Agen Terpercaya  
 
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

CERBUNG - TAMAT I M P I A N 2



BAGIAN 26
NGGATHELI.!!!


“Terus maumu bagaimana sekarang.?” Tanyaku sambil melepaskan pegangan tanganku digagang pintu kosan Kinanti, lalu aku membalikan tubuhku dan melihat kearahnya.

Kinanti juga membalikan tubuhnya dan melihat kearahku, dengan tatapan sayu dan juga menyedihkan.

“Apa.? Apa maumu.?” Tanyaku dengan suara yang bergetar.

“Gak ada. Aku hanya mengeluarkan semua yang ada didalam hatiku, agar aku tidak menyesal dikemudian hari.” Jawab Kinanti dengan mata yang berkaca – kaca.

“Gak menyesal dikemudian hari.? Gak salah dengar nih aku.? Harusnya kamu berpikir dulu, sebelum kamu mengeluarkan semuanya saat ini. Kenapa baru sekarang kamu keluarkan dan kenapa tidak pada saat kamu memutuskan hubungan kita.? Kenapa.?”

“Kamu sudah menyakiti aku dan sekarang aku sudah mulai bangkit dari rasa kesakitan itu Kinanti. Aku sudah bangkit. Tapi malam ini kamu malah mengorek luka lama itu, lalu kamu tambah dengan luka yang baru. Perih Kinanti, perih banget.” Jawabku yang terbawa emosi.

“Bukan kamu aja yang sakit selama ini Lang, Aku juga sakit bahkan lebih perih dari pada apa yang kamu bayangkan. Aku memendamnya seorang diri dan tidak ada teman untuk berbagi. Aku sendiri Lang, sendiri.” Ucap Kinanti dan nadanya mulai meninggi.

“Kamu sendiri yang menyebabkan semua ini Kinanti. Kalau kamu mau jujur dan mau terbuka sejak awal, kita pasti bisa menghadapi bersama.” Sahutku.

“Gak semudah itu Lang. Gak semudah itu.” Ucap Kinanti.

“Mudah saja dan kamu yang mempersulit.” Ucapku dan air mata Kinanti mentes membasahi kedua pipinya.

“Kamu tau Lang. Banyak sekali pertimbangan yang aku pikirkan, termasuk keluarga besarmu. Aku tidak mau kalau sampai keluarga besarku datang kerumahmu dan melabrak keluarga besarmu, supaya memaksa kamu untuk memutuskan hubungan kita. Kamu pahamkan.?” Ucap Kinanti dan aku langsung terdiam mendengar jawabannya ini.

Aku tidak sanggup melanjutkan kata – kataku lagi, karena dia memikirkan jauh dari apa yang aku bayangkan.

Bajingan. Kalau saja keluarganya datang kerumahku dan melabrak keluargaku, aku pasti tidak akan tinggal diam. Dan itu berarti, masalah akan membesar dan melibatkan banyak orang.

Gila. Aku gak menyangka kalau Kinanti telah melakukan hal yang sangat luar biasa. Dia mengorbankan cintanya dan rela menyakiti dirinya sendiri, demi kebaikan semua. Tidak ada tempat untuk berbagi dan akhirnya baru kali ini dia bisa meluapkan semua. Tapi apa jawaban yang didapatkan dari aku.? Sindiran dan kemarahan yang pasti menambah luka dihatinya.

Tiba – tiba tubuhku melemas dan aku langsung tertunduk dihadapan wanita yang sangat mencintai aku, dengan sebenar – benarnya cinta ini. Aku malu menatap wajahnya dan aku berdosa sekali menuduhnya macam – macam. Dia tidak seburuk apa yang aku bayangkan dan justru dia banyak berkorban untukku. Dia dengan cintanya yang masih sangat besar untukku sampai detik ini, dan aku dengan cintaku yang sudah diisi oleh hati yang lain. Djiancok.

“Cinta itu gak selamanya berakhir dengan menyatunya dua insan. Ada kalanya dia harus berpisah dipersimpangan jalan, bukan karena berbeda tujuan, tapi terpaksa mengambil arah berlainan.” Ucap Kinanti dengan deraian air mata dan suara yang bergetar.

“Ada hati yang harus dijaga, walaupun harus mengorbankan segalanya.”

“Jangan memaksakan kebahagiaan, tapi banyak air mata yang berjatuhan.”

“Cukup kita berdua yang merasakan kesedihan, tidak perlu banyak orang dilibatkan.”

“Sakit sih, tapi yakin aja ada kebahagiaan yang sudah menanti diujung jalan yang kita pilih.” Ucap Kinanti mengakhiri kata – katanya, yang langsung membuat air mataku jatuh membasahi kedua pipiku.

Kinanti langsung mendekat kearahku dan dengan kedua tangannya yang lembut, dia menghapus air mataku yang tertumpah.

Mata kami saling bertapapan dan entah siapa yang memulai, tiba – tiba wajah kami saling mendekat, dan.

CUPPP, CUPPP, CUPPP, MUACHHH.

Bibir kami saling melumat, dengan bagian samping hidung yang saling menggesek dan basah oleh air mata. Air mata kami saling tertumpah ditengah ciuman yang terasa sangat menyakitkan ini.

CUPPP, CUPPP, CUPPP, MUACHHH.

Wajah kami berdua saling bergantian miring kekanan dan kekiri, dengan lumatan yang semakin menjadi. Kedua tangannya melingkar dileherku dan kedua tanganku mendekap tubuhnya dengan erat.

CUPPP, CUPPP, CUPPP, MUACHHH.

“Hem, hem, hem.” Desah kami ditengah lumatan ini.

Air liur saling tertukar dan menyatu dengan air mata yang dengan bangsatnya, sudah turun dan ikut bermesraan dilumatan bibir kami ini.

Air mata ini terasa seperti garam yang ditabur diatas luka hati kami, bajingaan.

“Hem, hem, hem.” Entah ini desahan atau pelarian dari isakan tangis agar tersamarkan.

CUPPP, CUPPP, CUPPP, MUACHHH.

Ciuman kami semakin menggila dan Kinanti mendorong tubuhnya kedepan, sampai aku tersandar dipintu kamarnya.

CUPPP, MUACHHH.

Kinanti melepaskan ciumannya dan tetap merangkul leherku.

“Akhirnya aku bisa merasakan ciumanmu dari dalam hatimu Lang.” Ucap Kinanti lalu dia tersenyum, ditengah linangan air matanya.

“Kinanti. Aku minta.” Ucapku terpotong, karena Kinanti langsung mengecup bibirku dengan lembut.

CUUPPP.

“Cukup. Kita tidak usah mengeluarkan kata – kata lagi, daripada air mata ini mengalir tak henti.” Ucap Kinanti dengan tatapannya yang sangat dalam sekali.

CUUPPP.

Aku langsung mengecup bibirnya dan Kinanti menyambutnya dengan kuluman, yang entah bagaimana rasanya.

“Hem, hem, hem.” Kami mendesah lagi, disela kuluman ini.

Nikmat, sakit, sedih, senang, bahagia, terluka, cinta, amarah dan entah apa lagi namanya, semua menyatu didalam bibir kami yang saling menghisap.

CUPPP, CUPPP, CUPPP, MUACHHH.

Tangan Kinanti yang merangkul leherku, lalu turun dan memegang kancing celana levisku. Aku tidak melarang ataupun menahan kedua tangan Kinanti itu, tapi kedua tanganku justru meraba paha samping Kinanti yang masih tertutup dressnya itu.

Pada saat Kinanti membuka kancing celanaku dan menurunkan resletingku, aku memejamkan kedua mataku sejenak, lalu aku menarik dresnya keatas sampai aku menyentuh ujung celana dalamnya dibagian pinggang.

CUPPP, MUACHHH.

Ciuman kami terlepas dan kami saling memandang lagi, dengan linangan air mata yang tak henti. Aku menurunkan celana dalam Kinanti perlahan dan dia menurunkan pelan resletingku. Kinanti lalu menurunkan celana levisku dan cdku bersamaan, sampai sebatas pahaku dan kemaluanku terlihat dengan jelasnya.

Entah iblis apa yang ada dipikiran kami berdua, tapi nafsu kami bisa bangkit ditengah kesedihan yang sangat luar biasa ini.

Aku yang telah menurunkan CD Kinanti sampai sebatas pahanya, melanjutkan dengan menyentuh belahan kemaluannya.

“Ahhhh.” Desah Kinanti sambil memejamkan kedua matanya dan dia langsung memegang kemaluanku yang perlahan mulai berdiri ini.

“Ahhhh.” Aku juga mendesah sambil memejamkan kedua mata, ketika tangan lembutnya memegang batang kemaluanku.

Tangan kami sama – sama diam dan tidak melakukan gerakan sama sekali.

“Ehhhmmmm.” Desah Kinanti dan aku merasakan kedutan dibelahan kemaluannya.

“Ahhhhhhhh.” Desahku di iringi kemaluanku yang semakin membesar, digenggaman jemarinya yang lentik.

Djiancok. Apa yang sedang kami lakukan ini dan apa yang akan selanjutnya terjadi.? Apa kami akan melanjutkannya dengan berhubungan badan.? Apa kami bisa melakukannya dengan kondisi yang seperti ini.? Kenapa bisa nafsu datang pada saat kondisi yang sangat mengenaskan seperti ini.? Bajingann.

Perlahan aku membuka kedua mataku dan Kinanti juga membuka kedua matanya. Lagi dan lagi tidak ada kata yang terucap, hanya tangan kami yang mulai bergerak dengan bimbingan tatapan mata ini. Kinanti mulai mengocok kemaluanku dan jari tengahku mulai menggesek bagian tengah kemaluannya.

“Huuuuu.” Desahku pelan, karena kocokan tangan Kinanti yang begitu nikmatnya.

“Hemmmm.” Desah Kinanti, lalu dia menggigit bibir bawahnya.

Gila, ini gila banget cok. Kami bisa menikmati ini, ditengah situasi yang seperti ini. Walaupun air mata menetes dan hati tergores, kami sama – sama tidak menghentikan hal gila ini. Kami justru terus melakukan dengan mata yang terus saling menatap.

Kemaluanku semakin tegak berdiri dan kemaluan Kinanti mulai terasa sangat basah. Aku tidak berani terlalu memasukan jari tengahku kedalam, karena ini terasa sangat sempit sekali. Tapi walaupun seperti itu, jariku sekarang sudah sangat basah karena cairan yang keluar dari kemaluan Kinanti.

Clok, clok, clok, clok. Bunyi kemaluanku yang dikocok Kinanti.

Clok, clok, clok, clok. Bunyi kemaluan Kinanti yang aku gesek dan sangat basah sekali.

“Hemmmm.” Desah Kinanti, sambil memejamkan kedua matanya dan merapatkan kedua pahanya.

“Uhhhhhh.” Aku juga mendesah, sambil memundurkan pinggulku sedikit kebelakang, tapi terhalang pintu kamar Kinanti.

Clok, clok, clok, clok. clok, clok, clok, clok.

Clok, clok, clok, clok. clok, clok, clok, clok.

Bunyi dari arah kemaluan kami berdua dan kami tetap memejamkan kedua mata kami.

Clok, clok, clok, clok. clok, clok, clok, clok.

Clok, clok, clok, clok. clok, clok, clok, clok.

“Hemmmmm.” Desah panjang Kinanti dan.

Sreetttttt.

Cairan kental keluar dari kemaluannya dan aku langsung menghentikan gerakanku.

“Ahhhhhhh.” Desahku yang panjang, karena Kinanti meremas kemaluanku dengan kuatnya.

“Uhhhhhhh.” Tubuh Kinanti bergetar lalu dia merebahkan wajah sampingnya didadaku, sambil terus menggenggam kemaluanku.

“Hu, hu, hu, hu, hu, hu.” Nafasnya cepat dan memburu.

Dag, dug, dag, dug, dag, dug, dag, dug.

Bunyi detakan jantungku yang pasti terdengar ditelinga Kinanti, yang menempel didadaku.

“Uhhh, huuuu.” Kinanti berusaha mengontrol nafasnya.

Beberapa saat kemudian, Kinanti menegakkan tubuhnya lagi sambil melepaskan pegangannya dikemaluanku.

Kinanti menatap mataku lagi dan sekarang air matanya sudah tidak terlihat lagi, sama seperti aku. Aku lalu menarik tanganku dari kemaluannya dan Kinanti langsung membalikan tubuhnya, lalu menyandarkan punggungnya didadaku.

Kedua tanganku melingkar diperutnya dan Kinanti menyandarkan kepalanya didada bagian kiriku.

CUUPPP.

Aku mengecup leher putihnya yang berada di bawah daguku.

“Uhhh.” Desah Kinanti.

Aku meraba perut Kinanti, lalu rabaanku turun kearah selangkangannya. Dia lalu menoleh kearahku dan aku langsung menyambar bibirnya. Kedua tangan Kinanti diangkat keatas, lalu diarahkan kebelakang dan memegang kepala belakangku.

CUPPP, CUPPP, CUPPP, MUACHHH.

Bibir kami saling melumat lagi dan tanganku terus meraba bagian bawah perut Kinanti. Aku merabanya pelan sambil menarik keatas kain dress itu, sampai ujung bawahnya aku pegang. Aku mengangkat dress itu sampai melewati kemaluan Kinanti, lalu aku menahannya dengan tangan kiri, sedangkan tangan kananku menyentuh kemaluannya lagi..

“Hemmm.” Desah Kinanti sambil menggerakkan pinggulnya kekanan dan kekiri, sehingga kemaluanku yang berada dibelahan bokongnya pun, terasa sangat nikmat sekali.

Kemaluanku yang berdiri tegak ini, masih terhalang dressnya masih menutup bagian bokongnya.

CUPPP, CUPPP, CUPPP, MUACHHH.

Aku menghisap bibir bawahnya dan Kinanti menghisap bibir atasku. Tangan kananku terus meraba bagian tengah kemaluan Kinanti, sementara tangan kiriku langsung mengangkat dress bagian belakangnya.

Dan sekarang sudah tidak ada penghalang diantara kemaluanku dan bokong semok Kinanti. Kepala kemaluanku mulai menggesek kulit bokong Kinanti yang putih dan montok.

CUPPP, MUACHHH.

“Gilang.” Ucap Kinanti yang tiba – tiba melepaskan ciumannya dan melepaskan pegangan tangannya dikepala belakangku.

Tangan kanannya lalu menahan tangan kananku yang meraba kemaluannya dan tangan kirinya menahan tangan kiriku yang membuka dress belakangnya.

“Jangan Lang, jangan.” Ucap Kinanti sambil menggelengkan kepalanya dan menatapku dengan sayu.

Cok. Kok tiba – tiba Kinanti menolak untuk melanjutkan sih.? Bukannya dia yang memancing duluan, sampai kami bisa melakukan sejauh ini. Terus sekarang aku harus bagaimana.? Apa aku akan mengentikan semua ini.? Ya enggak lah. Enak dia sudah mendapatkan kenikmatan lewat jariku ini. Kalau aku.? Aku masih nanggung dan nafsuku sudah benar – benar menggila. Bajingan..

Aku yang sekarang dikuasai nafsuku, langsung menepis pegangan tangan kanannya dan aku langsung memegang kemalauanku. Aku mengarahkan batang kemalauanku di lubang kemaluan Kinanti, yang ada dibawah lubang bokongnya.

“Cukup Lang, cukup.” Ucap Kinanti dan kedua tangannya berada dibokongnya untuk menahan kemaluanku dan menurunkan dressnya yang telah terangkat.

Kinanti terus menggerakkan pinggulnya dan menghindari tusukan kemaluanku. Aku lalu mendorong tubuh Kinanti dengan pundakku, kearah tembok sebelah kananku dan aku langsung menekannya sampai dia terhimpit. Aku menekannya dengan bahu kananku, sambil terus menggesekkan kemaluanku di bokongnya.

“Gilang, Gilang.” Ucap Kinanti yang meronta – ronta, tapi aku tidak menghiraukannya.

Aku lalu memejamkan kedua mataku dan aku berusaha keras agar bisa menerobos kemaluan Kinanti. Usahaku pun tidak sia – sia, karena sedikit lagi berhasil. Kepala kemalauanku sudah berada ditepi kemaluan Kinanti dan tinggal sekali dorong saja, pasti akan bisa menerobos dan menikmati lubang kemaluan Kinanti yang sempit itu.

“GILANG.” Teriak Kinanti yang membuatku terkejut dan tersadar

“Hey, sadar Lang, sadar.” Ucap Kinanti dan aku langsung membuka kedua mataku.

“Kamu bisa diam gak Kinanti.?” Ucapku sambil melotot.

“Kinanti.?” Ucap Intan sambil menoleh kearahku.

Cok. Aku terkejut setengah mati, melihat Intan tertidur disebelahku. Posisi Intan tertidur dan terhimpit didinding, sedangkan aku mengangkat roknya dengan tangan kiri dan tangan kananku memegang kemaluanku, yang siap aku masukan dilubang kemaluannya.

“I, I, I, Intan.” Ucapku terbata.

“Kamu ini apa – apa in sih.? Mundur gak.?” Ucap Intan sambil melotot.

“Ma, ma, maaf.” Ucapku dan aku langsung memundurkan tubuhku, sambil menurunkan rok Intan lalu aku memasukan kemaluanku kedalam celanaku lagi.

Bajingaann. Ternyata aku mimpi cok. Nggatheli.

Kenapa bisa aku bermimpi seperti itu dan kenapa juga harus dengan Kinanti sih.? Terus kenapa Intan tidur disebelahku.? Tumben banget. Assuuu.

“Kamu itu jahat banget sih.?” Ucap Intan sambil membalikan tubuhnya dan melihat kearahku.

“Ya mana aku sadar. Namanya juga mimpi.” Jawabku sambil aku menegakkan tubuhku dan duduk dipinggir kasur.

“Dasar otak mesum. Siang bolong begini mimpi begituan, pakai acara sebut nama Kinanti lagi.” Ucap Intan sambil menegakkan tubuhnya juga, lalu dia merapikan roknya juga.

“Terus kalau aku gak sebut nama dia, boleh dong aku melakukannya sama kamu.?” Tanyaku untuk menutupi rasa maluku.

“Boleh ini.?” Ucap Intan sambil mengepalkan tangan kanannya kearahku

Aku langsung memalingkan wajahku dan mengambil rokokku, lalu mengambilnya sebatang dan membakarnya. Aku diam sejenak dan menikmati rokokku, sambil memikirkan mimpi yang menggathelkan barusan.

Kok bisa ya aku seperti itu.? Memaksa berhubungan badan dengan Kinanti, walaupun lewat mimpi. Itu bukan aku banget dan aku sangat malu sekali cok. Berhubungan badan itu harus berdasarkan suka sama suka, bukan karena paksaan. Lagian dengan situasi yang menggathelkan seperti itu, kenapa aku berpikiran untuk berhubungan badan.? Kalau aku dalam keadaan tersadar, tidak mungkin nafsu ini bermain ketika air mata menetes. Bajingann.

Kinanti. Setelah pertemuan kami dimalam itu sampai aku antarkan kekosannya dan masuk kedalam kamarnya, aku baru mengetahui segala cerita tentang alasannya memutuskan aku dipasar waktu itu.

Dia dijodohkan dengan Guntur, tanpa memiliki sedikitpun perasaan cinta didalam hati. Kinanti bercerita semua kepadaku, tapi jujur aku masih belum puas dengan pembahasannya. Aku pulang dari kosan Kinanti dengan sedikit ganjalan dihati dan entah apa itu. Yang jelas aku pergi dengan tetesan air mata yang menetes dipipiku.

“Makanya, kalau punya masalah itu diselesaikan sampai tuntas. Jangan sampai pulang kekosan dalam keadaan menggantung masalah, kan jadi terbayang terus.” Omel Intan kepadaku dan aku hanya menghisap rokokku saja.

“Setelah kamu pulang dari kosan Kinanti malam itu, beberapa hari ini kamu selalu mengigau namanya ketika tidur.” Ucap Intan dan aku tetap diam.

“Kamu gak mikirin perasaanya Kinanti kah.? Siapa tau dia juga memimpikan kamu dan mengigau namamu.” Ucap Intan dan aku langsung melihat kearahnya.

“Sudah ya, gak usah bahas masalah Kinanti lagi.” Ucapku sambil menatapnya.

“Kebiasaan. Kalau punya masalah, pasti seperti ini kalau diajak ngobrol.” Ucap Intan

“Cukup Tan, cukup.” Ucapku, lalu menghisap rokokku.

“Oke. Asalkan kamu mematikan rokokmu sekarang.” Ucap Intan dan aku hanya menggeleng pelan.

“Kok melebar kemasalah rokok sih.?” Tanyaku.

“Habisnya kamu merokok terus. Gak bisa jaga kesehatan.?” Tanya Intan dengan dinginnya dan kembali aku terdiam.

Kalau sudah masalah seperti ini, lebih baik gak usah dibantah atau dilawan omongan wanita itu. Sekuat apapun alasan kita masalah rokok, mereka pasti punya alasan lain lagi untuk menyerang kita.

“Lang, ngamen cok.” Teriak Joko dari luar kamarku.

“Yo.” Jawabku singkat, lalu aku menghisap dalam – dalam rokokku.

“Hiuffttt, huuuuu.” Aku mengeluarkan asap tebal rokokku ke udara, lalu aku menunduk sambil memejamkan kedua mataku sejenak.

“Maaf.” Ucap Intan pelan dan aku langsung melihat kearahnya lagi.

“Aku tau kamu lagi banyak pikiran dan harusnya aku lebih lembut bicaranya.” Ucap Intan, lalu dia meletakkan wajah sampingnya dibahuku.

“Harusnya aku yang minta maaf, karena kamu yang kujadian tempat pelampiasan permasalahanku.” Ucapku sambil melihat kearah depan, lalu kembali aku menghisap rokoku.

“Huuuuu.” Terdengar Intan mengeluarkan nafas panjangnya, lalu diam dan tidak bersuara.

Kami sama – sama diam sambil melihat kearah depan, dengan posisi wajah samping Intan tetap dibahuku.

“Apa baiknya kamu kekosan Kinanti lagi, untuk menyelesaikan masalah kalian yang menggantung ini.?” Tanya Intan dan kembali dia membahas masalah Kinanti lagi.

“Gak ada yang harus diselesaikan, karena semua sudah berakhir.” Jawabku yang mencoba menyembunyikan apa yang ada didalam pikiranku.

“Gak mungkin. Pasti masih ada yang mengganjal dipikiranmu.” Ucap Intan.

“Sudahlah, gak usah dibahas lagi.” Ucapku dengan nada yang agak jengkel.

“Ya sudah, terserah kamu.” Ucap Intan sambil mengangkat kepalanya dari bahuku dan dia menegakkan tubuhnya. Terdengar dari nada bicaranya, kalau dia sangat kesal dengan aku.

Hiuufft, huuu.

Kelihatannya aku harus segera keluar kamar dan pergi mengamen. Selain karena harus mencari sesuap nasi, aku bisa sekalian mencari udara segar dijalanan. Pikiranku lagi jenuh dan aku ingin menenangkannya sejenak diluar sana.



Beberapa saat kemudian.

“Ku tak menyesali.” Suaraku.

“Djancok.” Sahut Mas Candra dan Joko.

“Kalau diri ini” Suaraku.

“Djancok.” Sahut Mas Candra dan Joko.

“Engkau jadikan diriku.” Suaraku.

“Djancok.” Sahut Mas Candra dan Joko.

“Cinta kedua darimu.” Suaraku.

“Djancok.” Sahut Mas Candra dan Joko.

“Biarlah aku terima” Suaraku.




DUNG, TAK, DUNG. Joko menabuh gendang paralonnya

JRENG, JRENG, JRENG. Aku memetik gitarku

TRENG, TRENG, TRENG. Mas Candra memetik ukulelenya



“Kuuu tak menyesali.” Suaraku.

“Djancok.” Sahut Mas Candra dan Joko.

“Kalau diri ini.” Suaraku.

“Djancok.” Sahut Mas Candra dan Joko.

“Engkau jadikan diriku.” Suaraku.

“Djancok.” Sahut Mas Candra dan Joko.

“Cinta kedua darimu.” Suaraku.

“Djancok.” Sahut Mas Candra dan Joko.

“Biarlah akuu teeerimaaaa”




Aku mengakhiri lagu ini dengan suara yang lumayan panjang, dengan nada yang aku buat mendayu. Sebagian orang yang ada dihadapan kami, melihat dengan tatapan heran dan sebagian lagi acuh dengan kehadiran kami.

Joko terus memetik gitarnya dan Mas Candra juga memetik ukulelenya. Sementara aku berjalan kearah pengunjung rumah makan, untuk menyambut pundi – pundi hasil mengamen kami.

“Terimakasih buat Bapak, Ibu dan para pengunjung sekalian.” Ucap Joko sambil terus memetik gitarnya.

“Djancok.” Sahut Mas Candra dengan semangatnya dan semua orang yang ada didalam rumah makan ini, langsung melihat kearah kami bertiga.

“Assuuig.” Ucap Joko yang terkejut dengan sahutan Mas Candra dan aku langsung membalikkan tubuhku, melihat kearah mereka berdua.

“Opo’o Jok.?” (Ada apa Jok.?) Tanya Mas Candra dengan herannya.

“Lagune wes mari Mas, lapo sampean misuh maneh.?” (Sudah selesai lagunya Mas, kenapa anda memaki lagi.?) Ucap Joko.

“Iyo a.? Hahahaha.” (Iya kah.? Hahahaha.) Ucap Mas Candra dengan polosnya, lalu dia tertawa dengan cueknya.

“Mas - Mas.” Gerutu Joko pelan.

Aku menggelengkan kepalaku pelan, lalu membalikkan tubuhku lagi dan memutarkan gelas plastik kosong yang aku pegang. Tatapan tajam dari para pengunjung rumah makan ini mengiringi langkahku, karena makian Mas Candra tadi. Aku sih cuek saja, karena bagiku itu dinamika dalam mengamen. Hehehe.

Setelah aku selesai mengelilingi pengunjung yang ada dirumah makan ini, kami bertiga langsung keluar dan berencana untuk beristirahat sejenak diwarung kopi.

“Lek sampean misuh terus koyok maeng, gak entok duwe awak dewe Mas. Entoke malah gelas, seng disawatno nang awak dewe.” (Kalau anda maki terus kayak tadi, gak dapat uang kita Mas. Dapatnya malas gelas, yang dilempar ke arah kita.) Ucap Joko.

“Yo aku kari melayu nang nggurimu. Hehehehe.” (Ya aku tinggal lari kebelakangmu. Hehehe.) Jawab Mas Candra dengan cueknya.

“Uasuuu.” Maki Joko dengan wajah yang menggathelkan.

“Aku lek ono masalah, biasane yo melayu nang nggurine Joko Mas.” (Aku kalau ada masalah, biasanya juga lari kebelakang Joko Mas.) Sahutku.

“Iyo, mari ngunu raimu tak umbah.” (Iya, habis itu mukamu kucuci.) Ucap Joko dengan jengkelnya.

“Bajingan’ig, lah koen kiro aku klambi opo.?” (Bajingan. Lah kamu kira aku pakaian apa.?) Tanyaku ke Joko.

“Hahahaha.” Mas Candra tertawa dengan senangnya, mendengar candaan kami.

Mas Candra ini sudah dua kali ikut kami mengamen, karena ingin merasakan bagaimana rasanya bernyanyi dihadapan orang banyak. Katanya sih mau menguji mentalnya aja. Dia selalu membawa ukulele dan permainannya lumayan bagus. Dia bisa mengimbangi permainan gitarku dan juga gendang paralon Joko.

Perlahan suasana hatiku mulai sedikit agak tenang, karena banyolan Joko dan Mas Candra.

“Aku iku sueneng melu awakmu ngamen loh. Jos pokokke.” (Aku itu seneng banget ikut kamu ngamen loh. Mantap pokoknya.) Ucap Mas Candra dengan bangganya.

“Iyo Mas, tapi awak dewe iso dimasa wong akeh, lek sampean misuh terus.” (Iya Mas, tapi kita bisa dimasa orang banyak, kalau anda maki terus.) Sahut Joko.

“Misuh iku gak po – po Jok, gak mungkin awak dewe diseneni wong akeh. Seng penting iku, awak dewe gak misuhi wong.” (Maki itu gak apa – apa Jok, gak mungkin kita dimarahi orang banyak. Yang penting itu, kita gak memaki orang.) Ucap Joko

“Ngono a cok.?” (Gitu kah cok.?) Tanya Joko dengan ekspresi wajah yang menggathelkan, sambil memundurkan sedikit wajahnya.

“Lapo koen misuhi aku.?” (Kenapa kamu memaki aku.?) Tanya Mas Candra.

“Aku iku misuh, tapi gak misuhi sampean Mas. Hahahaha.” (Aku itu maki, tapi bukan memaki anda Mas. Hahahaha. ) Ucap Joko, lalu diakhiri dengan tawa yang keras.

“Assuu’ig. Hahahaha.” Mas Candra memaki lalu tertawa.

“Hahaha.” Kami bertiga lalu tertawa bersama.

Kami bertiga ini sekarang sangat akrab dan hanya butuh waktu beberapa hari setelah perkenalan kami diwarung kopi hari itu, otak Mas Candra ikut geser seperti otaknya Joko.

Walaupun kami suka bercanda, tapi candaan kami ada tempatnya. Ketika mengamen dan bersantai seperti ini, candaan kami bisa keluar. Kalau sudah urusan kantor, kami bertiga langsung serius membahasnya.

Oh iya, untuk urusan perijinan kantor konsultan kami, sedikit lagi selesai. Semua data serta perlengkapannya sudah dilengkapi dan sudah dimasukkan. Rencananya minggu depan semua perijinan kami keluar dan kami sudah bisa mengikuti lelang proyek.

Ini semua diluar dugaanku dan juga Joko. Proses perijinan sangat cepat dan tidak ada kendala yang begitu berarti. Tentu saja semua berkat bantuan Mas Candra yang sangat lincah dalam bergerak. Selain itu relasi Mas Candra sangat banyak dan ada dimana – mana. Kami sangat beruntung Mas Candra bergabung dikantor kami dan mau berjuang dari awal bersama kami.

“Mas, kenapa sampean gak buat kantor sendiri sih.? Relasi sampean itu banyak dan sampean punya kemampuan yang hebat. Jadi kalau sampean mendirikan sebuah perusahaan sendirian, pasti gak akan sulit.” Tanyaku dan sekarang kami bertiga beristirahat disebuah warung kopi yang cukup ramai. Kami duduk dibagian teras warung, karena didalam sana terlalu banyak orang dan bising.

“Kenapa ya penyebabnya.? Aku juga bingung Lang. Apa mungkin karena kurang percaya diri ya.?” Ucap Mas Candra dan membuat aku mengerutkan kedua alis mataku.

“Kurang percaya diri, tapi relasi sampean banyak gitu Mas.” Sahut Joko.

“Kamu bisa membedakan ruang lingkup berteman, dengan ruang lingkup perusahaan gak Jok.?” Tanya Mas Candra.

“Teman itu tempat mengobrol, perusahaan ya tempat bekerja. Gimana sih Mas.?” Jawab Joko dengan cueknya.

“Djiancok, aku yo ngerti lek ngono cok.” (Jiancok, aku juga mengerti kalau begitu cok.) Ucap Mas Candra sambil mengeluarkan rokok mildnya, lalu mengambil sebatang dan membakarnya.

“Mungkin maksudnya Mas Candra, kalau berteman itu tidak ada sekat ketika berbicara dan lebih mudah berkomunikasinya. Tapi kalau perusahaan, banyak aturan, banyak tahapan, banyak orang, banyak tanggung jawab dan banyak berpikir.” Ucapku yang mencoba membaca arah pembicaraan Mas Candra.

“Ya maksudku itu begitu, cuman kusingkat aja penjelasannya. Ruwet amat hidup kalian ini.” Sahut Joko.

“Nggatheli.” (Menjengkelkan.) Ucapku dan Mas candra dengan kompaknya.

“Hehehe, lanjut – lanjut.” Ucap Joko.

“Hem.” Ucap Mas Candra sambil mengangguk pelan.

“Aku itu type pekerja bukan type pemikir. Aku lebih suka mengerjakan suatu pekerjaan, daripada harus memikirkan hal – hal yang berkaitan dengan urusan ‘menjalankan’ kantor. Jadi kalau mendirikan sebuah kantor, terlalu ribet dan aku belum siap melakukannya.” Jawab Mas Candra.

“Terus kenapa sampean mau membantu mengelola dan menjalankan PT. Biola Sapa Semesta.?” Tanya Joko, lalu dia membakar rokoknya.

“Karena aku gak berpikir sendiri cok. Kita kan ada pembagian tugas diperusahaan ini. Lagian setelah kantor ini jalan, aku ngurusi pekerjaan saja dan urusan lainnya terserah kalian.” Jawab Mas Candra lalu dia menghisap rokoknya.

“Sayang dong kalau sampean punya kemampuan, tapi gak dimanfaatkan dengan mendirikan perusahaan sendiri.” Ucapku.

“Bukannya aku gak mau, tapi aku belum siap.” Jawab Mas Candra dan bertepatan dengan pesanan kopi kami yang datang dihadapan kami.

“Kok kalian tanya – tanya gitu sih.? Kalian gak suka kalau aku gabung dikantor ini.?” Tanya Mas Candra kepada kami, lalu dia menyeruput kopi panasnya.

“Iya, lebih baik sampean ngamen aja.” Jawab Joko bercanda.

“Sruppp. Huk, huk huk.” Mas Candra tersedak kopi panas itu, lalu dia meletakkan gelasnya.

“Assuuu.” Maki Mas Candra.

“Hahaha.” Aku dan Joko tertawa bersama.

Dan tiba – tiba.

“Candra.” Panggil seseorang dari arah jalan dan orang itu berada didalam mobil. Dia duduk dibagian tengah mobil sebelah kiri dan dia bersama sopirnya.

“Halo Go.” Ucap Mas Candra sambil melambai kearah orang itu. Mas Candra lalu mengkodenya untuk turun dari mobil dan bergabung bersama kami.

“Cok, aku dikongkon mudun. Bajingan.” (Cok, aku disuruh turun. Bajingan.) Omel orang itu, lalu dia turun dari mobil, sedangkan sopirnya langsung memarkirkan mobilnya.

Terlihat dari gaya berpakaiannya, orang itu seperti seorang direktur atau bisa juga pejabat penting pemerintahan.

“Hahaha. Sekali – kali direktur itu nongkrong diwarung kopi, jangan dicafe aja.” Jawab Mas Candra dengan cueknya dan dia tidak berdiri menyambut tamunya itu. Dia malah asyik dengan rokoknya, lalu menyeruput kopi yang mulai dingin itu.

“Ngelamak koen.” (Ngelunjak kamu.) Ucap Orang itu lalu dia duduk didekat Mas Candra dan merebut gelas kopi Mas Candra, lalu meminumnya sampai menyisakan ampasnya saja.

“Bajingann. Direktur kere.” (Bajingan. Direktur miskin.) Ucap Mas Candra.

“Ahhhh.” Ucap orang itu,sambil meletakkan gelas kopi dihadapannya, lalu dia mengambil rokok Mas Candra dan mengambilnya sebatang, lalu membakarnya.

“Keremu nemen cok.” (Miskinmu terlalu cok.) Ejek Mas Candra.

“Asuuu. Tak tuku warung iki sak lambemu barang a.?” (Anjing. Ku beli warung ini sama mulutmu sekalian kah.?) Jawab Tamunya itu dengan congkaknya.

“Matamu.” Jawab Mas Candra lalu melihat kearahku dan Joko.

“Kalian heran ya.?” Tanya Mas Candra kepadaku dan Joko yang melongo melihat obrolan mereka berdua dari tadi.

“Kalian temannya orang gila ini ya.? Kok betah sampean berteman sama dia.? aku yang baru duduk disini aja mau muntah.” Orang disebelah Mas Candra bertanya kepada kami.

“Kalian percaya.? Kopi bekasku aja diminum, masa duduk dekatku mau muntah.? Kalau gak ada kalian disini, ampas kopinya pasti diminum juga.” Ucap Mas Candra.

“Hahahaha.” Aku dan Joko langsung tertawa, mendengar obrolan yang menggathelkan ini.

“Assuuu.” Maki orang itu, lalu dia menghisap rokoknya.

“Oh iya, kenalin. Dia ini namanya Rodrigo.” Ucap Mas Candra mengenalkan temannya itu kepadaku dan juga Joko.

“Ha.?” Aku dan Joko terkejut mendengar nama unik dari teman Mas Candra ini. Namanya seperti nama orang luar negeri, tapi wajahnya asli dalam negeri.

“Biasa aja lihatnya Mas.” Ucap orang itu lalu dia menjulurkan tangannya kearahku dan aku langsung menjabat tangannya.

“Rodrigo.” Ucap Orang itu sambil meremas tanganku lumayan kuat.

“Gilang Mas.” Jawabku dan aku juga meremasnya dengan kuat.

“Rodrigo.” Ucap orang itu dan sekarang dia mengajak salaman Joko.

“Cok. sampean ngajak kenalan apa ngajak tawuran Mas.?” Tanya Joko yang kaget ketika tangannya diremas.

“Hahahaha.” Orang itu hanya tertawa, sambil melepaskan jabatan tangannya dari tangan Joko.

“Kalian pasti kaget mendengar namanya ya.? Gak pantes kan nama sama wajahnya.? Aku aja malas nyebut nama aslinya. Aku lebih suka manggil dia Jago. Hahahaha.” Ucap Mas Candra lalu tertawa terbahak – bahak.

“hahahaha.” Aku dan Joko reflek ikut tertawa.

“Assuuu. Koen iku negerusak jenengku ae cok. Papahku iku nylameti jenengku nggawe wedos loro cok. Sapenak – penake ae koen ngganti. Nggatheli.” (Anjingg. Kamu itu merusak namaku aja cok. Papahku itu buat selamatan namaku pakai kambing dua cok. Seenak – enaknya aja kamu ganti. Menjengkelkan.) Ucap Mas Jago dengan jengkelnya.

Cok, kok aku manggilnya ikutan nyebut nama Jago ya.? Hahahaha.

“Gak usah mbecucu ngono cok. Paling Papahmu goro ambe awakmu, pas nylameti jenengmu. Dudu nggawe wedos iku, tapi nggawe entok. Hahahaha.” (Gak usah cemberut gitu cok. Paling Papahmu bohong sama kamu, waktu selamatan namamu. Bukan pakai kambing itu, tapai paki angsa. Hahaha.) Ucap Mas Candra lalu tertawa lagi.

“Hahahaha.” Aku dan Joko terus tertawa mendengar banyolan Mas Candra ini.

“Matane akik.” (Matanya batu akik.) Maki Mas Jago.

“Hahahaha.” Mas Candra terus tertawa.

“Wes cok, gak usah ngekek ae. Endi kerjaanmu, kok durung disetor nang aku.?” (Sudah cok, gak usah tertawa aja. Mana kerjaanmu, kok belum disetor sama aku.?) Tanya Mas Jago ke Mas Candra.

“Telek arek iki. Jaremu akhir bulan disetor. Iki jek awal bulan cok.” (Taik anak ini. Katamu akhir bulan ini disetor. Ini masih awal bulan cok.) Ucap Mas Candra dan gaya bicaranya langsung serius.

“Gak iso cok, jadwal tendere dimajokno ambe Papahku. Pertengahan bulan iki kudu mulai tendere, awal bulan ngarep langsung mbangun. Soale pertengahan taun ngarep, gedung iku kate disewo ambe wong Jepang cok.” (Gak bisa cok, jadwal tendernya dimajukan sama Papahku. Pertengahan bulan ini harus mulai tendernya, awal bulan depan langsung bangun. Soalnya pertengahan tahun depan, gedung itu mau disewa sama orang Jepang cok.) Ucap Mas Jago dengan seriusnya.

“Telek a. Koen kate mateni aku a cok.? Gak iso lek aku dikongkon marekno cepet koyok ngono. Nggatheli.” (Taik kah. Kamu mau bunuh aku kah cok.? Gak bisa kalau aku disuruh menyelesaikan cepat seperti itu. Menjengkelkan.) Jawab Mas Candra.

Aku dan Jokopun hanya diam, sambil menikmati rokok kami dan mendengar pembicaraan mereka.

“Tolong aku cok. Koen pengen aku ditokno teko kartu keluarga a.?” (Tolong aku cok. Kamu mau aku dikeluarkan dari kartu keluarga kah.?) Ucap Mas Jago memelas.

“Gak iso cok. Paling cepet iku telung minggu lah.” (Gak bisa cok. Paling cepat itu tiga minggu lah.) Jawab Mas Candra.

“Ojo cok. Rong minggu ae aku iso dipancal karo Papahku, opo maneh telung minggu.? Iso diguwak nang prapatan Irak aku cok.” (Jangan cok. dua minggu aja aku bisa diinjak sama papahku, apa lagi tiga minggu.? Bisa dibuang keperampatan Irak aku cok.) Ucap Mas Jago dengan wajah yang semakin memelas.

“Nggatelli. Rong minggu ae gak iso.? Terus njalukmu kapan cok.?” (Menjengkelkan. Dua minggu saja gak bisa.? Terus mintamu kapan cok.?) Tanya Mas Candra.

“Paling lambat sak minggu.” (Paling lambat satu minggu.) Jawab Mas Jago dengan suara yang pelan.

“Dengkulmu iku sak minggu. Koen iku gak mikir a cok.? Kerjaane iku nggambar, ngitung bahan, ngetung biaya ambe jadwal pekerjaane. Tak tungkak cangkemmu koen engko.” (Lututmu itu satu minggu. Kamu itu gak mikir kah cok.? Kerjaannya itu menggambar, menghitung bahan, menghitung biaya sama jadwal pekerjaannya. Ku injak mulutmu nanti.) Omel Mas Candra.

“Tolong lah cok. Mari kerjaane iki, awakmu iso tuku sepeda tiger loh.” (Tolonglah cok. Habis kerjaannya ini, kamu bisa beli sepeda motor tiger loh.) Ucap Mas Jago dan membuat aku langsung terkejut.

Gila, bisa beli sepeda motor tiger.? Tinggi banget dong bayarannya.? Joko yang terkejut juga, langsung melihat kearahku.

“Dibayar karo super kijang ae, aku jek miker cok.” (Dibayar pakai mobil super kijang aja, aku masih mikir cok.) Jawab Mas Candra.

“Bayarane tak unggahno tiga kali lipat piye.?” (Bayarannya ku naikkan tiga kali lipat gimana.?) Ucap Mas Jago, dengan tawaran yang sangat menggiurkan.

Aku dan Joko kembali terkejut, lalu saling melihat dan tersenyum dengan senangnya.

“Gak masalah bayarane cok. Koen mbayar tiga kali lipat ambe ditambah nyelentik endokmu ae, gak iso cok.” (Gak masalah bayarannya cok. Kamu bayar tiga kali lipat sama ditambah nyentil bijimu aja, gak bisa cok.) Ucap Mas Candra, lalu dia menghisap rokoknya.

“Lapo koen nyebut endokku cok.? Bajingan’ig.” (Kenapa kamu sebut bijiku cok.? Bajingan.) Omel Mas Jago.

Aku dan Joko menahan tawa, karena pembicaraan mereka sangat serius tapi juga membuat biji ini gatal. Jiancok. Hahaha.

“Gak iso cok, gak iso pokoke.” (Gak bisa cok, gak bisa pokoknya.) Tolak Mas Candra.

“Ngono koen ambe aku cok. Tego, asli tego.” (Begitu kamu sama aku cok. Tega, asli tega.) Ucap Mas Jago dengan wajah yang sangat – sangat memelas.

“Nggatheli.” (Menjengkelkan.) Gerutu Mas Candra lalu mereka akhirnya diam.

Mas Candra mau meminum kopinya, tapi sudah dihabiskan Mas Jago. Akhirnya Mas Candra menarik isapan rokoknya dalam – dalam.

Joko pun langsung menyenggol kakiku, supaya ikut dalam pembicaraan Mas Candra dan Mas Jago. Aku langsung mengangguk pelan, karena ini tawaran yang sangat luar biasa dan gak bisa dilewatkan begitu saja.

“Sandiwara yang menggathelkan ini sudah selesaikah.?” Tanyaku kepada Mas Candra dan Mas Jago.

“Assuuu.” Maki mereka berdua kearahku dengan kompaknya.

“Ternyata cinta itu bisa kompak, walaupun tanpa direncanakan ya.” Ucap Joko lalu tersenyum.

“Ngelamak arek iki. Lah koen kiro aku jatuh cinta ambe mendol nde jejerku iki a.?” (Ngelunjak anak ini. lah kamu kira aku jatuh cinta sama mendol disebelahku ini kah.? Mendol = tempe yang ditumbuk dan dicampur dengan bumbu, lalu dibentuk lonjong.) Ucap Mas Candra sambil melirik kearah Mas Jago.

“Mendol matamu a.” (Mendol matamu kah.?) Omel Mas Jago ke Mas Candra.

“Sudah Mas, sudah. Terima aja.” Ucapku ke Mas Candra.

“Apanya yang diterima.? Aku bukan hom – hom cok.” Ucap Mas Candra dan Mas Jago lagi – lagi dengan kompaknya.

“Hahaha.” Aku dan Joko langsung tertawa terbahak – bahak.

“Bisa kompak Gitu ya.? Hahaha.” Ucapku.

“Ternyata mereka beneran saling cinta Lang. Hahahaha.” Ucap Joko lalu dia kembali tertawa senang.

“Assuuu.” Maki mereka berdua lagi.

“Hahaha. Maksudku tadi itu, terima aja pekerjaannya Mas. Kok malah sampean mencurahkan isi hati.? Hahaha.” Ucapku lalu aku tertawa lagi.

“Bajingaann.” Gerutu Mas Candra.

“Iyo a Lang.? Awakmu iso marekno gawean iki a.?” (Iya kah Lang.? Kamu bisa menyelesaikan kerjaan ini kah.?) Tanya Mas Jago dengan wajah yang berbinar – binar.

“Kalau Mas Candra oke, kami siap bantu. Hehehe.” Jawabku.

“Hahaha. Suwon, suwon. Gak po – po wes aku dadian ambe begedel siji iki, seng penting gawenane mari. Hahaha.” (Hahaha. Terimakasih, terimakasih. Gak apa – apa sudah aku jadian sama bergedel satu ini. Yang penting kerjaannya selesai. Hahaha.) Ucap Mas Jago dengan senangnya.

“Matamu cok, cok.” Sahut Mas Candra.

“Hahaha.” Joko tertawa lagi.

“Sudah, sudah. Jadi gimana Mas.? Sampean mau lanjutin kerjaannya kan.?” Ucapku Ke Mas Candra dan mengajak mereka untuk serius lagi pembahasannya.

“Lang. Ini proyek besar loh. Gedung bertingkat enam yang rencananya dibangun ibukota negara.” Ucap Mas Candra dengan wajah yang serius..

“Tapi datanya sudah lengkap dan kita tinggal mengolahnya kan Mas.?” Tanyaku.

“Sudah lengkap semua, tinggal dikerjakan aja. Cuman waktunya ini loh. mepet banget.” Jawab Mas Candra.

“Ya sudah, kita kerjakan bareng.” Ucapku dengan yakin.

“Seminggu loh.” Ucap Mas Candra.

“Iya. Saya ngerti kok.” Jawabku.

“Yakin.?” Ucap Mas Candra untuk memastikan lagi.

“Yakin dan kita pasti bisa.” Ucapku meyakinkan Mas Candra, sambil mengepalkan tanganku kearah Mas Candra.

“Semongko.” Ucap Joko yang juga mengepalkan tangannya disebelah kepalan tanganku.

Mas Candra melihat kami berdua bergantian sambil menggeleng pelan, sementara Mas Jago bingung maksud dari ucapan kata semongko dan kepalan tangan kami berdua.

“Semangat nganti bongko.” Ucapku pelan.

“Ternyata kalian memang gila.” Ucap Mas Candra, lalu perlahan mengangkat tangan kanannya yang terkepal, lalu meninju kepalan tanganku dan Joko bergantian.

“Semongko.” Ucap Joko dengan suara agak keras.

“SEMANGAT NGANTI BONGKO.” Teriak kami bertiga dengan kompaknya.

“Hahahaha.” Kami bertiga tertawa lagi.

“Sek, sek, sek. Ulangi kata – kata gathel mau.” (Sebentar, sebentar, sebentar. Ulangi kata – kata menjengkelkan tadi.) Ucap Mas Jago.

“SEMONGKO.” Teriakku.

“SEMANGAT NGANTI BONGKO.” Teriak Mas Candra dan Joko, yang diikuti Mas Jago dengan suara yang lantang.

“HAHAHAHA.” Kami berempat tertawa bersama.

“Sabar, sabar. Kita tertawa seperti ini, jangan lupa dengan janji Mas Jago.” Ucap Joko sambil melirik kearah Mas Jago.

“Bajingan. Kok melu – melu nyelok Jago koen Jok.?” (Bajingan,kok ikut – ikut manggil Jago kamu Jok.?) Tanya Mas Jago dengan jengkelnya.

“Nama Jago iku keren loh Mas.” Sahutku menjawab pertanyaan Mas Jago ke Joko barusan.

“Jago iku identik karo daerah selangkangan cok. Koen kate padakno aku ambe ‘jago iku’ a.?” (Jago itu identik sama daerah selangkangan cok. Kamu mau samakan aku sama ‘jago itu’ kah.?) Tanya Mas Jago kepadaku.

“Itukan cerita disebelah Mas, bukan dicerita ini.” Jawabku dengan asal.

“Iyo Mas, sensitive banget sih.” Sahut Joko.

“Iyo lek awak – awakmu iku paham. Tapi seng moco cerito iki opo paham.?” (Iya kalau kamu – kamu itu paham. Tapi yang baca cerita ini apa paham.?) Ucap Mas Jago

“Gak usah dirungokno omongane pembaca cok. pawa’an gak ngerti ae. Contoen jago seng nde cerito iku. Jare jago seng iku, persetan sama tukang coli. Hahahaha.” (Gak usah didengarkan omongannya pembaca cok. Berlagak gak mengerti aja. Contoh jago yang dicerita itu. Kata jago yang itu, persetan sama tukang coli. Hahaha.) Ucap Mas Candra lalu tertawa.

“Matamu.” Jawab Mas Jago.

“Hahahaha.” Kami bertiga tertawa melihat wajah Mas Jago yang terlihat pasrah itu.

“Iyo wes, yo wes. Mari yo sa minggu.?” (Iya sudah, iya sudah. Selesai satu minggu ya.?) Tanya Mas Jago kepada kami bertiga.

“Siap Bang Jago.” Jawab kami bertiga, sambil mengambil sikap sempurna. Duduk dengan menegakkan punggung dan membusungkan dada, kepala lurus menghadap kedepan dan kedua tangan terkepal diatas paha.

“Cok. Ngadepi Candra ae ndasku ngelu, saiki malah ditambah wong loro seng nggatheli. Bajingan.” (Cok. Menghadapi Candra aja kepalaku pusing, sekarang malah ditambah dua orang yang menjengkelkan. Bajingan.) Ucap Mas Jago sambil menggelengkan kepalanya.

“Siap Bang Jago.” Jawab kami bertiga lagi dengan kompaknya.

“Terusno cok, terusno.” (Teruskan cok, teruskan.) Ucap Mas Jago dengan jengkelnya.

“Siap Bang Jago.” Jawab kami lagi.

“Sak karebmu wes.” (Terserah kamu sudah.) Ucap Mas Jago dengan wajah yang sangat – sangat pasrah sekali.

“Ampun Bang Jago.” Ucapku.

“E’ O’.” Sahut Mas Candra dan Joko.

“Sori Bang Jago.” Ucapku.

“E’ O’.” Sahut Mas Candra dan Joko.

“Abang Jago.” Ucapku.

“Ya bom, bom, bom, bom, bom.” Sahut Mas Candra dan Joko sambil mematahkan leher kekanan dan kekiri.

“Ampun Bang Jago.” Ucapku.

“E’ O’.” Sahut Mas Candra dan Joko.

“Abang Jago.” Ucapku.

“E’ O’.” Sahut Mas Candra dan Joko.

“Sori Bang Jago. Ampun Bang Jago.” Ucapku.

“Bom, bom, bom, bom, bom, ciuuuuuuttttt.” Ucap Mas Candra dan Joko, dan ketika kata ciuutttt yang panjang, mereka menggoyangkan tubuhnya kekanan, lalu menarik kebelakang, kekiri, dan kedepan lagi.

“Asuuuu.” Maki Mas Jago.

“HAHAHAHA.” Kami berempat mengakhiri obrolan yang membangsatkan ini, dengan tertawa senang.

Waw. Ternyata harapan selalu datang, bagi mereka yang yakin dengan impian. Ternyata impian selalu ada jalan, bagi mereka yang tidak putus asa.

Pekerjaan ini memang berat dan pasti membutuhkan kerja keras. Tapi kalau kami bertiga bekerja sama dan bersemangat mengerjakannya, pasti kami bisa menyelesaikannya tepat waktu.

Sayang proyek ini ada di ibukota negara. Kalau ada dikota ini, mungkin kami bisa mengajukan perusahaan kami untuk menjadi pengawasnya. Tapi gak apa – apa, mendapatkan perencanaannya saja, itu sudah sangat luar biasa dan bisa kami masukkan sebagai salah satu pengalaman didokumen perusahaan kami. Mantaplah pokoknya.

Setelah pertemuan yang sangat luar biasa ini, kami semua bubar. Mas Jago pulang dengan hati yang senang, sedangkan kami bertiga langsung balik kekosan. Kami bertiga sudah dihadapkan dengan seminggu yang padat dan pasti sangat melelahkan, tapi kami bertiga bersemangat dan siap dengan semua itu.

Dan benar saja. Hari ini hari ketujuh dan hari terakhir, kami mengerjakan pekerjaan itu. Seminggu ini kami tidurnya hanya sekitar satu jam saja, setiap harinya. Itupun tidurnya bergantian.

Lelah sih, tapi entah kenapa kami gak begitu merasakan kelelahan ini. Apa mungkin karena terlalu semangat, apa mungkin karena dikejar waktu, apa mungkin karena iming – iming besaran upah, apa mungkin karena ini perkerjaan pertama yang kami kerjakan bersama, apa karena ada kemungkinan yang lain.? Gak tau juga. Tapi yang jelas kami sudah bisa menyelesaikan pekerjaan itu sesuai target.

Dokumen itu sekarang dibawa Mas Candra kekantor Mas Jago. Aku dan Joko tidak ikut, karena kami masih ada beberapa tugas kampus yang harus diselesaikan.

Oh iya, Mas Candra sekarang tinggal disalah satu kamar kosong yang ada dikosan ini. Sedangkan satu kamar lagi masih kosong, entah siapa nanti yang akan tinggal disana.

Untuk Mas Jago, seminggu ini dia selalu datang kekosan sambil membawa segala kebutuhan logistic kami. Mulai dari makanan, minuman, sampai rokok, ditanggung semua oleh Mas Jago. Papah Mas Jago ini ternyata salah satu orang terkaya di ibukota negara dan Mas Jago ini teman kuliahnya Mas Candra.

Mereka berdua itu awalnya sama – sama takut datang kekosanku, karena cerita horror yang sering mereka dengar. Tapi setelah aku dan Joko meyakinkan mereka, akhirnya mereka berani datang dan Mas Candra sampai berani tidur dikosan.

Hiufftt, huuuu.

“Yang, kurang - kurangilah rokokmu itu.” Ucap Intan ketika aku beristirahat sejenak dikamar, sebelum aku mengerjakan tugas kuliah. Aku duduk diatas kasurku, sementara Intan duduk sebelah kiriku.

Aku tidak menjawab ucapan Intan dan aku hanya menarik isapan rokok kretekku dalam – dalam.

“Kamu itu sudah sering bergadang, terus rokoknya malah kayak kereta api.” Ucap Intan, lalu dia mengelus rambut belakangku dengan lembutnya.

“Huuuuu.” Aku mengeluarkan asap tebal dari mulutku, lalu membuang abu rokok keasbak dihadapanku.

“Iya.” Jawabku singkat.

“Kalau dikasih tau, pasti itu jawabannya.” Ucap Intan, lalu menurunkan tangannya dari belaian dirambutku.

Intan lalu duduk sambil menekuk kedua kakinya keatas sedikit dan kedua tangannya bertumpu pada lututnya.

“Aku gak menghalangi atau melarang kamu mengejar impianmu yang. Aku hanya mengingatkan agar kamu menjaga kesehatanmu.” Ucap Intan sambil melihat kearah lemari dihadapan kami.

“Iya.” Jawabku lagi dan dengan jawaban singkat.

“Kamu gak suka ya kalau aku ingatin seperti ini.?” Tanya Intan sambil melihat kearahku dan aku langsung mematikan rokokku, lalu melihat kearahnya.

“Kalau aku gak suka, sudah aku tinggal keluar kamar dari tadi.” Jawabku.

“Terus kenapa jawabanmu singkat begitu.? Bosan ya aku ingatin terus.?” Tanya Intan.

“Enggak, aku itu cuman gak mau berdebat kalau teguran itu untuk kebaikanku sendiri.” Jawabku.

“Tuh, kamu sudah tau kalau itu untuk kebaikanmu. Tapi kenapa masih aja kamu lakukan.?” Tanya Intan.

“Karena yang tau itu baik atau enggak untuk diriku, ya aku sendiri.” Jawabku.

“Gimana sih kamu itu yang.? Gak konsisten banget sama kata - katamu.” Tanya Intan sambil mengerutkan kedua alisnya.

“Ini nih salah satu alasannya. Jadi berdebat kan kita.? Akukan tadi sudah bilang, kalau teguran itu untuk kebaikanku, aku gak mau membantah karena aku menghargai teguran itu.” Jawabku.

“Tapi kamu tetap melakukan, karena kamu anggap itu baik menurutmu.? Gitu.?” Tanya Intan.

“Yang, bisa gak kalau kita gak berdebat.? Bukannya aku gak mau mendengar suaramu, tapi saat ini aku mau lihat senyummu, supaya letih ini bisa terobati.” Ucapku sambil menatap kearah matanya.

“Jadi kamu hanya mau lihat senyumku aja, tanpa mendengar omelanku.?” Tanya Intan.

Aku lalu merubah posisi dudukku yang berdampingan dengan Intan, menjadi menghadap kearahnya yang duduk menghadap lemari kamarku.

“Yang, kok gitu sih ngomongnya.?” Tanyaku.

“Kan itu maumu.” Ucap Intan.

“Ya udah, ya udah. Sekarang kamu mau ngomong apa, ngomong aja. Aku dengarin.” Ucapku sambil menatapnya yang masih melihat kearahku.

“Males.” Ucapnya sambil memalingkan wajahnya dan menatap lurus, kearah lemariku lagi.

Hiuffftt, huuuu.

Ini nih akhirnya, kalau melawan debat wanita yang dicintai. Pasti kalah dan ujungnya pasti salah. Memang benar niatnya baik dan bagus untuk aku. Tapi tolonglah, aku tau kok mana yang baik dan mana yang enggak. Rokok ini kan hanya sebagai sarana supaya mata dan pikiran ini tetap segar, supaya kuat mengerjakan kerjaan. Aku juga mengimbanginya dengan banyak minum air putih, supaya nikotin yang menyangkut di dalam tubuhku bisa luntur sebagian. Entah teori ini benar atau tidak, tapi bagiku sih bisa aja, jadi gak usah berdebat. Titik.

CUUPPP.

Aku langsung memajukan bibirku dan mengecup bagian kanan pipi Intan yang ada dihadapanku ini.

“Apasih pakai cium – cium segala.” Ucap Intan sambil menoleh kearahku.

“Aku sayang kamu.” Ucapku lalu aku tersenyum.

“Sayangi dirimu sendiri, baru sayangi orang lain.” Jawab Intan dengan ketusnya sambil memalingkan wajahnya.

“Sudah kok. Kamukan bagian dari jiwa dan ragaku. Dengan menyayangi dirimu, itu sama aja aku menyayangi diriku sendiri.” Jawabku.

“Kamu kok gitu sih yang.? Susah banget dikasih tau. Dasar bandel.” Ucap Intan dengan manjanya sambil menoleh kearahku, lalu dia mencubit kedua pipiku dengan gemasnya.

“Makasih sudah menyangi orang bandel ini ya.” Ucapku lalu aku tersenyum, tapi agak susah, karena Intan masih mencubit kedua pipiku.

“Iiiiiiihhhhh. Gemes.” Ucap Intan sambil terus mencubit kedua pipiku.

“Oh iya.” Ucap Intan langsung menghentikan cubitannya dan menurunkan kedua tangannya dari pipiku.

“Kenapa Yang.?” Tanyaku.

“Kamu belum asistensi tugas struktur kayumu loh.” Ucap Intan yang langsung mengejutkanku.

“Astaga.” Ucapku yang terkejut.

“Iya, ya. Waktu ngumpul tugas besarnya itu sebentar lagi dan aku baru sekali asistensi. Aku masih belum dapat acc untuk menjilid laporanku. Bisa gagal dapat nilai nih aku.” Ucapku sambil menatap Intan.

“Ya sudah, kekampus aja dulu gih.” Ucap Intan, lalu.

CUUPPP.

Aku langsung mengecup bibir Intan, setelah itu aku berdiri dengan cepatnya.

“Kok pakai kecup bibir sih.?” Ucap Intan yang terkejut dan dia masih duduk diatas kasurku.

“Biar aku makin semangat menjemput impian. Hehehe.” Ucapku lalu aku berjalan kearah tasku dan meraihnya, lalu memakai dipunggungku.

“Iya deh. Selamat menjemput impianmu ya. Salam buat Gendhis.” Ucap Intan yang sudah berdiri dan dia langsung tersenyum kepadaku.

Cok. Pakai acara ngomong seperti ini lagi. Iya memang hari ini aku mau menemui Gendhis untuk pertama kalinya, semenjak kejadian pahit itu. Kenapa bisa aku menemui Gendhis.? Asisten dosen struktur kayu yang pertama kali aku temui waktu itu, sekarang sedang melahirkan. Jadi semua tugasnya dilimpahkan kepada Gendhis. Menggathelkan banget kan kalau begitu. Assuuu.

Sebenarnya aku pasti akan bertemu dengan Gendhis, tapi semester depan untuk tugas lainnya. Entah kenapa kok malah jadi sekarang bertemunya dan jujur aku malas banget.

CUUPPP.

Tiba – tiba Intan mengecup bibirku dengan lembut, lalu dia menatap mataku sambil memegang kedua pipiku perlahan.

“Semangat ya sayang.” Ucap Intan, lalu dia tersenyum dengan manisnya.

“Males.” Jawabku singkat.

“Kok gitu sih.? semangat dong yang.” Ucap Intan.

“Sebenarnya tadi aku semangat. Tapi karena kamu titip salam buat dia, aku jadi males.” Jawabku.

“Kok gitu sih Yang.? Kamu gak suka ya.?” Tanya Intan.

“Iyalah, kenapa sih pakai titip – titip salam segala.? Kamu nyindir ya.? Kamu sudah gak sayang sama aku.?” Tanyaku.

“Kamukan bagian dari jiwa dan ragaku. Dengan menyayangi dirimu, itu sama aja aku menyayangi diriku sendiri.” Ucap Intan membalikkan kata – kataku.

“Terus kenapa pakai acara titip salam buat dia.? Titip salam aja atau aku dititipin sekalian ke dia.?” Tanyaku dengan nada yang ketus, dan.

CUUPPP.

Intan mengecup bibirku lagi.

“Yang tau itu baik atau enggak untuk dirimu, hanya dirimu sendiri. Jadi kenapa ditanya ke aku.?” Tanya Intan dan dia mengembalikan kata – kataku lagi dengan telaknya. Nggatheli.

“Ada aja jawabanmu itu.” Ucapku, lalu aku berjalan kearah pintu kamarku.

“Semangat ya sayang. Hihihi.” Ucap Intan dari arah belakangku.

“Hem.” Jawabku sambil membuka pintu kamarku.

Aku melihat Joko tertidur dikamarnya dan wajahnya terlihat sangat kelelahan, setelah seminggu yang sangat luar biasa ini.

Aku lalu keluar kosan dan karena aku terburu – buru, aku mengendarai kimba menuju kampus. Perjalanan kekampus kali ini, aku melewati jalan depan kosan barbara bukan jalan yang biasa aku lewati. Jalan yang biasa aku lewati itu agak rusak. Kalau jalan kaki sih gak apa – apa, tapi kalau naik kimba lebih baik lewat depan kosan Barbara.

Treng, teng, teng, teng.

“Gilang.” Panggil seorang wanita, ketika aku melewati depan kosan Barbara.

Aku lalu menghentikan kimba dan melihat kearah suara yang memanggilku itu.

“Mba Sarah, mau kemana.?” Tanyaku ke Mba Sarah yang berdiri didepan pintu pagar kosan barbara.

Tiba – tiba pandanganku tertuju pada seorang wanita cantik, yang berdiri didepan pintu kosan. Wanita itu juga melihat kearahku, dengan tatapan yang sangat datar.

“Aku mau kekampus.” Ucap Mba Sarah yang sudah berdiri didekatku, tapi aku tidak menghiraukannya. Pandanganku masih tertuju pada wanita yang berdiri didepan pintu kosan itu.

“Gilang, kamu lihat apa sih.?” Tanya Mba Sarah sambil menoleh kearah pintu kosan dan wanita aku tatap itu, langsung masuk kedalam kosan.

“Gilang.” Panggil Mba Sarah lagi.

“Eh iya, mau kemana Mba.?” Tanyaku yang terkejut, lalu aku mengulangi pertanyaanku tadi.

“Tadi sudah kujawab, sekarang malah tanya lagi.” Ucap Maba Sarah dengan nada yang agak ketus.

“Hehehe.” Aku hanya tertawa.

“Kamu mau kemana.?” Tanya Mba Sarah.

“Kekampus.” Jawabku.

“Aku ikut ya.” Ucap Mba Sarah.

“Naiklah.” Jawabku dan Mba Sarah langsung naik kekimba, lalu melingkarkan kedua tangannya diperutku, setelah itu merapatkan dadanya dipunggungku.

Cok. kok enak. Hahahaha.

Treng, teng, teng, teng.

Aku menarik gas kimba dan Mba Sarah langsung meletakkan dagunya dipundak kananku. Nggatheli, kok makin enak ya.? Assuu, assuuu.

“Kalau melihat wanita yang tadi, jangan lama – lama. Daripada kamu dapat masalah.” Ucap Mba Sarah.

“Masalah apa.? Aku kan cuman melihat Mba. Aku gak nggangu dia kok.” Ucapku.

“Iya gak ganggu, tapi tatapanmu itu seperti membuatnya gak nyaman.” Ucap Mba sarah.

“Kenapa gak nyaman.? Aku loh biasa aja menatapnya.” Sahutku.

“Ngeyel banget sih kamu itu. Wanita itu pacarnya Rendi Bule, kamu mau diadukan kepacarnya.?” Tanya Mba Sarah yang langsung membuatku terkejut.

“Beneran dia pacarnya Rendi.?” Tanyaku.

“Iya, namanya Mery. Dia kuliah jurusan hukum dikampus negeri.” Ucap Mba Sarah, padahal aku tidak menanyakan nama dan dimana wanita itu berkuliah.

“Oooo.” Jawabku singkat dan kami berdua telah sampai didepan kampus teknik kita.

Aku berhenti diparkiran sepeda motor didepan kampus teknik kita. Diujung parkiran sana, tampak empat sekawan sedang berpesta dan memutarkan minuman.

“Tuh, ada cowoknya.” Ucap Mba Sarah yang sudah turun dari kimba.

“Emang kenapa.?” Tanyaku.

“Aku kan cuman kasih tau aja. Weee.” Ucap Mba Sarah, lalu dia memeletkan lidahnya, setelah itu dia menyebrang jalan kearah pintu gerbang kampus teknik kita.

“Barengan kenapa sih.?” Tanyaku sambil memarkirkan kimba.

“Malas.” Jawab Mba Sarah dengan cueknya dan dia terus berjalan masuk kedalam kampus. Assuuu.

“Gilang, jangan pura – pura gila ko.” Teriak Bung Toni kepadaku.

“Kenapa sih.?” Tanyaku dan aku masih berdiri didekat kimba.

“Kene sek loh. Djiancok iki.” (Sini dulu loh, jiancok ini.) Ucap Bendu.

“Iya, sombong banget sih sekarang.?” Ucap Wawan menyahut.

Akupun berjalan kearah mereka, sambil mengeluarkan rokok kretekku, lalu membakarnya. Dan setelah berada didekat mereka, aku mengepalkan tangan kananku kearah mereka satu persatu, dan mereka meninjunya bergantian.

“Ko minum dulu.” Ucap Bung Toni, sambil menuangkan segelas minuman, lalu menyodorkan kepadaku.

Aku tidak menolaknya dan aku mengambil gelas itu dengan tangan kanan, sementara tangan kiri masih memegang rokok.

“Werr.” Ucapku sambil mengangkat gelas yang terisi penuh ini.

“Werr, werr, werr,” Sahut Mereka berempat.

Glek, glek, glek, glek.

Aku meminum minuman itu sampai habis, setelah itu meletakan gelas kosongnya diatas meja.

“Ahhhh.” Ucapku lalu aku menghisap rokokku.

“Kamu ambeien ya.? Kok gak duduk.?” Tanya Rendi karena aku masih berdiri dan tidak duduk bersama mereka.

“Assuu, aku itu mau masuk kedalam. Mau asistensi tugas.” Jawabku.

“Rajin amat sih.?” Tanya Wawan.

“Bukannya gitu Wan. Ntar kalau aku duduk disini, terus keenakan, bisa bertahun – tahun aku kuliah dikampus teknik kita.” Jawabku dengan cueknya, lalu aku menghisap rokokku lagi.

“Bangsatt.” Maki Rendi.

“Ngehe.” Ucap Wawan.

“Cukimai.” Sahut Bung Toni.

“Djiancok.” Bendu ikut bersuara.

“Hahaha.” Aku lalu tertawa dan menyebrang jalan dengan santainya, menuju gerbang kampus teknik kita.

“Beneran masuk dia.?” Ucap Wawan.

“Nggatheli arek iku.” (Menjengkelkan anak itu.) Ucap Bendu dan aku hanya mengangkat jempolku, tanpa melihat kearah mereka.

Hiuufftt, huuu.

Mery. Kok aku terbayang tatapan wanita cantik itu sih.? Tatapannya datar, tapi dingin, tapi juga menyejukkan. Dia seperti wanita yang sangat special dan dia wanita yang sangat mengagumkan sekali. Beruntung banget Rendi bisa jadi pacarnya.

Tapi aku lebih beruntung sih, karena wanita yang ada didekatku lebih special dan lebih mengagumkan. Siapa lagi kalau bukan Intan. Hehehe.

“Lang.” Panggil seorang wanita dari arah depan gedung rektorat.

“Rat.” Jawabku dan dia adalah Ratna sahabatku.

“Mau kemana.?” Tanya Ratna sambil berjalan mendekat kearahku.

“Mau asistensi tugas kayu dulu.” Jawabku, lalu aku menghisap rokokku.

“Tadi setelah aku asistensi, Mbak Gendhis pergi Lang.” Ucap Ratna yang sudah berdiri didepanku.

“Oh iya.?” Tanyaku.

“Tapi sudah sejam yang lalu. Gak tau kalau sekarang.” Jawab Ratna.

“Oh gitu, aku cek keruangannya aja ya.” Ucapku.

“Ya udah, aku balik dulu ya.” Ucap Ratna.

“Oke, hati – hati ya.” Ucapku sambil mengarahkan jempolku kepadanya dan Ratna langsung tersenyum dengan manisnya.

Ratna lalu keluar kearah gerbang, sedangkan aku menuju keruangan Gendhis. Aku menghisap dalam – dalam rokokku, untuk mengurangi ketegangan didalam hatiku. Jujur aku masih canggung mau berhadapan dengan Gendhis, apalagi kami cuman berdua aja. Kami pasti akan mengobrol, walaupun itu hanya tentang tugas yang akan aku asistensikan ini.

Harusnya aku bersikap biasa aja dan pasti Gendhis bisa bersikap professional dengan tanggung jawabnya. Ahhh, jiancookk.

Aku lalu membuang puntung rokokku, ketika aku sudah berada didepan gedung ruang dosen. Aku berjalan masuk kedalam gedung dan menuju keruangan Gendis yang pintunya terbuka.

Dan ketika aku berdiri didepan ruangannya, tampak Gendhis berdiri dan sedang merapikan meja kerjanya. Terlihat dia baru saja masuk kedalam ruangannya ini.

Tok, tok, tok.

Aku mengetuk pintunya pelan dan Gendhis langsung melihat kearahku sebentar, lalu menunduk kembali.

“Masuk.” Ucapnya, lalu dia duduk dikursinya.

Hiuufftt, huuuu.

Aku menarik nafasku dalam – dalam, lalu mengeluarkannya. Setelah itu aku masuk kedalam ruangannya dan berdiri disebelah kursi dihadapan Gendhis.

Gendhis menunduk, lalu mengambil sebuah buku dan mulai menulis sesuatu.

Aku tetap berdiri, karena dia belum mempersilahkan aku duduk. Gendhis melirik kearahku sebentar, lalu melanjutkan tulisannya.

“Duduk.” Ucap Gendhis.

Aku menurunkan tas punggungku, setelah itu aku duduk dihadapan Gendhis.

“Selamat siang Mba. Saya mau asistensi tugas kayu.” Ucapku dengan sopannya dan Gendhis tidak menjawab ucapanku.

Aku pun akhirnya diam, karena aku bingung mau bicara apa disituasi yang menggathelkan ini. Gendhis sesekali melirikku, lalu dia melanjutkan lagi tulisannya.

“Mana yang mau di asistensikan.?” Tanya Gendhis tanpa melihat kearahku.

Aku membungkukkan tubuhku, lalu membuka resleting tasku dan mengeluarkan tugas kayuku. Aku meletakkan tugasku diatas meja dan lagi – lagi Gendhis hanya meliriknya, tanpa mengangkat pandangannya kearah mataku.

Bajingan. Kok gini amat ya suasananya.? Gimana aku mau bersikap biasa, kalau Gendhis bersikap dingin seperti ini. Terus bagaimana aku harus bersikap, supaya suasananya mencair.? Gak mungkin dong aku terus berbicara, dengan kondisi yang seperti ini.

Akupun langsung membuka tugasku, setelah itu memutarnya kearah Gendhis dan mendorongnya mendekat kearah tangan Gendhis.

Gendhis melihat kearah tugasku sebentar, setelah itu dia sempat menatap mataku sejenak, lalu melihat kearah tugasku lagi. Pandanganku pun langsung aku arahkan ke sekeliling atas meja Gendhis.

Dan tiba – tiba, sebuah pemandangan yang membuat emosiku naik, terlihat didekat tumpukan buku Gendhis. Sebuah kunci mobil yang ada gantungan kayu, berbentuk papan surfing dan patah dibagian tengahnya.

Gantungan seperti ini banyak dimiliki orang, tapi yang patah dibagian tengahnya, hanya satu ini. Dan patahannya, kebetulan aku membawanya didalam kantongku. Aku yakin gantungan itu patahan dari yang aku simpan, karena warna dan ukurannya sama persis dengan yang aku simpan ini.

Dan untuk memastikannya sekali lagi, aku merogoh kantong celanaku dengan tangan yang bergetar dan meraih patahan gantungan kunci yang menyelinap agak kedalam kantongku. Aku mengeluarkannya dari kantong, setelah itu aku menunduk dan melihat kearah gantungan kunci yang aku pegang, lalu melihat kearah gantungan kunci dimeja Gendhis dan menunduk lagi.

Sama cok, sama persis. Bajingaann.

Kenapa bisa Gendhis punya gantungan kunci ini.? Apa dia terlibat dengan kematian Intan.? Gak mungkin, gak mungkin seperti itu. Dia sahabat Intan dan Intan sempat menjodohkan aku dengannya. Gak mungkin kalau gantungan kunci ini milik Gendhis, gak mungkin banget. Terus kalau bukan punya Gendhis, gantungan ini punya siapa dan kenapa ada dimeja Gendhis.?

“Cek lagi hitungan pembebanannya ini. Apa dengan hitungan seperti ini, kuda – kudanya kuat menahan beban atap.?” Ucap Gendhis sambil melingkari hitungan yang aku buat.

Aku tidak menghiraukan ucapan Gendhis, karena aku terfokus dengan gantungan kunci ini.

Djiancok. Siapa sih pemilik gantungan kunci ini.? Siapa.?

Aku yang sedang emosi ini, langsung menggenggam erat patahan gantungan kunci ini. Dadaku berdetak cepat dan dan tatapan mataku sangat tajam sekali.

“Kalau diajak ngomong itu, perhatikan. Pikiranmu jangan kemana – mana.” Ucap Gendhis sambil melihat kearah mataku, dengan tatapan dinginnya.

“Yang, kunci mobilku ketinggalan ya.?” Tanya seseorang dari depan pintu ruangan Gendhis, yang posisinya ada dibelakangku.

“Iya.” Jawab Gendhis sambil meraih kunci mobil yang aku lihat dari tadi itu.

Cok. Aku langsung menoleh kearah orang yang ada didepan ruangan Gendhis dan Menatapnya dengan tajam.

Bajingan. Dia adalah Dani, anak dari Pak Danang. Assuu. Jadi dia pemilik kunci mobil ini.? Jadi dia terlibat dengan kematian Intan.? Apa ini maksud Mas Pandu waktu itu, kalau Dani yang akan menuntunku dalam kasus kematian Intan.? Bangsaatt.

Dani berjalan kearah kami dan sesekali melirik kearahku, dengan tatapan yang tidak suka.

“Coba gantungan kuncinya diganti yang agak besar, jadi gak sering ketinggalan.” Ucap Gendhis dan aku terus menatap kearah Dani, yang melihat kearah Gendhis.

Dani sekarang sudah berdiri didekat Gendhis, sambil mengambil gantungan kunci ditangan Intan.

“Janganlah. Gantungan kunci ini peninggalan dan sangat berharga sekali bagiku.” Jawab Dani sambil melirikku, tapi tidak lama. Dia seperti grogi karena aku terus menatapnya.

Peninggalan.? Apa gantungan kunci itu milik Pak Danang.? Jadi Pak Danang yang ada dibalik ini semua.? Apa Pak Danang itu Mr. Cruel.? Beneran.? Jangan, jangan dulu memvonis seperti itu, karena aku tidak mempunyai bukti lain. Bisa saja itu milik keluarganya yang lain, jadi Dani dan Pak Danang tidak terlibat masalah kematian Intan.

Tapi apa beneran begitu.? Arrgghhh. Ini semua saling terkait. Kematian Mas Hendra yang merupakan anak buah Pak Danang dan mungkin juga terkait pemecatanku yang dilakukan oleh Pak Jarot. Mungkin Pak Jarot tidak ingin nasibku seperti Mas Hendra. Bisa juga seperti itu, tapi sekali lagi aku belum punya bukti yang lain.

“Udah ah, aku balik ya.” Ucap Dani, lalu dia berjalan kearah pintu ruangan Gendhis.

Sebenarnya aku ingin mencegahnya, tapi tugasku yang dikoreksi Gendhis, belum selesai.

Aku lalu melihat kearah Gendhis dengan pikiran yang berkecamuk.

“Perbaiki lagi dan koreksi kembali semua hitungannya.” Ucap Gendhis sambil menulis dilembar asistensiku.

Aku diam dan tidak menyahut ucapan Gendhis, sambil memasukkan potongan gantungan kunci ini kedalam kantongku lagi.

Setelah Gendhis menandatangani lembar asistensiku, dia menyerahkan kembali tugasku yang telah dikoreksinya, tanpa melihat kearah wajahku. Aku mengambil tugasku, lalu memasukan kedalam tas, setelah itu aku berdiri dan keluar ruangan Gendhis tanpa berbicara apapun. Aku tidak perduli bagaimana sikap Gendhis kepadaku esok hari, yang jelas sekarang aku mau mengejar Dani dan ingin mengorek keterangan dari dia.

Aku berlari kearah luar gedung dan menuju kearah parkiran kimba, sambil mengenakan tas punggungku. Aku tidak ingin kehilangan jejak Dani dan aku harus mengikutinya. Kalau memang ada kesempatan untuk mengentikannya disuatu tempat, aku langsung menghentikannya. Tapi kalau tidak ada kesempatan, aku hanya akan mengintai kegiatannya, siapa tau dia menuntunku langsung ke Mr. Cruel.

Terlihat Dani keluar dari parkiran mobil dan memacu pelan mobilnya. Akupun makin mempercepat lariku menuju Kimba.

Dan ketika aku keluar dari gerbang kampus, seseorang berjalan dari arah perempatan jalan sana dan membuat langkah kakiku yang cepat ini langsung terhenti.

“Cak Ndut.” Ucapku terbata, karena dia adalah sopir bus yang berasal dari kotaku.

“Gi, Gilang.” Ucap Cak Ndut terbata dan wajahnya terlihat sangat sedih sekali.







#Cuukkk. Ada apa lagi ini.? Kelihatannya Cak Ndut sengaja datang kemari dan mencariku. Dia seperti membawa sebuah kabar, tapi entah kabar apa itu. Yang jelas kabar itu pasti menjacokkan dan membangsatkan. NGGATHELI.!!!
 
Selamat malam menjelang subuh Om dan Tante.

Updet Bagian 26.
Semoga bisa menghibur dan semoga masih bisa dinikmati.
Jangan lupa saran dan masukan.

Salam Hormat dan Salam Persaudaraan.
:beer::beer::beer:
 
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd