Agen Terpercaya  
 
 
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

CERBUNG - TAMAT I M P I A N 2

Absen malam
Selamat tengah malam....wayahe absen...SEMONGKO.......
Absen dini hari dulu ini sambil ronda
absen pagi
Absen aja dulu
Absen doloe
absen siang
Absen sore
Nitip absen ya om...
Absen dulu
antri absen di belakang terminal
 


BAGIAN 34
GETARAN HATI


“Kenapa minggu lalu kamu bohongi aku.?” Tanya Mas Pandu kepadaku dan kami sekarang duduk bertiga, didepan kampus teknik kita. Aku, Mas Pandu dan temannya yang seorang aparat berpakaian bebas, bernama Mas Tegar.

“Bohong apanya Mas.?” Tanyaku balik.

“Jangan pura – pura gak ingat, kutinju kamu nanti.” Ucap Mas Pandu, sambil mengepalkan tangan kanannya ke arahku.

“Hehe.” Dan akupun hanya tertawa saja, lalu aku menghisap rokokku.

“Jawab cok. Kok malah ketawa.” Ucap Mas Pandu dengan nada yang sedikit kesal.

“Oke, oke. Aku jawab pertanyaan sampean Mas.” Ucapku terpotong, lalu aku menghisap rokokku lagi.

“Huuuu.” Aku buang asap rokok yang memenuhi mulutku, lalu aku melihat ke arah Mas Pandu.

“Mas. Sampean kan pernah bilang sama aku, waktu dikosan pondok merah hari itu. Sampean menyerahkan semua masalah Intan sama aku, kok sekarang malah marah – marah sih.?” Ucapku dan Mas Pandu langsung terkejut mendengar jawabanku.

“Cok. Jadi yang menyebabkan kematian Intan itu Pak Danang dan Pak Jarot.?” Tanya Mas Pandu.

“Kok sampean bisa menyimpulkan seperti itu.?” Tanyaku balik.

“Kamu pergi meninggalkan Joko yang dalam keadaan berduka dan Joko langsung menyusulmu, bertepatan dengan kematian kedua orang itu. Apa itu kurang cukup bagiku untuk membuktikan kesimpulanku barusan.? Belum lagi dengan masalah Denok yang diperkosa Pak Danang, kamu pasti sudah membaca semua itu kan.” Ucap Mas Pandu dan kembali aku menghisap rokokku.

“Bener dugaanku kan Ndu.” Ucap Mas Tegar menyahut.

“Assuu. Aku juga punya pemikiran seperti itu Gar. Tapi aku gak menyangka kalau dia mau menyelesaikan masalah ini berdua dengan Joko.” Ucap Mas Pandu kepada Mas Tegar, lalu melihat ke arahku.

“Aku memang menyerahkan semua masalah Intan sama kamu Lang. Tapi aku kan pesan sama kamu, kalau ada informasi tolong kabari aku. Kenapa kamu malah bertindak berdua aja sama Joko.? Kalau seandainya kemarin kalian yang terbantai bagaimana.?” Ucap Mas Pandu kepadaku lalu melirik ke arah Mas Tegar.

“Kalau menurutku, gak mungkin Gilang sama Joko aja yang menyerang Markas Pak Danang. Pasti ada orang lain yang membantunya.” Ucap Mas Tegar dan aku langsung meliriknya.

“Maksudmu.?” Tanya Mas Pandu.

“Kamu pasti paham orang yang aku maksud.” Jawab Mas Tegar sambil membalas lirikanku.

“Mas Irawan.?” Tanya Mas Pandu dan Mas Tegar hanya tersenyum saja.

Mas Pandupun langsung melihat ke arahku dengan tatapan mata yang bertanya – tanya.

“Kenapa sampean lihat aku Mas.?” Tanyaku.

“Kamu belum menjawab pertanyaanku tentang keterlibatan Pak Danang dan Pak Jarot dengan kematian Intan. Terus sekarang ada pertanyaan baru, apa Mas Irawan ikut penyerangan malam itu.?” Tanya Mas Pandu dengan seriusnya.

“Hehe.” Aku hanya tersenyum saja mendengar pertanyaan beruntun Mas Pandu ini.

“Cok. Masalah Mas Irawan gak usah dijawab, tapi masalah tentang kematian Intan harus kamu jawab.” Ucap Mas Pandu.

“Hiuffttt, huuuu.” Aku menarik nafasku dalam – dalam, lalu aku mengambil botol vodka gepeng yang isinya sisa setengah. Aku dan Mas Pandu sama – sama memegang vodka gepeng, sementara Mas Tegar tidak ikut minum.

Gluk, gluk, gluk.

“Ahhhhh.” Ucapku setelah meminum sedikit vodka gepeng ini.

Aku letakkan botol ini lagi, setelah itu aku menghisap rokokku. Mas Pandu dan Mas Tegar terus menatapku dan mereka menunggu jawabanku.

“Iya Mas. Pak Jarot yang menjadi actor di lapangan dan Pak Danang yang menjadi sutradaranya.” Ucapku yang mulai bercerita.

“Bagaimana kamu yakin tentang hal itu.?” Tanya Mas pandu.

Aku lalu mengeluarkan patahan gantungan kunci yang masih aku simpan dikantongku dan aku meletakannya diatas meja.

“Apa ini.?” Tanya Mas Pandu.

“Itu patahan gantungan kunci milik Pak Jarot.” Jawab Mas Tegar.

Aku dan Mas Pandu langsung melihat ke arah Mas Tegar.

“Tau dari mana kamu Gar.?” Tanya Mas Pandu.

“Tau dari orang yang memegang sisa patahan gantungan kunci itu.” Jawab Mas Tegar dan akupun langsung terkejut mendengar jawaban Mas Tegar.

“Siapa orang itu.?” Tanya Mas Pandu.

“Aku cerita dari awal ya.” Ucap Mas Tegar.

Aku dan Mas Pandu langsung mengangguk mendengar ucapan Mas tegar.

“Aku itu sudah lama menyelidiki sepak terjang Pak Danang dan Pak Jarot, tapi aku gak bisa memproses lebih lanjut. Komandan di divisiku itu saudara Pak Danang dan dia selalu menghalangi jalanku.” Ucap Mas Tegar.

“Oh iya.? Tapi kamu sudah pegang semua buktinya.?” Tanya Mas Pandu dan aku hanya menjadi pendengar saja.

“Sudah. Aku sudah memegang semua buktinya. Mulai bukti dari kematian David, Hendra dan beberapa mahasiswa yang bekerja dikantor Pak Danang. Bukti tentang kematian Intan, bukti tentang Dani yang akhirnya membuka semua penyelidikanku dan beberapa bukti kejahatan lain yang dilakukan Pak Danang serta Pak Jarot.” Jawab Mas Tegar.

“Apa yang Mas ketahui tentang Dani dan kematian Intan.?” Tanyaku yang akhirnya ikut bersuara.

“Dani itu anak dari Pak Jarot.” Jawab Mas Tegar.

“Iyo ta.?” (Iya kah.?) Tanya Mas Pandu yang terkejut.

“Iya. Dan Dani tau berita itu dari Ibunya sendiri, sebelum Ibunya dibunuh oleh Pak Danang.” Jawab Mas Tegar.

“Patahan gantungan kunci itu yang membuka mistery ini. Gantungan kunci itu dibeli dipulau dewata, ketika Pak Jarot dan Ibunya Dani berselingkuh disana. Ibunya Dani menyerahkan kepada Pak Jarot, sebagai kenang – kenangan cinta terlarang mereka. Dan pada saat gantungan kunci itu patah, Ibunya Dani marah dan mengambil patahannya itu dari Pak Jarot untuk disimpannya. Dikemudian hari patahan gantungan kunci itu diserahkan kepada Dani dan Ibunya memerintahkannya, untuk menemui Pak Jarot dan bertanya tentang siapa Ayah kandungnya.” Ucap Mas Tegar dan Mas Pandu hanya menggelengkan kepalanya.

“Bagaimana kamu mengetahui ini semua.?” Tanya Mas Pandu.

“Dani sekarang berada ditahanan, karena aku menangkapnya dalam kasus narkoba.” Ucap Mas Tegar.

“Serius Mas.?” Tanyaku yang terkejut.

“Serius. Aku menangkapnya tengah malam, ketika kamu menghabisi Pak Jarot.” Jawab Mas Tegar yang membuatku makin terkejut.

“Dani yang masih terpengaruh narkoba itu, bercerita panjang sambil marah – marah kepadaku dan dia menganggapku sebagai Pak Jarot.” Ucap Mas Tegar lagi.

“Gila.” Gumamku pelan.

“Sebentar dulu. Katamu tadi ada saudara Pak Danang yang menjadi komandanmu. Jadi bagaimana bisa kamu menahan Dani.?” Tanya Mas Pandu.

“Siang hari sebelum kejadian, dia sudah ditarik ke ibukota negara dan penggantinya itu mendukungku untuk mengungkap semuanya, termasuk menangkap Dani yang sudah lama kami incar. Dani itu Bandar besar dan sebenarnya dia itu bukan pemakai. Mungkin karena pusing dengan permasalahan keluarga yang dihadapinya, akhirnya dia menggunakan juga malam itu.” Jawab Mas Tegar dan Mas Pandu hanya mengangguk pelan.

“Kamu juga pasti tau kalau Dani itu Bandar besar kan Ndu.?” Tanya Mas Tegar ke Mas Pandu dan Mas Pandu hanya meliriknya.

Aku menarik nafasku dalam – dalam, lalu aku menghisap rokokku lagi. Aku sebenarnya tidak terlalu ambil pusing dengan masalah Dani. Tapi karena ini ada sangkut pautnya dengan kejadian yang terjadi kemarin, mau gak mau aku mendengarkan dan aku ingin mendengar penjelasan kasus lain yang diketahui Mas Tegar.

“Terus tentang kematian Intan.?” Tanyaku.

“Intan itu sebenarnya ingin diculik dan dijadikan sandra oleh Pak Danang. Dia ingin mengancam Hendra yang sangat mencintai Intan, agar menuruti semua kemauan Pak Danang. Dia ingin Hendra me mark up semua laporan proyeknya, supaya Kantor Pak Danang mendapatkan keuntungan yang besar.”

“Pak Jarot yang ditugaskan untuk menculik Intan, gagal menjalankan tugasnya dan justru Intan bunuh diri didalam kosannya.” Jawab Mas Tegar.

“Apa menurut Mas Tegar, Intan bunuh diri setelah diperkosa Pak Jarot.?” Tanyaku lagi.

“Enggak, Intan gak diperkosa Pak Jarot. Intan bunuh diri dengan pakaian yang masih lengkap dan tidak ada ditemukan tanda – tanda sedikitpun, kalau tubuhnya disentuh oleh Pak Jarot.” Jawab Mas Tegar.

“Tapi kenapa Intan bunuh diri, kalau dia tidak diperkosa oleh Pak Jarot.?” Tanya Mas Pandu.

“Karena ketakutan Mas.” Jawabku dan mereka berdua langsung melihat ke arahku.

“Pak Jarot datang lewat pintu belakang dan Intan berusaha menutup pintu belakang, tapi diganjal gantungan kunci ini sampai patah. Bagaimana aku tau.? Aku menemukan gantungan kunci ini dibelakang rumah dan aku juga melihat goresan bekas ganjalan gantungan kunci ini dipintu belakang.” Ucapku.

“Aku baru tau kalau Pak Jarot mengejar Intan sampai pintu belakang dari ceritamu ini Lang. Aku kira Pak Jarot hanya sampai pintu depan dan Intan sudah sangat ketakutan.” Ucap Mas Tegar.

“Aku hanya berani menyimpulkan kalau Intan itu ketakutan, hanya sebatas itu Mas. Sedangkan untuk penyebab ketakutannya yang sangat luar biasa, aku gak berani berandai – andai. Jadi kira – kira apa yang menjadi penyebab Intan ketakutan, sampai akhirnya dia bunuh diri.? Apa Intan sudah diculik, tapi dia melarikan diri dan Pak Jarot mengejarnya lewat pintu belakang.?” Tanyaku ke Mas Tegar.

“Intan itu sudah diteror oleh Pak Jarot, beberapa hari sebelum kejadian. Mulai dari berupa tulisan sampai dikirim mahluk – mahluk ghaib.” Jawab Mas Tegar.

Cuukkk. Apa makluk ghaib itu, mahluk mata putih yang dimilik Pak Jarot.? Bajingann.

“Mahluk Ghaib.?” Tanyaku memancing Mas Tegar.

“Percaya gak percaya sih. Tapi menurut temanku yang mengerti hal seperti itu, Intan sudah mengalami hal – hal yang buruk karena diteror mahluk ghaib kiriman Pak Jarot. Jadi ketika Pak Jarot datang kekosannya, Intan pasti sangat ketakutan sekali sampai nekat gantung diri.” Jawab Mas Tegar.

“Dan untuk menutupi semua itu, akhirnya dibuatlah cerita. Intan telah bunuh diri karena dihamili oleh Hendra Sanjaya dan Hendra Sanjaya bersedih, lalu ikut bunuh diri menyusul orang yang dicintainya.” Ucap Mas Tegar, sambil melihat kearah Mas Pandu.

“Padahal Hendra dihabisi oleh Pak Jarot, lalu jasad beserta motornya dibuang kejurang.” Ucap Mas Pandu menyahut dan Mas Tegar mengangguk pelan.

“Bajingan.” Gumam Mas Pandu pelan, lalu dia meminum vodka gepeng yang ada ditangannya.

“Sampean gak tau ceritanya kalau seperti ini ya Mas.?” Tanyaku ke Mas Pandu.

“Enggak. Aku gak tau kalau sampai serumit ini.” Jawab Mas Pandu.

“Tapi kenapa sampean bilang sama aku, kalau Dani yang menjadi kunci mistery kematian Intan.?” Tanyaku lagi.

“Karena aku mengira kalau kematian Intan, ada hubungannya dengan cinta segi empat antara dia, Hendra, Intan dan Gendhis. Aku mengira Dani yang mengetahui kalau Gendhis mencintai Hendra, berperan besar terhadap kematian Hendra dan juga Intan. Tapi ternyata engga seperti itu dan masalahnya justru diluar dugaanku. Bajingan.” Ucap Mas Pandu.

Kami bertiga diam sejenak. Aku dan Mas Pandu meminum minuman masing – masing, sementara Mas Tegar melihat ke arah jam tangannya.

“Oh iya Mas. Siapa yang buat cerita tentang Pak Danang yang membunuh Pak Jarot, lalu setelah itu Pak Danang bunuh diri dengan membakar rumah tuanya sendiri.?” Tanyaku ke Mas Tegar.

“Kalau masalah itu, kamu tanya aja ke Pandu. Aku mau kekantor dulu.” Ucap Mas Tegar, lalu dia berdiri.

“Kenapa tanya ke aku.? Aku kan gak tau kejadiannya.” Jawab Mas Pandu.

“Cara – cara memusnahkan tempat kejadian perkara dengan cara diledakan, hanya keluarga Jati saja yang punya pemikiran seperti itu.” Ucap Mas Tegar ke Mas Pandu.

“Dan untuk berita yang tersebar tentang kematian Pak Danang dan Pak Jarot, mungkin untuk mengalihan peranmu yang sangat besar dalam kasus ini.” Ucap Mas Tegar kepadaku dan aku langsung mengerutkan kedua alis mataku.

“Sudahlah, aku pamit dulu. Nanti aku telat kekantor lagi.” Ucap Mas Tegar, lalu dia mengajakku bersalaman, setelah itu dia bersalaman dengan Mas Pandu.

“Oh iya Ndu. Kelihatannya setelah ini Adam yang akan menjadi satu – satunya orang, yang akan mengendalikan bisnis narkoba dikota ini.” Ucap Mas Tegar setelah melepaskan jabatan tangannya di Mas Pandu dan kembali aku terkejut dibuatnya.

“Maksudnya.?” Tanya Mas Pandu.

“Jangan menutupi dari aku Ndu. Aku sahabatmu.” Jawab Mas Tegar.

“Hiuufftt, huuuu.” Mas Pandu menarik nafasnya dalam – dalam, lalu mengeluarkannya perlahan.

“Apa kamu juga mengincar Adam dan kamu mau menangkapnya.?” Tanya Mas Pandu.

“Enggak. Berat urusannya kalau mengobrak – abrik pondok merah. Mungkin Orang – orangnya ‘Bapak’ yang ada dilingkungan kami, yang akan menyelesaikan masalah itu.” Jawab Mas Tegar lalu tersenyum, setelah itu dia membalikan tubuhnya dan meninggalkan kami berdua diwarung ini.

Cuukkk. Ngeri juga permainan pondok merah ini. Mereka bermain narkoba dan tidak ada yang berani menyentuhnya. Luar biasa.

Tapi ngomong – ngomong, siapa ‘Bapak’ yang dimaksud Mas Tegar ya.? Kok sepertinya ‘Bapak’ itu punya pengaruh yang sangat kuat.? Bajingann.

“Adam itu pemain narkoba sejak lama.” Ucap Mas Pandu, setelah Mas Tegar hilang dari pandangan kami.

“Terus sampaean diam saja dan tidak menghentikannya.?” Tanyaku.

“Untuk sementara aku mendiamkannya.” Jawab Mas Pandu dan aku langsung mengerutkan kedua alis mataku.

“Kalau sudah terpusat pada satu orang dan dia satu – satunya yang menjadi Bandar, itu pasti akan lebih mudah memutus mata rantainya.” Ucap Mas Pandu lagi.

“Bukannya kata Mas Tegar tadi, Mas Adam satu – satunya orang yang mengendalikan narkoba dikota ini, setelah kematian Dani.?” Tanyaku.

“Sudahlah, kita gak usah bahas masalah ini. Semuanya butuh proses dan semuanya pasti akan berakhir pada saatnya nanti.” Ucap Mas Pandu yang seperti menutupi sesuatu, lalu dia meminum vodka gepeng yang ada ditangannya, setelah itu dia menghisap rokoknya.

Aku pun tidak bertanya lagi dan aku juga meminum vodka gepeng yang ada ditanganku, lalu aku menghisap rokokku.

“Mas Irawan beneran datang ya malam itu.?” Tanya Mas Pandu dan aku tidak menjawabnya. Aku hanya menikmati rokokku, sambil melihat ke arah luar warung ini.

“Aku tau kamu pasti dilarang bercerita kepada siapapun, tentang kehadirannya dikota ini.” Ucap Mas Pandu lagi dan aku tetap diam.

“Mas Irawan itu sudah berjanji tidak akan kekota ini lagi, kecuali ada masalah yang menyangkut keluarganya.” Ucap Mas Pandu dan aku langsung melihat ke arahnya.

“Kenapa Pakde Irawan berjanji seperti itu Mas.? Dan masalah apa yang bisa membawanya kemari, sampai dia menepikan janjinya itu.” Tanyaku yang terpancing dengan cerita Mas Pandu.

“Berarti benar kan Mas Irawan datang malam itu.?” Tanya Mas Pandu, lalu dia menghisap rokoknya.

“Hehehe.” Aku hanya tertawa pelan dan Mas Pandu langsung menggelengkan kepalanya.

“Assuu.” Maki Mas Pandu.

“Hehehe. Terus gimana Mas.?” Tanyaku.

“Terus apanya.? Kamu aja gak mau cerita sama aku tentang kehadiran Mas Irawan, jadi buat apa aku melanjutkan ceritaku.” Ucap Mas Pandu dengan nada yang sedikit kesal.

“Sudahlah Mas, sampean kan sudah tau jawabannya. Lanjut lagi lah ceritanya.” Ucapku dan kembali Mas Pandu menghisap rokoknya lagi.

“Hiuuffttt, huuuuu.” Mas Pandu mengeluarkan asap rokok yang tebal dari mulutnya.

“Kalau masalah janji, aku tidak berani menceritakannya. Itu masalah pribadi Mas Irawan dan sangat sensitive sekali.” Ucap Mas Pandu.

“Tapi kalau pertanyaanmu yang satunya lagi, aku berani menceritakannya.” Ucap Mas Pandu terpotong sejenak.

“Mas Irawan datang kekota ini, pasti ingin melihat perkembangan kota ini seperti apa, karena anaknya akan dikuliahkan dikampus teknik kita.”

“Mas Irawan itu masih ragu dengan keputusannya menguliahkan Sandi dikota ini, karena dia takut Sandi akan lebih menggila dan terjerumus di dunia hitam.” Ucap Mas Pandu dan langsung membuatku terkejut.

Pakde Irawan sudah bercerita tentang itu dan dia sudah memantapkan niatnya, bukannya ragu seperti yang diucapkan Mas Pandu barusan.

Apa Mas Pandu tidak tau masalah itu.? Apa Mas Pandu tidak tau, kalau Pakde Irawan memantapkan niatnya, karena Sandi sedang tersandung masalah di Pulau Seberang.? Atau jangan – jangan Mas Pandu malah tidak tau, kalau Sandi lagi tersandung masalah.? Gila.

Aku lalu melihat ke arah warung dan terlihat Gendhis sedang berjalan ke arah dalam kampus.

“Aku kedalam dulu ya Mas.” Ucapku lalu aku berdiri dan mematikan rokokku.

“Mau kemana.? Kita belum selesai mengobrolnya.” Ucap Mas Pandu.

“Mau asistensi tugas analisa struktur dulu.” Jawabku.

“Habiskan dulu minumanmu, baru kamu masuk.” Ucap Mas Pandu dan dia tidak mencegahku. Mas Pandu sudah tau, kalau sudah urusan kampus dia pasti tidak bisa mencegahku.

“Iya Mas.” Ucapku, lalu aku meraih botol vodka yang isinya sisa sedikit dan aku langsung menghabiskannya.

Gluk, gluk, gluk, gluk, gluk.

“Ahhhhhh.” Ucapku, lalu meletakkan botol kosong ini dimeja.

Aku lalu mengambil rokokku sebatang dan membakarnya.

“Nanti malam kalau bisa kekosan.” Ucap Mas Pandu kepadaku.

“Ada acara apa Mas.?” Tanyaku.

“Wagiyo, Ance sama Ramos, sudah wisuda. Jadi malam ini pesta perpisahan mereka.” Jawab Mas Pandu.

“Siap Mas.” Jawabku sambil mengambil tasku yang kusandarkan didinding, setelah itu aku memakainya dipunggungku.

“Aku kedalam dulu ya Mas.” Pamitku ke Mas Pandu.

“Ya.” Jawab Mas pandu, lalu dia meminum minumannya.

Aku lalu keluar warung dan berjalan ke arah dalam kampus, sambil menghisap rokokku.

Cuukkk. Sekarang waktunya aku melupakan semua masalah, diluar urusan kampus. Aku mau berkonsentrasi dengan kuliahku dan meraih impianku. Masalah pondok merah yang ada sarang narkobanya, itu urusan mereka. Gak perlu aku terlibat didalamnya, karena aku bukan penghuni kosan itu.

Masalah demi masalah yang kemarin sudah selesai, sangat menguras pikiran dan waktuku. Cukup sudah masalah diluar kampus yang aku hadapi. Masalah – masalah baru dikampus setelah ini, pasti akan datang. Salah satunya Gendhis, ya Gendhis.

Akhirnya setelah sekian lama, aku harus bertemu dengan Gendhis lagi. Aku harus asistensi tugas besarku kepada dia, sebelum aku bawa ke Dosen yang bersangkutan.

Kira – kira bagaimana ya nanti.? Apa suasana hatinya lagi baik.? Kelihatannya gak baik deh. Dani ditangkap karena narkoba, pasti sangat mempengaruhi suasana hati Gendhis. Semoga saja dia bersikap professional dan tidak melampiaskannya kepadaku.

Hiufftt, huuuu.

Aku terus berjalan ke arah dalam kampus, sambil menikmati rokokku. Pikiranku melayang dan akhirnya berlabuh pada seorang wanita, siapa lagi kalau bukan Intan.

Sudah seminggu ini dia meninggalkan aku tanpa pamit. Suasana kosan terasa sangat berbeda, karena aku merasa sangat kesepian sekali. Jujur aku sudah mencoba melupakan wanita yang sangat aku sayangi itu. Tapi apa daya, suasana kamar kos yang sangat sepi selalu membawa lamunanku kepada dia.

Aku kangen bawelnya, manjanya, perhatiannya, senyumannya dan juga tatapan cintanya. Jadi sebenarnya yang sedang bermasalah suasana hati ini siapa ya.? Aku atau Gendhis.? Bajingann.

“Lang.” Panggil Ratna dari depan gedung rektorat.

“Eh. Rat.” Ucapku sambil menghentikan langkahku, lalu melihat ke arah dia.

Ratna berjalan ke arahku, sambil tersenyum dengan manisnya.

Gila. Makin hari makin cantik aja nih sahabatku. Bibir tipisnya itu loh, gak nguatin banget. Pengen kucium aja rasanya. Duh. Kok pikiranku jadi mesum begini sih.?

“Mau kemana.?” Tanya Ratna yang sudah berdiri dihadapanku dan aku terus memandang wajah cantiknya.

Uhhh. Kok aku merasa ada getaran – getaran didalam hatiku, ketika aku menatap wajah Ratna ya.? Apa aku mulai mencintai sahabatku ini.? Enggak ah, nggak mungkin. Perasaanku seperti ini, pasti karena hatiku lagi kesepian semenjak kepergian Intan. Aku gak boleh melampiaskan kesepian hatiku kepada Ratna, apalagi dia sahabatku sendiri. Gak boleh seperti itu.

“Lang.” Panggil Ratna dan aku tetap melamun sambil terus menatap wajahnya.

“Gilang.” Panggil Ratna sekali lagi dan aku langsung terkejut dibuatnya.

“Eh iya.” Ucapku lalu aku tersenyum malu.

“Dih. Kok malah senyum – senyum gitu sih.?” Tanya Ratna sambil mengerutkan kedua alis matanya.

“Emang kenapa kalau aku senyum.? Salah ya kalau tersenyum sama wanita secantik kamu.?” Tanyaku dan entah kenapa aku bisa berbicara seperti ini kepada Ratna.

“Kamu itu kenapa sih Lang.? Kok jadi aneh begini.?” Tanya Ratna dengan herannya.

“Gak apa – apa kok.” Ucapku lalu aku tersenyum.

“Gak jelas.” Gerutu Ratna.

“Oh iya Rat, aku mau asistensi ke Mba Gendhis. Kamu sudah asistensi belum.?” Tanyaku mengalihkan pembicaraan.

“Heem. Aku tadi kan tanya nya seperti itu.” Ucap Ratna sambil mengibaskan tangannya didepan wajahnya.

“Kenapa Rat.?” Tanyaku.

“Kamu habis minum ya.?” Tanya Ratna.

“Hehehe.” Aku hanya tertawa, lalu aku menghisap rokokku.

“Makanya omonganmu ngelantur. Rupanya kamu mabuk ya.?” Ucap Ratna.

“Biasa aja itu.” Ucapku.

“Kamu itu ya. Minggu lalu berkelahi dan bekasnya belum hilang, sekarang malah mabuk lagi.” Ucap Ratna dan wajahnya terlihat agak kesal.

“Hehehe.” Dan kembali aku tertawa pelan.

“Kamu itu mau asistensi Lang. Masa dengan kondisimu yang seperti ini, kamu mau memaksakan ketemu Mba Gendhis.?” Ucap Ratna dan aku langsung mengerutkan kedua alis mataku.

“Emang kenapa.?” Tanyaku.

“Kamu yang dalam keadaan normal aja, selalu dijutekin sama Mba Gendhis. Apa lagi dalam kondisi mabuk seperti ini.?” Ucap Ratna.

“Biasa aja itu. Ayo kedalam.” Ucapku dan mengajak Ratna keruangan Mba Gendhis.

“Kamu itu ya. suka banget meremehkan masalah.” Ucap Ratna

Lalu dengan reflek aku meraih telapak tangannya dan menggenggamnya, setelah itu aku menariknya pelan dan berjalan ke arah ruangan Gendhis.

“Bawel.” Ucapku sambil menggenggam erat tangannya.

“Eh.” Ucap Ratna yang terkejut, tapi tidak menepis pegangan tanganku ditelapak tangannya.

Cuukkk. Kok aku jadi seperti ini sih.? Ada apa dengan diriku saat ini.? Apa aku beneran ingin melupakan Intan, sampai aku nekat menggenggam tangan Ratna.? Terus kenapa Ratna tidak menepisnya.? Apa dia ada rasa denganku.? Terus kalau sampai dia ada rasa denganku bagaimana.?

Arrgghhh. Setelah kemarin hatiku babak belur ditinggal Intan, apa hari ini hatiku mulai sembuh dengan kehadiran Ratna.? Bajingann.

Beberapa saat kemudian, aku dan Ratna sudah berdiri didepan ruangan Gendhis yang pintunya terbuka. Terlihat dia duduk menyamping dan sedang mencari sesuatu dilemari yang ada disebelah kursinya.

Guratan – guratan kesedihan, tampak jelas diwajahnya. Diapun terlihat seperti sedang menanggung masalah yang sangat berat sekali.

Akupun langsung melepaskan genggaman tanganku ditangan Ratna, sambil terus menatap wanita yang sempat singgah dihatiku itu. Walapun Gendhis pernah mengecewakan hatiku, tapi aku kasihan melihatnya yang sedang bersedih itu.

“Duh. Mba Gendhis kok kelihatan banyak masalah begitu ya Lang.” Ucap Ratna dengan wajah yang terlihat khawatir.

“Udah, cuek aja. Kita kan mau asistensikan tugas, bukan cari masalah sama dia. Disini itu kampus, bukan kosannya. Jadi dia harus bersikap profesional.” Ucapku sambil melihat ke arah Ratna.

“Ya tapi ngeri juga kalau asistensi dengan suasana yang seperti ini, bisa dicoret – coret tugas kita.” Ucap Ratna.

“Gak bakalan dicoret – coret, apalagi kalau kamu maju duluan.” Ucapku dan kami berbicara dari tadi dengan suara yang sangat pelan.

“Kenapa harus aku yang duluan.? Kenapa gak kamu aja.?” Tanya Ratna kepadaku.

“Karena kalian sama – sama wanita, jadi pasti aman kalau wanita duluan yang masuk. Lagian kan kamu tau sikap Mba Gendhis sama aku seperti apa. Dah masuk sana.” Jawabku dan aku menyuruh Ratna masuk kedalam ruangan Gendhis.

“Enggah ah. Aku mau balik aja.” Ucap Ratna dan ketika dia mau membalikan tubuhnya.

TOK, TOK, TOK.

Aku langsung mengetuk pintu ruangan Gendhis, setelah itu aku bersembunyi di balik dinding.

“Gilang.” Ucap Ratna pelan sambil melihat ke arahku dan aku langsung mengkodenya untuk diam.

Ratna terlihat terkejut dan juga jengkel, karena aku mengetuk pintu ruangan Gendhis.

“Ada apa Rat.?” Tanya Gendhis dari dalam sana dengan suara lembutnya.

“Ma, maaf Mba, saya mau asistensi tugas analisa struktur.” Ucap Ratna yang gugup, sambil melihat ke arah Gendhis lalu melirik ke arahku.

“Masuklah.” Jawab Gendhis dan sengaja aku tetap bersembunyi, supaya dia tetap lembut kepada Ratna.

Dengan langkah yang sedikit ragu dan lirikan tajam ke arahku, Ratna masuk kedalam ruangan Gendhis. Akupun tetap bersembunyi sambil menghisap rokokku.

Beberapa saat kemudian, terdengar suara Gendhis yang mulai mengoreksi tugas Ratna. Gendhis bersuara dengan sangat lembut dan Ratna juga terdengar santai menjawab pertanyaan Gendhis.

Baguslah dia bersikap professional. Semoga saja ketika giliran aku yang masuk, dia juga bersikap seperti itu kepadaku.

Dan ketika rokokku sudah habis, Ratna juga sudah selesai dengan asistensinya.

“Giliranmu.” Ucap Ratna yang sudah keluar dari ruangan Gendhis dan nada bicaranya terdengar jengkel kepadaku.

“Kok marah sih.?” Tanyaku.

“Bawel. Masuk sana.” Ucap Ratna dan matanya melotot ke arahku.

“Kamu makin manis aja kalau melotot gitu.” Ucapku dengan entengnya, lalu aku berjalan ke arah pintu.

“Iiiihhhhhh.” Ucap Ratna dengan jengkelnya, tapi aku tidak menghiraukannya.

Aku melihat ke arah Gendhis yang sedang menunduk dan menulis sesuatu diatas mejanya.

TOK, TOK, TOK.

Aku mengetuk pintu ruangannya. Gendhis mengangkat wajahnya dan melihat ke arahku sejenak, setelah itu dia menunduk lagi tanpa mempersilahkan aku masuk.

Cuukkk. Kok aku dicuekin ya.? Bajingan.

TOK, TOK, TOK.

Aku ketuk pintunya lagi dan Gendhis tetap menunduk.

TOK, TOK, TOK.

Aku ketuk lagi dan Gendhis langsung melihat ke arahku sebentar, setelah itu menunduk lagi.

“Mau apa.?” Tanya Gendhis tanpa melihat ke arahku dan dengan suara yang sangat jutek sekali.

“Lang. Besok aja asistensinya.” Ucap Ratna pelan dan dia berdiri dibalik dinding tempat aku bersembunyi tadi. Wajahnya terlihat khawatir dan juga ketakutan.

“Saya mau asistensi Mba.” Ucapku kepada Gendhis dan aku tidak menghiraukan Ratna.

“Hiuffttt, huuu.” Ratna langsung menarik nafasnya dalam – dalam, setelah itu dia mengeluarkannya perlahan.

“Aku lagi sibuk.” Ucap Gendhis dan aku langsung menggelengkan kepalaku pelan.

“Ayo Lang.” Ucap Ratna mengajakku pergi dari ruangan ini.

Kembali aku tidak menghiraukan Ratna dan aku justru masuk kedalam ruangan Gendhis, tanpa dipersilahkannya.

“Ya ampun Gilang.” Gerutu Ratna yang aku lewati.

Aku berjalan dengan santai tanpa rasa takut atau grogi sedikitpun. Aku harus asistensi hari ini, karena waktu pengumpulan tugas besar sudah sangat dekat sekali.

“Saya minta waktunya sebentar aja Mba.” Ucapku dengan sangat sopan sekali, ketika aku sudah berdiri didepan meja Gendhis.

Gendhis langsung meletakkan bulpointnya, lalu melihatku dengan tatapan yang sangat sinis sekali.

“Kamu itu gak sopan sekali sih.? Aku itu lagi sibuk, kenapa kamu memaksa.?” Tanya Gendhis sambil menatapku dan nada bicaranya semakin ketus terdengar.

“Mohon maaf Mba. Saya hanya minta waktunya sebentar, karena waktu pengumpulan tugas besarnya sudah sangat dekat.” Jawabku dan lagi – lagi dengan nada yang sangat sopan sekali.

“Waktunya sudah sangat dekat.? Gak salah dengar nih.? Siapa yang suruh kamu asistensi dalam waktu yang sangat mepet seperti ini.? Kemarin – kemarin kemana aja.? Pasti tugasmu ini pakai system kebut semalam, ya kan.? Mahasiswa kok pemalas sekali.” Ucap Gendhis.

“Saya bukannya pemalas Mba. Banyak hal yang harus saya kerjakan terlebih dahulu, jadi baru hari ini saya bisa asistensi. Lagian kan saya gak telat banget asistensi tugasnya, masih ada waktu walaupun mepet.” Jawabku.

“Enak banget kamu jawabnya.” Ucap Gendhis lalu dia mengambil bulpointnya dan memutar – mutarkan dijemarinya.

“Oke, karena kemarin – kemarin kamu mengutamakan hal yang lain dari pada tugas besar ini, gak salahkan kalau sekarang aku lebih mementingkan tugasku yang lain.” Ucap Gendhis, setelah itu dia menunduk dan melanjutkan menulis dengan cueknya.

Cuukkk. Bikin emosi naik kekepala aja wanita satu ini.

Memang harus aku akui, aku salah dalam hal ini. Aku terlambat asistensi dan aku lebih mementingkan permasalahan yang lain. Tapi itukan bukan kemauanku. Masalah – masalah yang datang beruntun itu, harus segera diselesaikan. Jadi mau tidak mau, aku harus memprioritaskan masalah yang harus aku selesaikan terlebih dahulu.

Terus aku harus bagaimana sekarang.? Apa aku pergi saja.? Gak mungkinlah aku akan pergi, karena waktunya sudah sangat mepet dan tidak bisa ditunda lagi. Kalau aku sampai gagal tugas ini, bisa – bisa aku akan bertahan satu tahun lebih lama dikampus ini. Bajingann.

Aku harus bisa menyingkirkan egoku dan aku harus bisa mengendalikan emosi yang mulai naik kekepala ini, atau ego dan emosi ini akan merusak segalanya.

Hiufftt, huuuu.

Aku menarik nafasku dalam – dalam, lalu mengeluarkannya perlahan, untuk menenangkan sedikit suasana hatiku.

Aku lalu duduk dikursi dihadapan Gendhis tanpa dimintanya. Gendhis yang menunduk itu, langsung melirik ke arahku, tapi aku tetap berusaha untuk tenang.

“Kamu baru minum ya.?” Tanya Gendhis sambil mengibaskan telapak tangan didepan hidungnya, lalu dia mengangkat wajahnya dan menatap ke arahku.

Aku tidak menjawab pertanyaan Gendhis dan aku hanya tersenyum saja.

“Jadi masalah yang kamu anggap penting itu, mabuk – mabukan dan berkelahi.? Itu yang membuatmu baru bisa asistensi hari ini.?” Tanya Gendhis dengan sinisnya.

Kembali aku tidak menjawab pertanyaan Gendhis dan aku hanya menatapnya saja.

“Lebih baik kamu keluar, karena aku tidak mau melihat wajahmu lagi.” Ucap Gendhis dan aku tetap diam ditempat dudukku ini.

Melihat aku yang tidak bereaksi sama sekali ini, wajah Gendhis langsung memerah dan terlihat dia sangat marah sekali kepadaku.

“Kamu benar – benar cari masalah sama aku ya.?” Tanya Gendhis dengan emosinya.

“Saya gak pernah cari masalah dengan siapapun Mba. Tapi kalau ada masalah yang datang, saya akan berusaha menjadikannya kawan. Karena hanya dengan menjadikan masalah itu kawan, saya akan menjadi lebih dewasa dalam menentukan sikap.” Jawabku.

“Kalau masalah yang datang tidak dibuat – buat, mungkin bisa menjadikanmu lebih bijak. Tapi kalau masalah yang sengaja kamu buat, itu akan menjadi boomerang buatmu sendiri.” Ucap Gendhis dengan tegasnya.

“Hanya orang bodoh saja yang membuat masalah Mba.” Sahutku.

“Berati kamu bodoh dong.?” Tanya Gendhis dan aku langsung menarik nafasku dalam – dalam.

“Iya Mba. Saya memang bodoh. Kalau saya tidak bodoh, saya tidak akan duduk dihadapan Mba saat ini.” Jawabku dengan tegasnya, sambil menatap ke arah mata Gendhis dan diapun langsung terdiam.

“Aku sadar aku memang bodoh, bodoh dalam segala hal. Bahkan ketika hatiku sudah disakiti dan dikecewakan, aku menepikannya dan aku malah duduk dihadapan orang yang membuat hatiku terluka.” Ucapku dengan suara yang bergetar dan mata Gendhis langsung berkaca – kaca.

Cuukkk. Kok aku gak bisa mengontrol ucapanku sih.? Kenapa aku harus membuka lukaku sendiri dihadapan Gendhis.? Kenapa.? Yang tidak bisa bersikap professional ini aku atau Gendhis.? Bajingann.

“Mak, maksudmu apa.?” Tanya Gendhis dengan terbata.

“Jangan bertanya kepada orang bodoh, karena jawabannya pasti akan membuatmu larut dalam kebodohan orang yang kau tanya.” Jawabku dan mulutku terus saja berbicara, tanpa aku bisa mengontrolnya.

“Maaf kalau orang bodoh ini membuang – buang waktumu Mba. Maaf.” Ucapku dan aku langsung berdiri.

Cuukkk. Aku sangat emosi sekali cuukkk. Aku sudah letih dengan semuanya dan otakku sudah tidak bisa aku ajak kompromi. Lebih baik aku pergi saja dari tempat ini, atau semua unek – unek yang ada dikepalaku tentang dia, akan aku tumpahkan sekarang juga. Lebih baik aku keluar, untuk kebaikanku dan kebaikannya. Biarlah tugas ini aku tunda sampai besok. Semoga saja besok dia terbuka pikirannya dan mau memeriksa tugas yang waktunya sudah sangat mepet ini. Bajingann.

Dan tanpa menunggu jawaban dari Gendhis, aku langsung membalikkan tubuhku dan berjalan ke arah pintu ruangannya.

“Kalau ada seseorang yang meninggalkanmu dengan segala kebodohannya, harusnya kamu lebih pintar untuk membiarkannya pergi. Hiks.” Ucap Gendhis dan aku langsung menghentikan langkahku.

Ratna tiba – tiba berdiri didepan pintu dan dia menatapku dengan sangat dalam sekali. Perlahan dia mengangguk sambil tersenyum dan dia seperti menyuruhku untuk kembali ke Gendhis.

Aku hanya diam mematung dan Ratna langsung menutup pintu ruangan ini pelan.

Hiuufftt, huuuu.

Perlahan aku membalikan tubuhku dan terlihat Gendhis menunduk dengan pundaknya yang bergetar. Dia seperti sedang menahan tangisnya dan tangan kirinya meremas kertas yang ada diatas mejanya.

Cuukkk. Kok jadi seperti ini sih.? Apa kata – kata yang baru aku keluarkan tadi membuatnya semakin bersedih dan terpuruk.? Terus aku harus bagaimana sekarang.? Apa aku tetap meninggalkannya dengan kondisi yang seperti ini.? Jahat banget kalau sampai aku melakukan itu. Bajingann.

Gendhis sudah sangat bersedih dengan apa yang dialaminya. Dia pasti kecewa karena Dani tertangkap dan aku malah membuatnya makin bersedih dengan sikapku yang sangat konyol seperti ini. Djiancokk.

“Maaf.” Ucapku dengan suara yang bergetar.

“Hiks, hiks, hiks.” Suara tangis Gendhis terdengar menyayat hati.

Kedua kakiku pun dengan refleknya berjalan ke arahnya dan kembali aku duduk dikursi yang ada dihadapannya. Lalu dengan bangsatnya, telapak tangan kananku memegang punggung tangan kirinya yang sedang meremas kertas. Otakku tidak memerintahkan tanganku untuk memegang tangannya, tapi entah kenapa tangan ini berani sekali melakukannya.

Tangan kirinya yang meremas kertas dengan kuat, perlahan mulai melemah. Wajahnya yang menunduk diangkatnya dan dia menatapku dengan deraian air mata.

Tatapannya sayu dan terlihat sangat menyedihkan. Dia tidak terlihat marah karena aku memegang punggung tangannya. Dia bahkan tidak menepis tangan kananku yang kurang ajar ini.

Ada apa denganmu Ndhis.? Kenapa kamu seperti ini.? Apa kamu mencintai aku.?

Ya, kamu mencintai aku Ndhis. Kamu mencintai aku. Tatapan matamu dan getaran tanganmu dipegangan tanganku ini, cukup menjelaskan semuanya. Kamu memendam cintamu kepadaku dan entah kenapa kamu malah berpacaran dengan Dani.

Kenapa Ndhis.? Kenapa.? Kenapa kamu tega menyakiti dan melukai perasaanku.? Kenapa.? Apa yang membuatmu sampai melakukan hal itu.? Djiancokk.

Dan tiba – tiba.

Hupppp.

Dadaku terasa sakit dan hatiku seperti disayat – sayat. Sakit ini datang lagi dan aku menahannya sekuat tenagaku.

Ingin rasanya aku meremas punggung tangan Gendhis yang lembut itu dengan kuat, tapi aku tidak tega melakukannya. Aku hanya melebarkan telapak tanganku yang memegang punggung tangannya, tanpa aku menggesernya. Telapak tangan kananku yang terbuka inipun, tetap bertumpu pada punggung tangan kirinya.

Hupppp.

Sakit ini semakin menjadi dan aku terus menahannya sekuat tenagaku. Gendhis yang melihat perubahan sikapku, langsung terlihat sangat khawatir sekali.

“Lang, kenapa kamu Lang.?” Tanya Gendhis dengan paniknya dan aku tidak menjawab pertanyaannya.

Aku langsung memegang bagian dadaku sebelah kiri dengan tangan kiriku dan aku meremasnya dengan kuat.

Hupppp.

Sakitnya sangat luar biasa, sampai aku memejamkan kedua mataku.

“Gilang.” Terdengar suara Gendhis dan dia membalikan telapak tanganku yang ada dipunggung tangan kirinya. Telapak tangan kananku langsung diremas telapak tangan kirinya.

“Uh, uh, uh, uh, uh.” Aku sangat kesulitan bernafas. Semakin aku menarik nafasku, dada semakin terasa sakit dan jantungku seperti berhenti berdetak.

“Huupppp.” Aku menahan nafasku. Perlahan aku menunduk dan keningku aku turunkan, sampai menyentuh ujung meja.

“Gilang, Gilang, Gilang.” Ucap Gendhis yang panic.

Aku terus menunduk sambil terpejam dan aku merasa Gendhis berdiri, dengan telapak tangannya yang terus menggenggam tangan kananku.

“Lang, jawab pertanyaanku Lang, jawab. Kamu kenapa.?” Tanya Gendhis yang terdengar sudah berada disampingku.

Dengan posisi kening yang masih menempel diujung meja, aku menoleh ke arah Gendhis sambil membuka kedua mataku. Gendhis berlutut disampingku dengan mata yang berkaca – kaca.

Tes, tes, tes, tes.

Butiran air mataku menetes karena sakit yang teramat sangat ini.

“Kamu kenapa Lang.? Kamu kenapa.? Hiks, hiks, hiks.” Tanya Gendhis dan butiran air matanya juga mulai mengalir.

Sekarang tangan kanannya meremas telapak tangan kananku, sementara tangan kirinya membelai rambut belakangku.

“Hup, huu, hup, huu, hup, huu.” Aku menarik nafasku pelan, lalu mengeluarkannya perlahan. Aku melakukan itu, sambil terus menatap ke arah mata Gendhis.

“Kita kerumah sakit sekarang. Kita kerumah sakit.” Ucap Gendhis dengan suara yang bergetar dan air mata yang terus mengalir.

Dan ketika dia mau berdiri, aku menahan telapak tangan kanannya yang manarik telapak tangan kananku. Aku melakukannya sambil menggelengkan kepalaku pelan.

“Hup, huu, hup, huu, hup, huu.” Aku menegakan kepalaku, sambil menggeser dudukku sampai menghadap ke arah Gendhis.

“Kamu pucat banget Lang. ayo kita kerumah sakit.” Ucap Gendhis yang tetap memaksaku kerumah sakit.

Dia memaksaku berdiri dan ketika aku sudah berdiri, aku langsung memeluk tubuhnya dengan erat.

“Huuuupp.” Aku menarik nafasku agak panjang.

“Huuuuuu.” Aku keluarkan perlahan, dengan kedua tanganku merangkul dibelakang lehernya.

“Gilang. Hiks, hiks, hiks.” Gendhis menangis dan kedua tangannya melewati bawah ketiakku, lalu dia mendekap tubuhku.

Dada kami menempel sangat erat, sampai detak jantungnya terasa didadaku.

“Hu, hu, hu, hu, hu.” Detakan jantungnya seperti memompa jantungku, dan aku menarik nafas pendekku dengan cepat.

“Hu, hu, hu, hu, hu.” Sakitnya sedikit berkurang dan Gendhis membelai punggungku dengan lembutnya.

Cuukkk. Pelukan ini cuukkk. Pelukan ini akhirnya terjadi lagi, setelah sekian lama. Dan entah kenapa, pelukan ini membantu meredakan nyeri di dadaku yang tadi sangat sakit sekali.

Uuhhhh. Sakit di dadaku sekarang berubah menjadi guncangan dihati. Hati yang telah disakiti dan dikecewakan oleh wanita yang aku peluk ini. Guncangan itu seolah menghancurkan semua rasa sakit dan rasa kecewa yang ada dihati sampai ke akarnya. Pelukan ini perlahan menata hatiku yang porak poranda. Benih – benih cintapun, perlahan mulai hadir dan tertanam di jiwa yang kesepian ini. bajingann.

Hiufftt, huuuu.

“Kita kerumah sakit aja ya Lang.” Ucap Gendhis dan tangisnya sudah tidak terdengar.

“Bi, bisa diam gak.? Huu, huu, huu.” Ucapku lalu aku mengatur nafasku.

Gendhis pun langsung terdiam, dengan wajah sampingnya menempel didadaku. Kedua tangannya terus membelai punggungku dengan lembut dan nafasku perlahan mulai lega.

“Huuuuu, huuuuu, huuuuu.” Aku menarik nafasku agak panjang, lalu mengeluarkannya perlahan.

Aku memejamkan kedua mataku sejenak, setelah itu aku membukanya lagi. Aku lalu membersihkan sisa air mataku yang membasahi pipiku.

“Huuuppppp, huuuuuuuu.” Nafasku sangat lega dan dadaku sudah tidak terasa sakit lagi.

“Kamu sakit apa Lang.?” Tanya Gendhis pelan dan dia tetap memelukku.

“Cerewet banget sih.” Gumamku sambil membelai rambutnya.

“Aku gak akan berhenti bertanya, sebelum kamu menjawabnya.” Ucap Gendhis.

“Aku itu gak apa - apa. Emang kenapa sih.?” Jawabku dengan suara yang sangat lembut.

“Jangan bohong Lang.” Ucap Gendhis sambil mengangkat wajahnya dari dadaku, lalu memundurkan kepalanya dengan tetap memelukku. Gendhis menatapku dengan tatapan yang sangat khawatir sekali.

“Aku gak apa – apa.” Ucapku, lalu tangan kananku meraih rambutnya yang menutupi sebagian mata kirinya, lalu aku menyelipkan ditelinga kirinya.

“Gilang.” Ucap Gendhis dan tatapan matanya semakin dalam terasa.

“Aku gak apa – apa Ndhis.” Jawabku yang memanggil namanya, tanpa embel – embel Mba lagi.

Gendhis menggelengkan kepalanya pelan. Aku bersihkan sisa air matanya yang masih menetes, lalu aku lingkarkan tanganku dilehernya lagi.

“Wajahmu tadi pucat dan kamu kesakitan sampai menangis. Begitu kamu bilang gak apa – apa.?” Tanya Gendhis dan aku hanya tersenyum saja.

“Jawablah Lang. kamu sakit apa.?” Tanya Gendhis dan kami masih tetap berpelukan.

“Aku baik – baik aja Ndhis. Mungkin aku tadi seperti itu, karena kangen pelukanmu.” Ucapku sekenanya.

“Hiuuffttt, huuu.” Gendhis menarik nafas panjangnya dan aku menyambutnya dengan menempelkan keningku dikeningnya.

“Kamu gak baik – baik aja Lang.” Ucap Gendhis dengan suara yang bergetar.

“Cerewet.” Ucapku, lalu.

CUUPPP.

Aku mengecup bibirnya dengan lembut, setelah itu aku melepaskan keningku dikeningnya. Gendhis tampak terkejut dengan kecupanku ini dan matanya langsung melotot.

TOK, TOK, TOK.

Suara pintu ruangan Gendhis diketok dan kami berdua langsung melepaskan pelukan ini dengan refleknya.

Gendhis berjalan ke arah kursinya, lalu dia duduk sambil membenarkan pakaiannya.

“Duduk.” Ucap Gendhis dan suaranya terdengar ketus lagi.

“I, i, iya Mba.” Jawabku lalu aku duduk dikursiku.

“Masuk.” Ucap Gendhis dan suaranya agak keras.

Orang yang mengetuk itu lalu membuka pintu ruangan dan dia tetap berdiri didepan pintu.

“Mba Gendhis dipanggil Pak Kajur (Kepala Jurusan.)” Ucap orang itu dan dia salah satu staff dijurusan.

“Oh iya Pak. Sebentar saya naik.” Jawab Gendhis.

“Oke Mba, saya keatas dulu ya.” Ucap Orang itu dan dia akan menutup pintu ruangan lagi.

“Jangan ditutup Pak.” Ucap Gendhis dan orang itu langsung mengangguk, lalu pergi meninggalkan kami.

“Kalau begitu saya pamit dulu Mba.” Pamitku, karena Gendhis menatapku dengan tajam.

“Obrolan kita belum selesai.” Ucap Gendhis dan wajahnya terlihat serius.

“Iya Mba, nanti kita lanjutkan.” Jawabku sambil berdiri.

“Tinggalkan tugas besarmu.” Ucap Gendhis dan dia juga berdiri.

“Tapi Mba.” Ucapku terpotong, karena mata Gendhis langsung melotot ke arahku.

Cuukkk. Mau melotot bagaimanapun juga, kamu tetap cantik Ndhis. Cantik banget.

“Tinggalkan tugasmu dimeja.” Ucap Gendhis pelan dan sangat tegas sekali.

“I, i, iya Mba.” Jawabku, lalu aku membungkuk dan membuka tasku. Aku lalu mengeluarkan tugasku dan meletakan diatas mejanya.

Gendhis langsung berjalan ke arah pintu, lalu keluar ruangannya tanpa berbicara kepadaku lagi.

Cuukkk. Kok bisa seperti ini ya.? Bajingann.

Aku menutup tasku lagi, lalu aku mengenakan dipunggungku dan berjalan ke arah luar ruangan. Aku usap wajahku berkali – kali dengan kedua telapak tanganku, seolah tidak percaya dengan hal yang baru saja terjadi didalam ruangan ini.

Arrgghhhhh.

Aku pun berjalan ke arah luar gedung tanpa melihat ke arah kanan dan kiriku.

“Kok aku ditinggal.?” Terdengar suara Ratna di belakangku.

Akupun langsung menghentikan langkahku, lalu melihat ke arah pojok ruangan. Terlihat Ratna sedang duduk dan dia melihatku dengan wajah yang sedikit jengkel.

“Loh. Aku kira kamu sudah pulang Rat.” Ucapku sambil melangkah ke arahnya.

“Jahat.” Ucap Ratna sambil berdiri.

“Maaf, maaf.” Ucapku sambil menatap matanya dan dia langsung tersenyum penuh arti kepadaku.

Cuukkk. Kenapa dia tersenyum seperti ini ya.? Apa dia tadi mendengar percakapanku dengan Gendhis dan sekarang dia mengejekku.? Bajingan.

“Kenapa kamu senyum Rat.?” Tanyaku.

“Emang kenapa kalau aku senyum.? Salah ya kalau tersenyum sama laki – laki seganteng kamu.?” Tanya Ratna sambil mencolek daguku dan dia membalikan kata – kataku diluar tadi.

Belum aku menjawab pertanyaannya, tiba - tiba dia langsung meraih pergelangan lengan kiriku dan menarikku ke arah luar gedung ini.

“Ya gak apa – apa sih. Cuman aneh aja.” Ucapku sambil mengikuti tarikannya.

“Aneh.? Cuman perasaanmu aja itu.” Ucap Ratna dan dia menggelendot dengan mesranya.

Arrgghh. Kenapa lagi sih Ratna ini.? Kok sikapnya seperti ini sama aku.? Apa dia mau membalas pegangan tanganku tadi.? Gila.

Kami berjalan ke arah luar kampus, karena hari ini tidak ada jadwal kuliah.

“Kamu tinggal dimana sih Rat.?” Tanyaku.

“Kenapa.? Kamu mau antar aku pulang.?” Ratna bertanya balik.

“Oke.” Jawabku singkat.

“Oke apa ini.?” Tanya Ratna sambil melihat ke arahku dan tangannya tetap merangkul lenganku.

“Oke aku antar kerumahmu.” Jawabku tanpa melihat ke arahnya, sambil terus berjalan.

“Berani.?” Tanya Ratna sambil menggoyang lenganku pelan.

“Beranilah.” Jawabku sambil melihat ke arahnya.

“Sekarang aku tinggal dirumah Om Tomo loh.” Ucap Ratna dan kami menghentikan langkah sejenak.

“Emang kenapa.?” Tanyaku dengan santainya.

“Gak usah deh.” Ucap Ratna sambil melepaskan pegangannya dilenganku, lalu dia berjalan duluan.

“Emang kenapa sih Rat.?” Tanyaku dan aku mengikuti berjalan disebelahnya.

“Gak apa – apa.” Jawab Ratna sambil melihat ke arahku, lalu dia tersenyum dengan manisnya.

“Kalau gak apa – apa, kenapa gak boleh ngantar.?” Tanyaku sambil melihat ke arah Ratna, lalu aku melihat ke arah depan. Pandanganku langsung tertuju ke arah parkiran sepeda motor yang ada diseberang jalan sana.

Tampak Panjul dan Alex sedang berdiri didepan tiga orang mahasiswa semester satu. Tiga orang mahasiswa baru itu berdiri dengan darah yang keluar dari bibir mereka, sementara teman – teman Panjul dan Alex duduk sambil menertawakan mereka.

Bajingann. Ada apa lagi ini.? Kenapa tiga orang mahasiswa semester awal itu diperlakukan seperti itu.? Djiancokk.

“Gak apa – apa. Akunya aja yang gak enak, kalau diantar cowok.” Ucap Ratna dan aku tidak menghiraukannya. Aku terus berjalan dan bersiap menyebrang ke arah parkiran.

“Jadi tiga orang ini bajingannya anak - anak semester satu ya.?” Ucap Panjul sambil mendekat ke arah tiga orang itu.

“Akbar.” Ucap Panjul lagi, lalu.

BUHHGGG.

“HUUUPPP.” Orang yang dipanggil Akbar itupun langsung membungkuk, setelah perutnya dihantam kepalan tangan Panjul dengan kuatnya.

“Danis.” Ucap Panjul lagi, lalu dia membalikan tubuhnya dan mengarahkan tendangan balik ke arah dada Danis dengan cepatnya.

BUHHGGG.

“HUUPPP.” Danis termundur dengan mata yang melotot, lalu dia memegangi dadanya yang kesakitan itu.

“Raimond.” Ucap Alex kearah mahasiswa satu lagi, lalu dia meloncat dan menghantam mulut orang yang dipanggil Raimond itu.

Raimond yang bertubuh kekar itupun, langsung terdanga dengan darah yang menyembur dari mulutnya.

“Hueeee.” Raimond oleng kebelakang dan dadanya langsung di injak oleh Alex dengan kuatnya.

BUUGHHH.

BUUUMM.

Raimond langsung terlentang dan Alex tersenyum dengan sinisnya.

“Djiancokk.” Makiku sambil menurunkan tas punggungku dijalan. Aku lalu mengepalkan kedua tanganku dengan kuatnya.

“Gilang.” Ucap Ratna sambil menarik tangan kiriku, ketika aku akan menyebrang jalan.

“Lepas Rat.” Ucapku sambil melihat ke arah Ratna.

“Enggak.” Ucap Ratna dan dia menguatkan pegangannya ditangan kiriku, dengan kedua tangannya.

“Rat.” Ucapku dan jujur aku sangat emosi melihat hal yang sangat kurang ajar tadi.

Alex, Panjul dan teman – temannya, pasti ingin menunjukan kekuatannya dihadapan para mahasiswa semester awal itu.

“Antar aku pulang.” Ucap Ratna.

“Iya aku antar. Tapi aku urus para bajingan itu dulu.” Ucapku sambil menunjuk ke arah Panjul dan teman – temannya.

“Jangan Lang, jangan. Kamu jangan buat masalah lagi.” Ucap Ratna dengan tatapan yang sangat sayu sekali, sambil terus memegangi tangan kiriku.

“Rat. Ini gak bisa dibiarkan. Disini area kampus, bukan dijalanan.” Ucapku dengan suara yang berat dan bergetar.

“Tolong lepaskan tanganku.” Ucapku lagi.

“Oke. Tapi jangan pakai emosi ya.” Ucap Ratna, sambil mengelus pipiku dengan lembutnya.

Aku tidak menjawab ucapan Ratna dan aku hanya memejamkan kedua mataku sesaat. Ratna melepaskan pegangannya dan aku langsung melihat ke arah parkiran.

Akbar, Danis dan Raimond sudah berdiri dengan kedua tangan yang terkepal. Mereka bertiga terlihat tidak terima, dengan perlakuan Panjul dan Alex. Teman – teman Alex dan Panjul yang berjumlah belasan, langsung berdiri dan menyerang ketiga orang itu.

BUHGGG, BUHGGG, BUHGGG, BUHGGG, BUHGGG.

Mereka bertiga langsung menghajar teman – teman Panjul itu dengan membabi buta.

BUHGGG, BUHGGG, BUHGGG, BUHGGG, BUHGGG.

Beberapa orang langsung tumbang terkena serangan Danis, injakan Akbar dan tinjuan dari Raimond.

BUHGGG, BUHGGG, BUHGGG, BUHGGG, BUHGGG.

Mereka bertiga benar – benar menggila. Panjul dan Alex yang melihat teman – temannya bertumbangan, langsung maju dan bersiap menyerang ketiga orang itu.

“WOI. COK.!!!.” Teriakku sambil menunjuk ke arah mereka dan aku langsung berlari menyebrang jalan.

“KENAPA.?” Teriak Panjul sambil menunjuk ke arahku, sementara Alex langsung menghadangku.

Dan tiba – tiba.

“DJIANCOK.!!!” Teriak Joko dari arah samping kiriku.

Joko berlari lalu meloncat, sambil mengarahkan injakan sepatunya ke arah wajah samping Panjul.

BUHGGGG.

Panjul yang tidak siap dengan serangan Joko, langsung oleng kekanan dan roboh ketanah.

BUMMMMM.

“ARRGGHHH.” Teriak Panjul dan dia tergulung – gulung diparkiran.

Joko menjambak rambut Panjul dengan tangan kiri, sementara kepalan tangan kanannya langsung menghantam wajah Panjul.

BUHGGG, BUHGGG, BUHGGG, BUHGGG, BUHGGG.

Karena aku terfokus dengan Joko yang menyerang Panjul, aku tidak menyadari kalau Alex sudah menyambutku dengan sebuah hantaman diwajahku.

BUHHGGGG.

Aku oleng kesamping kiri dan kaki kiriku langsung menahan tubuhku yang akan terjatuh. Pukulan Alex masuk dengan telak ke arah rahang kiriku dan langsung membuat emosiku terbakar.

“Bajingan.” Gumamku dan pandanganku langsung menghitam, lalu meredup, menghitam lagi, lalu meredup lagi.

Aku lalu melihat ke arah Alex sambil mengelus rahang kiriku.

“Bunuh, bunuh, bunuh.” Kata – kata itu mendengung dan menggema diseluruh isi ruang kepalaku. Kedua tanganku bergetar dan terkepal dengan kuatnya.

“CUKIMAI KO ALEX.” Teriak Bung Toni dari arah sebelah kananku.

Bung Toni meloncat dan tubuhnya seperti terbang, dengan kepalan tangan kanannya lurus kedepan. Kepalan tangan itupun mengarah kewajah samping Alex dengan telak dan kuat.

BUHGGGG.

Alex terjatuh kesamping dan Bung Toni langsung menginjak – injak wajah Alex.

BUHGGGG. BUHGGGG. BUHGGGG.

“Orang itu harus dibunuh dan harus kamu yang melakukannya.” Kata – kata itu kembali mendengung dan darahku langsung mendidih dibuatnya.

Dengan emosi yang terbakar, akupun langsung melangkah ke arah Bung Toni yang menginjak – injak kepala Alex.

Lalu tiba – tiba dari arah belakangku, ada tangan yang masuk dari bawah ketiakku dan langsung memelukku dengan erat. Pelukan itupun langsung menghentikan langkahku dan isi ruang dikepalaku bergemuruh dengan hebatnya.

Emosi memaksaku untuk melanjutkan langkahku, sementara ada hawa lain yang menahannya.

Kedua tangan yang memelukku dari arah belakang ini, perlahan membelai dadaku dari atas kebawah. Kedua telapak tangan ini bergantaian naik dan turun dengan lembutnya. Belaian ini memaksa emosi yang mengusai kepalaku, untuk pergi meninggalkan tubuhku.

Pelukannya terasa hangat dan tonjolan didadanya terasa lembut dipunggungku. Perlahan punggungku terasa dikecup, lalu orang yang memelukku ini menempelkan wajah sampingnya dipunggungku.

Cuukkk. Siapa wanita yang memelukku ini.? Kenapa bisa dia menahan emosiku yang menggila.? Bukan hanya menahan sih, tapi juga perlahan emosi ini mereda karena pelukan dan belaiannya. Bajingan.

Akupun langsung menunduk dan melihat pergelangan tangan wanita yang memelukku ini. Terlihat jam tangan logam yang mungil, melingkar di pergelangan tangan kanan wanita ini. Jam tangan yang sangat indah dan sangat cocok, melekat dikulit yang putih dan bersih. Pemilik jam tangan ini adalah Ratna.

Hiuffttt, huuu.

Aku memejamkan kedua mataku, sambil menarik nafasku dalam – dalam. Aku buka lagi kedua mataku dan aku angkat wajahku lurus kedepan.

Perkelahian dihadapanku sudah usai dan seluruh mahasiswa pembuat onar itu, telah tumbang dengan kondisi berdarah – darah. Panjul tergeletak didekat Joko, Alex berada di kaki Bung Toni, sementara teman – temannya bergelimpangan dihabisi ketiga mahasiswa semester awal itu.

“Kurang ajar koncomu iki Jok.” (Kurang ajar temanmu ini Jok.) Ucap Bendu yang bediri tidak jauh dari aku dan melihatku yang masih dipeluk Ratna.

“Iya. Masa temannya berkelahi, dia malah ke enakan dipeluk cewe.” Sahut Wawan yang berdiri didekat Bendu dan Rendi yang ada disitu hanya melihat ke arahku sambil menghisap rokoknya.

“Jarno ae. Seng penting atine seneng.” (Biarkan saja. Yang penting hatinya senang.) Ucap Joko sambil mengeluarkan rokoknya, lalu membakarnya.

“Kenapa.? Kalian kepengen ya.?” Tanya Ratna sambil melepaskan pelukannya, lalu berjalan kesebelahku dan melihat ke arah Bendu serta Wawan.

“Cokkk.” Maki Bendu dan Wawan dengan kompaknya.

Ratna hanya tersenyum, lalu dia menggenggam tangan kiriku dan mulai melangkah.

Aku yang masih belum sepenuhnya sadar dari perasaan yang terombang – ambing ini, hanya diam dan mengikuti tarikan tangan Ratna.

Bajingann. Bagaimana perasaanku gak terombang – ambing.?

Pertama. Aku bertemu dengan Mas Pandu dan Mas Tegar, dengan banyak hal yang kami bicarakan dan itu sudah sangat menguras pikiranku.

Kedua. Aku bertemu dengan Gendhis diruangannya dan otakku mulai dipermainkan disini. Aku gak bisa terlalu banyak menjelaskan, ketika aku diruangannya tadi. Yang jelas, pelukan dan kecupan dibibirnya sudah cukup meluluh lantakkan hatiku.

Ketiga. Kejadian barusan yang membuat emosiku naik kekepala dan langsung diredakan oleh pelukan Ratna yang hangat.

Djiancokk gak.? Benar aku sudah tidak emosi lagi, tapi jujur aku gak tau harus berbuat apa setelah ini. Cinta yang mulai tumbuh lagi didalam hati dan diawali kecupanku di bibir Gendhis tadi, sekarang harus bergelut dengan pelukan yang hangat dari wanita yang bernama Ratna. Suasana hatiku pun berpengaruh kepada otak didalam kepalaku yang seperti sedang tawuran saja. Bajingann.

“Nangdi koen cok.” (Mau kemana kamu cok.?) Tanya Joko yang ada dibelakangku dan aku langsung menghentikan langkahku. Ratna yang juga menghentikan langkahnya, langsung melihat ke arahku.

Aku menoleh ke arah belakang dan tanganku masih digenggam oleh Ratna.

“Emboh.” (Gak tau.) Jawabku singkat.

“Assuu.” (Anjingg.) Maki Joko lalu dia menghisap rokoknya.

“Gilang mau ngantar aku pulang.” Sahut Ratna dan aku langsung menoleh ke arah Ratna.

“Katanya tadi gak mau diantar.?” Tanyaku sambil mengerutkan kedua alis mataku.

“Jadi kamu gak mau ngantar nih.?” Ratna bertanya balik sambil melepaskan genggaman tangannya.

“Yang gak mau ngantar siapa.?” Tanyaku.

“Kamulah.” Jawab Ratna dengan tegasnya.

“Aku mau ngantar kok.” Ucapku.

“Terus kenapa tanya lagi.?” Tanya Ratna dan kembali aku mengerutkan kedua alis mataku.

“Wooo, assuuu. Malah disuguhi drama.” Ucap Bendu.

Kami berdua langsung melihat kearah Bendu dan Bendu terlihat bingung, sambil menggaruk kepalanya.

“Hehehe.” Bandu hanya tersenyum kebingungan.

“Djiancokk.” Makiku.

“Sudahlah, aku naik angkot aja.” Ucap Ratna dan aku menoleh kearahnya lagi.

Hiufftt, huuuu.

Aku menarik nafasku dalam – dalam, lalu mengeluarkannya perlahan.

“Aku antar Rat, aku antar.” Ucapku dengan lembutnya.

“Kalau kamu gak ikhlas, aku gak apa – apa kok.” Ucap Ratna lalu dia berjalan duluan.

“Rat, Ratna.” Panggilku dan Ratna tidak menghiraukan panggilanku.

Dan ketika aku akan mengejar Ratna.

“Cok.” Panggil Joko.

“Opo Ndeng.?” (Apa gila.?) Ucapku sambil menoleh ke arah Joko.

Joko melempar kunci kimba ke arahku dan aku langsung menangkapnya. Aku lalu berbalik lagi dan mengejar Ratna yang sudah ada didepan sana.

“Seng gendeng aku opo awakmu.?” (Yang gila aku atau kamu.?) Teriak Joko dan kembali aku menoleh ke arahnya.

“Opo maneh seh ndeng.?” (Apa lagi sih gila.?) Tanyaku dengan nada yang agak tinggi.

“Koen tak ke’i kunci iku, ben ngeterno Ratna nggawe kimba. Lapo koen ngaleh nggowo kuncine tok cok.?” (Kamu kukasih kunci itu, supaya ngantarkan Ratna pakai kimba. Kenapa kamu pergi bawa kuncinya aja cok.?) Ucap Joko sambil menggelengkan kepalanya.

“Ancene mengong arek iki.” (Memang gila anak ini.) Ucap Bendu kepadaku.

“Kirekk.” (Anjingg) Makiku sambil berjalan ke arah kimba yang ada dibelakang Joko.

Aku melewati Bendu, Wawan dan Rendi, yang terus melihat ke arahku dan aku tidak menghiraukannya.

Dan ketika aku sudah sampai didekat kimba, Panjul tergeletak didekat standart kimba. Mulutnya menganga, matanya melotot dan darah mengalir dari hidung serta mulutnya.

“Arrghhh.” Panjul kesakitan dengan pandangannya ke arah langit.

Akupun berdiri dekat kepala Panjul dan melihat ke arah wajahnya. Aku yang ingin menurunkan kimba dari standar dua, terhalang kepala Panjul yang dekat sekali dengan standart.

“Koen ngaleh gak.? Tak pancal raimu koen engko.” (Kamu pergi nggak.? Kuinjak mukamu nanti.) Ucapku kepada Panjul, sambil mengangkat kaki kananku mendekat ke arah wajahnya.

“Arrgghhhh.” Panjul bersusah payah mengangkat wajahnya dan juga tubuhnya, karena gertakanku ini. Dia sangat kesulitan sekali untuk duduk, tapi dia berusaha sekuat tenaganya.

Dan ketika dia sudah duduk.

“Kesuen.” (kelamaan.) Ucapku, lalu.

BUHHGGG.

Aku menginjak wajah sampingnya dengan kuat, sampai dia tergulung – gulung ditanah.

“Arrgghhhh.” Panjul kesakitan sambil memegangi wajahnya.

“Asssuuu. Mengong tenanan arek iki.” (Anjingg. Gila beneran anak ini.) Ucap Bendu sambil melihat ke arahku.

“Memang gila Gilang ini. Kenapa gak diangkat aja Panjul itu, terus dibanting ketengah jalan. Biar kepala manusia bajingan itu, dilindas sama mobil.” Sahut Wawan.

“Babi ko Wan.” Ucap Bung Toni ke Wawan.

“Hehe. Santai Bung, santai.” Ucap Wawan.

Aku langsung naik kekimba dan menurunkannya dari standart dua. Aku lalu menyalakan mesin kimba dengan cepat, karena aku ingin segera menyusul Ratna yang sudah berjalan agak jauh. Ratna berjalan sambil sesekali menoleh kearahku dan seperti mengharap aku segera menyusulnya.

Kletek, kletek, kletek. Tek, tek, tek, teng, teng, teng.

Mesin kimba mulai menyala dan Joko langsung mendekat ke arahku.

“Aku engko turu nde studio arsitek cok.” (Aku nanti tidur distudio arsitek cok.) Ucap Joko.

“Iyo. Mas Candra ambe Mas Jago Nde kosan ta.?” (Iya. Mas Candra sama Mas Jago dikosan kah.?) Tanyaku dan pandanganku lurus ke arah parkiran mobil yang ada didalam kampus. Terlihat Pak Tomo berdiri didekat mobilnya dan melihat ke arahku. Pak Tomo yang tau aku melihat ke arahnya, langsung masuk kedalam mobilnya.

“Mas Candra ambe Mas Jago, jektas budal nang kota sebelah. Ketok ane awak dewe kate entok proyek nde kono.” (Mas Candra dan Mas Jago, baru aja berangkat ke kota sebelah. Kelihatannya kita mau dapat proyek disana.) Jawab Joko

“Iyo a.? Yo wes lah.” (Iya kah.? Ya sudahlah.) Ucapku.

Kletek. Teng, teng, teng.

Aku memasukan perseneling kimba dan bersiap menarik gasnya. Mobil Pak Tomo keluar gerbang dan lewat didepanku, tanpa melihat ke arahku.

Cuukkk. Pasti Pak Tomo menghentikan mobilnya didekat Ratna dan mengajaknya pulang bersama.

Aku terus melihat ke arah mobil Pak Tomo dan mobilnya berhenti didekat Ratna. Mereka mengobrol sebentar dan Ratna tidak naik kedalam mobil. Beberapa saat kemudian, mobil Pak Tomo berjalan lagi dan meninggalkan Ratna disana. Kembali Ratna melihat kearahku, lalu berjalan lagi.

“Tak tinggal sek.” (Kutinggal dulu.) Pamitku kepada Joko dengan semangatnya.

“Yo.” Jawab Joko dan aku langsung menarik gas kimba.

Treng, teng, teng, teng.

Rendi mengangkat tas punggungku, yang aku tinggal diseberang jalan tadi. Aku menghentikan kimba dan Rendi berjalan ke arahku.

“Nih.” Ucap Rendi sambil menyerahkan tasku kepadaku.

“Makasih ya.” Ucapku sambil meletakkan tasku di sandaran tengah kimba.

“Sepertinya kamu butuh refresing.” Ucap Rendi sambil menepuk pundakku pelan dan aku hanya tersenyum saja.

“Kendalikan emosimu. Jadilah Gilang yang seperti dulu. Tenang ketika menghadapi masalah.” Ucap Rendi, lalu dia membalikan tubuhnya dan menyebrang jalan.

Cuukkk. Apa aku telah berubah, sampai Rendi Bule berbicara seperti itu.? Ahhh sudahlah, lebih baik aku mengejar Ratna aja dulu.

Aku lalu menarik gas kimba ke arah perempatan jalan besar.

Treng, teng, teng, teng.

CIITTT.

Aku melaju dan menghentikan kimba disebelah Ratna, yang sudah sampai didekat lampu merah. Ratna pun langsung menghentikan langkahnya dan melihat ke arahku.

“Naik.” Ucapku sambil melihat ke arah Ratna.

“Katanya gak mau ngantar.?” Tanya Ratna.

“Sudahlah, naik aja. Dari pada kimba kutinggal disini, terus kugendong kamu sampai rumah Pak Tomo.” Ucapku sambil mengalihkan pandanganku ke arah depan.

Aku tau wanita ini basa – basi dan dia ingin sekali aku mengantarkannya.

“Jahat.” Ucap Ratna, lalu dia naik ke kimba dan dia langsung merangkul perutku.

Hiuffttt, huuu.

Treng, teng, teng, teng.

Aku menarik gas kimba lagi dan Ratna semakin merapatkan tubuhnya ke arahku. Dagunya diletakkan dipundak kananku dan ini semakin membuatku nyaman mengendarai kimba.

Bagaimana gak nyaman.? Coba kalian bayangkan. Bayangkan aja dulu, walaupun kalian tidak memiliki pasangan dan tidak punya vespa seperti kimbaku.

Bayangannya seperti ini. Suasana dingin di Kota Pendidikan, naik vespa yang kecepatannya sengaja dibuat santai, dipeluk sama wanita cantik yang dagunya ditempelkan dipundak kanan, terus di iringi suara knalpot kimba yang merdu.

Treng, teng, teng, teng.

Uhhhh. Rasanya itu menjacokan sekali. Bajingan.

“Kita makan bakso dulu yuk Lang.” Ucap Ratna yang mengejutkanku dari lamunan.

“Bakso kidul pasar mau gak.?” Tanyaku sambil menoleh ke arah wajah Ratna, yang ada disibelah kananku.

Karena dagunya berada dipundak kananku, pipi kiri Ratna sangat dekat sekali dengan pipi kananku. Jadi ketika aku menoleh ke arahnya, bibirku mengenai pipi kirinya dan dengan refleknya aku malah mengecup pipinya dengan lembut.

CUUPPP.

“Gilang.” Ucap Ratna yang terkejut, sambil mengangkat dagunya dari pundakku dan dia memundurkan wajahnya. Kedua tangannya yang melingkar diperutku dan kedua telapak tangannya yang saling bertumpu diatas pusarku, sekarang meremas kemeja yang aku pakai.

“Ma, maaf Rat. Maaf.” Ucapku sambil melihat ke arah depan lagi.

Ratna tidak menyahut dan aku tidak tau bagaimana ekspresi wajahnya, karena sekarang wajahnya ada dibelakangku. Entah dia marah atau malu dengan kecupanku dipipinya, yang aku lakukan antara sengaja dan tidak sengaja. Bajingann.

“Rat.” Panggilku dan dia tetap diam saja.

Hiuufftt, huuu.

Aku menarik nafasku dalam – dalam, lalu mengeluarkannya perlahan. Entah berapa puluh kali aku menarik nafasku seperti ini. Tapi yang jelas, kalau aku tidak menarik nafasku, bisa mati aku. Assuuu.

Aku yang merasa bersalah kepadanya, sekarang hanya diam dan kami berdua pun akhirnya sama – sama melamun.

Dan setelah dekat dengan warung Bakso kidul pasar, aku melirik ke arah belakangku.

“Jadi bagaimana Rat.?” Tanyaku.

“Apanya yang bagaimana.?” Tanya Ratna balik.

“Jadi makan bakso gak.?” Tanyaku lagi dan aku langsung menghentikan kimba disamping bakso kidul pasar.

“Terus kalau gak jadi, ngapain kita berhenti disini.?” Ucap Ratna dan dia turun dari kimba.

Ratna berdiri disebelahku dan aku langsung mematikan mesin kimba.

“Hehe. Iya, ya.” Ucapku dan sengaja aku tertawa, untuk mencairkan suasana.

Aku lalu turun dari kimba dan menstandarkan dua, setelah itu aku membalikan tubuhku dan melihat ke arah Ratna.

“Ada yang lucu ya.?” Tanya Ratna sambil melipatkan kedua tangannya didada.

Cuukkk. Dia ini marah ya sama aku.? Tapi gak mungkin dia marah. Tatapannya matanya gak menunjukan kalau dia marah dengan ku. Apa mungkin dia malu dan dia menutupi rasa malunya ini, dengan berpura – pura marah.? Jadi dia senang dong dengan kecupan bibirku di pipinya.? Ah, jadi enak aku. Bajingan.

“Gak ada yang lucu. Yang ada itu, wanita cantik yang lagi berdiri didepanku dan memiliki senyum yang paling manis.” Ucapku, lalu aku merangkul pundak Ratna dengan cueknya dan mengajaknya berjalan ke arah pintu warung bakso kidul pasar.

“Apasih.” Ucap Ratna sambil menurunkan kedua tangannya yang terlipat didada dan dia tidak menolak rangkulanku ini. Wajahnya memerah dan dia telihat malu – malu meong.

Cuukkk. Wajahnya makin terlihat cantik dan ngegemesin aja cuukkk. Terus rambutnya yang didekat wajahku ini, aromanya wangi banget dan kelihatan sangat terawat. Bajingann.

Kami berdua masuk kedalam warung dan memesan dua mangkok bakso, setelah itu duduk berdampingan dipojok ruangan.

Aku lalu mengeluarkan bungkusan rokokku dan ketika akan mengambilnya sebatang, Ratna langsung menahan tanganku dan aku melihat ke arahnya. Ratna menggelengkan kepalanya perlahan dan memberi kode agar aku tidak menghisap rokokku.

“Iya.” Jawabku dan aku meletakan bungkusan rokokku di atas meja.

Ratna langsung tersenyum, melihat aku yang sangat pasrah ini. Aku lalu memalingkan wajahku dan melihat ke arah luar warung bakso ini.

“Mba Gendhis suka sama kamu ya.?” Tanya Ratna yang langsung mengejutkanku.

Aku melihat dia lagi tanpa menjawab pertanyaannya.

“Kok gitu ekspresinya.? Kamu juga suka sama Mba Gendhis ya.?” Tanya Ratna lagi, dengan ekpresi wajah yang menggoda.

“Emang kenapa.? Kamu cemburu.?” Tanyaku yang bingung harus menjawab apa. Ya aku memang bingung, karena aku gak tau bagaimana perasaanku saat ini.

“Cemburu.?” Ucap Ratna dan wajahnya sempat terlihat terkejut sesaat, tapi dia langsung menutupinya dengan senyum yang mengambang dibibir tipisnya.

“Iya. kamu cemburu kan.?” Tanyaku dan sekarang aku justru penasaran dengan perubahan sikapnya ini.

“Cemburu gak ya.? Hem.” Ucap Ratna, dengan bola mata yang melirik keatas dan jari telunjuk kanannya memukul – mukul pelan ujung hidungnya.

Bajingann. Selain gerakan itu menambah kecantikannya, dia juga sukses membuatku penasaran. Djiancokk.

“Silahkan Mas, Mba.” Ucap pelayan yang datang sambil meletakkan dua mangkok bakso dihadapan kami. Kami berdua menghentikan obrolan dan melihat ke arah sang pelayan.

“Terimakasih Mas.” Jawabku dan Ratna dengan kompaknya.

Aku lalu mengambil lepek kecil dihadapanku, setelah itu aku menuangkan kecap, saos dan juga sambel kedalam lepek itu, untuk pelengkap makan pentol bakso.

“Enak ya mengaduk – aduk seperti itu.?” Tanya Ratna, ketika aku mengaduk isi didalam lepek kecil ini.

“Apalagi kalau yang diaduk itu.” Ucap Ratna terpotong.

“Apa.?” Tanyaku sambil melihat ke arahnya.

“Gak apa – apa.” Ucap Ratna sambil mengambil sedikit sambel dan mencampurnya kedalam mangkok baksonya.

“Kok gitu.?” Tanyaku.

“Sudah gak usah dibahas. Entar baksonya dingin loh. Kalau sudah dingin, gak enak banget rasanya.” Ucap Ratna dan dia berbicara pelan, sambil melirik ke arahku.

Cuukkk. Ini bahas apa sih.? Masa bahas bakso kok seperti bahas masalah perasaan.? Bajingann.

Aku yang tidak ingin larut dengan pembahasan ini, langsung menuangkan kecap, saos dan sambel kedalam mangkokku.

“Kok gak pakai saus sama kecap Rat.?” Tanyaku ketika Ratna mulai menyeruput kuahnya.

“Jangan terlalu banyak rasa, nanti kamu bingung dan gak bisa menikmati.” Jawab Ratna dan kembali aku menarik nafas panjangku.

“Kamu itu kenapa sih Rat.?” Tanyaku dan aku belum memakan baksoku, se sendokpun.

“Aku gak apa - apa kok. Emang ada yang salah dengan ucapanku.?” Tanya Ratna sambil melihat kearahku.

“Kita ini lagi bahas bakso kan.?” Tanyaku dan Ratna langsung tersenyum, lalu dia memalingkan wajahnya lagi dan melanjutkan makannya.

“Kalau cuman bahas masalah bakso, kenapa ada yang aneh dengan ucapanmu.?” Tanyaku lagi.

“Aneh.? Perasaanmu aja Lang.” Ucap Ratna lalu dia melihat kearahku.

“Makan dulu baksomu.” Ucap Ratna lagi dan tatapan matanya sangat dalam ke arahku.

Arrgghhh. Mau gila aku rasanya.

Akupun mulai memakan bakso yang ada dimangkokku, tanpa menanggapi ucapan Ratna barusan. Aku malas berdebat, dari pada jawabannya selalu menggantung dan membuat selera makanku hilang.

“Pelan – pelan aja makan baksonya, karena kalau terburu – buru.” Ucap Ratna terpotong, karena aku langsung meliriknya. Aku meliriknya dengan sendok yang masih berada didalam mulutku.

“Hihihi.” Diapun tertawa lalu melanjutkan makannya.

Nyam, nyam, nyam, nyam.

Aku mengambil pentol yang paling besar, lalu aku bagi menjadi dua. Aku masukkan potongan pentol bakso yang besar ini, kedalam mulutku. Besar banget sih, tapi aku sudah gila dan aku melahap semuanya.

“Gilang. Makannya jangan berlebihan seperti itu. Gak baik melakukan sesuatu yang berlebihan. Cukup sewajarnya aja, seperti.” Ucap Ratna terpotong, karena aku langsung meliriknya, sambil menggelengkan kepalaku pelan. Aku arahkan telunjuk tangan kananku kemulutku yang penuh pentol bakso, agar dia tidak berbicara lagi.

“Hihihi.” Kembali Ratna tertawa lalu dia melanjutkan makannya.

Arrgghhh. Makin gak jelas aja Ratna ini. Untung dia sahabatku, kalau enggak, sudah kutinggal diwarung ini, biar dia bantu cuci mangkok dibelakang sana. Bajingann.

Aku lalu menghabiskan semangkok bakso ini dan aku lihat mangkok Ratna masih berisi setengah. Aku mengambil minumanku, lalu meminumanya. Setelah itu aku meraih bungkusan rokokku dan mengambilnya sebatang. Ratna langsung melirikku dan menghentikan makannya.

“Huuuu.” Aku hembuskan nafasku dan meletakkan bungkusan rokokku lagi.

Kembali Ratna melanjutkan makannya dan aku hanya sesekali melirikknya, dengan bibir yang terasa sangat kecut sekali.

Ratna semakin melambatkan makannya dan aku tidak bisa berbuat apa – apa. Bajingann.

“Selesai.” Ucap Ratna sambil meletakan sendoknya, lalu dia mengambil minuman dan meminumnya.

Sruuppp.

Dia minum es tehnya, setelah itu dia melihat kearahku.

“Kamu mau rokokkan ya.?” Tanya Ratna dengan polosnya.

“Engga.” Jawabku dengan singkat.

“Jangan bohong.” Ucap Ratna.

“Emang kenapa.? Kalau aku jawab iya juga percuma.” Ucapku, lalu aku meminum minumanku.

“Lang. Aku itu gak bisa cium asap rokok, ketika mau makan atau sedang makan. Selera makanku bisa hilang.” Ucap Ratna dan aku langsung melihat ke arahnya.

“Sekarang aku sudah selesai makan. Jadi kalau kamu mau rokokkan, rokokkan aja.” Ucap Ratna dan aku merasa sangat bersalah sekali kepadanya.

“Enggak ah. Nanti seleramu jadi berkurang, lalu menghilang.” Ucapku sambil menatapnya.

“Kan aku sudah selesai makan.” Ucap Ratna.

“Bukan selera makanmu yang hilang, tapi selera tatapanmu kepadaku yang jadi berkurang.” Ucapku bercanda, untuk mengurangi rasa bersalahku kepadanya.

“Apa sih.” Ucap Ratna sambil melihat ke arah yang lain, lalu dia berdiri.

“Kemana.?” Tanyaku.

“Pulang lah.” Jawab Ratna.

“Kok buru – buru.?” Tanyaku sambil memegang punggung tangan Ratna.

“Tadi Om Tomo pesan, aku boleh keluar tapi jangan lama – lama.” Jawab Ratna.

“Loh, Pak Tomo tau kalau aku ngajak kamu makan.?” Tanyaku lagi.

“Enggak.” Jawab Ratna sambil menggelengkan kepalanya pelan.

“Terus.?” Tanyaku lagi.

“Om Tomo tau, kalau kamu akan mengantarkan aku pulang dan pasti jalan – jalan sebentar. Makanya tadi aku gak diajak pulang bareng.” Jawab Ratna.

“Ohh.” Ucapku sambil mengangguk.

Aku lalu berdiri dan membayar makanan kami, setelah itu kami keluar dari warung bakso kidul pasar ini.

Aku naik ke kimba, lalu menurunkan dari standart dua, setelah itu aku menyalakan mesin kimba.

Kletek, kletek, kletek. Tek, tek, tek, teng, teng, teng.

Mesin kimba mulai menyala dan Ratna langsung duduk dibelakangku. Duduknya merapat, sampai dadanya menempel punggungku dengan erat. Kedua tangannya melingkar diperutku dan dagunya kembali diletakkan di pundak kananku.

“Jadi kita langsung balik ya.?” Tanyaku, sambil menoleh kearahnya.

Ratna juga melihat kearahku dan dengan posisi yang sangat dekat ini, bibir kami bertemu dan saling menempel.

CUUPPP.

Uhhhhh. Gila. Kok bisa kebetulan seperti ini ya.? Kebetulan yang sangat mengenakan bagiku tentunya. Bajingann.

Bibir kami terus menempel dan kami berdua melakukannya dengan mata yang terbuka. Tiba – tiba gelombang dasyat didalam hatiku kembali menggelora dan menghasilkan molekul – molekul cinta yang menyebar keseluruh tubuhku, lalu mengguncang seluruh isinya. Bajingann.

“Eh.” Ucap Ratna, lalu dia memundurkan wajahnya, sampai kecupan bibir kami ini terlepas. Rasa kecewapun langsung terasa didalam hatiku, karena aku merasa sangat nyaman dengan kecupan bibir kami tadi.

Aku terdiam dengan pikiran yang terus melayang tinggi.

Treng, teng, teng, teng, teng.

Mesin kimba terus menyala.

“Jadi kita disini aja.?” Tanya Ratna yang mengejutkanku.

“Oh iya Rat.” Ucapku, lalu aku memasukkan perseneling kimba.

Kletek.

Setelah itu aku menarik gas kimba pelan, meninggalkan warung bakso kidul pasar ini.

Pelukan diperutku dilepaskannya dan telapak tangannya sekarang berada diatas pahaku. Dadanya agak mundur dan tidak serapat tadi. Bajingan.

Treng, teng, teng, teng, teng.

Aku terus menarik gas kimba dan kami tidak saling berbicara lagi. Akupun sengaja tidak memulai pembicaraan, karena aku akan mengajaknya berbicara setelah sampai dirumah Pak Tomo nanti.

Treng, teng, teng, teng, teng.

Beberapa saat kemudian, kami memasuki kawasan perumahan yang ditinggali Pak Tomo. Dan pada saat kami sampai didepan rumah Pak Tomo, tampak Pak Tomo sedang duduk di gazebo yang ada disudut rumahnya.

Aku lalu mematikan mesin kimba dan Ratna langsung turun, lalu berdiri didekatku. Karena kami berdua diawasi Pak Tomo, akupun tidak bisa mengajak Ratna untuk mengobrol.

Aku parkirkan kimba, setelah itu aku berjalan kearah pagar rumah bersama Ratna.

“Om.” Ucap Ratna, ketika kami sudah masuk kedalam pagar.

“Eh Rat. Mandi dulu, sudah mau malam.” Ucap Pak Tomo kepada Ratna.

“Iya Om.” Ucap Ratna, lalu dia masuk kedalam rumah, sambil sesekali melirikku.

“Lang.” Panggil Pak Tomo dan aku langsung melihat kearah beliau.

“Duduk sini.” Ucap Pak Tomo.

“Iya Pak.” Ucapku dengan sangat sopannya.

Aku lalu melangkah ke arah gazebo dan aku langsung duduk disebelah Pak Tomo. Pak Tomo mengisap rokoknya dalam – dalam, lalu mengeluarkan asap yang sangat tebal dari mulutnya.

Cuukkk. Enak banget rokokannya cuukkk. Ingin rasanya aku mengambil rokokku dan menghisap seperti yang dilakukan Pak Tomo. Tapi aku menahannya, karena itu pasti sangat tidak sopan sekali.

“Bagaimana kabar Irawan.?” Tanya Pak Tomo, sambil menatap ke arah lurus kedepan.

“Ha.” Ucapku yang terkejut, sambil melihat ke arah Pak Tomo.

“Gak usah sok kaget gitu. Seminggu yang lalu, kalian berpesta di Markas Danang kan.?” Ucap Pak Tomo dan beliau tetap tidak melihat ke arahku.

“Maksudnya Pak.?” Tanyaku dan aku seolah – olah tidak mengerti dengan pertanyaan Pak Tomo itu.

“Kamu dilarang bercerita ya.?” Tanya Pak Tomo dan beliau perlahan melihat ke arahku.

“Anu Pak.” Ucapku dan aku mengindari tatapan mata beliau, dengan melihat ke arah lurus depanku.

“Sudahlah. percuma juga aku bertanya kepadamu.” Ucap Pak Tomo, lalu beliau menghisap rokoknya lagi.

Kami berdiam diri dan aku sangat canggung dengan suasana ini. Aku lalu mengalihkan pandanganku ke arah pintu dan berharap ada Ratna berdiri disana.

“Ternyata orang yang memiliki mata merah, mata hitam atau warna lainnya, terpancar aura yang sangat luar biasa kelawan jenisnya.” Ucap Pak Tomo dan kembali aku melihat kearahnya.

“Maksudnya Pak.?” Tanyaku dengan bingungnya.

“Aku mengenal beberapa orang yang memiliki anugrah kekuatan warna mata yang berbeda, dari manusia pada umumnya. Dan mereka yang aku kenal itu, rata – rata dikelilingi wanita – wanita cantik yang terpesona kepadanya.” Jawab Pak Tomo.

Cuukkk. Maksud Pak Tomo ini apa ya.? Terus siapa yang disinggungnya.? Apa beliau membicarakan tentang Pakde Irawan.? Pakde Irawan dengan mata merah yang dimilikinya. Terus siapa lagi pemilik warna mata selain Pakde Irawan.? Kok Pak Tomo bilang ada beberapa.? Apa itu termasuk aku.? Tapi bagaimana bisa Pak Tomo tau tentang anugrah mata yang aku miliki.? Pak Tomo kan tidak ada ditempat kejadian, waktu aku membantai Pak Jarot.?

Satu lagi pertanyaanku. Aura yang dimiliki pemilik warna mata, yang bisa menarik wanita – wanita cantik disekitarnya. Bajingan. Apa maksudnya ini, siapapun pemilik anugrah warna mata itu, pasti bisa menarik wanita yang ada disekelilingnya dan membuat wanita jatuh cinta dengan mudahnya.

Djiancokk. Sakit dong bermain hati dengan banyak wanita.? Assuuu, assuuu.

“Aku tidak menyalahkan mereka, walaupun wanita – wanita cantik itu tergila – gila kepada mereka. Ya karena aura pemilik warna mata itu, memang sangat kuat dan sangat menarik.”

“Dan khusus untuk kamu. Aku harap dengan anugrah yang kamu miliki itu sekarang, kamu tidak menggunakannya dengan mempermainkan perasaan para wanita yang ada disekelilingmu, termasuk Gendhis dan juga Ratna.” Ucap Pak Tomo dan beliau langsung berdiri.

Akupun terkejut mendengar ucapan Pak Tomo dan aku hanya menatapnya saja.

“Kelihatannya sudah malam.” Ucap Pak Tomo sambil melihat kearah matahari yang akan terbenam.

Cuukkk. Aku yang masih bingung dengan obrolan ini, sekarang malah diusir ya.? Asuu’ig.

Akupun langsung melihat kearah pintu rumah lagi dan aku tetap berharap Ratna keluar dari pintu itu. Aku ingin berpamitan kepadanya, sebelum aku pulang.

“Dia pasti lagi mandi. Kalau kamu mau pulang, pulang aja.” Ucap Pak Tomo dan aku langsung berdiri.

“Oh iya Om.” Ucapku dengan sopannya.

“Om.?” Ucap Pak Tomo sambil melirik kearahku.

Cuukkk. Kok aku ikutan manggil Om sih.? Arrghhhh.

“Maaf Pak, maaf.” Ucapku dan Pak Tomo langsung menghisap rokoknya.

“Saya pamit ya Pak.” Pamitku.

“Hem.” Jawab Pak Tomo.

Aku lalu berjalan ke arah pagar dan aku sempat melirik ke arah jendela rumah. Terlihat bayangan seorang wanita yang sedang mengintip dibalik korden, tapi aku tidak menghentikan langkahku. Aku gak mau diusir kedua kali oleh Pak Tomo. Bajingann.

Kletek, kletek, kletek. Tek, tek, tek, teng, teng, teng.

Aku langsung menyalakan mesin kimba dan aku naik keatasnya.

Kletek. Teng, teng, teng.

Aku memasukan perseneling kimba, setelah itu menarik gas kimba dengan pelan.

Cuukkk. Apa ini yang jadi penyebab, aku mendapatkan kecupan dari dua wanita berbeda hari ini.? Apa anugrah mata yang aku miliki ini, selain mudah menarik lawan jenis, aku juga mudah jatuh cinta.? Apa sesakit itu yang harus aku jalani dengan permainan hati ini.? Kalau seperti itu, lebih baik aku melepaskan anugrah mata ini. Aku tidak ingin menyakiti hati wanita – wanita yang ada disekelilingku dan aku juga tidak ingin tersiksa oleh hatiku sendiri. Djiancokk.

Kimba terus melaju dan tidak terasa sudah melewati depan kampus teknik kita. Aku pun membelokan kimba dan akan melewati kos barbara.

Dan pada saat aku sampai didepan kos Barbara, terlihat Sarah berdiri didepan pagar, dengan beberapa tas yang sangat besar disebelahnya. Sarah menatapku dan aku langsung menghentikan kimba. Kami berdua bertatapan dengan sangat dalam sekali.





#Cuukkk. Tatapan mata kami ini kembali menggetarkan hatiku dan aku terpaku menatap wajah cantik Sarah. Djiancokkk.!!!
 
Bimabet
Selamat malam Om dan Tante.

Updet tipis - tipis ya.

Mohon maaf kalau tulisannya ada yang typo atau ada yang salah dalam penulisan perkalimat.
Semoga masih bisa diterima dan masih bisa dinikmati.

Oh iya, kalau ada yang bertanya kenapa updetnya lama.?
Jawabannya SABAR. Saya lagi padat banget kegiatannya.

Kalau ada yang bertanya kapan MATAHARI dilanjut.?
Jawabannya SABAR. Tunggu cerita IMPIAN ini TAMAT.

Kalau ada yang bertanya kenapa kok ada yang kurang dan kenapa banyak yang menggantung.?
Jawabannya SABAR. Tunggu updetan selanjutnya, atau selanjutnya lagi.

Kalau ada yang bertanya kapan di up lagi.?
Jawabannya SABAR. Tunggu aja beberapa hari lagi, atau beberapa minggu lagi.
Kalau belum muncul dalam beberapa minggu, diusahakan tidak sampai satu bulan.

Terimakasih sudah membaca coretan sederhana ini.
Jangan lupa saran dan masukannya.

Jangan lupa berbahagia dan semoga sehat selalu.

Salam Hormat dan Salam Persaudaraan.
:beer::beer::beer:
 
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd