Agen Terpercaya  
 
 
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

CERBUNG - TAMAT I M P I A N 2



BAGIAN 28
BAJINGAN.!!!



Cok, kabar yang dibawa Cak Ndut ini terus terang membuat pikiranku tak menentu. Tidak ada angin, tidak ada hujan, tidak ada sakit dan tidak ada tanda apapun, kedua orang tua sahabatku dipanggil Sang Pencipta. Aku gak bisa membayangkan bagaimana perasaan Joko, ketika mendengar kabar yang sangat – sangat membangssatkan ini. Aku saja sangat sedih sampai tidak bisa berpikir dengan jernih, apalagi Joko. Dia pasti sangat terpukul dan perasaannya akan benar – benar hancur lebur sekali. Bajingan.

Aku bingung harus berbuat apa dan aku gak tau harus bagaimana. Panggilan dari empat sekawan yang masih nongkrong diparkiran, pada saat aku membonceng Cak Ndut waktu kekosanku tadi, sampai tidak aku hiraukan.

Pikiranku semakin kalut ketika berhadapan dengan Joko. Aku tidak sampai hati untuk mengucapkan kabar ini dan tengorokanku tercekat melihat wajahnya itu. Bibirku tidak mampu mengucapkan sepatah katapun dan akhirnya Cak Ndut yang mengabarkan berita duka itu.

Belum pernah aku seperti ini ketika menghadapi Joko. Aku yang biasanya tenang dan mampu mengendalikan diriku, sekarang tak mampu berbuat apa – apa. Apalagi ditambah dengan tatapan kesedihan yang teramat dalam dimatanya, membuatku semakin diam membisu.

Awalnya memang Joko tidak percaya mendengar kabar dari Cak Ndut, tapi setelah wajah Cak Ndut menunjukan kesedihan, akhirnya tangis Joko pecah juga.

Aku hanya bisa memeluk dan sedikit menenangkan Joko, walaupun aku tau itu tidak mungkin bisa membuat Joko tenang sepenuhnya.

Aku terus memeluknya dan mengajaknya untuk pulang kedesa. Perlahan Joko diam membisu dan membuatku semakin panik saja. Aku langsung meninggalkannya dan mempersiapkan keberangkatan kami ke desa, secepat mungkin.

“Kamu beneran naik kimba kedesamu Lang.?” Tanya Mas Candra yang baru datang dikosanku.

“Iya Mas. Aku harus segera membawa Joko balik kedesa.” Jawabku sambil mengenakan switer pemberian adikku Lintang.

“Kenapa gak sekalian naik mobilnya Jago sih.?” Tanya Mas Candra.

“Terlalu lama nunggunya Mas.” Jawabku.

“Iya sudahlah. Nanti aku, Cak Ndut dan Jago menyusul.” Ucap Mas Candra.

“Iya Mas.” Ucapku, lalu aku berjalan ke arah kamarku untuk berpamitan kepada Intan.

“Lang.” Ucap Intan dan wajahnya terlihat sangat – sangat khawatir sekali, ketika aku membuka pintu kamarku.

“Aku pulang kedesa dulu ya Tan.” Ucapku sambil menutup pintu kamarku dan mendekat ke arahnya.

Intan langsung memeluk tubuhku dan mengelus punggungku pelan.

“Tenangkan pikiranmu Yang. Jangan ikut panik dan larut dengan kesedihan. Aku tau kedua orang tua Joko, juga kau anggap orang tuamu sendiri. Tapi kamu harus tenang, karena hanya kamu yang bisa memenangkan Joko dalam situasi seperti ini.” Ucap Intan sambil menatap wajahku dan merangkul tubuhku.

“Aku gak tau Tan. Aku gak tau bisa tenang atau tidak, dengan keadaan yang sangat menjancokan ini.” Ucapku dengan suara yang bergetar.

“Kalau kamu tidak bisa menenangkan dirimu, siapa yang akan menenangkan Joko.? Dia terpukul Yang, sangat terpukul sekali. Dia butuh kau tenangkan, bukan butuh kepanikan dan kesedihanmu. Kamu sahabat dan saudara yang bisa mengerti Joko dalam kondisi apapun.” Ucap Intan dengan lembutnya, sambil membelai pipiku.

“Dia membutuhkan dukungan dan ketenangan seorang Gilang Yang.” Ucap Intan lagi, lalu.

CUUPPP.

Dia mengecup pipi kananku dengan lembut.

Hiufftttt, huuuuu.

Aku menarik nafasku dalam – dalam, lalu aku mengeluarkannya perlahan. Aku mengeluarkan hembusan nafasku dengan agak bergetar, disertai butiran air mataku yang menetes.

“Menangislah dipelukanku Yang, menangislah. Tapi cukup disini saja air matamu keluar. Nanti pada saat kamu memeluk Joko, jangan ada air matamu yang terlihat lagi.” Ucap Intan sambil memelukku, lalu wajah sampingnya disandarkan didadaku.

Cok. benar apa yang dikatakan Intan ini. Aku harus menguatkan diriku dan aku tidak boleh larut dengan kesedihan, ketika bersama Joko. Aku harus menguatkan dia, bagaimanapun caranya.

Perlahan aku membalas pelukan Intan dan mendekapnya dengan sangat erat sekali. Aku menumpahkan semua kesedihan dan tangisanku, dipelukan wanita yang sangat kucintai ini.

“Lang.” Terdengar suara Cak Ndut dari depan kamarku.

Aku dan Intan langsung melepaskan pelukan kami.

“Iya Cak.” Sahutku dan Intan langsung membersihkan air mataku, diiringi senyuman yang keluar dari bibirnya. Senyuman itu seolah memberikan kekuatan dan ketegaran kepada diriku, untuk menghadapi semua permasalahan ini.

“Sabar ya.” Ucap Intan sambil mengelus dadaku pelan dan aku hanya mengangguk pelan.

“Aku pamit.” Ucapku pelan, dan.

CUUPPP.

Intan mengecup bibirku dengan lembutnya, setelah itu dia mengusap bibirku dengan jempolnya.

Aku lalu membalikkan tubuhku dan membuka pintu kamarku. Terlihat Joko masih berdiri didepan kamarnya dengan tatapan mata yang kosong.

“Aku naik kimba cak. Sampean bareng Mas Candra ya.” Ucapku kepada Cak Ndut.

“Aku itu gampang Lang. Yang penting sekarang itu, kamu segera bawa Joko ke desa.” Ucap Cak Ndut sambil menepuk pundakku.

“Iya Cak. Aku duluan ya.” Ucapku.

“Hati – hati Lang.” Ucap Cak Ndut dan aku langsung berjalan ke arah Joko.

“Ayo Jok.” Ucapku sambil merangkul pundak Joko dan dia tidak menyahut ucapanku ini.

Akupun merangkul Joko, sambil berjalan ke arah depan kosan. Cak Ndut dan Mas Candra mengiringi langkah kami berdua dari belakang.

Kretek, kretek, tek, tek, tek. Teng, teng, teng.

Aku menyalakan mesin kimba dan Joko berdiri didekatku. Aku lalu naik keatas kimba, sambil menurunkan kimba dari standart dua.

“Cak.” Ucapku ke Cak Ndut.

Cak Ndut paham dengan sapaanku ini dan dia langsung menuntun Joko naik keatas kimba.

“Kamu serius bawa Joko dalam kondisi seperti ini, naik kimba kedesamu.?” Tanya Mas Candra.

“Iya Mas.” Ucapku dan Joko sudah duduk dibelakangku. Aku lalu meraih kedua tangan Joko dan melingkarannya diperutku.

“Jauh loh Lang. Nanti kalau ada apa – apa dijalan bagaimana.?” Tanya Mas Candra dengan khawatirnya.

“Percaya sama aku Mas.” Ucapku dan Joko langsung meletakkan keningnya dipunggungku.

“Iya sudah. Hati – hati ya.” Ucap Mas Candra sambil menepuk pundakku pelan.

“Iya Mas. Kami duluan ya.” Pamitku sambil melihat ke arah Mas Candra, lalu melihat ke arah Cak Ndut. Mereka berdua mengangguk pelan dan terlihat dari jendela kamarku, Intan melihatku sambil melambaikan tangannya.

Kletek, trenteng, teng, teng.

Aku memasukan perseneling kimba, lalu menarik gas kimba pelan, meninggalkan kosanku.

Hiuufftt, huuuu.

Bajingaann. Ketika masalah pekerjaan sudah mulai teratasi, sekarang kami harus dihadapkan dengan kedukaan ini. Aku yakin semua ini akan mempengaruhi mental Joko dan ada kemungkinan dia akan menetap didesa. Dia pasti tidak ada semangat untuk meraih impiannya lagi dan aku pasti sangat kesulitan, untuk mengajaknya kembali ke Kota Pendidikan ini. Assuuu.

Joko, sedih sekali aku melihat kondisinya yang seperti mayat hidup ini. Ini kesedihan yang sangat luar biasa yang pernah aku lihat diwajahnya. Dia tidak menangis atau berbicara sedikitpun kepadaku. Dia hanya diam sambil menempelkan keningnya dipunggungku dan kedua tangannya merangkul perutku.

Trenteng, teng, teng.

Aku mulai menarik gas kimba dengan kecepatan tinggi, ketika aku sudah sampai dijalan raya. Focus dengan ramainya jalan dan focus dengan Joko yang merangkulku, itu yang aku lakukan selama perjalanan ini.

Aku menguatkan hatiku selama perjalanan ini, agar aku tidak larut dengan kesedihan yang ada dipikiranku dan akan semakin menambah buruk situasi yang dialami Joko. Berkali – kali kimba yang kukendarai ini ingin menabrak kendaraan yang ada dilajur kami, maupun kendaraan dijalur sebelah ketika aku menyalip kendaraan didepanku.

Tenang Lang, tenang. Boleh buru – buru tapi jangan ngawur. Jangan sampai ingin memburu pulang secepatnya, tapi justru sampainya malah kealam lain.

HUUPPP.

Tiba – tiba dadaku terasa sakit sekali dan jantungku terasa seperti berhenti berdetak. Sakit ini lagi – lagi datang, ketika aku menghadapi situasi yang sangat membangssatkan seperti ini.

HUUPPP.

Sakit dan sakit sekali terasa didadaku.

Bangssat. Jangan datang dulu dan cukup seperti ini saja rasa sakitnya, jangan bertambah lagi. Aku sedang terburu – buru dan aku harus segera sampai kedesa secepatnya. Nanti saja setelah aku menyelesaikan semuanya, datanglah lagi walaupun nyawaku harus melayang karena rasa sakit ini. Bajingaannn.

HUUPPP.

Aku menahan rasa sakit yang sangat luar biasa dan aku melawan rasa sakit ini sekuat tenagaku.

HUUPPP.

Rasa sakit ini tidak akan menghentikan aku, tapi justru aku akan terus melaju dijalanan ini.

“Hiuft, huft, huft, huft.” Aku menarik nafasku pendek.

“Hu, hu, hu, hu, hu.” Lalu mengeluarkannya pendek juga.

Kuat Lang, kuat. Kamu harus bisa melawannya.

Berkali – kali kimba oleng karena aku harus menahan rasa sakit ini, tapi aku masih bisa menstabilkan stir kimba dijalanan ini lagi.

“Hiuft, huft, huft, huft.” Kembali aku menarik nafasku pendek.

“Hu, hu, hu, hu, hu.” Lalu mengeluarkannya pendek lagi.

Perlahan rasa sakit ini mulai pergi dan aku langsung menarik nafas panjangku.

“Hiuuuufffftttttt.”

“Huuuuuuu.” Nafas panjangku aku keluarkan dan dadaku sekarang tidak sesakit tadi.

Sekarang waktunya focus dijalanan lagi dan jangan sampai lengah.

Trenteng, teng, teng.

Kimba terus melaju dan aku berhenti hanya dua kali untuk mengisi bahan bakar. Selama dua kali mengisi bahan bakar itupun, Joko tidak mengeluarkan sepatah katapun. Dia hanya turun, lalu naik lagi dan merangkul perutku serta menempelkan keningnya dipunggungku.

Hiuuffttt, huuuu.

Akhirnya dadaku sudah benar – benar tidak sakit lagi.

Setelah perjalanan yang panjang dan sangat melelahkan, gerbang Desa Sumber Banyupun mulai terlihat. Aku memelankan kecepatan kimba, ketika sudah masuk kedalam jalan desa.

Perjalanan kerumah Joko inipun melewati rumah Kinanti. Dan pada saat akan melewati rumah Kinanti, terlihat tiga mobil terparkir didepan rumahnya. Beberapa orang terlihat berpakaian rapi dan sedang membawa seserahan untuk digunakan sebagai lamaran. Orang – orang itu adalah keluarga besar dari Pak Nyoto, Ayah dari Guntur.

Cok. Kinanti mau lamaran hari ini.? Beneran.? Kok dia gak ngomong sama aku, waktu terakhir ketemu minggu lalu.? Kenapa dia harus menyembunyikan kabar yang sangat – sangat menggathelkan ini kepadaku.? Bajingann.

Kinanti. Apasih maksudmu itu.? Hari itu kamu jujur kepadaku tentang alasan kenapa kamu memutuskan aku. Kamu juga bilang kalau kamu akan menikah dengan Guntur, setelah selesai kuliah. Tapi kenapa hari ini sudah lamaran.? Kamu juga sudah tau bagaimana sifat bangssatnya Guntur, yang bermain dengan wanita lain dibelakangmu. Katanya kamu kecewa dan sakit hati kepada dia. Tapi kenapa hari ini kamu dilamar dan pasti kamu menerimanya. Tidak mungkin kamu menolak lamaran itu, ketika keluarga besarnya sudah datang kerumahmu. Aku yakin itu. aku yakin kamu menerimanya. Bajingan.

Kamu sudah membohongi aku lagi Kinanti. Kamu sudah membohongi aku. Entah apa arti tangismu malam itu, tapi hari ini hatiku semakin sakit dan kecewa kepadamu.

Cok. kok aku malah mikirin ini ya.? Terserah dia mau menerima lamaran atau mau menikah sekalipun, dengan laki – laki manapun. Kami berdua kan sudah tidak ada hubungan sama sekali. Lagian masih ada hal yang lebih penting aku pikirkan saat ini. Jadi untuk apa aku memikirkan wanita yang sudah menyakiti aku berkali – kali itu. Assuu.

Kinanti. Arrghhhh. Cuukkk. Cukup – cukup, jangan sebut nama wanita itu dan jangan pikirkan dia lagi. Bajingan.

Trenteng, teng, teng.

Aku tarik gas kimba, ketika melewati rumah wanita itu. Pak Nyoto dan Bu Nyoto yang berdiri dibelakang mobilnya pun, tampak terkejut dan melihat ke arahku.

Aku tidak menghiraukan tatapan mereka, justru aku menarik gas kimba agak kencang lagi dijalan desaku ini. Aku sangat marah dan emosi sekali. Entah marah dan emosiku ini karena mengetahui wanita itu dilamar, atau karena ingin segera sampai dirumah Joko. Entahlah aku gak tau.

Tapi jujur, saat ini bukan hanya sedih yang aku rasakan. Aku juga merasakan kekecewaan yang mendalam dan kemarahan yang sangat luar biasa didalam diriku. Jiancokk.

Beberapa saat kemudian, tampak puluhan orang terlihat berdiri didepan rumah Joko dan melihat ke arah kami. Aku lalu menghentikan kimba tepat di depan rumah Joko dan kembali aku menenangkan diriku disituasi yang sangat bajingan sekali ini.

Mbahnya Joko langsung berdiri melihat kedatangan kami dan berjalan ke arah kami.

Hiuuffttt, huuuu.

Aku menarik nafas panjangku, setelah itu mengeluarkannya perlahan. Entah sudah berapa kali aku melakukan ini dan hanya itu yang bisa sedikit menenangkan saat ini.

“Jok.” Panggilku sambil mematikan mesin kimba.

Joko mengangkat keningnya dari punggungku dan dia langsung turun dari kimba. Joko tidak masuk kedalam rumahnya dan dia justru berdiri sambil menunduk, seperti yang dilakukannya ketika mengisi bensin tadi.

Cok. Rupanya dia tidak sadar kalau kami sudah sampai dirumahnya. Mungkin dia mengiranya kami akan mengisi bensin lagi.

“Le.” Panggil Mbahnya Joko, kepada cucu tersayangnya itu.

“Mbah.” Jawab Joko yang terkejut sambil mengangkat wajahnya.

Simbah langsung memeluk Joko dengan eratnya dan mata beliau langsung berkaca – kaca. Suasana yang haru dan sedih, langsung terasa ditempat ini. Orang – orang yang ada disekeliling kamipun, tampak meneteskan air matanya melihat kedatangan dan kesedihan dari Joko.

Simbah langsung melepaskan pelukannya dan merangkul Joko untuk masuk kedalam rumahnya.

Aku lalu memarkirkan Kimba didepan rumah tetangga Joko.

“Mas.” Panggil adikku Damar ketika aku sudah memarkirkan kimba.

“De.” Ucapku lalu Damar meraih tanganku dan mencium punggung tangan kananku.

Aku langsung memeluk tubuh adik laki – laki kesayanganku ini dengan erat dan meluapkan kerinduanku kepadanya.

“Bagaimana kabarmu de.?” Tanyaku sambil mengelus punggung Damar.

“Baik Mas. Sampean sendiri bagaimana.?” Tanya Damar sambil mengangkat wajahnya, dengan tetap memelukku.

“Melihatmu baik, aku pasti lebih baik de.” Jawabku dan Damar kembali mendekap tubuhku dengan erat.

“Le.” Suara Bapakku dari arah belakangku.

“Bapak.” Ucapku sambil melepaskan pelukanku di adikku, lalu aku membalikan tubuhku.

Seorang laki – laki paruh baya dengan tubuh yang tegap, menatapku dengan pandangan cinta dan kangen yang sangat luar biasa.

Aku meraih tangan kanan Bapakku, lalu aku mencium punggung tangan kanannya dan setelah itu memeluknya dengan sangat erat sekali.

Perasaanku campur aduk dan itu membuat air mataku perlahan menetes. Bayangan wajah Bapaknya Joko pun terlintas dipikiranku. Bajingaann.

Aku masih mempunyai kesempatan untuk memeluk orang tuaku dan selama ini aku malah jarang melakukannya.? Seberapa jauhnya sih, jarak Kota Pendidikan dengan desaku.? Kenapa aku tidak pulang seminggu sekali, untuk berkumpul dengan keluargaku. Apa tidak terlintas sedikitpun dipikiranku, kalau sewaktu – waktu hal yang di alami Joko ini bisa saja menimpaku.? Bangsaattt. Bodoh banget sih aku. Apa aku harus menyesal dulu, baru aku sadar.? Assuu.

Aku lalu mengeratkan pelukanku ini, untuk meluapkan apa yang ada didalam diriku. Cinta, sayang dan kangen, tidak mampu aku ucapkan. Hanya pelukan ini yang mampu aku lakukan.

Cok. Ternyata aku masih membutuhkan pelukan Bapakku, aku masih membutuhkan bimbingan Bapakku, aku masih membutuhkan tuntunan tangan Bapakku, aku masih ingin bermanja dengan Bapakku, aku masih ingin melihat senyum Bapakku dan aku masih belum bisa membahagiakan Bapakku.

Gila, aku gak bisa membayangkan kalau seandainya Bapakku yang meninggalkan aku, dengan tiba – tiba seperti Bapaknya Joko. Mungkin aku akan menggila seperti Joko, atau bahkan bisa lebih lagi.

Semoga saja Sang Pencipta memberikan umur yang panjang bagi Bapak dan Ibuku, sehingga aku bisa membalas semua jasa – jasa beliau berdua.

Dekapan Bapak ditubuhku dan elusannya dipunggungku, membuat pikiranku yang banyak masalah dan tegang ini, langsung terasa tenang dan damai.

“Tresno kanggo manungso, mung amergo katresnane marang Gusti Pengeran sing Nyipta'aken manungso Le" (Cinta kepada seorang manusia, hanya dikarenakan kecintaan kepada Sang Pencipta yang telah menciptakan manusia Nak.) Bisik Bapakku ditelingaku dan aku seperti tersirap dengan ucapan Bapakku ini. Aku seperti dibisikan sesuatu dan Bapakku menarik jiwaku kebawah alam sadarku.

Dengan linangan air mata yang terus mengalir, akupun langsung memejamkan kedua mataku sambil menarik nafasku dalam – dalam.

Hiufftt, huuuu.


Aku mengeluarkan nafasku perlahan, sambil membuka kedua mataku lagi.

Dan betapa terkejutnya aku, ketika aku menyadari bahwa aku bukan didepan rumah Joko lagi. Aku sekarang berada didalam hutan, dipinggir sungai mata air desaku. Hutan yang sangat angker dan mata air yang sangat skral sekali.

Akupun langsung melepaskan pelukanku pada Bapak, sambil memundurkan tubuhku.

“Ke, kenapa kita bisa sampai disini Pak.?” Tanyaku dengan terbata, sambil menghapus air mataku yang mengalir.

“Karena hatimu sedang bersedih, dengan semua permasalahan yang ada dipikiranmu Le.” Ucap Bapakku dan pandangan mata beliau sangat meneduhkanku.

Gila, rupanya Bapakku merasakan apa yang aku rasakan saat ini. Jarang sekali loh beliau mencampuri segala urusanku selama ini. Dulu setiap aku mempunyai permasalahan dan pulang kerumah, Bapak pasti menyambutku dengan tepukan dipundak dan meremasnya pelan.

Gusti Pengeran itu memberikan petunjuk bisa melalui kesenangan, kesedihan, kebahagian ataupun penderitaan. Kita itu sudah diberi jalan dan tinggal kita mau apa tidak, mengikuti jalan kebenaran yang telah ditunjukannya itu. Lakukan apa yang bisa kita lakukan, sisanyanya kita serahkan kepada Gusti Pengeran. Itu kata kata – kata Bapakku ketika aku sedang menghadapi suatu masalah, Hanya itu dan beliau tidak mencampuri lagi urusanku selanjutnya. Beliau menyerahkan sepenuhnya kepadaku dan beliau percaya aku pasti bisa menyelesaikannya.

Tapi kali ini Bapak sepertinya tau kalau aku sudah terlalu banyak masalah dan butuh seseorang untuk bercerita, sampai beliau membawaku kebawah alam sadarku. Gila.

Hiuffttt, huuuu.

“Jangan jadi manusia yang merasa pintar nak, tapi jadilah manusia yang pintar merasa. Pekalah dengan sekelilingmu, maka kamu akan menemukan jalan yang kamu cari dan sudah ditunjukan Gusti Pengeran.” Ucap Bapak sambil menepuk pundakku pelan.

“Terlalu banyak masalah kehidupan yang Gilang hadapi Pak. Mulai dari percintaan, kuliah, pekerjaan, sampai kesedihan yang dialami Joko saat ini yang pasti akan merubah jalan impian kami berdua.” Ucapku yang entah kenapa, aku mulai bercerita semua permasalahanku dengan lugasnya kepada Bapakku. Padahal selama ini aku tidak pernah bercerita seperti ini kepada beliau.

“Baik dan buruknya jalan hidupmu, semua itu adalah akibat dari perbuatanmu sendiri.” Ucap Bapakku.

“Kamu tidak mensyukuri semua yang sudah kamu dapatkan dan kamu terlalu berambisi dengan impianmu.” Ucap Bapakku dan aku langsung menunduk mendengar ucapan Bapakku ini.

“Jangan terlalu berharap, agar kamu tidak mudah kecewa nantinya. Sabar dengan segala penantianmu dan ikhlaskan sesuatu yang memang bukan milikmu. Mudahkan.?” Ucap Bapakku lagi dan langsung membuat emosiku perlahan naik kekepala.

“Sabar yang bagaimana Pak.?” Tanyaku dengan nada yang agak tinggi dan ini pertama kalinya aku berkata kurang ajar sekali kepada Bapakku. Aku mengatakannya sambil mengangkat wajahku dan melihat ke arah Bapakku.

Tidak pernah sekalipun aku meninggikan nada berbicaraku kepada Bapak, walaupun aku banyak masalah. Tapi saat ini aku melakukannya dengan sangat reflek sekali, sampai aku berani menatap mata beliau. Entah kenapa aku bisa seperti ini. Apa karena suasana hatiku yang sedang kacau atau pengaruh dari suasana hutan yang sangat angker ini.? Entahlah, aku gak tau.

“Sabar dengan situasi yang terus menjerumuskan Gilang.? Sabar dengan perlakuan orang yang sudah terlalu kurang ajar kepada Gilang.? Sabar padahal Gilang sudah berada dititik nadir kehidupan.?” Tanyaku yang semakin kurang ajar saja.

“Terus sekarang Gilang harus ikhlas yang seperti apa Pak.? Ikhlas walaupun dibohongi oleh cinta.? Ikhlas walaupun dipecat dari pekerjaan dan kita tidak tau kesalahan kita.? Ikhlas walaupun tidak mendapatkan beasiswa karena kebohongan seseorang.? Ikhlas dengan hinaan dan celaan orang lain.” Tanyaku dan aku mengeluarkan semua unek – unek yang aku pendam dikepalaku.

“Oke, oke. Gilang akan sabar dan ikhlas dengan semua itu. Gilang akan melupakan semuanya. Biar Gusti Pengeran dan karma yang membalasnya nanti.” Ucapku dan Bapak hanya tersenyum mendengarkannya.

Senyum Bapak inipun kembali meluluhkan hatiku dan aku langsung merasa sangat bersalah sekali. Jiancookk.

Kenapa bisa aku sekurang ajar ini kepada Bapakku.? Harusnya aku bisa menahannya dan aku bisa berbicara dengan sangat sopan. Kata – kataku pun harusnya bernada pelan, tidak setinggi ini. Durhaka sekali aku jadi anak. Bajingan.

“Kamu itu bagaimana sih Le.? Katanya sudah sabar dan ikhlas, tapi kamu malah bicara karma. Sabar dan Ikhlas yang bagaimana maksudmu itu.?” Tanya Bapakku dengan suara lembutnya dan hatiku semakin merasa sangat bersalah sekali.

“Sabar, marah, ikhlas dan dendam itu, bedanya tipis. Tipis banget. Lebih tipis dari helaian rambutmu.” Ucap Bapak dan aku hanya diam mendengar nasehat Bapak.

“Jangan sampai kamu terjerumus dengan ‘kesabaran dan keikhlasanmu’ itu Le, jangan sampai. Kalau tidak, kamu tidak akan sampai pada impian yang kamu kejar selama ini.”

“Ingatlah, impian yang kamu kejar selama ini tidak akan membuat kami bangga dan bahagia, karena bukan itu yang kami harapkan. Yang kami harapkan itu, kamu menemukan hakekat impian yang sebenarnya. Impian sejatinya kehidupan yang akan menuntunmu, pada jalan kebahagian di kehidupan yang abadi kelak.” Ucap Bapak dan aku makin terdiam, merenungi setiap perkataan Bapak yang seolah – olah menusuk jantungku.

Bajingaann. Jadi apa yang telah aku lakukan selama ini salah kah.? Apa aku terlalu mengikuti nafsu dan ambisiku.? Jadi impianku selama ini buta dan aku tidak mengikuti jalan yang sudah digariskan.? Begitu maksudnya.?

“Tidak ada yang salah dengan impianmu selama ini Le, tidak ada. Kamu hanya perlu menambahkan kesabaran dan keikhlasan yang sebenar - benarnya, maka kamu akan menemukan jalanmu.” Ucap Bapak, sambil membelai rambutku.

“Untuk masalah cintamu, jangan pernah menyalahkan dirimu sendiri atau menuntut kepada Gusti Pengeran. Yang sudah menjadi milik orang lain dan sudah menjadi milikNya, lepaskan. Percayalah, disaat itu kamu akan menemukan ketenangan dalam kehidupan ini.” Ucap Bapakku lagi dan langsung membuat mata hatiku terbuka dengan lebarnya.

Aku langsung memeluk Bapakku lagi dengan sangat eratnya, dan Bapak membalas pelukanku sambil mengelus punggungku pelan.

“Maafkan Gilang Pak, maafkan Gilang yang bodoh ini.” Ucapku dengan air mata yang kembali menetes.

“Sudahlah Nak. Terkadang kita bisa salah dalam melihat, mendengar dan mengucap. Tapi percayalah pada hatimu yang tidak bisa dibohongi dan membohongi.” Ucap Bapakku dan air mataku semakin deras mengalir.




“IBUUUU.” Teriak Joko yang mengejutkanku dan aku langsung membuka kedua mataku yang terpejam.

“Masuk dan tenangkan Joko Le.” Bisik Bapakku dan aku langsung tersadar, kalau aku sudah berada didepan rumah Joko lagi.

“I, i, iya Pak.” Ucapku sambil melepaskan pelukanku di Bapak, lalu aku membersihkan sisa air mataku yang menetes.

“Jangan menangis dihadapan Joko atau dia akan semakin bersedih.” Ucap Bapak dan lagi – lagi beliau menepuk pundakku, lalu meremasnya pelan.

“Sekarang masuklah.” Perintah Bapak.

“I, i, iya Pak.” Jawabku dan aku langsung berlari ke arah pintu rumah Joko.

Terlihat Joko menangis histeris dan dia mencoba melepaskan pelukan dari orang – orang yang menahannya. Tidak ada satupun dari keluarganya yang mampu menenangkan Joko dan aku langsung mememeluknya dari belakang.

Aku mencoba menenangkan sahabatku yang sedang menggila ini, dengan bersusah payah. Beberapa saat kemudian, akhirnya Joko bisa sedikit tenang. Aku bisa membujuknya untuk menenangkan diri dan membujuknya agar Bapak serta Ibunya segera dimandikan, dipakaikan kain kafan, melakukan ibadah, lalu segera menguburkannya.

Pada saat proses memandikan jenazah, aku keluar rumah Joko karena hanya pihak keluarga saja yang boleh melakukannya.

Aku duduk disebelah rumah Joko bersama Damar adikku.

“Ibu sama Lintang dimana de.?” Tanyaku kepada Damar, lalu aku menyalakan rokok kretekku.

“Di dapur sana Mas.” Ucap Damar sambil menunjuk arah rumah Joko.

“Sehat to Ibu.?” Tanyaku lalu aku menghisap rokokku.

“Iya Mas. Tapi..” Ucap Damar terpotong dan aku langsung melirik ke arahnya.

“Tapi apa.?” Tanyaku yang khawatir ada apa – apa dengan Ibuku.

“Tapi sampean jangan mikir ya Mas.” Ucap Damar dengan wajah yang sedikit ketakutan.

“Sudahlah ngomong aja.” Ucapku dengan tegasnya.

“Mba Kinanti lamaran hari ini.” Ucap Damar dengan suara yang bergetar dan dia tidak berani menatapku.

“Terus hubungannya sama Ibu apa de.?” Tanyaku.

“Loh, Mas kok gak kaget dengar berita ini.?” Damar bertanya balik, sambil melihat ke arahku dan dia tidak menjawab pertanyaanku.

“Kamu itu ditanya malah tanya balik.” Ucapku lalu aku menghisap rokokku lagi.

“Hehe.” Damar tertawa sambil menggaruk kepalanya.

“Ibu itu kepikiran sampean kalau mendengar Mba Kinanti dilamar.” Ucap Damar.

“Ohhh. Kirain kenapa.” Ucapku dengan santainya.

“Kok sampean nyantai gitu Mas.? Sampean gak kepikiran gitu.?” Tanya Damar.

“Untuk apa aku mikirin de.? Kami kan gak ada hubungan apa – apa lagi.” Jawabku sambil melihat ke arah depan.

“Tapi sampean masih cinta kan.?” Tanya Damar dan aku langsung meliriknya.

“Enggak. Lagian yang sudah jadi milik orang lain, buat apa dipikirin. Lebih baik dilepaskan.” Ucapku dengan entengnya, walaupun masih ada rasa sakit didalam hati ini.

Iya, pasti ada rasa sakit didalam hatiku, karena aku dulu benar – benar mencintainya. Walapun sekarang aku belajar ikhlas melepaskan, seperti apa yang diucapkan Bapak ketika di alam bawah sadarku tadi, tapi goresan didalam hati ini tidak akan mudah hilang.

“Gitu dong. Itu baru Masnya Damar. Gak usah dipikirin wanita yang sudah meninggalkan kita. Masih banyak wanita dialam semesta, dibenua, dinegara, dipropinsi, dikota dan didesa ini.” Ucap Damar.

“Kok pinter ngomong wanita kamu de.?” Tanyaku.

“Hehehe, itu anu mas. Itu anu.” Ucap Damar sambil menggaruk kepalanya pelan.

“Anu, anu. Awas kamu pacaran aja ya.” Ucapku sambil menjewer telinga Damar pelan menggunakan tangan kanan dan tangan kiri memegang rokok.

“Ampun Mas, ampun.” Ucap Damar dan aku langsung melepaskan jeweranku.

“Le.” Ucap seseorang yang memanggilku.

Aku langsung melihat ke arah orang itu dan ternyata dia Pakde Sanjaya, Bapak dari Mas Hendra Sanjaya yang meninggal di Kota Pendidikan.

Aku terkejut beliau memanggilku, karena jujur kami tidak saling kenal secara dekat. Aku hanya mengenal Pakde Sanjaya, karena beliau penduduk desa ini dan rumahnya dipinggiran Desa Sumber Banyu.

Pakde Sanjaya ini orang asli Desa Sumber Banyu. Kalau mau dirunut silsilah, pasti masih ada hubungan keluarga denganku. Tapi itu hubungan yang sangat jauh sekali. Aku dan Jokopun sebenarnya masih punya hubungan saudara, tapi jauh juga. Itulah Desa Sumber Banyu, penduduk aslinya pasti masih ada saling keterikatan hubungan.

“Iya Pakde.” Ucapku sambil berdiri dan aku membuang batang rokokku.

“Bisa berbicara sebentar.?” Ucap Pakde Sanjaya.

“Oh iya Pakde.” Jawabku sambil mengangguk pelan.

“Mas.” Panggil Damar dengan tatapan yang terlihat sedikit heran.

“Aku tinggal sebentar.” Ucapku sambil melihat ke arah Damar, lalu memalingkan wajahku ke arah Pakde Sanjaya.

Kami berdua pun langsung berjalan agak menjauh dari rumah Joko. Dan ketika aku berjalan disebelahnya, aku merasakan aura yang membuat tubuhku merinding. Aku seperti merasa seperti ada sesuatu ditubuh Pakde Sanjaya, tapi entah apa itu. yang jelas sekujur tubuhku merinding dibuatnya.

Beberapa saat kemudian, Aku dan Pakde sudah berdiri berhadapan. Tatapan mata beliau terlihat agak berbeda dan semakin membuatku merinding. Bajingaannn. Ada apasih ini.? Kok bisa seperti ini ya suasananya.?

Pakde Sanjaya mengeluarkan sesuatu dari dalam kantongnya dan menyerahkannya kepadaku.

“Apa ini Pakde.?” Tanyaku dengan herannya, sambil melihat ke arah sebuah kotak kecil berwarna merah hati.

Aku hanya melihatnya, tanpa aku menerimanya. Akupun mencoba bersikap seperti biasa, untuk menutupi rasa takut yang perlahan mulai keluar dari dalam tubuhku.

“Ini cincin tunangan Hendra anakku, yang akan diberikan kepada kekasihnya.” Ucap Pakde Sanjaya, sambil membuka kotak itu. Sebuah cincin bermata biru muda yang sangat cantik, terselip dibagian tengah kotak itu.

Cok. siapa kekasih Mas Hendra.? Bukannya dia mencintai Intan, walaupun Intan tidak membalas cintanya. Jadi siapa wanita yang menjadi pujaan hati Mas Hendra, sampai Mas Hendra mau melamarnya.?

Aku yang terkejut ini, membuat suasana hatiku perlahan tidak takut lagi.

“Intan. Nama wanita itu Intan.” Ucap Pakde Sanjaya dan aku makin terkejut dibuatnya.

“Hendra menceritakan semuanya kepadaku, sehari sebelum dia ditemukan tewas di Kota Pendidikan.” Ucap Pakde Sanjaya, lalu beliau menghentikan ceritanya.

Mata Pakde Sanjaya terlihat berkaca – kaca dan dia mencoba menelan ludahnya dengan agak berat.

“Hari pada saat dia meminta ijin untuk melamar Intan, aku sudah mencoba menahannya. Aku melakukan itu, karena perasaanku tidak enak dan aku merasa ada sesuatu yang akan terjadi pada Hendra. Hendra memang bercerita kalau Intan tidak mencintainya, tapi dia ingin membuktikan ketulusan cintanya dengan melamar Intan.” Ucap Pakde Sanjaya lalu menghentikan ceritanya sejenak.

“Bukan masalah cintanya yang membuatku khawatir, melepaskan kepergian Hendra waktu itu. Tapi kantor tempat dia bekerja yang membuatku kepikiran.” Lanjut Pakde Sanjaya bercerita.

“Maksudnya Pakde.?” Tanyaku dan sekarang aku sudah sangat – sangat santai sekali

“Bosnya Hendra yang bernama Pak Danang, memaksa Hendra membuat laporan akhir yang tidak sesuai data dilapangan. Hendra tidak mau dan dia selalu diteror beberapa minggu sebelum kematiannya.” Ucap Pakde Sanjaya dan membuatku semakin terkejut.

“Apa kematian Mas Hendra ini ada hubungannya dengan Pak Danang.?” Tanyaku dengan suara yang pelan dan berhati - hati.

“Mata batinku mengatakan seperti itu, tapi tidak ada bukti yang mengarah kepadanya.” Jawab Pakde Sanjaya dan membuat emosiku perlahan naik kekepala.

Sabar Lang, sabar. Kamu harus tenang mendengar informasi ini. Sementara ini mungkin semua petunjuk mengarah kepada Pak Danang. Patahan gantungan kunci yang dipegang Dani dan Informasi yang diberikan Pakde Sanjaya barusan. Bisa saja Pak Danang terlibat dengan kematian Mas Hendra dan Intan sekaligus.

Tapi apa hubungannya dengan Intan ya.? Kalau dengan Mas Hendra mungkin berkaitan dengan laporan palsu. Tapi kalau Intan.? Arrgghhh. Semuanya masih kabur dan belum ada bukti yang kuat mengarah Pak Danang. Semua hanya berdasarkan informasi dan imajinasi liarku saja. Bajingaann.

“Kamu juga kerja dikantor Pak Danang kan Lang.?” Tanya Pakde Sanjaya.

“Bagaimana Pakde tau.?” Tanyaku.

“Aku pernah mengobrol disawah dengan Bapakmu, beberapa waktu yang lalu. Banyak yang kami obrolkan. Diantaranya tempat kerjamu dan kosan yang kamu tinggali sekarang.”

“Aku mulai tertarik ketika Bapakmu menyebut nama PT. Bangun Kukuh Bersama. Nama kantor tempat Hendra bekerja dan aku sangat mengingatnya sekali, sampai detik ini.” Ucap Pakde Sanjaya sambil menahan emosinya dan dia menuntup kotak kecil yang berisi cincin itu, lalu menggenggamnya dengan erat

“Alamat kosan yang kamu tinggali pun, sama seperti yang diceritakan Hendra. Tempat Intan tinggal terakhir kalinya dan tempat Intan mengakhiri hidupnya.” Ucap Pakde Sanjaya yang seperti tau dengan semua jalan cerita Mas Hendra dan Intan.

“Bagaimana Pakde tau kalau Intan mengakhiri hidupnya, dikosan yang sekarang saya tinggali.?” Tanyaku.

“Karena kematian Hendra selalu dikaitkan dengan kematian Intan, yang sangat dicintainya itu. Padahal aku yakin, Hendra tidak bunuh diri karena kekasihnya telah bunuh diri terlebih dahulu. Ini pasti ada scenario yang hebat dan orang – orang yang kuat bermain dibelakangnya.” Ucap Pakde Sanjaya dengan suara yang bergetar dan aku melihat kesedihan yang sangat luar biasa dimatanya.

Cok. Ini informasi yang sangat luar biasa dan tidak pernah terpikirkan sedikitpun olehku, kalau aku mendapatkannya dari orang tua Mas Hendra. Gila.

Oke. Cukup informasi yang aku dapatkan. Setelah ini aku akan mencari informasi yang lain, ketika aku di Kota Pendidikan.

“Aku harap kamu berhati – hati dikantormu Lang.” Ucap Pakde Sanjaya dan sekarang wajah beliau sudah terlihat sedikit tenang.

“Saya sudah dipecat dan tidak bekerja dikantor Pak Danang lagi Pakde.” Jawabku.

“Oh iya.? Kamu dipecat Pak Danang.?” Tanya Pakde Sanjaya dengan tenangnya dan dia seperti memancingku untuk berbicara

“Bukan Pakde. Saya dipecat Pak Jarot.” Jawabku.

“Pak Jarot.? Serius kamu Lang.? Hendra selalu bercerita kepadaku, kalau Pak Jarot itu orang baik tapi berada dilingkarang orang jahat. Kok bisa dia bisa memecatmu.?” Tanya Pakde Sanjaya dan dengan nada yang sangat santai sekali.

“Maksud Pakde bagaimana.?” Tanyaku.

“Pak Jarot itu dulu punya masa kelam diwaktu mudanya dan Pak Danang yang selalu menyelamatkannya. Pak Danangpun banyak membantu kehidupan Pak Jarot waktu diawal menikah, sampai ketika memiliki anak. Itulah yang membuat Pak Jarot tetap dikantor milik Pak Danang sampai detik ini.” Ucap Pakde Sanjaya dan kembali aku mendapatkan informasi yang sangat – sangat berharga.

“Aku heran kenapa Pak Jarot yang memecat kamu. Apa jangan – jangan Pak Jarot ingin menyelamatkan kamu, karena Pak Danang ingin merencanakan sesuatu yang jahat kepadamu.?” Tanya Pakde Sanjaya yang terus memancingku.

“Kelihatannya tidak mungkin Pakde. Saya belum pernah disuruh yang macam – macam oleh Pak Danang dan Pak Danang tidak pernah menunjukan gelagat yang mencurigakan, selama saya bekerja dikantornya.” Jawabku.

“Hemmm. Begitu ya.? Atau jangan – jangan kamu akan dipersiapkan untuk proyek yang lebih besar dan Pak Jarot segera memecat kamu, supaya kamu tidak terlibat dalam proyek itu.?” Tanya Pakde Sanjaya lagi dan nadanya seperti mengarahkan aku kepada sebuah petunjuk, tapi aku tidak terlalu menghiraukannya.

“Gak tau Pakde.” Ucapku sambil menggeleng pelan.

Pak Danang memang pernah bercerita kepadaku, kalau aku akan dilibatkan diproyek bendungan dikabupaten sebelah. Hari itu aku melihat Pak Jarot agak tidak senang dengan ucapan Pak Danang itu. Tapi Pak Jarot tidak menyanggahnya dan justru malah memecat aku beberapa hari kemudian.

Sempat terlintas dipikiranku, Pak Jarot tidak senang kalau aku masuk diproyek itu. Dipikiranku waktu itu, mungkin Pak Jarot risih karena mungkin itu akan menggeser posisinya. Tapi hari ini, obrolan dari Pakde Sanjaya membuka sedikit pikiranku. Arrgghhh. Gilaa.

“Oh iya, kenapa Pakde menunjukan cincin itu kepadaku.?” Tanyaku untuk mengalihkan pembicaraan.

“Karena kamu kos ditempat yang digunakan Intan mengakhiri hidupnya.” Jawab Pakde Sanjaya.

“Terus apa hubungannya dengan cincin ini Pakde.?” Tanyaku.

“Lang. Kamu kos ditempat yang sangat ditakuti dikota itu. Tidak mungkin orang Desa Sumber Banyu seperti kamu dan Joko, hanya tinggal tanpa berkenalan dengan penghuni ghaib kosan itu.” Jawab Pakde Sanjaya sambil menyodorkan cincin itu lagi ke arahku.

“Terus maksud Pakde.?” Tanyaku.

“Tolong kamu tunjukan kepada Intan, kalau Hendra memang benar – benar mencintainya dan Hendra ingin melamarnya sebelum dia meninggal.” Ucap Pakde Sanjaya dan langsung membuat hatiku bergetar.

“Aku hanya ingin anakku tenang di alam sana, karena orang yang dicintainya tau kalau mau dilamar sebelum kepergiannya.” Ucap Pakde Sanjaya dan kata – kata itu seperti menggores hatiku.

Bajingann. Bagaimana hati ini tidak terasa bergetar. Aku di amanatkan untuk menyampaikan berita yang sangat menyayat hatiku ini, kepada wanita yang sangat aku cintai.

Sedih.? Pastilah. Bagaimana kalau hati Intan malah berpaling dariku, karena tau tulusnya cinta Mas Hendra.?

Marah.? Tidak mungkinlah. Aku tidak mungkin marah, apalagi sampai menghalangi rasa cinta seseorang kepada orang lain. Jahat banget dong aku kalau begitu.

Terus.? Ya aku akan menyampaikan amanat ini, walapun hatiku sangat – sangat berat untuk melakukannya.

Amanat itu berhubungan dengan janji. Mereka saling terkait dan harus dituntaskan.

“Akan saya sampaikan Pakde.” Ucapku lalu dengan tangan yang sedikit bergetar, aku mengambil kotak incin itu dan memasukannya kedalam kantong celanaku.

“Terimakasih Le.” Ucap Pakde Sanjaya dan wajahnya terlihat sedikit bahagia.

“Mas. Jenazahnya udah mau dibawa kekuburan.” Ucap Damar adikku.

“Oh iya de. Kita kesana dulu Pakde.” Ucapku ke Damar, lalu ke Pakde Sanjaya.

Pakde Sanjaya hanya tersenyum lalu mengangguk pelan. Senyuman Pakde Sanjaya kembali membuat tubuhku merinding. Iiiiiiii.

Cok. kok bisa seperti ini ya.? Akupun langsung membalikan tubuhku dan berjalan duluan bersama Damar adikku, sementara Pakde Sanjaya dibelakang kami.

“Sampean ngobrol sama siapa Mas.?” Tanya Damar dengan suara pelan, sambil melirik ke arah Pakde Sanjaya dibelakang kami.

“Pakde Sanjaya. Masa kamu gak kenal sih.?” Ucapku dan membuat mata Damar langsung melotot. Diapun langsung menghentikan langkahnya.

“Kenapa itu kenapa sih.?” Tanyaku dan aku juga menghentikan langkahku, sambil melihat wajah Damar yang perlahan memucat.

“Le.” Panggil Ibuku dari arah sebelah rumah Joko.

“Ibu.” Ucapku sambil menoleh kearah Ibu.

Aku langsung mendekat kearah Ibu dengan mata yang berkaca – kaca, lalu aku meraih tangan Ibuku dan menciumnya.

“Gilang.” Ucap Ibuku dan beliau langsung menarik tubuhku dan memeluknya dengan erat.

“Kangen Bu.” Bisikku dan Ibu langsung mengelus kepala belakangku.

“Sabar nak, sabar. Selesaikan dulu mengejar impianmu, setelah itu kita berkumpul lagi seperti dulu.” Ucap Ibuku dengan suara yang bergetar.

“I, i, iya Bu.” Jawabku terbata.

“Bu, gantian dong.” Ucap Lintang yang merengek disebelah kami dan kami langsung melihat ke arah Lintang.

Kami berdua lalu melepaskan pelukan kami dan mengajak Lintang untuk berpelukan bersama.

Tap.

Aku memeluk kedua wanita yang sangat aku sayangi ini dengan erat, setelah itu mengecup kening mereka bergantian.

“Tuh kan Bu, Mas Gilang pasti gak lemah seperti yang kita bicarakan tadi.” Ucap Lintang pelan.

“Maksudnya.?” Tanyaku sambil mengendurkan pelukanku pada Lintang.

“Sudah – sudah, nanti aja dibahasnya. Itu jenazahnya mau diberangkatkan.” Ucap Ibuku dan beliau langsung melepaskan pelukannya kepada kami berdua.

Aku lalu melihat ke arah dua keranda yang sudah bersiap untuk diangkat.

“Maksud Ibu dan Lintang itu masalah Kinanti ya.?” Tanyaku sambil melihat ke arah Ibu dan Lintang lagi.

“Gilang gak akan patah hati karena kehilangan dia. Tapi Gilang akan sangat bersedih, kalau kehilangan sayang dari Ibu dan Lintang.” Ucapku lalu aku tersenyum dengan sangat terpaksa, setelah itu aku membalikan tubuhku dan berjalan ke arah keranda Bapaknya Joko.

Aku sempat melihat senyum Ibu yang seakan memberikan aku kekuatan dan juga senyum Lintang yang memberikan aku kesabaran, dalam segala permasalahan yang aku hadapi.

Aku melangkah ke arah sebelah kiri keranda bagian depan dan Joko bersiap disebelah kanan keranda bagian depan. Dengan dibantu beberapa orang anggota keluarganya, kami mengangkat keranda Bapaknya Joko itu. Kami lalu berjalan bersama ke arah kuburan, untuk menghantarkan kepergian dua orang yang saling mencintai ini.

Oh iya, aku tadi sempat bertanya tentang penyebab kematian kedua orang tua Joko ini kepada salah satu keluarganya. Kata mereka, Bapak dan Ibu Joko ini terkena sambaran petir pada saat disawah tadi siang. Bukan tepat mengenai tubuh sih, tapi mengenai petak sawah yang ada disebelah sawah milik Bapaknya Joko.

Menurutku ada sedikit keanehan dengan semua ini. Bagaimana bisa petir itu menyambar disiang bolong, tanpa ada awan tebal atau pertanda hujan sedikitpun. Keanehan ini mengingatkan aku dengan cerita orang tua didesa kami dulu. Kalau ada petir yang menyambar pada saat cuaca sedang cerah, berarti akan ada peristiwa besar didesa kami. Entah peristiwa apa itu, tapi yang jelas pasti berhubungan dengan mata air yang ada tengah hutan belantara sana.

Hiuuffttt, huuu.

Aku menarik nafasku ketika perjalanan ini, mulai memasuki ke area pemakaman. Letak lubang pemakaman kedua orang tua Joko, agak sedikit kedalam dan melewati kuburan Mas Hendra Sanjaya.

Aku sempat melirik sebentar kearah kuburan Mas Hendra yang mungkin baru didatangi keluarganya, karena ada bunga segar berhamburan diatas kuburan itu. Disebelah kuburan Mas Hendra, terlihat ada kuburan baru yang masih basah, tapi aku tidak terlalu memperhatikannya. Beban keranda yang lumayan berat, membuatku terus melangkah tanpa melihat ke arah nisan baru itu.

Beberapa saat kemudian, kami berhenti di dua lobang pemakaman yang sudah dipersiapkan. Kami semua menurunkan dua keranda ini disebelah lobang masing – masing.

Kesedihan yang sangat mendalam terlihat dimata sahabatku Joko, tapi dia tidak meneteskan air matanya sama sekali.

Aku yang tidak tega melihat wajah Joko, langsung membuang pandanganku ke arah sekeliling area pemakaman yang sangat tua ini. Pohon – pohon tua menjulang tinggi disekeliling batas area pemakaman dan ada juga yang berdiri tegak ditengah area pemakaman. Akar – akar pepohonan itu sebagian muncul dari tanah dan ada juga batang yang menyerupai akar, yang menjuntai dari cabang serta ranting pohon. Suasana area pemakaman ini membuat tubuhku merinding, apalagi ditambah dengan sinar matahari yang meredup karena perlahan mulai tenggelam dibarat sana.

Tiba – tiba aku melihat seorang kakek tua berdiri dibawah salah satu pohon. Kakek itu menggunakan jubah berwarna putih dan tatapan matanya terlihat sangat dingin sekali. Bola matanya putih dan bagian tengahnya yang seharusnya berwarna hitam, memancarkan cahaya berwarna bening, seperti air sungai yang sangat bersih sekali. Jelas dan sangat jelas sekali tatapan mata kakek tua itu kearahku.

Gila. Siapa kakek itu.? Apa beliau penjaga Desa Sumber Banyu.? Ah, kelihatannya tidak mungkin. Aku belum pernah mendengar sedikitpun cerita tentang penjaga desa ini, apa lagi melihatnya.

Penjaga Desa Sumber Banyu itu, berbeda sekali dengan dua desa tetangga kami. Desa Jati Luhur yang terkenal dengan mata merahnya dan Desa Jati Bening dengan mata hitamnya.

Penjaga didesaku seolah dibiarkan menjadi mistery, tanpa ada satupun yang pernah menceritakannya. Entah sengaja atau bagaimana, tapi itulah kenyataannya.

Sekarang kembali lagi ke kakek itu.

Laki – laki tua itu terus menatapku dan tatapannya semakin dalam sekali. Merinding dan rasa takut langsung menyelimuti seluruh bagian tubuhku. Belum pernah aku setakut ini ketika ditatap oleh orang lain ataupun mahluk yang berbeda alam sekalipun. Tapi kenapa bisa aku setakut ini ditatap oleh kakek tua itu.? Aku sampai memalingkan wajahku melihat ke arah yang lain, tapi sosok kakek tua itu selalu berada ditempat yang aku pandang.

Gila. Kakek itu kok bisa muncul dimana – mana.? Kenapa dia bisa ada disamping pohon, diatas pohon, didekat batu nisan, diantara para pelayat, disebelah Joko dan ditempat manapun yang aku lihat. Bajingan.

Aku yang ketakutan inipun langsung melihat ke arah Bapakku. Bapak menatapku dengan tatapan yang datar, sambil mengangguk pelan.

Hiuufftt, huuuu.

Aku menarik nafasku dalam – dalam, setelah itu melihat ke arah kakek tua itu berdiri pertama kali tadi. Walaupun aku takut, aku penasaran dengan sosoknya dan aku ingin melihatnya lagi. Tapi ternyata kakek itu tidak berdiri disitu lagi ataupun di sekeliling tempat aku melihat. Kakek itu seolah menghilang dikeremangan cahaya tempat ini. bajingann.

Suara Joko yang mengumandangkan ayat – ayat suci mengejutkanku dan aku langsung melihat ke arahnya. Joko mengumandangkan ayat – ayat suci itu bergantian, dilubang kubur Bapak dan Ibunya.

Dan setelah Joko selesai mengumandangkan ayat – ayat suci, papan – papan mulai diturunkan, lalu dilanjut dengan gumpalan - gumpalan tanah untuk menutupi jasad yang ada didalam sana. Pikiranku tentang kakek tua itu perlahan mulai teralihkan, dengan suasana yang sangat khidmat dan menyedihkan ini.

Tepat pada saat matahari tenggelam dan hari mulai gelap, prosesi pemakaman telah selesai.

Diarea pemakaman ini tinggal aku dan Joko yang bersimpuh di antara kuburan Bapak dan Ibunya. Aku langsung merangkul pundaknya dan meremasnya pelan.

“Ibu adalah segalanya bagiku. Aku tidak mengejar surga yang berada ditelapak kakinya. Yang aku kejar hanya senyum yang keluar dari bibirnya, dan itu senyum kebanggaannya buat aku. Itu saja.” Ucap Joko yang menirukan kata – kataku dihari ketika aku pulang kedesa ini, karena dibohongi Guntur dan Trisno .

“Dan kalau benar – benar ada sesuatu yang terjadi dengan Ibuku, untuk apa aku meraih impianku.? Percuma saja.” Ucap Joko dengan nada yang sangat sedih tapi tidak ada lagi air mata yang keluar dikelopak matanya.

“Itu kata – katamu dan sekarang telah terjadi kepada diriku. Bedanya ini bukan sesuatu yang akan terjadi, tapi memang sudah terjadi.” Ucap Joko dan aku langsung memejamkan kedua mataku sejenak, lalu melihat ke arahnya lagi.

“Kamu boleh bersedih Jok, boleh. Tapi jangan sampai kamu menguburkan impianmu ditempat ini. Kamu gak ingin jalan panjang keabadian kedua orang tuamu, tersandung karena kesedihanmu kan.?” Ucapku dan Joko langsung menundukan kepalanya..

“Senyum Ibu dan Bapakmu akan tetap ada, ketika impianmu itu tercapai. Senyum itu akan terus ada dan mengiringi selama perjalanan keabadian beliau berdua.” Ucapku lagi dan Joko langsung mengangkat wajahnya yang tertunduk, setelah itu dia berdiri dan merogoh sesuatu didalam kantong celananya

Aku yang terkejut melihat perubahan sahabatku ini, hanya menatapnya yang terlihat sedikit bingung dan panik.

Joko lalu mengeluarkan sesuatu dari kantongnya dan menyodorkan kepadaku.

“Apa itu.?” Tanyaku karena apa yang disodorkan Joko ini, tidak terlalu terlihat dikeramangan cahaya malam ini.

“Cincin yang akan aku berikan kepada Denok. Harusnya sore ini, tapi ternyata.” Ucap Joko terpotong, karena sepertinya dia tidak sanggup melanjutkan perkataannya.

Aku terkejut setengah mati, apalagi ketika dia membuka kotak itu dan mendekatkan ke arah wajahku.

Sebuah cincin bermata biru muda sama persis seperti yang diberikan Pakde Sanjaya tadi, membuatku langsung meraba kantong depan celanaku.

Cok. Kok kotak cincinnya gak ada dikantongku.? Jatuh dimana kotak cincin itu.? Kok aku gak merasa kalau kotak cincin itu jatuh.? Atau jangan – jangan kotak cincin yang ada ditangan Joko ini, kotak cincin yang diberikan Pakde Sanjaya tadi.?

Gak, gak mungkin. Joko dari tadi ada didalam rumahnya dan ketika keluar rumah, dia selalu ada disebelahku. Joko pasti baru membelinya dan kebetulan sama persis dengan cincin yang diberikan Pakde Sanjaya tadi. Kotak cincin yang ada dikantongku pasti jatuh dan aku saja yang terlalu teledor.

Aku akan mencari cincin itu selama perjalanan kerumah Joko nanti.

Tapi entar dulu. Kok pikiranku tiba – tiba jadi gak enak begini ya.? Kenapa bisa ada dua cincin yang terlihat sama dan momennya bisa menjancokkan seperti ini.? Mas Hendra akan melamar Intan, tapi Intannya meninggal dan disusul Mas Hendra beberapa saat kemudian. Sekarang Joko akan meminang Denok, tapi gagal karena kedua orang tua Joko meninggal. Apa jangan – jangan ini pertanda kalau ada sesuatu yang akan menimpa Mba Denok.? Bajingann.

“Kita balik sekarang.” Ucapku sambil merangkul Joko dan Joko terkejut sambil menutup kotak cincinnya.

Joko terlihat curiga dengan gelagatku, tapi aku terus merangkulnya dan memaksanya berjalan.

“Sudah malam, sebentar lagi juga dirumahmu mau didakan doa – doa.” Ucapku berbohong dan aku terus merangkul Joko yang kebingungan dengan sikapku ini

Pada saat aku melewati makam Mas Hendra, pandanganku tertuju pada kuburan baru yang ada disebelahnya. Lampu dari arah luar sana, membuat nama dan tanggal wafatnya penghuni makam yang baru itu terlihat sangat jelas sekali. Dan nama dari penghuni makam itu adalah Sanjaya.

Cok. gak salah lihat nih.? Itu Makam Pakde Sanjaya.? Pakde Sanjaya baru meninggal.? Terus aku tadi mengobrol dengan siapa dong.? Bajingaannn. Seluruh tubuhku kembali merinding, apalagi ketika mengingat semua obrolan kami tadi. Obrolan yang jelas – jelas memberikan aku petunjuk, tentang semua mistery yang ingin aku pecahkan saat ini.

Gila. Kok aku baru sadar sekarang ya.? Aku baru sadar karena aku merinding ketika berdekatan dengan Pakde Sanjaya, dan aku mengingat ekspresi wajah Damar ketika aku menyebut nama Pakde Sanjaya. Bajingaann.

“Lang.” Panggil Joko dan terlihat dia mencurigai gelagatku.

“Ayolah.” Ucapku tanpa melihat ke arah wajahnya dan aku tidak mau berlama – lama lagi dia area pemakaman ini. Aku pasti bisa mati berdiri, kalau aku mendapatkan petunjuk yang misterius lagi dari tempat ini.

Maaf Jok, maaf. Mungkin setelah dari pemakaman ini, aku akan langsung pergi ke Kota Pendidikan untuk menemui Mba Denok. Hatiku merasa ada sesuatu yang akan terjadi pada kekasihmu itu, karena petunjuk dari Pakde Sanjaya dan cincin yang tidak jadi kau sematkan di jari Mba Denok. Maaf juga aku tidak akan membuka semua ini kepadamu, karena cukup sudah kesedihan yang kau alami hari ini. Biar aku saja yang bergerak sendiri dan mencari tau tentang muara permasalahan ini.

Dan pada saat didepan area pemakaman, tampak Pak Jarot, Pak Jaka, Mas Candra, Mas Jago dan Cak Ndut, menunggu kedatangan kami.

Cok. untung tadi aku berangkat duluan. Kalau saja aku menunggu kedatangan Mas Jago, mungkin baru sekarang ini kami akan sampai didesa.

Tapi ngomong – ngomong, kenapa Pak Jarot ikut kemari.? Siapa yang memberitahunya.? Apa Pak Jaka yang memberitahunya.?

“Pak Jarot.?” Ucap Joko dan aku langsung melepaskan rangkulanku dipundak Joko.

“Sabar ya Mas, sabar.” Ucap Pak Jarot, lalu beliau memeluk Joko.

“Terimakasih Pak, terimakasih.” Ucap Joko sambil membalas pelukannya dan mereka berpelukan beberapa saat.

Pak Jaka, Mas Candra, Mas Jago dan Cak Ndut, selanjutnya bergantian memeluk Joko dan mengucapkan bela sungkawa.

“Kami langsung balik ya.” Ucap Pak Jarot yang mengejutkan kami berdua.

“Kok buru – buru Pak.? Gak kerumah dulu.?” Tanya Joko.

“Ada pekerjaan yang harus kami selesaikan Mas.” Jawab Pak Jarot sambil melirikku

“Oh iya Pak. Terimakasih sekali lagi dan mohon maaf.” Ucap Joko.

Mereka bersalaman kepada Joko dan kepadaku bergantian, lalu pergi menggunakan mobil yang terparkir dipinggir jalan sana.

Pak Jarot tadi hanya menatapku sambil bersalaman, tanpa mengucapkan apa – apa. Wajah Pak Jarot juga terlihat sangat khawatir dan dia mencoba menyembunyikan dari aku.

Bajingan. Ada apa sih ini.? Kenapa Pak Jarot bersikap aneh seperti itu.?

Oh iya. kalau Pak Jarot mengetahui orang tua Joko telah tiada hari ini, harusnya Mba Denok tau juga. Tapi kenapa Mba Denok gak kemari.? Atau memang terjadi sesuatu dengan Mba Denok.? Assuuu. Kelihatannya aku harus segera ke Kota Pendidikan malam ini juga.

Dan sekarang tinggal aku, Joko dan Cak Ndut yang sedang berjalan ke arah rumah Joko.

Sebenarnya aku sudah gak sabar untuk berangkat, tapi aku tidak mau membuat Joko curiga. Bisa saja dia memaksaku untuk cerita dan kalau aku sampai bercerita jujur, Joko pasti akan ikut ke Kota Pendidikan dan dia pasti akan lebih menggila malam ini.

Aku terus menenangkan diriku dan aku mencoba untuk tidak membuat gelagat yang mencurigakan.

“Aku pulang dulu ya.” Pamitku kepada Joko, ketika kami sampai didepan rumahnya. Akupun sengaja berbohong dengan berkata pulang ke rumah, bukan balik ke Kota Pendidikan, agar Joko tidak menghalangi kepergianku.

“Kamu gak ikut do’a dulu.?” Tanya Joko dan aku langsung menepuk pundaknya, lalu aku berjalan ke arah kimba. Aku tidak ingin bertatapan lebih lama dengan Joko, karena dia pasti akan menyelidiki kepergianku ini, melalui tatapan matanya.

“Lang.” Panggil Joko ketika aku mulai mengengkol kimba.

Kretek, kretek, tek, tek. Teng, teng, teng, teng.

Mesin kimba mulai menyala dan aku langsung naik keatas kimba.

“Jangan terlalu larut dengan kesedihanmu. Masih ada aku, saudaramu.” Ucapku, lalu aku tersenyum ke arahnya.

“Ganti bajumu, kutunggu kamu disini malam ini.” Ucap Joko dengan tegasnya dan kembali aku hanya tersenyum, lalu menarik gas kimba pelan.

Kletek. Teng, teng, teng, teng.

Aku pergi meninggalkan Joko dengan hati yang sangat nelangsa sekali.

Maafkan aku Jok, maafkan aku karena aku meninggalkan kamu disaat kamu membutuhkan aku malam ini. Tapi semua ini aku lakukan untukmu, agar kamu tidak lebih menggila lagi esok hari. Maafkan aku teman, sahabat dan saudaraku tercinta, Joko Purnomo.

Aku juga pergi ke Kota Pendidikan dengan hati yang sangat sedih sekali, karena aku tidak pamit kepada seluruh keluargaku dirumah. Bajingann.

Aku menarik gas kimba dengan kecepatan sedang, karena aku masih berada dijalan lingkungan desaku.

Pada saat aku melewati rumah wanita yang menyakiti hatiku, acara lamarannya sudah selesai dan aku melihat wanita itu berdiri didepan pintu rumahnya. Wanita itu melihat ke arahku dan dia seperti ingin memanggilku.

Dan tiba - tiba.

DUARRRR.

Bunyi petir yang sangat keras terdengar dan langsung membuatku terkejut. Wanita itu juga tampak terkejut, sampai dia menduduk dan bersimpuh didepan pintu rumahnya.

Bajingann. Kenapa bisa ada petir, padahal bulan purnama bersinar dengan terangnya dan suasana sangat cerah sekali.? Assuuu.

Aku tidak menghiraukan wanita itu dan terus menarik gas kimba.

Ketika aku sudah sampai di gapura desaku, aku berpapasan dengan sebuah mobil dan mobil itu langsung berhenti secara mendadak di depanku.

“JIANCOKK.” Makiku yang terkejut, sambil mengerem kimba dengan cepat.

CIITTTT.

Ujung ban kimba, hampir saja menabrak bemper depan mobil yang sudah berhenti terlebih dahulu.

“Asuuu.” Maki seseorang yang keluar mobil dan dia adalah Mas Pandu.

Cok. Untung Mas Pandu yang turun. Kalau itu orang lain, sudah kubantai untuk merenggangkan otot – otot tubuhku yang kaku ini. Bajingaann.

“Kamu itu kenapa gak kasih kabar ke aku sih.?” Tanya Mas Pandu dengan emosinya, sambil berjalan mendekat ke arahku.

“Ma, maaf Mas. Aku panik tadi.” Jawabku dan Mas Pandu hanya menggelengkan kepalanya, sambil berdiri dihadapanku yang masih duduk di atas kimba.

“Taik kamu Lang. Padahal kami tadi ada diparkiran.” Ucap Rendi Bule yang juga keluar dari mobil.

“Panik aku tadi Ren, panik banget.” Jawabku sambil melihat ke arah Rendi.

“Asuuu.” Gumam Rendi dan aku hanya memberikan senyumanku kepadanya.

“Terus mau kemana kamu sekarang.?” Tanya Mas Pandu dan aku langsung melihat kearahnya.

“Mau kepasar sebentar Mas.” Jawabku berbohong.

“Malam – malam begini.? Beneran.?” Tanya Mas Pandu yang curiga.

“Iya Mas. Oh iya, sampean mau kerumah Joko ya.? Acara doa – doanya sudah mau dimulai loh.” Ucapku mengalihkan pembicaraan.

“Iya wes, kutunggu kamu disana ya.” Ucap Mas Pandu lalu dia berbalik dan berjalan ke arah mobilnya lagi.

Tampak dua mobil lagi berhenti dibelakang mobil yang dikendarai Mas Pandu. Satu mobil dikendarai Mas Arief dan satu lagi dikendarai Mas Adam.

Aku tidak menjawab ucapan Mas Pandu dan aku hanya menepikan kimba ke arah kiri, agar bisa melewati mobil Mas Pandu yang menghalangi jalanku.

Kletek. Teng, teng, teng, teng.

Aku menarik gas kimba lagi, tanpa melihat ke arah tiga mobil yang berisi para penghuni kos pondok merah itu. Aku menarik gas kimba dengan kecepatan tinggi, dijalanan yang sepi ini.

Didepan jalan sana yang sangat sepi ini, sebuah mobil berhenti dengan lampu hazard yang menyala. Seseorang berdiri sambil bersandar pada bagian belakang mobil itu. Mobil itu milik Mas Jago dan yang berdiri itu adalah Pak Jarot.

Mas Candra dan Pak Jaka tampak berdiri disebelah kiri mobil, sedangkan Mas Jago tidak terlihat.

Aku memelankan kecepatan kimba dan Pak Jarot langsung berjalan ke arah tengah jalan, lalu menghentikan laju kendaraanku.

“Mau kemana kamu.?” Tanya Pak Jarot dengan pandangan sangat curiga kepadaku.

“Kenapa Bapak bertanya seperti itu dan apa urusan Bapak.?” Tanyaku balik dan aku tidak mematikan mesin kimba. Aku sudah sangat terburu – buru dan ingin segera kerumah Mba Denok.

“Kamu tinggal jawab aja kok susah sekali sih.?” Tanya Pak Jarot dengan sedikit emosi.

Pak Jaka dan Mas Candra yang melihat kami berbicara dengan serius, tidak berani mendekat. Sementara Mas Jago menampakkan wajahnya dari arah samping mobil, dengan kap mobil bagian depannya yang terbuka

“Maaf Pak, saya terburu – buru. Saya mau kerumah Mba Denok.” Jawabku dengan nada yang aku buat sesantai mungkin dan Pak Jarot langsung melotot mendengarnya.

“Bukannya Denok ada dirumah Joko.?” Tiba – tiba Pak Jarot bertanya yang membuatku langsung terkejut.

“Maksud Bapak.?” Tanyaku sambil melebarkan kedua mataku.

“Cok. Berarti Denok belum sampai disini ya.? Padahal tadi aku menawarkan untuk barengan kemari, tapi dia pamit pulang sebentar. Aku sebenarnya mau mengantar Denok, tapi dia menyuruhku untuk pergi duluan.” Ucap Pak Jarot dan wajahnya sekarang terlihat khawatir sekali.

“Kalau Bapak pergi duluan, berarti Mba Denok sedang dalam perjalanan.” Ucapku.

“Iya. Aku memang pergi duluan. Tapi entah kenapa mobil ini berkali – kali mogok. Padahal mobil ini mobil baru, tapi kenapa bisa mogok terus.? Assuuu.” Ucap Pak Jarot dengan jengkelnya.

“Ber, berarti.” Ucapku terbata dan kami berdua saling memandang, dengan wajah yang sangat tegang sekali.

“Pak Danang.” Ucapku.

“Cruel.” Ucap Pak Jarot.

Kami mengucapkan berbarengan, tapi nama yang kami sebut tidak sama.

Jiancok. Apa Cruel yang dimaksud Pak Jarot ini adalah Pak Danang.? Bajingaannn.

“Kita harus segera menemukan Denok secepatnya.” Ucap Pak Jarot yang langsung naik dibelakangku.

“Tarik gas kimba cepat Lang. Kalau sampai terjadi apa – apa sama Denok, aku tidak akan memaafkan diriku. Denok itu anak sahabatku Lang.” Ucap Pak Jarot dengan paniknya.

“I, i, iya Pak.” Ucapku dengan paniknya dan aku langsung menarik gas Kimba dengan kencangnya.

Kletek. Teng, teng, teng, teng.






#Cuukkk. Jadi Pak Danang itu Mr. Cruel dan dia yang membunuh Mas Hendra.? Assuu. Pasti dia juga yang telah menyebabkan kematian Intan. Aku harus menyelesaikan Pak Danang malam ini, walaupun dia mempunyai kekuatan yang hebat sekalipun. Aku akan membantainya dan aku akan membalaskan dendam Intan, sekaligus menyelamatkan Mba Denok yang mungkin sekarang berada bersamanya. BAJINGAN.!!!
 
Selamat malam Om dan Tante.
Wayah Fajar Sidik, Jago kluruk sepisan.

Updete yang tipis.
Semoga masih bisa dinikmati dan gak bingung dengan alur ceritanya.
Jangan terlalu menghayati, supaya gak bingung kemana arah jalan ceritanya.

Mohon dimaafkan kalau ada tulisan yang salah, karena otak dan jari sudah sangat lelah.
Selamat menikmati dan semoga berbahagia.
Mohon saran dan masukannya.

Salam Hormat dan Salam Persaudaraan.
:beer::beer::beer:
 
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd