantor Bu Yanti yang menurutku sangat megah sekali. Tapi kenapa kantor dan ruangan yang semegah ini, dibilang jelek oleh pemiliknya sendiri.? Terus apa kabar kosanku yang rencananya mau aku buat kantor ya.? Jiwa miskinku pun, langsung bangkit mendengar ucapan Bu Yanti yang terdengat sangat menggatelkan sekali ini.

“Ini jenis sindiran apa ya Bu.? Ironi.? Sinisme.? Atau Sarkasme.?” Tanyaku sambil menatap mata Bu Yanti.

Ironi merupakan majas sindiran yang umumnya menggunakan kata kiasan dengan makna yang bertentangan dengan keadaan sebenarnya.

Sinisme juga termasuk majas sindiran yang digunakan untuk memberi sindiran secara langsung kepada orang lain.

Sarkasme adalah Majas sindiran yang menggunakan kata - kata berkonotasi kasar untuk memberikan sindiran kepada orang lain.

“Sensitive banget sih kamu itu.?” Ucap Bu Yanti dan dia juga membalas tatapan mataku.

Cok. kok wanita setengah baya ini cantik banget ya.? Wajah Bu Yanti itu imut dan tubuhnya mungil. Tapi walaupun wajahnya imut dan tubuhnya mungil, dia terlihat tegas dan tatapan matanya sangat tajam.

Huuu, pokoknya sempurna banget wanita yang duduk dihadapanku ini.

“Kalau berbicara masalah harta seperti ini, saya pasti sangat sensitive Bu.” Jawabku.

“Kapan aku berbicara masalah harta.?” Tanya Bu Yanti.

“Ibu berbicara tentang masalah kantor Ibu yang katanya jelek ini, apa itu bukan membicarakan harta.? Kantor ini kan salah satu harta Ibu.” Ucapku.

“Bukan, ini hartanya Ayahku. Kalau ini hartaku aku pasti akan merenovasi semuanya, sesuai keinginanku.” Jawab Bu Yanti dengan entengnya.

“Tapi inikan pasti akan menjadi milik Ibu.” Ucapku.

“Enggak tau, aku gak berharap untuk mendapatkan semua ini. Aku justru ingin seperti kamu, yang memulai segalanya dari nol. Bukan instan seperti ini.” Jawab Bu Yanti.

“Harusnya Ibu bersyukur dilahirkan dengan kondisi keluarga yang sudah sangat mapan seperti ini. Banyak sekali orang yang ingin dilahirkan diposisi seperti Ibu, tapi apa daya Sang Pencipta berkehendak lain. Banyak orang itu dilahirkan dikeluarga yang tidak mampu dan akhirnya harus mengubur segala impian dan cita – cita yang ada didalam pikiran mereka.” Ucapku yang mencoba memberi masukan kepada Bu yanti.

“Tapi aku tidak ingin seperti orang banyak itu. Aku justru ingin dilahirkan dari keluarga biasa dan aku berusaha mewujudkan semua impianku, dengan jerih payahku sendiri.” Ucap Bu Yanti.

“Kalau Ibu memang mau seperti itu, kenapa Ibu tidak menolak semua ini dan memulai segalanya dari nol.?” Tanyaku.

“Terus aku harus melihat kekecewaan dan kesedihan dari orang tuaku.?” Bu Yanti bertanya balik.

Cok. Ternyata ribet juga jadi orang yang kaya itu. Aku kira dengan memiliki harta yang berlimpah, sudah pasti akan bahagia kehidupannya. Tapi ternyata engga juga, justru kenyataan seperti ini yang baru aku ketahui.

Seorang perempuan kaya, cantik, dan juga pintar, tapi tidak bisa menjadi diri sendiri dan terkurung dalam impian yang bukan miliknya.

Ini akan menjadi salah satu pelajaran berharga buatku dan keluargaku kelak. Aku akan membebaskan anak – anakku, untuk meraih cita – cita dan impiannya. Yang penting anak – anakku menjadi orang baik dan bisa menghargai siapapun, itu sudah cukup bagiku.

Dan sekarang, aku malah jadi kasihan dengan Bu Yanti. Sombong ya aku.? Hahaha, gila. Orang miskin bisa juga mengasihani orang kaya.

“Jadi Ibu hanya bisa menerima semuanya, tanpa berusaha untuk meyakinkan kedua orang tua Ibu.?” Tanyaku yang memberanikan diri, untuk mengetahui sisi lain Bu Yanti. Aku jadi ingin lebih tau lebih dalam tentang Bu Yanti, karena obrolan kami ini perlahan mulai dalam dan aku banyak mendapatkan pelajaran disini.

“Sudah. Bahkan waktu kuliah, aku mengambil dua jurusan sekaligus. Jurusan Hukum dikampus negeri karena itu keinginan Ayahku dan aku mengambil Jurusan Industry dikampus tenik kita yang menjadi impianku.” Jawab Bu Yanti yang membuatku terkejut.

“Dan Ibu bisa menyelesaikannya keduanya.?” Tanyaku.

Bu Yanti hanya mengangguk pelan, tanpa bersuara.

“Waw. Luar biasa sekali Ibu ini.” Ucapku dengan takjubnya.

“Luar biasa, tapi hasil akhirnya aku tetap berkutat dengan urusan hukum.” Ucap Bu Yanti dan mimic wajahnya langsung berubah sedikit sedih.

“Apa Ibu menyesal dengan apa yang sudah Ibu lakukan selama ini.?” Tanyaku lagi.

“Bukan hasil akhir seperti ini yang membuatku menyesal. Tapi ketika aku sudah bisa meyakinkan kedua orang tuaku dan selangkah lagi aku menggapai impianku, semuanya harus kandas seketika.” Ucap Bu Yanti dan langsung membuatku terdiam.

Aku tidak melanjutkan obrolan ini, karena dari sorot mata Bu Yanti terlihat kesedihan yang sangat mendalam sekali.

Gila. Kejadian apa yang bisa membuatnya sampai bisa sedih seperti ini dan sampai menggagalkan impiannya dulu.? Bu Yanti ini orang cerdas, pintar dan kaya. Dan dari semua yang dimilikinya itu, tidak sulit untuk mencapai impiannya. Berbeda sekali dengan aku, yang hanya bermodalkan semangat dan keyakinan.

Dan satu lagi pertanyaanku. Kenapa Bu Yanti bisa mengalir seperti ini mengobrolnya dengan aku.? Kami berdua baru kenal dan ini pertemuan kami yang kedua. Kenapa wanita yang pintar dan pasti tidak mudah menceritakan sedikit masa lalunya kepada orang lain, bisa gampang seperti ini bercerita kepadaku.? Aku orang yang baru dikenalnya. Ada apa dengan Bu Yanti.? Ini tanda tanya yang sangat besar sekali dikepalaku.

“Mungkin kamu bingung kenapa aku bisa bercerita sedikit masalah pribadiku sama kamu.” Ucap Bu Yanti yang mengejutkanku dari lamunan.

“Jujur, iya Bu.” Jawabku.

“Aku juga bingung kenapa bisa seperti ini.” Ucap Bu Yanti yang langsung membuatku, mengerutkan kedua alis mataku.

“Kalau sudah berhubungan dengan kampus teknik kita, teknik sipil dan juga pondok merah, aku susah mengontrol pikiranku.” Ucap Bu Yanti dan semakin membuatku bingung.

“Benar saya kuliah dikampus teknik kita dan benar saya jurusan teknik sipil. Tapi kalau pondok merah, saya gak kos disana Bu.” Ucapku dan terlihat sedikit kepanikan diwajah Bu Yanti.

“Kenapa Bu.?” Tanyaku.

“Gak apa – apa.” Ucap Bu Yanti dan terlihat mencoba menenangkan dirinya sendiri.

“Mohon maaf kalau saya sedikit lancang Bu. Apa kandasnya impian Ibu, salah satu penyebabnya adalah cinta.?” Tanyaku dan Bu Yanti langsung melotot kearahku.

“Kampus teknik kita, teknik sipil dan pondok merah. Ibu mantannya Pak Tomo.?” Tanyaku dan entah kenapa aku bisa kepikiran dengan Pak Tomo. Tapi kalau bukan Pak Tomo siapa lagi.? Pak Tomo pasti kuliah dikampus teknik kita dan pasti jurusan teknik sipil. Kenapa bisa aku kepikiran seperti itu.? Pak Tomo itu kan salah satu pendiri pondok merah dan sekarang dosen jurusan teknik sipil. Gak salah kan tebakanku.?

“Hihihihi.” Bu Yanti langsung tertawa sambil menutup mulutnya.

Tidak terlihat lagi kesedihan dimatanya dan wajahnya terlihat memerah, karena tawanya yang sangat senang itu.

Cok, kelihatannya tebakanku salah. Bajingaannn.

“Kok bisa kamu punya pikiran seperti itu sih Lang.? Aku kasih tau Tomo loh nanti. Hihihi.” Ucap Bu Yanti lalu tertawa lagi.

“Janganlah Bu. Sayakan cuman mau mengajak Ibu bercanda, karena pembicaraan kita tadi sudah sangat tegang sekali. Masa iya saya seserius itu, tanya sampai kepermasalahan cinta Ibu.” Ucapku yang mencari pembenaran, disaat – saat yang membuatku malu ini.

“Hihihi. Ada aja alasanmu itu. Kalau salah tebak, ya ngomong aja salah. Gak gentle banget sih jadi laki – laki.” Ucap Bu Yanti dengan nada yang mengejek.

“Bukan masalah gentle atau ngga Bu. Inikan tebak – tebakan aja. Benar ya sukur, gak benar ya sudah.” Ucapku dan obrolan kami semakin nyantai saja.

“Terus kalau tadi misalkan benar, kamu pasti merasa sudah bisa membaca keadaan dan kamu seperti bisa memecahkan suatu mistery tentang aku kan.?” Tanya Bu Yanti dan langsung membuatku terdiam lagi.

Cok. kata – kata Bu Yanti ini seolah menyadarkan aku tentang semua keangkuhanku selama ini. Aku seperti merasa hebat bisa memecahkan suatu masalah yang ada disekitarku, padahal hasilnya nol besar. Mulai dari ketetaran masalah mencari dana kuliah, dana kos, masalah pendirian perusahaan yang sekarang ini mau dibantu Bu Yanti, masalah Satria yang akhirnya dia masuk didalam sana tanpa aku bisa berbuat apa – apa, masalah penyerangan gudang satu yang akhirnya dibantu Pakde Irawan, sampai masalah Mr. Cruel yang berhubungan dengan kematian Intan dan Mas Hendra.

Bodoh kamu Lang, bodoh. Kamu itu gak sepintar yang kamu pikirkan dan gak sekuat yang kamu bayangkan. Kamu itu lemah, ceroboh, sok tau, sok perhatian dan kamu itu terlalu banyak dinaungi keberuntungan saja. bajingaann.

“Sudah ah, kita bahas masalah perusahaanmu aja.” Ucap Bu Yanti yang mengejutkanku dari lamunan lagi.

Cok, jadi malu aku sama Bu Yanti. Kok bisa seangkuh ini ya aku dihadapannya.?

Hiufftt, huuu.

“Sebelum kita lanjutkan pembicaraan, saya bertanya satu hal lagi Bu.” Pintaku dan wajah Bu Yanti terlihat serius lagi.

“Kenapa Ibu mau membantu saya.? Padahal Ibu tadi bercerita, bahwa Ibu sebenarnya ingin meraih impian Ibu dan mewujudkannya mulai dari nol. Itu sama dengan apa yang ada di impian saya. jadi kenapa Ibu harus repot – repot bantu saya.?” Tanyaku.

“Iya memang aku ingin memujudkan impianku semuanya dari nol. Tapi aku gak bilang kalau itu semua memakai uangku sendirikan.?” Ucap Bu Yanti.

“Maksudnya Bu.?” Tanyaku.

“Semua biaya kuliahku dikampus negeri dibantu Ayahku, karena memang itu kemauan Beliau. Sedangkan kuliahku dikampus teknik kita, tetap dibantu Ayahku karena beliau tidak ingin aku terlalu kecewa.”

“Aku dibantu biaya oleh Ayahku, tapi selanjutnya aku membuktikan bahwa aku bisa meraih gelar sarjana di kampus teknik kita dan juga di kampus negeri. Kamu pahamkan maksudku.?” Ucap Bu Yanti dan aku hanya diam mendengarnya.

“Disetiap kesuksesan yang kita raih walaupun dengan usaha sendiri, pasti ada campur tangan Sang Pencipta lewat orang lain. Entah itu doa, nasehat, uluran tangan atau bahkan bantuan dana. Jadi tidak usah gengsi untuk menerima bantuan dari siapapun. Mungkin kita tidak bisa membalas kebaikan orang – orang yang sudah berjasa itu, tapi kita bisa membalasnya dengan cara menolong orang lain. Betapa indahnya semesta ini kan.?” Ucap Bu Yanti dan kembali aku terdiam mendengar ucapan demi ucapannya ini.

“Lagipula ketika kamu sudah berada dititik puncak impianmu, kamu akan merasa bahwa kamu itu bukan siapa – siapa disemesta ini. Kamu tidak lebih besar dari pada sebutir debu dipadang pasir. Kamu tidak ada apa – apanya dibanding setetes air dilautan, dan kamu tidak akan lebih berguna dari pada satu hisapan udara yang kamu hirup disemesta ini.” Ucap Bu Yanti dan aku langsung menundukan kepalaku.

Keberanianku untuk menatap matanya, langsung hilang seketika. Keangkuhanku yang menegakkan kepala dari tadi, langsung lenyap entah kemana. Suaraku yang lantang dari tadi, langsung membisu dan bersembunyi dibalik rasa kekagumanku kepada Bu Yanti.

Gila, gila dan gila. Hanya itu saja yang bisa aku ucapkan saat ini. Begitu banyak dan mahal sekali ilmu kehidupan yang aku dapatkan, dari sosok wanita setengah baya dihadapanku ini. Semua ilmu itu gratis dan orang lain belum tentu seberuntung aku, untuk mendapatkannya. Bajingan.

“Oh iya, apa nama perusahaanmu.?” Tanya Bu Yanti dan seperti mengalihkan pembicaraan yang membuatku terdiam dari tadi.

“Lang.” panggil Bu Yanti dan aku tetap diam, sambil terus menunduk.

“Hiiuufftt, huuuu.” Terdengar Bu Yanti menarik nafasnya dalam – dalam, lalu dikeluarkannya perlahan.

“Salah satu alasanku untuk membantumu, karena kamu mempunyai impian yang kurang lebih sama denganku. Bedanya, banyak tangan yang mengulurkan tangan kearahku, sedangkan kamu tidak banyak. Aku ingin menjadi salah satu dari tidak banyak itu, agar ketika kamu sudah sukses, kamu bisa mengulurkan tanganmu untuk mereka – mereka yang kurang beruntung.”

“Mungkin aku hanya bisa membantumu dengan dokumen perusahaan saja. Tapi aku yakin, ini akan menjadi modal awalmu dan kamu pasti bisa menuntaskan administrasi lainnya, sampai perusahaanmu benar – benar berdiri.”

“Sekarang tegakkan kepalamu dan jemputlah impianmu.” Ucap Bu Yanti dan perlahan aku mulai memberanikan mengangkat wajahku.

Bu Yanti menatapku sambil tersenyum, lalu bertanya tentang data diriku dan juga data mengenai Joko. Aku menjawab semua pertanyaan Bu Yanti, tapi kali ini aku hanya berbicara dan menjawab sesusai dengan pertanyaan Bu Yanti saja. Aku malu berbicara lebih jauh dan aku malu bertanya tentang Bu Yanti lagi. Bagiku semua yang diucapkannya tadi, sudah cukup menjelaskan dan aku sudah cukup mengenal kepribadian beliau.

Oh iya, Aku datang kekantor Bu Yanti seorang diri, karena Joko ada ujian dikampus dan dia sudah bisa sedikit menggerakan tangannya. Joko sudah bisa beraktifitas seperti biasa, tapi tidak bisa yang terlalu berat.



Treng, teng, teng.

Aku menarik gas kimba, melaju kekosanku bersama Joko. Tidak lupa dokumen perusahaan yang sudah jadi dan prosesnya selama dua bulan ini, aku bawa dan aku simpan didalam tasku.

Waktu pembuatan dokumen perusahaan dua bulan yang lalu, aku datang seorang diri kekantor Bu Yanti. Sekarang setelah dokumennya sudah jadi, aku mengambilnya bersama Joko.

Dokumen perusahaan ini bagiku seperti pondasi bangunan yang kokoh. Sekarang tinggal aku mendirikan satu persatu tiang, dinding, atap dan pelengkap lainnya. Setelah itu aku akan mempercantik bangunan itu, sampai bangunan itu terlihat gagah dan megah. Sesuai dengan impianku, harapanku, cita - citaku dan juga Joko sahabatku. Bagunan kokoh itu bernama, PT Biola Sapa Semesta.

Treng, teng, teng.

Kami berdua telah sampai dikosan dan aku langsung mematikan mesin kimba, lalu memarkirkannya diteras kosan.

“Wes kuat ngangkat kursi ambe mejo iku ta cok.?” (Sudah kuat angkat kursi sama meja itu kah cok.?) Tanyaku ke Joko, sambil menunjuk kearah kursi dan meja yang ada diruang tamu.

“Koen lungguh nde dukure kimba ae, iso tak sunggi ambe kimbane barang cok. Opo maneh mek kursi ambe mejo iki.” (Kamu duduk di atas kimba aja, bisa aku angkat dikepalaku sekalian kimbanya cok. Apa lagi cuma kursi sama meja ini.) Ucap Joko dengan sombongnya.

“Berarti colimu wes lancar saiki.?” (Berarti colimu sudah lancar sekarang.?) Ucapku dengan entengnya, sambil berjalan kearah kamarku.

“Matamu.” Maki Joko dibelakangku.

“Hahaha.” Aku hanya tertawa, sambil memasuki kamarku.

“Ngomongnya itu loh, gak sopan banget sih.” Ucap Intan yang menyambutku didalam kamar.

“Emang salah kalau aku bilang coli.? Kan kami ini laki – laki. Kalau aku bilang colm..” Ucapku terpotong.

“Apa.?” Tanya Intan sambil melotot.

“Hehehe. Enggak kok yang.” Ucapku tertawa, sambil mendekat kearah Intan.

“Yang.?” Ucap Intan dengan wajah yang langsung tersipu malu.

“Emang gak boleh aku manggil yang, untuk orang yang kusayangi.?” Tanyaku sambil mengangkat tangan kananku, untuk membelai rambut Intan.

“Turunkan dulu tasmu, terus cuci tangan, cuci kaki, cuci muka, ganti baju, baru boleh pegang – pegang.” Ucap Intan sambil memundurkan tubuhnya.

“Aku kan kangen.” Ucapku sambil memajukan tubuhku kearah Intan.

“Emang kangen itu bebas kuman, bebas keringat, sama bebas bau.?” Ucap Intan sambil memundurkan tubuhnya lagi.

“Kangen itu berasal dari cinta dan sayang. Jadi kalau sudah cinta dan sayang, kita bebas dari kuman yang menyebabkan penyakit.” Jawabku yang asal – asalan, sambil terus mendekat kearah Intan.

“Gak banyak alasan. Berani dekat.?” Ucap Intan sambil menghentikan langkah mundurnya, lalu menunjuk kearahku.

Akupun menghentikan langkahku dan tersenyum kepadanya. Intan tidak membalas senyumanku, tapi dia hanya mengkodeku dengan menunjuk kearah pintu kamarku. Dia menyuruhku untuk kekamar mandi, sekarang juga.

Gila nih cewe. Sudah berada dialam lain aja, dia masih memperhatikan kebersihan. Gimana waktu dia masih hidup ya.? Hahaha.

Aku lalu meletakkan tasku, setelah itu aku keluar kamar dan menuju kearah kamar mandi. Terlihat Joko sedang tiduran dikasurnya, sambil menghisap rokokknya.

“Nggilani koen iku cok. Tas teko njobo langsung leyeh – leyeh nang kasur. Raup ambe ganti klambimu disek kono loh cok.” (Menjijikan kamu itu cok. Baru datang dari luar langsung santai – santai dikasur. Cuci muka sama ganti bajumu dulu sana loh cok.) Omelku dan Joko langsung terbengong mendengarnya.

“Asuuig. Awakmu ento omelan kok malah mbales nang aku cok.? Bajingan.” (Anjingg. Kamu dapat omelan kok malah balas ke aku cok.? Bajingan.) Ucap Joko sambil melotot.

“Gak usah kaken cangkem. Ndang nang jedeng kono loh.” (Gak usah banyak mulut. Cepat kekamar mandi sana loh.) Omelku lagi.

“Matamu gak ndelok aku jek rokok’an ta.? Tak cunyuk cangkemmu keon engko.” (Matamu gak lihat aku masih rokok’an kah.? Kucucukkan rokok ini dimulutmu nanti.) Ucap joko sambil menegakkan tubuhnya dan duduk dipinggir kasur.

“Emang kalau rokok’an kenapa.? Rokok itu bebas kuman, bebas keringat, sama bebas bau.?” Ucapku meniru kata – kata Intan tadi.

“Ngelamak arek iki.” (Kurang ajar anak ini.) Ucap Joko sambil menggelengkan kepalanya.

“Oooo. Sudah berani nyindir.?” Ucap Intan dari dalam kamarku.

“Enggak yang. Joko ini loh nggatelli (Menjengkelkan).” Ucapku dengan suara yang lembut.

“Yang, yang, yang. Ndasmu iku. Sok romantis koen cok.” (Yang, yang, yang. Kepalamu itu. Sok romantis kamu cok.) Ucap Joko lalu dia menghisap rokoknya.

“Woi gatell. Awakmu wani ngendas – ngendasno Mba Denok, lek nyelok awakmu yang ta.?” (Woi orang yang menjengkelkan. Kamu berani kepala – kepalin Mba Denok, kalau manggil kamu yang kah.?) Tanyaku.

“Uhuk, uhuk, uhuk.” Joko tersedak asap rokoknya.

“Bajingaann.” Maki Joko.

“Lek aku ambe Denok iku, pantes romantis cok.” (Kalau aku sama Denok itu, pantas romantis cok.) Ucap Joko lagi.

“Pantes dengkulmu iku.” (Pantas lututmu itu.) Ucapku lalu aku melangkah ke arah kamar mandi.

“Assuuu.” Maki Joko dari dalam kamarnya.

Aku lalu membersihkan tubuhku dikamar mandi, setelah itu mengganti pakaianku. Dan setelah memasak dilanjut makan siang menjelang sore ini, kegiatan kami selanjutnya memindahkan kursi diruang tamu keruang tengah, lalu mengeluarkan meja serta kursi yang ada di empat kamar dikosan ini dan menyusunnya diruang tamu.

Setelah menyusun dan membersihkan ruang tamu, kami berdua melanjutkan membuat papan nama perusahaan, yang nantinya akan ditempelkan didepan kosan.

Aku mencari triplek bekas yang layak pakai dibagian belakang kosan ini. Ada beberapa batang kayu dan triplek bekas, disandarkan didinding kosan. Kayu dan tripek itu kemarin sebagian sudah kami buat meja gambar dan masih ada yang tersisa.

Aku lalu membongkar tumpukan kayu dan triplek itu. Pandanganku langsung tertuju pada sebuah benda kecil yang ada dibalik tumpukan kayu. Aku mengambil benda itu dan memperhatikan setiap detailnya.

Sebuah gantungan kunci kayu yang berbentuk papan surfing, bertuliskan pulau dewata dan patah setengah. Patahan yang aku temukan ini, bagian bawah dari gantungan kunci. Sedangkan bagian atas dan ada rantainya yang biasa dibuat menggantungkan kunci, tidak ada disekitarku berdiri.

Cok. punya siapa ini dan kenapa patah setengah.? Kalau dilihat dari bentuk patahannya, gantungan kunci ini seperti terjepit atau terganjal sesuatu. Kira – kira gantungan kunci ini dipakai untuk mencongkel apa ya.? kok bisa sampai patah seperti ini.?

Ahhh, kenapa juga pikiranku ngelantur kemana – mana. Ini kan hanya sebuah gantungan kunci bekas, jadi buat apa aku pikirkan.?

“Suwine cok.? Ngeloco tak awakmu.?” (Lamanya cok.? Coli kah kamu.?) Tegur Joko dari arah belakangku.

“Matamu.” Makiku sambil membalikkan tubuhku dan melihat kearah Joko, yang berdiri didekat dipintu belakang kosan.

Lalu tiba – tiba pandanganku tertuju pada goresan dikusen pintu, tepat disebelah kepala Joko. Aku memperhatikan dengan seksama goresan dikayu itu. Lebar ukuran goresan itu kurang lebih, dengan patahan gantungan kunci yang aku pegang.

“Lapo koen pentelengi aku koyok ngono cok.?” (Kenapa kamu melototi aku seperti itu cok.?) Tanya Joko yang keheranan.

Aku tidak menghiraukan ucapan Joko dan aku langsung mendekat kearahnya.

“Koen kesurupan ta.?” (Kamu kerasukan kah.?) Tanya Joko ketika aku sudah berdiri dihadapannya, tapi aku tetap tidak menjawab pertanyaannya.

Tangan kiriku langsung memegang wajah kiri Joko dan menggeserkannya pelan, sampai menjauh dari kusen.

“Jiancok.” Maki Joko dengan kepala yang miring, sambil menggeser tubuhnya.

Tangan kananku yang memegang patahan gantungan kunci ini, langsung aku angkat dan gantungan kunci ini aku tempelkan dikusen pintu itu.

Cok, kok ukurannya bisa sama ya.? Apa ini hanya kebetulan saja.?

Oh iya. Goresan dikusen pintu ini lumayan tebal, sampai membuat bekas koyakan dikayu yang keras ini.

“Koen iku lapo seh.?” (Kamu itu kenapa sih.?) Tanya Joko disebelahku.

Kembali aku tidak menjawab pertanyaan Joko. Aku hanya meraih gagang pintu dan menutup pintu belakang kosan itu, dengan posisi patahan gantungan kunci masih aku tempelkan dikusen pintu. Dan betapa terkejutnya aku, ketika daun pintu itu juga ada goresan yang seukuran dengan lebar patahan gantungan kunci dan berada sejajar tepat digoresan kusen.

“Jiancok koen iku Lang. Dijak ngomong kok mbidek ae.” (Jiancok kamu itu Lang. Diajak ngomong kok diam aja.) Gerutu Joko dan aku langsung melihat kearah Joko, sambil mengarahkan patahan gantungan kunci ini dihadapannya.

“Opo.?” (Apa.?) Tanya Joko yang kebingungan.

“Gantungan kunci.” Jawabku singkat.

“Gathel. Aku ngerti lek iku gantungan kunci cok. Maksudku iku, lapo koen koyo wong bingung ngono.?” (Menjengkelkan. Aku ngerti kalau itu gantungan kunci cok. Maksudku itu, kenapa kamu seperti orang yang kebingungan gitu.?) Tanya Joko.

“Gak bingung aku cok. Koen ngerti gak maksudte iki opo.?” (Gak bingung aku cok. Kamu ngerti gak maksudnya ini apa.?) Ucapku sambil menggoyangkan patahan gantungan kunci ini.

“Assuu, ngomongmu iku mbulet koyo entut cok. Langsung nang tujuane lapo seh.?” (Anjingg. Ucapanmu itu berputar – putar kaya kentut cok. Langsung ke tujuannya kenapa sih.?) Tanya Joko dengan mata yang melotot.

“Lek jareku, iki ono hubungane ambe Intan.” (Kalau menurutku, ini ada hubungannya dengan Intan.) Ucapku pelan.

“Koen iki gendeng ta piye.? Gawe opo gantungan kunci iku.? Opo digawe ndongkel lawang iki ben iso dibuka.? Gak mungkin iso cok.” (Kamu itu gila atau bagaimana.? Untuk apa gantungan itu.? Apa dibuat mencongkel pintu ini biar bisa terbuka.? Gak mungkin bisa cok.?) Ucap Joko lalu merebut gantungan kunci itu dari aku, setelah itu menutup pintu itu rapat.

“Deloken, gak iso mlebu iku loh.” (Lihat, gak bisa masuk itu loh.) Ucap Joko sambil mencongkelkan gantungan kunci disela – sela daun pintu dan kusen.

“Gak ngono maksudku cok.” (Gak gitu maksudku cok.) Ucapku sambil merebut gantungan kunci itu, lalu membuka pintu itu sedikit.

Aku lalu meletakkan gantungan kunci itu disela – sela pintu, setelah itu menutupnya sampai daun pintu terganjal dan tidak bisa tertutup rapat.

Dug, dug, dug.

Bunyi pintu yang terganjal dan aku buka tutup beberapa kali.

“Iki pelakune kate mlebu, tapi ditutup teko njero, terus dialangi gantungan kunci teko njobo kene, nganti gantungan kuncine tugel.” (Ini pelakunya mau masuk, tapi ditutup dari dalam, terus dihalangi gantungan kunci dari luar sini, sampai gantungan kuncinya patah.) Ucapku sambil menatap Joko.

“Aku gak ngerti maksudmu.” Ucap Joko lalu melihat kearah yang lain.

Jiancok. Joko kelihatannya sepaham dengan aku, tapi dia berpura – pura tidak mengerti. Ada dengan manusia gathel satu ini ya.? Kalau dia tidak mengerti, dia pasti akan melotot dan akan terus mengejar jawaban dari aku. Tapi kenapa sekarang dia memalingklan wajahnya dan seperti menghindari pembahasan ini.?

“Mikirmu kadoan cok. Iso ae iki ono wong iseng, terus kejadiane sak durunge Intan ono nde kene.” (Pikiranmu terlalu jauh cok. Bisa aja ini ada orang iseng, terus kejadiannya jauh sebelum Intan ada disini.) Ucap Joko dan dia tidak melihat kearahku.

“Siapa orang yang iseng, sampai memainkan gantungan kunci dipintu seperti ini.?” Tanyaku, lalu aku membuka pintu dan masuk kedalam kosan. Aku ingin menemui Intan dan bertanya langsung dengannya.

“Lang.” Panggil Joko dan aku tidak menghiraukannya.

Terdengar langkah kaki Joko yang mengejar dibelakangku.

Aku cepat masuk kedalam kamar dan langsung menutup pintunya, tanpa melihat kearah Joko.

Brakk.

“Cokk.” Makian Joko terdengar dari luar kamarku.

Terlihat Intan berdiri didekat jendela dan melihat kearahku dengan wajah yang sangat ketakutan.

“Kamu tau inikan.?” Tanyaku tanpa basa basi, sambil mengangkat potongan gantungan kunci ditangan kananku ini.

“Lang.” Ucap Intan dengan mata yang berkaca – kaca.

“Oke, cukup. Kamu tidak usah menjelaskan. Tatapanmu itu sudah menjelaskan semuanya. Sekarang tinggal aku saja yang mencari, siapa pemilik gantungan kunci ini.” Ucapku dengan suara yang bergetar.

“Jangan Lang, jangan.” Ucap Intan sambil mendekat kearahku, dengan deraian air matanya yang mulai turun.

“Hiks, hiks. Maafkan aku telah memintamu untuk melibatkan dirimu dalam permasalahanku. Aku sekarang sadar bahwa semua ini akan menyakitimu sayang. Ini akan menyakitimu. Maafkan aku, maafkan. Hiks, hiks.” Ucap Intan dan air matanya semakin mengalir dengan deras.

Dibalik deraian air matanya itu, tatapannya matanya penuh dengan ketakutan, kekhawatiran, perhatian dan rasa penyesalan.

Cok. Sekuat apasih manusia itu, sampai mahluk yang sudah berbeda alam dihadapanku ini, bisa ketakutan seperti ini.? Sehebat apa manusia itu, sampai seorang Joko juga tidak berani menatap mataku, ketika berbicara denganku tadi.? Bajingann.

“Ketika mulut ini sudah mengucapkan kata janji, raga ini tidak akan menepi terkecuali nyawa ini telah pergi.” Ucapku dan Intan langsung memelukku dengan erat.

“Hiks, hiks, hiks. Jangan sayang, jangan. Aku mohon pergilah sekarang dan tinggalkan aku seorang diri dirumah ini. Hiks, hik, hiks.” Ucap Intan dan tangisnya semakin menjadi.

Aku mendiamkannya, sambil membalas pelukannya dan mengelus punggungnya pelan. Aku ingin menenangkan Intan ditengah ketakutannya yang sangat luar biasa ini.

“Hiks, hiks, hiks, hiks.” Tangis Intan terdengar semakin lirih dan menyayat hatiku.

Aku mendekapnya semakin erat, sambil terus mengelus punggungnya.

Tiba – tiba Intan langsung memundurkan tubuhnya, sampai pelukan kami terlepas. Intan menunduk dan tidak lagi terdengar tangisnya.

“Herg, herg, herg, herg.” Terdengar nafas Intan memberat dan sangat serak. Wajahnya menunduk sampai rambutnya menutupi bagian wajahnya.

“Tan.” Panggilku dan jujur aku terkejut dengan sikapnya yang tiba – tiba berubah ini.

“Pergi dari sini sekarang juga, karena aku tidak membutuhkan bantuanmu.” Ucap Intan dan suaranya terdengar mengerikan.

Cok. ada apa dengan Intan.? Kenapa dia berubah seperti ini.? Apa benar mahluk yang ada dihadapanku ini Intan, atau dia mahluk lain yang menyamar sebagai Intan.? Bajingan.

“Intan.” Ucapku sambil mendekat kearahnya.

“Berhenti.” Sahut Intan yang masih menunduk dan tangan kanannya diarahkan kedadaku.

Tes, tes, tes.

Tiba – tiba darah segar menentes dari wajah Intan yang menunduk dan membasahi dilantai kamarku.

“I, I, Intan.” Ucapku terbata.

Suasana kamarku yang hening, tiba – tiba berubah menjadi sangat menyeramkan disiang hari ini. Aku seperti berada ditempat lain, karena suasananya sangat berbeda sekali seperti biasanya.

Perlahan Intan mengangkat wajahnya dan pemandangan yang mengerikan, terlihat diwajah Intan. Wajah cantiknya dipenuhi luka dan mengeluarkan darah yang sangat segar. Matanya, hidungnya dan mulutnya, juga mengeluarkan darah yang sangat banyak. Dan yang paling mengerikan, bola mata Intan seluruhnya berubah menjadi warna putih.

Cok. mengerikan sekali Intan cok.

“Pergi kau dari sini.” Ucap Intan sambil menunjuk wajahku dan kamarku tiba – tiba dipenuhi kabut yang cukup tebal.

Aku diam terpaku dan tidak beranjak sedikitpun dari tempatku berdiri. Pandanganku lurus menatap kearah matanya dan tidak ada ketakutan sedikitpun dihatiku, melihat perubahan wajah wanita yang sangat kucintai ini.

Perlahan darah segar yang berwarna merah diwajahnya dan yang juga menggenang dilantai kamarku, berubah menjadi hitam serta diikuti bau busuk yang sangat menyengat. Jiancokk.

Aku tetap tidak beranjak dan terus memandangi matanya. Aku tau dia melakukan ini hanya untuk menakuti aku, supaya aku pergi dari kosan ini sekarang juga.

“PERGI, PERGI KAU..” Teriak Intan dengan suara parau dan makin menyeramkan.

“Seburuk apapun kau tampakkan wajahmu dihadapanku, aku tidak akan beranjak dari tempat ini.” Ucapku pelan dan penekanan kata yang sangat tegas.

“BAJINGANNN.” Maki Intan lalu tiba – tiba tubuhnya melayang kearahku dengan cepatnya, dengan kedua tangan yang langsung mencengkram leherku dengan kuatnya.

BUHHGGG.

Aku termundur dan punggungku terhantam pintu kamarku, karena kerasnya dorongan dari Intan.

“HERGGG.” Nafasku tercekat karena Intan mencekik leherku dengan kuatnya.

Aku tidak menahan atau mencegah cengkraman tangan Intan, karena aku takut menyakitinya yang sedang kalut ini. Aku sengaja membiarkannya, karena tidak mungkin Intan sampai membunuhku.

BRAK, BRAK, BRAK.

“BUKA COK, BUKA.” Teriak Joko sambil menggedor - gedor pintu kamarku, lalu dia mendobraknya tapi tidak bisa terbuka karena terhalang tubuhku yang tersandar dibalik pintu.

“KUBUNUH KAMU, KUBUNUH.” Ucap Intan sambil mengangkat leherku keatas, sampai kedua kakiku melayang diudara.

“HERGGG.” Aku semakin tidak bisa bernafas dan kedua mataku melotot, karena sakit yang aku rasakan.

Bajingan, apa ini beneran Intan.? Kok dia tega menyakiti aku seperti ini.? Apa dia benar – benar menginginkan aku pergi dari kosan ini, sampai dia menyakiti aku yang sudah pasrah ini.?

“JIANCOKKK. BUKA COK, BUKAA.” Teriak Joko sambil terus menggedor – gedor pintu kamarku.

BRAK, BRAK, BRAK.

“SAYANG, BUKA PINTUNYA SAYANG, BUKA.” Tiba – tiba terdengar suara Intan dari luar kamarku.

Cok, apa aku gak salah dengar.? Masa itu suara Intan.? Kenapa dia tidak masuk kedalam kamar ini.? Terus siapa yang mencekek leherku ini.? Jiancokk.

Karena posisi tubuhku melayang dan tersandar dipintu kamarku, aku lalu menunduk dan melihat kearah wajah mahluk yang mencengkramku. Bola matanya yang memutih, terlihat sangat menyeramkan dan tatapannya seperti iblis pencabut nyawa.

Aku merasa sudah tidak kuat untuk bertahan lagi dan nafasku sudah sangat berat sekali. Aku lalu berusaha mengangkat kedua tanganku dan mencoba melepaskan cengkraman mahluk jahat ini.

Aku mengeluarkan seluruh tenagaku, tapi kekuatan mahluk ini sangat luar biasa dan aku tidak bisa menggoyahkan sedikitpun cengkaramannya dileherku.

BRAK, BRAK, BRAK.

“BUKAAAA. BAJINGAAANNN.” Teriak Joko dengan emosinya.

“SAYANG, BUKA PINTUNYA SAYANG.” Ucap Intan yang juga berteriak.

“Saatnya kamu menemui ajalmu ditempat ini.” Ucap mahluk ini dengan suaranya yang parau.

“A a aku ti ti tidak akan ma mati se se semudah ini. Se se sebelum ci cintaku te tenang di di alamnya. Hergggg.” Ucapku terbata dan aku sangat bersusah payah sekali mengatakannya.

“AAAAAAAAAA..” Terdengar jeritan Intan yang sangat keras dan juga menyeramkan.

Lalu tiba – tiba.

Buhhgg.

Sebuah bayangan putih menghantam punggungku dari arah belakang tubuhku, sampai menembus dadaku. Bayangan itu pun menabrak mahluk dihadapanku ini, sampai cekikannya terlepas dan mahluk ini terlempar kebelakang.

Buhhgg.

Tubuhku jatuh kelantai dengan posisi tertelungkup.

“Hu, hu, hu, hu.” Nafasku langsung cepat dan memburu.

BRUAKK.

Pintu kamarku terbuka sedikit, karena terkena telapak kakiku.

“JIANCOOKKK.” Teriak Joko yang bersusah payah masuk kedalam kamarku.

“Hu, hu, hu, hu, hu.” nafasku masih memburu dan aku langsung mengangkat kepalaku, sampai melihat mahluk yang tergelatak didekat jendela kamarku.

Suasana kamarku pun kembali seperti semula dan tidak ada kabut tebal lagi didalam sini.

“Hiks, hiks, hiks.” Terdengar tangis dari arah mahluk itu dan suara tangisan itu, suara dari Intan.

“Intan.” Ucapku dan aku langsung berdiri dengan bersusah payah.

Terlihat Intan tergelatak, sambil memegangi dadanya. Dia terlihat kesakitan dengan tangis yang terdengar menyedihkan.

“Sayang.” Ucapku sambil berjalan tertatih kearahnya.

Aku lalu bersimpuh disamping Intan dan aku angkat kepalanya, lalu aku letakkan dipahaku.

“Hiks, hiks, hiks.” Intan terus menangis dan wajahnya sudah terlihat cantik kembali, tanpa ada luka ataupun darah sedikitpun.

Terlihat dari tatapan matanya, dia sangat kelelahan dan tidak mempunyai tenaga sama sekali.

Bajingaann. Kelihatannya Intan telah mengeluarkan seluruh tenaga dan kekuatan yang dimilikinya, untuk menyelamatkan aku dari cengkraman mahluk jahat tadi.

“Ma, ma, maaf. Hiks, hiks, hiks.” Ucap Intan terbata, lalu dia menangis lagi.

“Kamu gak perlu minta maaf sayang, gak perlu. Harusnya aku yang meminta maaf, karena aku tidak bisa berbuat apapun untukmu.” Ucapku dengan suara yang terbata dan kedua mataku langsung berkaca – kaca, karena melihat kondisi yang menyedihkan dari wanita kesayanganku ini.

“Aku lelah sayang, aku lelah. Aku mohon kepadamu, tinggalkan aku disini dan pergilah yang jauh. Hiks, hiks, hiks.” Ucap Intan.

“Enggak sayang, enggak. Aku gak akan meninggalkan kamu, walaupun nyawa ini taruhannya.” Ucapku sambil membelai wajah Intan.

“Sayang. Kamu menghadapi mahluk yang sangat kuat sekali. Aku salah selama ini, karena aku kira kamu bisa mengimbanginya. Hiks, hiks, hiks.” Ucap Intan dengan sedihnya.

“Yang. Kamu boleh lelah dan saat ini aku juga sangat lelah, tapi ingat kita gak boleh menyerah. Aku tau kamu kecewa, akupun merasakannya. Boleh kecewa tapi kita tidak boleh putus asa. Yakinlah kita bisa menyelesaikan dan melewati ini semua.” Ucapku dengan lembut, sambil terus membelai wajahnya.

“Dia bukan tandinganmu sayang, bukan.” Ucap Intan sambil membelai pipiku.

“Kamu belum tau kekuatan sesungguhnya dari orang Desa Sumber Banyu.” Ucap Joko yang bersuara dan dia berdiri didekat jendela. Pandangannya lurus kedepan, lalu dia membakar rokok yang ada ditangannya.

“Tapi Jok.” Ucap Intan terpotong, karena Joko langsung melirik kearah kami berdua bergantian, lalu dia melihat kearah luar jendela lagi.

Tapan mata Joko terlihat sangat tajam dan kemarahan yang sangat luar biasa, terpancar dari kedua matanya.

“Sudahlah Sayang. Lebih baik kamu beristirahat aja dulu.” Ucapku menenangkan Intan.

“Sayang.” Ucap Intan dengan melasnya dan aku baru menyadari, kalau mahluk berbeda alam ini, bisa juga lelah seperti aku.

“Cukup.” Ucapku, karena aku ingin menghentikan perdebatan ini.

Kami semua lelah dan butuh istirahat sejenak. Mungkin setelah istirahat nanti, pikiran akan lebih tenang dan bisa memikirkan langkah selanjutnya.





#Cuukkk. Kejadian barusan sangat singkat dan sangat menguras seluruh energy didalam tubuhku. Kelihatannya benar apa yang dikatakan Intan. Musuh kami sangat kuat dan pasti sangat sulit untuk dikalahkan.Tapi sulit bukan berarti tidak bisa. Aku akan mengeluarkan semua kekuatan dan kemampuanku, untuk mereka – mereka yang telah menyakiti aku dan orang – orang yang aku sayangi. Jiancookk.
 
Jav Toys
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd