Agen Terpercaya  
 
 
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

CERBUNG - TAMAT I M P I A N 2


BAGIAN 31
MENIKMATI KESEDIHAN



Pop Gilang.

“Kurang ajar.!!! Siapa yang buat keributan.? Ganggu orang yang lagi senang aja.” Ucap Pak Danang yang keluar dari ruang belakang, sambil membenarkan resleting celananya.

Bajingann. Muncul juga manusia satu ini. Baru bersenang – senang dengan siapa dia.? Kenapa dia membenarkan resletingnya.? Apa dia baru saja bersama Mba Denok.? Bangsatt.

“Dimana Denok Nang.? Dimana dia.?” Tanya Pak Jarot dengan emosi yang tertahan.

“Oooo. Rupanya sipenjahat kelamin Jarot, datang bersama ‘anak baik’ ini to.” Ucap Pak Danang dengan tenangnya, lalu dia dia mengambil rokoknya sebatang dan membakarnya.

“Sudahlah Nang, gak usah banyak bicara. Dimana Denok sekarang.?” Tanya Pak Jarot dan nada bicaranya mulai agak meninggi.

“Gak usah marah kamu Rot, santai saja. Kenapa kamu khawatir sekali dengan dia.? Kamu takut terjadi apa – apa dengan putrimu itu ya.? Hehehe.” Ucap Pak Danang dan langsung membuatku terkejut, sambil menoleh kearah Pak Jarot.

“DANANG.!!!” Teriak Pak Jarot sambil menunjuk kearah Pak Danang.

“Santai Rot, santai saja. Kenapa kamu harus marah seperti itu.? Aku ini sahabatmu mulai dari waktu kuliah dikampus teknik kita, sampai detik ini. Kita sudah tau sama tau dengan sifat kita masing – masing, jadi jangan marah seperti itu lah.” Ucap Pak Danang dengan tenangnya, lalu dia menghisap rokoknya.

“Kamu sudah terlalu banyak membuat kejahatan dan aku terlalu banyak menutupi kebusukanmu itu. Tapi aku tidak akan memaafkanmu, kalau kamu sampai menyentuh Denok.” Ucap Pak Jarot dengan tatapan yang sangat emosi sekali.

“Kita ini sama – sama memiliki kebusukan Rot, jangan sok suci dihadapanku.” Ucap Pak Danang dan Pak Jarot langsung terdiam.

“Terus terang aku gak menyangka kalau kamu sudah sudah melanggar janji – janji kita dulu.” Ucap Pak Danang lagi.

“Maksudmu apa Nang.?” Tanya Pak Jarot.

“Jangan pura – pura gila Rot, jangan. Aku kira kamu itu sahabat terbaikku, tetapi kamu justru menusukku dari belakang.” Ucap Pak Danang dan sekarang nadanya agak meninggi.

“Sudahlah. gak usah basa – basi. Maksudmu itu apa.?” Tanya Pak Jarot yang sudah dikuasai emosinya.

“Kita ini sama - sama bajingan kalau sudah urusan wanita. Bahkan kita sudah terbiasa untuk saling bertukar pasangan. Tapi itu dulu, waktu kita belum menikah.” Ucap Pak Danang dengan suara yang bergetar.

“Dan pada saat kita mempunyai pasangan hidup, kita berjanji tidak akan saling menggoda istri masing – masing. Tapi nyatanya.? Kamu bukan saja menggoda istriku, tapi kamu tega menidurinya.” Ucap Pak Danang dan Pak Jarot langsung terkejut dibuatnya.

“Jadi kamu sudah tau tentang semua itu dan kamu mau membalasnya kepada Denok.? Begitu maksudmu.? Bajingaann. Dia gak tau apa – apa Nang, dia gak tau apa – apa. Kenapa kamu tidak melampiaskan dendammu kepadaku saja.? Kenapa.?” Tanya Pak Jarot dan wajahnya berubah menjadi sangat sedih sekali.

Djiancuukk dua orang tua ini. Mereka ternyata sama – sama bajingan dan suka mempermainkan wanita. Mereka saat ini rupanya sedang menerima karma, akibat dosa masa lalu mereka.

Aku sengaja diam mendengar kedua orang tua ini berbicara. Aku ingin mendengar informasi dan fakta – fakta yang mungkin saja berhubungan dengan apa yang aku cari selama ini. Mereka berdua tidak mungkin berbohong atau bersandiwara, karena tatapan benci dan dendam diantara mereka terlihat sangat jelas sekali.

Lagian untuk apa mereka bersandiwara didepanku. Itu pasti sangat tidak berguna bagi mereka. Dan kalau tidak ada dendam atau kebencian diantara mereka saat ini, mungkin mereka akan membantaiku bersama – sama. Mereka kan sudah tau tentang tujuanku bekerja dikantor itu, jadi saat ini waktu yang tepat bagi mereka untuk menyingkirkan aku.

Kelihatannya aku harus memanfaatkan situasi ini, untuk membiarkan mereka saling membantai. Setelah itu, giliran aku yang akan melawan siapa yang menang diantara mereka.

Aku ingin memainkan permainanku disini dan aku ingin mendengar dari mulut mereka sendiri, siapa yang sudah menjadi penyebab kematian Intan. Malam ini akan menjadi pembalasan yang nikmat bagiku, setelah itu aku akan mencari keberadaan Mba Denok.

“Balas dendam itu sangat nikmat, nikmat sekali.” Ucap Pak Danang, lalu dia menghisap rokoknya, sementara Pak Jarot langsung mengepalkan kedua tangannya dengan kuat.

“Huuuuu.” Pak Danang mengeluarkan asap rokoknya dengan santai, setelah itu melihat kearah Pak Jarot.

“Bertahun – tahun aku membesarkan anak laki – lakimu dirumahku, dengan segala ketulusan kasih sayangku. Aku menganggapnya dia sebagai anak kandungku, walaupun aku tau Dani itu hasil permainan gilamu dengan istriku. Apa aku pernah mengungkitnya selama ini.?” Ucap Pak Danang dan itu makin membuatku terkejut.

Pak Jarot tidak kalah terkejut dan diapun seperti sangat kebingungan, sampai tidak menjawab pertanyaan Pak Danang.

“Pernah gak aku mengungkitnya.? Enggak pernah kan.? Terus kalau hari ini seandainya aku mencicipi tubuh putrimu Denok, kenapa kamu marah sama aku.?” Ucap Pak Danang dan dia seperti tidak mempunyai beban mengatakan itu.

“Cukup Nang, cukup. Sekarang katakan dimana Denok berada dan aku akan membawanya pergi. Aku janji setelah membawa Denok ketempat yang aman, aku akan kembali lagi ketempat ini dan silahkan kalau kamu mau membalas dendam kepadaku. Aku akan menerima semua itu dan aku tidak akan melawan.” Mohon Pak Jarot dan nada bicaranya sudah mulai melemah.

“Janji.? Janji apa.? Janji untuk tidak mengganggu istriku saja kau langgar, apalagi janji yang mudah seperti ini.?” Ucap Pak Danang.

“Terus maumu apa.? Kamu mau membunuhku sekarang juga.? Oke. Silahkan bunuh aku, tapi setelah itu biarkan Denok pergi dan hidup dengan tenang.” Ucap Pak Danang.

“Enggak, aku gak mau mengotori tanganku dengan darah penjahat kelamin sepertimu. Lagian aku ingin membiarkanmu hidup, agar kamu bisa melihat penderitaan yang akan dialami Denok disisa hidupnya.” Ucap Pak Danang lalu dia menghisap rokoknya yang sisa sedikit, setelah itu dia membuang puntung rokoknya dihadapan Pak Jarot.

“Ma, ma, maksudmu melihat penderitaan Denok disisa hidupnya apa Nang.? A, a, a, apa kamu sudah menodai Denok.?” Tanya Pak Jarot terbata dan dia terlihat sangat khawatir sekali.

“Hehehe. Memang kenapa.? Gak usah terlalu khawatir seperti itulah. Anggap saja ini sebagai upah karena aku telah membesarkan putramu selama ini. Lagian kan Denok juga hasil hubungan gelapmu dengan wanita yang lain. Bagaimana sih kamu ini.?” Ucap Pak Danang yang langsung membuat emosiku menguasai kepalaku.

Cok. Aku sebenarnya tidak perduli dengan kedekatan dan rahasia – rahasia yang mereka sembunyikan satu sama lain. Mau itu Dani anak Pak Jarot sekalipun, aku tidak perduli. Yang membuatku emosi itu dan ingin membantai kedua orang ini, kenapa harus Mba Denok yang menanggung semuanya.? Kenapa.?

“Bangsatt kamu Nang, bangsatt. Aku sudah mengingatkan kamu jauh – jauh hari, agar tidak menyentuh Denok. Tapi ternyata kamu malah melampiaskan dendamu kepada dia yang tidak tau apa – apa. Bajingan kamu.” Ucap Pak Jarot dan kedua tangannya kembali terkepal dengan kuatnya.

“Hehehe. Kamu tau Nang. Saat – saat seperti inilah yang aku tunggu. Aku ingin membalas dendam dan aku ingin kamu merasakan sakitnya apa yang aku rasakan selama ini. Bertahun – tahun aku memikirkan caranya dan akhirnya aku mendapatkan angin segar, setelah kamu mengingatkan agar aku tidak menyentuh Denok yang kamu akui sebagai anak sahabatmu.” Ucap Pak Danang terpotong sejenak.

“Anak sahabat.? Taik. Penjahat kelamin seperti kamu, tidak bisa melihat wanita cantik seperti Denok. Denoknya saja cantik, apalagi ibunya.? Aku sudah curiga ketika kamu berbicara tentang Denok, waktu dia pertama kali kerja dikantorku. Dan mulai hari itu aku mencari informasi tentang dia dan aku sudah melihat Ibunya Denok yang cantik itu dikota sebelah. Dan mulai hari itu juga, aku mulai bisa tersenyum kembali, setelah senyumku sempat hilang karena aku telah membunuh istriku sendiri. Aku harus membunuh wanita yang aku cintai, karena aku sudah tidak tahan melihat bayangan wajahmu dimata istriku ketika aku pulang kerumah. Itu semua aku lakukan karena kamu Rot, karena kamu.” Ucap Pak Danang yang perlahan mulai emosi.

“Bangsatt. Kamu memang binatang Danang. Kamu tega membunuh istrimu sendiri dan sekarang kamu juga tega menyakiti putriku.” Ucap Pak Jarot dan bersiap untuk menyerang Pak Danang.

“DJIANCOOKKK.!!!” Maki seseorang yang sangat aku kenal sekali suaranya. Makian yang khas dengan nada yang sangat mantap, ketika emosi menguasai dirinya.

Joko Purnomo. Sahabat yang juga saudaraku itu, berdiri didepan pintu rumah tua yang terbuka ini. Dia terlihat sangat emosi dan wajahnya terlihat sangat mengerikan.

Jiancokk. Bagaimana bisa sahabatku itu datang ketempat ini dan meninggalkan rumahnya disaat kedukaan yang mendalam, yang baru saja dialaminya.? Sejak kapan dia berdiri dipintu itu.? Apa dia mendengarkan obrolan yang membangsattkan barusan.? Kalau dia mendengar semua obrolan tadi, dia pasti makin terpukul dan dia pasti akan menggila malam ini.

Aku, Pak Jarot dan Pak Danang yang terkejut, langsung melihat kearah Joko.

“Kalian berdua telah mempermainkan hidup orang yang tidak berdosa sama sekali. Dan malam ini, kalian berdua harus menerima akibat perbuatan kalian.” Ucap Joko sambil melangkah masuk, tanpa melihat kearahku.

“Kamu bukan urusanku, walaupun aku sangat marah denganmu. Kamu akan dibantai saudaraku ini, karena dia pasti menyimpan dendam denganmu.” Ucap Joko ke Pak Jarot lalu dia melirikku.

“Sedangkan kamu, kamu akan aku bantai dan kamu akan merasakan sakit yang sangat luar biasa.” Ucap Joko ke Pak Danang.

Cok. Semua rencana permainanku yang mendadak barusan, jadi berantakan karena kehadiran Joko. Harusnya biarkan saja Pak Jarot dan Pak Danang saling membantai, setelah itu baru pemenangnya yang akan dibantai.

Tapi aku tidak menyalahkan Joko, karena kedatangannya malam ini. Aku justru lega, karena Joko bisa melampiaskan semua emosi yang dipendamnya seharian ini. Aku akan memainkan permainanku lagi, tapi kali ini khusus untuk Pak Jarot yang menjadi lawanku.

“Kamu mau membantai aku.? hehehe.” Ucap Pak Danang lalu tersenyum dan dia seperti meremehkan Joko.

“Oh iya, Meki Denok itu sempit banget loh. Ternyata kamu payah, karena membiarkan sempitnya meki kekasihmu dirasakan oleh lain. Harusnya kamu mencicipi duluan. Hehehe.” Pak Danang memancing emosi Joko, padahal Joko sudah terlihat siap menggila.

“Bangsatt kamu Nang.” Gerutu Pak Jarot dengan tatapan tajamnya.

“Cukup Pak, gak usah banyak bicara. Kamu akan menjadi lawanmu.” Ucapku dan aku mencoba mempermainkan emosi Pak Jarot.

Pak Jarot langsung mengalihkan tatapan tajamnya kearahku.

“Ketika orang tersayangku kalian sakiti, maka kalian akan merasakan sakit yang lebih perih.” Ucap Joko dengan emosinya.

“Hahahaha. Keluarkan semua emosimu anak muda, keluarkan semua. Karena ketika matahari esok terbit, kamu tidak akan bersuara lagi. Malam ini akan menjadi malam terakhirmu. Aku akan membantaimu malam ini sampai mampus. Hahahaha.” Ucap Pak Danang, lalu dia tertawa dengan kerasnya.

“DJIANCOKK.!!! SEMONGKO.!!!” Teriak Joko lalu dia berlari ke arah Pak Danang, sambil mengayunkan kepalan tangan kanannya.

BUGGHHH.

JEDUUKK.

BUUMMMM.

“Bongko.!!!” (Mampus.) Ucap Pak Danang dengan saantainya, ketika tendangan kaki kanannya, masuk kedada Joko dengan telaknya.

Joko yang terkejut karena dia yang harusnya menyerang duluan, terpental kebelakang dan roboh terlentang. Bajingaannn.

Kuat juga rupanya Pak Danang ini. Buktinya dia melakukan tendangan itu tanpa ancang- ancang dan dia melakukannya dengat sangat santai sekali.

“Kamu lawanku Nang.” Ucap Pak Jarot dan ketika dia melangkahkan kakinya, aku langsung menghalangi jalannya.

“Sudah kubilang, aku yang akan menjadi lawanmu.” Ucapku sambil menatap wajahnya.

“Jangan halangi jalanku, atau kamu akan kubantai sekarang juga.” Ucap Jarot dan dia sangat emosi sekali.

“Gak usah besar kepala Pak, kita buktikan saja sekarang.” Ucapku.

“Bajingan.!!!” Ucap Pak Jarot lalu dia melayangkan tinjuan kearah wajahku.

WUT, WUT, WUT, WUT.

Aku menghindarai pukulannya yang kuat dan cepat.

Pak Jarot yang terlihat sangat emosi, sepertinya ingin segera menjatuhkan aku, agar bisa membantai Pak Danang.

TAP, TAP, TAP, TAP.

Dan sekarang aku menangkis serangannya, dengan menggunakan kedua lenganku bergantian.

Pukulannya sangat keras dan membuat lenganku terasa ngilu.

Cok. Kalau saja pikirannya tidak terbelah, kekuatan Pak Jarot pasti lebih kuat dari pada Pak Danang. Dia pasti lebih focus denganku dan dia pasti akan mudah menjatuhkanku.

WUT, WUT, WUT, WUT.

Aku tidak menangkis lagi serangannya, tapi sekarang aku menghindarinya. Aku menghindar sambil mengelus lenganku yang ngilu ini.

“Kubunuh kamu sekarang, kubunuh.” Ucap Pak Jarot, sambil terus mengayunkan tinjuannya.

WUT, WUT, WUT, WUT.

Aku memundurkan kepalaku kebelakang, kesamping kanan, kesamping kiri dan mendunduk. Dan ketika aku menegakkan kepalaku.

BUGGHHH.

Tinjuannya mengarah ke pelipis kiriku dengan telak, sampai aku oleng kekanan. Pukulannya sangat keras, sampai pelipisku sobek dan berdarah. Pandanganku langsung berbayang dan sebuah pukulan dari arah sebelah kanan bawahku, menghantam rahangku dengan kuat.

BUGGHHH.

“ARRGGHHHH.” Teriakku kesakitan dan tubuhku melayang kearah kiri.

Kepalaku sangat pusing sekali, karena ini pukulan terkuat dan terkeras yang pernah aku dapatkan.

Belum sempat aku menikmati kesakitan ini, pukulan bertubi – tubi langsung melayang kearah wajah dan dadaku.

BUGGHHH, BUGGHHH, BUGGHHH, BUGGHHH, BUGGHHH.

BUGGHHH, BUGGHHH, BUGGHHH, BUGGHHH, BUGGHHH.

Pelipis, pipi, rahang, dagu, mulut dan dadaku, dihajarnya dengan membabi buta. Wajahku langsung dipenuhi darah dan dadaku terasa sangat sesak sekali. Aku tidak diberi kesempatan untuk melawan atau menghindari serangannya ini. Jangankan melawan, bernafaspun sepertinya aku tidak di ijinkan olehnya. Pak Jarot sangat bernafsu untuk membunuhku.

BUGGHHH, BUGGHHH, BUGGHHH, BUGGHHH, BUGGHHH.

BUGGHHH, BUGGHHH, BUGGHHH, BUGGHHH, BUGGHHH.

Aku terus dihajarnya, sampai aku merasakan sakit yang sangat luar biasa. Tubuhku seperti samsak hidup bagi Pak Jarot dan aku seperti menjadi sarana berlatih tinjunya.

BUGGHHH, BUGGHHH, BUGGHHH, BUGGHHH, BUGGHHH.

BUGGHHH, BUGGHHH, BUGGHHH, BUGGHHH, BUGGHHH.

Wajahku yang sudah babak belur dan tubuhku yang sudah lemas ini, hanya bisa pasrah menerima serangannya.

Dan tiba – tiba.

BUUGGHHH.

JEDUUGGG.

BUUMMMM.

Telapak sepatu Pak Jarot mendarat dimulutku dan membuatku langsung roboh kebelakang, dengan darah segar yang menyembur dari mulutku.

Bajingann. Kenapa aku bisa hancur lebur seperti ini.? Bukan hanya hancur lebur, tapi sekarang aku terlentang dilantai dan tidak berdaya. Apa karena ini Simbah mata hitam dan kakek bermata bening, ingin terlibat dipertarunganku.?

Pak Jarot belum mengeluarkan kekuatan ghaibnya atau mengeluarkan mata putihnya, tapi dia sudah sehebat ini. Bagaimana kalau dia mengeluarkannya ya.? Jiancokk.

Dia memang kuat dan hebat, sampai aku dibuatnya seperti ini. Pak Jarot merupakan lawan terkuat dan terhebat yang pernah aku hadapi. Pantas saja Gondes dan anggotanya ketakutan, ketika melihat wajah Pak Jarot waktu itu.

“Hu, hu, hu, hu, hu, hu.” Nafasku memburu dan pandanganku sangat kabur sekali.

Kelopak mata kananku terasa cenut – cenut dan pasti bengkak sekali.

Apa aku akan menyerah begitu saja.? Enggak, jangan sampai itu terjadi. Aku belum memulai permainanku yang baru dan aku belum mendengar dari mulut Pak Jarot, bahwa dia yang telah mengakibatkan kematian Intan. Walaupun semua bukti mengarah kepadanya, malam ini aku ingin dia mengakui kesalahannya itu dan harus mulutnya sendiri yang mengucapkannya.

Kalau sudah seperti itu, aku akan lebih bersemangat untuk membantainya nanti. Tapi bagaimana aku akan menjalankan permainanku, kalau aku hancur seperti ini.?

Aku harus segera bangkit dan aku harus bisa mengimbangi serangan Pak Jarot. Kalau aku bisa mengimbanginya, aku masih punya kesempatan untuk mencari kelemahannya dan dengan begitu aku bisa membantainya.

“Danang, kamu lawanku. Bukan anak ingusan itu.” terdengar suara Pak Jarot yang berdiri tidak jauh dari posisiku terlentang ini.

Aku lalu menekan mata kananku yang bengkak menggunakan jari tengahku, sambil memejamkannya. Setelah itu aku memejamkan kedua mataku dengan kuat, lalu membukanya perlahan. Pandanganku berbayang dan perlahan mulai menerang.

“Tunggu apa lagi.? Ayo kita tentukan, siapa yang terhebat diantara kita.” Ucap Pak Danang dan terlihat Joko tertelungkup didekatnya. Darah menggenang disekitar wajah sahabatku itu dan dia terlihat tidak bergerak lagi.

Bajingann. Kami berdua rupanya sama – sama tumbang, dan mereka yang berdiri tegak dengan sombongnya.

Pandanganku langsung kualihkan ke Pak Jarot, yang berjalan kearah Pak Danang.

“Cok. Nggateli cok. Wong tuo seng gak iso di ajeni, yo wong tuo seng koyok ngene iki. Bajingan.” (Cok. Menjengkelkan cok. orang tua yang gak bisa dihormati, ya orang tua yang seperti ini. Bajingan.) Suara Joko terdengar dan aku langsung melihat kearahnya, yang posisinya seperti sedang merangkak.

Joko menunduk dan terlihat darah menetes dari wajahnya yang babak belur.

“Kuat juga kamu ya. Aku kira kamu sekarat dan tinggal menunggu ajal yang sedang dalam perjalanan kemari untuk menjemputmu.” Ucap Pak Danang sambil melihat kearah Joko.

“Ajal itu biasanya cepat datang, kalau yang dijemputnya orang baik. Dan aku ini termasuk orang yang tidak baik, makanya ajal tidak mau menemuiku saat ini.” Ucap Joko sambil mengangkat wajahnya, lalu dia duduk bersila dengan bersusah payah.

Joko menegakkan kepalanya dan terlihat darah yang keluar dari luka di pelipis, mulut, hidung, dan pipinya. Kelopak matanya membengkak dan batang hidungnya miring kekiri. Wajahnya babak belur tapi tatapan matanya, tidak sedikitpun terlihat kesakitan atau pun takut dengan lawan yang baru saja membantainya.

Tatapan matanya terlihat marah, sedih, jengkel, benci dan dibalut dengan dendam yang membara.

Cok. Setelah kedukaan kehilangan kedua orang tua, saat ini dia harus menerima kenyataan kalau kekasihnya telah diperkosa oleh Pak Danang. Aku gak bisa membayangkan ataupun menggambarkan bagaimana sakitnya perasaannya saat ini.

Tidak ada air mata yang keluar sedikitpun dari kelopak matanya, tapi aku yakin tatapan itu adalah puncak dari kesedihan yang sedang dialaminya. Kesedihan tanpa ada air mata.Bajingaan.

Joko bisa bangkit setelah dia tumbang dan dia tidak mau menyerah, walaupun kondisinya sangat menyedihkan seperti itu. Jadi apa yang membuatku tetap terlentang seperti ini dan tidak cepat bangkit untuk melawan Pak Jarot.? Percuma aku selau mengucapkan kata semangat nganti bongko (semangat sampai mampus), kalau hanya luka seperti ini saja yang aku derita, tapi aku tidak cepat bangkit. Aku malu sekali cok, malu sekali.

“Kelihatannya aku harus membantaimu dan segera mengirimu ke alam kubur. Kamu harus berkumpul dengan kedua orang tuamu, karena kondisimu menyedihkan sekarang ini. Kamu terlihat tidak bisa berpisah dengan kedua orang tuamu terlalu lama. Kamu harus membusuk didalam tanah bersama orang tuamu.” Ucap Pak Danang dan Joko langsung tersenyum dengan sinisnya.

Cok. Kedua tanganku terkepal mendengar ucapan Pak Danang yang sangat menyayat hati ini.

Lalu dengan amarah dan sakit yang terasa diseluruh tubuhku, aku menegakkan tubuhku dan duduk dengan kedua kaki yang terselonjor kedepan.

“Hehehe.” Terdengar tawa Joko yang sangat meremehkan Pak Danang.

“Bangsaattt.” Ucap Pak Danang, lalu.

BUUGGHHH.

BUUMMMM.

Pak Danang menendang wajah Joko menggunakan punggung kakinya dengan kuat dan Joko langsung tumbang kebelakang, dengan darah yang tersembur dari mulutnya.

“ARRGGGHHHH. BUUEEEEE.” Jako kesakitan lalu memuntahkan darah segar.

“DJIANCOOKKK.” Makiku dan aku langsung berdiri, dengan emosi yang menggila.

Kekuatanku langsung bangkit, setelah melihat Joko terbantai didepanku.

Pak Danang yang berdiri didekat Joko yang terlentang, langsung mengarahkan injakan kakinya kearah wajah Joko.

TAAPPP.

Joko yang terkapar itu, langsung menahan injakan Pak Danang dengan kedua tangannya. Tangan kiri berada diujung sepatu Pak Danang, sedangkan tangan kanannya berada di tumit sepatu Pak Danang.

“IIIIRRGGGHHH.” Pak Danang menguatkan injakannya, tapi Joko menahannya dengan sekuat tenaga.

“Bajingan. Masih bisa berdiri lagi kamu ya.? Nyusahin orang aja kamu itu.” Ucap Pak Jarot yang mengejutkanku, lalu.

BUUHHGGG.

Pak Jarot mengarahkan tendangannya kearah wajahku dan dengan refleknya aku memblok serangannya itu, dengan kedua lengan yang aku satukan didepan dadaku.

Aku termundur beberapa langkah, karena tendangannya sangat keras sekali.

Pak Jarot lalu melompat dan mengarahkan pukulan tangannya kearah wajahku.

WUUTTT.

Aku menunduk, lalu aku memutur tubuhku dengan cepat, sambil melakukan tendangan balik dan mengarahkan kearah perutnya.

BUUHHGGG.

Tendanganku masuk dengan telak, tapi Pak Jarot tidak termundur atau kesakitan sedikitpun. Perutnya sangat kuat menahan tendanganku dan dia langsung melayangkan pukulannya lagi kearah wajahku.

WUUTTT. WUUTTT. WUUTTT. WUUTTT. WUUTTT.

Aku menghindari pukulannya, sambil mencari kelemahannya dan menunggu dia lengah.

WUUTTT. WUUTTT. WUUTTT. WUUTTT. WUUTTT.

Ketika Pak Jarot Asyik mengayunkan tangan kanannya, aku memundurkan wajahku dan rahang kanannya terbuka. Aku mengayunkan kepalan tangan kiriku, sambil mendorong wajahku kedepan.

BUUHHGGG.

Pukulanku masuk dengan telak, tapi Pak Jarot terlalu kokoh dengan pukulanku ini. Dia tidak goyang sedikitpun dan dia akan menyarangku lagi. Aku lalu melanjutkan seranganku dengan kepalan tangan kananku, kearah pipinya.

BUUHHGGG.

Lagi dan lagi pukulanku masuk, tapi dia tetap berdiri tegak.

Bajingan. Tangguh juga manusia satu ini. Tiga kali seranganku bersarang ditubuhnya, tapi tidak berefek sedikitpun kepadanya. Pak Jarot justru terlihat semakin emosi dan dia menyerangku lagi.

WUUTTT.

Aku menunduk lalu berdiri dengan cepat, setelah itu mengarahkan injakan kakiku kearah dadanya, dengan sekuat tenagaku.

BUUHHGGG.

“Huuppp.” Ucap Pak Jarot dengan nafas tertahan dan tubuhnya sedikit terdorong kebelakang.

“Cukup.” Ucap Pak Jarot dengan mata yang melotot, lalu dia melayangkan tinjuan tepat diantara kedua alis mataku.

BUUHHGGG.

Pukulannya yang kuat dan cepat itu, tidak sempat aku hindari. Pukulannya membuat kepalaku terdorong kebelakang, dengan posisi tubuh yang melayang dan aku langsung roboh terlentang.

BUUMMMM.

Dan pada saat aku limbung tadi, aku sempat melihat Joko suduh bisa mengimbangi Pak Danang.

Bajingaann.

Aku jatuh dan terbangun berkali – kali, sedangkan Pak Jarot tidak sedikitpun mengurangi serangannya.

Akupun cepat duduk, untuk segera berdiri lagi dan menyerang Pak Jarot.

Tapi pada saat aku sudah duduk.

BUUHHGGG.

Sebuah tendangan dari arah samping mengarah kemulutku dan kembali aku tumbang, dengan kepala belakang membentur lantai dengan kerasnya.

BUUUMMM.

Kepalaku berkunang – kunang, karena kepala belakangku terhantam lantai dengan sangat keras. Sementara itu mulutku kembali mengeluarkan darah segar yang sangat banyak.

Dan tiba – tiba.

BUUHHGGG.

“Arrgghhhh.” Rintihku yang kesakitan, karena injakannya tepat mengenai wajahku.

Lalu.

Gelap.

Cok. Aku tumbang lagi dan serangannya kali ini, membuatku tidak dapat menggerakan tubuhku.

Apa aku pingsan atau malah aku sudah mati.? Gila. Apa Pak Jarot sekuat dan sehebat itu, sampai aku dibuatnya seperti ini. Apa aku sudah kalah dan tidak bisa melanjutkan pertempuran kali ini.?

Enggak, aku gak boleh menyerah dan aku harus bangkit dari kekalahan. Bagaimanapun caranya, aku harus bangun dan membantai Pak Jarot.



“Kalau kamu mau mengalahkan Jarot, kamu harus bisa menerima kami.” Samar – samar aku mendengar suara seseorang dan itu suara dari Simbah mata hitam.

Akupun membuka kedua mataku yang terpejam dan aku tetap berada dirumah tua ini, tapi disini tidak ada Pak Jarot, Pak Danang ataupun Joko. Diruangan ini yang ada hanya aku, Simbah dan Kakek bermata bening.

“Enggak, aku mau melawan mereka dengan kekuatanku sendiri.” Ucapku dan aku duduk perlahan, sambil menatap kedua orang tua yang berdiri dihadapanku ini.

“Masih saja kamu keras kepala. Kamu gak lihat kondisimu ini.? Kamu sudah babak belur dan kamu tinggal menunggu waktu kematianmu saja.” Ucap Kakek bermata bening.

“Gak apa – apa aku mati, tapi aku mati terhormat.” Ucapku yang tetap menolak bantuan dari mereka berdua.

“Terus Joko akan menyusulmu dengan kematian yang sia – sia, Intan akan tetap tersiksa dialam yang bukan dunianya, kejahatan Danang dan Jarot berlanjut terus, dan kemudian Gilang – Gilang yang lain akan mati seperti kamu.” Ucap Simbah bermata hitam dan kata – katanya langsung membuatku terdiam.

Kekerasan didalam hatiku perlahan luntur dan hatiku dilanda kebimbangan. Kalau aku saja yang mati, mungkin tidak masalah. Tapi kalau kemudian Joko menyusulku, lalu berakibat kepada Intan dan ada orang lain lagi yang mati selain aku, tentu itu bukan pilihan terbaikku saat ini dan itu akan membuatku merasa berdosa sekali dialam keabadian.

Apa setelah kematianku, aku harus menangggung dosa karena orang – orang terdekatku mati dan orang lain jadi bermasalah karena aku.? Bajingaann.

Benar juga apa yang dikatakan Simbah mata hitam. Kelihatannya aku harus menerima bantuan mereka berdua dengan lapang dada.

“Jangan terlalu egois, kalau orang lain yang harus menanggung akibat kerasnya hatimu itu. Buka matamu dan ukur kemampuanmu saat ini. Apa kamu memang mampu.? Apa kamu memang kuat.? Apa kamu bisa menumbangkan dia yang belum mengeluarkan kekuatannya yang sesungguhnya.? Kalau iya silahkan saja. Tapi coba lihat dirimu saat ini, lihat. Kamu hancur dan tidak berdaya.” Ucap Kakek bermata bening.

“Bukan hanya itu. Kamu juga kehilangan harga dirimu, karena kamu tidak mampu memenuhi janjimu kepada Intan. Kamu akan kehilangan kepercayaan, karena kamu tidak bisa membantu sahabatmu Joko. Kamu akan kehilangan segalanya, karena kamu mati sebagai pecundang.” Sahut Simbah bermata hitam.

Cok. Kok kata – kata mereka semakin membuka pikiranku ya.? Apa aku harus benar – benar menerima semua ini dengan ketulusan hatiku.? Kalaupun aku menolaknya, aku harus memakai kekuatan apa melawan Pak Jarot.? Dia belum mengeluarkan kekuatannya yang sesungguhnya saja, aku tidak mampu merobohkannya. Apa lagi dia mengeluarkannya, apa aku tidak langsung menuju alam keabadian.? Bajingann.

Ditengah kebimbanganku ini, aku lalu memejamkan kedua mataku. Aku ingin menguatkan hatiku dan aku ingin memantapkan langkah apa yang akan aku pilih untuk perjalananku selanjutnya.

Tiba – tiba digelapan pandangan mataku yang terpejam ini, wujud Bapakku hadir dan beliau berdiri didepanku tanpa bersuara sama sekali. Beliau hanya menatapku, lalu menggelengkan kepala perlahan, seolah tidak merestui kalau aku menerima bantuan Simbah bermata hitam dan kakek bermata bening.

Wajah Bapakku terlihat sangat sedih dan sekali lagi beliau tidak berbicara sama sekali.

Cok. Aku gak boleh menerima bantuan ini dan aku harus bangkit dengan caraku sendiri. Bapakku saja tidak pernah memakai kekuatan dari mata hitam dan mata bening, masa aku anaknya harus memakai kekuatan itu.? Lagian dengan kedatangan Bapakku ini dan syarat yang diberikannya itu, semakin menunjukan bahwa aku harus berjuang sendiri.

“Sudahlah, jangan terlalu banyak berpikir. Lebih baik kamu menyetujui dan kita bantai Jarot sekarang juga.” Ucap Kakek bermata bening.

“Enggak, aku gak mau.” Ucapku sambil membuka kedua mataku.

“Dasar keras kepala.” Ucap Simbah bermata hitam.

“Terserah kalian ngomong apa, tapi aku tidak membutuhkan bantuan kalian.” Ucapku dan aku langsung berdiri.

“Kamu akan kalah dan kamu akan mati dengan sia – sia.” Ucap Kakek bermata bening.

“Matimu pun akan sebagai pecundang. Dan orang akan mengenalmu sebagai Gilang sang pecundang.” Sahut Simba bermata hitam.

“Aku bukan pecundang, karena aku pasti bisa mengalahkan Pak Jarot.” Jawabku.

“Hehehe. Terlalu angkuh dan sombong, tapi gak mengukur kemampuan diri.” Ucap Kakek bermata bening.

“Yang tau kemampuan diriku, ya aku sendiri. Bukan sampean.” Ucapku dan mereka berdua langsung menggelengkan kepala.

“Sudahlah. kita pergi saja. kita lihat bagaimana dia nanti mati perlahan ditangan Jarot.” Ucap Simbah mata hitam.

“Hehe.” Kakek mata bening hanya tersenyum sinis, lalu dia mengibaskan jubah yang dikenakannya kearahku dan aku langsung menutup mataku.




PAKK, BUGGHH, PAKK, BUGGHH, PAKK, BUGGHH, PAKK, BUGGHH.

PAKK, BUGGHH, PAKK, BUGGHH, PAKK, BUGGHH, PAKK, BUGGHH.

Terdengar suara baku hantam yang terjadi didekatku dan aku langsung membuka kedua mataku perlahan.

Cok. Kelopak atas dan kelopak bawah mata kananku, terasa sangat berat dan sulit aku buka. Kelopak ini terasa seperti dijahit antara yang diatas dan dibawah. Perih dan sakit sekali. Hanya mata kiriku saja yang bisa aku buka seutuhnya.

PAKK, BUGGHH, PAKK, BUGGHH, PAKK, BUGGHH, PAKK, BUGGHH.

PAKK, BUGGHH, PAKK, BUGGHH, PAKK, BUGGHH, PAKK, BUGGHH.

Suara baku hantam itu semakin keras terdengar dan rintihan kesakitan silih berganti keluar dari mulut Joko dan Pak Danang.

Aku pejamkan mataku agak kuat, lalu aku mencoba membukanya lagi.

Perlahan mata kananku bisa melihat cahaya lampu diatas kepalaku, tapi hanya separuh saja yang terbuka.

Aku lalu memegang kelopak mata kananku dan rasanya sangat sakit sekali. Rupanya kelopak mata kananku ini membengkak dan aku hanya mampu membukanya setengah saja.

Hiuuffttt, huuuu.

Makin berat saja tantangan yang aku hadapi, padahal niatku kali ini benar – benar membuat roboh Pak Jarot. Tapi apa bisa.? Kedua mataku terbuka seutuhnya saja, aku bisa dengan mudah dibantai Pak Jarot. Apalagi dalam kondisi seperti ini.

Ahhh, persetanlah. Selagi aku masih bisa bernafas, aku akan berusaha merobohkan Pak Jarot.

Lalu dengan pemandangan mata yang seperti ini, aku bangkit dan duduk dengan menahan rasa sakit.

PAKK, BUGGHH, PAKK, BUGGHH, PAKK, BUGGHH, PAKK, BUGGHH.

PAKK, BUGGHH, PAKK, BUGGHH, PAKK, BUGGHH, PAKK, BUGGHH.

Duel antara Joko dan Pak Danang berlangsung dengan sangat sengit sekali. Wajah Joko babak belur dan wajah Pak Danang tidak kalah hancur. Joko bisa mengimbangi perlawanan Pak Danang, bahkan Joko semakin lama berada diatas angin. Dia lebih mendominasi dalam serangan dan Pak Danang semakin kewalahan menerima serangannya. Gila.

Rupanya Joko telah menemukan ritme dalam pertempurannya kali ini. Semua kejadian yang dialaminya hari ini, pasti sangat berpengaruh didalam emosinya, tapi dia bisa mengontrolnya. Aku harus bisa sepertinya dan aku harus bisa membantai Pak Jarot.

Akupun langsung melihat kearah Pak Jarot yang berjalan kearah ruang belakang.

“Mau kemana Pak.? Pertarungan kita belum berakhir.” Ucapku dan Pak Jarot langsung terkejut, sambil membalikan tubuhnya. Wajahnya sudah tidak segarang tadi dan dia terlihat seperti sedang kebingungan.

“Cok. masih bisa bangun aja kamu.” Ucap Pak Jarot sambil menggelengkan kepalanya.

“Saya belum mengeluarkan kemampuan saya Pak. Tadi itu hanya perenggangan otot – otot didalam tubuh saya.” Ucapku dan aku mulai berdiri perlahan.

“Kita cukupkan dulu pertarungan ini Lang. Aku ingin mencari Denok dulu.” Ucap Pak Jarot dan dia membalikan tubuhnya lagi.

“Jangan lari dari pertarungan ini Pak. Apa Bapak sudah mulai takut menghadapi saya.?” Tanyaku untuk memancing emosinya, agar dia membalikan tubuhnya dan melanjutkan pertempuran kami.

“Aku sudah menjatuhkanmu beberapa kali, apa itu masih belum membuktikan kalau aku terlalu tangguh buatmu.?” Tanya Pak Jarot dan dia menoleh kearahku.

“Jatuh bukan berarti kalah Pak. Ayo kita lanjutkan lagi.” Ucapku sambil mengepalkan kedua tanganku didepan dadaku.

“Aku ingn mencari Denok dulu, baru setelah itu kita lanjutkan pertempuran kita.” Ucap Pak Jarot yang masih tidak mau melanjutkan pertempuran ini.

“Aku sudah tidak sabar untuk membantaimu Pak. Ayolah kita lanjutkan pertarungan ini.” Ucapku dan aku sempat melihat kearah pertarungan Joko. Dia sudah hampir memenangkan pertempuran ini dan Pak Danang sudah tersandar ditiang bangunan rumah tua ini.

“Lang. Aku pasti akan melayanimu nanti, aku janji. Sekarang aku hanya ingin mencari Denok dulu.” Ucap Pak Jarot dan aku sengaja memainkan emosinya itu.

Wajahnya semakin terlihat bingung dan khawatir dengan kondisi Mba Denok. Tapi aku tidak akan membiarkannya menemukan Mba Denok, karena itu akan menjadi urusan Joko.

“Pengecut.” Ucapku singkat dan Pak Jarot langsung terlihat emosi sekali.

“Bangsatt. Oke kalau itu maumu. Aku akan membantaimu sekarang dan aku tidak akan membiarkanmu hidup.” Ucap Pak Jarot sambil melangkah kearahku.

“Bukan aku yang akan terbantai, tapi kamu.” Ucapku lalu aku berusaha tersenyum dengan bibir yang bengkak.

“Bajingaann.” Ucap Pak Jarot yang sudah berada didekatku dan dia langsung melayangkan tinjuannya kearah wajahku.

WUTT, WUTT, WUTT, WUTT, WUTT.

Dia menyerangku dengan kepalan tangan kanan dan kiri bergantian, tapi aku menghindarinya.

WUTT, WUTT, WUTT, WUTT, WUTT.

Pukulannya cepat dan kuat, tapi terasa berbeda dengan tadi. Sekarang pukulannya seperti tidak terarah dan dia tidak terlalu konsen dengan pertaruangan kami. Pikirannya seperti terbelah dan ini sesuai rencanaku.

WUTT, WUTT, WUTT, WUTT, WUTT.

Dia terus menyerangku dan aku menghindarinya, sambil kembali mencari titik lemah dan lengahnya.

WUTT, WUTT, WUTT, WUTT, WUTT.

Pukulannya itu membuat pertahanan bawahnya terbuka dan aku melihat didaerah bawah ketiaknya agak terbuka. Kalau bagian wajah, dada dan perutnya cukup kuat dengan seranganku tadi, bagian bawah ketiaknya pasti titik terlemahnya. Sekuat dan sehebat apapun seseorang, kalau kita menghantam bawah ketiak, pasti akan tumbang juga.

WUTT, WUTT, WUTT, WUTT, WUTT.

Aku menundukan kepalaku, lalu ketika kepalan tangan kirinya diangkat, aku langsung melayangkan kepalan tangan kananku, kearah bawah ketiak bagian kirinya dengan sekuat tenagaku.

BUHHGGGG.

“AAARGGHHH.” Pak Jarot teriak kesakitan dan tubuhnya melengkung kearah kanan.

BUHHGGGG.

Sekarang aku menghantam bagian ketiak sebelah kanannya dengan kepalan tangan kiriku.

“AAARGGHHH.” Kembali Pak Jarot berteriak kesakitan.

Aku lalu menyambut teriakan Pak Jarot ini dengan hantaman menggunakan kepalan tangan kananku, ke arah batang hidungnya yang lunak. Aku menghantamnya dengan sekuat tenagaku lagi.

BUHHGGG.

KRAAKKK.

“ARGGHHH.” Wajah Pak Jarot terdanga dengan darah yang akhirnya menyembur dari hidungnya yang patah kedalam.

“ARRGGGGGGGHHHH.” Terdengar teriakan juga dari arah Pak Danang dan aku langsung melihat kearahnya.

Pak Danang terlentang dan kelihatannya punggungnya patah, karena Joko baru saja melempar tubuh Pak Danang keujung tiang kayu jati. Gila.

Aku lalu melihat kearah Pak Jarot yang sedang menunduk dan memegangi wajahnya. Perlahan dia mengangkat wajahnya dan terlihat darah begitu banyak keluar dari hidungnya.

“Kubunuh kamu Lang, kubunuh.” Ucap Pak Jarot, lalu dia maju kearahku dan menyerangku lagi.

WUTT, WUTT, WUTT, WUTT, WUTT.

TAPP, TAPP, TAPP, TAPP, TAPP.

Aku menangkis serangannya dengan kedua lenganku dan sekarang pukulannya sudah tidak sekeras tadi. Tenaganya berkurang, sehingga kedua lenganku mampu memblok serangannya.

TAPP, TAPP, TAPP, TAPP, TAPP.

Kembali aku menangkis serangannya, sampai pukulannya benar – benar melemah. Dan setelah beberapa saat dia menyerangku, aku lalu mengarahkan tinjuanku kearah tulang iga bagian kanan dan kirinya bergantian.

BUGGHHH, BUGGHHH, BUGGHHH, BUGGHHH, BUGGHHH.

Dia masih bisa bertahan, tapi wajahnya meringis kesakitan. Aku lalu mengalihkan seranganku kearah dada, perut serta wajahnya.

BUGGHHH, BUGGHHH, BUGGHHH, BUGGHHH, BUGGHHH.

Pak Jarot menangkis dan sesekali menghindar dari seranganku ini, tapi beberapa pukulanku ada juga yang masuk mengenai tubuhnya.

BUGGHHH, BUGGHHH, BUGGHHH, BUGGHHH, BUGGHHH.

Kali ini Pak Jarot yang menyerangku dan mengenai wajahku lagi. Pukulannya yang tidak sekuat tadi, membuatku bisa bertahan.

Dan tiba – tiba, Pak Jarot menghantam dadaku sampai aku termundur.

BUGGHHH.

“Huupppp.” Aku termundur sambil memegangi dadaku, lalu Pak Jarot maju dan menyerangku lagi.

Kali ini dia meloncat, sambil mengarahkan tendangan cangkul dari arah atas kepalaku.

BUMMMM.

Aku cepat menghindar kesamping dan tumit kaki kanannya langsung mendarat diatas kursi kayu jati, sedangkan kaki kirinya sedikit menekuk.

Aku lalu memutar tubuhku dengan cepat dan aku langsung menyapu kaki kiri Pak Jarot kebelakang.

BUHHGGG.

SRETTTTT.

“AARRGHHH.” Rintih Pak Jarot kesakitan, dengan kaki kanan lurus diatas bangku, sedangkan kaki kiri lurus kebelakang, dengan selangkangan yang sedikit terangkat dari lantai.

Aku lalu meloncat dan mengarahkan injakan kakiku kearah tempurung lutut kanannya, dengan sekuat tenagaku.

BUHHGGG.

KRAAKKKK.

Lalu aku memutar tubuhku dan aku langsung menghantam bagian telinga kanannya dengan kepalan tangan kananku.

BUHHGGGG.

BUUMMMM.

“ARRGGGHHH.” Jerit Pak Jarot yang kesakitan, karena kaki kanannya yang patah dan telinga yang mengeluarkan darah segar.

Pak Jarot langsung roboh kesamping dengan posisi kaki yang mengangkang.

“HORRGGGG.” Terdengar patahan yang membuat ngilu tulangku dan terdengar juga jerit kesakitan yang tertahan. Aku lalu melihat kearah Joko dan dia baru saja mematahkan leher Pak Danang.

Lalu Joko membanting kepala Pak Danang kelantai, dengan posisi wajah yang kearah bawah.

BUUMMMM.

Wajah Joko terlihat buas dan dia masih belum puas melihat Pak Danang yang sudah menggelepar dilantai.

“JOK.” Panggilku dan dia langsung melihat kearahku dengan tatapan tajamnya.

“Cari Mba Denok diruang belakang.” Ucapku dan wajah Joko langsung berubah. Dia seperti tersadar dari emosinya dan dia langsung berlari kearah pintu ruang tengah, untuk menuju ruang belakang.

Pintu ruang tengah itu terbagi dua dan Joko membuka salah satunya, lalu dia menghilang diruang belakang.

Terlihat tubuh Pak Danang mengejang dan darah menggenang disekitar wajahnya.

“De, De, Denok.” Ucap Pak Jarot terbata dan dia berusaha mengangkat kaki kanannya yang patah dan menyelonjorkannya bersama kaki kirinya.

Aku hanya melihatnya yang duduk dan tersiksa itu, sambil membersihkan darah yang mentes dari pelipis kananku.

Pak Jarot lalu berusaha merangkak menuju ruang pintu ruang tengah, dengan bertumpu pada lutut kiri dan kedua telapak tangannya.

“Jangan pergi kau. Kita belum selesai.” Ucapku ke Pak jarot.

“Bangsatt. Kamu benar – benar gak punya hati. Aku hanya ingin melihat keadaan putriku Lang.” Ucap Pak Jarot sambil melihat kearahku.

“Putri.? Kamu mengakui Mba Denok sebagai putrimu saat ini pak.?” Tanyaku.

“Sebajingan –bajingannya aku, aku adalah Ayahnya Denok Lang. Jadi aku akan mencari putriku itu.” Ucap Pak Jarot sambil memalingkan wajahnya dan berusaha merangkak lagi.

“Kita selesaikan dulu pertaruangan ini dan kalau kamu menang, silahkan kamu berbuat semaumu.” Ucapku sambil melangkah kearahnya dan berdiri dihadapannya.

“Lang. Aku mohon kepadamu sebagai seorang Ayah. Aku hanya ingin menemui putriku dan aku hanya ingin memastikan kondisinya baik - baik saja. Setelah itu aku janji kita akan melanjutkan pertarungan ini.” Ucap Pak Jarot.

Bagus. Situasi seperti ini sangat menguntungkanku. Aku akan memainkan permainanku yang tertunda dan aku akan membuat Pak Jarot mengakui semua perbuatannya.

“Ayah.? Kamu menyebut dirimu sebagai seorang Ayah.? Apa kamu tidak malu mengucapkan itu.? Kamu telah membunuh seorang wanita yang seusia putrimu dan kamu mencoba memperkosanya kan.?” Ucapku dan Pak Jarot langsung menggelengkan kepalanya pelan.

“Siapa maksudmu.? Intan.? Aku tidak pernah memperkosanya.” Ucap Pak Jarot membela diri.

“Djiancookk.” Makiku.

Dan tiba – tiba,

BRUAKKK.

Terdengar pintu ruang tengah yang dibuka paksa dan sekarang kedua pintu itu terbuka.

Aku dan Pak Jarot langsung melihat kearah pintu itu.

Tampak Joko keluar dari arah ruang belakang, sambil membopong tubuh Mba denok yang terkulai lemas. Tubuh Mba Denok diselimuti sprei dan tangan kirinya terjuntai dengan darah yang mengalir dipergelangan tangannya.

Joko berlari kearah pintu depan, tanpa melihat kearahku. Dia terlihat sangat panik dan mungkin dia akan kerumah sakit.

Cok. Ternyata Mba Denok beneran telah diperkosa oleh Pak Danang, sampai tidak sadarkan diri seperti itu. Bajingannn.

Joko pasti semakin kacau dan dia pasti sangat terpukul sekali. Kasihan sekali sahabatku itu.

Tapi bagaimana dia akan kerumah sakit.? Apa dia mau berlari kesana.? Gak mungkin, ini gak mungkin sekali.

“DENOKKK.” Teriak Pak Jarot.

Aku lalu berlari kearah pintu depan dan dari arah luar, muncul Mas Jago, Mas Candra dan Pak Jaka.

Aku lalu berhenti, karena Pak Jaka mengkodeku untuk berhenti.

“Urus dia dan Joko menjadi urusanku.” Ucap Pak Jaka kepadaku sambil melirik kearah Pak Jarot, lalu melihat ke arah Mas Jago.

“Go. Nyalakan mobilnya sekarang. Kita kerumah sakit.” Ucap Pak Jaka.

Mas Jago dan Mas Candra langsung keluar dari rumah ini, sedangkan Joko hanya berdiri didepan pintu sambil melihat kearah luar rumah.

Perlahan Joko menoleh kearahku dan dia tetap membopong Mba Denok.

“Lang.” Ucap Joko dengan wajah yang terlihat sangat khawatir sekali. Entah dia melihat apa diluar sana, sampai dia menghentikan langkahnya dan melihat kearahku.

Ahhh. Mungkin dia khawatir kalau aku disini bisa terbantai atau bahkan bisa terbunuh oleh Pak Jarot.

“Pergilah dan selamatkan Mba Denok. Bagaimanapun kondisinya, dia harus diselamatkan.” Ucapku dengan tenangnya.

“Tapi lang.?” Ucap Joko terpotong, karena aku menatapnya dengan tajam.

“Jangan pernah balik kesini, karena aku pasti akan marah kepadamu. Sekarang pergilah, nanti aku yang menyusulmu.” Ucapku dengan tegasnya.

“Hiufftt, huuu. Hati – hati.” Ucap Joko yang terlihat sangat dilema dengan situasi ini. Dia lalu membalikan tubuhnya dan berjalan kearah luar rumah ini.

Aku lalu membalikan tubuhku dan Pak Jarot sudah berjalan tertatih - tatih kearahku, yang berdiri tidak jauh dari pintu rumah.

“Aku ingin mendampingi putriku.” Ucap Pak Jarot dan dia menghentikan langkahnya.

“Kamu tidak akan kemana – mana, Mr. Cruel” Jawabku.

“Bangsatt. Rupanya kamu sudah tau semua tentang aku ya.?” Ucap Pak Jarot dan akhirnya dia mengakui kalau dirinya Mr. Cruel.

“Sudah tau dan sekarang saatnya kamu mempertanggung jawabkan semua kesalahanmu.” Ucapku sambil menatapnya dengan tajam.

“Aku sudah bersabar menghadapi kamu dari tadi Lang. Aku tidak menggunakan kekuatanku yang sesungguhnya untuk melawanmu, karena bagaimanapun juga kamu sudah berniat baik menyelamatkan putriku.” Ucap Pak Jarot yang perlahan mulai terlihat emosi.

Lalu tiba – tiba sebuah bayangan putih yang sangat besar dan menyeramkan, terlihat berdiri dibelakang Pak Jarot dan itu bayangan yang ada di pom bensin tadi. Bayangan itu pula yang sudah mengalahkan Kakek mata bening dan Simbah bermata hitam. Gila.

“Karena kebaikanmu itu, akhirnya aku memutuskan menggunakan kekuatanku sebagai manusia biasa. Aku tadi sudah berjanji didalam hatiku, kalau kamu bisa mengalahkanku, aku akan menerimanya.” Ucap Pak Jarot lagi dan perlahan tubuhnya bergetar., karena bayangan putih itu masuk kedalam tubuhnya.

“Tapi karena melihat kondisi putriku sekarat dan kamu tidak punya hati dengan mengijinkan aku mendampingi putriku, mau tidak mau aku akan membunuhmu saat ini juga. Aku tidak akan memaafkanmu, karena kamu berusaha mengalangi jalanku.” Ucap Pak Jarot dan perlahan kedua bola matanya memutih.

Tatapannya begitu mengerikan dan dia sekarang sedang dikusai mahluk ghaib bermata putih yang dimilikinya.

“Aku yang menyebabkan kematian Intan dan aku yang sudah membunuh Hendra Sanjaya. Apa kamu puas mendengar jawabanku.?” Ucap Pak Jarot dengan suara yang berat dan sangat menyeramkan.

“Ini yang aku tunggu darimu. Aku akan membunuhmu beserta mahluk ghaib yang kamu miliki itu.” Ucapku dan aku tidak takut sama sekali, melihat perubahan Pak Jarot.

“Angkuh sekali kau anak muda.” Terdengar suara Pak Danang dan perlahan dia bangun dari posisi tidur tengkurapnya. Wajahnya dipenuhi darah dan tatapan matanya juga memutih seperti Pak Jarot.

Pak Danang berjalan pelan kearah Pak jarot dan mereka berdiri bersebelahan, tanpa saling menyerang.

Djiancok. Bagaimana mungkin Pak Danang bisa bangkit lagi.? Lehernya tadi kan dipatahkan Joko dan pasti nyawanya tidak mungkin tertolong. Tapi kenapa bisa dia bangkit lagi.? Apa ini karena kekuatan mata putih yang dimilikinya itu.? Apa mata putih memiliki kekuatan bisa membangkitkan orang yang sudah mati.? Bajingaann.

Dan sekarang aku harus menghadapi dua orang sekaligus. Pak Danang dan Pak Jarot. Tapi bagaimana mereka berdua bisa bergabung.? Mereka tadikan saling bermusuhan.? Terus bagaimana caraku mengadapi kedua orang ini.? Melawan satu orang saja, aku belum tentu menang.

Kenapa bisa aku pesimis seperti ini.? Kalaupun aku bisa membunuh mereka, mereka pasti akan bisa bangkit lagi. Dan itu baru satu kekuatan mereka yang aku ketahui. Bagaimana kalau mereka mempunyai kekuatan – kekuatan lain yang lebih dasyat.? Djiancookk.



Pop Joko.

Hiufftt, huuu.

Denok. Sedang apa dia ya.? Apa dia tau kalau saat ini aku sedang berduka.? Apa dia tau kalau hari ini aku sangat membutuhkan kehadirannya.? Aku ingin dia datang malam ini dan menemani didetik – detik terberat didalam hidupku ini. Aku ingin memeluknya dan aku ingin dibelainya, karena hanya dia yang bisa menenangkan aku.

Cokkk. Kenapa aku berpikiran seperti ini ya.? Harusnya aku tidak perlu membagi kedukaan ini kepadanya. Dia pasti akan bersedih dan menangis melihat kondisiku seperti ini. Harusnya aku hanya memberi senyuman kebahagiaan untuknya. Kalaupun ada air mata yang keluar dari kelopak matanya, itu harus air mata bahagia. Dan harusnya air mata bahagia itu keluar malam ini, disaat aku memakaikannya cincin ini dijari manisnya.

Hiufftt, huuu.

“Jok. Ada teman – temanmu dari Kota Pendidikan.” Ucap salah satu keluargaku yang mengejutkanku dari lamunan.

“Oh iya.” Ucapku sambil memasukan kotak cincin ini kedalam kantong celana depanku.

Aku lalu berdiri dan keluar dari kamarku. Dan diluar sana, tampak Mas Pandu dan seluruh penghuni pondok merah, berdiri diteras rumahku.

“Jok.” Panggil Mas Pandu yang mengenakan jaket berwarna merah. Bukan hanya Mas Pandu, tapi seluruh penghuni pondok merah juga memakai jaket yang berwarna merah.

“Mas.” Ucapku sambil melangkah keluar rumah.

Aku lalu menyalami Mas Pandu dan dia langsung memelukku dengan erat.

“Sabar ya Jok, sabar.” Ucap Mas Pandu sambil menepuk punggungku pelan.

“Iya Mas. terimakasih.” Ucapku dengan suara yang bergetar.

Kami berdua lalu melepas pelukan kami dan satu persatu penghuni pondok merah mendatangi aku. Mas Wagiyo, Bang Ance, Mas Arief, Bang Ramos, Bang Ucok, Kang Ujang, Mas Adam, Daeng Betta, Bli Oka, Rendi Bule, Wawan, Bendu dan Bung Toni, bergantian menyalami aku dan memelukku.

Beberapa saat kemudian, suasana canggung langsung terjadi diantara kami. Mereka terlihat agak sungkan mengajakku berbicara dan jujur aku juga bingung harus mengobrol apa. Kalau dengan Gilang, pasti dia akan langsung mencairkan suasana seperti ini.

Tapi ngomong – ngomong, kemana dia ya.? Aku curiga dia tidak balik kerumahnya, karena tadi kimba mengarah keluar desa. Kira – kira kemana ya.? Apa dia ke Kota Pendidikan.?

Ahhh. Gak mungkin dia pergi ke Kota Pendidikan dan meninggalkan aku dalam kondisi yang seperti ini. Kalaupun seandainya dia kesana, pasti ada kejadian yang sangat luar biasa, sampai memaksa dia harus meninggalkan aku disini.

“Gilang kepasar mau beli apa sih.?” Tanya Wawan yang akhirnya memecahkan kecanggungan diantara kami.

Cuukkk. Gilang kepasar.? Gak salah.? Mau apa dia disana.? Malam – malam seperti ini, kios dipasar pasti banyak yang sudah tutup.

“Paling juga belanja untuk keperluan dirumah ini.” Sahut Bli Oka.

Cuukkk. Gak mungkin, gak mungkin itu. Keperluan apa yang harus dibeli Gilang.? Semua kebutuhan untuk acara doa – doa, pasti sudah dibelikan keluarga besarku. Jadi apa yang mau dibelinya.?

Ditengah kebingunganku ini, warga desa ini berdatangan untuk melakukan doa – doa dirumahku.

“Mas, sampean masuk kedalam ruang tengah ya.” Ucapku kepada Mas Pandu.

“Gak usah lah. Kami diluar aja.” Jawab Mas pandu.

“Le, teman – teman suruh masuk kedalam.” Ucap Mbahku yang berdiri didepan pintu rumahku.

“Tuh kan Mas. Sampean disuruh masuk.” Ucapku.

“Iya Mbah.” Ucap Mas Pandu yang akhirnya masuk kedalam rumahku dan diikuti seluruh penghuni pondok merah.

Aku lalu menyambut satu persatu warga yang datang, sambil menunggu kedatangan Gilang. Tapi sampai acara doa – doa akan dimulai, Gilang belum juga menampakkan batang hidungnya.

“Mas.” Panggil Damar yang datang bersama Bapaknya Gilang.

“Eh Mar.” Ucapku dan aku menyalami Bapaknya Gilang terlebih dahulu, lalu beliau masuk kedalam rumah.

“Gilang dimana.?” Tanyaku ke Damar, sambil menyalaminya.

“Loh, bukannya Mas Gilang disini ya Mas.? Mas Gilang belum ada pulang kerumah.” Jawab Gilang.

“Kemana ya dia.?” Gumamku dan pikiranku semakin tidak menentu.

“Kamu masuk aja dulu Mar. Doa – doanya mau dimulai.” Ucapku ke Damar.

“Iya Mas.” Jawab Damar lalu dia masuk kedalam rumah.

Tidak lama berselang, Cak Ndut datang naik motor suzuki jet cooled nya yang berwarna hitam dan putih.

“Cak.” Ucapku sambil mendekat kearah Cak Ndut.

“Aku tadi ketemu Pak Jaka, Mas Jago sama Mas Candra dijalan sepi sana.” Ucap Cak Ndut, sambil menyetandarkan motornya.

“Terus Pak Jarot kemana.?” Tanyaku.

“Pak Jarot sama Gilang ke Kota Pendidikan naik kimba.” Jawab Cak Ndut yang langsung membuatku terkejut.

“Ngapain si gila itu ke Kota Pendidikan.?” Tanyaku lagi.

“Katanya mau cari Denok, pacarmu.” Jawab Cak Ndut yang mengejutkanku.

Cari Denok.? Memangnya Denok pergi kemana.? Kenapa Gilang mencarinya bersama Pak jarot.? Apa sesuatu telah terjadi dengan kekasihku itu dan Gilang menyembunyikannya dari aku.?

Jiancok. Iya, pasti sesuatu telah terjadi dengan kekasihku itu. Gelagat Gilang sudah sangat mencurigakan dari tadi dan dia pasti sengaja menyembunyikannya, karena aku dalam kondisi berduka.

Aku harus menyusul mereka berdua, karena ini pasti genting sekali. Gak mungkin Gilang pergi meninggalkan aku, kalau tidak karena hal yang sangat luar biasa menimpa Denok.

Maaf Pak, Bu, Maafkan Joko. Joko harus segera pergi dan Joko akan mendoakan Bapak serta Ibu dimanapun tempatnya.

“Cak, Pak Jaka masih diperbatasan desa.?” Tanyaku.

“Kelihatannya gitu Jok. Soalnya mobil mereka tadi mogok, makanya Pak Jarot dan Gilang naik kimba.” Jawab Cak Ndut.

“Tolong antar saya kesana cak.” Ucapku.

“Terus acara doa – doanya gimana.?” Tanya Cak Ndut.

“Saya bisa berdoa dimana aja Cak, dijalanpun gak apa – apa. Bapak dan Ibu pasti mengerti dengan kondisi ini. Tolong antarkan saya cak.” Ucapku dan Cak Ndut tidak menolak permintaanku.

Cak Ndut lalu mendorong motornya agak menjauh, setelah itu menyalakannya dan aku naik dibelakangnya.

Cok. Kejadian apa yang menimpa kekasihku, sampai Gilang harus meninggalkan aku.? Apa dia culik.? Siapa yang menculiknya dan apa tujuannya.? Kalau sampai kekasihku diculik dan terjadi sesuatu kepadanya, aku akan membantai pelakunya dan aku akan melampiaskan semua emosiku dimalam ini. Bajingaann.

Beberapa saat kemudian, dijalan sepi perbatasan desa, terlihat sebuah mobil berhenti dipinggir jalan. Cak Ndut memelankan laju kendaraan lalu berhenti dibelakang mobil tersebut.

“Loh Cak, gak Jadi ikut acara do’a – do’a.?” Terdengar suara Pak Jaka dan tidak melihat kalau aku yang duduk di belakang Cak Ndut.

“Gilang kemana Pak.?” Tanyaku yang langsung turun dari goncengan Cak Ndut dan membuat Pak Jaka terkejut.

“Mas Joko.” Ucap Pak Jaka.

“Gilang pergi kemana Pak.? Apa yang terjadi sama Denok.?” Tanya ku.

“Anu Mas, anu.” Ucap Pak Jaka yang langsung terlihat bingung.

“Ahhh. Anu – anu gimana sih Pak.?” Tanyaku dengan kesalnya.

“Eh, ke Kota Pendidikan Mas.” Jawab Pak Jaka dengan agak ragu, sambil melihat kearah yang lain.

“Hiuufftt, huuuu.” Aku menarik nafasku dalam - dalam, lalu mengeluarkannya perlahan.

“Bapak ini kenapa sih Pak.?” Tanyaku dan Pak Jaka langsung melihat kearahku lagi.

“Bapak tau kan hari ini keadaan saya seperti apa.?” Tanyaku lagi dan Pak Jaka hanya diam saja.

“Jadi saya mohon Bapak jujur saja, dari pada saya bisa gila.” Ucapku.

“Kemungkinan Mba Denok diculik Mas.” Ucap Pak Jaka dengan sangat berhati – hati.

Cuukkk. Dugaanku ternyataan benar, Denok telah diculik dan Gilang mau menyelamatkannya.

Bajingann. Siapa yang menculik Denok ya.? Apa Pak Jaka tau pelakunya.?

“Bapak tau pelakunya kan.?” Tanyaku memancing Pak Jaka.

“Pak Danang.” Jawab Pak Jaka dan aku langsung terkejut dibuatnya.

“Djiancuukk. Kita lanjutkan ceritanya di mobil Pak, kita berangkat sekarang.” Ucapku dan berjalan kearah mobil.

“Mobilnya mogok Mas.” Jawab Pak Jaka yang aku lewati.

Dan

Brumm, brumm, brumm.

Tiba – tiba mesin mobil menyala.

“Hahaha. Akhirnya mesinnya bisa nyala. Ayo Pak naik.” Ucap Mas Candra ke Pak Jaka. Mas Candra yang keluar dari pintu bagian sopir, langsung terkejut melihat kedatanganku.

“Joko.” Ucap Mas Candra.

Brakkk.

Terdengar kap bagian depan mobil ditutup.

“Assuuu. Mobil bosok.” (Anjingg. Mobil busuk.) Maki Mas Jago dan berjalan kearah Mas Candra.

“Loh Joko.” Ucap Mas Jago yang juga terkejut melihatku.

“Nanti aja kita ngobrolnya, sekarang kita ke Kota Pendidikan aja. Ayo Pak.” Ucapku ke Mas Candra dan Mas Jago, lalu melihat kearah Pak Jaka yang masih berdiri ditempatnya.

“Terus aku bagaimana.?” Tanya Cak Ndut yang masih duduk diatas motor, dengan mesin yang masih menyala.

“Oh iya Cak, maaf. Sampean tolong balik kerumahku ya. Entar kalau Mas Pandu tanya aku, bilang aja aku menyusul Gilang. Tapi jangan ngomong kalau kami ke Kota Pendidikan.” Ucapku ke Cak Ndut.

“Ngono ta.? Yo wes ” (Begitukah.? Ya sudah.) Ucap Cak Ndut dan aku langsung menganggukan kepalaku.

“Suwon Cak. Sepurane yo.” (Terimakasih Cak. Mohon maaf ya.) Ucapku.

“Santai ae Jok. Seng penting marekno masalahmu disek.” (Santai aja Jok. Yang penting selesaikan masalahmu dulu.) Ucap Cak Ndut kepadaku.

“Pamit yo.” Ucap Cak Ndut yang berpamitan kepada kami semua, lalu memutarkan sepeda motornya dan menarik gas motornya, meninggalkan kami berempat.

Kami berempat lalu masuk kedalam mobil dan mobil mulai melaju dijalan yang sepi ini.

“Kenapa Pak Danang menculik Denok Pak.?” Tanyaku kepada Pak Jaka yang duduk dibagian kiri depan dan Mas Jago yang duduk dibagian sopir. Sedangkan Mas Candra yang duduk disebelahku, langsung melihat kearahku.

“Hiufftt, huuu.” Pak Jaka menarik nafasnya, lalu melihat kearahku.

“Jujur Pak, jangan ada yang disembunyikan. Saya merasa Bapak banyak tau tentang kejadian ini.” Ucapku dan Pak Jaka menatapku dengan tatapan yang serius.

“Aku sebenarnya gak banyak tau Mas. Tapi tadi Pak Jarot terlihat seperti mengkhawatirkan Mba Denok. Dan ketika Gilang tadi pergi bersama Pak Jarot, mereka menyebut nama Pak Danang.” Ucap Pak Jaka.

“Hanya itu saja yang Bapak tau.?” Tanyaku.

“Iya.” Jawab Pak Jaka singkat.

“Kira – kira Bapak tau kemana Denok dibawanya.?” Tanyaku lagi.

“Setauku kalau Pak Danang dan Pak Jarot ingin bersenang – senang, dia menuju kerumah tua yang ada dipinggiran Kota Pendidikan. Aku pernah kesana sekali saja.” jawab Pak Jaka.

“Bisa tolong antarkan saya kesana kan Pak.?” Tanyaku.

“Bisa, tapi aku gak menjamin Denok dibawa kesana.” Jawab Pak Jaka yang terlihat agak ragu.

“Kenapa bisa begitu.?” Tanyaku lagi.

“Tempat itu diketahui oleh Pak Jarot. Jadi agak mustahil kalau Pak Danang membawanya kesana. Kalau memang Pak Danang membawanya kesana, berarti dia sengaja memancing kedatangan Pak Jarot. Dan itu berarti, mereka berdua ada masalah.” Jawab Pak Jaka yang langsung membuatku bingung.

Cok. ini ada apa ya.? Kenapa masalah ini jadi rumit seperti ini.? Pak Jarot, Pak Danang dan Denok. Ada dengan mereka bertiga.? Sepertinya ada sebuah rahasia yang sangat besar diantara Pak Jarot dan Pak Danang, tapi masalah itu berhubungan juga dengan Denok.

Argghh. Persetan mereka berdua ada masalah apa, aku gak perduli. Tapi ini tentang Denok, yang berada dipusaran masalah mereka berdua.

Aku harap tidak terjadi apa – apa dengan kekasihku itu, kalau tidak aku akan membantai siapa pun yang berani menyentuhnya.

“Tapi kita tetap kesana kan Pak.?” Tanyaku.

“Tidak ada pilihan yang lain. Jadi mau tidak mau kita kesana.” Jawab Pak Jaka lalu melihat kearah depan.

“Istirahat dulu Jok.” Ucap Mas Candra.

“Iya, istirahat dululah. Entar kalau sudah sampai daerah sana, kami bangunin kamu.” Ucap Mas Jago sambil melihat kearah spion tengah.

“Iya Mas. Maaf ya kalau aku banyak ngerepotin.” Jawabku sambil menyandarkan kepalaku.

“Sudahlah. tidur sana.” Ucap Mas Candra.

“Iya Mas.” Ucapku sambil mencari posisi nyaman untuk sandaran kepalaku.

Hiuufftt, huuuu.

Jujur aku memang letih dengan apa yang aku alami hari ini. Setelah kepergian kedua orang tuaku, sekarang aku harus menerima kabar bahwa kekasihku tercinta sedang dalam bahaya.

Dengan berbagai macam pikiran yang tidak menentu ini, tentu saja aku tidak bisa memejamkan kedua mataku. Kalau tubuh yang terasa letih, mungkin aku bisa saja memejamkan kedua mataku dan setelah bangun pasti tubuhku akan segar kembali. Tapi kalau pikiran yang letih, tubuh tidak akan bisa beristirahat dan otak akan semakin tegang.

Akupun mencoba memejamkan kedua mataku, tapi tetap saja aku tidak bisa tidur. Suasana didalam mobil sebenarnya sudah sangat mendukung, karena Pak Jaka, Mas Candra dan Mas Jago tidak bersuara.

Aku tetap memaksa memejamkan kedua mataku dan berharap aku tertidur lelap, lalu terbangun dengan suasana yang berbeda. Aku sangat berharap sekali kalau apa yang aku alami seharian ini, hanya mimpi buruk.

Beberapa saat kemudian.

Aku membuka kedua mataku dan mobil ini sudah terparkir didepan sebuah rumah tua.

Cuukkk. Ini mimpi atau bagaimana ya.? Tadi kan aku dalam perjalanan dan sekarang sudah terparkir aja ini mobil. Apa kejadian seharian ini memang cuman mimpi.? Terus dimana aku sekarang.?

Aku lalu menegakkan tubuhku dan menampar kedua pipiku dengan kuatnya.

PLAK, PLAK, PLAK, PLAK.

“Asuuu.” Gumamku karena kesakitan dan ternyata ini bukan mimpi.

“Kamu itu kenapa Jok.?” Tanya Mas Jago yang duduk didepan, sambil menoleh kearahku.

“Iya, kamu kenapa sih.?” Tanya Mas Candra disebelahku.

Aku lalu melihat kearah Mas Jago, Pak Jaka dan Mas Candra. Mereka bertiga melihatku dengan tatapan yang heran dan juga kasihan.

“Dimana kita ini.?” Tanyaku dan tidak menjawab pertanyaan Mas Jago serta Mas Candra.

“Tempat Pak Danang dan Pak Jarot biasa bersenang – senang.” Jawab Pak Jaka dan langsung membuatku terkejut.

“Kita sudah sampai diperbatasan Kota Pendidikan.?” Tanyaku lagi dan mereka bertiga langsung menganggukan kepala.

“Berarti lama juga dong aku tidurnya.?” Tanyaku karena perjalanan dari kotaku ke Kota Pendidikan ini lumayan jauh.

“Lumayan lama juga. Kita parkir disini aja sudah setengah jam.” Jawab Mas Candra.

“Cuukkk. Kenapa gak bangunin dari tadi.?” Ucapku sambil membuka pintu mobil.

Aku berdiri disamping mobil dan terlihat pintu rumah tua ini terbuka, serta terdengar keributan didalam.

“Gak enak mau bangunin kamu.” Ucap Mas Jago yang keluar dari mobil.

Aku tidak menghiraukan ucapan Mas Jago, karena aku sudah gak sabar untuk menemukan kekasihku yang kemungkinan berada didalam rumah tua ini. Aku ingin memastikan kekasihku baik – baik saja.

Dan ketika aku akan melangkah kearah rumah tua ini, ada mobil yang datang dan aku langsung melihat kearah mobil itu.

Cuukkk. Mobil Pak Danang. Akupun menunggu mobil itu berhenti dan aku sekarang berharap, semoga Pak Danang baru datang bersama kekasihku. Kalau ada Pak Danang nanti turun dari mobil, aku pasti akan langsung membantainya.

Mobil pun berhenti dan yang keluar justru Pak Kumis, sambil membawa dua kantong yang entah apa isinya. Tidak terlihat kekasihku atau Pak Danang turun dari mobil itu. Bajingann.

“Denok dimana Pak.?” Tanyaku ke Pak Kumis.

“Kenapa kamu tanya aku.? Kamu kan pacarnya.” Jawab Pak Kumis dengan ketusnya.

Bangsatt orang tua ini. Biasanya dia sopan dan santun kalau berbicara, tapi kenapa sekarang terlihat ketus sekali.

“Jiancookk.” Makiku dengan emosi yang tertahan, lalu aku berjalan mendekat kearah Pak Kumis. Pak Jaka yang akan aku lewati, langsung menahanku.

“Kamu masuk kedalam dan cari Mba Denok disana. Biar si Kumis ini menjadi urusanku.” Ucap Pak Jaka.

“Iya Jok, kamu masuk aja kedalam. Aku lama gak pernah cabut kumisnya orang.” Ucap Mas Jago dan Mas Candrapun langsung tersenyum dengan bengisnya.

“Baiklah.” Ucapku lalu aku membalikan tubuhku dan melangkah kearah pintu rumah tua ini.

Lalu tiba – tiba.

PAKKK, BUHGG, PAKKK, BUHGG, PAKKK, BUHGG.

Terdengar orang berkelahi dari arah belakangku dan aku langsung menoleh sejenak kebelakang. Terlihat Mas Candra dan Mas Jago menghajar Pak Kumis dengan ganasnya, sementara Pak Jaka hanya melihat sambil menikmati rokoknya.

Aku lalu berjalan lagi kearah pintu dan langkahku langsung terhenti didepan pintu itu, karena aku melihat belasan orang terbantai diruang tengah. Orang – orang itu tergeletak dengan kondisi yang mengenaskan. Bercak darah juga terlihat dimana – mana. Bajingann.

Pandanganku lalu tertuju pada dua orang yang berdiri membelakangi aku dan satu orang yang berdiri didekat pintu ruang tengah. Dua orang itu adalah Gilang dan Pak Jarot, dan satu orang lainnya adalah Pak Danang.

Perlahan emosiku merambat naik kekepala, setelah mendengar Pak Danang dan Pak Jarot saling melempar ucapan. Ucapan demi ucapan mereka berdua seperti bara api yang dimasukan kedalam lobang telingaku dan langsung membakar seluruh isi tubuhku.

Pak Jarot ternyata ayah kandung Denok dan juga Dani, sedangkan Pak Danang melakukan balas dendam ke Pak Jarot, dengan cara menculik Denok.

Dan bukan hanya menculik, tapi ternyata kekasihku telah diperkosa oleh Pak Danang. Bangsatt

Mendengar kabar yang sangat menyayat hati ini, amarahku bangkit sebangkit bangkitnya. Aku yang masih dalam keadaan berduka ini, benar – benar murka dengan dua manusia laknat itu.

Tapi aku mungkin hanya bisa melampiaskan kepada Pak Danang, karena Pak jarot pasti sudah di incar oleh sahabatku Gilang. Aku ingin mencabik – cabik tubuh Pak Danang dan aku ingin memakan jantungnya, dalam kondisi masih berlumuran darah.

“Hu, hu, hu, hu, hu.” Nafasku memburu, karena emosi ini ingin segera dilampiaskan sekarang juga.

“DJIANCOOKKK.!!!” Teriakku dengan kencang dan dengan emosinya.

Aku mengeluarkan sedikit hawa panas didalam tubuhku, karena kalau tidak aku bisa mati dibunuh bara amarahku sendiri.

“Hu, hu, hu, hu, hu.” Nafasku makin memburu dan kedua tanganku terkepal dengan kuatnya.

Gilang, Pak Danang dan juga Pak Jarot, langsung melihat kearahku dengan sangat terkejut.

Aku menatap tajam kearah Pak Danang dan juga Pak Jarot, tapi aku tidak melirik kearah Gilang sama sekali.

“Kalian berdua telah mempermainkan hidup orang yang tidak berdosa sama sekali. Dan malam ini, kalian berdua harus menerima akibat perbuatan kalian.” Ucap ku sambil melangkah masuk kedalam rumah.

“Kamu bukan urusanku, walaupun aku sangat marah denganmu. Kamu akan dibantai saudaraku ini, karena dia pasti menyimpan dendam denganmu.” Ucapku ke Pak Jarot lalu melirik kearah Gilang.

“Sedangkan kamu, kamu akan aku bantai dan kamu akan merasakan sakit yang sangat luar biasa.” Ucapku ke Pak Danang.

“Kamu mau membantai aku.? Hehehe.” Ucap Pak Danang lalu tersenyum sinis kepadaku.

“Oh iya, Meki Denok itu sempit banget loh. Ternyata kamu payah, karena membiarkan sempitnya meki kekasihmu dirasakan oleh lain. Harusnya kamu mencicipi duluan. Hehehe.” Ucap Si Bangsatt itu dan emosiku semakin terbakar.

“Ketika orang tersayangku kalian sakiti, maka kalian akan merasakan sakit yang lebih perih.” Ucapku dengan emosinya.

“Hahahaha. Keluarkan semua emosimu anak muda, keluarkan semua. Karena ketika matahari esok terbit, kamu tidak akan bersuara lagi. Malam ini akan menjadi malam terakhirmu. Aku akan membantaimu malam ini sampai mampus. Hahahaha.” Ucap Sibangsatt itu lagi, lalu dia tertawa dengan kerasnya.

Bajingan. Kubunuh kamu Nang, kubunuh. Aku akan membantaimu, walaupun sekuat apapun dirimu. Aku akan mengeluarkan semua kekuatanku, walau aku harus kehilangan nyawaku karena emosiku yang tak tertahan ini.

“DJIANCOKK.!!! SEMONGKO.!!!” Teriakku lalu aku berlari ke arahnya, sambil mengayunkan kepalan tangan kananku kearah wajahnya.

BUGGHHH.

JEDUUKK.

BUUMMMM.

“Bongko.!!!” (Mampus.) Ucap Pak Danang dengan santainya, ketika tendangan kaki kanannya, masuk kedadaku dengan telaknya.

Bangsatt. Harusnya aku yang menjatuhkan dia, tapi kenapa justru aku yang terpental seperti ini.? Dia menginjak dadaku dengan santai dan pasti dia tidak menggunakan seluruh tenaganya.

Kuat juga sibangsatt ini. Aku harus lebih mengeluarkan tenagaku agar aku bisa mengimbanginya. Aku harus bisa mencari titik lemahnya dan aku harus segera membantainya.

“Jangan senang dulu kau.” Ucapku sambil menegakkan tubuhku.

“Lemah. Pantas saja kamu tidak bisa memerawani Denok. Hahahaha.” Ucap Sibangsatt itu dan terdengar dia ingin terus memancing emosiku.

“Tertawalah sepuasmu, tertawalah. Karena malam ini, malam terakhirmu bisa tertawa.” Ucapku sambil mendekat kearah Sibangsatt.

“Hahaha. Masih bisa sombong kamu ya.? Okelah. Mungkin aku bisa mengirimmu untuk menyusul orang tuamu.” Ucap Si Bangsatt dan tanpa banyak bicara lagi, aku langsung mengarahkan tinjuanku kearah wajahnya.

WUTTT.

Dia menunduk sambil mengarahkan tinjuannya kearah perutku.

BUHHGGG.

“HUUPPP.” Nafasku tertahan, karena pukulannya sangat keras sekali.

“Bongko.” (Mampus.) Ucap Pak Danang dan wajahnya sangat dekat sekali dengan wajahku, lalu.

BUHHGGG.

Mulutku dihantamnya, lalu.

BUHHGGG. KRAKKKK.

Giliran hidungku dihantamnya dari arah samping dan pasti ini patah. Bajingann.

Aku memegangi hidungku yang patah dan Pak Danang maju lagi sambil terus menyerangku.

BUHHGGG, BUHHGGG, BUHHGGG, BUHHGGG, BUHHGGG.

Dihantamnya dada dan perutku dengan cepat, kuat dan beruntun.

BUHHGGG, BUHHGGG, BUHHGGG, BUHHGGG, BUHHGGG.

“Hueekkkssss.” Darah langsung menyembur dari mulutku, karena pukulannya seperti menghancurkan isi didalam tubuhku.

BUHHGGG, BUHHGGG, BUHHGGG, BUHHGGG, BUHHGGG.

Setelah dada dan perutku yang dihantamnya, sekarang wajahku yang menjadi sasarannya.

Cuukkk. Pukulannya memang membuat darah keluar dari mulutku dan wajahku juga mulai terluka. Tapi aku tidak sedikitpun merasakan sakit sama sekali. Pukulannya yang kuat dan keras itu, seperti membelai seluruh tubuhku. Sakit yang terasa justru dari dalam hatiku, karena hariku yang sangat menjacokan ini. Kematian kedua orang tuaku terasa lebih menyakitkan dan sakitnya semakin menjadi, ketika aku mendengar kekasihku telah dinodainya.

Tapi bukan berarti aku menyerah dengan kekuatan sibangsatt ini. Aku harus segera bangkit dan mengalahkannya, karena itu yang akan mengobati sedikit rasa sakit yang aku derita. Ingat, hanya sedikit saja rasa sakit yang terobati.

BUHHGGG, BUHHGGG, BUHHGGG, BUHHGGG, BUHHGGG.

Sibangsatt terus menghantam wajahku, sampai darahku keluar sangat banyak sekali.

“AARRGHHHHH.” Aku berteriak sekencang – kencang diwajahnya, lalu aku menghantam kepala bagian samping kirinya, dengan kepalan tangan kananku.

Aku menghantamnya tepat dibagian telinganya., dengan sekuat tenagaku.

BUHHGGG.

“ARGGGHHH.” Teriak Pak Danang kesakitan, dengan kepala yang oleng kekanan dan dia hampir roboh.

Tapi aku langsung mengangkat lutut kiriku dan aku arahkan ketelinga kanannya.

BUHHGGG.

“ARGGHHH.” Ucap Pak Danang sambil memegangi kedua telinganya dengan posisi setengah berdiri.

Lalu,

BUHHGGG.

Aku menghantam multnya dan dia langsung tumbang kebelakang.

BUMMMM.

Dan ketika aku mendekat untuk menginjak dadanya, dia langsung menyapu kedua kakiku dengan kaki kanannya, sampai aku terjatuh.

BUHHGG.

Aku terjatuh dengan posisi merangkak, lalu.

BUHHGG.

Dia menginjak wajah sampingku dan aku langsung tergulung – gulung dilantai, lalu akhirnya terlentang. Belum sempat aku bangun, Pak Danang langsung berdiri dan dia langsung menginjak – injak perut serta dadaku.

BUHHGGG, BUHHGGG, BUHHGGG, BUHHGGG, BUHHGGG.

Aku berusaha melindungi perut dan dadaku, dengan cara memiringkan tubuhku dan agak membungkukannya.

BUHHGGG, BUHHGGG, BUHHGGG, BUHHGGG, BUHHGGG.

“Danang, kamu lawanku. Bukan anak ingusan itu.” Terdengar suara Pak Jarot dan Pak Danang langsung menghentikan serangannya.

Pak Danang langsung melihat kearah Pak Jarot dan akupun langsung menelungkupkan tubuhku..

“Hiuufftt, huuuu.”

Aku lalu melirik kearah Gilang yang juga terlentang dan wajahnya terlihat babak belur.

Bajingan. Ternyata Pak Jarot sama kuatnya dengan Pak Danang, sampai dia bisa menumbangkan Gilang yang memiliki kekuatan diatasku.

“Tunggu apa lagi.? Ayo kita tentukan, siapa yang terhebat diantara kita.” Ucap Pak Danang.

Kurang ajar. Berarti mereka berdua ini secara tidak langsung meremehkan kami, karena menganggap kami sudah kalah. Ini ga bisa dibiarkan. Aku harus bangkit dan melawan Pak Danang lagi.

Aku yakin setelah aku bangkit, Gilang juga akan bangkit dan dia pasti bisa mengalahkan Pak jarot.

Aku lalu mengepalkan kedua tanganku dan aku buat tumpuan untuk bangun, dari posisiku yang tertelungkup ini. Darah menetes dari hidungku yang patah, dari bibibirku yang terluka dan dari pelipis yang sobek, ketika aku menunduk dengan posisi yang merangkak.

“Cok. Nggateli cok. Wong tuo seng gak iso di ajeni, yo wong tuo seng koyok ngene iki. Bajingan.” (Cok. Menjengkelkan cok. orang tua yang gak bisa dihormati, ya orang tua yang seperti ini. Bajingan.) Ucapku.

“Kuat juga kamu ya. Aku kira kamu sekarat dan tinggal menunggu ajal yang sedang dalam perjalanan kemari untuk menjemputmu.” Ucap Pak Danang sambil melihat kearahku.

“Ajal itu biasanya cepat datangnya, kalau yang dijemput itu orang baik. Dan aku ini termasuk orang yang tidak baik, makanya ajal tidak mau menemuiku saat ini.” Ucapku sambil mengangkat wajahku, lalu dia duduk bersila dengan bersusah payah.

“Ahhhhh.” Aku duduk sambil menghembuskan nafas panjangku.

“Kelihatannya aku harus membantaimu dan segera mengirimu ke alam kubur. Kamu harus berkumpul dengan kedua orang tuamu, karena kondisimu menyedihkan sekarang ini. Kamu terlihat tidak bisa berpisah dengan kedua orang tuamu terlalu lama. Kamu harus membusuk didalam tanah bersama orang tuamu.” Ucap Pak Danang dan aku hanya tersenyum kepadanya.

Entah kenapa aku bisa tersenyum sepert ini, padahal wajahku hancur dan aku sedang berada dititik kedukaan yang terdalam.

“Hehehe.” Aku lalu tertawa dan Pak Danang terlihat sangat marah sekali.

“Bangsaattt.” Ucap Pak Danang, lalu.

BUUGGHHH.

BUUMMMM.

Pak Danang menendang wajahku menggunakan punggung kakinya dengan kuat dan Aku kembali tumbang, dengan darah yang menyembur dari mulutku.

“ARRGGGHHHH. BUUEEEEE.” Darah yang menyembur membasahi leher dan pipiku, karena aku sekarang terlentang dilantai.

Pak Danang yang emosi langsung berjalan kearahku dan dia mengarahkan injakan kakinya kearah wajahku..

TAAPPP.

Aku langsung menahan injakan Pak Danang dengan kedua tanganku. Tangan kiri berada diujung sepatu Pak Danang, sedangkan tangan kananku berada di tumit sepatunya.

“IIIIRRGGGHHH.” Pak Danang menguatkan injakannya dan aku menahannya sambil terus tersenyum..

“Kubunuh kamu, kubunuh.” Ucap Pak Danang yang geregetan, sambil menekan kakinya dan telapak sepatunya, yang sedikit lagi mengenai wajahku.

“Hahaha. Gak semudah itu kamu bisa membunuhku.” Ucapku sambil menahan injakannya, lalu perlahan aku memutar telapak kakinya berlawanan arah.

“ARGGGHHHH.” Gumamku dan aku memutarnya dengan sekuat tenagaku.

“IIIIRRGGGHHH.” Pak Danang terus menginjak dan dia berusaha menahan, agar kakinya tidak mengikuti alur putaranku.

“Bongko.” (Mampus.) Ucapku lalu dengan sekuat tenaga, aku memutar telapak kakinya ini.

KRAKKKK.

Pergelangan kakinya patah dan aku langsung mendorongnya keatas.

“AARGGHHHH.” Teriak Pak Danang yang kesakitan dan dia langsung memutarkan tubuhnya dengan satu kaki.

Aku lalu cepat berdiri dan Pak Danang terus berputar dengan satu kaki kiri yang jadi tumpuan, sedangkan kaki kanannya yang baru aku patahkan dijinjitnya karena kesakitan.

Aku yang melihatnya berputar seperti itu, langsung berlari dan aku menyapu kaki kirinya.

BUHHGGGG.

“Argghhhh.” Tubuhnya oleng dan ketika akan terjatuh kebelakang, aku menyambutnya dengan kepalan tangan kananku dari arah bawah ke dagunya.

BUHHGGGG.

“HUUPPPPPP.” Ucapnya dengan mata yang melotot, lalu.

JEEDUUKKK.

BUUMMMMM.

Kepala belakangnya membentur lantai dengan keras dan Pak Danang langsung roboh terlentang.

Aku lalu meloncat dan mengarahkan tumit kakiku kearah mulutnya yang kesakitan.

BUHHGGGG.

KRAAKKKKK.

“AARGGHHHHH.” Suara jerit kesakitan Pak Danang tertahan, karena tumitku masih berada dimulutnya. Tumit kakiku ini terasa mematahkan beberapa gigi atas dan gigi bawah Pak Danang.

“Mulut ini tadi berbicara, kalau aku akan menyusul kedua orang tuaku. Mulut ini juga tadi bersuara, kalau tuannya telah memperkosa kekasihku.” Ucapku sambil mengangkat tumitku dari mulutnya, lalu.

BUHHGGGG, BUHHGGGG, BUHHGGGG, BUHHGGGG, BUHHGGGG.

Aku menginjak – injak mulut Sibangsat ini berulang kali, sampai darah dari mulutnya memenuhi pergelangan kakiku.

Kedua tangannya berusaha menangkap kakiku, tapi aku selalu menghindarinya sambil terus menginjaknya.

BUHHGGGG, BUHHGGGG, BUHHGGGG, BUHHGGGG, BUHHGGGG.

Setelah menginjak mulutnya, aku lalu membungkukan tubuhku dan meraih rambut atasnya. Aku menjambak rambutnya, lalu menyeretnya ketiang yang berada ditengah ruangan.

“AARGGHHHH.” Pak Danang kesakitan dan berusaha mencengkram tanganku, dengan kedua tangannya.

Dan setelah sampai didekat tiang, aku melepaskan jambakanku dan Pak Danang yang tertidur dilantai, terus mencengkram tangan kananku.

“DJIANCOKKK.” Makiku yang berusaha melepaskan tanganku, lalu aku menginjak tulang iga bagian kanannya.

BUHHGGGG, BUHHGGGG, BUHHGGGG, BUHHGGGG, BUHHGGGG.

Aku menginjaknya sambil membungkukan tubuhku, sampai cengkramannya terlepas.

“AARGGHHH.” Kembali Pak Danang kesakitan dan kedua tangannya sekarang berusaha melindungi tulang iganya.

Akupun menghentikan seranganku sejenak.

“Ah, ah, ah, ah, ah.” Pak Danang kesakitan sambil memegangi tulang iganya dan mulutnya masih mengeluarkan darah segar.

“Biadab kamu. Biadab.” Ucapku sambil melangkah kearah kedua kakinya yang terbuka. Aku lalu berdiri diantara kedua kakinya dan kedua mata Pak Danang terlihat terbuka lalu menutup, karena sakitnya seranganku tadi.

Lalu tanpa melanjutkan ucapanku, aku langsung menginjak bagian selangkangannya dengan sekuat tenagaku.

BUHHGGGG.

“AAAARRGGGGHHHHH.” Pak Danang berteriak dengan mata yang melotot dan dia sampai terduduk, sambil memegangi selangkangannya itu.

Aku lalu menendang wajah sampingnya dengan punggung kakiku, juga sekuat tenagaku.

BUHHGGGG.

JEEDUUKKK.

BUUMMMMM.

Pak Danang roboh kesamping dan dia langsung tidak sadarkan diri, karena kepala sampingnya membentur lantai dengan keras.

Apa seranganku berhenti sampai disini.? Tidak. Aku membungkukan tubuhku lagi, lalu aku membopong tubuh Pak Danang di leher belakangku.

“AARGGGHHH.” Aku berteriak dengan emosinya, lalu aku melempar tubuhnya dengan posisi horizontal, sampai punggungnya menghantam ujung tiang kayu jati dengan kuatnya.

BUUHHGGG.

KRAAAKKK.

BUUMMMM.

“AARRGGHHHH.” Teriak Pak Danang yang langsung tersadar, karena punggungnya telah patah.

Tubuhnya tidak bisa bergerak, hanya kedua tangannya saja yang bergerak tanpa arah. Aku lalu menyeretnya lagi dan membuatnya terlentang.

“ARGHH, ARGHH, ARGHH.” Racau Pak Danang kesakitan, dengan bola mata yang berwarna hitam, melihat keatas.

Aku lalu memundurkan langkahku, setelah itu aku meloncat dan mengarahkan lututku kearah selangkangannya.

BUUHHGGG.

KRAAAKKK

“ARGGHHHH.” Jerit kesakitannya terdengar merdu dan dia tidak bisa duduk lagi, karena punggungnya telah patah.

“Bagaimana rasa sakit ini.? Nikmat ya.?” Tanyaku sambil berdiri, lalu aku membersihkan darahku yang masih menetes dan menghalangi pandanganku.

“ARGHH, ARGHH, ARGHH.” Pak Danang tidak menjawab pertanyaanku dan dia terus meracau kesakitan.

Aku membungkukan tubuhku lagi, lalu aku memeteng lehernya dari arah belakang tubuhnya dan memaksanya untuk duduk .

“HUUPPP.” Dia mencoba melepaskan petenganku dilehernya, tapi sudah tidak sekuat tadi.

“Bagaimana rasa sakit ini.? Nikmat gak.?” Tanyaku sambil memetengnya dengan kuat, sampai dia kesulitan bernafas.

“Nik, nik, nik, nikmat. Senikmat meki Denok.” Ucap Pak Danang.

“Hehehe.Djiancok.” Makiku, lalu aku melepaskan rangkulanku dilehernya.

“ARRGHHH.” Pak Danang merintih kesakitan, karena punggungnya tidak kuat menahannya duduk.

Tubuhnya terkulai dan dia akan roboh, tapi aku menahannya untuk tetap duduk.

“AARRGGGHHHH.” Pak Danang berteriak kesakitan, sambil mendangakkan kepalanya.

Aku menjambak rambutnya dengan tangan kiri dan tangan kananku memegang dagunya. Setelah itu.

KRAKKK.

Aku menarik dagunya kearah Atas, sedangkan jambakanku aku arahkan kebawah, sampai terdengar bunyi patahan dilehernya.

“HORRGGGG.” Tubuh Pak Danang mengejang, sambil memuntahkan darah segar..

Aku lalu menjambak rambut belakangnya, setelah itu aku membanting wajahnya kearah depan.

BUUMMMM.

Pak Danang menggelpar dilantai, dengan darah yang menggenang disekitar wajahnya.

Cok. Kenapa aku belum puas membantai manusia satu ini ya.? Oh iya. Aku kan belum memakan jantungnya. Bajingann.

Aku lalu mendekat kearah Pak Danang yang tertelungkup ini. Dan ketika aku akan membalikkan tubuhnya.

“JOK.” Panggil Gilang dan aku langsung melihat kearahnya.

“Cari Mba Denok diruang belakang.” Ucap Gilang dan tubuhku langsung lemas seketika.

Denok. Bagaimana keadaannya sekarang.? Dia pasti sangat terpukul dan dia bisa saja bunuh diri, karena kejadian yang merenggut kehormatannya ini.

Aku harus segera mencarinya dan aku harus menemukannya. Bagaimanapun kondisi Denok saat ini, aku akan tetap mencintainya dengan sepenuh hatiku. Aku bukan hanya mencintai raganya, tapi aku mencintai jiwanya.

Aku akan menikahinya setelah ini dan aku akan mendampinginya seumur hidupku. Aku tidak akan membiarkannya bersedih setelah kejadian ini dan aku akan selalu menghiburnya dengan cintaku yang tulus.

Akupun langsung berdiri, lalu berlari kearah pintu ruang tengah.

Dan setelah melewati pintu ruang tengah yang salah satunya tertutup ini, terdengar bunyi kaca yang dipecahkan disebuah kamar.

PRANNGGG.

Cuukkk.

Itu pasti Denok dan dia pasti akan mengakhiri hidupnya. Akupun berlari kearah kamar yang tertutup itu, lalu aku mendobrak pintu kamar dengan injakan kakiku.

BRUAKKKK.

Pintu kamar terbuka dan aku langsung masuk kedalamnya.

Dan didalam kamar itu, wanita yang aku cintai berdiri didekat kaca dengan kondisi yang sangat mengenaskan sekali. Tubuhnya telanjang bulat, rambutnya acak – acakan, wajah cantiknya dipenuhi luka dan selangkangannya tampak dipenuhi darah.

Akupun langsung terpaku karena Denok menatapku dengan tatapan yang kosong. Sebenarnya aku ingin langsung mendekat dan mendekap tubuhnya. Aku ingin memberinya kekuatan dengan cinta tulusku, tapi aku tidak berani mendekat.

Tangan kanan Denok memegang kaca dan bagian tajamnya, sudah ditempelkan diurat nadi lengan kirinya. Aku takut kalau aku langsung mendekat kearahnya, di langsung berbuat nekat.

Aku pun menatapnya dengan cinta dan sayangku, sambil menggelengkan kepalaku pelan.

Dan.

Sreetttttt.

Denok menggoreskan kaca itu dengan sangat kuat, sampai darah mengucur dengan derasnya.

Tubuh Denok langsung lunglai dan aku berlari kearahnya dengan cepat. Mulutku tercekat dan aku tidak mampu mengucapkan sepatah katapun. Aku hanya berlari dengan air mata yang mulai menetes dipipiku.

Dan sebelum tubuhnya menyentuh lantai, aku langsung membungkukan tubuhku dan mendekapnya dengan sangat kuat. Aku tidak ingin tubuh kekasihku ini terjatuh dan terkena pecahan kaca yang tercecer diruangan ini.

BUHHHGGG.

Aku terduduk sambil memeluk kekasihku tercinta ini dan kedua matanya dipaksa untuk terbuka. Dia terus menatapku dan dia seolah ingin meminta maaf kepadaku.

Bibirku terkunci dan aku tidak mampu mengucapkan sepatah katapun. Entah apa yang terjadi dengan diriku saat ini, karena aku justru tidak bisa mengucapkan kata agar dia bisa bertahan lebih lama. Mulutku seakan dibekap dan aku juga tidak bisa mengucapkan kata, jangan tinggalkan aku.

Jantungku berdetak dengan cepat seperti memompa air mataku, agar terus mengalir dengan derasnya.

“Hiks, hiks, hiks.” Suara tangisku akhirnya keluar dan aku merasa Denok mengangkat tangan kanannya dengan bergetar, lalu mencoba menyentuh kelopak mataku yang berair.

“Ma, ma, ma, maaf. Ci, ci, cintaaaa.” Ucap Denok lalu tangan kanannya terkulai, seiring tubuhnya yang melemas.

“DENOKKKKK.” Teriakku sambil mendekap tubuh kekasihku ini.

“Aku sayang kamu. Aku cinta kamu. Aku membutuhkanmu. Jangan tinggalkan aku Nok, jangan. Hiks, hiks, hiks.” Ucapku dengan di iringi deraian air mataku.

Aku menangis sejadi – jadinya dan aku semakin mendekap tubuhnya, sampai dadanya menempel erat didadaku. Dan tiba – tiba,

Tap.

Sebuah kotak kecil keluar dan terjatuh dari kantong celana bagian depanku. Kotak kecil berwarna merah hati yang sudah tidak berbentuk ini, keluar dan seperti menandankan sesuatu.

Apa cincin ini bisa membuat Denok tetap bertahan didunia ini.? Apa dia akan memiliki semangat hidup lagi dan mau menghabiskan masa tuanya bersamaku.? Semoga saja. karena saat ini, hanya harapan saja yang aku punya dan harapan itu adalah Denok.

Aku lalu mengambil kotak itu dengan tangan kiri dan tangan kanan tetap mendekap tubuh Denok.

Aku buka kotak itu dengan tangan kiriku, lalu aku mengambilnya dengan tangan kananku.

Aku letakkan leher bagian belakang Denok dilengan kiriku, lalu aku berbisik ditelinganya.

“Kamu adalah kekuatanku dan kamu nyawaku saat ini Nok. Kamu alasanku untuk tetap bertahan didunia ini dan aku berharap kamu juga seperti itu kepadaku. Aku tidak bisa hidup tanpa melihatmu, karena itu sangat menyiksaku. Aku ingin melihatmu setiap hari selama sisa hidupku dan aku pasti akan menghadirkan senyum dibibir manismu ini sayang. Kamu maukan menikah dengan aku.?” Ucapku dengan air mata cinta yang terus mengalir dipipiku.

Lalu dengan jemari yang bergetar, aku memasangkan cincin bermata biru muda ini dijari manis tangan kanannya. Aku tidak mau memasangkannya ditangan kiri, karena aku ingin langsung menikahinya, kalau nyawanya bisa terselamatkan.

“Aku sayang kamu Nok, aku sayang kamu.” Ucapku sambil melihat cincin yang sangat pantas tersemat dijari manisnya itu.

Aku lalu mendekap tubuh Denok dengan erat lagi.

Detak jantungnya yang perlahan mulai melemah, mulai mempompa dengan agak cepat.

“Sayang, sayang. Kamu bisa bertahan kan.?” Ucapku sambil melemaskan dekapanku dan mata Denok tetap terpejam.

Cuukkk. Kelihatannya Denok bisa merespon aku, walaupun matanya terpejam. Kelihatannya dia mempunyai harapan dan aku harus segera membawanya kerumah sakit.

Aku lalu menegakkan dudukku dan bersiap untuk berdiri.

Karena tubuh Denok telanjang bulat, aku lalu menarik sprei yang terlihat banyak bercakan darah ini, setelah itu aku menutupi tubuh Denok.

Aku membopong tubuh Denok dan berdiri dengan tegak. Lalu dengan panik dan terburu – buru, aku keluar kamar ini dan menuju kearah ruang tengah.

BRUAKKK.

Aku menendang pintu ruang tengah yang salah satunya tertutup, karena kalau satu pintu saja yang terbuka, pasti tidak akan cukup kami lewati.

Setelah pintu ruangan tengah terbuka, aku berlari kearah pintu depan, tanpa melihat kearah Gilang.

“DENOKKK.” Teriak Pak Jarot.

Aku tidak menghiraukan panggilan bajingann itu dan dari arah luar, muncul Mas Jago, Mas Candra dan Pak Jaka.

Aku pun menghentikan langkahku, karena terhalang mereka bertiga.

“Urus dia dan Joko menjadi urusanku.” Ucap Pak Jaka kepada seseorang dibelakangku.

Aku sempat meliriknya dan itu Gilang yang berjalan mendekati aku.

“Go. Nyalakan mobilnya sekarang. Kita kerumah sakit.” Ucap Pak Jaka.

Mas Jago dan Mas Candra langsung keluar dari rumah ini, sedangkan aku tetap berdiri di depan pintu rumah ini.

Jujur setelah aku melirik kearah Gilang yang berdarah – darah itu, aku bingung dengan apa yang akan aku lakukan saat ini. Kalau aku pergi kerumah sakit, berarti aku akan meninggalkan Gilang yang belum menyelesaikan pertarungannya. Kalau aku tetap disini, Denok pasti akan kehilangan harapan untuk hidup.

Dan ditengah kebingunganku ini, aku melihat ada dua bayangan putih yang sangat menakutkan berdiri didepan rumah ini. Kedua bayangan itu terlihat sama dan mungkin dia mahluk kembar yang berasal dari alam lain.

Pandanganku lalu beralih ke bulan purnama yang tadinya bersinar dengan terang, sekarang mulai sedikit tertutup dan warnanya memerah.

Bajingann. Apa malam ini gerhana bulan merah.? Kalau kedatangan dua mahluk kembar berwarna putih ini disertai gerhana bulan merah, pasti kedua mahluk ini memiliki tambahan kekuatan yang sangat luar biasa. Aku pernah melihat salah satu mahluk berwarna putih itu, ketika mahluk itu menyamar menjadi Intan dan akan membunuh Gilang. Mahluk itu memiliki kekuatan yang sangat luar biasa, sampai aku dan Gilang tidak bisa mendeteksi kedatangannya waktu itu. Dan ingat, tanpa ada gerhana bulan merah saja, kekuatan mahluk itu sudah sangat luar biasa. Apalagi ada gerhana bulan merah.? Djiancok.

Perlahan aku menoleh kearah Gilang, sambil tetap membopong Denok.

“Lang.” Ucapku kepada Gilang, dengan suara yang bergetar.

“Pergilah dan selamatkan Mba Denok. Bagaimanapun kondisinya, dia harus diselamatkan.” Ucap Gilang dengan tenangnya dan dia pasti tidak mengetahui kehadiran dua mahluk berwarna putih ini. Gilang juga pasti tidak tau kalau malam ini, malam gerhana bulan merah.

“Tapi lang.?” Ucapku terpotong, karena tatapan mata Gilang berubah menjadi tajam.

“Jangan pernah balik kesini, karena aku pasti akan marah kepadamu. Sekarang pergilah, nanti aku yang menyusulmu.” Ucap Gilang dengan sangat tegas dan kalau sudah seperti ini, dia tidak bisa dibantah lagi.

Kelihatannya aku harus membawa Denok kerumah sakit yang terdekat dulu, setelah itu aku balik kesini. Percuma aku memaksakan tetap disini saat ini, karena itu pasti akan merusak semuanya.

“Hiufftt, huuu.” Aku menarik nafasku dalam - dalam, lalu mengeluarkannya perlahan.

“Hati – hati.” Ucapku lalu berjalan kearah mobil Mas Jago yang sudah menungguku.

Semoga kamu bisa mengalahkan kedua mahluk itu Lang. Kalau kamu tidak sanggup, semoga kamu bisa bertahan dan tunggu kedatanganku.

Aku benar – benar dilema dengan kondisi saat ini dan aku terpaksa meninggalkan sahabatku. Aku meninggalkannya padahal dia sudah berjuang untuk menyelamatkan Denok lebih dulu dari pada aku. Bajingann.

Didalam mobil inipun, kembali aku mendekap tubuh kekasihku yang masih terasa sangat hangat sekali.

Aku mendekapnya sambil memandang wajah manisnya yang seperti sedang tertidur ini.

“Gerhana bulan merah.” Samar – samar suara Pak Jaka terdengar dan aku langsung melihat kearah luar jendela mobil.

Aku melihat kearah bulan dan aku tetap memeluk erat tubuh Denok.

Bulan terlihat berwarna merah darah, karena posisinya sejajar dengan matahari, bumi dan bulan itu sendiri. Ukuran bulan terlihat lebih besar dari pada biasanya, karena saat ini posisinya berada paling dekat dengan bumi.

Tubuhku langsung merinding, merasakan getaran aura mistis yang tiba – tiba menyelimuti diriku. Darahku yang mulai dingin karena memeluk Denok, sekarang kembali memanas dengan sendirinya. Entah karena apa, tapi yang jelas aku merasakan kehadiran sosok mahluk yang sangat luar biasa didalam tubuhku.

Dan ketika aku menikmati getaran – getaran didalam tubuhku, aku merasa tubuh Denok mulai melemah dan jantungnya kembali berdetak pelan.

“Nok, Denok.” Ucapku dengan paniknya.

“Kenapa Jok, kenapa.?” Tanya Mas Candra yang ada disebelahku.

“Nok, Denok.” Ucapku sambil menepuk pipi Denok pelan.

“Jago, injak lagi gasmu.” Ucap Pak Jaka dengan paniknya.

“I, i, iya Om.” Sahut Mas Jago dan mobil ini semakin kencang melaju.

“Sayang, sayang.” Panggilku dan tubuh Denok langsung melemas seketika.

Tubuhnya yang hangat, perlahan mulai dingin dan bibirnya perlahan tersenyum kepadaku.

Aku lalu mendekap tubuh Denok dan aku tidak merasakan detakan jantungnya lagi.

“DENOOKKKK.” Teriakku dengan emosinya lalu aku mencoba mencari denyut nadi di pergelangan tangan kanannya, tapi aku tidak menemukannya.

“Mba, mba, Mba Denok sudah pergi Mas.” Ucap Pak Jaka dengan suara yang bergetar.

“AARRGGGHHHHH.” Aku berteriak lagi sambil memeluk tubuh kekasihku dengan kuatnya.

Cuukkk. Seketika itu juga aku merasa langit ini runtuh dan menghantam kepalaku.

Setelah kehilangan kedua orang tuaku, hari ini juga aku harus kehilangan kekasihku tercinta.

Setelah kehilangan langit pelindung yang penuh dengan cinta, hari ini juga aku harus kehilangan awan yang selalu menaungi aku dengan sayang dan perhatiannya.

Setelah aku kehilangan sumber kehidupanku, hari ini juga aku kehilangan telaga yang menampung seluruh kehidupan.

Aku telah kehilangan segalanya dan aku tidak memiliki apa – apa lagi saat ini. Ragaku memang bernyawa, tapi jiwaku telah angkat kaki. Aku memang bernafas, tapi kehidupanku telah pergi. Jantungku memang berdetak, tapi rasaku telah mati.

BAJINGAANN.

Aku mendekap tubuh kekasihku yang sekarang terasa dingin ini, tanpa ada air mata lagi. Kesedihan ini begitu nikmat dan aku tidak bisa melukiskannya dengan kata – kata.

Diam, diam, dan hanya diam. Aku terdiam sambil memejamkan kedua mataku dan aku memaju mundurkan tubuhku, seperti menina bobokan Denokku tersayang.

Dan beberapa saat kemudian.



“Terimakasih ya sayang.” Tiba – tiba terdengar suara Denok yang duduk dibelahku.

Aku lalu membuka kedua mataku dan sekarang aku berada di pondok ditengah hutan Desa Sumber Banyu. Aku dan Denok duduk bersebelahan, sambil melihat kearah sumber air dihadapan kami ini.

“Untuk apa kamu berterimakasih Nok.? Untuk rasa yang telah mati dihatiku saat ini.?” Tanyaku dan entah kenapa aku menjadi dingin seperti ini dengan Denok.

“Aku telah pulang kerumahku yang. Rumah yang sebenar – benarnya tujuan dari akhir segalanya.Dan kamu sudah mengantarkan aku kerumah ini, dengan cintamu ini.” Ucap Denok sambil menoleh kearahku dan menunjukan cincin yang melingkar dijari manisnya.

“Iya. Dan aku harus sendiri karena cintaku yang telah kau bawa pergi.” Ucapku sambil meliriknya sejenak, lalu melihat kearah depan lagi.

“Rasa yang mati itu, bukanlah karena perpisahan sayang. Itu hanya perasaanmu yang kehilangan diriku, padahal aku bukan lagi milikmu.” Ucap Denok dan aku hanya tersenyum sinis.

“Kamu tidak akan bisa kehilangan rasa yang kamu miliki, tapi kamu juga tidak akan bisa memaksa untuk aku tidak pergi, karena aku memang bukan milikmu lagi.” Ucap Denok lagi.

“Ikhlaskan aku sayang. Ikhlaskan. Kalau kamu mengikhlaskan aku, maka kamu akan menemukan kebahagiaan yang lain.” Ucap Denok dan aku hanya menggelengkan kepala pelan.

“Mungkin aku akan belajar mengikhlaskan kamu, tapi aku tidak perlu belajar untuk mencintai yang lain, karena cinta dan bahagiaku telah mati bersamamu.” Jawabku.

“Didalam kebahagiaan itu, pasti ada kesedihan yang mengiringi langkahnya. Dan sekarang aku sudah cukup bahagia, walaupun aku sedih meninggalkan kamu.” Ucap Denok.

“Sudahlah. nimati saja kebahagianmu dirumahmu yang baru dan aku akan menikmati kebahagianku dengan caraku.” Jawabku dan aku langsung berdiri.

“Jangan seperti itu. Kehidupanmu masih panjang dan masih banyak cinta yang akan kamu dapatkan.” Ucap Denok yang mencoba menghiburku.

“Cintaku telah mati dan sekarang disisa hidupku, aku hanya akan menunggu ajalku.” Jawabku dan aku langsung melangkah kearah sumber mata air keramat itu, lalu aku menceburkan diriku kedalam airnya yang sangat jernih.





#Cuukkk. Kesedihan ini begitu nikmat dan aku sangat menikmatinya. Djiancuukkk..!!!
 
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd