Agen Terpercaya  
 
 
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

CERBUNG - TAMAT I M P I A N 2



BAGIAN 36
KESEDIHANKAH ATAU KEBAHAGIAAN.?



“Bagaimana laporan proyek kita yang ada dikota sebelah Lang.? Apa data yang aku kasih masih ada yang kurang.?” Tanya Mas Candra kepadaku.

“Sedikit lagi selesai Mas. Datanya sih sudah cukup. Tapi sayang, foto yang sampean kasih, waktu saya cucikan sebagian kebakar.” Jawabku, lalu aku menghisap rokokku.

“Masa sih.?” Tanya Mas Candra dengan wajah yang sedikit panik.

“Iya Mas.” Jawabku singkat.

“Tapi sebagian foto yang jadi, bisa dibuat laporan kan.?” Tanya Mas Candra lagi dan aku hanya menganggukkan kepalaku.

“Cok. Kamu itu kok malah ngatur direktur sih Can.?” Tanya Mas Jago ke Mas Candra.

“Yang ngatur itu siapa.? Aku loh cuman tanya.” Jawab Mas Candra.

“Yang tanya laporan itu harusnya Gilang, karena dia direkturnya. Yang buat laporanpun, harusnya kamu, bukan direkturnya. Sudah laporan Gilang yang buat, cuci foto juga Gilang. Kurang ajar kamu itu.” Ucap Mas Jago.

“Bajingan’i. Gak ngono cok.” (Bajingan. Gak begitu cok.) Sahut Mas Candra.

“Gak ngono piye.?” (Gak gitu gimana.?) Tanya Mas Jago.

“Suwi – suwi kok gathelli koen cok.?” (Lama – lama kok menjengkelkan kamu cok.?) Ucap Mas Candra dan Mas Jago hanya tersenyum meledek.

Aku langsung menggelengkan kepalaku pelan, mendengar perdebatan yang menjurus pada candaan ini. Sementara Joko yang melirik ke arahku, sepertinya paham dan dia spesialis untuk memotong obrolan seperti ini.

“Sepertinya Mas – Mas ini kurang ngopi. Kita ngopi yok.” Ucap Joko sambil melirik ke arahku.

“Ya kamu buat kopi sana Jok. Biasanya kan kamu yang buat.” Sahut Mas Jago.

“Ngopi diluar Mas, masa ngopi dikosan terus.? Sampean gak bosan kah.? Atau jangan – jangan sampean gak punya uang.? Santai aja Mas, ntar aku bayarin.” Ucap Joko dengan nada yang sedikit angkuh.

“Nggatelli. (Menjengkelkan.) Kamu sebutkan warung kopi atau café yang harga segelas kopinya paling mahal dikota ini Jok. Biar aku beli café atau warungnya itu sekarang juga.” Ucap Mas Jago yang tidak terima dengan ucapan Joko.

“Cuukkk. Melete men sampean Mas.” (Sok banget anda Mas.) Sahut Joko.

“Arek iki ancene melete Jok. Rasane kate tak tuku ae iku lambene.” (Anak ini memang sok banget Jok. Rasanya mau kubeli aja itu mulutnya.) Ucap Mas Candra.

“Matamu.” Gerutu Mas Jago.

“Kalau aku perhatikan, bibirnya Mas Jago ini sedikit seksi Mas. Kalau dibeli, kira - kira dapat bonus apa ya.?” Tanyaku ke Mas Candra.

“Bonus iler. Hahahaha.” (Bonus air liur. Hahahaha.) Ucap Mas Candra lalu tertawa dengan kerasnya.

“Hahahaha.” Aku dan Joko pun ikut tertawa.

“Bajingan.” Maki Mas Jago lalu dia berdiri.

“Kate nangdi Mas.?” (Mau kemana Mas.?) Tanya Joko.

“Jaremu ngopi nang njobo.? Tak pancal raimu loh.” (Katamu ngopi diluar.? Ku injak mukamu loh.) Omel Mas Jago.

“Ojo kereng – kereng Mas.” (Jangan sangar – sangar Mas.) Ucap Joko yang pura – pura ketakutan.

“Assuuu.” (Anjingg.) maki Mas Jago.

“Sektalah cok. Awak dewe ono janji ketemu ambe wong loh.” (Sebentar dulu cok. Kita ada janji ketemu sama orang loh.) Ucap Mas Candra ke Mas Jago.

“Awak dewe ketemu disek ambe wonge, ben arek – erek iki ngenteni nde warung kopi.” (Kita ketemu dulu sama orangnya, biar anak – anak ini menunggu di warung kopi.) Jawab Mas Jago.

“Yo weslah.” (Ya sudahlah.) Ucap Mas Candra lalu dia berdiri juga.

“Sido ngopi a Mas.?” (Jadi ngopi kah Mas.?) Tanyaku.

“Nggatheli arek iki.” (Jengkelin anak ini.) Ucap Mas Jago kepadaku.

“Iyo. Assuu.” Sahut Mas Candra yang tidak ketinggalan memakiku.

“Ancene ngono arek iki Mas. Dipancal bareng – bareng a.?” (Memang begitu anak ini Mas. Di injak sama – sama kah.?) Ucap Joko yang ikut – ikutan menyerangku.

“Oooo, begedel iki.” (Oooo, perkedel ini.) Ucapku ke Joko dan dia langsung tersenyum senang.

“Sudah – sudah. Kami keluar dulu ya. Entar kalian duluan aja kewarung kopi biasa, nanti kami nyusul.” Ucap Mas Candra.

“Iya Mas, aku selesaikan laporan ini dulu, supaya besok bisa sampean bawa ke kota sebelah.” Jawabku.

Mas Candra pun langsung mengangguk, setelah itu mereka berdua keluar kosan.

Hiuufftt, huuuu.

Aku menghisap dalam – dalam rokokku, setelah itu aku melanjutkan membuat laporan.

“Ketok ane, semingguan iki aku turu nde studi arsitek.” (Kelihatannya, seminggu ini aku tidur di studio arsitek.) Ucap Joko kepadaku.

“Gak po – po. Seng paling penting iku tugas kuliah.” (Gak apa – apa. Yang paling penting itu tugas kuliah.) Jawabku sambil mengerjakan laporan.

“Seneng koen cok.?” (Senang kamu cok.?) Tanya Joko dan aku langsung melihat ke arahnya.

“Maksudmu.?” Tanyaku balik.

“Awakmu iso nggowo arek wedok nang kosan iki maneh.” (Kamu bisa bawa anak perempuan ke kosan ini lagi.) Jawab Joko, lalu dia berdiri.

“Matamu.” Makiku sambil menghisap rokokku lagi, setelah itu aku mematikannya diasbak.

“Hahaha.” Joko hanya tertawa, lalu dia berjalan ke arah kamar mandi.

Akupun melanjutkan kegiatanku, mengerjakan laporan pekerjaan dan harus selesai hari ini juga. Setelah ini aku mau berkonsentrasi dengan ujian akhir semester yang akan berlangsung dua minggu lagi. Untungnya semua tugas besar dan praktikumku selesai kemarin. Jadwal kegiatanku yang super padat, membuat waktu tidur malamku tidak teratur dan aku sering bergadang. Bukan hanya tidak teratur, tapi sangat – sangat kurang sekali tubuh ini beristirahat.

Hiuffftt, huuuu.

Aku menarik nafas panjangku, setelah itu aku mengambil rokokku lagi dan membakarnya. Berbatang – batang puntung rokok kretekku pun, sudah memenuhi asbak yang lumayan besar dimejaku.

Jujur, hanya rokok dan kopi saja yang bisa membuatku berpikir agak tenang saat ini. Kalau tidak merokok ataupun ngopi, aku pasti akan gila dan semua pekerjaanku akan berantakan.

Hiuffftt, huuuu.

Beberapa saat kemudian, laporan yang aku kerjakan pun akhirnya selesai. Aku lalu menikmati rokokku sejenak, sambil menyandarkan punggungku dikursi.

Dan tiba – tiba.

“Hupppp.” Dadaku terasa seperti diremas dan sakitnya sangat luar biasa.

Bajingan. Kenapa kumat lagi nih sakitnya.? Dan kenapa sekarang sakitnya bisa sesering ini.? Ada apa ini.?

“Huuppp.” Aku mencoba menarik nafasku, tapi sangat sulit sekali.

Nafasku seperti terhenti ditenggorokan dan tidak bisa aku keluarkan.

“Huuppp.” Aku mencoba menarik nafasku lagi, tetapi tetap saja tidak bisa.

Setiap aku menarik nafasku, jantungku seperti tertarik keatas tenggorokanku dan rasanya sangat sakit sekali.

“Huuppp.” Detakan jantungku melambat dan seperti akan berhenti.

Aku memegang dadaku dan aku meremasnya dengan pelan. Gerakan tanganku seperti sedang memompa jantungku, supaya bisa berdetak lagi dengan normal.

“Uh, uh, uh, uh.” Aku bersusah payah menarik nafasku, sampai air mataku menetes.

Tangan kiriku aku letakkan dimeja, lalu aku jatuhkan keningku ke lengan kiriku, sambil memegang dadaku dengan tangan kanan.

“Hup, hu, hup, hu, hup, hu.” Aku menarik nafasku pendek, lalu aku mengelurkannya pendek juga.

Sakit, sakit dan sangat sakit sekali.

“Cuukkk. Malah turu arekke.” (Cuukk. Malah tidur anaknya.) Ucap Joko yang baru keluar dari kamar mandi.

Aku tidak menjawab pertanyaannya dan aku menurunkan tangan kananku dari dadaku. Aku tidak ingin membuatnya curiga, karena aku sedang kesakitan.

Aku memang sering tertidur dengan posisi seperti ini, ketika sedang melembur pekerjaan atau melembur tugasku.

Tap, tap, tap, tap.

Terdengar langkah Joko masuk kedalam kamarnya dan kembali aku meremas dadaku.

“Hup, hu, hup, hu, hup, hu.” Aku menarik nafasku pendek lagi.

Ada apa denganku ini dan ada kabar apa lagi yang akan aku dengar.? Biasanya kalau sakit ini datang, ada suatu kabar atau bahkan sesuatu yang akan menimpa diriku.

“Hup, hu, hup, hu, hup, hu.” Aku terus menarik nafasku dan perlahan jantungku mulai berdetak agak cepat, disertai hembusan nafasku yang sedikit agak panjang.

“Hup, hu, hup, hu, hup, hu.” Aku atur nafasku sambil melepaskan remasan didadaku, lalu aku membersihkan sisa air mataku yang menetes.

Aku lalu menegakan tubuhku yang dari tadi membungkuk, sambil menarik nafas panjangku.

“Hiuufftttttt, haaaaaaa.” Nafas panjangku sudah mulai bisa aku keluarkan dan dadaku sudah tidak terasa sakit lagi.

Aku menyandarkan punggungku dan aku mendangakkan kepalaku.

“Hiuufftttttt, haaaaaaa.” Aku tarik nafas panjangku lagi, sambil memejamkan kedua mataku.

“Wes mari laporane ta cok.?” (Sudah selesai lapaorannya kah cok.?) Tanya Joko yang baru keluar dari kamarnya.

“Wes, huuuu.” (Sudah, huuuu.) Jawabku sambil menegakkan kepalaku dan membuka kedua mataku, serta mengeluarkan nafas panjangku.

“Koen gak po – po ta cok.? (Kamu gak apa – apa kah cok.?) Tanya Joko dengan tatapan yang curiga.

“Gak po – po.” (Gak apa – apa.) Jawabku singkat.

“Kok raimu pucet.?” (Kok wajahmu pucat.?) Tanya Joko lagi sambil mendekat ke arahku.

“Kurang turu ndeng.” (Kurang tidur gila.) Jawabku lalu aku berdiri dan berjalan ke arah kamar mandi.

Sengaja aku pergi meninggalkan Joko yang sudah didekatku, karena aku tidak ingin dia bertanya macam – macam lagi.

“Tenanan a cok.?” (Beneran kah cok.?) Tanya Joko ketika aku memegang pintu kamar mandi.

“Iyo ndeng, iyo.” (Iya gila, iya.) Jawabku dengan nada yang agak tinggi, sambil menoleh ke arahnya.

“Gak usah emosi cok.” Sahut Joko.

“Lah koen rame ae ndeng.” (Lah kamu ribut aja gila.) Ucapku sambil masuk kedalam kamar mandi, lalu menutup pintunya pelan.

“Cok. Malah aku diseneni.” (Cok. Malah aku dimarahi.) Gerutu Joko yang terdengar dari dalam kamar mandi ini.

“Hiuuftttttt, huuuuuu.” Aku menarik nafas panjangku lagi dan dadaku sudah tidak sesak.

Aku menyandarkan punggungku dipintu kamar mandi, untuk menenangkan diriku sejenak. Aku raba dadaku yang sudah tidak terasa sakit ini, sambil menarik nafas panjangku lagi.

Setelah diriku benar – benar tenang dan nafasku benar – benar lega, Akupun langsung mandi, setelah itu aku berganti baju dan keluar bersama Joko. Kami menuju ke warung kopi langganan yang sering kami datangi, dengan mengendarai kimba.

Dan setelah sampai diwarung kopi, aku lalu memarkirkan kimba.

Didalam warung sana terlihat pengunjung agak lumayan ramai. Suasana pagi hari dan hawa yang sangat dingin, memang sangat cocok ditemani segelas kopi. Jadi wajar aja banyak pengunjung yang datang kewarung ini, pagi – pagi seperti ini.

“Lungguh kono ae.” (Duduk sana aja.) Ucap Joko sambil menunjuk ke arah pojok sebelah kiri.

“Sembarang.” Jawabku dan kami berdua melangkah masuk kedalam warung.

“Gilang, Joko.” Panggil seseorang dari arah sebelah kanan.

Kami berdua langsung melihat ke arah suara itu dan ternyata yang memanggil kami adalah Zaky, salah satu pentolan blackhouse.

“Woi Ky.” Ucap Joko dan kami berdua langsung melangkah ke arah Zaky yang duduk seorang diri.

Oh iya, aku dan Joko sudah agak lumayan akrab dengan Zaky, semenjak pertemuan kami di blackhouse waktu itu.

“Sendirian Ky.?” Tanya Joko lalu menjulurkan tangan kanannya dan Zaky menyambutnya.

“Iya. Ngopi dulu sebelum ke kampus.” Jawab Zaky lalu dia melepaskan jabatan tangannya.

“Sering ngopi disini.?” Tanyaku dan giliranku yang mengajak Zaky bersalaman.

“Gak juga.” Jawab Zaky.

Aku dan Joko lalu duduk didepan Zaky yang lagi menghisap rokoknya.

“Gila. Ternyata kalian anak kampus teknik kita ya.?” Tanya Zaky.

“Emang kenapa.?” Tanyaku balik.

Aku dan Joko memang tidak pernah mengatakan kepada Zaky ataupun kepada penghuni kosan black house, kalau kami ini berkuliah dikampus teknik kita. Perkenalan kami waktu itu hanya sekedar nama dan tempat tinggal dikota ini. Obrolan kami waktu itupun, hanya obrolan yang ringan, tentang dunia jalanan dan mengamen. Dan tentunya ditemani dengan putaran minuman.

“Gak apa – apa. Kalian gak pesan minum dulu.?” Ucap Zaky yang seolah mengalihkan pertanyaanku.

“Mas.” Panggil Zaky, kepada seorang pelayan.

“Ya Mas.” Tanya pelayan itu ketika sudah didekat meja kami.

“Mas nya ini mau pesan.” Ucap Zaky kepada pelayan itu, sambil menunjuk ke arahku dan juga Joko bergantian.

Pelayan yang sudah mengenal kami itupun, langsung tersenyum kepada kami.

“Seperti biasa ya Mas.?” Tanya pelayan itu dan aku mengangguk pelan, lalu pelayan itupun langsung pergi.

“Hahahaha. Terkenal juga kalian disini.” Ucap Zaky setelah tertawa yang menurutku tidak lucu sama sekali.

“Nggak juga, cuman karena kami sering kesini, jadi mereka kenal.” Ucap Joko.

“Ooohh. Tapi ngomong – ngomong, kalian jurusan apa.?” Tanya Zaky lalu dia menghisap rokoknya.

“Kamu pasti taulah. Masa dapat infonya cuman nanggung.?” Jawabku lalu aku meraih rokokku dan mengambilnya sebatang, lalu aku membakarnya.

“Hehehe.” Zakypun langsung tersenyum mendengar jawabanku.

“Berarti kita keren banget dong, sampai anak dari kampus kuru tau tentang kita.” Celetuk Joko sambil melirikku, lalu melihat ke arah Zaky.

“Kalau sekedar tau sih gak apa – apa. Tapi kalau sampai mencari tau, itu yang ada apa – apanya.” Sahutku.

“Kalian itu keren dan jujur aku memang mencari tau tentang kalian.” Ucap Zaky dan membuatku langsung mengerutkan kedua alis mataku.

“Dua orang pemuda dari desa ke kota Pendidikan, dengan bekal alat mengamen untuk membiayai kuliah. Itu bagiku sangat keren dan sangat luar biasa.” Ucap Zaky lagi, lalu dia meletakkan rokoknya disela bibirnya, setelah itu dia bertepuk tangan pelan.

Prok, prok, prok, prok, prok.

“Biasa aja itu Ky.” Jawab Joko dan dengan nada bicara yang terdengar bangga sekali.

“Bukan biasa aja Jok, tapi luar biasa.” Ucap Zaky dan dia terus menyanjung kami, sambil memegang batang rokoknya lagi.

“Sudahlah Ky, gak usah terlalu berlebihan menyanjung, kalau ingin berteman dengan kami. Kami itu biasa hidup dijalan dan kami bisa berteman dengan siapa saja. Preman yang paling bajinganpun, kalau mau berteman akan kami terima dengan tangan terbuka.” Ucapku lalu aku menghisap rokokku.

“Itu yang aku suka dari kalian.” Ucap Zaky lalu dia tersenyum

“Wes talah cok. Iki mbahas masalah opo seh.? Ngono ae serius.” (Sudahlah cok. Ini bahas masalah apa sih.? begitu aja serius.) Ucap Joko yang mencoba mencairkan suasana yang agak tegang ini.

“Ngopi, ngopi.” Ucap pelayan yang baru datang, sambil membawa dua gelas pesanan kami dan meletakan dihadapan kami.

“Siap.” Sahut Joko dan pelayan itupun langsung mengarahkan jempolnya ke arah kami, lalu setelah itu meninggalkan kami.

“Oh Iya Ky. Kamu dari daerah mana sih.?” Tanya Joko, lalu dia menyeruput kopinya.

Sruupppp.

“Ahhhhh.” Ucap Joko sambil meletakkan gelasnya dimeja, setelah itu dia menghisap rokoknya.

“Aku bingung mau jawab apa.” Ucap Zaky yang langsung membuatku dan Joko saling melirik.

“Kenapa bingung.?” Tanya Joko lagi.

“Aku itu gak tau berasal dari daerah mana, karena setelah lahir aku tinggal dipanti asuhan.” Jawab Zaky dan itu membuatku langsung terkejut.

“Jadi kamu gak punya orang tua.?” Tanyaku.

“Gimana ya jawabnya.” Ucap Zaky lalu dia menghisap rokoknya.

“Kok gitu.?” Tanya Joko.

“Aku itu sebenarnya punya Ayah, tapi gak tau Ibuku itu siapa. Ayahku hanya sesekali datang kepanti asuhan untuk menjengukku, itupun hanya sebentar tanpa mengobrol banyak denganku.” Ucap Zaky dengan pandangan mata yang kosong dan tiba – tiba wajahnya terlihat sedih.

“Maaf kalau pertanyaan kami menyinggungmu.” Ucap Joko.

“Enggak, santai aja.” Ucap Zaky dan dia langsung mencoba menutupi kesedihannya.

“Tapi aku mohon kepada kalian berdua, agar tidak bercerita kepada siapapun tentang apa yang aku ucapkan barusan.” Ucap Zaky lagi.

“Kenapa.?” Tanyaku.

“Tidak ada yang tau kalau aku ini punya Ayah. Mereka semua hanya tau kalau aku ini berasal dari panti asuhan.” Ucap Zaky melanjutkan ceritanya.

“Kenapa kamu bercerita kepada kami.?” Tanyaku lagi.

“Karena kalian sekarang menjadi inspirasiku untuk melanjutkan kuliah.” Jawab Zaky.

“Kok bisa.?” Tanya Joko.

“Jadi begini. Walaupun aku seperti ini, aku tidak pernah kekurangan materi sama sekali. Semua kebutuhanku selama kuliah, selalu dipenuhi Ayahku. Kehidupan selama dipanti asuhan yang terlalu banyak aturan, membuatku merasa bebas ketika aku berkuliah. Semua kenakalanku tidak terkontrol dan semua terhenti ketika aku melihat kalian berdua” Jawab Zaky.



“Kamu jangan merendah seperti itu Ky. Walaupun kamu bebas melakukan apa saja, aku yakin kamu bisa mengontrol apa yang kamu lakukan selama ini. Kehidupan yang telah kamu jalani, pasti telah membentuk dirimu sehingga pikiranmu menjadi dewasa.” Ucapku.

“Dewasa sebelum waktunya, karena keadaan. Itu yang ada didalam pikiranmu tentang aku kan.?” Tanya Zaky dan aku hanya menatapnya sambil menghisap rokokku.

“Aku itu anak manja yang selalu dicekoki dengan segala kemewahan, tanpa dibarengi dengan kasih sayang. Kehidupanku liar dan selama ini yang ada diotakku, aku merasa bisa memiliki apapun dengan uang yang aku miliki.”

“Tapi ternyata hidupku itu hampa dan jujur semenjak aku melihat kalian, aku belajar instropeksi diri.”

“Ada apa dengan diriku ini.? Kenapa aku harus terjerumus dengan semua kenakalan ini.? Apa karena kurang kasih sayang.? Jancokk.”

“Itu bukan suatu alasan yang tepat. Teman – temanku dipanti asuhan tidak ada yang mempunyai orang tua, tapi mereka bahagia dengan kehidupannya. Sedangkan aku.? Aku mempunyai seorang Ayah yang selalu memberikan aku kebutuhan yang lebih dari cukup, masih saja luntang – lantung mencari jati diri.” Ucap Zaky dengan suara yang bergetar, menutup cerita panjangnya itu

“Terus sekarang maumu bagaimana.?” Tanyaku dan jujur sekarang aku kasihan kepada Zaky, setelah mengetahui semua cerita kehidupannya.

“Aku ingin merubah hidupku, tapi aku gak tau harus dimulai dari mana.” Jawab Zaky dan suaranya masih terdengar bergetar.

“Saat ini kondisiku sama seperti kamu Ky, sama – sama tidak memiliki orang tua. Walaupun kamu memiliki Ayah, tapi kamu kurang kasih sayang. Apalah arti bergelimang harta, tapi tidak ada tempat untuk ‘pulang’. Tidak ada rumah yang dijadikan tempat untuk berbagi kasih sayang dan tidak ada tempat untuk berbagi rindu.” Ucap Joko dan nada suaranya terdengar sangat sedih sekali.

“Harta itu nomor sekian. Yang terpenting itu kasih sayang, cinta dan perhatian dari orang tua. Dan setelah aku kehilangan orang tuaku, aku seperti tidak memiliki semangat hidup.” Ucap Joko sambil menghentikan ceritanya, lalu dia menghisap rokoknya.

“Tapi perlahan semua terkikis, karena ada seseorang yang selalu menyemangati aku. Ya walaupun dia itu menggathelkan sekali.” Ucap Joko melanjutkan ceritanya, sambil melirik ke arahku.

“Itu yang membuat aku salut dengan persahabatan kalian.” Sahut Zaky dan suasana dimeja kami pun langsung hening.

“Tapi kami masih normal loh ya.” Ucapku yang mencoba menghidupkan suasana hening ini.

“Maksudmu.?” Tanya Zaky dengan wajah yang agak bingung dan Joko langsung melihat ke arahku.

“Nanti kamu kira kami ini berdua hom – hom lagi.” Ucapku yang sengaja mengajak mereka bercanda.

“Hahaha.” Zaki langsung tertawa dengan kerasnya.

“Kirek.” (Anjingg) Maki Joko kepadaku.

“Santai cok, santai.” Ucapku lalu aku menyeruput kopiku.

Sruuppp.

“Ancene Nggatelli koen cok.” (Memang menjengjelkan kamu cok.) Gerutu Joko.

“Hahahaha.” Zaky terus tertawa lalu dia melihat ke arah jam tangannya.

“Eh, ngomong – ngomong. Aku mau mau kekampus dulu ya.” Ucap Zaky lalu dia menghisap rokoknya, setelah itu mematikannya diasbak.

“Kok buru – buru.?” Tanyaku.

“Iya. Buru – buru banget.” Sahut Joko.

“Aku mau kuliah, lain kali kita nongkrong bareng lagi ya.” Ucap Zaky sambil berdiri, lalu mengajak kami bersalaman.

“Oke.” Sahut Joko.

“Tinggal aja Ky, nanti kami yang bayar.” Ucapku ketika Zaky akan membayar minuman kami.

“Sekarang aku yang bayar. Besok – besok terserah.” Ucap Zaky sambil membayar pesanan kami.

“Besok kamu lagi yang bayar juga gak apa – apa kok.” Ucap Joko.

“Assuuu. Hahaha.” Maki Zaky lalu dia tertawa.

“Iya sudah, aku kekampus dulu ya.” Pamit Zaky.

“Oke. Hati – hati.” Sahutku dan Zaky pun langsung keluar dari warung kopi ini.

“Menyedihkan sekali nasibnya Zaky itu.” Ucap Joko ketika Zaky sudah pergi menggunakan sepeda motornya.

“Setiap orang memiliki ujian kehidupan masing - masing. Yang membedakan hanyalah bagaimana cara mereka dalam menghadapinya. Aku yakin Zaky bisa melewati masa – masa itu, jadi dia tidak perlu belas kasihan dari kita. Aku juga yakin Zaky itu orang yang kuat dan hebat. Dia hanya hutuh teman untuk bercerita tentang kehidupannya dan bisa saja justru dia yang kasihan melihat kita” Jawabku.

“Cok. Apa yang perlu dikasihani dari kita.?” Tanya Joko dengan wajah yang terkejut.

“Mungkin karena miskin dan pengamen.” Jawabku dengan santainya.

“Bajingan. Aku gak butuh belas kasihan orang lain, karena kondisi kita yang seperti ini.” Ucap Joko dengan jengkelnya.

“Mungkin itu juga yang ada dipikiran Zaky, ketika kamu mengasihaninya.” Ucapku.

“Assuuu. Pintar banget sih kamu memutar balikkan kalimat.” Ucap Joko.

“Bukan memutar balikan kalimat, tapi supaya kamu berpikir aja.” Ucapku.

“Djiancok. Lah koen kiro aku iku gak tau mikir a.?” (Djiancok. Jadi kamu kira aku itu gak pernah berpikir kah.?) Tanya Joko dengan nada yang agak meninggi.

“Ya mana aku tau. Otakmu itu ada dikepalamu sendiri, kenapa tanya ke aku.” Jawabku, lalu aku menyeruput kopiku.

Sruuppp.

“Kirekk.” (Anjing.) Maki Joko kepadaku.

“Hehe.” Aku hanya tesenyum lalu aku mengisap rokokku dalam – dalam, setelah itu aku mematikan rokokku diasbak.

“Oh iya, bagaimana posisi kita diperseteruan antara black house dan pondok merah.?” Tanya Joko dan aku langsung meliriknya.

“Netral dan gak usah mencampuri urusan mereka.” Jawabku, lalu aku mengambil sebatang rokokku lagi dan membakarnya.

“Aku tau itu. Tapi bagaimana kalau pondok merah tau kita dekat dengan black house atau sebaliknya, blackhouse tau kalau kita dekat dengan pondok merah.?” Tanya Joko lagi.

“Bukan kalau lagi Jok. Aku yakin Mas Pandu dan Zaky tau kalau kita berada di tengah - tengah mereka.” Jawabku.

“Ngono yo.?” (Gitu ya.) Ucap Joko sambil menganggukkan kepalanya.

“Hem.” Ucapku lalu kami berdua menyeruput kopi yang sisa setengah gelas.

Srupppp.

“Ahhhhh.” Kami berdua meletakkan gelas dimeja.

“Djiancok.!!!” Maki Joko sambil menepuk keningnya.

“Lapo ndeng.?” (Kenapa Gila.) Tanyaku yang terkejut.

“Aku durung ngumpul tugasku cok. Dino iki terakhir.” (Aku belum ngumpul tugasku cok. Hari ini terakhir.) Ucap Joko lalu dia menyeruput kopinya sampai habis.

“Lah koen iku piye seh.? Jaremu wes gak onok tanggungan.?” (Lah kamu bagaimana sih.? Katamu sudah gak ada tanggungan.?) Ucapku dan aku juga menghabiskan kopiku.

“Jenenge wong lali cok.” (Namanya orang lupa cok.) Sahut Joko sambil berdiri dan aku juga ikut berdiri

“Mangkane ta, gak usah kakean ngeloco.” (Makanya, jangan kebanyakan coli.) Ucapku.

“Matamu iku.” Maki Joko.

“Jes. Wes dibayar to.” (Bro. Sudah dibayar kan.) Ucapku kepada pemilik warung.

“Oyi sam.” (Iya Mas.) Sahut si pemilik warung sambil mengarahkan jempolnya ke arahku.

“Engko le’ Mas Candra ambe Mas Jago rene piye.?” (Nanti kalau Mas Candra sama Mas Jago kesini bagaimana.?) Tanya Joko ketika kami berdua melangkah ke luar warung.

“Jarno ae. Ben ngamuk nde kene. Lek wes ngamuk, warunge dituku karo Mas Jago.” (Biarkan aja. Biar marah disini. Kalau sudah marah, warungnya dibeli sama Mas jago.) Jawabku dengan cueknya, lalu aku menyalakan kimba.

Kretek, tek, tek, tek, teng, teng, teng.

Aku lalu naik kimba dan memasukan perseneling keatas.

Kletek.

“Assuuu. Hahahaha.” (Anjing. Hahahaha.) Maki Joko lalu dia tertawa sambil naik keatas kimba.

Treng, teng, teng, teng.

Aku tarik gas kimba pelan, meninggalkan warung kopi ini.

Hufftt, huuu.

Zaky. Kelihatannya dia anak yang baik, tapi sayang kurang perhatian. Teman – temannya di blackhouse pun, sebenarnya semua baik. Kalau hanya berkelahi, mabuk dan narkoba, pondok merahpun sama seperti itu.

Aku tidak tau ada masalah apa diantara blackhouse ataupun pondok merah, sampai mereka bisa menjadi musuh. Aku tidak akan pernah mencari tau, apalagi sampai ikut campur didalam lingkaran permusuhan mereka.

Treng, teng, teng, teng.

Aku terus menarik gas kimba menuju kekosanku, untuk mengambil tugas Joko. Dan setelah mengambil tugasnya, akupun mengantarkan Joko kekampus.

“Bengi iki aku turu nde studi loh.” (Malam ini aku tidur di studio loh.) Ucap Joko ketika kami sudah sampai dikampus.

“Iyo.” Jawabku.

“Terus.?” Tanya Joko dan aku langsung mengerutkan kedua alis mataku.

“Sopo seng ngancani awakmu turu.?” (Siapa yang temani kamu tidur.?) Tanya Joko lagi dengan wajah yang meledek dan pasti mengarah kepada siapa wanita yang menemani aku tidur.

“Matamu.” Makiku, lalu aku menarik gas kimba ke arah perempatan jalan utama.

Treng, teng, teng, teng.

“Hahahaha.” Joko tertawa dengan kerasnya.

Dan ketika aku melewati depan gang pondok merah..

“Lang.” Panggil seseorang dari dalam gang.

Aku lalu menghentikan kimba beberapa meter dari mulut gang, sambil menolehkan wajahku kesamping kiri. Beberapa saat kemudian, Rendi keluar sambil tersenyum ke arahku.

“Mau kemana kamu.?” Tanya Rendi sambil naik ke kimba yang mesinnya masih menyala.

“Mau balik kekosan.” Jawabku yang bingung harus jawab apa, karena aku tidak tau tujuanku.

“Emang kosanmu pindah.?” Tanya Rendi.

“Enggak. Muter aja lewat sana.” Jawabku sekenanya.

“Kamu pasti gak ada tujuankan.? Ikut aku aja.” Ucap Rendi.

“Kemana.?” Tanyaku.

“Udah, jalan aja.” Ucap Rendi sambil menepuk pundakku pelan.

Kletek, treng, teng, teng, teng.

Aku menarik gas kimba menuju ke arah perempatan.

“Kemana sih kita ini Ren.?” Tanyaku lagi.

“Kekosan temanku.” Jawab Rendi.

“Dimana.?” Tanyaku lagi.

“Dibelakang kampus negeri. Setelah melewati jembatan, ada perumahan baru disana.” Ucap Rendi.

“Oh.” Ucapku sambil terus menarik gas kimba.

Beberapa saat kemudian, kami sampai didepan gerbang perumahan yang ditunjuk Rendi.

“Yang mana rumahnya.?” Tanyaku lagi, sambil membelokan kimba ke arah jalan masuk perumahan.

Didepan perumahan ini, tampak berjejer puluhan ruko. Dan disalah satu ruko, pandanganku tertuju kepada seorang wanita cantik, yang melihat ke arah kami dengan tatapan sedikit tajam.

“Masuk aja. Nanti diujung jalan sana belok kekanan.” Jawab Rendi dan sepertinya dia tidak melihat wanita cantik itu.

“Oh iya.” Ucapku sambil menarik gas kimba dan melihat ke arah wanita cantik itu.

“Lihat jalan.” Ucap Rendi sambil menepuk pundakku.

“Iya.” Jawabku sambil melihat ke arah depan lagi.

Treng, teng, teng, teng.

“Rumah nomor ketiga.” Ucap Rendi ketika sampai diujung jalan dan aku membelokan kimba ke arah kanan.

Aku lalu berhenti dirumah nomor tiga yang terlihat seperti kontrakan mahasiswa. Dikanan kiri dan sepanjang blok ini, hanya ada beberapa rumah dan terlihat tidak ada penghuninya.

“Masuk yuk.” Ucap Rendi sambil turun dari Kimba dan aku langsung mematikan mesinnya.

“Rendi Bule.” Ucap seseorang yang keluar dari rumah itu.

“Eh Rino. Kok sepi.? Mana yang lain.?” Tanya Rendi.

“Yang lain pada kekampus. Ada Ari aja didalam.” Ucap temannya yang bernama Rino itu.

“Lang, parkir didalam pagar aja.” Ucap Rendi sambil menunjuk ke arah dalam pagar, lalu dia masuk ke arah teras.

“Iya Lang, masukan aja kedalam sini.” Sahut Rino dan aku heran karena dia mengenalku.

Aku lalu menuntun kimba dan memarkirkannya didalam pagar.

“Bendu mana Le.?” Tanya Rino sambil menjabat tangan Rendi.

“Gak tau. Belum ada kekosanku dia.” Jawab Rendi.

“Oh iya Lang, ini Rino.” Ucap Rendi yang mengenalkan aku kepada Rino.

“Gilang.” Ucapku menjulurkan tanganku ke arah Rino.

“Iya. Aku tau kamu, mungkin kamu yang belum tau aku.” Ucap Rino sambil menjabat tanganku.

“Rino.” Ucapnya lagi, lalu dia melepaskan jabatan tangan kami.

“SEMONGKO.!” Ucap Rino dengan semangatnya, sambil mengepalkan tangan kiri ke udara.

“Cok.” Ucapku yang terkejut.

“Hahaha.” Rino tertawa lalu membalikkan tubuhnya.

“Masuk – masuk.” Ucap Rino sambil melangkah masuk kedalam kontrakannya.

“Aku sering main kesini kalau lagi suntuk Lang.” Ucap Rendi sambil menoleh ke arahku, lalu dia berjalan masuk kedalam rumah.

“Berarti sekarang kamu lagi suntuk dong.?” Tanyaku.

“Hehe.” Rendi hanya tersenyum ke arahku.

“Rendi Van Gerrit.” Ucap seseorang yang keluar dari salah satu kamar dirumah ini, sambil membawa minuman satu teko ditangan kanan dan gelas sloki kecil ditangan kiri.

“Ari si gila minuman.” Ucap Rendi sambil menggelengkan kepalanya.

“Hahahaha.” Orang yang bernama Ari itu hanya tertawa, lalu meletakkan minumannya ditengah ruangan yang tidak ada meja serta kursinya ini.

“SEMONGKO.!” Ucap Ari ke arahku, sambil mengangkat kepalan tangan kirinya.

“Cok. Kalian berdua ini satu angkatanku ya.?” Tanyaku kepada Ari, lalu melihat ke arah Rino.

“Iya. Mereka ini satu jurusan sama aku dan Bendu.” Ucap Rendi.

“Ooooo.” Ucapku sambil menganggukan kepalaku.

“Duduk, duduk.” Ucap Rino kepadaku dan Rendi.

Kami berempatpun langsung duduk, dengan posisi melingkari teko besar yang terisi penuh itu. Aku lalu melihat sekeliling ruangan dan terlihat ada empat kamar yang ada dirumah ini.

“Disini itu yang tinggal aku dan Ari saja. Ini kamarku dan itu kamar Ari. Kalau yang dua kamar, sengaja dikosongkan. Kebetulan rumah ini jadi basecamp nya teman – teman jurusanku, jadi dua kamar itu sengaja dikosongkan.” Ucap Rino kepadaku.

“Oooo.” Ucapku sambil menganggukan kepalaku.

“Ini minuman apa Ri.?” Tanya Rendi kepada Ari, sambil membuka tutup teko.

“Anggur gope. Hahaha.” Jawab Ari lalu tertawa.

“Minuman apa ini.? Anjingg.” Tanya Rendi lalu dia memaki.

“Berisik kamu itu Le. Tinggal minum aja kok.” Ucap Rino.

“Hehehe.” Rendi pun langsung tertawa pelan.

Aku keluarkan rokok kretekku, lalu aku mengambil sebatang dan membakarnya.

“Mantap rokoknya.” Ucap Ari sambil mengeluarkan rokok putihannya dan aku hanya tersenyum kepadanya.

“Terus minumannya gak diputar.?” Tanya Rendi sambil meraih bungkusan rokokku, lalu mengambilnya sebatang.

“Biasanya kan kamu bandarnya.” Ucap Ari.

“Engga ah. Kamu aja Lang.” Jawab Rendi sambil melihat ke arahku.

“Kamu itu bagaimana sih.? Sudah gak ngomong kalau kesini itu pesta, sekarang malah aku disuruh jadi Bandar.” Ucapku lalu aku menghisap rokokku.

Rendi hanya tersenyum lalu dia meraih pegangan teko dan menuangkannya ke gelas sampai terisi penuh.

“Aku mulai ya.” Ucap Rendi.

“Jadi ini langsung pesta gitu.?” Tanyaku.

“Terus maumu gimana Lang.? Cium – ciuman dulu gitu.?” Tanya Ari.

“Bangsat Ari ini. hahahaha.” Sahut Rino.

“Siapa itu yang mau cium – ciuman.?” Suara seorang wanita dari arah kamar Ari.

“Rino sama Bule yang.” Sahut Ari.

“Bangsat kamu Ri.” Maki Rendi sambil memegang gelas yang belum diminumnya.

“Rino.” Suara wanita terdengar juga dari dalam kamar Rino.

“Ari itu tukang rusuh yang. kok percaya aja sih.” Ucap Rino.

“Hahahaha.” Ari tertawa dengan senangnya.

“Cok. yang dua kamar lagi, ada ceweknya gak.?” Tanyaku kepada Ari.

“Ada. ‘Penghuni’ rumah ini, mau kah.?” Jawab Ari sambil memainkan kedua alis matanya.

“Djiancok.!!!” Makiku.

“Hahaha.” Rino dan Ari tertawa dengan senangnya.

“Sudah, sudah. Aku angkat dulu ya.” Ucap Rendi sambil mengangkat gelas yang ada ditangannya.

Rendi lalu meminum minuman itu, setelah itu meletakan gelas kosongnya dilantai.

“Huuuu. Minumannya dicampur bir ya.?” Tanya Rendi.

“Iya Le. Kalau gak dicampur bir, manisnya pekat banget.” Jawab Ari.

Rendi lalu memutarkan minuman itu kepada kami dan ketika giliranku, aku langsung meneguknya sampai habis.

Minuman itu rasanya memang manis tapi agak berkurang karena dicampur dengan bir. Kalau saja tidak dicampur, pasti rasanya enek banget.

“Jadi kamu sering minum disini Ren.?” Tanyaku ke Rendi.

“Gak terlalu sering sih, kadang – kadang aja.” Jawab Rendi lalu dia menghisap rokoknya.

“Oh iya Lang, temanmu yang namanya Joko itu kok gak diajak kesini.?” Tanya Rino.

“Enggah ah. entar dicium Ari lagi.” Jawabku.

“Ihh. Amit – amit.” Jawab Ari.

“Betul Lang. entar Rino cemburu lagi.” Ucap Rendi.

“Taik kamu Le.” Sahut Rino.

“Hahaha.” Giliranku dan Rendi yang tertawa senang.

Rendi pun memulai memutar minuman lagi, sampai menyisakan setengah teko.

“Minuman ini naiknya pelan, tapi nendang banget dikepala.” Ucap Rendi sambil menggoyangkan kepala kenan dan kekiri.

“Iya. Terus muka rasanya tebal banget.” Sahut Rino sambil menekan kedua pipinya.

“Enak ya.?” Tanya Ari sambil memainkan kedua alis matanya lagi, lalu dia berdiri.

“Mau kemana kamu Ri.?” Tanya Rendi.

“Pipis Le, pipis.” Jawab Ari lalu dia berjalan ke arah kamarnya.

“Sibangsat ini pasti ‘pipis enak’” Ucap Rino yang juga langsung berdiri.

“Kamu juga mau ‘pipis enak’ No.?” Tanya Rendi.

“Hehehe.” Rino hanya tertawa lalu berjalan ke arah kamarnya.

“Bajingan. Sudah disuguhi minuman aneh – aneh begini, malah ditinggal lagi.” Gerutu Rendi, setelah kedua temannya itu masuk kedalam kamar masing – masing.

“Ya mau bagaimana lagi Ren.? Memang aneh temanmu itu.” Ucapku dan sekarang pandangan kami berdua, mengarah ke arah teko.

“Menurutmu bagaimana minuman ini Lang.?” Tanya Rendi.

“Bikin mabuk.” Jawabku singkat.

“Iya aku tau kalau minuman ini bikin mabuk, maksudku itu rasanya seperti apa.?” Tanya Rendi, lalu dia mengambil bungkusan rokokku lagi dan mengambilnya sebatang.

“Rasanya seperti minuman lah.” Jawabku lagi.

“Cok. susah ngomong sama kamu itu.” Gerutu Rendi lalu dia membakar rokok yang ada ditangannya.

“Sudahlah, kita habiskan minuman ini, terus kita balik.” Ucapku.

“Mauku juga begitu. Tapi jujur, minuman ini aneh banget. Aku biasa minum berbotol – botol, tapi gak sepusing meminum minuman ini. Padahal kita minumnya gak banyak loh. Selain kepala atasku bergoyang, kepala bawahku ikut nyut – nyutan.” Ucap Rendi dan aku juga merasakan hal yang sama. Minuman ini membuat kepala atasku pusing dan kepala bawahku juga ikutan pusing. Bajingan.

“Makanya dua temanmu itu masuk kamar. Djiancok.” Ucapku dan kami berdua tetap melihat ke arah minuman yang menggathelkan ini.

“Terus bagaimana sekarang.?” Tanyaku.

“Kok kamu tanya aku.? Kamu mau ajak aku main pedang.?” Ucap Rendi.

“Bajingan. Kamu piker aku mau main hom – hom sama akmu gitu.? Assuuu.” Ucapku dengan jengkelnya.

“Hahahaha.” Rendi tertawa dengan kerasnya.

“Maksudku itu, bagaimana kelanjutannya minuman ini.?” Ucapku yang memperjelas pertanyaanku.

“Oooo. Ya kita habiskanlah. Pantang bubar sebelum kita tepar.” Jawab Rendi.

“Kalau tepar, bagaimana kita bubar.?” Ucapku sambil menggelengkan kepalaku pelan.

“Hehe.” Rendi hanya tersenyum dengan wajah yang terlihat memerah karena mabuk.

“Ya sudah Ren. Putar lagi minumannya.” Ucapku.

“Sabar kenapa sih.? Dinikmatin aja dulu.” Jawab Rendi lalu dia menghisap rokoknya lagi.

“Hai Ren.” Tiba – tiba terdengar suara seorang wanita, dari arah pintu rumah yang ada dibelakang kami.

Aku dan Rendi langsung menoleh ke arah pintu dan terlihat dua orang wanita cantik berdiri disana. Kedua wanita itu teman satu jurusan Rendi. Kenapa aku bisa tau.? Karena kalau masalah wanita, aku pasti ingat. Kampus teknik kita itu mayoritas laki – laki, jadi wanitanya gampang sekali diingatnya.

“Cok.” Maki Rendi sambil memalingkan wajahnya dan melihat ke arah teko, lalu menuangkan minuman segelas penuh.

“Mereka satu angkatanmu kan.?” Bisikku dan kedua wanita itu langsung masuk kedalam rumah, tanpa dipersilahkan.

“Hem.” Jawab Rendi dengan wajah yang kurang nyaman., lalu dia meminum minumannya.

“Hai Ren.” Ucap salah satu wanita yang langsung duduk dihadapan Rendi, dengan gaya yang sangat centil sekali. Sedangkan wanita yang satu, duduk disebelahnya dengan malu – malu.

“Hem.” Jawab Rendi tanpa melihat ke arah wanita itu, sambil menuangkan minuman, lalu diserahkan kepadaku.

Kalau aku melihat dari tatapan wanita itu, dia terlihat menyukai Rendi, sedangkan Rendi terlihat sangat tidak nyaman sekali.

“Hai Lang.” Ucap wanita itu kepadaku dan ternyata dia tau namaku.

“Hai.” Jawabku lalu dia menjulurkan tangannya kepadaku.

“Siska.” Ucap Wanita itu, ketika aku menjabat tangannya.

“Gilang.” Ucapku dan kami berdua langsung melepaskan jabatan tangan ini.

“Iya aku tau namamu, siapa sih angkatan kita yang gak kenal sama Gilang semongko. Hehehe.” Ucap Siska lalu dia tersenyum dan sangat menggoda sekali.

“Begitu ya.?” Ucapku sambil menganggukan kepalaku pelan.

“Iya lah. Oh iya, ini Eva temanku.” Ucap Siska mengenalkan wanita pemalu disebelahnya.

Akupun dengan refleknya mengajak wanita itu bersalaman.

“Gilang.” Ucapku mengenalkan diri.

“Eva.” Ucap wanita itu sambil menjabat tanganku sebentar, setelah itu kami melepaskan jabatan tangan kami.

“Rino sama Ari kemana Ren.?” Tanya Siska ke Rendi.

“Didalam.” Jawab Rendi singkat, sambil menuangkan minuman kegelas.

Cok. Katanya santai dan menikmati, kenapa sekarang cepat banget dituangnya. Bajingan.

“Glek, glek, glek.” Rendi meminum minuman itu sampai habis, setelah itu dia menuangkan untukku lagi.

“Itu giliranku kan Ren.?” Tanya Siska dan Rendi langsung melihat ke arah wanita itu.

“Apasih kamu itu Sis.” Ucap Rendi sambil menyerahkan gelasnya ke arahku.

“Hihihi.” Siska hanya tertawa, lalu dia mengeluarkan rokok dari dalam tasnya, setelah itu dia membakarnya dengan sangat santai sekali.

Eva yang ada disebelah Siska hanya menunduk dan sesekali melirik ke arahku, lalu ketika aku melihatnya dia langsung menunduk lagi.

Cok. Selaian cantik, wajah Eva itu manis dan ngegemesin banget. Gila.

Aku meminum jatahku lagi, setelah itu aku menyerahkan gelasnya ke Rendi lagi.

Rendi terus memutar minuman tanpa berisitirahat sama sekali. Dia terlihat ingin menyelesaikan pesta ini dan sekali lagi dia sangat tidak nyaman, karena kehadiran Siska.

Kepalaku terasa sangat pusing dan minuman masih tersisa seperempat teko. Rendi juga terlihat mulai goyang dan dia menggelengkan kepalanya, agar matanya tetap terbuka.

“Buru – buru banget sih minumnya.?” Tanya Siska ke Rendi, sambil menggeser duduknya, mendekat ke arah Rendi.

“Hem.” Jawab Rendi sambil mengambil bungkusan rokok milik Siska, yang sama seperti rokok kesukaannya.

“Kamu lagi suntuk ya Ren.?” Tanya Siska sambil merapikan rambut panjang Rendi, yang menutupi sebagian wajah Rendi dan menyelipkan didaun telinga.

“Enggak.” Jawab Rendi singkat sambil menggeser kepalanya ke arah kanan, untuk menghindari sentuhan Siska.

Siska terlihat tidak tersinggung dan dia justru tersenyum ke arah Rendi yang menunduk. Siska langsung menghisap rokoknya dan membuang asapnya kesamping.

Gila wanita satu ini. Kelihatannya dia benar – benar suka dan perhatian banget sama Rendi.

Hiuufftt, huuu.

Aku menarik nafasku dalam – dalam, lalu mengeluarkannya perlahan. Aku menggelengkan kepalaku kekanan dan kekiri agak cepat, karena pandanganku mulai agak kabur.

Belum pernah aku merasakan pusing dan mabuk seperti ini. Selain tubuhku yang menghangat, aku merasa batangku mulai mengeras.

Bajingan. Minuman apa sih ini.? Apa jangan – jangan minuman ini ada campurannya.? Assuu.

“Putar lagi.?” Tanya Rendi sambil melihat ke arahku dan matanya terlihat sangat sayu sekali.

“Hem.” Jawabku singkat.

“Kalau sudah mabuk, gak usah diputar lagi.” Ucap Siska sambil memegang tangan kanan Rendi yang berada dipegangan teko.

“Apasih kamu itu.” Ucap Rendi sambil menepis tangan Siska dengan tangan kirinya.

Aku pun mengalihkan pandanganku dan melihat ke arah Eva yang melihat ke arahku.

Dan tiba – tiba, wajah Eva berubah seperti wanita yang sangat aku cintai dan sangat aku rindukan. Intan.

Djiancok.!!! Aku lalu mengucek kedua mataku dengan kedua telapak tanganku, setelah itu melihat ke arah Eva lagi. Kembali wajah Eva yang terlihat dimataku dan aku langsung memalingkan pandanganku ke arah Rendi, yang sedang menuangkan minuman.

“Glek, glek, glek.” Rendi meminum minuman itu, lalu dia menuangkan minuman untukku.

“Ren, Ren, Ren.” Ucap Siska sambil menahan teko yang dipegang Rendi.

Terlihat gelas terisi penuh sampai isinya tertumpah kelantai.

“Ha.” Ucap Rendi yang terkejut, lalu dia menegakkan tekonya.

“Sudah deh Ren. Kamu mabuk banget.” Ucap Siska sambil membelai rambut Rendi.dan Rendi pun hanya terdiam. Dia tidak menolak atau menghindari belaian Siska seperti tadi.

Aku mengambil gelas yang terisi penuh tadi, lalu aku meminumnya.

“Glek, glek, glek.”

“Ahhhhh.” Aku letakkan gelasnya didekat teko, setelah itu aku mengambil rokokku dan membakarnya.

Tubuhku bergoyang kekanan dan kekiri pelan. Aku seperti melayang dan terbang karena pengaruh minuman ini.

“Minumannya gak habis – habis ya.?” Tanya Rendi dengan kepala yang terdorong kedepan, tapi dia menahannya, lalu menarik kebelakang lagi.

“Ren.” Ucap Siska sambil terus membelai kepala Rendi.

Aku lalu melihat ke arah teko dan ternyata isinya sisa satu kali putaran lagi.

“Sisa satu putaran.” Jawabku lalu aku menghisap rokokku.

“Hem.” Jawab Rendi

“Gak usah dilanjutin.” Ucap Eva dan aku langsung melihat ke arahnya.

Wajah Eva berubah menjadi seperti Intan lagi dan aku langsung memejamkan kedua mataku dengan kuat, setelah itu aku mengucek mataku lagi.

Aku buka perlahan kedua mataku dan Intan tetap duduk dihadapanku. Aku pandangi wajahnya terus, sambil memajukan wajahku. Intan tertunduk malu, sambil sesekali melirik ke arahku.

“Giliranmu Lang. Terakhir.” Suara Rendi terdengar dan aku memalingkan wajahku ke arah Rendi.

Aku ambil gelas itu, lalu aku meminumnya.

“Glek, glek, glek.” Lalu setelah habis dan meletakkannya gelasnya didekat teko, aku melihat ke arah Intan dan wajahnya berubah menjadi Eva lagi.

Hiufftt, huuuu.

“Aku kemar mandi dulu ya.” Ucap Rendi.

“Ha.” Ucapku sambil melihat ke arahnya.

“Aku kemar mandi dulu.” Ucap Rendi yang berusaha berdiri, dengan tubuh yang sempoyangan.

Siska lalu berdiri dan membantu Rendi, dengan meletakan lengan Rendi dipundaknya.

“Bisa gak.?” Tanyaku dan aku berusaha berdiri untuk membantu Rendi, tapi tubuhku justru melayang dan aku mau terjatuh kedepan

“Hup.” Aku menahan tubuhku dengan kedua tanganku dan rokokku langsung patah digenggamanku

“Kamu mabuk ya Lang.?” Tanya Rendi yang berdiri sempoyongan, dengan tangan kiri merangkul pundak Siska.

“Assuu. memangnya kamu gak mabuk.?” Tanyaku sambil membuka kedua mataku dengan lebar, lalu aku membuang patahan rokokku

“Hahaha.” Rendi tertawa dan dia berjalan ke arah kamar mandi, dengan dibantu Siska.

Aku lalu merangkak ke arah didinding yang ada disebelahku, setelah itu aku sandarkan punggungku, dengan kedua kaki selonjor kedepan.

“Ahhhhh.” Ucapku dengan kepala yang miring kekanan.

“Kalian itu kalau minum harus sampai seperti ini ya.?” Tanya Eva.

“Engga.” Jawabku singkat.

“Enggak salah.?” Tanya Eva lagi.

“Cerewet banget sih kamu itu.” Ucapku dengan nada yang agak tinggi dan aku sudah sangat mabuk sekali. Aku mengucapkan kata itu sambil melihat ke arah Eva yang menatapku

“Kok jahat gitu sih jawabnya.?” Ucap Eva dengan suara yang sangat ketakutan, lalu dia menunduk.

“Bu, bu, bukan gitu Va.” Ucapku dan aku berusaha menegakkan tubuhku yang sempoyongan ini.

“Maaf kalau aku terlalu cerewet.” Ucap Eva lalu dia mengangkat wajahnya dan kembali wajahnya kembali berubah seperti Intan.

“Intan.” Ucapku dengan bibir yang bergetar.

“Intan.?” Ucap wanita itu dan aku langsung menggelengkan kepalaku, sambil memejamkan kedua mataku.

Aku buka lagi kedua mataku dan Eva menatapku dengan tatapan yang sangat dalam sekali.

Brak.

Pintu kamar mandi terbuka dan kami berdua langsung melihat ke arah kamar mandi. Rendi keluar tanpa mengenakan kaos dan dia merangkul Siska.

“Ren.” Panggilku.

“Hem.” Jawab Rendi yang menunduk

“Dia mabuk banget Lang. Biar dia istirahat dulu dikamar.” Ucap Siska.

“Tapi dia gak apa - apakan.?” Tanyaku.

“Nggak apa – apa.” Jawab Siska dan mereka berdua langsung berjalan ke arah salah satu kamar.

“Cok. minuman apa sih ini.? Kepalaku kok berat banget.?” Ucapku pelan, lalu aku menunduk.

“Kamu mau tidur juga.?” Tanya Eva dan aku langsung mengangkat wajahku.

“Enggak.” Jawabku berbohong.

Sebenarnya kepalaku sangat berat dan mata ini mau terpejam. Tapi gak mungkin aku kekamar. Apa lebih baik aku tidur diruang tengah ini aja ya.? Terus bagaimana dengan Eva.?

“Aku ambilkan minum dulu ya.” Ucap Eva lalu dia berdiri.

Perlahan aku merebahkan tubuhku kesamping, karena aku sudah tidak kuat menahan kepalaku yang berat ini.

Aku lalu tidur terlentang, sambil memejamkan kedua mataku perlahan.

Wut, wut, wut, wut.

Bumi ini terasa bergoyang dan kepalaku semakin pusing saja. Aku lalu memiringkan tubuhku dan goyangannya semakin terasa. Aku buka kedua mataku, lalu aku duduk dan bersandar ke dinding lagi.

Cok. Minuman yang sangat membangsatkan sekali. Kepala berat, tapi tidak bisa dibuat tidur. Bajingan.

“Minum dulu gih.” Ucap Eva yang duduk disebelahku, sambil menyerahkan sebotol air mineral.

“Terimakasih.” Ucapku sambil mengambil botol itu lalu meminumnya.

“Glek, glek, glek, glek.” Aku meminum air mineral ini cukup banyak sekali.

“Ahhhhh.” Ucapku sambil meletakan botol minuman dilantai, setelah itu aku menyandarkan kepalaku didinding.

“Gak jadi tidur.?” Tanya Eva.

“Enggak.” Jawabku pelan sambil melihat kearah bungkusan rokokku.

“Mau merokok.?” Tanya Eva lagi.

“Enggak.” Jawabku lagi.

“Terus.?” Tanya Eva dan aku langsung melihat ke arahnya.

“Gak tau.” Jawabku singkat.

Eva lalu duduk disebelahku dan dia menyandarkan punggungnya didinding.

“Bagaimana sih rasanya mabuk itu.?” Tanya Eva dan membuat kepalaku semakin cenat – cenut.

“Gak enak.” Jawabku sekenanya.

“Kalau gak enak, kenapa kalian suka minum – minum.?” Tanya Eva lagi dan aku langsung menarik nafasku dalam – dalam, agar emosiku tidak terpancing.

Hiufftttt, huuuuu.

“Bisa gak, kalau kamu gak tanya – tanya dulu.” Ucapku dengan nada yang aku buat se sopan mungkin.

“Jadi kamu gak suka kalau aku bertanya.?” Tanya Eva dan aku langsung menoleh ke arahnya.

“Bukannya aku gak suka. Tapi kepalaku ini masih pusing.” Ucapku dan kami saling bertatapan.

“Siapa yang suruh mabuk.? Jadi pusing kan.” Ucap Eva, lalu dia mengalihkan pandangannya.

Arrgghhh. Gak lama kucium bibirnya wanita ini, supaya dia berhenti berbicara. Bajingann.

“Kamu gak takut duduk sama orang yang mabuk.?” Tanyaku.

“Sebenarnya aku takut dan aku mau pergi dari tempat ini. Tapi berhubung Siska gak keluar kamar, ya aku berani – berani in duduk disini.” Jawab Eva sambil melihat ke arahku lagi.

“Lagian kita kan satu kampus, jadi gak mungkin kamu mau macam – macam sama aku.” Ucap Eva lagi.

“Kata siapa aku gak berani macam – macam.?” Tanyaku dan sengaja aku berkata seperti ini, supaya dia gak terlalu banyak bicara lagi.

“Lang. Aku itu tau kamu, semenjak orientasi mahasiswa baru angkatan kita. Jadi gak usah sok – sok an jahat gitu.” Ucap Eva dan aku langsung mengerutkan kedua alis mataku.

“Semabuk – mabuknya kamu, gak mungkin kamu akan berbuat macam – macam sama aku.” Ucap Eva lagi.

“Terus kenapa kamu tadi bilang takut.?” Tanyaku lagi.

“Kan aku bilang aku berani – berani in duduk disini.” Jawab Eva.

“Jawabanmu itu gak jelas. Bikin kepala tambah pusing aja.” Ucapku pelan, sambil memalingkan wajahku dan aku menatap ke arah lurus depanku.

“Eh Lang. Intan itu siapa.? Kok kamu panggil aku dengan sebutan Intan.?” Tanya Eva yang mengejutkanku dan aku langsung melihat ke arahnya lagi.

“Wajahku mirip sama Intan ya.?” Tanya Eva lagi, sebelum aku menjawab pertanyaannya yang tadi.

Bajingan. Makin melebar aja pertanyaan wanita satu ini. Dia gak tau apa kalau pusing banget. Gak lama aku lumat beneran bibirnya itu.

“Va. Kamu bisa diam gak.? Kalau kamu ngomong lagi, aku cium loh bibirmu.” Ucapku.

“Upss.” Ucap Eva yang terkejut sambil menutup mulutnya dengan kedua tangannya.

Aku lalu memajukan wajahku, dengan bertumpu pada kedua telapak tanganku dilantai.

“Lang, kamu beneran mau cium aku.?” Tanya Eva sambil memundurkan wajahnya.

“Kamu mau.” Tanyaku sambil terus memajukan wajahku dan posisiku sekarang merangkak.

Kedua mata kami saling bertatapan dan aku menatap matanya sangat dalam sekali.

“Gi, Gi, Gilang.” Ucap Eva terbata, dengan tubuh yang condong kebelakang.

“Aku itu bukan mau cium kamu, tapi aku mau kekamar mandi.” Ucapku ketika wajahku sudah dekat dengan wajah Eva.

“Oooo.” Ucap Eva yang terdengar sangat lega sekali.

Aku lalu berusaha berdiri dengan tubuh yang begoyang. Eva lalu cepat bangun dan membantuku untuk berdiri tegak. Tangan kiriku diapit sampai menempel didadanya yang lumayan besar dan sangat kenyal sekali.

“Maaf ngerepotin.” Ucapku dan Eva menuntunku kekamar mandi.

“Gak apa – apa, santai ajalah.” Jawab Eva dan sekarang kami sudah sampai didepan pintu kamar mandi.

“Aku sampai disini aja ya. Kamu bisakan masuk sendiri.?” Tanya Eva dan dia membukakan pintu kamar mandi untukku.

Aku mengangguk pelan, lalu berjalan melewati dia yang berdiri didekat pintu kamar mandi. Wajah kami begitu dekat dan dia tidak menghindarinya sama sekali. Kalau saja aku memajukan wajahku, mungkin bibir kami sudah saling melumat. Tapi aku tidak melakukan itu. Aku langsung masuk kekamar mandi, setelah itu aku menutup pintunya pelan.

Aku lalu buang air kecil yang sedari tadi kutahan. Dan setelah itu, aku langsung mengguyur kepalaku, untuk mengurangi rasa mabuk ini.

Byur, byur, byur, byur.

“Kamu mandi ya Lang.?” Tanya Eva dari luar kamar mandi dan aku langsung meletakkan gayung didalam bak kamar mandi.

Aku lalu berjalan kearah pintu kamar mandi dan mabukku sudah agak berkurang.

“Enggak.” Jawabku singkat sambil membuka pintu kamar mandi.

Eva masih berdiri didekat pintu dan kembali kami saling bertatapan.

“Kaosmu basah, entar kamu masuk angina loh.” Ucap Eva sambil memegang dadaku dan memang sebagian kaosku basah terkena guyuranku tadi.

“Enggak apa – apa kok. aku sudah biasa.” Jawabku dan Eva tetap berdiri didekat pintu.

Cok. Kira – kira kalau aku kecup bibirnya, dia marah gak ya.? Jujur karena masih dalam pengaruh minuman, bibir tipis Eva benar – benar seksi dan menggoda.

Aku lalu keluar kamar mandi dan sengaja aku mendekatkan wajahku kearah wajahnya. Eva tidak menghindar sama sekali, justru dia terus menatap mataku.

Dan tiba – tiba, bayangan wajah Intan kembali hadir diwajah Eva.

Akupun semakin mendekatkan wajahku ke wajah Eva, lalu.

CUUUPPP.

Bibir kami saling menempel dan sekali lagi Eva tidak menghindar sama sekali.

Aku yang seperti mendapatkan angin segar ini, perlahan mulai mengulum bibir atas Eva dengan sangat lembutnya.

“Hem, hem, hem, hem.” Eva membalas lumatanku, dengan mengulum bibir bawahku.

Kedua tanganku langsung memeluk tubuh Eva dan kedua tangan Eva merangkul leherku.

“Hem, hem, hem, hem.” Sambil melumat bibirnya, aku memajukan langkahku, sampai Eva tersandar didinding luar kamar mandi.

“Hem, hem, hem, hem.” Ciuman kami semakin dalam dan lidahku menyapu bibir atas Eva yang berada didalam mulutku.

“Hem, hem, hem, hem.” Eva membalasnya dengan memainkan lidahnya dibibir bawahku.

Perlahan nafsu mulai menguasai kepalaku, lalu tiba – tiba tangan kiriku mengarah kebuah dada Eva dan meremasnya dengan pelan.

Tap.

“Hem.” Desah Eva sambil terus mengulum bibir bawahku.

“Mana Rendi.?” Tiba – tiba ada suara wanita dari arah pintu depan dan kami berdua langsung melepaskan ciuman ini dengan refleknya.

Aku lalu melihat kearah wanita itu dan Eva merapikan kaosnya yang sedikit terangkat.

Wanita cantik yang berdiri didepan pintu itu, melihat ke arahku dengan tatapan yang sangat tajam sekali. Dia seperti ingin menerkamku dan ingin mencabik – cabik tubuhku.




Aku yang terkejut dan grogi karena ditatap seperti itu, langsung melihat ke arah kamar yang dimasuki Rendi beserta Siska tadi. Aku tidak menunjuk kamarnya, tapi aku yakin wanita itu pasti tau arti tatapanku ini.

Wanita cantik itupun langsung berjalan ke arah kamar itu, dengan wajah yang dipenuhi emosi.

Cok. Siapa wanita ini dan ada hubungan apa dia dengan Rendi.? Kenapa bisa dia terlihat marah seperti itu.? Apa dia kekasih Rendi.? Enggak, enggak mungkin lah. Rendi sudah pacaran dengan Mery.

Tapi sebentar dulu. Kok sepertinya aku pernah melihat wanita ini.? Tapi dimana ya.?

Aku lalu melihat kearah Eva dan dia juga melihatku dengan paniknya. Ciuman singkat dan sempat membakar nafsu kami tadi, sekarang berubah menjadi ketegangan yang sangat luar biasa.

BRAKKK.

Wanita itu menendang pintu kamar dengan sangat kuat, sampai pintunya terbuka.

“Cok.” Makiku yang terkejut dan Eva langsung memegang lengan tanganku dengan ketakutan.

“Siapa itu.?” Teriak Rino dari kamarnya.

“Bajingan.” Ari juga berteriak dari kamarnya.

Wanita cantik yang menendang pintu itupun diam saja, tanpa menghiraukan teriakan Ari dan Rino. Dia hanya diam terpaku menatap kedalam kamar. Aku tidak bisa melihat wajah wanita itu, karena dia berdiri memunggungi aku.

“Ga, Ga, Gaby.” Terdengar suara Rendi terbata dan aku tidak bisa melihatnya, karena dia berada didalam kamar.

Gaby.? Wanita cantik itu bernama Gaby.? Punya hubungan apa Gaby dengan Rendi, sampai Rendi bisa terbata seperti itu.?

Gaby langsung membalikan tubuhnya dan terlihat air mata mengalir deras dipipinya. Wajahnya yang tadi sangat emosi, sekarang berubah menjadi sangat sedih dan sangat terpukul sekali.

“Hiks, hiks, hiks, hiks.” Gaby berlari keluar rumah, sambil menutup mulutnya.

“Gaby, tunggu aku sayang.” Ucap Rendi yang keluar kamar, tanpa memakai pakaian sama sekali.

Rendi berdiri dipintu kamar sambil memegang kusen pintu, untuk dijadikan sandaran berdiri.

“RENDI.” Teriak Eva sambil mencengkram lenganku, lalu bersembunyi dibalik bahuku.

“Bangsat.” Maki Rino dan Ari yang keluar dari kamarnya, setelah melihat Rendi berdiri telanjang dan sempoyongan.

Pandanganku sempat mengarah ke selangkangan Rendi, tapi dengan refleknya aku memalingkan tatapanku ke arah wajah Rendi.

Bangsat. Kenapa juga aku melihat ke arah ‘peliharaan’ Rendi ya.? Assuu.

“Ren, Ren.” Panggilku dan aku langsung melepaskan cengkraman tangan Eva.

Aku berjalan mendekat ke arah Rendi yang berdiri mematung dan tatapan matanya terlihat kosong.

“Rendi, Rendi.” Ucapku dan aku langsung berdiri dihadapannya.

“Dia pacarku Lang. Dia pacarku.” Ucap Rendi dengan sangat sedihnya.

Djiancok. Ternyata Gaby itu pacar Rendi dan dia memergoki Rendi sedang berduaan dengan wanita lain, tanpa menggunakan pakaian sama sekali.

Gila juga Rendi ini. Dia mempunyai dua kekasih, Gaby dan Mery, tapi dia masih saja main gila dengan Siska. Bajingan.

“Sabar Ren. Sabar.” Ucapku menenangkan nya

“Hiuuffttt, huuuuu.” Rendi menarik nafasnya dalam – dalam, lalu mengeluarkannya perlahan.

Ari dan Rino sangat ketakutan, dan mereka berdua teteap berdiri didepan kamar masing - masing.

“Kita balik Lang.” Ucap Rendi.

“Iya. Tapi pakai dulu pakaianmu.” Ucapku dan Rendi langsung menunduk.

“Bangsat.” Maki Rendi, lalu dia membalikan tubuhnya.

Rendi berjalan masuk kedalam kamar, dengan tubuh yang bergoyang kekanan dan kekiri. Sementara Siska berbaring dikasur dengan wajah yang ketakutan dan tubuh yang ditutupi selimut.

“Maaf ren, Maaf.” Ucap Siska dengan wajah yang terlihat sangat sedih sekali.

“Sudahlah.” Ucap Rendi sambil mengenakan celananya dan Siska langsung duduk, sambil menutupi bagian dadanya dengan selimut.

Aku lalu memalingkan wajahku dan melihat ke arah Eva yang terlihat sudah agak tenang.

“Bajuku mana.?” Terdengar suara Rendi dari dalam kamar.

“Di, di, dikamar mandi.” Jawab Siska terbata.

Rendi keluar kamar dan dia langsung berjalan ke arah kamar mandi.

Aku lalu melihat ke arah Rino dan Ari yang masih berdiri didepan kamarnya..

“Kamu Ri. Sudah kasih minuman gak jelas, terus ditinggal gitu aja.” Omelku ke Ari.

“Maaf Lang. Aku gak tau kalau begini.” Jawab Ari.

“Iya Lang, maafin kami.” Ucap Rino.

Aku tidak menjawab perkataan mereka dan aku langsung melihat ke arah Eva lagi. Eva lalu melangkah masuk kedalam kamar, untuk mendatangi Siska.

“Pakai bajumu Sis.” Terdengar suara Eva yang pelan.

Rendi keluar dari kamar mandi dan jalannya sudah mulai agak tegak. Rambut dan kaos bagian atasnya basah, karena dia mengguyur kepalanya didalam kamar mandi tadi.

“Aku pulang.” Ucap Rendi ketika melewati Rino dan Ari.

“Maaf ya Le.” Ucap Rino.

“Ia Le. Maafin kami ya.” Sahut Ari.

“Sudahlah, ini bukan salah kalian.” Ucap Rendi tanpa melihat ke arah mereka berdua.

Rendi lalu menghentikan langkahnya ketika dihadapanku, lalu dia menatapku.

“Kita balik Lang.” Ucap Rendi pelan.

“Balik atau ngejar Gaby.?” Tanyaku.

“Kita bahas diluar aja.” Ucap Rendi dan dia langsung keluar rumah.

“Aku balik ya.” Pamitku ke Rino dan Ari.

Eva yang mendengar aku pamit, keluar kamar dan melihat kearahku.

Kami berdua tidak saling berbicara dan aku pamit kepadanya, lewat tatapan mata kami ini. Eva mengangguk pelan dan aku berusaha tersenyum kepadanya.

Entah kenapa senyum ini sangat berat sekali keluar dari bibirku. Apa karena aku baru saja mencumbunya, lalu sekarang meninggalkannya begitu saja.? Kenapa mudah sekali aku memainkan perasaan wanita.? Kenapa.? Bajingan.

“Lang.” Panggil Rino dengan wajah yang memelas.

“Sudahlah. santai aja.” Ucapku dan aku langsung membalikan tubuhku, dengan hati yang sangat berat sekali.

Mabukku sudah mulai berkurang karena situasi yang menggathelkan ini.

“Kamu sanggup bawa kimba.?” Tanya Rendi ketika aku akan mengengkol kimba.

“Kalau kutenteng gak kuat, tapi kalau kunaikin, aku masih sanggup.” Jawabku, lalu.

Kletek, tek, tek, tek. Treng, teng, teng, teng.

Mesin kimba menyala dan aku langsung naik ke kimba.

“Bajingan.” Maki Rendi sambil naik ke belakangku.

Kletek. Treng, teng, teng, teng.

Aku memasukan perseneling kimba, lalu aku menariknya dengan kecepatan yang agak kencang.

Plak.

Rendi menepuk pundakku pelan.

“Gak usah buru – buru.” Ucap Rendi.

“Kita gak ngejar Gaby.?” Tanyaku.

“Gak usah.” Jawab Rendi singkat.

Cok. Kok aneh banget sih Rendi ini.? Serius gak sih dia sama Gaby.? Kalau serius, kenapa dia gak mengejar Gaby lagi dan kenapa dia terkesan putus asa.? Atau jangan – jangan dia sengaja melepas Gaby, karena masih punya Mery.? Ahhh. Kenapa juga aku memikirkan masalah percintaannya sih.? Untuk masalah cintaku sendiri aja, aku kebingungan. Jadi untuk apa aku berpusing ria dengan masalah percintaannya.? Bajingan.

Tapi entar dulu. Aku baru ingat sekarang. Gaby itu wanita yang berdiri didepan ruko, ketika aku dan Rendi memasuki kawasan perumahan ini. Pantas saja dia menatap kearah kami dengan tajam, rupanya dia melihat Rendi dibelakangku. Bajingan.

“Terus kemana kita.?” Tanyaku.

“Nongkrong aja gimana.?” Ucap Rendi.

“Dimana.?” Tanyaku lagi.

“STMJ Bareng.” Jawab Rendi.

“Ini masih jam berapa Ren.?” Tanyaku.

“Jam dua. Emang kenapa.?”

“Buka nya kan jam 6 sore. Gimana sih.?”

“Sudahlah, kesana aja.” Ucap Rendi.

Akupun mengarahkan kimba ke arah warung STMJ Bareng yang melegenda di kota pendidikan ini. Dengan kondisi yang seperti ini, pasti STMJ nya bisa sedikit menetralkan pusing yang masih terasa dikepala.

Dan ketika kami sampai diwarung yang berada didalam gang yang agak sempit ini, pintu dan jendela warung tertutup rapat.

“Tuh, masih tutupkan.?” Ucapku dan Rendi langsung turun dengan santainya.

“Parkirkan kimba disitu.” Ucap Rendi sambil menunjuk pojokan warung.

“Terus ngapain kita disini cok.?” Tanyaku.

“Berisik kamu itu.” Ucap Rendi lalu membalikan tubuhnya dan masuk kedalam teras warung.

Aku lalu memarkirkan kimba ditempat yang ditunjuk Rendi, setelah itu aku masuk keteras warung menyusul Rendi.

TOK, TOK, TOK.

Rendi mengetuk pintu warung yang tertutup.

“Tutup. Sore baru buka.” Terdengar suara dari dalam warung.

TOK, TOK, TOK.

Rendi mengetuk pintu warung lagi dengan cueknya.

Cok. Gila juga bule satu ini. nekat banget sih.? Sudah tau empat jam lagi baru buka, ini malah nekat ngetuk.

TOK, TOK, TOK.

Rendi mengetuk pintu lagi dan jendela warungpun langsung terbuka.

“Eh Bule.” Ucap seseorang lalu dia membuka pintu warung.

“Kenapa Le’.?” Tanya Orang itu.

“STMJ dua ya Cak.” Ucap Rendi dengan cueknya.

“Kamu itu, sudah tau tutup masih aja pesan.” Ucap Orang itu.

“Ada atau enggak cak.?” Tanya Rendi.

“Ada. Tapi STMJ aja, roti bakarnya belum siap.” Ucap orang itu.

“Iya, gak apa – apa cak.” Jawab Rendi lalu duduk dikursi, sedangkan sang pemilik langsung masuk kedalam warung.

“Cok. enak banget sih kamu itu.” Ucapku lalu duduk disebelah Rendi.

“Mana rokokmu.?” Tanya Rendi dan dia tidak menghiraukan ucapanku barusan.

“Habis.” Jawabku singkat.

Rendi lalu berdiri dan berjalan keluar warung. Tidak berapa lama kemudian, Rendi datang sambil menghisap rokok dan meletakkan bungkusan rokoknya dihadapanku.

“Nih Le’.” Ucap pemilik warung sambil meletakan dua gelas STMJ dihadapan kami.

“Makasih Cak.” Ucap Rendi.

“Besok – besok kalau datang kesini, gak pakai mabuk bisa kan.?” Ucap pemilik warung kepada Rendi.

“Hehehe.” Rendi hanya tersenyum dan pemilik warungpun masuk kedalam.

Klinting, klinting, klinting.

Kami mengaduk STJM masing – masing, setelah itu menyeruput bersamaan.

Sruuuup. Sruuuup. Sruuuup.

“Hem.” Rasa STMJ ini sangat istimewa.

Rasa hambar didalam mulutku karena minuman yang membangsatkan dikontrakan Rino tadi, langsung dibasuh oleh STMJ yang sangat nikmat ini.

Rasa legit dari susunya, rasa gurih dari telurnya, rasa manis dari madunya dan rasa pedas dari jahenya, sangat pas sekali. Belum lagi campuran rempah – rempah lain yang ada didalam STMJ ini, membuat tubuh terasa semakin hangat saja.

Sruuppp.

Aku menyeruput lagi STMJ ini, sambil melihat ke arah Rendi. Wajahnya terlihat sangat santai, tapi tatapan matanya menyimpan guratan kesedihan yang sangat mendalam sekali.

“Terus bagaimana.?” Tanyaku sambil meraih bungkusan rokok Rendi, lalu mengambil sebatang dan membakarnya.

“Apanya.?” Rendi bertanya balik.

“Kamu pasti taulah arah pertanyaanku.” Ucapku, lalu aku menghisap rokokku.

Sebenarnya aku tidak ingin membahas masalah percintaan Rendi, tapi karena melihat kesedihan yang dipendamnya, aku jadi ingin dia berbagi kepadaku. Biarpun aku tidak bisa membantunya, setidaknya Rendi bisa sedikit mengurangi beban pikirannya.

“Biar aja mengalir. Aku ngikut aja.” Jawab Rendi.

“Kamu gak berusaha mengejarnya dan mempertahankan hubungan kalian.?” Tanyaku.

“Aku itu bersalah, karena aku telah mengkhianati cintanya. Tidak ada alasan bagiku untuk meminta maaf kepadanya.” Ucap Rendi dengan suara yang bergetar.

Cok. Kelihatannya Rendi benar – benar sangat menyayangi dan mencintai Gaby. Ini terbukti dari tatapan Rendi yang sangat menyesali perbuatannya tadi. Tapi kalau dia mencintai Gaby, bagaimana dengan Mery.? Apa hati Rendi terbelah – belah seperti hatiku dan dia tidak bisa kehilangan salah satu wanita yang dicintainya, sama seperti aku juga.? Bajingan.

“Terus kamu akan larut dengan rasa bersalahmu ini, tanpa kamu memperjuangkannya dulu.?” Tanyaku lagi.

“Ya memang aku bersalahkan.? Sudahlah Lang, gak usah dibahas lagi.” Ucap Rendi sambil menatapku dengan tatapan mata yang sangat sayu sekali.

“Satu – satunya penghalang ketika akan bangkit dari keterpurukan, adalah rasa bersalah yang berlebihan. Kamu boleh merasa bersalah, dengan kesalahan yang kamu perbuat. Tapi alangkah baiknya kamu bangkit dan memperbaiki semuanya dengan kesungguhan hatimu. Masalah itu berakhir manis atau tidak, itu urusan nanti. Yang penting kamu sudah berjuang.” Ucapku lalu aku menyeruput minumanku.

Srruuppp.

“Tidak mau melanjutkan langkah, bukan berarti menyerah. Aku hanya ingin beristirahat sejenak dan menikmati rasa sakit yang telah aku perbuat.” Ucap Rendi yang tetap bersikukuh dengan pendapatnya.

“Terus sampai kapan kamu akan beristirahat.?” Tanyaku lagi.

“Lang. Aku itu jarang berbicara kepada siapapun tentang masalah pribadiku, apalagi masalah cintaku. Dan menurutku, kamu sudah cukup banyak tau tentang masalahku dan tidak usah ditambah lagi. Lebih baik kita tutup aja masalah ini sekarang.” Ucap Rendi lalu dia menyeruput minumannya.

Cok. Rendi ini orangnya sangat tertutup dan tidak suka kalau ada orang lain yang ikut campur dalam masalah pribadinya. Mungkin aku beruntung karena dia mau bercerita sedikit tentang apa yang sedang dipikirkannya. Aku tidak akan bertanya lagi kepadanya, apalagi dia terlihat masih sangat bersedih seperti ini.

“Okelah. Kita tidak usah melanjutkan pembahasan ini lagi. Walaupun aku tau tentang masalah pribadimu sampai ‘dalaman mu’, aku akan menutup rapat mulutku.” Ucap ku sambil memainkan kedua alis mataku.

“Maksudmu ‘dalaman’ itu apa.?” Tanya Rendi dengan mata yang melotot.

Aku tidak menjawab pertanyaannya dan aku hanya melirik ke arah selangkangannya.

“Bangsat.” Maki Rendi.

“Hahahaha.” Akupun langsung tertawa, untuk mencairkan suasana yang sedih dan tegang ini.

“Anjing. Kamu iri ya lihat batangku yang besar.?” Tanya Rendi, lalu dia menyeruput minumannya lagi.

“Cok. Biarpun kamu keturunan bule, punyaku ini lebih besar dan lebih tahan lama dari punyamu. Mau di adu.?” Ucapku.

“Uhuk, uhuk, uhuk.” Rendi tersedak minumannya.

“Bajingan. Kok jancok’i gitu kamu Lang.?” Ucap Rendi.

“Hahahaha.” Aku kembali tertawa, lalu aku menyeruput minumanku.

Rendi lalu menghabiskan minumannya, setelah itu dia berdiri sambil menghisap rokoknya.

“Mau kemana kamu.?” Tanyaku.

“Mau balik ke kosan. Aku malas duduk lama – lama sama kamu. Entar aku ketularan hom – hom.” Jawab Rendi lalu dia masuk kedalam warung dan membayar minuman kami.

“Djiancok. Kalaupun aku hom – hom, aku milih – milih cok. Gak mungkin aku milih kamu. Ghatell.” Makiku ke Rendi, lalu aku berjalan ke arah Kimba.

“Berisik kamu itu.” Ucap Rendi.

Kletek, tek, tek, tek. Treng, teng, teng, teng.

Aku menyalakan mesin kimba, setelah itu aku tarik gas kimba menuju kosan pondok merah.

Hiuufftt, huuuu.

Hari yang sangat – sangat mengghatelkan sekali. Banyak kejadian yang luar biasa dan ada juga yang bisa kujadikan pengalaman hidup. Tapi khusus untuk mabuk anggur gope dan melihat dalaman Rendi, itu gak akan aku masukan di pengalaman hidupku. Assuuu.

“Kamu gak masuk dulu Lang.?” Tanya Rendi ketika aku menghentikan kimba didepan gang masuk pondok merah.

“Enggak ah. Aku langsung balik kekosan aja, aku ngantuk.” Jawabku.

“Ya sudah.” Ucap Rendi dan ketika aku akan menarik gas kimba,

“Lang.” Ucap Rendi sambil memegang bahuku.

“Kenapa.?” Tanyaku.

“Dosen cintamu.” Ucap Rendi sambil memberi kode, agar aku melihat ke arah kampus.

Aku lalu menoleh ke arah kampus dan didalam pagar sana, Gendhis sedang berjalan ke arah luar kampus.

“Cok. maksudmu apa.?” Tanyaku sambil melihat ke arah Rendi yang berdiri disamping kananku, dan posisi kampus disebelah kiriku.

“Kamu itu gila juga ya.? Biar dosen di sikat juga.” Ucap Rendi dan wajahnya seperti ingin balas dendam, karena aku menertawakannya tadi.

“Sok tau kamu.” Ucapku pelan dan aku melirik ke arah Gendhis, yang sudah berjalan mendekat ke arah gerbang kampus.

“Cantik juga ya.” Ucap Rendi dan kembali aku melihat ke arahnya. Rendi lalu mengangkat kedua alis matanya dan tersenyum dengan gathellnya.

“Mau kusalamin gak.?” Tanya Rendi.

“Gak usah macam – macam kamu Le.” Ucapku dan aku memanggilnya dengan sebutan bule.

“Bu, salam sayang dari Gilang.” Ucap Rendi dengan suara yang keras, lalu dia masuk kedalam gang dengan cueknya.

DJIANCOK.!!!

Aku langsung terbengong karena ucapan Rendi dan perlahan aku melihat ke arah Gendhis yang berdiri didekat pintu gerbang. Tatapan matanya begitu tajam ke arahku, sampai aku tidak bisa mengucapkan sepatah katapun.

Assuu Rendi ini. Balas dendamnya membangsatkan sekali. Bajingan.

Gendhis langsung membuang mukanya dan dia berjalan ke arah kosannya.

“Mba, mba, mba.” Panggilku.

Kletek, treng, teng, teng.

Aku menarik gas kimba dan mendekat ke arah Gendhis.

Suasana yang cukup ramai disore hari inipun, membuatku menjadi pusat perhatian dan mereka semua menahan tawanya.

“Mba, maaf mba.” Ucapku sambil memelankan kecepatan kimba, mengikuti langkah Gendhis.

Treng, teng, teng, teng.

Gendhis tidak menjawab perkataanku dan dia terus berjalan, dengan sedikit menundukan kepala dan wajah yang terlihat memerah.

“Mba, mba.” Panggilku sambil menyeimbangkan kimba yang berjalan lambat ini.

Gendhis tetap tidak menjawab panggilanku dan dia tidak menghiraukan aku.

Aku terus mengiringi langkah Gendhis, karena jujur hatiku gak enak banget dengan keadaan ini. Gendhis beberapa hari ini terlihat ketus denganku, semenjak kejadian aku memeluk dan mencium Sarah dikosan Barbara waktu itu. Tugas besarku sih sudah aman dan lulus, serta mendapatkan nilai. Tapi ya itu, sikap Gendhis sangat ketus sekali ketika aku menemuinya.

Dan hari ini, Rendi menambah kejengkelan Gendhis terhadapku. Aku tau pasti dipikiran Gendhis itu, aku suka bermain dengan perasaan. Bajingan.

Gendhis terus berjalan dan sekarang kami sudah sampai didekat kosan barbara.

“Mba, maaf ya.” Ucapku yang memohon maaf dari Gendhis dan Gendhis langsung menghentikan langkahnya, lalu melihatku dengan emosinya. Akupun langsung menghentikan kimba, tapi mesinnya tetap menyala.

Treng, teng, teng, teng.

“Maksudmu apasih.? Kamu mau mempermalukan aku didepan umum.?” Tanya Gendhis dengan nada yang sangat marah.

“Gak gitu Mba. Aku gak punya niat seperti itu.” Ucapku yang mencoba meyakinkan Gendhis dan menatap matanya dengan sangat dalam.

“Terus tadi maksudnya apa.? Kamu sengaja menyuruh temanmu seperti itu, untuk membuat harga diriku jatuh didepan semua orang kan.?” Tanya Gendhis sambil melotot.

Treng, teng, teng, teng.

“Bukan begitu Mba.” Ucapku dan tiba – tiba Gendhis mendekatkan wajahnya ke arahku.

“Pantas saja kamu dan temanmu seperti itu, rupanya kalian mabuk ya.?” Tanya Gendhis lagi dan dia terlihat makin emosi saja.

“Mba.” Ucapku dengan wajah yang memelas.

“Kamu gak mabuk aja suka menyakiti perasaan wanita, apalagi kalau mabuk.? Jahat banget sih kamu itu.” Ucap Gendhis dan matanya langsung berkaca – kaca, sambil melihat ke arah yang lain.

Treng, teng, teng, teng.

Aku mematikan mesin kimba, lalu aku parkirkan tepat ditempat aku berhenti ini.

Jegrek.

Bunyi kimba yang terparkir dan aku langsung membalikan tubuhku, mengahadap ke arah Gendhis.

“Ini gak seperti yang kamu pikirkan Mba.” Ucapku dengan nada yang sangat lembut.

“Jadi yang aku pikirkan itu salah ya.? Mataku yang melihatmu berpelukan dan berciuman dimalam itu, salah.? Telingaku yang mendengar ucapan temanmu tadi, salah.? Hidungku yang mencium aroma minuman dari mulutmu, juga salah.? Jadi aku salah dan kamu benar dengan semua kelakuanmu.? Begitu.?” Tanya Gendhis dengan suara yang bergetar, sambil melihatku dan matanya terus berkaca – kaca.

“Kamu itu bajingan Lang. Bajingan yang suka mempermainkan perasaan wanita yang dekat denganmu.” Ucapnya dan aku hanya diam sambil menatap matanya.

“Tatapan matamu yang penuh cinta, suaramu yang sangat halus, sentuhanmu yang lembut, perhatian dan sikapmu yang penuh kasih sayang, ternyata semua palsu. Palsu Lang, palsu.”

“Kamu itu bukan laki – laki lugu seperti yang kamu tampakkan selama ini Lang, bukan. Kamu laki – laki bejat dan gak punya perasaan.” Ucap Gendhis dan perlahan tetesan air mata mulai membasahi pipinya.

“Apa yang kamu mau dari aku.? Apa.? Kamu mau melukai hatiku.? Menyiksa perasaanku.? Atau mempermainkan cintaku.?”

“Kamu sudah melakukan semuanya dan itu sangat sempurna sekali.”

“Apa kamu puas.? Atau masih kurang.?” Tanya Gendhis dan setiap perkataannya, menghujam jantungku dan membuatku hidup tapi tak bernyawa.

“Jawab Lang, jawab.”

“Apa kamu puas.? Apa kamu puas.? APA KAMU PUAS.?” Teriak Gendhis dan air matanya semakin deras mengalir.

“GENDHIS ARSYANA BATARI” Ucapku dengan nada yang agak tinggi dan suara yang bergetar.

Gendhis langsung terdiam dan dia tampak terkejut, karena kedua mataku agak melotot ke arahnya.

“Aku memang bajingan dan aku itu laki – laki bejat Ndhis.” Ucapku sambil menahan emosiku.

“Aku itu tidak sebaik yang kamu kira dan aku memang tidak pantas untuk dirimu.”

“Aku sadar itu Ndis, aku sadar.”

“Dan karena sifat – sifat bangsat yang aku miliki ini, aku gak punya nyali untuk mengikatmu dalam sebuah hubungan.”

“Aku takut kamu akan kecewa, aku takut kamu akan bersedih dan aku takut kamu akan sakit hati dikemudian hari.”

“Maaf kalau baru sekarang aku mengucapkan ini.”

“Maafkan aku karena melukai hatimu.”

“Maafkan aku karena menyiksa perasaanmu.”

“Dan maaf karena aku mempermainkan cintamu.” Ucapku menutup kata – kataku, dan tiba – tiba Gendhis langsung memeluk tubuhku dengan erat.

Kedua tangannya masuk diantara ketiakku dan wajah sampingnya menempel didadaku.

“Hiks, hiks, hiks, hiks.” Gendhis menangis sesenggukan.

“Maaf kalau aku hanya bisa membuatmu meneteskan air mata Ndhis.” Ucapku dan matakupun berkaca – kaca.

“Cukup Lang, cukup. Hiks, hiks, hiks.” Ucap Gendhis sambil meremas kaos belakangku dengan kuatnya.

Kedua tanganku langsung reflek membalas pelukan Gendhis yang erat ini. Tangan kananku membelai rambut belakangnya dan tangan kiriku membelai punggungnya pelan.

Getaran dada Gendhis dan diseratai isakan tangisnya, membuat rasa bersalahku semakin memuncak. Wanita dipelukanku ini sangat – sangat mencintai aku dan aku yang katanya mencintainya, justru selalu memberikan kesedihan yang sangat luar biasa.

Gilang, Gilang. Kalau kamu tidak bisa memberikan kebahagiaan, setidaknya jangan berikan dia air mata kesedihan. Bajingan banget sih kamu itu.

Kenapa mudah sekali aku memikat wanita dan kenapa mudah sekali aku membuat mereka jatuh hati kepadaku.? Apa ini beneran salah tau akibat dari pengaruh mata yang aku miliki.? Kalau iya, aku harus melepaskannya dan aku tidak ingin lagi memiliki anugrah yang sangat membangsatkan ini.

Cukup sudah air mata yang mengalir dan cukup sudah wanita yang terluka hatinya. Aku tidak ingin terjerumus lebih dalam lagi dan aku harus melepaskan anugrah ini secepatnya. Aku harus balik kedesa dan mencari tau cara melepaskan pengaruh dua mahluk yang ada didalam tubuhku ini, hari ini juga.

“Hiks, hiks, hiks.” Gendhis mengendurkan pelukannya, lalu dia menatapku.

“Aku yang harusnya meminta maaf, karena aku yang terlalu berharap lebih darimu. Aku yang bersalah, karena aku tidak bisa menempatkan hatiku diposisi yang sebenarnya. Aku Lang, aku. Hiks, hiks, hiks.” Ucap Gendhis dan hatiku semakin tersayat – sayat, mendengar ucapan wanita yang sangat tulus mencintaiku ini.

“Gendhis.” Ucapku dan aku menatap matanya yang sayu itu, lalu.

CUUPPP.

Entah siapa yang memulai, tiba – tiba bibir kami saling menempel dan perlahan mulai saling melumat.

“Ehem, ehem, ehem.” Bunyi lumatan kami yang semakin dalam.

Bibir Gendhis terasa lembut dan sedikit bergetar. Air matanya terus menetes dan membasahi pipi kami berdua.

“Ehem, ehem, ehem.”

Perlahan ciuman kami terasa asin, karena bercampur dengan air mata Gendhis.

Dan tiba – tiba.

Muaacchhhhh.

Gendhis melepaskan ciuman kami dan juga melepaskan pelukannya.

“Maaf. Hiks, hiks, hiks.” Ucap Gendhis, lalu dia membalikan tubuhnya dan berlari masuk kedalam kosannya.

DJIANCOK.!!!

Aku diam terpaku menatap Gendhis yang berlari dan menangis itu. Aku tidak sanggup memanggilnya dan aku tidak bisa menahannya. Bibirku terkunci dan tenggorokanku tercekat.

Entah kenapa aku bisa seperti ini.? Apa aku benar – benar pengecut, sampai aku membiarkan orang yang sangat mencintaiku menangis dan bersedih seperti itu.? Apa pengaruh kekuatan mata ini hanya bisa membantai preman – preman, tapi dia tidak berkutik dihadapan mahluk yang bernama wanita.? Bajingan.

Perlahan air mataku menetes, ketika melihat Gendhis masuk kedalam kosannya, lalu menutup pintunya tanpa menoleh ke arahku sama sekali.

Aku terus melihat ke arah kosan Barbara dan terlihat seseorang pergi dari jendela dilantai dua.

Hiuufftt, huuu.

Aku harus pergi ke desa Sumber Banyu sekarang juga. Aku sudah tidak sanggup dan aku ingin melepaskan anugrah mata yang ada didalam diriku, bagaimanapun caranya. Biarpun aku harus kehilangan nyawaku, aku tidak perduli. Yang terpenting itu tidak ada lagi orang yang bersedih karena aku.

Kletek, tek, tek, tek. Treng, teng, teng, teng.

Aku menyalakan mesin kimba, dengan emosi yang tertahan dan air mata yang terus mengalir dipipi.

Kletek. Treng, teng, teng, teng.

Aku naik ke kimba, lalu menarik gas kimba dengan hati yang hancur lebur.

Sengaja aku balik kekosan, untuk mengambil beberapa perlengkapanku, setelah itu aku akan langsung berangkat ke desa Sumber Banyu.

Treng, teng, teng, teng.

Setelah sampai dikosan, aku langsung memarkirkan kimba diteras, setelah itu aku masuk kedalam kamarku. Aku mengemasi beberapa pakaianku kedalam tas, setelah itu aku keluar kamar lagi dan mengunci semua pintu.

Dan pada saat aku akan menyalakan kimba, tiba – tiba Rendi datang menggunakan sepeda motor RX kingnya.

“Mau kemana kamu Lang.?” Tanya Rendi yang melihatku menggendong tas yang agak besar.

“Mau balik kedesa.” Jawabku.

“Aku ikut.” Ucap Rendi yang langsung membuatku terkejut.

“Buat apa kamu ikut.?” Tanyaku.

Bukannya aku gak suka Rendi ikut ke desa, tapi kalau dia ikut, dia bisa mengacaukan rencanaku.

“Emang gak boleh ya.?” Tanya Rendi.

“Bukannya gak boleh Ren.” Jawabku terpotong.

“Kamu marah sama aku, karena ucapanku tadi ke Mba Gendhis.?” Tanya Rendi.

“Bukan begitu Ren. Aku itu akan menginap beberapa hari di desaku. Entar kalau kamu ikut bagaimana.? Kamu gak persiapan buat ujian semester akhir.?” Ucapku.

“Ujian ya ujian aja. Kenapa harus dipersiapkan segala.? Aku lagi butuh ketenangan Lang. Cukup satu malam aja aku didesamu, besok aku balik sendiri kekota ini.” Ucap Rendi dan aku langsung menarik nafas panjangku.

Hiufftt, huuuu.

“Ya sudah.” Ucapku.

“Kita naik sepeda motor sendiri – sendiri aja.” Ucap Rendi dengan raut wajah yang senang.

“Gak boros kah motormu.?” Tanyaku.

“Santai ajalah. Aku gak mau terlalu ngerepotin kamu disana.” Ucap Rendi.

“Terserahlah.” Ucapku dan Rendi memundurkan sepeda motornya keluar pagar.

Dan tiba – tiba, sebuah mobil berhenti didepan pagar kosanku. Pengendara mobil itu langsung turun dengan wajah yang marah dan melihat ke arah wajahku dan Rendi bergantian.

“Mau kemana kalian.?” Tanya Mery.

Ya. pengendara mobil itu Mery, pacar dari Rendi bule.

Cok. kenapa lagi ini.? Apa Mery tau kalau Rendi sudah bermain gila dibelakangnya dan sekarang mau ribut dikosan ini.? Bajingan. Kenapa sih masalah terus datang dihari ini.? Bisa gak jadi berangkat ke desa aku. Assuu.

“Kenapa Mer.?” Tanya Rendi dengan suara yang pelan dan terlihat dia tidak berani kepada kekasihnya yang satu ini.

“Kok malah tanya balik sih.? Kalian itu mau kemana.?” Tanya Mery lagi dan sekarang nadanya mulai mengeras.

Duh. Semoga saja Rendi gak bicara jujur. Kalau sampai dia bicara jujur, bisa beneran batal aku pulang kedesa.

“Aku mau ikut ke desa nya Gilang.” Jawab Rendi dengan polosnya.

Cok. Jujur banget sih. bajingan.

“Kenapa Mas.? Mau lari dari masalah seperti dia.?” Ucap Mery sambil menunjuk ke arahku dan ketika dia menyebut kata Mas kepada Rendi, agak berbeda nadanya.

Mas yang diucapkan Mery, seperti adik ke kakak, bukan seperti sepasang kekasih. Apa jangan – jangan Mery dan Rendi itu saudara.? Kalau mereka saudara, kenapa harus ditutupi dan kenapa harus bersandiwara sebagai sepasang kekakasih.?

Terus maksudnya Mery, Rendi ikut lari dari masalah seperti aku itu apa.? Apa karena dia tadi melihatku bersama Gendhis didepan kosannya.? Assuu, assuu.

“Gak gitu De, aku itu cuman mau tenangin diri aja.” Jawab Rendi dan kata De yang keluar dari mulut Rendi, memantapkan kalau dia itu saudara dari Mery.

“Oke. Kalau gitu Mery ikut kesana.” Ucap Mery ke Rendi dan itu langsung membuatku terkejut.

Kepalaku langsung cenut – cenut dan aku langsung menjambak rambutku dengan kuat.

“Arrgghhhhh.” Gumamku pelan.

“Kenapa ekspresinya seperti itu.? Gak boleh kalau aku ikut.?” Tanya Mery dan dia melihatku dengan tatapan yang sangat dingin sekali.

Aku pun langsung menurunkan jambakan dirambutku dan aku tidak bisa menjawab pertanyaannya. Aku terpaku dengan tatapan mata indahnya, sampai aku tidak bisa berucap sepatah katapun. Emosi yang ada dikepalaku pun, langsung mereda dan aku seperti orang yang kebingungan.

“Boleh gak aku ikut.?” Tanya Mery lagi dan aku langsung melihat ke arah Rendi.

Rendi memalingkan wajahnya dan dia pura – pura gila diatas sepeda motornya. Bajingan.

“Boleh gak.?” Tanya Mery lagi dan kembali aku melihat ke arahnya.

“Bo, bo, boleh.” Jawabku terbata.

Mery langsung melempar kunci mobilnya nya ke Rendi, lalu berjalan ke arah pintu mobil bagian kiri depan mobil.

“Terus.?” Tanyaku ke Rendi dan Rendi hanya mengangkat kedua bahunya. Dia seperti kebingungan, sama seperti aku.

“Ya sudah, naik ke mobil. Mau nuggu apa lagi.?” Ucap Mery dengan nada yang keras.

Rendi langsung turun dari sepeda motornya dan memarkirkannya dekat kimba, setelah itu dia berjalan ke arah mobil Mery. Aku yang terkejut juga langsung melangkah mengikuti Rendi dan berhenti didekat pintu mobil bagian kiri belakang.

Rendi membuka kunci mobil, setelah itu dia dan Mery masuk kedalam mobil. Aku menutup pagar, setelah itu aku naik mobil dan duduk tepat dibelakang kursi Mery.

Cok. Kok aku jadi seperti ini ya.? Kenapa bisa aku menuruti wanita satu ini, tanpa membantah sedikitpun.? Sebegitu kuatnya kah tatapan matanya, sampai membuatku menurut kepadanya seperti ini.? Apa wanita ini juga mempunyai anugrah kekuatan mata, jadi dia bisa menaklukan lawan jenis secepat ini.? Anugrah kekuatan mata warna apa ya.? Gila.

Terus bagaimana nasibku didalam mobil ini.? Apakah selama perjalanan ke desaku, suasana didalam mobil akan tegang seperti ini terus.? Bisa mati tertuduk aku. Asuuu. Atau lebih baik aku pura – pura tidur, jadi Mery tidak akan bersuara.?

Oke. Lebih baik aku memejamkan kedua mataku saja.

Dan ketika Rendi mulai menyalakan mesin mobil, aku menyandarkan kepalaku dikursi. Rendi melirikku dengan tatapan tajamnya, lewat kaca spion bagian tengah. Dia sepertinya tau kalau aku akan tidur dan dia kelihatan sangat tidak rela. Dan pada saat mobil mulai berjalan, akupun langsung memejamkan kedua mataku perlahan.

“Jadi laki – laki kok gak bertanggung jawab.” Ucap Mery yang langsung mendengung digendang telingaku dan membuat kedua mataku langsung terbuka lebar. Rendi yang kembali melirikku, terlihat sangat senang sekali lewat tatapan matanya. Bajingan.

“Kamu itu tega banget sih nyakitin Gaby Mas.? Dia itu sahabatku.” Ucap Mery dan aku langsung menegakkan dudukku.

Cok. Suasana tegangnya mulai menanjak. Assuu.

“Aku khilaf De, aku mabuk.” Jawab Rendi pelan.

“Mabuk sampai lupa diri. Kamu mau jadi apa Mas.? Mau jadi bajingan.?” Ucap Mery dengan emosinya dan telingaku gatal mendengar ucapannya itu.

Jujur secara tidak langsung, dia juga menyinggungku lewat kata – katanya untuk Rendi itu.

“Bajingan itukan untuk preman – preman yang jahat de. Masa kamu samakan aku seperti itu sih.? Emang tampangku seperti bajingan ya.? Bajingan model apa.?” Tanya Rendi dengan nada sedikit kesal, tapi dia tidak berani meninggikan nada bicaranya.

“Bajingan lendir.” Ucapku pelan dan bertepatan dengan mobil ini berhenti dilampu merah.

“APA.?” Rendi dan Mery langsung menoleh ke arahku dengan kompaknya.

“Enggak, aku gak ngomong apa – apa.” Jawabku, karena mereka berdua melotot ke arahku.

Rendi langsung melihat ke arah depan, sementara Mery terus melihat ke arahku.

“Jadi sampean yang ngajarin Mas Rendi rusak.?” Tanya Mery sambil menatapku dengan dinginnya.

“Kok malah aku yang disalahin sih.?” Tanyaku.

“Sampean ciumankan di depan kamar mandi, waktu dikosan Mas Rino tadi,.?” Tanya Mery yang langsung membuatku menarik nafas panjangku.

“Cok. Kamu tadi nyium Eva Lang.? Bajingan. Eva itu gadis lugu loh.” Ucap Rendi dan lampu hijau sudah menyala.

“Lampu hijau Ren.” Ucapku yang mencoba mengalihkan pembahasan.

“Kurang ajar kamu Lang.” Ucap Rendi dan dia sekarang ikut menyerangku.

“Bukan itu aja Mas. Mas Gilang tadi juga mencium Mba Gendhis waktu dikosan.” Ucap Mery dan aku langsung menggelengkan kepalaku pelan.

“Gila kamu Lang, gila kamu.” Sahut Rendi.

Assuu. kok malah aku yang jadi terdakwa disini.? Mery kan marahnya sama Rendi, kenapa aku yang jadi sasaran. Terus kenapa juga Rendi ikut – ikutan menyerang.? Bajingan.

“Entar dulu, entar. Kenapa aku yang jadi sasaran.? Tadi kan kamu marahnya sama Rendi.?” Tanyaku ke Mery dan dia langsung melihat ke arah depan lagi.

“Cok.” Maki Rendi.

“Kalian itu sama – sama bajingannya. Kenapa sih seperti itu sama wanita.? Coba kalau aku yang dipermainkan seperti itu, sama laki – laki lain. Gimana perasaan kalian.?” Tanya Mery.

“MER.” Ucapku dan Rendi yang langsung emosi mendengar ucapan Mery ini.

“KENAPA.?” Ucap Mery yang tidak kalah emosi, sambil menatap kami berdua bergantian.

Entah kenapa ketika Mery mengatakan itu, aku jadi teringat Lintang adikku. Aku gak bisa membayangkan kalau seandainya Adikku yang dipermainkan seperti itu. Aku pasti sangat emosi sekali dan bisa saja aku akan membunuh laki – laki yang mempermainkan adikku. Dan apa yang ada dipikiranku, pasti sama dengan apa yang dipikirkan Rendi. Bajingan.

“Kalian berdua seenaknya mempermainkan perasaan wanita, tapi kalian tidak mau kalau adik kalian yang menjadi sasaran permainan laki – laki bejat macam kalian.” Ucap Mery dengan suara yang bergetar.

“Kalian berdua pasti akan mengamuk dan kalian berdua pasti akan membunuh laki – laki yang melakukan itu. Iya kan.?” Ucap Mery dan itu membuat aku serta Rendi terdiam membisu.

“Kalian pasti sakit kan.? Iya kan.?” Tanya Mery dan kami berdua tidak berani bersuara lagi.

“Sekarang aku hanya bisa menyarankan. Berdoalah kalian berdua, agar adik – adik kalian tidak mengalami hal itu dan kalian tidak akan merasakan sakitnya kelak.” Ucap Mery.

“CUKUP MER. CUKUP.” Ucap Rendi dengan emosinya dan dia langsung menghentikan mobilnya.

Mery langsung terdiam dan menunduk, lalu beberapa saat kemudian, terdengar isakan tangis Mery yang membuat suasana semakin tegang.

“Hiks, hiks, hiks,”

“Ma, ma, maaf De. Maaf. Aku gak sengaja bentak kamu.” Ucap Rendi terbata, lalu dia mengelus rambut Mery pelan. Rendi terlihat sangat merasa bersalah sekali, karena ucapannya yang keras itu.

Aku yang mendengar ucapan Mery tadi, terus terdiam dan itu membuatku semakin mantap untuk melepaskan anugrah yang aku miliki ini.

“Sudahlah Mas, jalankan mobilnya lagi.” Ucap Mery sambil menepis tangan Rendi yang membelai rambutnya, lalu dia menghapus air matanya.

“Maaf ya De.” Ucap Rendi lagi dan Mery langsung melihat ke arah Rendi.

“Jalankan mobilnya Mas.” Ucap Mery dan Rendi langsung menarik nafas panjangnya, setelah itu dia menjalankan mobilnya lagi.

Suasana hening menyelimuti di dalam mobil ini dan ini sungguh sangat tidak mengenakkan. Lebih baik aku mendengar suara omelan Mery seperti tadi, dari pada harus diam – diaman seperti ini. Djiancok.

Hiuufftt, huuuu.

Perjalanan panjang kedesaku pun, akhirnya ditemani dengan keheningan, seperti malam tak berbintang ini.

Kami bertiga diam dengan emosi yang terpendam dan belum tuntas untuk dikeluarkan.

Tepat jam sepuluh malam, mobil ini masuk kedalam gerbang desa Sumber Banyu. Suasana sepi menyambut kedatangan kami dan hanya terlihat beberapa orang penduduk desa, yang sedang menyendiri dibalai bambu depan rumah masing – masing.

Dan ketika kami sudah tidak jauh dari rumahku, tampak terlihat seseorang duduk didepan rumahnya, sambil menghisap rokoknya.

“Itu Trisno ya Lang.?” Tanya Rendi dan aku lansung melihat kearah orang itu.

“Iya.” Jawabku singkat.

“Kok dia disini.? Emangnya dia gak persiapan ujian.?” Tanya Rendi.

“Gak tau.” Jawabku dan mobil kami berhenti tepat didepan rumahku, diseberang rumah Trisno.

Aku keluar lebih dulu dari mobil dan Trisno yang melihatku, langsung berdiri dari duduknya dan masuk kedalam rumahnya.

“Mas Gilang.” Ucap Damar adik laki – lakiku.

Bapak, Ibu dan Adikku Lintang, juga keluar dari rumah. Wajah keluargaku tampak terkejut, sekaligus bahagia dengan dengan kedatanganku yang tiba – tiba ini. Aku berjalan ke arah Bapak, lalu aku meraih tangan beliau dan menciumnya.

“Gimana kabar Nak.?” Tanya Bapak sambil menepuk pundakku.

“Baik Pak.” Jawabku sambil tersenyum, lalu aku melihat ke arah Ibu.

“Mas Gilang.” Ucap Ibuku dan aku langsung meraih tangan beliau dan menciumnya, setelah itu aku memeluk tubuh Ibuku.

“Kangen.” Ucapku dan Ibu langsung membelai rambut belakangku.

Belaian Ibu dirambutku, langsung menenangkan pikiranku yang gak karuan ini. Jiwaku yang terbelenggu selama diperjalanan tadi, langsung terbebaskan lewat tangan lembut Ibuku.

“Manja.” Ucap Lintang adikku, sambil mencubit pipiku.

“Biar aja.” Ucapku sambil terus memeluk Ibuku.

“Sama siapa itu Mas.?” Tanya Damar dan aku langsung tersadar, karena aku bersama Rendi dan Mery.

Aku lalu membalikan tubuhku dan mereka berdua telah berdiri didekat mobil.

Bapakku yang berdiri didekatku, langsung menatap ke arah Mery, setelah itu menatap wajah ibuku dengan mata yang berkaca – kaca .

“Di, di, dia.” Ucap Ibuku pelan dan terbata, lalu Bapak dan Ibuku melihat ke arah Mery lagi.





#Cuukkk. Ada apa lagi ini dan siapa Mery ini.? Kenapa kedua orang tuaku sampai berkaca – kaca, melihat kedatangannya.? Pertanda kesedihankah atau kebahagiaan.? Kalau kesedihan, apakah tidak cukup kejadian seharian ini yang mengruas air mata.? Djiancok.!!!
 
Terakhir diubah:
Selamat malam Om dan tante.
Selamat menikmati updetan kali ini dan semoga bisa memuaskan.

Mohon maaf tidak bisa panjang kali lebar menyapanya, mau istirahat dulu ya.
Kalau ada salah kata ataupun typo, harap dimaklumi.

Salam Hormat dan Salam Persaudaraan.
:beer: :beer: :beer:
 
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd