Agen Terpercaya  
 
 
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

CERBUNG - TAMAT I M P I A N 2

Bimabet
Setuju hu. Karena kena hasutan dari Zakky dan karena kesalah pahaman Joko terhadap Pondok Merah dan keluarga Jati selama ini, dan mungkin nanti bakalan ada sesuatu hal yang semakin memicu kebencian Joko kepada mereka yang akhirnya membuat Joko dendam. Entah mungkin dia akan berduel dengan Gilang atau tidak, tapi feelingku Joko dengan kebencian dan dendamnya akan berperan penting di cerita Matahari.
Benar hu, feelingku juga mengatakan begitu, Joko dan Gilang jadi kunci di Matahari, Joko dengan dendam Pondok Merah dan juga kemungkinan dendam dengan Keluarga Jati, dan Gilang tetep berada netral, tapi tetap bakal membantu keluarganya Jati dan Sandi. Apalagi Mery dan Sandi Sepupu jauhnya juga.

Berharap sih, Gilang sama Joko bakal berduel di cerita ini, dan kembali di cerita Matahari untuk mengakhiri segala dendam itu tadi hu.
 
Benar hu, feelingku juga mengatakan begitu, Joko dan Gilang jadi kunci di Matahari, Joko dengan dendam Pondok Merah dan juga kemungkinan dendam dengan Keluarga Jati, dan Gilang tetep berada netral, tapi tetap bakal membantu keluarganya Jati dan Sandi. Apalagi Mery dan Sandi Sepupu jauhnya juga.

Berharap sih, Gilang sama Joko bakal berduel di cerita ini, dan kembali di cerita Matahari untuk mengakhiri segala dendam itu tadi hu.
Hehehe, iya hu. Bener.
Atau mungkin Joko orang yang nyelametin Zakky sebelum dibantai Sandi di cerita Matahari?
Jeng jeng jeng. Semongko tenan.
 
Malahan, feelingku bisa mengatakan, kalau Gilang dan Joko bakalan bertarung di cerita ini, akibat dia terlalu pengaruh sama Zaky.

Dan terus berlanjut ke cerita Matahari.

Masih kurang kisah cerita Zaky di cerita ini, pengen mengetahui motif sebenarnya Zaky sangat dendam sama keluarga Jati, diluar dari matinya Ayahnya Herman dibunuh sama Irawan Jati, Ayahnya Sandi. Dan juga cerita Zaky jadi anggota Seven Devils, apakah memang dari dianya sendiri, apa digabungin sama Ayahnya atau si Chakra.
Berhubung cerita Impian masih disini, aku yakin bakal diungkap sama om Kisanak, kenapa Zaky bisa dendam banget sama keluarganya Jati.
Kok saya juga punya feeling yang sama....dan klo gak salah ada yg namanya abimanyu di matahari 3, kayaknya orang ini anaknya Gilang yang memang sengaja ditanam di grup nya Zaki sebagai telik sandi
 


BAGIAN 38
SAKITNYA LUAR BIASA



Hujan semakin deras dan dikuti dengan angin yang berhembus sangat kencang. Pohon – pohon besar yang berada digerbang hutan terlarang, bergoyang kekanan dan kekiri. Alam seperti sangat tidak ramah dengan kedatanganku kali ini dan ingin menunjukan kemurkaannya kepadaku. Entah kenapa seperti itu, tapi yang jelas itu tidak mengurangi sedikitpun niat yang ada didalam diriku. Rasa takut dan juga keraguan, aku singkirkan jauh – jauh dari pikiranku. Suasana seperti ini, justru semakin menantangku untuk masuk kedalam.

Hiuutttfff, huuuuu.

Aku tarik nafasku dalam – dalam, setelah itu aku keluarkan perlahan. Aku bersihkan wajahku yang dipenuhi air hujan dengan telapak tanganku, lalu aku menatap lurus kedepan.

Jalan masuk kedalam hutan terlarang masih tertutup dan aku belum menemukan petunjuk sedikitpun.

Burung rajawali dengan bulu berwarna hitam pekat dan mata yang berwarna merah, tetap hinggap disalah satu ranting pohon besar. Burung rajawali itu terus melihat ke arahku dan aku menemukan keanehan disana. Pohon yang dihinggapi burung rajawali itu, tetap tegak berdiri dan tidak bergoyang sedikitpun. Itu sangat berbeda dengan pohon – pohon lain yang ada disekelilingnya. Pohon lainnya bergoyang dan melambai, mengikuti kencangnya angin yang berhembus.

Apa ini salah satu petunjuk.? Kelihatannya aku harus berjalan ke arah pohon yang tidak bergerak itu, untuk memastikan petunjuknya.

Clap, clap, clap.

Kilatan petir yang terlihat ditengah hutan, tidak di ikuti dengan suara yang menggelegar. Cahaya kilatan petir itupun, sempat menerangkan sejenak hutan yang sangat gelap itu.

Aku lalu berjalan ke arah pohon yang tidak bergerak itu, dengan langkah yang sangat mantap sekali. aku juga tidak menoleh ke arah belakangku, karena itu pasti akan membuat langkahku ragu dan itu bisa saja menyesatkan aku.

Dan ketika aku sudah didekat pohon yang tidak bergerak itu, muncul seekor macan kumbang dari balik pohon. Macan itu berwarna hitam dan bola matanya berwarna bening yang bersinar terang. Tatapan macan itu terlihat buas dan mengerikan. Macan itu seperti sedang kelaparan dan ingin memangsa tubuhku.

Lalu tiba – tiba dibelakang macan kumbang itu, berdiri sesosok bayangan hitam yang menggunakan jubah. Mahluk itu berdiri dan juga menatap ke arahku dengan tajam.


Macan Kumbang

“AUURGMMMMMM.” Auman macan itu menggelegar.

Mulutnya terbuka lebar dan menunjukan taring – taring giginya yang sangat tajam sekali.

Aku lalu menghentikan langkahku dan macan itu tetap berdiri didekat pohon.

Cok. Aku belum pernah melihat macan kumbang itu dan juga makluk dibelakangnya, selama aku bermain didalam hutan sana waktu itu. Apakah kedua makluk ini penjaga pintu gerbang hutan terlarang.? Tapi kenapa aku tidak pernah mendengar kisahnya.? Ahhh, persetanlah. Tidak ada jalan lain dan tidak mungkin aku menghindari macan kumbang itu. Aku harus berjalan ke arahnya dan aku harus bersiap melawannya, kalau dia menerkamku.

Aku laku memejamkan kedua mataku, sambil merentangkan kedua tanganku ke arah bawah. Aku tarik nafasku dalam – dalam dan aku mengumpulkan semua kekuatan yang ada didalam diriku.

Hiuuffttt, huuuu.

“Jadi kamu sudah membulatkan tekatmu, untuk melepaskan kekuatan yang ada didalam dirimu.?” Terdengar suara dari seseorang dan aku langsung membuka kedua mataku.

Simbah bermata hitam penjaga Desa Banyu Bening, berdiri dihadapanku dan kami berada jauh dari hutan terlarang.

“Iya Mbah.” Jawabku dengan tenangnya.

“Apa kamu tau resikonya kalau kekuatanmu ini kamu lepaskan.?” Tanya Simbah.

“Resikonya pasti lebih ringan, dibandingkan kalau aku tetap mempertahankan kekuatan ini didalam tubuhku Mbah.” Jawabku.

“Ada atau tidak ada kekuatan itu didalam tubuhmu, kalau sudah waktunya musibah untuk datang, ya tetap datang le.” Ucap Simbah.

“Tapi setidaknya, bukan mendatangkan musibah dengan cara disengaja, apalagi sampai mengorbankan orang – orang yang kita sayangi.” Ucapku.

“Terus kalau sampai kekuatanmu lenyap, apa itu tidak makin membahayakan keluargamu.? Kalau sampai terjadi sesuatu, apa kamu bisa melindungi mereka, dengan kekuatanmu yang seadanya.?” Tanya Simbah lagi.

“Segala sesuatu yang terjadi pada diriku, pasti sudah diperhitungkan oleh Sang Pencipta. Tidak mungkin Sang Pencipta mendatangkan suatu perkara kepadaku, melebihi batas kemampuan tenaga atau pikiranku Mbah.” Jawabku.

“Baiklah. Aku tidak akan memaksamu untuk mempertahankan kekuatan yang ada didalam dirimu. Itu adalah hakmu dan semua keputusan ada ditanganmu.” Ucap Simbah.

“Terimakasih Mbah.” Ucapku.

“Simpan ucapan terimakasihmu, karena saat ini kamu belum melepaskan kekuatan yang ada didirimu. Dan itu berarti, kita akan bertemu lagi.” Ucap Simbah dan tiba – tiba, cahaya yang sangat terang muncul dari tubuhnya dan itu membuat kedua mataku silau.

Aku menolehkan wajahku sambil menutup kedua mataku dengan lengan kananku, lalu beberapa saat kemudian aku membuka kedua mataku lagi, sambil menurunkan lengan kananku.



“AUURGMMMMMM.” Suara macan kumbang itu mengaum lagi dan membuatku langsung terkejut.

Aku lalu melihat ke arah macan itu dan makluk itu mulai berjalan ke arahku dengan pelan. Tatapan mata nya sangat tajam dan terlihat sangat marah sekali.

Cok. Aku akan melawan makluk menyeramkan ini, sekuat tenagaku. Entah dia beneran macan kumbang ataupun makluk jadi – jadian.

Hiuuffttt, huuuu.

Aku menarik nafasku dalam – dalam, lalu mengeluarkannya perlahan. Aku tatap makluk itu sambil mengepalkan kedua tanganku dengan kuat, lalu aku bersiap untuk berlari ke arahnya.

“SEMONGKO.!!!” Teriakku lalu aku berlari ke arah makluk itu dan dia juga berlari ke arahku.

“AUURGMMMMMM.” Macan itu berlari sambil mengaum.

Dan ketika sudah berdekatan, aku meloncot sambil mengarahkan kepalan tanganku ke arah jidat macan kumbang itu. Macan kumbang itu juga meloncat, dan.

BUHHHGGGG.

“HUUUPPP.” Nafasku terasa sesak dan dadaku sangat sakit sekali.

Pukulanku yang mengarah ke jidat kumbang itu belum sampai mengenai sasaran, tapi kedua kaki depannya sudah menghantam dadaku dengan keras. Tubuhku melayang kebelakang dengan kedua kakinya yang terus menginjak dadaku.

BUMMMMMM.

Punggung dan kepala belakangku menghantam ke tanah dengan keras dan itu membuat pandanganku gelap sesaat, lalu kepalaku berkunang - kunang.

“Hup, hup, hup.” Nafasku terasa sakit dan berat, karena macan itu menginjak dadaku.

Aku terlentang ditanah dengan pandangan berbayang dan derasnya hujan terus membasahi wajahku.

“Auurgmmmmmm.”: Macan itu mengaum pelan, sambil mendekatkan wajahnya ke wajahku.

Hembusan nafasnya sangat terasa diwajahku dan terlihat sekali dia ingin segera memakanku.

Bajingan. Apa hanya sampai disini perjalananku dan apa hanya segini kekuatanku.? Apa aku sudah takluk, padahal aku belum masuk kedalam hutan sana.? Apa itu berarti aku gagal dan itu berarti aku akan kehilangan Bapakku.?

Djiancok. Aku tidak boleh menyerah dan aku harus cepat bangkit, untuk mengalahkan macan kumbang ini.

Tapi bagaimana caranya.? Macan kumbang ini sangat kuat dan pasti sangat sulit untuk ditumbangkan.

Oh iya. Kekuatanku kan masih ada dan aku bisa menggunakannya, untuk melawan makluk ini. Aku akan menggunakannya untuk yang terkahir kali, sebelum aku melepaskannya nanti.

Tapi bagaimana aku memanggil kekuatan itu.? Apa kedua makluk itu masih mau membantuku, padahal tujuanku kehutan ini untuk membuangnya.?

Tiba – tiba aku merasakan sakit yang sangat luar biasa didadaku. Kulitku dadaku disayat dan sangat perih sekali.

“Arrgggghhhhh.” Ucapku yang menahan rasa sakit ini.

Aku lalu melirik ke arah dadaku. Kaki kiri bagian depan macan itu tetap menginjak dadaku, sementara kaki kanannya mencakar dadaku dari atas lalu turun kebawah. Kuku – kuku tajam macan kumbang itu merobek pakaian yang aku kenakan, sampai menembus dan menggores kulit dadaku.

Goresan itu menimbulkan sakit yang sangat luar biasa, sampai kedua air mataku mengalir.

“AARGGGGHHH.” Aku berteriak kesakitan dan darah sudah memenuhi dadaku.

Macan kumbang itu terus menatapku dengan buas dan terus menyiksaku.

Rasa sakit ini membuat pandanganku semakin kabur dan kembali aku berteriak dengan kuatnya.

“ARRGGGHHH.” Aku berteriak dengan emosi yang mulai terbakar dan pandangan mataku yang berbayang mulai menghitam.

Seluruh tubuhku tiba – tiba memanas dan darahku seperti terbakar. Ragaku menjerit dan itu membangkitkan jiwa kegelapan di dalam diriku. Aku ingin membantai makluk yang ada dihadapanku ini, sekarang juga.

“ARRGGGHHH.” Teriakku lagi, sambil mengarahkan kepalan tangan kananku, ke arah wajah macan kumbang yang menunduk tepat diwajahku ini.

BUUHGGG.

Macan kumbang itu terdorong ke arah kiriku, sehingga injakan dan cabikannya didadaku terlepas.

Aku lalu bangun dari tidurku dan berdiri perlahan. Pakaian yang aku kenakan sobek memanjang ke arah bawah, membentuk garis – garis yang panjang. Darahku mengalir dan memenuhi pakaianku, tapi aku tidak merasakan sakit lagi.

Emosi yang menguasai diriku ini, membuatku menjadi seperti bukan manusia. Aku seperti menjadi iblis dan aku hanya mempunyai satu rasa, rasa ingin membunuh.

“Hu, hu, hu, hu.” Nafasku berat dan memburu, begitu juga macan kumbang itu.

Dia sangat emosi sekali dan dia ingin menyerangku lagi.

“Sepertinya aku tidak usah membuang waktuku. Kamu akan aku bunuh sekarang juga.” Ucap Makluk berjubah yang datang dari arah belakang macan kumbang.

Makluk itu langsung membelai kepala macan kumbang itu, sambil menatap ke arahku.

“Tidak usah banyak bicara. Aku yang akan membunuhmu terlebih dahulu, bersama kucing peliharaanmu itu.” Ucapku dengan suara yang parau dan pandangan mata yang menghitam.

“Baru sekali memukul macan kumbang ini saja, kamu sudah sombong sekali. Ingat, nyawamu dipertaruhkan ditempat ini dan aku yang akan mengambilnya.” Ucap makluk itu dan terdengar dia menahan emosinya.

“Pergi dan berjuang dengan taruhan nyawa, pulang dengan tawa. Kamu taukan artinya.? Hahahaha.” Ucapku lalu aku tertawa dengan kerasnya.

“Angkuh sekali kau anak muda.” Ucap makluk itu sambil mengangkat tangannya dari kepala macan kumbang itu, lalu dia menunjuk ke arahku.

“AUURGMMMMMM.” Macan kumbang itu mengaum dengan keras, lalu berlari ke arahku.

“ARRGHHHHHHH.” Teriakku yang tidak kalah keras dan aku juga berlari ke arah macan kumbang yang sudah meloncat ke arahku.

Dan ketika macan kumbang itu sudah berada didekatku, dia mengarahkan kuku – kukunya ke arah wajahku. Aku menghindar ke arah samping kiri, sambil mengarahkan kepalan tanganku ke arah dada macan kumbang itu.

BUHHGGG.

“ARRGGHHHH.” Macan kumbang yang terbang itu berteriak kesakitan, setelah pukulanku mengenai dadanya dengan telak.

Tubuh macan itu melayang kebelakang dan terjatuh tepat dihadapan makluk berjubah itu.

“BAJINGANNN.” Teriak makluk itu, lalu dalam sekejap dia terbang ke arahku.

BUGGHH, BUGGHH, BUGGHH, BUGGHH, BUGGHH, BUGGHH.

Makluk itu memukul wajahku bertubi – tubi dengan tubuhnya yang melayang diudara.

BUGGHH, BUGGHH, BUGGHH, BUGGHH, BUGGHH, BUGGHH.

Pukulannya cepat dan kuat, sehingga membuat seluruh wajahku terluka dan berdarah.

Aku dengan cepat melayangkan pukulanku ke arah dadanya dan,

WUTTT.

Tubuhnya menghilang, lalu.

BUHHGGG.

Tiba – tiba dia muncul dibelakangku dan dia menginjak punggungku, sampai aku terdorong kedepan.

Akupun langsung membalikan tubuhku, sambil melakukan tendangan ke arah mahluk tadi menginjakku.

WUTTT.

Lagi – lagi dia mengilang dari pandanganku, sehingga tendanganku hanya mengenai angin saja. Bajingan.

Aku memutarkan tubuhku ke segala arah, untuk mencari keberadaan mahluk berjubah itu. Pandanganku semakin menghitam dan hujan semakin deras saja.

“Hu, hu, hu, hu.” Nafasku memburu dan mataku menatap tajam.

Lalu tiba – tiba,

TAPPP.

Telapak kakiku dicengkram dari bawah tanah, lalu tubuhku terdorong ke atas. Aku melayang ke udara dan makluk berjubah itu, langsung melemparku dengan kuat.

WUTTT.

Tubuhku berjungkir balik diudara, lalu.

BUHGGG.

Mahluk itu muncul di hadapanku dan menghantam dadaku dengan kuatnya.

“HUUPPPP.” Aku terlempar kebelakang dengan nafas yang terhenti dan mata yang melotot.

BUUMMM.

Tubuhku terhempas dan terlentang ditanah. Assuuu.

“Hu, hu, hu, hu, hu.” Nafasku berat dan pandanganku lurus ke arah langit.

Derasnya hujan membasahi wajahku dan diantara air hujan yang turun dari langit itu, sebuah bayangan telapak kaki mengarah kewajahku.

Aku lalu cepat berguling kesamping, dan.

BUUMMM.

Telapak kaki itu menghantam tanah dan aku langsung berdiri dengan cepatnya.

“Hahahaha. Ternyata lemah sekali kemampuanmu anak muda.” Ucap makluk itu mengejekku dan posisinya, dia memunggungi aku.

“Aku bukannya lemah, tapi kamu yang terlalu pengecut dengan seranganmu.” Jawabku.

“Jangan terlalu naïf anak muda. Ini adalah keahlianku dan tidak mungkin kamu bisa menghadapinya.” Ucap makluk itu, sambil membalikan tubuhnya.

“Memakai ilmu apapun, aku pasti mendapatkan celah untuk membantaimu.” Ucapku dan dia langsung tersenyum dengan sinisnya.

“Pejamkan kedua matamu dan baca serangannya dengan mata hatimu.” Ucap Simbah yang mendengung ditelingaku.

Aku mengikuti saran Simbah dan aku langsung memejamkan kedua mataku perlahan.

Suara derasnya hujan dan ranting pohon yang tertiup angin, sedikit mengacaukan pikiran dan pendengaranku.

BUHGG, BUHGG, BUHGG, BUHGG, BUHGG.

Beberapa pukulan makluk itu langsung mendarat diwajahku, dikepala belakangku, didadaku, dipunggungku, maupun diwajah sampingku.

Tubuhku melayang ke depan, kesamping dan kebelakang.

BUHGG, BUHGG, BUHGG, BUHGG, BUHGG.

Aku terus menerima pukulannya dan aku tetap memejamkan kedua mataku. Di sela emosiku yang terbakar ini, aku bersabar menerima pukulannya. Aku mempelajari semua gerakannya, agar aku bisa membalas pukulannya yang bertubi – tubi ini.

Memang sangat berat memfokuskan pikiran disaat seperti ini. Selain karena suara hujan dan bunyi pepohonan yang tertiup angin, gerakan makluk itu sangat cepat dan pukulannya sangat kuat sekali.

“Kesabaran sangat dibutuhkan dalam setiap menghadapi suatu masalah. Tapi kesabaran tidak akan cukup, kalau tidak dibarengi dengan keikhlasan.”

“Lepaskan semua yang ada didalam dirimu. Amarah, dendam, kebencian dan nafsu. Semua hanya akan menambah beban hidupmu dan kamu pasti akan kalah, ketika semua itu masih ada didalam hatimu.” Suara Bapakku mendengung ditelingaku dan mata hatikupun langsung terbuka.


Aku yang sedang memfokuskan pikiran ini, menjadi tertolong dengan ucap – ucapan Bapak yang entah bagaimana, bisa terdengar ditelingaku.

WUTTT, WUTTT, WUTTT, WUTTT.

Aku mulai bisa menghindari serangan makluk ini, dengan mata yang terpejam. Aku memiringkan wajahku kekanan, kekiri, kedepan, kebelakang dan sesekali aku memutarkan tubuhku. Pikiranku benar - benar terfokus, jadi aku bisa mendengar setiap makluk itu bergerak. Jangankan gerakannya, hembusan yang keluar dari mulutnya, aku juga bisa merasakannya.

WUTTT, WUTTT, WUTTT, WUTTT.

Aku terus menghindari serangan makluk itu, sambil mencari celah untuk membalas serangannya.

WUTTT, WUTTT, WUTTT, WUTTT.

Dan ketika aku merasakan ada gerakan dibelakangku, aku langsung membalikan tubuhku, sambil menunduk dan mengayunkan pukulanku ke arah wajahnya.

BUHHGGGG.

Pukulanku masuk dengan telak ke arah wajahnya dan aku mengayunkan pukulanku dari arah bawah keatas.

Aku lalu mengayunkan kedua tanganku dengan cepat dan bergantian, ke arah perut, dada dan wajahnya.

BUHHGGGG, BUHHGGGG, BUHHGGGG, BUHHGGGG, BUHHGGGG.

Pukulanku cepat dan terarah, sehingga makluk itu tidak sempat menghindar atau menghilang dari hadapanku.

BUHHGGGG, BUHHGGGG, BUHHGGGG, BUHHGGGG, BUHHGGGG.

Aku terus menghantamnya, tanpa memberikan kesempatan makluk itu untuk membalas seranganku.

Aku lalu membuka kedua mataku, sambil memutarkan tubuhku. Aku arahkan tendangan balik ke arah leher bagian kanannya, dengan tumit kaki kananku sekuat tenagaku.

“ARRRGGHHHH.” Aku berteriak sekuat tanagaku, untuk menambah kekuatan tendangan balikku.

BUHGGGGGG.

Makluk itu melayang ke arah kiri dan tubuhnya langsung terhampas ketanah dengan kuatnya.

BUMMMMMM.

Melihatnya tergeletak ditanah, aku lalu meloncat sambil mengarahkan injakan kakiku ke arah wajahnya.

BUMMMMMM.

Aku hanya menginjak jubahnya, sementara makluk itu menghilang entah kemana.

Aku melihat ke arah sekelilingku dan sekarang jubahnya juga ikut menghilang seperti dutiran debu, beserta macan kumbang yang aku kalahkan tadi.

Hujan tidak berhenti dan aku langsung melihat ke arah jalan digerbang hutan terlarang. Jalan yang tadinya tertutup, sekarang sudah bisa terlihat. Burung rajawali yang ada dipohon tadipun, menghilang entah kemana.

Aku lalu melangkah ke arah gerbang hutan terlarang, dengan langkah yang agak tertatih. Wajahku dipenuhi darah dan luka, begitu juga dadaku.

Air hujan ini hanya mampu membasuh sedikit darahku, tapi tidak bisa menghilangkan semuanya.

Dengan pandangan yang masih menghitam, aku terus melangkahkan kedua kakiku. Tapi ada sedikit yang aneh dengan diriku. Aku tidak merasakan sakit sedikitpun ketika seluruh lukaku ini terkena air hujan.

Pintu gerbang hutan terlarang tinggal beberapa langkah lagi dan langkahku langsung terhenti. Aku seka wajahku yang dipenuhi air hujan bercampur darah dari lukaku, menggunakan telapak tanganku

“Cukup sampai disini aku menemanimu dan sekarang lanjutkan sendiri perjalananmu.” Bisik Simbah, tapi wujudnya tidak terlihat disekitarku.

Aku menundukan wajahku sejenak, setelah itu kembali aku melangkahkan kakiku. Dan ketika kaki kananku sudah masuk kedalam gerbang hutan terlarang, nafasku terhenti sesaat dan aku merasa sesuatu yang keluar dari tubuhku.

Pandanganku langsung kembali normal dan di ikuti rasa sakit yang sangat luar biasa dari sekujur tubuhku. Luka yang ada diwajah dan didadaku terasa sangat perih terkena air hujan, Tulang – tulangku terasa ngilu akibat perkelahian tadi dan tubuhku langsung menggigil kedinginan.

“Uhhhhh.” Ucapku yang menahan rasa sakit dan perih.

Aku lalu menarik nafasku lagi dan mulai berjalan dengan sangat lambat. Kalau tadi langkahku tertatih, sekarang langkahku terasa sangat berat. Sakit ini benar – benar sakit dan aku tetap memaksakan berjalan. Bajingan.

Jadi rasa sakit yang tidak terasa tadi, karena aku dikuasai makluk mata hitam.? Terus setelah makluk itu pergi dari tubuhku, aku jadi seperti manusia biasa, yang mempunyai rasa sakit dan juga keletihan.? Gila.

Darah dari wajah dan dadaku tidak berhenti mengalir, seiring dengan langkah kakiku ini. Angin masih bertiup kencang, hujan masih turun dengan deras dan kilatan petir terus menyambar.

Jalan yang aku lewati ini semakin licin dan itu membuat langkahku semakin berat saja. Tenggorokanku kering dan aku sangat – sangat kehausan sekali. Beberapa kali aku menelan air liurku, untuk sekedar membasahi tenggorokanku. Kalau saja tidak ada larangan dari Bu Nyoto, mungkin aku akan mendangakkan kepalaku dan membuka mulutku, untuk meminum air hujan.

“Om.” Tiba – tiba aku mendengar suara anak kecil dibelakangku dan dia mengikuti jalanku. Tubuhku langsung merinding dan aku tidak berani menoleh kebelakang. Ini pasti halusinasi hutan ini dan anak kecil ini pasti akan menyesatkan aku.

Tidak mungkin ada anak kecil dihutan seperti ini, malam – malam begini. Akupun yakin dia bukan anak dari desaku ataupun dari tetangga desa sekitar, karena tidak ada anak kecil yang memanggil om untuk orang yang lebih tua.

“Om, tolong aku om.” Ucap anak kecil itu dan aku tetap tidak menghiraukannya.

“Antar aku pulang Om. Antar aku pulang. Ayah Ibuku pasti mencariku om. Hiks, hiks, hiks.” Ucap anak itu dan dia langsung menangis.

Aku terus berjalan sambil menahan rasa sakit dan sesekali aku menyeka wajahku.

“Hiks, hiks, hiks, hiks.” Anak itu terus menangis dan mengikuti dibelakangku.

“Om, Om.” Panggil anak itu lagi dan jujur itu menggangu konsentrasiku.

Suasana yang gelap, hujan yang sangat deras, angin yang berhembus kencang, jalan yang mulai menanjak dan sangat licin, membuat perjalanan ini sangat berat sekali. Belum lagi dengan kondisi tubuhku yang terluka dan rasa haus yang luar biasa, membuat kedua kakiku sangat berat melangkah.

Dan tiba – tiba,

Krak.

Aku menginjak ranting pohon yang ada ditanah dan itu membuat keseimbanganku terganggu. Tubuhku limbung ke arah kiri dan aku langsung terjatuh kesamping.

JEDUKKK, BUMMMM.

Kepalaku bagian samping kiriku mengantam tunggul kayu, lalu tubuhku menggelundung.

Duk, jeduk, jeduk, jeduk, jeduk, jeduk.

Posisi tanah yang miring ini, membuatku terus terguling kebawah.

Kepala, dada, punggung, perut, dan kakiku menghantam pohon bergantian.

“Argh, argh, argh, argh, argh.” Teriakku setiap bagian tubuhku menghantam sesuatu.

Cok. Kalau gak salah, dibawah sana itu air terjun pertama tempat aku mandi tadi. Kalau aku terus menggelundung tanpa berpegangan sesuatu, aku pasti bisa jatuh dan aku bisa terhantam batu – batu besar dibawah sana.

Duk, jeduk, jeduk, jeduk, jeduk, jeduk.

Dan ketika aku melihat ada sebuah pohon yang tidak begitu besar dibawah sana, aku lalu bersiap untuk menggapai pohon itu.

Duk, jeduk, jeduk, jeduk, jeduk, jeduk.

Lalu, Tap.

Aku menangkap pohon ini dengan kedua tanganku, lalu aku merangkulnya.

Sreetttt, jeduk.

“Huuup.” Aku menahan nafasku dan merangkul pohon ini dengan kuatnya.

Dadaku menghantam dinding jurang dengan keras dan pohon ini ternyata pohon terakhir ditanah miring ini. Kedua kakiku telah menjuntai dibawah jurang dan dadaku menggesek ditanah keras yang basah.

“ARGGHHHH.” Dadaku semakin sakit dan aku berusaha menyeimbangkan tubuhku.

“Sakit Om.?” Tiba – tiba seorang anak kecil muncul dari balik pohon dan dia rupanya anak yang menangis tadi.

Anak itu membawa kayu yang tingginya melebihi tinggi tubuhnya dan dia menatapku dengan tajam. Wajahnya terlihat pucat, mata, hidung dan mulutnya mengeluarkan darah yang mulai menghitam. Bajingan.

“ARGGGHHH.” Aku berusaha keluar dari jurang ini dan kedua kakiku langsung menapak ke dinding jurang yang keras ini. Akupun tidak menghiraukan kehadiran anak ini dan aku tetap merangkul pohon ini dengan kuat.

Tiba – tiba anak itu mengangkat kayu yang dipegangnya, lalu.

Buhg, buhg, buhg, buhg, buhg.

Dia menumbuk jari – jari tangan kananku dengan ujung kayunya dan dengan sekuat tenaganya.

“ARRGHHHH.” Aku berteriak kesakitan dan rangkulan tangan kananku terlepas dari pohon ini. Tangan kananku menjuntai kebawah dan sekarang aku hanya bertumpu kepada tangan kiriku dipohon. Kedua kakiku yang menapak didingpun, sekarang menjuntai kebawah jurang lagi dan itu membuat dadaku menghantam ke dinding jurang lagi.

“URGHHHHH.” Sakitnya sangat luar biasa, sampai kedua mataku terpejam.

Bajingan. Rupanya makluk dihutan ini bukan hanya menyerang melalui halusinasi yang mengganggu pikiran, tapi juga menyerang fisik. Djiancok.

Buhg, buhg, buhg, buhg, buhg.

Sekarang giliran tangan kiriku yang ditumbuk dan aku langsung membuka mataku.

Aku tatap mata anak kecil itu dengan tajam, sambil mengatur nafasku.

“Hu, hu, hu, hu.”

Aku mengangkat tangan kananku, lalu merangkul pohon ini dengan kuatnya. Kedua kakiku aku tapakkan didinding lagi dan anak itu terus menumbuk tangan kiriku.

“PERGI DAN BERJUANG DENGAN TARUHAN NYAWA, PULANG DENGAN TAWA. SEMONGKO.!!!” Teriakku sambil melotot ke arah anak itu dan dia langsung menghentikan tumbukannya.

Aku langkahkan kedua kakiku di dinding jurang ini sambil menggerakan tangan kanan dan kiriku ke arah atas pohon. Aku berusaha bersusah payah, untuk keluar dari jurang ini, tanpa memikirkan rasa sakitku.

Dan ketika kaki kananku sudah berada diujung tepi jurang, aku miringkan tubuhku kekanan dan aku dorong pinggulku keatas, sampai sebagian tubuh naik keatas tanah.

“ARRGGGGGHHHH.” Aku berteriak sambil menghentakan tubuhku dan berguling ke arah tanah.

“Hu, hu, hu, hu, hu.” Aku terlentang disebelah pohon, dengan hujan yang menghantam wajah dan seluruh tubuhku.

Aku lalu menutup rapat mulutku, agar air hujan tidak terminum olehku. Rasa haus ini sangat menyiksaku, tapi aku terus berusaha menahannya.

Cok. Mengerikan juga tempat ini. Ini semua diluar dugaanku, karena sebelumnya tempat ini sangat ramah dan tempat yang cocok untuk menenangkan diri. Tapi sekarang, tempat ini seperti neraka yang tidak ada belas kasihan sedikitpun. Bajingan.

Cukup, cukup sudah aku mengeluh. Aku harus segera bangkit lagi dan melanjutkan perjalananku.

Aku lalu memiringkan tubuhku ke arah kiri, setelah itu aku bangun sambil memegang dada kiriku yang sangat sakit sekali. Darah, air hujan dan butiran tanah, terasa menyatu dikulit dadaku yang terluka.

Aku berdiri dengan tubuh yang sempoyongan dan aku langsung berpegangan kepada pohon yang ada didekatku.

Anak kecil itu masih berdiri dihadapanku dan dia tetap membawa kayu ditangannya. Aku berjalan tertatih - tatih ke arahnya, setelah itu aku menghentikan langkahku tepat dihadapannya.

Aku membungkukan wajahku dan aku dekatkan wajahku ke arah wajahnya. Matanya yang mengeluarkan darah itu tidak membuatku takut sama sekali.

“Kalau kamu mau aku antarkan ke orang tuamu, tunggu aku dipintu gerbang hutan terlarang. Tapi kalau hanya ingin mengganggu perjalananku, lebih baik pergi dari hadapanku.” Ucapku sambil menatap dalam matanya, setelah itu aku menghusap rambutnya dengan lembut.

Anak itu langsung menunduk, setelah itu dia menggeser tubuhnya ke arah kiri. Aku hanya meliriknya sambil menegakkan tubuhku.

Aku lalu menatap ke arah lurus dan jalur yang menanjak, sudah menanti untuk perjalananku selanjutnya. Aku harus mengikuti arah jalur dimana aku terjatuh tadi, untuk menemukan jalan setapak yang menuju ke sumber mata air.

Hiuffttt, huuuu.

Aku menarik nafasku dalam – dalam, setelah itu aku mulai melangkahkan kakiku. Jalur yang menanjak membuatku kesulitan untuk berjalan. Aku berjalan tertatih dan aku berpegangan pada pohon – pohon kecil yang aku lewati.

“Hu, hu, hu, hu.” Nafasku memberat dan sekujur tubuhku terasa sangat sakit sekali.

Berkali – kali aku mau terjatuh, tapi aku langsung memegang batang pohon untuk aku jadikan tumpuan berdiri.

Beberapa saat kemudian, jalan setepak tempat awal aku terjatuh tadi, akhirnya aku temukan.

“Hu, hu, hu, hu.” Aku membungkukan tubuhku dengan kedua tanganku bertumpu pada kedua lututku.

Aku menundukan kepalaku sejenak, lalu aku menyapu wajahku.

Aku tegakkan tubuhku lagi, lalu aku berjalan pelan.

Clap, clap, clap, clap.

Kilatan petir menuntunku diperjalanan ini. Suara derasnya hujan dan gesekan ranting pepohonan, menemani perjalananku. Perlahan aku juga sudah mulai terbiasa, dengan rasa perih dan sakit yang berasal dari lukaku yang terus mengeluarkan darah.

Clap, clap, clap, clap.

Cahaya kilatan petir kali ini, memperlihatkan pondok kedua didekat air terjun kedua, tidak jauh dari hadapanku.

Suasana terlihat makin menyeramkan, ketika aku sudah sampai dibelakang pondok tua tersebut. Air terjun yang lebih besar dari air terjun dibawah tadi, menimbulkan suara yang cukup keras.

Aku terus berjalan ke arah air terjun itu, untuk mandi lagi sesuai dengan perintah Bu Nyoto.

“Mas.” Tiba – tiba terdengar suara seorang wanita, ketika aku melewati pondok tua ini.

Aku lalu menoleh ke arah pondok tua itu dan terlihat seorang wanita cantik duduk dibalai – balai bambu. Wanita itu menoleh ke arahku dan itu membuatku langsung terkejut.

Emery Naila Unna. Ya, wanita yang memanggilku itu adalah Mery. Tatapan matanya, hidungnya, bibir manisnya, rambut indahnya dan semua yang ada diwanita itu, memperlihatkan dengan jelas kalau dia itu adalah Mery.

Argghhh. Ini pasti bukan Mery, bukan. Dia tadi sudah balik ke Kota Pendidikan bersama Rendi dan tidak mungkin dia kembali. Kerumahku saja tidak mungkin, apalagi ditengah hutan terlarang ini.

Djiancok. Kenapa halusinasi hutan ini, harus memperlihatkan wanita yang mampu meluluhkan hatiku, lewat tatapan matanya itu.? Tidak adakah wajah wanita lain dan kenapa harus dia.? Bajingan.

Akupun langsung mengalihkan pandangan mataku ke arah air terjun dan kembali aku melangkahkan kakiku. Tidak terlihat jalan setepak menuju ke sumber mata air, yang biasa aku lalui. Jalanan itu tertutup oleh pepohonan dan aku hanya bisa menarik nafasku dalam – dalam.

“Jahat banget sih Mas Gilang ini. Katanya Mas Gilang cinta sama Mery, kenapa cuek begitu.?” Ucap wanita itu dengan suara yang menggoda sekali dan suaranya benar – benar mirip sekali dengan Mery.

Aku tidak menghiraukannya dan aku terus berjalan. Aku baru menghentikan langkahku, ketika aku sudah berada dipinggir sungai didepan air terjun.

“Mas. Dingin banget disini. Mery takut Mas, takut.” Ucap Wanita itu dan suaranya terdengar bergetar dan ingin menangis.

Aku tidak menghiraukannya dan aku bersiap untuk masuk kedalam sungai.

“Jangan ganggu laki – lakiku.” Terdengar suara seorang wanita yang sangat aku kenal dan sangat kucintai.

Aku lalu membalikan tubuhku dengan refleknya dan melihat ke arah suara itu.

“I, I, Intan.” Ucapku dengan terbata.

Intan melihat dan tersenyum dengan manisnya, sementara makluk yang berwujud Mery, berdiri dan menatap tajam ke arah Intan.

“Pergi kau wanita jalang.” Ucap Makluk berwujud Mery itu, lalu tubuhnya melayang dan terbang ke arah Intan.

Makluk itu mencengkram leher Intan, sampai tubuh Intan juga ikut melayang, lalu terhantam pohon besar dibelakangnya.

“INTAN.” Teriakku.

Kaki Intan dan makluk berwujud Mery itu sudah menapak tanah, dengan posisi makluk itu mencekik leher Intan dan menyandarkan ke pohon.

“To, to, tolong Intan yang, tolong Intan.” Ucap Intan memohon, sambil menahan cengkraman tangan makluk berwujud Mery itu. Wajahnya terlihat kesakitan dan ketakutan.

“Bajingan.” Makiku dan aku langsung berlari ke arahnya.

Makluk berwujud Mery itu langsung melihat ke arahku, sambil menunjukku menggunakan tangan kirinya.

Lariku langsung terhenti dan kedua kakiku tidak bisa aku gerakkan. Seluruh tubuhku kaku dan tiba – tiba leherku terasa seperti dicekik. Makluk berwujud Mery itu membuat gerakan seperti mencengkram leherku dengan tangan kirinya, sementara tangan kanannya terus mencekik leher Intan.

“ARGHHHH.” Leherku sangat sakit sekali dan aku kesulitan bernafas.

Makluk yang berdiri agak jauh dari aku itu langsung mengangkat tangan kirinya keudara. Tubuhku ikut melayang, mengikuti gerakan tangannya. Leherku pun semakin sakit, karena makluk itu membuat gerakan mencengkram leherku.

“ARRGGHH.” Ucapku dengan mata yang melotot. Aku tidak bisa menghentikan cengkraman yang tidak menyentuh kulit leherku sama sekali ini dan aku juga tidak bisa berbuat apa – apa.

Wajah Intan juga terlihat makin kesakitan dan dia mencoba melepaskan cengkraman tangan kanan makluk itu.

Makluk itu memutarkan tangan kirinya ke arah bawah dan tubuhku juga ikut terputar. Posisi kepalaku sekarang berada dibawah dan kakiku berada diatas, dengan ketinggian beberapa meter dari atas tanah.

Lalu tiba – tiba, makluk itu membuat gerakan membanting kebawah dan membuat tubuhku langsung terhempas ketanah.

BUUUMMMM. KRAKKK.

Aku sempat membungkukan tubuhku dan aku terjatuh dengan posisi punggungku menghantam tanah dengan keras.

“ARGGHHHHH.” Ucapku yang kesakitan.

“HEUUKKKKK.” Darah segar langsung keluar dari mulutku.

“SAYANGG.” Teriak Intan, lalu.

Gelap.

Djiancok.!!! Aku roboh dan aku tidak sempat melakukan perlawanan sedikitpun. Rupanya aku terlalu lemah, apalagi sudah menyangkut dengan permasalahan perasaan hati ini. Aku tidak bisa berpikir dengan jernih dan aku mudah sekali dipengaruhi. Bajingan.

“Jadi kamu sudah kalah.?” Tiba – tiba terdengar suara dari sesosok makluk.

Akupun langsung membuka kedua mataku dan terlihat kakek bermata bening berdiri dihadapanku. Aku lalu bangkit dari tidurku dan duduk bersila.

“Ahhhhh.” Ucapku sambil menggerakan kepalaku kekanan dan kekiri.

Tubuhku terasa ringan dan tidak ada luka sama sekali disekujur tubuh ini.

“Aku belum kalah Kek. Aku hanya butuh waktu untuk bangkit dan membalas setiap serangan makluk itu.” Jawabku.

“Sudah lemah tidak berdaya seperti ini, kamu masih angkuh saja. Terus kamu mau melanjutkan perjalananmu dan melepaskan kedua kekuatan yang ada di dirimu.? Mau jadi apa kamu.?” Ucap Kakek mata bening dengan sinisnya.

“Oh iya, kamu kan gak bisa melanjutkan perjalananmu kesumber mata air, karena kamu sudah kalah. Jadi apa yang harus dilepaskan dari dirimu.?” Tanya kakek mata bening dan sekarang nadanya terdengar sangat meremehkan aku.

“Hahaha. Selagi nyawa ini masih ada didalam tubuhku, tidak ada kata menyerah, apalagi kata kalah didalam kamus ku Kek.” Jawabku.

“Angkuh dan sangat sombong sekali. Pantas kamu terbantai dan pantas kamu mendapatkan kekalahan yang menyakitkan.” Sahut si Kakek.

“Kekalahan yang menyakitkan bagiku itu, bukan kalah karena menghadapi makluk alam lain atau manusia manapun. Tapi kekalahan yang menyakitkan bagiku itu, ketika aku tidak bisa menunaikan janjiku dan menjerumuskan keluargaku dalam masalahku.” Ucapku.

“Janjimu itu sebenarnya tidak perlu kamu ucapkan dan kamu harusnya bisa menyelesaikan semua masalahmu, dengan kekuatan yang kamu miliki saat ini.” Ucap si Kakek.

“Masalah itu ada, justru ketika aku mempunyai kekuatan ini Kek. Kalau saja dari awal aku tidak menerima kekuatan ini, mungkin masalahku akan lebih ringan dan aku bisa hidup dengan tenang.” Jawabku.

“Sudahlah Kek. Percuma Kakek mempengaruhi pikiranku, karena itu pasti tidak akan bisa. Lebih baik Kakek pergi sekarang juga dan aku akan melanjutkan pertarunganku.” Ucapku.

“Dasar keras kepala.” Ucap si Kakek, lalu dia mengibaskan jubah yang dipakainya ke arah wajahku.

Kibasan itupun menimbulkan angin yang cukup kencang dan aku langsung menutup kedua mataku dengan lenganku.



Tes, tes, tes, tes, tes.

Rintik hujan membasahi kepalaku dan aku langsung membuka kedua mataku. Posisiku sekarang tertelungkup dan Makluk yang berwujud Mery itu masih mencekik leher Intan.

“Djiancok.” Makiku sambil mengepalkan kedua tanganku, lalu aku arahkan ketanah untuk aku jadikan tumpuan berdiri.

“Huuppp.” Aku berdiri perlahan, sambil menatap makluk yang melihat ke arahku itu.

“Kamu akan aku bunuh sekarang juga.” Ucap Makluk itu sambil melepaskan cengkramannya dileher Intan dan Intan langsung jatuh terkulai.

“PERGI DAN BERJUANG DENGAN TARUHAN NYAWA, PULANG DENGAN TAWA. SEMONGKO.!!!” Ucapku yang mengulangi kata – kata penyemangat itu, untuk membangkitkan semangatku sendiri.

“Banyak bicara kamu.” Ucap Makluk itu dan dia langsung melayang ke arahku.

Kedua kakinya masuk ke samping pinggangku dan langsung mengunci dipunggungku. Tangan kirinya menjambak rambutku lalu memiringkan kepalaku ke arah kanan, dan tangan kanannya menahan pundakku agar tetap tegak. Posisi sekarang, aku seperti menggendongnya didepan dan dia siap menerkam leher bagian kiriku.

TAPPP.

Aku langsung memegang kedua pipinya dan mendorongnya kebelakang, agar mulutnya menjauh dari leherku.

“AARGGHHHH.” Ucapku sambil berteriak dan wajah makluk itu sekarang berada tepat didepan wajahku.

“Kubunuh kamu, kubunuh.” Ucap makluk itu, lalu perlahan wajahnya yang seperti Mery berubah menjadi menyeramkan.

Wajahnya terlihat sangat tua, hidungnya membesar, mulutnya melebar dan empat gigi taringnya memanjang. Kuku – kuku jarinya juga ikut memanjang dan disertai bau yang sangat busuk sekali.

Kedua tanganku langsung reflek melepaskan pegangan dipipinya dan dia langsung tertawa dengan suara yang menyeramkan.

“HIHIHIHIHIHI.”

Kedua kakinya yang mengunci pinggangku, semakin dikuatkannya dan membuat tulang – tulang pinggangku terasa remuk. Kedua tangannya diarahkan kebelakang, lalu kuku – kukunya yang panjang dan tajam itu, perlahan menyentuh punggung bawahku. Ditekannya kuku itu agak dalam, sampai merobek pakaian yang aku kenakan dan menembus kulit punggungku.

Ditariknya kuku – kuku itu keatas sehinga kulitku terasa di iris oleh pisau yang tajam.

“ARGGHHHHHHH.” Teriakku kesakitan dan aku berusaha mendorong tubuh makluk tua ini, agar terlepas dari gendonganku.

Jepitan kakinya semakin kuat dan rasa sakit yang aku rasakan semakin luar biasa.

Rasa sakit yang luar biasa itu, langsung membangkitkan amarahku disisi lain jiwaku. Pandanganku pun perlahan berubah menjadi jernih dan berbayang, seperti air sungai yang sangat bersih sekali.

“Hu, hu, hu, hu, hu.” Nafasku memburu dan sekarang aku sedang dikuasai kekuatan mata bening.

Sakit yang ada disekujur tubuhku tidak terasa sama sekali dan aku seperti memiliki tambahan tenaga, serta kekuatan yang sangat luar biasa.

Kedua tanganku aku arahkan kedagunya, setelah itu aku mendorongnya kedepan dengan kuat, sambil mengangkat lutut kananku.

“AARRGGGHHHH.” Aku mendorongnya sambil berteriak dengan kuat, sampai punggungnya tersandar dipahaku yang terangkat dan kuku – kukunya terlepas dari punggungku.

Punggungnya yang tersandar dipahaku dan kepala belakangnya yang tersandar dilututku, membuat dagunya terdanga. Kedua kakinya masih mengunci punggungku dan aku langsung melepaskan kedua telapak tanganku yang ada didagunya.

Aku kepalkan tangan kananku, lalu aku hantam dagunya dengan sekuat tenagaku.

BUHGGGGGG.

Tubuh makluk itu langsung melayang kedepan dan kuncian dipinggangku langsung terlepas.

BUUMMMMM.

Makluk itu jatuh tergulung dihadapanku dan dengan cepatnya dia menahan tubuhnya, lalu berdiri dengan wajah yang terlihat terkejut dan juga emosi.

Aku langsung berlari ke arahnya, lalu aku mengarahkan tendanganku ke arah dadanya.

BUHGGGGGG.

“Huuppppp.” Makluk itu termundur dan aku langsung melayangkan kepalan tangan kanan dan kiriku bergantian ke arah wajahnya.

BUHHGGGG, BUHHGGGG, BUHHGGGG, BUHHGGGG, BUHHGGGG.

Makluk itu termundur lagi, karena seranganku yang bertubi – tubi ini.

BUHHGGGG, BUHHGGGG, BUHHGGGG, BUHHGGGG, BUHHGGGG.

Aku menghantam wajah, dada dan perutnya.

BUHHGGGG, BUHHGGGG, BUHHGGGG, BUHHGGGG, BUHHGGGG.

Aku lalu menghentikan seranganku, sambil membalikan tubuhku dan mengarahkan tendangan balik ke arah wajahnya.

BUHGGGGG.

Tubuh makluk itu melayang kebelakang, lalu dia terjatuh ditanah dengan posisi terlentang.

JEDUKKKK.

BUUMMMM.

Aku berlari ke arahnya, lalu meloncat dan mengarahkan injakan kakiku ke arah wajahnya.

BUHGGGGGG.

Injakanku mengenai tanah dan dia menghilang seperti butiran debu, seperti makluk berjubah digerbang hutan terlarang tadi.

Hiuffffttt, huuuuu.

Aku menarik nafasku dalam – dalam dan hujan juga masih belum berhenti.

Aku lalu melihat ke arah Intan yang tergeletak ditanah. Tubuhnya perlahan melayang dan terbang diudara. Wajahnya langsung berubah menyeramkan dan lebih mengerikan dari pada makluk yang aku kalahkan barusan.

Bajingan. Halusinasi hutan ini juga menghadirkan Intan, lewat makluk biadap ini.

Aku akan membantainya, aku akan membantainya. Djiancok.!!!

“Kamu yang akan terbantai ditempat ini.” Ucap Makluk itu dengan suara yang serak dan menyeramkan.

Tubuhya tetap melayang dan kedua tangannya terlentang. Dan dari telapak tangannya yang terbuka itu, tiba – tiba muncul pusaran angin yang kecil dan peralahan mulai membesar.

Ranting pohon yang kecil maupun yang besar, tersedot dalam pusaran angin yang semakin lama semakin membesar itu.

“HIHIHIHIHI.” Makluk itu tertawa sambil menatap ke arah mataku.

Air hujan yang ada disekitarku dan juga air terjun yang ada disana, berubah arah menuju kepusaran angin yang sangat kecang itu. Tubuhku pun sempat terseret ke arah pusaran itu, sebelum aku menguatkan pijakanku.

Bajingan, mengerikan juga kekuatan makluk itu. Kalau kedua pusaran angin yang ada diatas telapak tangannya itu mencapai puncak dan dihantamkan ke arahku, aku pasti terlempar dan tidak menutup kemungkinan, tubuhku akan hancur berkeping – keeping.

Ini menjadi buah simalakama bagiku. Kalau aku tertarik kepusaran angin itu, tubuhku pasti akan remuk didalam sana. Kalau aku diam dan dihantam pusaran angin itu, tubuhku pasti hancur. Assuuu

Aku harus menghentikan semuanya sebelum terlambat dan aku harus mencari titik lemah makluk itu.

Aku lalu melihat ke arah makluk itu, dengan sangat teliti. Pusaran angin dan benda – benda yang berterbangan, agak mengganggu pandanganku. Aku melihat dari ujung kakinya, sampai ujung kepalanya dan aku tidak menemukan satu petunjukpun.

“Fokuskan pandanganmu, maka kamu akan menemukan sesuatu.” Terdengar suara yang samar – samar, tapi entah dari mana.

Aku lalu menatap tajam ke arah makluk itu dan tiba – tiba, ada sesuatu yang ada dibawah leher makluk itu, menarik perhatianku. Posisi tepatnya itu dibawah batang leher dan diatas tulang dada. Bagian tubuhnya itu berkedut tapi samar – samar. Pandangan dari kekuatan mata bening yang sedang mempengaruhi aku ini, benar – benar bisa menajamkan suatu benda yang jaraknya agak jauh.

“HIHIHIHIHI.” Makluk itu tertawa lagi dengan keras, sambil mendangakkan kepalanya.

Pusaran angin itu sudah sangat besar dan siap untuk dihempaskan.

Aku lalu berlari ke arahnya dan pusaran angin yang menarik tubuhku ke arahnya, sedikit membantuku. Dan ketika sudah berada tidak jauh dari bawah makluk yang melayang itu, Aku langsung meloncat dan tubuhku melayang ke arahnya.

Makluk itu terus tertawa, sambil mendangakkan kepalanya. Telapak tanganku aku buka, lalu aku satukan jari – jariku dengan posisi tegak lurus. Aku arahkan ujung jari – jariku itu tepat di bawah batang lehernya dengan sekuat tenagaku.

“ARRGGGHHHH.” Aku berteriak dengan kuatnya dan makluk itu langsung menegakkan kepalanya dengan wajah yang terkejut.

JRABBBBB.

Tanganku menembus tubuh makluk itu dan tubuhnya langsung menjadi butiran debu, lalu menghilang bersama derasnya hujan.

BUHHHGGG.

Kedua kakiku menyentuh tanah, bertepat dengan benda – benda yang berterbangan tadi jatuh ketanah.

“Hu, hu, hu, hu, hu, hu.” Nafasku cepat dan memburu.

Aku lalu menegakkan tubuhku sambil merapikan rambutku yang terurai didepan wajahku.

Tempat ini sangat berantakan dan anehnya, pondok tua itu tetap berdiri tegak dan tidak ada kerusakan sedikitpun.

“Hu, hu, hu, hu, hu.” Aku mengatur nafasku, sambil melihat ke arah sekeliling.

Kedua makluk yang menggangguku itu telah pergi dan aku juga tidak melihat jalan setepak yang menuju ke sumber air.

Aku langsung berjalan ke arah air terjun. Aku tidak ingin berlama – lama disini, karena aku harus melanjutkan perjalananku ke sumber mata air. Semoga setelah aku mandi di air terjun, jalanan setepak ke arah sumber mata air akan terbuka.

Hiuufftt, huuuu.

Tubuhku tidak terasa sakit sama sekali, padahal luka – lukaku bertambah dan darahnya tercecer dimana – mana. Apa ini karena pengaruh kekuatan mata bening yang menguasai diriku.? Sudahlah. lebih baik aku cepat mandi, agar aku bisa melanjutkan perjalanan.

Dan ketika kakiku sudah masuk ke dalam sungai, terdengar suara kakek mata bening yang mendengung ditelingaku.

“Lanjutkan ritualmu dan selesaikanlah perjalananmu. Aku hanya bisa menemanimu sampai disini dan setelah ini berjuanglah seorang diri.” Ucap si Kakek dan aku langsung menundukan kepalaku sejenak.

“Huppp.” Aku menarik nafas panjangku, karena aku merasa ada sesuatu yang keluar dari tubuhku.

“Huuuuuuu.” Ucapku sambil mengembuskan nafas panjangku.

Tubuhku melemah dan rasa sakit itu datang lagi. Bekas cakaran macan kumbang didada dan bekas cakaran kuku makluk tadi dipunggung, sangat perih sekali. Belum lagi rasa sakit dari luka – luka disekitar wajah dan seluruh tulang – tulangku yang terasa remuk, membuat rasa sakit ini semakin menggila.

Baju yang aku kenakan sobek dibagian depan dan belakang. Aku lalu melepas bajuku dan terlihat luka didadaku yang berbentuk garis – garis lurus kebawah. Mungkin luka – luka dipunggungku juga sama seperti ini.

Aku lalu menyebrang sungai yang tingginya sebatas lututku. Kedua kakiku terasa berat ketika melangkah dan tubuhku sudah sangat letih sekali. Belum lagi tenggorokanku yang terasa sangat kering, membuatku tidak bertenaga.

“ARRGGHHH.” Ucapku yang merintih kesakitan, ketika aku sudah berada dibawah air terjun yang cukup deras ini. Luka disekujur tubuhku semakin terasa perih dan aku menahannya sekuat tenaga.

Aku lalu duduk bersila diatas batu dan kedua tanganku bertumpu pada kedua lututku. Aku pejamkan kedua mataku perlahan, sambil menarik nafasku dalam – dalam. Aku berusaha memfokuskan pikiranku di sisa perjalananku, sambil menahan rasa sakit.

“Hemmm.” Aku keluarkan nafasku pelan, sambil mengepalkan kedua tanganku dengan kuat.

Setelah beberapa saat aku berdiam diri dan pikiranku tenang, aku berdiri dari tempatku, lalu berjalan menuju tepi sungai.

Aku keluar sungai dan melanjutkan perjalananku, hanya menggunakan celana panjang, tanpa menggunakan baju dan alas kaki. Bajuku telah sobek dan percuma juga kalau dipakai lagi. Untuk alas kaki, aku baru menyadari kalau sandalku hilang waktu aku terperosok ditepi jurang tadi.

Hiuufftt, huuuuu.

Tubuhku sekarang terasa sedikit segar, tapi rasa hausku belum berkurang. Luka – lukaku juga masih mengeluarkan darah, tapi tidak sebanyak tadi.

Beberapa saat kemudian, aku menghentikan langkahku. Sudah tidak ada jalan lagi dihadapanku, karena tertutup pepohonan.

Aku menatap pepohonan yang ada dihadapanku dan semua pepohonan itu bergoyang ditiup angin kencang.

Dan tiba – tiba burung rajawali hitam datang lagi dan hinggap disalah satu pohon. Pohon itupun berhenti bergoyang, sementara pohon yang lain tetap meliuk – liuk ditiup angin.

Aku pejamkan kedua mataku sesaat, lalu aku membukanya lagi dan melihat ke arah pohon itu. Jalan setapak ke arah air terjun terlihat lagi dan aku langsung melangkahkan kakiku. Aku melirik keatas pohon dan burung rajawali hitam itu sudah pergi entah kemana.

“Hu, hu, hu, hu, hu.” Aku menggigil kedinginan, karena tubuhku terus dibasahi air hujan dan terkena tiupan angin yang kencang.

“Mau kemana kamu.?” Tiba – tiba seorang laki – laki setengah baya yang sangat aku kenal, berdiri dihadapanku.

Aku yang terkejut ini pun langsung menghentikan jalanku, karena yang berdiri dihadapanku saat ini adalah Bapaknya Joko. Beliau berdiri sambil menatapku dengan penuh kebencian.

“Bapak.” Ucapku dengan suara yang bergetar dan tubuhku merinding dibuatnya.

“Kamu bukan anakku. Anakku hanya Joko.” Ucap beliau sambil menahan emosinya.

“Ma, ma, maaf Pak.” Ucapku terbata.

“Sampai kapan kamu akan memberikan masalah untuk anakku.” Tiba – tiba Ibunya Joko muncul dari arah belakang suaminya.

“I, I, I, Ibu.” Ucapku.

“Kamu itu bukan sahabat Joko, apalagi saudara dari anakku.” Ucap Ibu Joko dan itu membuatku langsung terdiam.

“Kamu selalu membuat masalah untuk putra tersayangku. Gara – gara kamu dia belajar mencuri, supaya dia bisa kuliah bersamamu. Gara – gara kamu dia mengenal seorang wanita yang sangat dicintainya, lalu akhirnya wanita itu meninggal dengan cara yang mengenaskan. Gara – gara kamu dia tidak bisa melihat detik – detik kepergian kami. Gara – gara kamu kami berpisah tanpa bisa mengucapkan selamat tinggal. Belum lagi dia belajar mengamen, padahal keluarga kami sangat berkecukupan.”

“Kamu memang pembuat masalah dan kamu pembawa bencana untuk anakku.” Ucap Ibu Joko dengan suara yang bergetar dan air mata yang keluar bercampur derasnya air hujan.

Cok. Semua yang dikatakan Ibunya Joko ini benar dan itu langsung membuat aku sangat terpukul sekali. Entah yang berdiri dihadapanku ini halusinasi hutan ini atau beneran kedua orang tua Joko, tapi yang jelas kata – katanya sungguh sangat menyayat hatiku.

Aku menjerumuskan Joko kepada semua masalahku dan aku tidak pernah memberikannya kebaikan. Hidup sahabatku itu sekarang sebatang kara dan aku salah satu penyebab dia menjadi menderita. Bajingan.

Apa semua ini pengaruh dari kekuatan yang aku miliki.? Jadi bukan hanya keluargaku saja yang akan menderita, tapi juga orang – orang terdekatku.? Sebegitu besarkah penderitaan yang aku buat untuk orang – orang yang sudah menyayangi aku.? Bangsat sekali aku ini. Asuuu.

Kepalaku langsung tertunduk dan air mataku mengalir dengan derasnya. Rasa sakit dari sekujur tubuhku, tidak ada apa – apanya, dibandingkan rasa sakit dihatiku ini. Rasa kecewa didalam hatiku begitu besar dan rasa penyesalanku begitu mendalam. Aku benar - benar tidak berguna dan aku hanya menjadi pembawa bencana. Djiancok.!!!

“Kamu tidak perlu menyesali apa yang telah terjadi.” Ucap Bapaknya Joko.

“Ya, kamu tidak perlu menyesalinya.” Sahut Ibu Joko dan aku langsung menegakkan kepalaku.

“Kamu hanya perlu melakukan satu hal.” Ucap Bapaknya Joko.

“A, a, a, apa itu Pak.?” Tanyaku terbata.

“Basuhlah hatimu dan bersihkan dosa – dosamu menggunakan air didalam sumber mata air sana.” Ucap Ibunya Joko.

“Minumlah dari sumber mata air, untuk menenangkan jiwamu dan juga menenangkan jiwa kami yang telah pergi.” Ucap Bapak Joko.

“I, I, I, Iya Pak, Bu. Gilang akan meminum air disana, bukan untuk Gilang tapi untuk ketenangan Bapak dan Ibu.” Jawabku dengan refleknya.

DUAARRRR.

Kali ini kilatan petir disertai dengan suara yang menggelegar.

“Baiklah. Aku percaya dengan ucapanmu dan semoga kamu benar - benar melakukannya.” Ucap Ibunya Joko dan Bapaknya Joko hanya mengangguk pelan.

Perlahan tubuh beliau berdua menghilang dari pandanganku.

Akupun langsung berjalan lagi dengan tetesan air mataku yang terus mengalir. Aku mengutuk diriku sendiri, disetiap langkah kakiku. Penderitaan dan rasa sakit Joko, tidak akan mungkin bisa aku sembuhkan. Mungkin dengan meminum dari sumber mata airpun, juga tidak bisa mengurangi penderitaannya.

Aku terus berjalan dengan tatapan mata yang kosong dan entah siapa yang menuntun jalanku, aku sekarang sudah berdiri didepan sumber mata air yang keramat itu. Tidak ada gangguan lagi disisa perjalananku tadi dan aku tidak merasakan sakit sama sekali.

Hujan semakin deras dan angin semakin kencang berhembus, ketika aku berdiri dipinggir sungai tempat sumber mata air yang mengalir. Kilatan petir terus menyambar dan menerangi tempat ini.

Kaki kananku aku masukan kedalam sungai, lalu aku mulai berjalan ke arah sumber mata air. Kedua kakiku sangat ringan ketika melangkah dan kedalaman sungai ini hanya sebatas mata kakiku.

Dan sekarang, sekarang aku sudah berdiri dibawah sumber mata air yang mengalir. Sumber mata air ini tingginya diatas kepalaku dan airnya sangat segar sekali.

Aku lalu membungkukan tubuhku dan menyuci kedua lenganku sebatas sikutku. Setelah tanganku bersih, aku menadahkan kedua telapak tanganku yang menyatu. Aku tampung air itu ditelapak tanganku, lalu aku basuhkan diwajahku dan aku lakukan sebanyak tujuh kali. Setelah membasuh wajahku, giliran rambut, telinga dan kakiku yang aku bersihkan.

Dan yang terakhir, aku menampung air itu lagi ditelapak tanganku lalu aku meminum air itu. Bukan karena aku kehausan, tapi aku melakukannya karena aku sudah berjanji dengan kedua orang tua Joko. Aku juga tidak perduli larangan dari Bu Nyoto, karena mungkin hanya dengan cara ini, aku bisa membasuh sedikit penyesalan di dada.

Air yang sangat segar ini membasahi tenggorokanku yang kering dan langsung menyatu didalam tubuhku.

Beberapa saat kemudian, tubuhku bergetar dengan hebatnya. Aku merasa darahku mendidih dan tubuhku memanas. Aku seperti direbus dan air hujan yang sangat deras inipun, tidak mampu mendinginkan tubuhku.

“ARGGHHHHHH.” Aku berteriak kesakitan, sambil menegakkan tubuhku dan mendangakan kepalaku kelangit.

“ARGGHHHHHH.” Aku terus berteriak kesakitan dan aku seperti melihat bayangan iblis pencabut nyawa, melayang diatas kepalaku.

Iblis yang berwajah seram itu, meletakkan telapak tangannya dikeningku. Tubuhku semakin bergetar dengan hebatnya dan aku merasa nyawaku seperti tertarik oleh sentuhan tangan iblis itu.

“ARGGHHHHHH.” Sakit, sakit dan sangat sakit sekali.

Aku merasa sesuatu menjalar dari dalam tubuhku, mulai dari ujung kakiku, kelutut, paha, perut, dada dan terhenti ditenggorokanku. Sesuatu itu seperti terganjal ditenggorokanku dan sakitnya sangat luar biasa.

Sesuatu yang menjalar itu, rasanya seperti goresan silet disetiap inchi bagian tubuh yang dilewatinya.

Bajingan. Apakah ini proses nyawaku yang sedang dicabut.? Apakah prosesnya sesakit ini.? Apakah aku akan benar – benar mati.?

“ARGGHHHHH.” Aku berteriak sekencang – kencangnya, sambil terus mendangakkan wajahku kelangit.

Dan tiba – tiba.

“HOORRGGG.” Dua bulatan cahaya berwarna hitam dan bening, keluar bergantian dari mulutku.

Dua bulatan cahaya itupun masuk kedalam telapak tangan iblis itu dan dia langsung menghilang seketika.

“Ha, ha, ha, ha, ha.” Nafasku cepat dan memburu, tenggorokanku terasa lega dan aku langsung menegakkan kepalaku lagi.

Cok. Rupanya ini proses keluarnya dua kekuatan yang ada didalam diriku dan ini berarti aku sudah terbebas dari dua kekuatan itu.

Kepalaku langsung pusing, pandanganku berkunang – kunang dan tubuhku mulai sempoyongan. Aku menggoyangkan kepalaku kekanan dan kekiri, agar aku tetap tersadar dan aku bisa keluar dari hutan ini secepatnya

“HAHAHAHA.” Terdengar suara yang menyeramkan dari arah sumber mata air di atasku.

Aku lalu mendangakkan kepalaku dan terlihat sesosok makluk yang luar biasa menyeramkan. Dipandanganku yang mulai berbayang ini, terlihat tubuhnya sangat besar dan kekar, wajahnya mengerikan, dua tanduk disamping kanan dan kiri atas kepalanya, satu tanduk dijidatnya, bola matanya seperti ada api yang terbakar, lobang hidung yang besar dan rata dengan wajah, gigi – gigi taring yang keluar dari mulutnya dan dia membawa tombak dengan tiga mata diujungnya, menggunakan tangan kiri.

Makluk menyeramkan itu langsung mengangkat tangan kanannya, lalu mengepalkannya dengan kuat, setelah itu dia meloncat ke arahku dan mengarahkan tinjuannya ke dadaku.

BUHHGGGGG. KRAKKKKK.

“ARRGGHHHHH.” Aku berteriak kesakitan dan tubuhku melayang kebelakang, lalu punggungku menghantam batu yang sangat besar dan aku langsung terduduk terkulai.

Tubuhku terasa remuk redam dan.

“HUEKSSSSSS.” Aku memuntahkan darah segar yang sangat banyak sekali.

“GILANGGG.” Terdengar seseorang berteriak dan aku langsung melihat ke arah suara itu.

Bayangan lima orang berdiri didekat pondok dan,

Gelap.

Uhhhhh.



Pukulan makluk itu sangat kuat dan aku yakin beberapa tulang didadaku pasti ada yang patah.

Aku meraba dadaku dan anehnya tidak ada goresan luka. Rasa sakitpun tidak terasa dan tulangku juga tidak ada yang patah.

Aku lalu membuka kedua mataku dan terlihat langit yang biru serta awan putih diatas sana. Aku tidur terlentang di sebuah taman dan di atas rumput yang agak tebal.

Aku langsung duduk dan melihat situasi disekitarku. Aku duduk ditengah padang rumput dan cuacanya sangat cerah sekali pada siang hari ini.

Cok. Dimana aku ini.? Apa aku sudah mati dan sekarang berada disurga.? Apa aku sudah mati akibat pukulan dari makluk berwajah menyeramkan itu.? Terus bagaimana nasib keluargaku.? Apa ritualku sudah berhasil dan diterima, jadi keluargaku terhindar dari bencana.? Ahhh. Bajingan.

“Kamu sudah berhasil dengan ritualmu dan kamu sudah melepaskan semua kekuatan yang ada dirimu.” Ucap seseorang yang ada dibelakangku dan aku langsung melihat ke arah belakangku.

Simbah dari Desa Jati Bening dan Kakek dari Desa Sumber Banyu, duduk bersila bersila dibelakangku sambil menghisap rokok klobotnya.

“Mbah. Kek.” Ucapku sambil memutar tubuhku dan duduk menghadap beliau berdua.

“Apa aku sudah mati.?” Tanyaku.

“Pertanyaan itu tidak pantas dan tidak perlu kamu tanyakan.” Jawab Kakek Mata Bening.

“Maaf.” Ucapku.

“Tapi kenapa aku ada disini ya Kek.?” Tanyaku kepada si Kakek..

“Untuk merayakan perpisahan kita.” Simbah yang menjawab.

“Perpisahan kita Mbah.?” Tanyaku lagi, kali ini kepada Simbah.

“Kamu kan sudah melepaskan kekuatanmu dari dirimu, jadi kami berdua akan pergi darimu selamanya.” Jawab si Kakek.

“Sampean berdua ini kenapa sih.? Kenapa aku bertanya pada Kakek, Simbah yang menjawab.? Aku bertanya kepada Simbah, Kakek yang menjawab.? Sampean berdua marah sama aku kah.?” Tanyaku dengan nada yang agak meninggi.

“Gak ada untungnya kami berdua marah sama kamu.” Jawab Simbah.

“Iya.” Sahut si Kakek.

“Terus kenapa kalau aku bertanya harus yang lain menjawab.?” Tanyaku.

“Hidupmu itu ribet banget sih. Yang penting kan dijawab dan jawaban itu gak ngelantur. Tinggal mendengarkan aja, banyak protesnya.” Ucap Simbah.

“Cok.” Gerutuku pelan dan kami bertiga langsung diam beberapa saat. Beliau berdua tampak asyik dengan rokoknya masing – masing, sambil melihat ke arah yang berlawanan.

“Mbah.” Panggilku.

“Hem.” Jawab Simbah sambil melihat kearaku.

“Kek.” Panggilku ke Kakek.

“A.” Jawab si Kakek sambil menoleh ke arahku juga.

“Kenapa sampean berdua membantuku diperjalanan tadi, padahal tujuanku ingin melepaskan kekuatan yang ada pada diriku.?” Tanyaku sambil melihat beliau berdua bergantian.

“Karena kami tau alasanmu untuk melepaskan kekuatanmu.” Jawab si Kakek.

“Kalau sampean berdua tau tentang alasanku melepas kekuatanku, berarti sampean tau akibatnya kalau aku menerima kekuatan dari sampean berdua.?” Tanyaku dan beliau berdua hanya menatapku.

“Kenapa sampean berdua tetap memaksa aku menerima kekuatan itu.? Sampean berdua sengaja, agar keluargaku menerima akibatnya.?” Tanyaku dan nadaku kembali meninggi.

“Kalau kami tidak memaksamu menerima kekuatan dari kami berdua, mau jadi apa kamu melawan makluk mata putih itu.? Mau mampus ditempat itu.? Atau kamu tidak ikut bertarung dan membiarkan Irawan Jati dikeroyok dua makluk bermata putih.?” Tanya Simbah dengan nada yang ikut meninggi.

“Enak sekali hidupmu anak muda. Kamu yang buat masalah, malah Irawan Jati yang disuruh menyelesaikan masalahmu.” Omel si Kakek dan aku langsung terdiam, mendengar dua orang tua ini berbicara.

“Kamu sendiri yang ingin membalas dendam atas kematian Hendra, Intan dan Denok, kok sekarang malah bertanya kepada kami. Gimana sih.?” Ucap Simbah.

“Iya, maaf.” Ucapku sambil menunduk dan aku sangat merasa bersalah sekali.

“Aku kira setelah dua kekuatanmu kamu lepaskan, kamu akan kembali menjadi bijak dalam melihat suatu permasalahan. Tapi ternyata.?” Ucap Kakek dan aku hanya menggelengkan kepalaku pelan.

“Sekarang tujuanmu sudah tercapai dan kami berdua sudah tidak punya hak lagi atas dirimu. Kembalilah menjadi manusia yang normal dan kembalilah menjadi dirimu sendiri yang seperti dulu.” Ucap Simbah dan aku langsung mengangkat kepalaku lagi.

“Terimakasih Mbah, terimaksih Kek. Terimakasih atas waktu yang singkat dan berjuta pelajaran serta pengalaman ini. Terimakasih juga telah banyak membantuku dan terimakasih telah menjagaku.” Ucapku dengan suara yang bergetar.

Beliau berdua hanya diam dan menatapku, sambil menghisap rokok kelobotnya.

“Dan sebelum kita berpisah, izinkan aku bertanya dua hal lagi.” Ucapku dan beliau tetap diam.

Hiuffttt, huuuu.

Aku menarik nafasku dalam – dalam, lalu mengeluarkannya perlahan.

“Yang pertama, siapa sebenarnya wanita yang memberikan aku petunjuk pada saat aku akan masuk kedalam gerbang hutan terlarang.? Apa benar dia Bu Nyoto, atau dia salah satu makluk penghuni hutan terlarang ini.?” Tanyaku.

“Dia benar Bu Nyoto.” Jawab Simbah, lalu beliau menghisap rokok klobotnya lagi.

“Huuuu.” Simbah mengeluarkan asap tebal dari mulutnya dan aku menunggu beliau melanjutkan penjelasannya.

“Bu Nyoto itu jelmaan dari wanita penghuni sungai Desa Sumber Banyu, tempat dimana kamu sering mandi.” Ucap Simbah yang langsung membuatku merinding.

“Dan Bu Nyoto yang kamu temui tadi, jelmaan dari wanita yang bernama Dara.” Sahut si Kakek.

“Ada juga wanita penjaga sungai yang membelah Desa Jati Luhur dan Desa Jati Bening. Untuk generasi yang sekarang bernama Gadis dan generasi sebelumnya bernama Dayang.” Ucap Simbah yang langsung membuatku bingung.

“Wajah mereka semua sama, karena berasal dari satu aliran sungai yang sama. Tapi yang jelas, mereka mempunyai tugas masing – masing dan cukup sampai disini aja yang perlu kamu ketahui.” Ucap Simbah lagi.

“Sudah cukup jelaskan jawaban dari kami.?” Tanya Si kakek.

“Cukup jelas Kek. Walaupun masih ada yang mengganjal dipikiranku, aku tidak akan bertanya tentang wanita – wanita itu lagi. Aku sekarang sudah melepaskan kekuatanku dan aku tidak punya hak lagi, untuk bertanya lebih dalam tentang wanita – wanita itu lagi, terutama Bu Nyoto atau nama lainnya Dara.” Ucapku.

“Tinggal satu lagi pertanyaanku. Apa yang terjadi kepada diriku saat ini atau esok hari, karena aku sudah melanggar arahan dari Bu Nyoto, dengan meminum air di sumber mata air.?” Tanyaku.

“Sudahlah, tidak usah kau tanya masalah itu dan jalani saja sisa kehidupanmu ini sebagai manusia normal.” Jawab si Kakek.

“Kenapa Kakek gak mau menjawab.?” Tanyaku lagi.

“Karena tidak semua hal perlu kamu ketahui saat ini. Jalani saja kehidupanmu dan semuanya akan kamu ketahui sendiri, seiring dengan berjalannya waktu.” Jawab Simbah lalu berdiri dan diikuti oleh si Kakek.

“Terus.?” Tanyaku dan aku juga ikut berdiri.

“Kita pergi aja. Pusing aku hadapin manusia satu ini. Terlalu banyak tanya.” Ucap si Kakek dan Simbah langsung tersenyum.

“Selamat tinggal Le.” Ucap Simbah.

“Tapi Mbah.” Ucapku terpotong, karena cahaya putih yang terang benderang, langsung muncul dari tubuh Kakek dan Simbah.

Aku pun langsung menutupi wajahku dengan lengan kananku, sambil memejamkan kedua mataku.



Pop Orang Ketiga

Pukul 04.00 dini hari, disebuah rumah didesa Jati Bening.

Lima orang laki – laki sedang duduk diruang tengah, sementara seorang wanita sedang membuat ramuan di dapur.

Lima laki – laki itu bernama Ranajaya (Tuan rumah), Jati (Besan dari Ranajaya), Warji (Ayah dari Darman dan kakek dari Gilang), Darman (Bapaknya Gilang) dan Sastro (Mertua Darman dan keluarga dari Ranajaya). Sementara seorang wanita yang membuat ramuan didapur, adalah istri dari Ranajaya.

Lima laki – laki itu baru saja keluar dari hutan terlarang, dengan kondisi hujan yang sangat lebat dan angin kencang, sambil menggotong seorang pemuda yang terluka parah dan sedang sekarat. Pemuda itu bernama Gilang Adi Pratama.

Pemuda itu sekarang terbaring lemah disalah satu kamar, dengan tubuh yang dipenuhi luka. Luka ditubuh pemuda itu ditutupi daun - daun yang telah dicampur ramuan. Untuk ramuan luka dalam, istri dari Ranajaya sedang membuat ramuannya.

Oh iya. Hujan deras dan angin yang sangat kencang itu baru berhenti, ketika mereka semua telah keluar dari hutan terlarang.

“Terimakasih Kangmas. Sampean berdua sudah banyak membantu menyelamatkan cucuku.” Ucap Warji kepada Jati dan Ranajaya.

“Iya Kangmas, terimakasih banyak. Kalau Kangmas Jati tidak mengirimkan rajawali hitam, mungkin Gilang akan tersesat dihutan terlarang. Dan kalau Kangmas Ranajaya tidak segera memberikan ramuan obat – obatan, kami gak tau bagaimana nasib Gilang.” Ucap Satro kepada Jati dan Ranajaya, sementara Darman hanya diam, karena yang dihadapinya ini orang – orang tua dari Desa Sumber Banyu, Desa Jati Luhur dan Desa Jati Bening.

“Tidak usah berbicara seperti itu Dimas. Gilang itu manusia yang kuat dan hebat. Jarang sekali ada orang yang bisa menembus sampai ke sumber mata air dihutan terlarang, ketika mempunyai suatu tujuan tertentu.” Ucap Jati. (Kangmas = panggilan untuk kakak, Dimas = panggilan untuk adik)

“Apa yang kami lakukan ini, tidak ada apa – apanya dibandingkan dengan perjuangan dari Gilang sendiri.” Sahut Ranajaya.

“Anak itu memang mempunyai kemauan dan niat yang kuat, ketika sudah memiliki satu impian. Dia akan memperjuangkannya, tanpa memperdulikan resikonya.” Ucap Warji sambil melirik ke arah Darman.

“Maafkan anak saya, karena sudah merepotkan dan menyusahkan panjenengan semua” Ucap Darman dengan nada bicara yang sangat santun sekali. (Panjenengan = anda)

“Sudahlah Man. Tidak usah berbicara seperti itu. Yang terpenting saat ini, kita memikirkan bagaimana cara menyembuhkan Gilang secepatnya.” Sahut Jati sambil melihat ke arah Darman, lalu melihat ke arah Ranajaya.

“Untuk luka luarnya, atas ijin dari sang pemilik hidup, istriku kemungkinan bisa menyembuhkan lewat ramuan – ramuannya Kangmas.” Ucap Ranajaya ke Jati.

“Tapi untuk luka dalamnya, istriku hanya bisa mengurangi rasa sakitnya dan tidak bisa menyembuhkannya dengan total. Kalau saja Gilang tidak meminum air dari sumber mata air itu, luka dalamnya kemungkinan bisa disembuhkan.” Ucap Ranajaya dan itu membuat Warji, Satro dan Darman, menundukan kepalanya.

“Begitu ya.?” Ucap Jati sambil mengambil rokok kelobotnya, lalu membakarnya.

Suasana menjadi tegang dan kelima orang itu langsung terdiam dengan lamunan masing – masing.



Pop Gilang.

“Ahhhhhh.” Aku membuka kedua mataku perlahan dan aku terbangun disebuah kamar yang sangat asing bagiku.

Aku langsung duduk dan melihat ke arah sekelilingku. Kepalaku agak pusing dan dadaku terasa sangat sakit sekali.

Cok. Ada apa dengan diriku dan dimana aku ini.?

Aku lalu mencoba mengingat kejadian – kejadian yang aku alami dan perlahan aku teringat sesuatu.

Aku masuk kehutan terlarang dan melakukan ritual untuk membuang kekuatanku. Kondisiku saat itu sangat parah dan tubuhku penuh dengan luka.

Aku lalu menarik ujung kerah pakaian yang aku kenakan dan terlihat luka bekas cakaran macan kumbang yang sudah sembuh.

Siapa yang mengobati lukaku dan siapa yang membawaku kemari.?

“Sudah bangun le.?” Tanya seorang perempuan tua yang masih cantik dan anggun.

Perempuan tua itu membawa secangkir minuman dan beliau tersenyum kepadaku. Beliau adalah Eyang Putri, istri dari Eyang Kakung Ranajaya. Seluruh penduduk desa ini memanggilnya seperti itu, karena selain beliau berdua orang yang terpandang, beliau berdua juga sudah mempunyai cucu.

“I, I, I, iya Eyang.” Jawabku terbata.

“Minumlah ini dulu.” Ucap Eyang Putri sambil menyodorkan cangkir yang dibawanya ke arahku.

“Minuma apa ini Eyang.?” Tanyaku sambil memegang cangkir minuman itu.

Aroma ramuan dedaunan dan rempah – rempah pun, langsung tercium dari arah cangkir yang aku pegang ini.

“Minumlah.” Ucap Eyang Putri dan aku tidak bertanya lagi.

Sruupppp.

Aku menyeruput minuman panas yang rasanya pahit ini beberapa kali, setelah itu aku memegangnya.

“Ahhhhhh.” Ucapku dan dadaku terasa sangat hangat.

Kepalaku tidak sepusing tadi dan sakit didadaku langsung berkurang.

“Jadi Eyang yang mengobati luka Gilang.?” Tanyaku dan beliau hanya tersenyum kepadaku.

“Terus siapa yang membawa Gilang kerumah ini.?” Tanyaku lagi.

“Gak usah banyak tanya dulu. Harusnya Eyang Putri yang tanya, bagaimana kondisimu sekarang.?” Tanya Eyang Putri.

Hiuufftttt, huuuu.

Aku menarik nafasku dalam – dalam, setelah itu mengeluarkannya perlahan.

“Gilang sehat Eyang.” Ucapku lalu aku menyeruput ramuan ini lagi.

Sruupppp.

“Syukurlah.” Ucap Eyang lalu beliau duduk dikursi, didekat kasur tempat aku duduk berselonjor ini.

Aku lalu menggeser dudukku dan duduk dipinggir kasur, dengan kaki yang menjuntai kelantai. Aku minum ramuan ini sampai habis dan Eyang Putri langsung menjulurkan tangan kanannya ke arahku.

“Terimakasih Eyang.” Ucapku sambil menyerahkan cangkir yang sudah kosong kepada Eyang Putri dan beliau langsung tersenyum, lalu meletakan cangkir di meja.

“Bukan hanya untuk ramuan ini, tapi juga untuk semua obat – obatan yang membuat Gilang pulih seperti ini Eyang.” Ucapku dengan nada yang sangat sopan sekali.

“Memangnya sudah tidak terasa sakit lagi.?” Tanya Eyang Putri.

“Iya Eyang. Luka – luka Gilang sudah sembuh dan dada Gilang juga tidak sesak. Kalau bukan karena ramuan Eyang, gak tau bagaimana nasib Gilang saat ini.” Ucapku.

“Bukan karena Eyang Le. Eyang itu hanya perantara dan ramuan obat yang Eyang buat itu hanya medianya saja. Kondisimu sekarang itu, berkat izin dari Sang Pemilik Hidup dan semangat dari dirimu sendiri.” Ucap Eyang.

“Iya tetap saja Eyang. Perantara dan media yang dikirim Sang Pemilik Hidup untuk Gilang, sangat luar biasa. Jadi wajar dong kalau Gilang mengucapkan kata terimakasih. Kata terimakasih untuk perantara dan medianya, kata Syukur untuk Sang Penciptanya.” Ucapku.

“Ternyata, orang yang sekolahnya tinggi, pintar memainkan kata - kata ya.” Ucap Eyang sambil menatapku dengan anggunnya.

“Bu, bu, bukan begitu Eyang.” Ucapku yang salah tingkah, karena ditatap perempuan yang auranya sangat luar biasa ini.

“Sudahlah. lebih baik Gilang istirahat lagi aja.” Ucap Eyang Putri dan beliau mengucapkannya sambil berdiri.

“Untuk apa Gilang beristirahat lagi Eyang.? Gilang sudah sembuh.” Ucapku dan aku juga ikut berdiri dengan agak sempoyongan.

Cok. kenapa kepalaku goyang ya.? Memangnya berapa lama aku dirumah Eyang Ranajaya ini.? Kenapa kok kedua kakiku juga agak gemetar.? Atau jangan – janagn aku belum sembuh sepenuhnya.? Bajingan.

“Duduk dulu Le.” Ucap Eyang Putri, sambil memegang pundakku dan aku langsung duduk kembali.

“Kenapa kedua kaki Gilang agak kaku dan gemetaran Eyang.? Memang berapa lama Gilang terbaring disini.?” Tanyaku ke Eyang Putri.

“Sudahlah, istirahat aja dulu. Jangan terlalu banyak pikiran.” Ucap Eyang Putri.

“Enggak Eyang. Gilang sudah sembuh dan Gilang harus cepat kembali ke Kota Pendidikan, karena Gilang mau ujian akhir.” Ucapku.

“Tapi Gilang belum sembuh total.” Ucap Eyang yang mencoba menahanku.

“Sudah eyang, Gilang sudah sembuh. Gilang hanya butuh perenggangan otot, setelah itu Gilang pasti bisa berjalan seperti biasa.” Ucapku.

“Tapi Le.” Ucap Eyang Putri terpotong, karena aku menatap wajah beliau dengan wajah yang memelas.

“Baiklah kalau Gilang memaksa. Eyang akan buatkan Gilang ramuan, untuk dibawa ke Kota Pendidikan.” Ucap Eyang Putri.

“Terimakasih Eyang.” Ucapku dan beliau langsung keluar dari kamar ini.

Aku lalu menunduk sejenak sambil meluruskan kedua kakiku dilantai.

“Ahhhh.” Ucapku sambil mendangakkan kepalaku keatas dan kedua tanganku berada diujung dipan kasur ini.

Ada apa dengan diriku ini.? Seberapa parah sih lukaku, sampai aku seperti ini.? Terus berapa lama aku ada disini.?

Sudahlah. lebih baik aku merenggangkan otot – ototku dulu, setelah itu aku pulang kerumah untuk pamit kepada keluargaku, lalu aku berangkat ke Kota Pendidikan. Ujianku sudah dekat dan aku harus mempersiapkannya, agar nilaiku bagus dan lulus tepat waktu.

Aku lalu mengangkat pinggulku dan kedua telapak tanganku bertumpu kepada dipan. Setelah itu aku jongkok dengan kedua tangan masih tetap berpegangan pada ujung dipan.

“Hiuuufftttt.” Ucapku yang menahan nafas, lalu dengan bertumpu pada kedua tanganku, aku langsung mengangkat tubuhku dan duduk lagi di dipan kasur.

“Huuuuuu.” Aku hembuskan nafas panjangku dan aku ulangi gerakan itu sebanyak tiga kali.

“Ahhhhh.” Aku berdiri dari tempat tidur sambil mendangakkan kepalaku, setelah itu aku menegakkan kepalaku lagi.

Aku satukan jari – jari tangan kanan dan kiri, lalu aku arahkan kedepan, setelah itu aku luruskan ke atas kepalaku.

“Huuuuu.” Kepalaku sudah tidak berkunang – kunang dan kedua kakiku sudah tidak sekaku tadi.

Aku berjalan ke arah pintu kamar pelan, setelah itu aku melangkah keluar kamar. Tubuhku sedikit bergoyang, tapi aku mampu menyeimbangkan lagi.

“Sudah sehat Le.?” Tanya Eyang Ranajaya yang duduk dikursi goyangnya.

Aku yang terkejut langsung melihat ke arah beliau, yang duduk sambil menggoyangkan kursinya dan menghisap rokok klobotnya.

“Sudah Eyang.” Jawabku sambil mengangguk pelan dan aku menyatukan kedua tanganku didepan selangkanganku.

“Terus.?” Tanya beliau lagi tanpa melihat ke arahku dan kembali beliau mengisap rokoknya.

“Saya pamit pulang Eyang, saya mau kembali ke Kota Pendidikan.” Jawabku.

“Hidup itu bukan hanya sekedar mengejar impan, yang penuh dengan ambisi Le. Hidup itu juga tentang perjalanan untuk kembali kepadaNya.” Ucap Eyang Ranajaya yang langsung membuatku terdiam.

“Tidak ada puasnya ketika kita mendapatkan apa yang di impikan dan tidak ada habisnya ketika kita mengejar yang lain lagi.”

“Berjalanlah semampumu, tersenyumlah seihklasmu, berjuanglah sekuatmu dan jangan pernah memaksakan diri.”

Aku tetap diam mendengarkan beliau berbicara, karena semua yang diucapkan, mengena dihati.

“Aku tau tujuanmu dan aku hanya mengingatkanmu. Kamu boleh mengejar impianmu tapi jangan lupa jalan untuk pulang.” Ucap Eyang Ranajaya dan aku langsung mengangguk pelan.

“Terimakasih nasehatnya Eyang. Sekarang Gilang pamit dulu.” Pamitku dan Eyang Ranajaya hanya mengangguk pelan.

“Kok main langsung pergi aja.” Ucap Eyang Putri sambil membawa sebotol ramuan dengan kedua tangannya.

“Oh iya Eyang.” Ucapku kepada Eyang Putri.

“Bawa ramuan ini dan minum setiap pagi hari, setengah gelas kecil.” Ucap Eyang Putri, sambil menyerahkan botol ramuan itu kepadaku.

“Terimakasih Eyang.” Ucapku sambil mengambil botol ramuan itu, lalu aku meraih tangan kanan beliau dan menciumnya.

“Gilang pamit Eyang.” Pamitku dan beliau langsung membelai rambutku.

“Hati – hati dan jangan lupa pesan Eyang. Jangan sampai telat, apalagi lupa meminum ramuan ini.” Ucap Eyang Putri dan beliau mengucapkannya dengan suara yang bergetar.

Terlihat kesedihan yang amat mendalam dimata beliau, tapi beliau berusaha menutupinya. Entah apa yang membuat beliau bersedih. Apa karena aku masih sakit dan beliau tidak mau berkata jujur.? Entahlah. Aku juga tidak ingin bertanya, dari pada aku tidak di ijinkan pulang dan disuruh menunggu sampai sembuh total.

Akupun langsung mendekat ke arah Eyang Ranajaya yang melihat ke arah taman, melalui jendela rumahnya.

“Gilang pamit Eyang.” Pamitku sambil membungkuk dan meraih tangan kanan beliau, lalu aku menciumnya.

Aku lalu menatap wajah beliau dan beliau tersenyum sambil membelai rambutku.

Aku tegakkan tubuhku lagi, setelah itu aku menganggukan kepalaku pelan, lalu aku melihat ke arah Eyang Putri dan aku juga menganggukan kepalaku pelan.

Aku lalu pergi dari rumah Eyang Ranajaya, dengan berjuta pertanyaan dikepala. Aku merasa ada yang disembunyikan oleh Eyang Ranajaya maupun Eyang Putri. Entah apa itu, tapi aku tidak berani bertanya kepada orang yang paling dihormati di Desa Jati Bening itu.

Hiuuufffttt, huuuuu.

Aku terus berjalan ke arah jalan utama penghubung desa, lalu aku menumpang salah satu kendaraan penduduk desa ini, untuk menuju ke Desaku. Ketika sampai digerbang desaku dan turun dari kendaaran yang aku tumpangi ini,

TINN.

Bunyi klakson dari sebuah mobil dan aku langsung menoleh ke arah belakangku.

“Jiancok. Bisa – bisanya sepuluh hari kamu gak balik kekampus. Ngapain aja kamu disini.?” Tanya Rendi dengan mata yang melotot ke arahku.

Ha.? Sepuluh hari.? Berarti aku tidak sadarkan diri selama sepuluh hari dan selama itu aku terbaring dirumah Eyang Ranajaya.? Bajingan. Parah baget dong aku.? Assuuu.

“Ditanya kok malah diam aja, kutinju biji matamu baru tau rasa kamu.” Ucap Rendi sambil berjalan ke arahku.

“Kamu itu kenapa marah – marah sih.?” Tanyaku dan aku mencoba menenangkan diriku, karena jujur aku sangat bingung dengan keadaanku saat ini.

Aku tidak sadarkan diri selama sepuluh hari dengan luka yang pastinya sangat parah dan setiap hari aku harus meminum ramuan pemberian Eyang Putri.

“Bagaimana aku gak marah, kamu bilang sendiri kalau kamu mau persiapan ujian semester akhir. Tapi kenapa kamu malah menghilang selama sepuluh hari.?” Ucap Rendi dengan nada yang tinggi.

“Yang menghilang itu siapa.? Kan kamu yang antar aku kesini.” Ucapku.

“Ya harusnya kamu itu bilang kalau kamu lama disini, bukan diam saja.” Ucap Rendi.

“Kamu itu kenapa sih.? Kamu kangen sama aku ya.?” Tanyaku.

“Taik.” Ucap Rendi sambil mengambil rokoknya, lalu membakarnya.

“Sama siapa kamu kesini.?” Tanyaku sambil melihat ke arah mobil.

“Sendirilah. Aku itu nekat kesini, soalnya aku nyari kamu kemana – mana gak ketemu.” Jawab Rendi lalu dia menghisap rokoknya.

“Ooooo.” Ucapku dengan cueknya, lalu aku berjalan ke arah mobilnya sebelah kiri dan membuka pintu bagian depannya.

“Bangsatt.” Maki Rendi dan aku langsung masuk kedalam mobilnya dan menutup pintu mobilnya.

Rendi membuang rokoknya, lalu dia berjalan ke arah mobil dan membuka pintunya.

“Aku itu marah sama kamu, kok kamu malah masuk kemobil.?” Tanya Rendi dan dia berdiri sambil memegang pintu mobil yang terbuka.

“Kamu itu kayak perempuan loh Ren. Ngomel aja kerjaannya.” Ucapku dengan santainya.

“Anjingg. Kalau bukan sahabatku, sudah kubuat berdarah itu mulutmu.” Ucap Rendi.

“Sudahlah, gak usah ngomel terus. Kamu kesini mau jemput akukan.? Cepat naik mobil.” Ucapku sambil melirik ke arahnya.

“Anjingg, anjingg.” Gerutu Rendi sambil masuk kedalam mobil, lalu menutupnya dengan kuat.

BRAKKK.

“Kalau kamu gak ikhlas, ngapain kamu datang kesini.?” Tanyaku dengan nada suara yang sangat santai.

“Diam kamu Lang. Kalau enggak, kubuat berdarah beneran itu mulutmu.” Ucap Rendi dan aku hanya tersenyum, melihat tingkahnya yang seperti anak kecil itu.

Aku tau sahabatku ini sangat perhatian kepadaku dan sengaja aku mengajaknya bercanda, supaya dia gak terlalu banyak bertanya tentang keadaanku didesa ini.

Rendi lalu menyalakan mobilnya, setelah itu menjalankannya, tanpa bersuara lagi.

Kembali pikiranku melayang dan aku mencoba mengingat, apa saja yang telah terjadi sepuluh hari ini. Apakah aku hanya terbaring saja atau aku pernah tersadar.? Apakah keluargaku tau dengan kondisiku.? Terus siapa yang membawaku kerumah Mbah Ranajaya ya.?

Aku terus terdiam dan terus mencoba mengingat segalanya.

“Masih melamun kamu.?” Tanya Rendi yang mengejutkanku dan aku langsung tersadar, kalau mobil ini telah berhenti.

Mobil ini berhenti dipinggiran Desa Banyu Bening dan didekat jalan yang menuju ke arah sungai. Rumah Bu Nyoto juga terlihat dari tempat ini, walaupun agak kejauhan.

“Ngapain kita disini Ren.?” Tanyaku Kepada Rendi.

“Aku mau ngobrol sama kamu.” Jawab Rendi singkat, sambil mematikan mesin mobilnya.

“Ngapain juga disini.? Kenapa gak dirumahku aja.?” Tanyaku lagi.

“Gak disini, tapi disungai sana.” Ucap Rendi sambil menunjuk ke arah sungai.

“Oh ya sudah. Kalau begitu aku titip ini disini ya.” Ucapku sambil mengangkat botol ramuan pemberian Eyang Putri tadi.

“Minuman apa itu.?” Tanya Rendi.

“Obat kuat.” Jawabku singkat, sambil membuka pintu mobil, lalu meletakan botol ramuan dikursi.

“Bangsat.” Maki Rendi, lalu dia turun dari mobilnya.

Kami berduapun langsung menyusuri jalan setapak menuju ke arah sungai. Rendi mengeluarkan rokoknya, lalu mengambilnya sebatang dan menyerahkan bungkusan rokoknya kepadaku.

“Tumben Mery gak ikut.?” Tanyaku lalu aku membakar rokok pemberian Rendi.

“Dia lagi persiapan ujian.” Jawab Rendi, lalu dia menghisap rokoknya.

“Oooo.” Ucapku, sambil menganggukan kepala pelan.

Beberapa saat kemudian, kami sudah sampai dipinggir sungai. Kami berdua lalu duduk diatas batu besar, sambil melihat ke arah sungai dan juga hutan terlarang diseberang sana. Hutan terlarang terlihat indah, tenang dan begitu sejuk dipandang mata. Itu berbeda sekali ketika aku masuk kedalam sana sepuluh hari yang lalu. Gila.

“Kamu baru masuk kedalam sana ya Lang.?” Tanya Rendi yang mengejutkanku dan aku langsung melihat ke arahnya.

“Ha.?” Ucapku lalu aku berusaha menenangkan diriku.

“Anjingg. Padahal aku tadi itu asal ngomong aja loh. Tapi setelah melihat ekspresimu seperti ini, aku jadi yakin kalau kamu baru masuk kedalam sana.” Ucap Rendi sambil menoleh ke arahku lalu wajahnya mendekat ke arahku.

“Kamu mau ngapain.?” Tanyaku ketika wajahnya dekat dengan wajahku.

“Berkelahi dengan siapa kamu didalam hutan sana.? Kok wajahmu ada bekas lukanya.?” Tanya Rendi.

“Kamu itu kenapa sih Ren.? Sok tau banget.” Ucapku sambil memalingkan wajahku, melihat ke arah hutan lagi.

“Taik. Jadi kamu gak mau cerita ya.?” Ucap Rendi dan dia juga melihat ke arah hutan juga.

“Gak ada yang perlu diceritakan, karena memang gak ada yang menarik tentang apa yang terjadi dengan diriku.” Jawabku lalu aku menghisap rokokku dalam – dalam dan mematikan puntung rokok yang sudah dekat dengan filternya.

“Jancok.” Ucap Rendi pelan, lalu dia mematikan rokoknya juga.

“Nikmati hidup itu dengan cara sendiri, tanpa perlu melihat orang lain Ren.” Ucapku dan Rendi langsung melihat ke arahku.

“Terus apa keinginan terbesarmu saat ini.?” Tanya Rendi.

“Segera pergi dari kampus teknik kita, dengan membawa sejuta kenangan dari orang – orang yang aku sayangi.” Jawabku.

“Bukan hanya kamu yang akan mengenang orang – orang, tapi kamu juga akan dikenang dengan segala perubahan yang telah kamu lakukan dikampus teknik kita. Suka – atau tidak suka, kamu akan dikenang dengan semangatmu dan kamu akan dikenang karena telah memberikan inspirasi kepada kami semua.” Ucap Rendi.

“Tidak ada yang aku lakukan dan tidak ada yang aku rubah dikampus teknik kita. Semua bisa terjadi karena kebersamaan dan semangat dari seluruh mahasiswa kampus teknik kita.” Ucapku.

“Aku tidak ingin dikenang dan aku ingin pergi bersama kesunyian. Aku ingin ketika melangkahkan kakiku keluar dari Kota Pendidikan, semua orang melupakan Gilang Adi Pratama.” Ucapku lagi.

“DJIANCOK.!!!” Terdengar makian seseorang dari arah belakang kami dan kami berdua langsung melihat ke arah orang itu.

“Koen iku nangdi ae cok. sepuluh dino gak ono kabare. Assuuu.” (Kamu itu kemana aja cok.? Sepuluh hari gak ada kabar. Anjingg.) Ucap Orang itu dengan emosinya dan dia adalah Joko Purnomo, sahabatku yang gila. Dia tidak sendiri, dia datang bersama Zaky yang berdiri disebelahnya.

Aku dan Rendi langsung berdiri, lalu turun dari batu. Kami berdua berjalan ke arah mereka berdua dan Rendi langsung melirik ke arah Zaky. Zakypun membalas tatapan Rendi dan mereka berdua seperti sedang memendam sesuatu.

“Koen iku lapo muring – muring cok.?” (Kamu itu kenapa marah – marah cok.?) Tanyaku ke Joko.

“Koen minggat gak ono kabar cok. nggatheli.” (Kamu pergi gak ada kabar cok. menjengkelkan.) Ucap Joko.

“Seng minggat sopo cok.? Aku loh nde kene ae.” (Yang pergi siapa cok.? Aku loh disini aja.) Ucapku

“Koen ngerti assuu a.?” (Kamu tau anjing kah.?) Tanya Joko.

“Assu iku gak wani njenggong lek ambe seng dikenal, lah terus lapo koen wani njenggong nang aku cok.?” (Anjing itu gak berani menggonggong kalau sama yang dikenal, terus kenapa kamu berani menggonggong ke aku cok.?) Tanyaku dan sengaja aku mengajak Joko bercanda, supaya dia gak marah lagi.

“Hahahahaha.” Rendi dan Zaky langsung tertawa mendengar ucapanku ini.

“Oooo. Kirekkk.” (Oooo. Anjingg.) Maki Joko dengan jengkelnya.

“Hahahahaha.” Aku pun tertawa, lalu aku berjalan melewati Joko dan Zaky, untuk pulang kerumahku.

“Nangdi koen su.” (Mau kemana kamu njing.) Tanya Joko.

“Muleh.” (Pulang.) Jawabku singkat sambil terus berjalan.

“Bajingan.” Ucap Joko.

“Gak ada otak Gilang itu.” Ucap Zaky dengan nada yang terdengar jengkel.

“Ada, tapi nyempil dihidung.” Sahut Rendi.

Aku tidak menghiraukan ucapan mereka bertiga dan aku terus berjalan menyusuri jalan setapak.

Ketiga orang yang itu terdengar mengomel dan terus memakiku, sambil berjalan ke dibelakangku.

Dan didepan jalan setepak sana, terpakir dua mobil. Mobil pertama yang aku tumpangi bersama Rendi dan mobil yang kedua, kelihatannya mobil yang ditumpangi Joko dan Zaky.

“Melu nang omahku ta.?” (Ikut kerumahku kah.?) Tanyaku kepada Joko dan Zaky.

“Dia ini memang gila kah Jok.? Kita ini masih marah sama dia, tapi dia kok nyantai aja.?” Tanya Zaky.

“Gak bisa ngomong aku Ky.” Ucap Joko sambil menggelengkan kepalanya pelan.

Lalu tiba – tiba wajah Joko melihat ke arah Bu Nyoto dan kami bertiga juga melihat ke arah sana.

Terlihat Guntur keluar dari rumah Pak Nyoto bersama Kinanti, lalu mereka berdua naik sepeda motor dan Kinanti memeluk Guntur dengan mesranya.

“Cok. enak itu.” Ucap Joko sambil melirik ke arahku.

“Emang kenapa Jok.?” Tanya Rendi.

“Itu mantannya teman kita, terus sekarang mau nikah sama Guntur.” Jawab Joko sambil melirikku dengan pandangan yang mengejek. Dia seperti ingin membalas dendam, karena aku mencuekinya tadi.

“Uhhhhhhh. Pasti sakit banget itu.” Ucap Zaky sambil memegang dadanya dan terlihat dia juga mau mengejek aku.

“Waktu sakit, datang dengan air mata. Giliran bahagia, malah sama si dia. Djiancok.!!!” Ucap Joko dan lagi – lagi tampangnya membuatku sangat jengkel sekali.

Sebenarnya sih aku biasa aja melihat kemesraan antara Kinanti dan Guntur. Walaupun sebenarnya ada sedikit rasa sakit dihati, tapi itu gak seberapa. Yang membuat sakit hatinya semakin membesar, justru ucapan Joko ini. bajingan.

“HAHAHAHA.” Joko, Rendi dan juga Zaky, tertawa dengan kerasnya.

“Bajingan.” Gumamku.

“HAHAHAHA.” Tawa mereka bertiga semakin keras dan aku hanya bisa menggaruk kepalaku.



#Cuukkk. Ternyata rasa sakit akibat pertempuran itu, tidak seberapa dibandingkan mendengar kata - kata mantan yang akan menikah. Sakitnya luar biasa cok. Bajingan.!!!
 
Akhirnya, forumnya bisa diakses lagi..

Updete siang ya..
Semoga masih bisa dinikmati dan semoga tidak mebingungkan.
Mohon maaf kalau ada typo dan jangan lupan saran serta masukannya.

Salam Hormat dalan Salam Persaudaraan.
:beer::beer::beer:
 
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd