Agen Terpercaya  
 
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

CERBUNG - TAMAT I M P I A N 2

Kamar baru kisanak....!!!!
Kisanak.. genre ke depannya ini apa ya? Drama, action, mistis, apa romantis, soalnya hampir semua genre ada...
Btw makasih update dan kamar baru nya kui...
Sehat selalu....
 


BAGIAN 25
DJIANCOK.!!!



“Piye cok.?” (Gimana cok.?) Tanya Joko sambil berjalan dan memegang gitar yang talinya dikalungkan dipundaknya.

“Ojo emboh jawabanmu tel. Ta tapok cangkemu koen engko.” (Jangan gak tau jawabanmu. Kutampar mulutmu nanti.) Ucap Joko lagi, ketika aku akan menjawab pertanyaannya.

“Assuuig.” (Anjingg.) Gerutuku, lalu aku menghisap rokokku.

“Musuh kita itu berat, jadi jangan dianggap remeh.” Ucap Joko dengan nada yang sangat serius sekali. Dan kalau dia sudah memakai bahasa negeri ini, berarti dia lagi gak bercanda.

“Iya aku mengerti. Musuh kita itu pasti sangat kuat, jadi kita harus waspada dan mencari siapa dalang dari semua ini.” Jawabku.

“Ya itu dia. Biasanya kita bisa mendeteksi kalau ada hal – hal ghaib yang akan mengganggu disekitar kita. Tapi ini sama sekali tidak bisa dan kita buta dengan kekuatan lawan kita.” Sahut Joko dan aku hanya menghisap rokokku, sambil menatap kearah jalan dihadapanku.

“Waktu kamu masuk kedalam kamarmu dua hari yang lalu, terus tiba – tiba Intan keluar dengan terpaksa, aku sudah curiga kalau mahluk bermata putih yang menjelma menjadi Intan itu, akan menyakiti dirimu. Mahluk itu kuat dan hebat cok. Buktinya Kamu gak sadar tiba – tiba Intan terusir dari hadapanmu.”

“Kamu gak sadar dan kamu bisa terbunuh waktu itu. Dan yang lebih gila, mahluk sejenis Intan saja, sempat tidak bisa menembus pintu kamarmu. Dia sampai mengeluarkan semua tenaganya, untuk masuk kedalam kamar. Itupun karena nyawamu sedang terancam ”

“Apa gak luar biasa musuh kita ini.?” Tanya Joko, mengakhiri ucapannya yang panjang tadi.

“Kamu yakin kalau mahluk bermata putih itu, mahluk lain yang menjelma sebagai Intan.?” Tanyaku ke Joko.

“Maksudmu.?” Joko bertanya balik dengan herannya.

“Kalau menurutku, Intan itu mempunyai dua jiwa yang berbeda didalam tubuhnya. Satu jiwa aslinya yang sangat baik, dan satu jiwa lainnya yang jahat karena kematiannya yang tidak wajar.” Ucapku.

“Mungkin saja jiwa jahatnya lahir, ketika dia tersakiti karena kematiannya itu.” Ucapku lagi.

“Kamu yakin.?” Tanya Joko.

“Gak tau, karena buta dengan semua ini.” Jawabku.

“Cok. susah kalau begini. Kelihatannya kita harus balik kedesa dan melakukan ritual di sumber mata air desa kita.” Ucap Joko lagi dan aku langsung melihat kearahnya.

“Jangan cok, gak perlu kita melakukan itu. Mahluk bermata putih yang menyerangku memang kuat, tapi kita harus segera menemukan siapa dalang dibalik kematian Intan. Mahluk bermata putih itu pasti akan hilang dengan sendirinya, kalau dalangnya kita temukan dan kita bantai terlebih dahulu.”Jawabku.

“Iya kalau dalangnya itu lemah, kalau lebih hebat bagaimana.? Bisa mati konyol kita cok.?” Ucap Joko dengan nada yang terdengar ngotot.

“Sebaiknya kita melakukan ritual dulu didesa kita, setelah itu baru kita mencari para bajingan itu. Aku yakin dengan kekuatan yang kita miliki setelah melakukan ritual, kita akan dengan mudah menemukan mereka dan menghancurkan mereka sampai ke akarnya. Kita hancurkan semuanya, termasuk mahluk dari alam ghaib yang mungkin saja membantu mereka.” Ucap Joko dengan emosi yang tertahan.

“Mereka sudah berani mengganggu orang Desa Sumber Banyu, padahal kita tidak pernah mengusik siapapun yang ada disini. Mereka sudah berurusan dengan orang yang salah.” Ucap Joko lagi.

“Sabar cok, sabar. Ritual itu gak mudah dan taruhannya nyawa kita.” Ucapku menenangkan Joko.

“Terus kita harus menunggu sampai kapan.? Sampai kamu yang menjadi korban.?” Ucap Joko sambil menghentikan langkahnya dan aku juga menghentikan langkahku.

“Kalau sampai itu terjadi, aku tidak akan memaafkan siapapun yang sudah berbuat macam – macam sama kamu dan orang – orang disekelilingku. Aku akan melakukan ritual itu sendiri, walaupun nyawaku sebagai taruhannya. Lebih baik aku kehilangan nyawaku pada saat ritual, dari pada aku harus melihat nyawa orang – orang terdekatku melayang dihadapanku.” Ucap Joko dengan suara yang bergetar.

“Cok. Kamu bisa sabar gak.?” Tanyaku dengan penekanan kata yang tegas.

“Bajingan. Panganen iku sabar cok. Panganen kabeh. Lek iso mbah’e sabar badoken sisan.” (Bajingan. Makan itu sabar cok. Makan semuanya. Kalau bisa kakeknya sabar makan sekalian.) Ucap Joko dengan mata yang melotot dan aku tidak menjawab ucapan Joko yang semakin emosi ini.

Aku hanya diam sambil menatap kearah mata Joko, yang dipenuhi dengan aura kemarahan dan dendam yang membara. Joko terlihat dikuasi emosinya dan dia ingin meluapkan semua amarahnya. Dia tidak akan bisa dihentikan, walau aku mengeluarkan seribu kata untuk menenangkannya.

Kalau sudah seperti ini kondisinya, satu – satunya caraku dan ini adalah cara yang paling mujarab. Diam dan menatap kearah matanya. Biasanya kalau aku melakukan ini, Joko akan memalingkan wajahnya dan tidak akan berani menatapku terlalu lama. Hasil akhirnya, dia akan menuruti semua ucapanku. Semoga saja bisa.

“Cok. Matamu lek ndelok gak usah ngono lapo seh.?” (Cok. Matamu kalau lihat gak usah begitu kenapasih.?) Ucap Joko sambil memalingkan wajahnya dan menghindari tatapan mataku.

Hiuufffttt, huuuuu. Akhirnya berhasil juga.

“Wes talah cok, sabar.” (Sudahlah cok. sabar.) Ucapku sambil membuang puntung rokokku, lalu merangkul pundak Joko dan mengajaknya berjalan lagi.

“Sabarmu itu loh Lang.” Ucap Joko sambil menggelengkan kepalanya dan dia tidak melanjutkan ucapannya.

“Aku ini manusia sama seperti kamu Jok. Mungkin saat ini aku masih bisa menahan semua dan aku masih bisa bersabar. Entah nanti, besok, lusa atau kapanpun, mungkin kesabaranku bisa saja habis. Tapi aku tetap akan berusaha untuk menahannya, dengan cara bersyukur. Bersyukur karena masih bisa mengirup udara segar di alam semesta ini, bersyukur karena masih bisa mengamen, bersyukur masih bisa makan tempe, bersyukur karena ada kamu, ada keluargaku, ada orang – orang yang menyayangi aku dan bersyukur dengan semua nikmat yang ada disekelilingku. Terus alasan apa yang harus membuat aku kehilangan kesabaran.?” Ucapku sambil meremas pelan pundak Joko.

“Omonganmu gurih koyok tempe goreng seng dipenyet nggawe sambel puedes cok. Terus seng mari mangan mencret – mencret mergo kepedesan. Assuu.” (Ucapanmu gurih seperti tempe goreng yang dipenyet pakai sambel pedes banget cok. Terus yang habis makan mencret – mencret karena kepedesan. Anjingg.) Gerutu Joko.

“Koen seng nyambel, aku seng disalahno.” (Kamu yang buat sambel, aku yang disalahkan.) Ucapku sambil melepaskan rangkulanku dipundak Joko, karena dia perlahan sudah mulai tenang.

“Matamu.” Maki Joko.

Lalu Tiba – tiba.

DUAR, DUAR, DUAR.

Wuss, wusss, wusss.

Suara petir menggelegar dan menerangi semesta sesaat. Suara gemuruh dari langit itu, disertai angin yang bertiup kencang dan menyapu butiran debu dijalanan. Malam yang dipenuhi bintang pun, langsung gelap gulita tertutup awan tebal.

“Cok.” Maki Joko yang terkejut, dan.

“Huuppp.” Aku menghentikan langkahku karena aku merasakan sakit didalam dadaku.

Aku merasa didalam dadaku seperti disayat – sayat, sampai menimbulkan rasa perih yang sangat luar biasa. Aku langsung membungkuk dan memegangi dadaku dengan punggung tangan kananku yang memegang biola, sedangankan tangan kiriku memegang lutut kiriku untuk kujadikan tumpuan membungkuk.

DUAR, DUAR, DUAR.

Wuss, wusss, wusss.

“Lang, Lang. Koen lapo cok.? Gak po – po a koen.?” (Lang, Lang. Kamu kenapa cok.? Gak apa – apa kah kamu.?) Ucap Joko sambil memegang punggungku dengan tangan kiri, sedangkan tangan kanannya memegang gitar.

“U u u u uh.” Aku mencoba menarik nafasku, tapi tidak bisa. Hatiku seperti diremas dengan kuat dan jantungku seperti berhenti memompa.

“Lang, Lang, Lang.” Ucap Joko yang juga membungkuk disebelahku.

DUAR, DUAR, DUAR.

Wuss, wusss, wusss.

Petir menggelegar bersahut - sahutan dan anginpun bertiup semakin kencang.

“U uh, uh, uh, uh, uh.” Aku menarik nafasku pendek dan mengeluarkan juga pendek. Aku berusaha mengontrol nafasku yang sesak dan berat ini.

“Jiancok, koen gak usah medeni aku cok.” (Jiancok, kamu jangan nakutin aku cok.) Ucap Joko yang terdengar panik dan sangat khawatir sekali.

“Huupp uh, uh, uh, uh, uh.” Nafasku sudah mulai agak panjang, tapi dadaku masih terasa sangat sakit.

“Bajingan.” Maki Joko lalu dia meletakkan gitarnya ditanah, setelah itu dia membungkuk dihadapanku. Terlihat dari gerakannya, dia ingin menggendongku dipunggungnya.

Tapp.

Aku memegang punggungnya dengan tangan kananku yang masih memegang biola ini, lalu aku berdiri perlahan. Tangan kiriku yang memegang lututku, aku angkat dan sekarang kubuat memegang dadaku.

“Muanggao cok, tak gendong nang rumah sakit.” (Naiklah cok, ku gendong kerumah sakit.) Ucap Joko dengan paniknya, sambil berlutut memunggungi aku.

Aku tidak menghiraukan ucapan Joko dan aku berdiri perlahan, sambil menarik nafasku pelan.

“Hiuffttt.” Nyeri didada perlahan mulai mereda dan aku langsung memejamkan kedua mataku.

Gila. Kenapa dadaku bisa sesakit ini ya.? Ada apa ini.? Sakit ini bukan hanya sekali tapi sudah berkali – kali. Dan anehnya, sakit ini muncul ketika ada suatu masalah besar yang sedang atau akan aku hadapi. Kalau sakit ini datang lagi kali ini, berarti ada masalah besar yang akan menghadangku lagi.? Masalah apa dan kenapa harus dadaku yang sakit, untuk menandakan permasalahan yang sedang aku hadapi atau permasalahan yang akan datang.? Bajingan.

Aku membuka kedua mataku perlahan, sambil mengeluarkan nafas panjangku.

“Huuuuu. Huupp.” Setelah nafas panjang aku keluarkan, sekarang nafasku kembali terhenti. Aku terkejut melihat pemandangan yang ada dihadapanku, sampai aku tidak bisa mengucapkan sepatah katapun.



Aku sekarang berdiri ditengah hutan yang penuhi kabut dan terlihat sangat menyeramkan. Pohon – pohon tua dan besar, terlihat disekelilingku. Pohon – pohon tua itu seolah memiliki mata dan menatap kearahku.

Bajingan, dimana aku ini dan dimana Joko sahabatku.? Kenapa bisa aku berada ditempat ini dan siapa yang membawaku kesini.?

“Aku yang membawamu kesini.” Ucap seseorang dibelakangku dan aku langsung membalikan tubuhku, mencari asal suara itu.

Seorang kakek berambut putih dan sedang menghisap rokok klobot, berdiri sambil menatapku. Kalau aku tidak salah ingat, kakek ini yang ada didepan kosanku, ketika malam – malam aku baru pulang dari pondok merah bersama Joko. Kakek – kakek itu yang datang pada saat aku baru pertama kali kekota pendidikan ini.

“Mbah ini siapa.?” Tanyaku dengan herannya.

“Kamu tidak perlu tau siapa aku, karena bukan itu tujuanku membawamu kemari.” Jawab Simbah, lalu beliau menghisap rokoknya lagi.

“Apapun tujuan Mbah membawa saya kemari, kalau kita tidak saling kenal, saya tidak akan menuruti semua kemauan Mbah.” Jawabku dan aku buat setenang mungkin.

Simbah hanya terdiam, sambil terus menatapku dan menghisap rokoknya. Lalu perlahan seluruh kedua bola matanya berubah menjadi hitam pekat dan sangat menakutkan. Akupun sampai terkejut dan bulu kudukku pun sampai berdiri.

Cok. Simbah ini mahluk penjaga Desa Jati Bening yang tersohor itu.? Gila. Kenapa mahluk yang sangat misteri dan melegenda di Desa Jati Bening ini, datang kepadaku.? Aku tau kalau simbah ini penjaga Desa Jati Bening, karena Mbahku pernah bercerita tentang beliau kepadaku. Semua ciri – cirinya pun sama seperti yang diceritakan Mbahku. Gila.

“Kamu sudah tau tentang aku kan.?” Tanya Simbah penjaga Desa Jati Bening.

Akupun hanya mengangguk pelan, karena aku masih terkejut dan jujur ada terselip rasa ketakutan didalam hatiku.

“Aku tidak akan basa - basi dan aku akan langsung pada tujuanku membawamu kemari.” Ucap Simbah dan aku hanya mendengarkan Simbah berbicara, dengan suaranya yang terdengar berwibawa dan juga tegas.

“Ada beberapa hal yang mau aku sampaikan kepadamu.”

“Yang pertama. Kamu orang Desa Sumber Banyu, tapi didarahmu mengalir darah Jati Bening. Bukan darah orang sembarangan, makanya aku datang menemuimu saat ini.”

“Yang kedua. Didarahmu juga mengalir darah Sumber Banyu dan juga bukan dari orang sembarangan.”

“Suka atau tidak suka, ditubuhmu ada dua kekuatan dasyat yang sewaktu – waktu bisa meledak dan kamu harus bisa menguasainya.”

“Aku salut dengan kamu yang tidak mau mengikuti saran dari sahabatmu, yang mengajakmu melakukan ritual Desa Sumber Banyu.”

“Ritual itu sudah lama terkubur dan jangan dibangkitkan lagi, atau malapetaka yang maha dasyat akan datang meluluhkan seluruh desa yang ada disekitarnya.” Ucap Simbah dan membuatku semakin terkejut.

“Aku tau kamu akan menghadapi suatu masalah yang besar dan musuhmu juga sangat kuat.”

“Untuk saat ini mungkin kekuatanmu belum bisa menandinginya. Tapi ketika dua kekuatan didalam tubuhmu sudah bangkit dan kamu bisa menguasainya, mungkin kamu akan bisa mengalahkan musuhmu. Jadi kamu tidak perlu melakukan ritual Desa Sumber Banyu.” Ucap Simbah yang panjang sekali bercerita.

“Mbah. Tanpa Mbah mintapun, saya tidak akan melakukan ritual Desa Sumber Banyu. Tapi saya juga tidak akan membangkitkan atau mengendalikan dua kekuatan yang ada didalam tubuh saya, seperti yang Mbah ucapkan barusan.” Jawabku dengan memberanikan diri.

“Saya akan menghadapi segala permasalahan dan juga musuh – musuh yang menghadang, sebagai seorang Gilang Adi Pratama. Saya akan menghadapi dan menyelesaikannya dengan kekuatan saya sendiri.” Ucapku lagi.

“Kamu seperti dua Mbahmu yang berasal dari Sumber Banyu dan Jati Bening. Mereka berdua sama – sama memilih mengubur kekuatannya masing – masing dan menjadi manusia yang mempunyai kehidupan seperti manusia pada umumnya.” Ucap Simbah.

“Tapi dengan permasalahan yang kamu hadapi saat ini, kamu tidak akan bisa menyelesaikannya tanpa dua kekuatan itu. Menggunakan dua kekuatan itu saja, masih ada kemungkinan untuk kalah, apalagi tidak sama sekali.” Ucap Simbah lagi.

“Terimakasih atas masukan dan sarannya Mbah. Tapi mohon maaf, itu tidak akan menggoyahkan keyakinan saya.” Sahutku.

Simbah hanya tersenyum lalu menghisap rokok klobotnya lagi.

“Apa tujuan Mbah hanya untuk menyampaikan hal itu, sampai membawaku ketempat ini.?” Tanyaku.

“Huuuuu.” Simbah menghembuskan asap rokok klobotnya kearah mataku, sampai aku memalingkan wajahku dan menutup kedua mataku.



“Lang, Gilang.” Panggil Joko dan aku langsung membuka kedua mataku.

Cok. Aku sudah berada ditepi jalan, tempatku berdiri bersama Joko tadi. Tapi kemana Simbah tadi ya.?

Aku menoleh kearah kanan dan kiri, lalu aku berputar kebelakang, lalu menghadap kearah depan lagi.

“Jiancok, ditakoni malah tolah - toleh koen cok.” (Jiancok, ditanyain malah lihat kanan kiri kamu cok.) Ucap Joko dengan jengkelnya.

“Ha.? Opo Cok.?” (Ha.? Apa cok.?) Tanyaku ke Joko.

“Koen ngerti djiancok a.?” (Kamu tau jiancok kah.?) Ucap Joko sambil melotot.

“Ha.?” Jawabku sambil mengerutkan kedua alis mataku.

“Raimu iku loh, koyo djiancok.” (Wajahmu itu loh, kaya jiancok.) Ucap Joko.

“Koen iku lapo seh muring – muring.?” (Kamu itu kenap sih marah – marah.?) Tanyaku.

“Gathel. Pertanyaanmu iku loh thel, gathel.” (Menjengkelkan. Pertanyaanmu itu loh, menjengkelkan.) Ucap Joko dan dia sangat gretetan sekali.

“Asuuig.” (Anjinngg.) Makiku, lalu dengan cueknya aku berjalan meninggalkan Joko yang masih jengkel kepadaku.

“Oooo, matane.” (Oooo, matanya.) Maki Joko dibelakangku, lalu dia berjalan menyusulku.

Suasana ditempat ini kembali terlihat cerah dan tidak ada suara petir, hembusan angin yang kencang ataupun awan tebal yang akan menandakan hujan akan turun. Diatas langit sana, tampak bintang – bintang bersinar dengan terangnya.

“Koen iku gak po – po ta cok.?” (Kamu itu gak apa – apa kah cok.?) Tanya Joko dan aku langsung menoleh kearahnya, sambil menggelengkan kepala dan terus berjalan.

“Jiancok. Koen iku maeng koyo wong kate mati ae cok. Lah saiki kok malah godek – godek ngono. Bajingann.” (Jiancok. Kamu itu tadi kaya orang mau mati aja cok. Lah sekarang kok malah geleng – geleng gitu. Bajingan.) Ucap Joko dengan herannya.

Akupun menarik nafasku dan memang dadaku sudah tidak terasa sakit sama sekali.

“Aku loh gak po – po.” (Aku loh gak apa – apa.) Jawabku dengan santainya.

“Gak po – po matamu iku.” (Gak apa – apa matamu itu.) Gerutu Joko dan aku hanya tersenyum sambil terus melangkah.

“Terus piye iki.? Lanjut ngamen maneh ta.?” (Terus gimana ini.? Lanjut ngamen lagi kah.?) Tanyaku untuk mengalihkan pembicaraan, ketika kami sampai didepan sebuah warung kopi yang cukup ramai.

“Sakjane aku seng takon ngono cok. Koen kuat ta ngamen maneh.?” (Sebetulnya aku yang tanya gitu cok. Kamu kuat kah ngamen lagi.?) Tanya Joko.

“Aku loh gak po – po cok, jiancok.” (Aku loh gak apa – apa cok, jiancok.) Jawabku untuk meyakinkan Joko.

“Assuu. Malah aku seng diomeli.” (Anjingg. Malah aku yang diomelin.) Ucap Joko yang jengkel dan juga bingung.

“Wes talah, gak usah ngeroweng ae.” (Sudahlah cok, gak usah ngomel aja.) Ucapku sambil menatap kearah dalam warung.

“Bajingan’ig.” Gerutu Joko.

“Mas Gilang, Mas Joko.” Panggil seseorang dari dalam warung kopi.

Kami berdua lalu melihat kearah suara itu dan ternyata yang memanggil kami adalah Pak Jaka. (Pak Jaka itu pengawas lapangan dikantor Pak Danang, diproyek jalan desa utara waktu itu)

“Pak Jaka.” Ucapku sambil mendekat kearahnya, yang duduk dengan seorang pemuda.

“Mas, bagaimana kabar.?” Tanya Pak Jaka yang langsung berdiri, sambil menjulurkan tangan kanannya kearahku dan aku langsung menjabatnya.

“Baik Pak.” Jawabku, setelah itu Pak Jaka menjabat tangan Joko.

“Gimana Mas Joko.?” Tanya Pak Jaka.

“Ya beginilah Pak. Kembali kehabitat lama. Bergulat dengan aroma dan bisingnya jalanan.” Jawab Joko lalu diakhiri dengan senyum yang agak sinis.

“Jangan begitulah Mas. Sebenarnya sampean berdua ini pintar dan hebat dalam bekerja, jadi jangan merendah seperti itu. Kalau sampean mau cari konsultan atau kontraktor yang lain, pasti gak ada yang menolak.” Ucap Pak Jaka yang membesarkan hati kami berdua.

“Bisa aja Bapak ini.” Sahutku.

“Heheh. Oh iya Mas, kenalin ini anakku. Namanya Candra.” Ucap Pak Jaka mengenalkan pemuda yang ikut berdiri disebelahnya.

“Oh iya Mas Candra. Saya Gilang.” Ucapku sambil mengajaknya bersalaman.

Mas Candra ini terlihat sedikit lebih tua dari aku. Usianya mungkin dua atau tiga tahun diatasku.

“Candra Mas.” Jawab Pemuda itu, sambil menjabat tanganku lalu dia berkenalan dengan Joko juga.

“Duduk dulu yu Mas.” Ucap Pak Jaka mempersilahkan kami berdua.

“Mas, kopi hitam dua ya.” Ucap Pak Jaka kepada seorang pelayan yang berdiri tidak jauh dari tempat kami berdiri.

“Loh kok langsung dipesankan Pak.? Kami kan mau mengamen lagi.” Ucapku.

“Rejeki kok ditolak.” Ucap Joko dan dia langsung duduk duluan dengan cueknya.

“Betul itu Mas Joko.” Sahut Pak Jaka, lalu dia dan Mas Candra ikut duduk.

“Apa salahnya sih basa – basi.” Ucapku dan aku duduk disebelah Joko.

“Basa – basimu bisa kehilangan segelas air kenikmatan cok.” Gerutu Joko.

“Hahahaha.” Pak Jaka hanya tertawa mendengarnya.

Akupun mengeluarkan bungkusan rokokku, lalu mengambilnya sebatang dan membakarnya. Joko meraih bungkusan rokokku dan dia juga membakarnya.

“Gimana Mas. Apa rencana sampean.?” Tanya Pak Jaka kepadaku.

“Maksudnya Pak.?” Tanyaku.

“Saya tadi kan sudah bilang, sampean berdua ini pintar dan sayang kalau kepintaran kalian tidak disalurkan dalam pekerjaan dikantor lain.” Ucap Pak Jaka.

“Saya bingung kenapa sampean bisa dipecat Pak Jarot. Gak salahkah Pak jarot itu.?” Ucap Pak Jaka lagi.

Aku dan Joko langsung melirik, sambil menghisap rokok masing – masing.

“Mungkin ada kekurangan didalam diri kami berdua, yang menurut Pak Jarot itu sangat fatal. Jadi kami dipecat.” Jawabku.

“Enggak. Enggak mungkin Mas. Pasti ada sesuatu dibalik ini semua.” Ucap Pak Jaka dan kembali aku melirik kearah Joko.

“Sudahlah Pak, gak usah bahas masalah itu lagi. Bikin gatal kepala aja.” Sahut Joko dengan nada yang agak jengkel.

“Iya, iya. Maaf, maaf.” Ucap Pak Jaka yang terdengar agak malu.

“Silahkan diminum dulu Mas.” Ucap Pak Joko, yang bertepatan dengan datangnya dua gelas kopi dihadapan kami.

“Iya Pak, permisi ya.” Ucapku sambil menuangkan cangkir yang berisi kopi panas, kelepek yang ada dibawahnya.

“Huuuu.” Aku meniup lepek yang berisi kopi panas ini, lalu menyeruputnya perlahan.

“Ahhhh.” Ucapku, setelah tegukan kopi panas ini masuk kedalam tenggorokanku.

Aku lalu meletakkan lepek keatas meja dan dilanjut menghisap rokokku lagi.

Nikotin dan cafein yang bermadu kasih didalam tubuhku, membuat pikiranku menjadi tenang sejenak dan menimbulkan kenikmatan yang tidak bisa aku ucapkan dengan kata – kata yang paling indah sekalipun. Jiancookkk.

Hiuffftt, huuuuu.

“Jadi gimana Mas.? Masa sampean berdua hanya mengamen saja.? ” Tanya Pak Jaka lagi.

“Sebenarnya kami berdua itu sudah mendirikan sebuah perusahaan konsultan Pak.” Ucapku menjawab pertanyaan Pak Jaka.

“Bagus dong kalau begitu.” Sahut Pak Jaka yang terlihat senang.

“Bagus apanya Pak.? Kami belum bisa menggunakan perusahaan konsultan itu, untuk proyek apapun.” Ucap Joko menyahut.

“Loh, kok bisa.?” Tanya Pak Jaka dengan herannya.

“Perijinannya belum lengkap, karena kami belum punya ijazah dan sertifikat tenaga ahli, sebagai penanggung jawab proyek Pak.” Jawabku.

“Pakai punyaku aja Mas.” Ucap Mas Candra yang ikut berbicara.

“Ha.?” Aku dan Joko sama – sama terkejut.

“Anak saya sudah menganggur beberapa bulan ini Mas. Dia sudah lulus S1 dan dia juga mempunyai sertifikat keahlian dibidang kontruksi.” Ucap Pak Jaka menjelaskan.

“Kenapa gak dimasukan dikantor Pak Danang aja Pak.?” Tanyaku dan Joko langsung menyenggol kaki kiriku. Dia seperti mengkodeku untuk diam, karena ini kesempatan untuk bisa menjalankan sisa perijinan kantor kami.

“Enggak ah Mas. Masa saya kerja bareng Bapakku. Lebih baik saya gabung dengan kantor sampean dan kita memulai semuanya dari nol. Bagi saya itu lebih menantang.” Jawab Mas Candra.

“Serius Mas.? Sampean tau kan resikonya kalau bergabung dengan kami.? Ijasah dan sertifikat sampean, kami pakai dan belum tentu sebulan atau dua bulan langsung selesai perijinannya. Setelah perijinan jadipun, masih butuh proses beberapa bulan lagi untuk mendapatkan proyek. Dan itu berarti, sampean belum bisa mendapatkan gaji dari kantor kami.” Jawabku.

“Santai aja Mas. Sebenarnya saya gak sepenuhnya menganggur. Saya freelance dibeberapa konsultan, jadi saya masih ada sedikit pemasukan.” Jawab Mas Candra.

“Apa yang menjadi motivasi sampean, dengan bergabung bersama kami yang belum tentu jelas kedepannya ini.?” Tanyaku karena aku melihat keyakinan dimata Mas Candra.

“Impian, kejujuran dan semangat yang sangat luar biasa.” Ucap Mas Candra sambil menatap mataku.

“Saya sedikit banyak sudah mengetahui tentang sampean berdua, dari cerita Bapak waktu kalian bekerja diproyek jalan Desa Utara. Dua orang pemuda desa, yang kuliah dengan biaya sendiri. Bagi saya itu sangat luar biasa dan sangat menginspirasi dalam kehidupan saya. Apa sih yang tidak bisa dicapai, kalau kita sudah nekat dan yakin dengan apa yang sudah di impikan.?” Ucap Mas Candra sambil menerawang kearah langit diluar warung ini

“Saya membayangkan, bagaimana asyiknya menggapai impian dan bekerja sama dengan sampean berdua. Pasti nikmatnya sangat luar biasa, ketika impian itu bisa diraih bersama.” Ucap Mas Candra sambil melihat kearahku lagi dan menjulurkan tangan kanannya kearahku, untuk mengajakku bersalaman.

Aku yang terharu mendengar ucapan Mas Candra ini, langsung mengangkat tangan kananku yang bergetar. Aku mengarahkan tangan kananku kearahnya, bukan untuk menjabat tangannya, tapi aku mengepalkan tanganku kearah telapak tangannya yang terbuka itu.

Mas Candra Pak Jaka terlihat bingung dan aku hanya mengangguk pelan, sambil tersenyum. Mas Candra pun mengepalkan tangannya yang terbuka itu, lalu meninju kepalan tanganku pelan.

“Semongko.” Ucapku pelan, dengan suara yang bergetar.

“SEMANGAT NGANTI BONGKO.” (Semangat sampai mampus.) Teriak Joko, yang meninju kepalan tangan kami berdua dari arah samping.

Pak Jaka, Mas Candra dan juga pengunjung yang ada disekitar kami, langsung terkejut mendengarnya.

“SEMANGAT NGANTI BONGKO.” (Semangat sampai mampus.) Sahutku dengan suara tidak kalah keras.

“Sebentar, sebentar. Bisa diulangi.?” Ucap Mas Candra.

Aku dan Joko saling melihat, lalu mengerahkan kepalan tangan kami lagi, ke arah tengah meja.

“Semongko.” Ucapku.

“SEMANGAT NGANTI BONGKO.” (Semangat sampai mampus.) Teriakku, Joko, Mas Candra dan Pak Jaka, yang ikut meninju kepalan tangan kami dan juga dengan suara yang menggelegar.

“HAHAHAHAHA.” Kami berempat tertawa bersama dan para pengunjung yang ada disekitar kami, hanya menggelengkan kepala lalu mereka melanjutkan aktifitasnya masing – masing.

“Sebentar dulu Mas Candra. Pak Jaka mengijinkan Mas Candra bergabung dengan kami.?” Ucapku ke Mas Candra, lalu bertanya Pak Jaka.

“Saya sangat setuju dan saya yakin kalian bertiga akan menjadi tim yang hebat.” Ucap Pak Jaka dengan bangganya.

“Terimakasih Pak, terimakasih.” Ucapku dengan senangnya.

Kami berempat lalu mengobrol lagi dan merencanakan tentang kelanjutan perusahaan kami. Sebagai ucapan terimakasih kepada Pak Jaka dan Mas Candra, aku dan Joko sepakat memasukan mereka berdua didalam struktur organisasi perusahaan. Pak Jaka juga akan mendapatkan hasil bagian, dalam keuntungan perusahaan kedepannya. Awalnya Pak Jaka menolak, tapi kami berdua memaksanya dan akhirnya Pak Jaka pun menyetujui. Dan rencananya, Pak Jaka juga akan bergabung dengan kami, kalau perusahaan ini sudah berjalan.

Terus terang aku sangat senang dengan hasil pembicaraan kami malam ini, karena kami pasti sangat membutuhkan Mas Candra, untuk perijinan dan kelanjutan mendapatkan proyek nantinya. Selain itu, aku juga senang karena kami pasti membutuhkan orang yang berpengalaman seperti Pak Jaka.

Setelah pembicaraan kami yang cukup panjang dan menyenangkan ini, aku dan Joko pamit untuk pulang. Mas Candra berjanji besok pagi akan kekosan, untuk menyerahkan semua data diri yang dimilikinya dan juga akan membantu mengurus proses perijinan perusahaan kami selanjutnya. Waw.

Malam yang penuh dengan kejutan dan pasti membahagiakan sekali. Aku melupakan sejenak permasalahan tentang Simbah penjaga Desa Jati Bening, mahluk bermata putih dan Mr. Cruel yang pasti dalang dari semua ini. Joko pun kelihatannya masih belum paham tentang Mr. Cruel, karena dia tidak pernah membahasnya denganku sampai detik ini. Mungkin waktu itu dia terlalu konsentrasi dengan pertarungannya melawan Gondes, jadi dia tidak mendengar nama Mr. Cruel yang terdengar dimalam itu.

“Cok. kok nikmat ngene urip iki.?” (Cok. Kok nikmat begini hidup ini.?) Ucap Joko, ketika kami berdua sudah jauh dari warung kopi tadi.

“Harapan dan impian itu, pasti ada jalannya kalau kita yakin.” Ucapku lalu aku menghisap rokokku.

“Iyo cok. Hahaha.” Ucap Joko lalu tertawa dengan senangnya.

“Njaluk rokokmu.” (Minta rokokmu.) Ucap Joko kepadaku.

“Entek cok.” (Habis cok.) Jawabku.

“Yo wes, tak tuku disek.” (Ya sudah, aku beli dulu.) Ucap Joko dan didepan kami, ada sebuah toko yang lumayan besar dan masih buka ditengah malam ini.

Joko lalu berjalan kearah dalam toko dan aku menunggunya didepan toko, sambil menikmati rokok ditanganku.

Dan tiba – tiba sebuah mobil datang dari arah belakangku dan berhenti tepat disamping kananku. Beberapa saat kemudian, terdengar seseorang membuka pintu mobil dari arah sebelah kanan sana, lalu menutupnya dan orang itu berjalan melewati aku. Aku tidak melihat kearahnya, karena aku menunduk melihat kearah biolaku.

“Gilang.” Sapa orang yang berdiri didepanku.

Aku langsung mengangkat wajahku dan melihat kearah orang itu.

Cok, orang itu adalah Pak Danang dan aku terkejut melihatnya. Ini adalah pertemuan kami yang pertama, semenjak aku meninggalkan kantornya beberapa waktu lalu.

“Pak.” Jawabku sambil mengangguk pelan dan suaraku pun, aku buat sesopan mungkin.

Walaupun aku sedikit kecewa dengan Pak Danang yang tidak bereaksi ketika aku dipecat Pak Jarot, beliau sudah banyak membantuku dan banyak ilmu yang aku dapatkan dikantornya.

“Gimana kabarmu.?” Tanya Pak Danang dengan santainya.

Tidak ada rasa canggung, grogi ataupun penyesalan terlihat diwajah Pak Danang, karena aku keluar dari kantornya. Dia terlihat santai dan biasa saja.

Cok, kenapa juga aku harus berpikir begitu ya.? Kalau dia sikapnya seperti ini, berarti dia menyetujui pemecatanku oleh Pak Jarot, atau jangan – jangan malah Pak Danang yang ada dibalik pemecatanku. Jadi kenapa aku yang terkejut dan kesannya aku yang jadi grogi.? Bajingan.

“Baik Pak.” Jawabku dan aku menjawabnya dengan santai juga.

“Sibuk apa sekarang.?” Tanya Pak Danang dan dia tidak terlihat ingin mengajakku bersalaman. Aku yang ingin menjulurkan tanganku kearahnya pun, jadi agak ragu karena dia bertanya dengan cuek seperti ini.

“Kuliah Pak.” Jawabku singkat lalu aku tersenyum.

Pak Danang lalu melihat dari ujung kakiku, sampai keujung kepalaku. Tatapannya seperti menyelidiki aku dan entah apa maksudnya, dia bersikap seperti ini.

“Anak yang baik.” Ucap Pak Danang, sambil menganggukan kepalanya dan nada bicaranya seperti sedikit sinis kepadaku.

“Lang.” Ucap Joko yang sudah balik dari arah toko dan dia melihatku, lalu melihat kearah Pak Danang dengan tatapan yang kurang suka.

“Saya tidak pernah mengatakan saya ini orang baik dan saya tidak pernah merasa diri saya baik. Tapi kalau suatu saat ada orang yang melihat saya jahat, berarti orang itu punya masalah dengan saya.” Ucapku yang tiba – tiba mengeluarkan kata – kata seperti ini kepada Pak Danang.

Akupun mengucapkannya, sambil menatap matanya dengan dingin dan Pak Danang menyambutnya dengan senyum kecut.

“Bagus juga kata – katamu.” Ucap Pak Danang.

“Itu hanya kata - kata seseorang, yang kebetulan saat ini sedang saya rasakan.” Ucapku.

“Oh iya, saya pamit Pak.” Ucapku dengan sopannya.

“Oke, sampai bertemu lagi.” Jawab Pak Danang, lalu dia berjalan masuk kearah toko.

“Lapo wong iku ono nde kene Lang.?” (Kenapa orang itu ada disini Lang.?) Tanya Joko.

“Emboh.” (Gak tau.) Jawabku, lalu aku berjalan duluan dengan cueknya.

“Bajingan. Aku mangkel ambe Pak Danang iku cok. Raine koyo gak getun blas, ngerti Pak Jarot mecat awak dewe.” (Bajingan. Aku jengkel sama Pak Danang itu cok. Wajahnya seperti gak ada penyesalan, tau Pak Jarot mecat kita.) Ucap Joko yang menyusulku dan berjalan disebelahku.

“Ngerti teko endi koen cok.?” (Tau dari mana kamu cok.?) Tanyaku lalu menghisap rokokku, setelah itu aku membuang puntung rokokku.

“Deloken raine maeng iku loh. Nggatheli.” (Lihat wajahnya tadi itu loh. Menjengkelkan.) Ucap Joko dan dengan nada yang sangat jengkel sekali.

“Gak usah ngono cok. Pak Danang iku, wes ngeke’i awak dewe pengalaman tentang dunia kerja seng akeh loh.” (Gak usah begitu cok. Pak Danang itu, sudah memberikan kita pengalaman tentang dunia kerja yang banyak loh.) Ucapku yang menenangkan Joko, tapi sebenarnya aku juga jengkel dengan Pak Danang itu.

“Ngeke’i ndasmu iku. Awak dewe iku kerjo nde kono cok. dadi wajar lek awak dewe entok pengalaman ambe gaji barang.” (Memberi kepalamu itu. Kita itu kerja disana cok, jadi wajar kalau kita dapat pengalaman sama gaji sekalian.) Ucap Joko.

“Simbiosis mutualisme. Kita menghasilkan duit untuk dia karena hasil kerja kita dan dia memberi sebagian hasil itu sebagai gaji kita. Sama – sama untungkan.?” Ucap Joko dengan gaya diplomatisnya.

“Hehe, Assuu.” Ucapku dengan sinisnya.

Kami berduapun sudah berjalan lumayan jauh dari toko tadi dan mobil Pak Danang belum melewati kami. Mungkin dia berbalik arah dan hanya membeli sesuatu ditoko tadi.

Dan ketika perjalanan kami melewati sebuah café, terlihat dua sejoli duduk berhadapan. Laki – laki yang duduk berhadapan dengan sang wanita, terlihat berusaha memegang tangan wanita, tapi wanita itu selalu menepisnya.

“Cok, Kinanti sama Ndowe (Trisno.)” Ucap Joko yang terkejut melihat dua orang itu. (Ndowe panggilan Trisno. Ndowe = Orang yang bibirnya selalu terbuka dan jarang tertutup.)

“Loh, kok mereka berdua kelihatannya mesra.? Apa mereka pacaran.? Kemana si Guntur.?” Ucapku yang juga terkejut.

Sebenarnya aku malas melihat mereka dan aku tidak ingin mengetahui tentang Kinanti lagi. Tapi entah kenapa, malam ini aku justru penasaran setelah melihat kejadian ini.

“Combe (Guntur.) sudah gak pernah kelihatan lagi dikampus beberapa bulan ini. Kata teman – temanku, dia sering keibukota propinsi.” Jawab Joko (Combe panggilan Guntur. Combe = orang yang suka membicarakan orang lain.)

“Terus kuliahnya.?” Tanyaku.

“Gak tau. Mungkin dia gak kuat kuliah dikampus teknik kita.” Jawab Joko dan kami terus berjalan, sampai mendekat kearah Trisno dan Kinanti.

“Apasih kamu itu Tris.? Kenapa mau pegang – pegang tanganku dari tadi.?” Tanya Kinanti dengan wajah yang sangat tidak suka sekali.

Mereka berdua tidak melihat kearah kami, karena terhalang pohon yang ada dipinggir jalan. Mereka berdua duduk diteras café dan dekat dengan jalan yang kami lewati ini.

Langkah kakikupun langsung terhenti, tanpa aku perintah. Bajingan. Kok bisa seperti ini sih.?

“Gak usah melu – melu cok.?” (Gak usah ikut – ikut cok.) Bisik Joko kepadaku dan dia juga menghentikan langkahnya.

“Aku itu sebenarnya suka dan sayang sama kamu sejak lama.” Ucap Trisno kepada Kinanti.

Aku dan Joko langsung saling melihat, lalu kepala Joko menggeleng pelan kearahku.

“Kamu gila apa.? Aku kan pacarnya sahabatmu.” Ucap Kinanti yang langsung membuat kupingku panas.

Cok. kenapa kupingku panas mendengarnya ya.? Bajingaann.

“Siapa.? Guntur.? Dia gak akan balik kekota ini lagi dan dia sekarang lagi tergila – gila sama cewe di ibukota propinsi. Kamu itu sudah ditinggalkannya, walapun dia gak mengucapkan kata – kata putus. Playboy macam dia itu yang mau kamu harapkan.?” Ucap Trisno sambil mencoba memegang tangan Kinanti lagi.

“Iiihhh.” Ucap Kinanti yang sangat jengkel, sambil menepis tangan Trisno.

Entah dia jengkel dengan sikap Trisno yang kurang ajar, atau jengkel mendengar Guntur telah memiliki pujaan hati di ibukota propinsi.

“Ayolah Kinanti. Aku sayang kamu dan terima aku sebagai kekasihmu.” Ucap Trisno yang terdengar sangat memaksa, sambil terus mencoba memegang tangan Kinanti.

“Enggak. Dengar ya Tris, kalaupun Guntur sudah memiliki kekasih di ibukota propinsi, bukan berarti aku mau menjadi kekasihmu.” Ucap Kinanti dengan mata yang berkaca – kaca, sambil menepis tangan Trisno lagi.

“Kamu itu gak tau diri. Untung – untung aku mau sayang sama kamu, walaupun kamu bekas orang lain.” Ucap Trisno dengan jengkelnya dan masih mencoba memegang tangan Kinanti.

Kinanti langsung mendekapkan kedua tangannya didada, dan air matanya langsung tertumpah mendengar ucapan kasar Trisno tadi.

Aku yang mendengar mantan kekasihku dihina seperti itu, langsung mendekat kearah mereka.

“Ndowe. Tak tapok cangkemmu koen engko.” (Ndowe. Kutampar mulutmu nanti.) Ucap Joko dibelakangku dan mereka berdua langsung melihat kearah kami.

Aku menghentikan langkahku didekat meja mereka dan menatap kearah Trisno.

Kinanti pun langsung berdiri dan dia langsung memelukku dengan eratnya, disertai tangisnya yang meledak didadaku.

“Hiks, hiks, hiks.” Tangis Kinanti yang terdengar menyedihkan.

“Cok. Aku seng ngomong, malah bajingan iki seng dirangkul. Assuu.” (Cok. Aku yang ngomong, malah bajingan ini yang dipeluk. Anjingg.) Gerutu Joko yang sekarang berdiri disampingku.

“Hiks, hiks, hiks. Lang.” Ucap Kinanti disertai tangisnya, sambil mengeratkan pelukannya ditubuhku.

Kedua tanganku pun dengan refleknya membalas pelukan wanita yang pernah memberikan bunga cintanya kepadaku, tapi juga pernah menggoreskan luka terdalam dihatiku.

“Assuu.” Gerutu Joko lagi.

“Ooh, jadi kamu sudah main gila sama Gilang. Oke. Nanti aku kasih tau Guntur.” Ucap Trisno sambil berdiri dan dia terlihat emosi sekali.

Tap.

Joko langsung mencengkram bibir atas dan bibir bawah Trisno yang sulit tertutup itu, lalu menariknya kedepan dan mendorongnya kebelakang.

“Cangkemmu iki gak iso mingkem a.? Gak usah ndowe ae terus cok, boros ambeganmu iku. Iso cepet mati koen engko.” (Mulutmu ini gak bisa ditutupkah.? Gak usah mangap aja terus cok, boros nafasmu itu. Bisa cepat mati kamu nanti.) Ucap Joko sambil terus menarik dan memundurkan mulut Trisno, dan bodohnya Trisno sangat pasrah dengan perlakuan kurang ajar Joko itu.

Joko memang sudah sangat memendam dendam kepada Trisno, karena ucapan dan tingkah Trisno yang sering menghina kami berdua. Joko selalu ingin membantai Trisno, tapi aku terus mencegahnya. Kalau saja sekarang aku tidak ada, mungkin bibir Trisno akan tertutup karena bengkak dihajar oleh Joko.

“Wes ndang muleh kono.” (Sudah cepat pulang sana.) Ucap Joko sambil mendorong bibir Trisno kebelakang dan melepaskan cengkramannya dibibir Trisno.

“Cok. Awas koen yo, awas.” (Cok. awas kamu ya, awas.) Ancam Trisno seperti anak kecil, sambil menutup mulutnya yang kesakitan dan dia langsung meninggalkan kami dengan terburu – buru.

“Asssuu, masih bisa ngomong aja dia.” Ucap Joko sambil menggelengkan kepalanya.

“Hiks, hiks, hiks.” Kinanti terus menangis dipelukanku dan aku membelai punggungnya, untuk menenangkan dirinya.

“Asssuu. Kok malah dipenakno cok.?” (Anjingg. Kok malah dienakin cok.) Ucap Joko kepadaku.

Aku hanya menggelengkan kepalaku pelan, tanda aku tidak tega kepada Kinanti yang sedang bersedih ini.

“Westalah. Urusen disek arek iki. Terno muleh, ojo dijarno dewean bengi – bengi ngene.” (Sudahlah. Urus dulu anak ini. Antarkan dia pulang, jangan dibiarkan sendiri malam – malam begini.) Ucap Joko sambil merebut biola yang ada ditanganku, lalu dia membalikkan tubuhnya dan melangkah meninggalkan kami berdua, sambil menggendong gitar dipundaknya dan menenteng biola ditangannya.

Joko sebenarnya jengkel dengan Kinanti, karena wanita ini sudah menyakiti aku. Tapi aku tau, Joko pasti punya rasa kasihan. Karena bagaimanapun juga, Kinanti itu wanita dari desa kami. Dan secara tidak langsung, wanita ini menjadi tanggung jawab kami, walaupun dia pernah membuat kesalahan.

Jokopun pasti tidak mau mengantarkan pulang, karena dia pasti tidak bisa mengontrol ucapannya. Jadi dia memasrahkan ke aku, untuk mengantarkan Kinanti pulang kekosannya. Jiancok gak.?

Hiuffttt. Huuuu.

“Hiks, hiks.” Kinanti pun terus menangis dipelukanku.

“Sudah. Jangan nangis ya.” Ucapku sambil mengelus punggungnya.

“Maaf Lang, maafkan aku. Hiks, hiks, hiks.” Ucap Kinanti dan tangisnya tidak berhenti.

“Kalau kamu nangis terus, entar dikira orang yang lewat, aku berbuat macam – macam sama kamu loh.” Ucapku sekenanya saja.

“Iya. Hiks, hiks, hiks.” Ucap Kinanti dan tetap menangis.

Cok. Iya apa ini.? Iya dia setuju dengan pendapat orang yang lewat, kalau aku berbuat macam – macam sama dia.? Bajingan. Aku bisa dimasa sama orang banyak kalau begini caranya. Tengah malam, terus dituduh macam – macam. Iya kalau dimasa aja, kalau dipaksa menikah, apa gak jancok kalau gitu.?

“Jadi kamu gak mau diam nih.?” Tanyaku dan Kinanti langsung menghentikan tangisnya, sambil melepaskan pelukannya.

“Kok kamu sekarang jadi kasar sih Lang.? Kamu marah ya sama aku.? Hiks, hiks.” Ucap Kinanti dengan sisa isakan tangisnya.

Cok. Aku sekarang kasar.? Gak salah dengar nih.? Aku kan dari tadi ngomongnya pelan aja. Lagian kasar mana ucapanku sekarang, sama ucapannya ketika memutuskan aku dipasar waktu itu.? Jiancok.

“Kinanti. Aku tidak pernah diajari orang tuaku berkata kasar, kepada seorang wanita. Jadi kapan ucapan kasarku kepadamu, keluar dari mulutku.?” Ucapku sambil menatap kearah matanya.

“Jadi kamu nyindir aku bicara kasar, karena aku memutuskan hubungan kita dipasar waktu itu.?” Tanya Kinanti dan tangisnya sekarang sudah benar – benar berhenti.

Cok. Kok dia bisa berpikiran begitu ya.? Aku memang sempat memikirkan kejadian itu, tapi dari ucapanku barusan, tidak ada kata yang terucap bahkan niatan untuk menyindirnya sama sekali.

“Kok kamu mikirnya sampai kesana sih.? Sudahlah, aku antar kamu kekosanmu sekarang.” Ucapku yang ingin mengakhiri obrolan ini dan mengantarkan dia kekosannya, sekarang juga. Aku ingin segera terbebas dari masa lalu yang menyakitkan dan perlahan mulai menggores dihatiku lagi.

“Jadi kamu beneran marah dan gak mau ngobrol sama aku lagi.?” Tanya Kinanti dengan mata yang sayu dan wajah yang sangat sedih sekali.

Cok, jiancok. Kok nggatheli gini sih.? Bajingann.

“Enggak, aku gak ada pemikiran seperti itu sama kamu. Aku gak marah sama kamu kok.” Ucapku dengan sangat lembutnya, supaya dia mau segera kuantar pulang.

“Beneran kamu gak marah sama aku.?” Tanya Kinanti, yang jujur saja ucapannya ini membuat gatal mulutku, tenggorokanku, lambungku, usus halus, usus besar, terus sekarang mulai terasa dilobang duburku. Assuuu.

“Iya, aku gak marah kok.” Ucapku dengan kata – kata yang paling lembut, karena dia ini type wanita yang paling suka dimanja dan dibelai. Kalau aku lembut seperti ini, biasanya dia pasti akan luluh dan mau menuruti semua kemauanku.

“Oke, aku mau kok kamu antar kekosanku.” Ucap Kinanti, dengan senyum yang perlahan mulai mengambang dibibir manisnya.

Ooooo, jiancok. Iso ndrenges arekke. (Bisa tersenyum dianya.)

Bajingan. Kenapa aku bisa takluk dihadapan wanita satu ini, padahal sudah jelas dia sangat – sangat menyakiti hatiku. Kenapa kebencian didalam diriku, bisa tertutup hanya dengan sebuah kata kasihan.? Apa benar – benar kasihan dengannya.? Gak ada terselip rasa cinta lama yang bersemi kembali, walau hanya kuncupnya saja gitu.? Assuuu.

Hiuufftt, huuuu.

Aku menarik nafasku dalam – dalam, lalu mengeluarkannya perlahan.

Kinanti lalu melangkah kearahku lagi, setelah itu mendekatkan wajahnya ke wajahku, dan memiringkan kepalanya sedikit.

Cok, apa dia mau mencium aku.? Arrgghhh. Jangan, jangan sampai dia menciumku. Bisa gila beneran aku.

“Aku bayar pesananku dulu ya. Trisno tadi langsung pergi aja dan gak bayar pesanan kami.” Bisik Kinanti, lalu dia menggeser tubuhnya dan berjalan melewati aku.

Bajingan. Mau ngomong seperti itu saja, kenapa harus mendekatkan wajahnya dan berbisik kepadaku.? Gathel, gathel.

“Biar aku yang bayar.” Ucapku sambil membalikkan tubuhku dan melihat Kinanti yang juga membalikan tubuhnya kearahku.

Aku berjalan dengan santainya dan melewati Kinanti tanpa melirik kearah wajahnya.

“Berapa yang harus saya bayar di meja no 87 itu Mas.?” Tanyaku ketika aku sampai dimeja kasir.

“Empat puluh lima ribu Mas.” Ucap Si kasir dan aku langsung terkejut mendengarnya.

Jiancok. Makan apa Trisno dan Kinanti ini.? Kok bisa sebanyak itu sih habisnya.? Makan nasi sama piringnya.? Minum air sama gelasnya.? Sendok, garpu, taplak meja, kursi sama mejanya sekalian dimakan juga gitu.? Bajingan.

Bukannya aku gak ikhlas cok, bukan. Empat puluh lima ribu itu, bisa aku buat beli bahan makanan dalam sebulan bersama Joko. Masa ini sekejap saja harus kehilangan uang segitu sih.?

Sudah Lang, sudah. Cukup sudah mengeluhnya. Kalau memang niat membantu, kenapa harus menggerutu.? Lebih baik tadi diam dan tidak bersuara, dari pada hasil akhirnya dosa.

Kok sekarang kamu jadi seperti ini sih.? Biasanya kamu gak pernah ngeluh seperti ini, bila bersama seseorang. Dimana kesabaran dan keikhlasan yang ada didalam dirimu.? Apa tertutup dengan kebencian dan sakit karena cinta.? Kok makin lama jadi makin bodoh sih kamu itu.? Lang, Gilang.

Hiuuffttt, huuuu.

Kembali aku menarik nafasku dalam – dalam, lalu aku merogoh kantongku, untuk mengambil uang dan membayar kekasir.

Tap, tap, tap, tap.

Aku merogoh kedua kantong depan celana levisku, sampai kantong kecil dibagian kanan atas celana ini, lalu merogoh kedua kantong dibelakangku. Dan hasilnya, tidak ada uang sepeserpun yang ada dikantongku.

Bajingan. Uang hasil mengamen dan beberapa lembar uang yang dibawa dari kosan, kan dibawa Joko semua tadi. Kok bisa lupa begini aku.? Jiancok.

“Nih Mas.” Ucap Kinanti sambil menyodorkan selembar uang berwarna biru tua, kepada si kasir.

Cok, malu sekali aku cok.

“Santai aja.” Bisik Kinanti kepadaku, sambil mengambil kembalian dari si kasir.

“Uangku dibawa Joko semua.” Ucapku membela diri.

“Aku percaya.” Ucap Kinanti dengan santainya, lalu dia membalikan tubuhnya dan berjalan kearah pintu keluar. Asuuu, asuu.

Mulutku langsung terasa pahit, karena aku ingin merokok. Dan ketika aku merogoh kantongku lagi, ternyata rokokku tadi sudah habis dan rokok yang baru dibeli tadi, dibawa Joko pulang. Bajingan. Lengkap sudah penderitaanku malam ini. Jiancok.

Oke Lang, oke. Tenangkan dirimu sesaat dan kembalilah menjadi sebagai Gilang yang seperti biasa. Gak perlu grogi dihadapan Kinanti, karena kamu tidak pernah melakukan kesalahan kepadanya. Harusnya justru dia yang merasa seperti ini.

Aku pun melangkah kearah Kinanti yang sudah berjalan sampai dipintu keluar. Aku menyusulnya, sampai aku berjalan disebelahnya.

Kami berdua berjalan pelan, tanpa diringi obrolan dari diri masing – masing. Entah apa yang ada didalam pikirannya, aku tidak perduli. Yang jelas aku ingin segera sampai dikosannya, setelah itu pulang tanpa beban.

“Dimana kosanmu.?” Tanyaku membuka obrolan.

“Disana dan gak jauh dari sini.” Ucap Kinanti sambil menujuk kearah depan jalanan, yang sangat sepi sekali.

Kami berdua lalu diam lagi, dengan diiringi hembusan angin malam yang dingin dikota pendidikan ini. Dress yang dikenakan Kinanti dan panjangnya sedikit dibawah lutut, melambai mesra terkena hembusan angin malam.

Cukup jauh kami berjalan dan belum juga sampai dikosan Kinanti. Jalanan sangat sepi dan tidak ada kendaraan satupun yang lewat dari tadi.

“Terimakasih karena kamu datang disaat yang tepat Lang.” Ucap Kinanti, tanpa melirik kearahku.

“Gak perlu kamu ucapkan kata – kata itu, karena kita satu desa dan kamu temanku.” Jawabku dan sekarang aku sudah sangat santai sekali.

Terdengar Kinanti menghela nafas panjangnya.

“Huuu. Gila ya. Aku yang sudah menyakiti kamu, masih juga kau anggap teman.” Ucap Kinanti dengan suara yang bergetar.

“Gak ada yang gila disini. Aku sudah memaafkan kamu dan aku sudah menganggap kamu sebagai teman, semenjak kejadian dipasar hari itu.” Ucapku.

“Hehe. Ternyata aku bukan hanya bodoh, tapi aku juga gak tau diri ya Lang. Aku meninggalkan laki – laki sebaik kamu, demi bersama laki – laki yang tidak bertanggung jawab seperti Guntur.” Ucap Kinanti dan aku hanya meliriknya sebentar, lalu melihat kearah depan lagi.

“Aku mengatakan ini bukan untuk mengemis cintamu agar kembali kepadaku. Bukan itu tujuanku. Aku hanya ingin melepaskan sedikit beban yang ada dipikiranku. Itu saja.” Ucap Kinanti lalu dia menunduk sejenak, setelah itu melihat kearah depan lagi.

“Kadang penyesalan memang diperlukan, ketika kita salah melangkah dalam memilih jalan hidup. Tapi bukan berarti itu akhir dari segalanya. Pelajaran hidup sangat dibutuhkan, untuk menjadikan kita lebih baik dan lebih berhati – hati dalam menentukan langkah selanjutnya.” Ucapku dan Kinanti langsung melihat kearahku, tapi aku tetap melihat kearah depan.

“Aku bukan menasehatimu, karena aku juga sering melakukan kesalahan dalam perjalanan hidupku ini.” Ucapku lagi.

“Salah satunya ketika memilih aku untuk kau jadikan kekasih, tapi akhirnya aku mengecewakan kamu ya.?” Tanya Kinanti sambil memalingkan wajahnya kearah depan lagi.

“Bagiku itu bukan kesalahan, karena cinta tak pernah salah ketika hadir didalam diri. Kalau saja aku bercanda dengan cintaku padamu ketika itu, itu baru namanya kesalahan.” Ucapku sambil melihat kearahnya sebentar, lalu melihat kearah depan lagi.

“Berarti aku yang salah, karena telah mempermainkan cintamu yang tulus.?” Tanya Kinanti.

“Aku gak bisa menjawab masalah itu, karena aku tidak mengetahui isi hatimu yang terdalam.” Jawabku.

“Beneran kamu tidak mengetahui atau merasakan isi hatiku yang terdalam.?” Tanya Kinanti sambil menghentikan langkahnya dan aku juga menghentikan langkahku.

Kami berdua lalu berdiri dengan posisi saling berhadapan.

“Antara cinta dan iba itu, bedanya tipis banget Kinanti. Asmara tak sebercanda itu. Katakan sayang, bila sayang. Katakan tidak, bila tidak. Karena kita tidak bisa menyelami isi hati seseorang, walaupun itu kekasih hatinya sendiri.” Ucapku dan kedua mata Kinanti langsung berkaca – kaca.

Tiba – tiba Kinanti langsung mengenggam telapak tangan kiriku dengan telapak tangan kanannya, lalu menarikku kesebuah bangunan yang tidak jauh dari tempat kami berdiri ini.

“Hey, hey. Mau kemana kita.?” Tanyaku, tapi Kinanti tidak menjawab pertanyaanku dan aku hanya melihat deraian air matanya yang mengalir.

“Kinanti.” Panggilku dan dia langsung berhenti, ketika kami sudah didepan pagar bangunan itu.

“Diam atau kamu akan mendengar jerit tangisku disini. Hiks, hiks.” Ucap Kinanti dengan tangis yang mengiringinya.

Aku pun langsung terdiam dan hanya mengikuti tarikan tangan Kinanti, yang mengarah kedalam bangunan itu. Bangunan ini seperti sebuah kosan yang sangat rapi dan sepertinya ini kosan wanita. Kelihatannya ini kosannya Kinanti.

Karena posisinya hari sudah tengah malam, kosan ini tampak sepi dan Kinanti membawa kunci pintu depan kosan. Dia lalu melepaskan pegangan tanganku sebentar dan membuka pintu kosan itu, setelah itu menarikku masuk dan menguncinya lagi. Dan didalam sana, tampak sepasang kekasih sedang masuk kedalam sebuah kamar dan cuek saja melihat kedatangan kami.

Cok. Kosan Kinanti bebas seperti ini.? Luar biasa.

Kinanti lalu berhenti di depan sebuah kamar, lalu dia membukanya dan menarikku masuk tanpa berbicara sedikitpun.

Dan setelah dia mengunci pintu kamarnya, Kinanti lalu mendekat kearahku dan.

CUPPP.

Kinanti memiringkan sedikit wajahnya, lalu langsung mengecup bibirku dengan kedua tangannya merangkul dibelakang leherku. Bibirnya hanya ditempelkan tanpa ada herakan selanjutnya.

Aku yang terkejut dengan sikap Kinanti yang tiba – tiba mengecupku ini, hanya mampu terdiam dan membiarkannya melakukan ini.

CUPPP, CUPPP, CUPPP, MUACHHH.

Perlahan aku merasakan getaran yang sangat luar biasa, ketika Kinanti mulai mengulum bibir bawahku dengan sangat lembutnya. Getaran ini terasa seperti ketika kami pertama kali saling berciuman, pada saat baru jadian waktu itu.

Getaran ini mengingatkan aku, waktu dimabuk asmara dengannya dan dia baru pertama kali berciuman seumur hidupnya.

Getaran ini membuat pikiranku melayang dan hatiku yang tergores oleh sakitnya perlakuan Kinanti waktu itu, reda dan aku seperti merasakan cinta yang tulus diciumannya ini.

CUPPP, CUPPP, CUPPP, MUACHHH.

Kedua tanganku pun perlahan mulai naik dan merangkul tubuh Kinanti, agar merapat ketubuhku. Aku semakin melayang dan bibirku berlahan mulai membalas kuluman bibir Kinanti dengan sangat lembutnya.

CUPPP, CUPPP, CUPPP, MUACHHH.

Aku melumat bibir atas Kinanti dan Kinanti melumat bibir bawahku. Kepala kami saling bergantian memiring kekanan dan kekiri, tanpa melepaskan ciuman yang semakin memanas ini.

CUPPP, CUPPP, CUPPP, MUACHHH.

Pikiranku semakin melayang dan aku merasakan cinta Kinanti dikuluman ini. Tapi walaupun getaran ini membuatku melayang dan mengingatkan aku dengan ciuman pertama kali kami waktu itu, aku seperti merasa sedikit hambar dan ada ganjalan dihatiku, tapi entah apa itu.

CUPPP, CUPPP, CUPPP, MUACHHH.

Lidahku mulai masuk kedalam mulut Kinanti dan Kinanti menyambutnya, dengan mengulumnya perlahan.

“Hemmm, hemmm, hemmm.” Desah kami berdua dikuluman yang nikmat ini.

Air liur kami saling tertukar dan ciuman kami semakin membuat suasana diselimuti hawa nafsu.

“Hemmm, hemmm, hemmm.” Desah kami lagi dan sekarang giliran lidah Kinanti yang masuk kedalam mulutku dan aku menyambutnya dengan isapan yang lembut.

Kinanti memundurkan sedikit tubuhnya, lalu kedua tangannya pindah dipinggangku dan kedua telapak tangannya langsung menyusup di balik kaosku.

CUPPP, MUACHHH.

Aku yang terkejut telapak tangan Kinanti ada dikulit pinggangku, langsung melepaskan ciumanku.

“Cukup Kinanti, cukup. Kita sudah terlalu jauh melakukan ini, padahal kita bukan sepasang kekasih lagi.” Ucapku sambil menatap matanya.

Kinanti hanya tersenyum sinis, lalu dia mendekat lagi kearahku.

“Kinanti.” Ucapku sambil memundurkan tubuhku.

“Kenapa.? Kamu menganggapku sebagai wanita murahan, karena mengajakmu masuk kedalam kamar kosanku, terus aku menciummu seperti barusan.?” Tanya Kinanti.

“Kenapa kamu berpikiran seperti itu sih.?” Tanyaku dengan jengkelnya.

“Lang. Aku melakukan ini, karena aku ingin membuktikan ucapanmu tadi. ‘Karena kita tidak bisa menyelami isi hati seseorang, walaupun itu kekasih hatinya sendiri.’” Ucap Kinanti dengan suara yang bergetar, mengulangi perkataanku diluar kosannya tadi.

“Apa kamu tidak merasakan sesuatu ketika berciuman tadi.? Terus apa yang aku lakukan barusan tadi, karena rasa iba atau rasa cinta.?” Tanya Kinanti dan aku terdiam mendengar pertanyaannya.

“Lang. Didunia ini yang pernah menikmati setiap jengkal tubuhku, hanya kamu. Aku melakukan pertama kali denganmu dan sampai detik ini, aku tidak pernah melakukannya dengan laki – laki manapun, termasuk Guntur.”

“Jangankan berhubungan badan, Guntur mengajakku berciuman saja aku tidak mau.”

“Terserah kamu percaya atau tidak, tapi itu salah satu alasan dia meninggalkan aku dan mencari kepuasan bersama wanita lain.” Ucap Kinanti dengan suara yang bergetar dan mata yang berkaca – kaca.

“Aku tidak mencintainya Lang, aku tidak mencintainya. Aku terpaksa menerimanya sebagai kekasih, karena ini permintaan dari kedua orang tuaku. Kami berdua dijodohkan dan setelah selesai kuliah, kami akan segera dinikahkan.” Ucap Kinanti lagi dan aku hanya diam mendengarkannya.

Jujur aku terkejut mendengar semua ini dan jujur sebenarnya aku bingung, antara percaya atau tidak percaya.

Kami tinggal disebuah desa yang diisi orang – orang yang gampang membicarakan satu dengan yang lain. Kabar baik maupun kabar buruk, pasti akan cepat menyebar diseluruh desa. Apalagi kalau berita tentang perjodohan seperti ini, pasti akan jadi sarapan hangat para penduduk desa. Tapi ini tidak ada terdengar sama sekali, bingung kan.? Assuuu.

“Aku menyetujui perjodohan ini dengan tiga syarat Lang. Yang pertama, perjodohan kami harus dirahasiakan bagaimanapun caranya. Yang kedua, aku mau kuliah dulu baru setelah itu menikah. Dan syarat terakhir, aku sendiri yang akan memutuskan hubungan denganmu tanpa campur tangan orang lain.” Ucap Kinanti dan aku langsung memejamkan kedua mataku sesaat.

Cok, terus maksudnya apa ini.? Dia terpaksa memutuskan aku dan menerima lamaran dari keluarga Guntur, dengan tiga persyaratan yang disebutkan tadi.? Apa Kinanti masih mencintai aku.? Terus kalau dia masih cinta kenapa.? Aku mau mengajaknya kembali gitu.? Ya enggak mungkin lah.

Hatiku sudah terlanjur sakit dengan perlakuan Kinanti, walaupun akhirnya aku baru tau sekarang, kalau dia terpaksa memutuskan aku.

Satu yang jadi pertanyaanku. Kenapa dia tidak menjelaskan alasannya kepadaku waktu dipasar.? Kenapa dia hanya mengucapkan “kita putus.” setelah itu pergi begitu saja, meninggalkan hatiku yang menjerit dan kesakitan yang teramat sangat.? Kenapa.?

Dihatiku saat ini hanya ada Intan dan tidak akan tergantikan oleh siapapun. Intan yang menyembuhkan hatiku, dari luka hati yang beruntun aku terima dalam waktu yang dekat. Luka hati itu dari Kinanti dan juga dari Gendhis.

Terserah anggapan orang, ketika mereka semua tau kalau aku mencintai mahluk yang berbeda alam. Walaupun sampai seisi semesta ini juga tau, Aku tidak perduli. Ini cintaku dan hanya aku yang bisa merasakannya.

“Aku gak tau harus mengucapkan apa, setelah mendengarkan semua ceritamu kali ini. Mungkin hanya sedikit saran saja dari aku, itupun kalau kamu mau mendengarkannya.” Ucapku dan Kinanti langsung melirikku.

“Jalanilah apa yang telah kamu pilih, walaupun hasil akhirnya sangat pahit sekali. Pilihan tetaplah pilihan dan tidak mungkin waktu akan mengulangnya kembali, apalagi dengan pilihan yang sama.”

“Maaf, walaupun aku sempat larut dengan caramu untuk membuktikan perkataanku diluar tadi, aku tidak bisa memberikan rasa yang sama seperti dulu lagi. Aku tidak bisa.” Ucapku dan kedua mata Kinanti kembali berkaca – kaca.

“Terimakasih karena kamu sudah berusaha untuk mengingatkan aku akan hal itu dan mohon maaf sekali lagi.” Ucapku dengan suara yang bergetar, lalu aku berjalan ke arah pintu kamar Kinanti.

Cok. Bukannya aku tega dan bukannya aku tidak mempunyai perasaan, apalagi sengaja membalas sakit hatiku kepada Kinanti. Tidak ada terlintas sedikitpun pikiran itu dikepalaku.

Aku pernah melakukan kesalahan, karena aku telah merenggut kehormatan Kinanti waktu itu. Aku sudah berusaha untuk bertanggung jawab dan aku ingin menikahinya, tapi Kinanti tidak mau. Aku sangat – sangat menyesal dan aku sangat – sangat sakit, ketika Kinanti malah memutuskan aku. Walaupun sekarang Kinanti baru bercerita tentang alasannya memutuskan aku, tapi sudah ada hati lain yang menyembuhkan lukaku. Hati yang sangat tulus dan itu adalah Intan.

Terdengar kejam dan tidak bertanggung jawab ya.? Terus aku harus bagaimana.? Kembali kepada Kinanti bukan karena rasa cinta, tapi karena rasa bersalah dengannya. Begitu.? Terus kami menjalani sisa kehidupan, tanpa ada rasa cinta dan sayang.?

Enggaklah cok, gak bisa begitu. Bukan hanya aku yang akan tersiksa, tapi juga Kinanti yang akan tersakiti, karena aku harus berpura – pura bahagia dengan bersamanya.

Kadang ketegasan itu menyakitkan, tapi bisa merubah kehidupan kita dikemudian hari. Aku yakin Kinanti pasti akan menemukan kebahagiaan dengan pria yang mencintainya sepenuh hati, dari pada harus denganku yang pasti akan menyakitinya seumur hidupnya.

Hiuuftt, huuuu.

“Lang. Aku tadi sudah mengatakan, kalau aku tidak akan memintamu untuk kembali dikehidupanku. Aku sudah mempunyai firasat dari sorot matamu, karena terlihat ada cinta lain yang begitu besar disana. Dan aku semakin yakin, ketika ciumanmu tidak sehangat dulu.” Ucap Kinanti, ketika aku memegang gagang pintu kamar kosannya.

Aku tidak membalikkan tubuhku untuk melihat kearahnya, karena aku tidak ingin lebih menyakitinya lagi. Aku hanya melirik dari kaca yang ada disebelahku dan terlihat dia berbicara sambil memunggungi aku.

“Maaf kalau tadi aku sempat menciummu dengan cinta yang ada dihatiku.”

“Terimakasih karena kamu telah sempat menitipkan cintamu dihatiku dan maaf sekali lagi, kalau aku telah mengecewakanmu. Semoga kamu bahagia bersama cintamu dan semoga aku menemukan kebahagianku, walaupun itu sangat sulit.” Ucap Kinanti menutup kata – katanya, yang membuat kepalaku terasa mau pecah.

Cookkk, djancokk, djancokk, djancokk. Djancok, djancokk, djancokk.

Cookkk, djancokk, djancokk, djancokk. Djancok, djancokk, djancokk.



#Cuukkk. Cuman satu kata saja yang mau aku ucapkan saat ini. DJIANCOK.!!!
 
Selamat Malam Om dan Tante.
Updet malam yang tipis - tipis ya.

Semoga bisa menemani liburan akhir pekan dan semoga masih bisa menikmati.
Mohon maaf saya tidak bisa menjawab satu persatu pertanyaan dikolom komentar,
Tapi saya akan mencoba membalasnya lewat updetan cerita selanjutnya.
Kalau tidak terjawab diupdetan selanjutnya, berarti diupdetan selanjutnya lagi.
Kalau masih belum terjawab, ya berarti menunggu tamat dulu baru terjawab.
Kalau masih belum terjawab ketika tamat, ya mohon maaf kalau tidak terpuaskan.
:Peace::Peace::Peace:

Mohon saran dan masukan
:ampun::ampun::ampun:
Salam Hormat dan Salam Persaudaraan.
:beer::beer::beer:
 
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd