Agen Terpercaya  
 
 
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

CERBUNG - TAMAT I M P I A N 2



BAGIAN 39
KABAR BURUK



Pop Orang Ketiga

Disebuah rumah dipinggiran Kota Pendidikan, tujuh orang berkumpul dan sedang memutar minuman. Tujuh orang itu adalah Black, Joni, Budi, Adri, Saipul, Supri dan Alwi.

“Jadi bagaimana.? Kalian berenam tidak bisa merayu Zaky untuk bergabung dengan kita.?” Tanya Black kepada ke enam anggotanya dan semua yang ditanya itu, tidak ada yang menjawab.

“Hem. Lemah.” Ucap Black dengan nada yang sangat sinis sekali.

“Bukan seperti itu bos. Bos tau sendiri kan Zaky itu seperti apa.?” Ucap Jono.

“Iya, aku paham. Cak Herman sendiripun, tidak bisa memaksa anaknya untuk bergabung dengan kita. Tapi kalian semua kan dekat sekali dengan Zaky, masa kalian tidak bisa merangkul untuk bergabung dengan kita.?” Ucap Black lalu dia menghisap rokoknya.

“Bos, saya kan sudah pernah kasih informasi, kalau Zaky sekarang dekat dengan anak kampus teknik kita dan jarang berkumpul dengan kami lagi.” Sahut Adri.

“Iya, aku ingat itu dan Itulah yang aku takutkan. Kalau Zaky dekat dengan kampus teknik kita, apalagi dengan pondok merah, itu akan mengacaukan semua rencana kita.” Ucap Black lalu dia menuangkan minuman kegelas, setelah itu dia meminumnya.

“Ahhhhh.” Ucap Black setelah dia menghabiskan minumannya.

“Pondok merah sudah cukup lama menguasai kehidupan dunia bawah tanah seluruh kampus yang ada di Kota Pendidikan ini. Dan beberapa tahun ini, kita sudah bisa mulai menggeser dan membagi ‘daerah jajahan’ dengan mereka. Mereka dengan keluarga Jati yang ada dibelakangnya dan kita dengan aliansi selatan yang dipimpin Cak Herman.” Ucap Black sambil menuangkan minuman kegelas lagi, lalu menyerahkan kepada Budi.

“Apa cuman Cak Herman aja yang ada dibelakang kita Bos.?” Tanya Budi sambil menerima gelas dari Black, lalu dia meminumnya.

“Enggak. Kalau cuman Cak Herman, kita pasti tidak ada disini.” Jawab Black dan semua orang yang ada diruangan itu, langsung terkejut.

“Benar dugaanku.” Ucap Budi sambil menyerahkan gelas kosong kepada Black.

“Terus siapa Big Bos kita.?” Tanya Saipul.

“Cak Cakra, musuh bebuyutan dari Irawan Jati.” Jawab Black.

“Cok. Makanya kita bisa melenggang sejauh ini. Rupanya yang ada dibelakang kita setara dengan Irawan Jati ya.?” Ucap Alwi.

“Iya, Pantas aja aliansi selatan bisa sedikit mengimbangi kelompok keluarga Jati.” Sahut Supri dan Black hanya mengangguk sambil terus memutarkan minuman.

“Terus kenapa kita harus terus merayu Zaky masuk dikelompok kita, kalau kita sudah ada kekuatan besar dibelakang kita.?” Tanya Budi.

“Karena Zaky itu memiliki kekuatan yang tersembunyi dan lebih besar dari pada Ayahnya, Cak Herman.” Jawab Black.

“Tau darimana Bos.?” Tanya Budi.

“Dari Cak Cakra dan beliau yang terus memaksaku untuk merekrut Zaky.” Jawab Black.

“Begitu ya Bos.” Ucap Joni sambil menganggukan kepalannya pelan.

“Terus bagaimana tindakan kita selanjutnya Bos.?” Tanya Supri.

“Zaky sekarang dekatnya dengan Gilang dan Joko, yang bukan anggota pondok merah.” Adri yang menjawab pertanyaan Supri.

“Kamu tau dari mana kalau Gilang dan Joko bukan anggota dari pondok merah Dri.?” Tanya Alwi.

“Mereka berdua tinggal dikos berhantu yang melegenda dikota ini dan mereka berdua focus dengan kantor yang mereka kelola.” Jawab Adri lalu dia meminum jatah minumannya.

“Gilang itu terlalu focus dengan pekerjaan dan kuliah, jadi dia tidak mungkin memikirkan masalah dunia bawah tanah.” Ucap Adri lagi.

“Tapi bukan berarti dia tidak kita waspadai. Bisa aja dia anggota pondok merah, tapi tidak kos dipondok merah, seperti Bendu.” Ucap Alwi.

“Iya. Takutnya Zaky malah terbawa oleh permainan Gilang yang tidak kita ketahui.” Sahut Joni.

“Terus bagaimana enaknya.?” Tanya Adri.

“Sebentar dulu Dri. Kamu tadi bilang Gilang dan Joko mempunyai kantor. Apa nama perusahaan mereka itu, PT Biola Sapa Semesta.?” Tanya Black.

“Iya, kok bos tau.?” Adri bertanya balik.

“Aku tau informasi ini dari teman – teman. Kata mereka ada sebuah perusahaan konsultan yang sedang naik daun dan tidak ikut dibawah aliansi selatan ataupun keluarga Jati.” Jawab Black.

“Apa perlu kita mainkan perusahaan itu.?” Sahut Joni dan semua yang ada diruangan ini langsung tersenyum dengan bengisnya.

“Berani kalian sentuh perusahaan itu, aku yang akan kalian hadapi.” Tiba – tiba Zaky muncul diruangan itu dan membuat seisi ruangan terkejut.

Zaky langsung berjalan ke arah mereka dengan tatapan tajam, sambil menikmati rokoknya.

“Zaky sang predator.” Ucap Black kepada Zaky.

“Black. Gilang dan Joko itu, tidak mau mengurusi hal – hal yang tidak penting, seperti yang kalian ributkan ini. Merekapun tidak ada hubungannya dengan pondok merah, makanya aku mau berteman dengan mereka berdua. Mereka hanya pemuda dari desa yang berkuliah sambil mencari sesuap nasi. Jadi jangan sekali – kali kalian menyentuh Gilang, Joko ataupun kantor mereka.” Ucap Zaky sambil menatap Black, lalu menatap keenam temannya bergantian..

“Aku hanya bercanda aja tadi Ky.” Ucap Jony.

“Candaanmu itu gak lucu dan aku risih sekali mendengarnya.” Ucap Zaky,

“Santai Ky, santai. Minum dulu.” Ucap Black lalu tersenyum, untuk mencairkan suasana yang tegang itu,

“Terimakasih Black. Sebenarnya aku tadi kesini, mau bersenang – senang dengan kalian. Tapi ketika mendengar pembicaraan kalian, aku jadi gak mood.” Ucap Zaky, lalu dia menghisap rokoknya lagi, setelah itu dia pergi meninggalkan teman – temannya itu.



Pop Gilang.

“Bagaimana Lang.? Kamu sudah siap dengan judul untuk tugas akhirmu.?” Tanya Pak Tomo yang sekarang sudah menduduki jabatan sebagai Wakil rector urusan kemahasiswaan.

“Judul sudah siap Pak dan saya juga sudah menyelesaikan PKN saya. Setelah ini saya akan mengajukan seminar judul untuk tugas akhir saya.” Jawabku.

“Baguslah. Oh iya, kamu PKN di proyekmu yang ada dikota sebelah ya.?” Tanya Pak Tomo.

“Iya Pak. Dan rencananya untuk tugas akhir saya, saya juga akan mengambil data – data yang ada diproyek itu.” Jawabku.

“Itu bagus, tapi lebih bagus lagi kalau kamu juga membawa teman – teman seangkatanmu.” Ucap Pak Tomo.

“Mohon maaf Pak, yang sudah PKN itu baru saya dan Ratna. Dan rencananya kami juga akan mengambil tugas akhir bareng dengan proyek yang sama, tapi berbeda judul. Ratna akan mengambil manajemen kontruksi, sedangkan saya akan mengambil pondasi strukturnya Pak.”:Ucapku.

“Hem.” Ucap Pak Tomo sambil menganggukan kepalanya pelan.

“Tapi saya akan tetap membantu teman – teman yang rencananya semester depan baru akan PKN Pak. Ada beberapa proyek baru saya yang akan jalan dan datanya bisa digunakan teman – teman.” Ucapku lagi.

“Rupanya kantormu sudah banyak proyek ya.?” Tanya Pak Tomo.

“Iya Pak. Itu semua berkat bantuan Bapak, Ibu Damayanti dan orang – orang yang tidak bisa saya sebutkan satu persatu. Berkat dari orang yang baik dan berkat dari orang yang penuh kasih sayang.” Ucapku dengan suara yang bergetar.

“Berkat perjuanganmu, berkat kerja kerasmu dan berkat kegigihanmu. Kamu memulainya dari nol dan kamu menginspirasi banyak orang.” Ucap Pak Tomo menyambung perkataanku.

“Tapi kamu jangan berbangga hati dulu Kamu masih punya hutang janji denganku.” Ucap Pak Tomo terpotong dan aku langsung mengangguk pelan.

“Iya Pak. Saya paham itu dan saya pasti akan menunaikan janji saya.” Ucapku dan maksud dari Pak Tomo ini, tentu saja aku harus lulus tepat waktu. Aku akan menunaikan janji itu dan aku akan lulus secepatnya.

“Tapi ngomong – ngomong, kamu sehat Lang.?” Tanya Pak Tomo sambil menatapku dengan serius.

“Sehat Pak, emang ada pa ya Pak.?” Tanyaku dengan agak kebingungan.

“Wajahmu agak pucat.” Ucap pak Tomo.

“Ooohh. Saya kurang istirahat Pak. Semalam saya bergadang.” Jawabku.

“Jaga kesehatanmu anak muda. Silahkan kejar semua targetmu, tapi kamu juga harus memperhatikan kesehatan pikiran dan kesehatan tubuhmu.” Ucap Pak Tomo.

“Iya Pak.” Jawabku singkat dan Pak Tomo hanya menatapku saja.

Tatapannya agak berbeda dan itu membuatku sangat canggung sekali. Kelihatannya aku harus pergi sekarang, dari pada pembahasannya bisa melebar kemana – mana.

“Oh iya Pak, mohon maaf. Saya ijin pamit dulu, karena saya harus menyelesaikan beberapa pekerjaan Pak.” Pamitku ke Pak Tomo.

“Hiuufftt, huuu.” Pak Tomo menarik nafas panjangnya, lalu beliau menganggukan kepalanya, tanpa berbicara sedikitpun.

Akupun langsung berdiri sambil menganggukan kepalaku, lalu aku keluar ruangan Pak Tomo.

Hiufftt, huuu.

Hari ini sudah beberapa bulan terlewati, semenjak kejadian dihutan terlarang. Aku sudah menyelesaikan ujian akhirku dan aku juga sudah menyelesaikan PKN ku. Seluruh mata kuliahku juga sudah selesai, termasuk tugas besar dan praktikum. Saat ini fokusku hanya di tugas akhir dan beberapa pekerjaan kantor.

Beberapa bulan kemarin, aku sangat – sangat disibukan oleh urusan kampus dan hari ini baru agak longgar. Aku ingin istirahat satu atau dua hari ini dulu, sebelum berjuang lagi untuk tugas akhir dan kantorku.

Setelah kejadian dihutan terlarang waktu itu, aku juga selalu meminum ramuan dari Eyang Putri Ranajaya dan ketika ramuan habis, pasti ada saja yang mengantarkan ramuan itu kepadaku.

Tapi ngomong – ngomong, hari ini aku lupa meminum ramuan itu, karena aku terburu – buru berangkat kekampus.

Gak apa – apalah, cuman hari ini aja aku gak minum ramuan itu. Besok aku akan meminum ramuan itu lagi.

Hiuuffttt, huuuuu.

Setelah sampai didepan ruangan Pak Tomo, aku ambil rokokku sebatang, lalu aku membakarnya dan menghisapnya.

Cok. kenapa rokok ini terasa hambar dan gak enak banget ya rasanya.? Apa rokok ini sudah kadaluarsa.? Ahhh, masa kadaluarsa.? Memang beberapa hari ini, rokok yang aku hisap tidak enak dan mulutku terasa pahit.

Sudahlah. Mungkin aku lagi ga enak badan aja.

Aku menghisap rokokku lagi dan ketika aku akan melangkahkan kakiku, aku melihat seorang wanita keluar dari gedung sebelah dengan membawa setumpuk dokumen yang dimasukan kedalam kerdus. Wanita itu tampak gugup ketika melihatku dan entah kenapa, kedua kakiku langsung melangkah ke arahnya.

“Kamu mau kemana Ndhis.?” Tanyaku ketika aku sudah berdiri dihadapannya. Akupun tidak memanggilnya dengan sebutan Mba, seperti biasa ketika dikampus.

Gendhis tidak menjawab pertanyaanku dan dia hanya menarik nafasnya dalam – dalam.

Cok. Kok sikap Gendhis agak aneh ya.? Ada apa ini.?

“Mba, kok dibawa sendiri sih.? Sini Jaya bantuin.” Ucap seorang laki – laki muda yang datang dari arah belakangku.

“Oh iya De.” Ucap Gendhis dan laki – lak yang bernama Jaya itu, langsung mengambil kerdus yang dibawa oleh Gendhis.

“Jaya tunggu diparkiran ya Mba.” Ucap Jaya.

“Iya De, tunggu disana sebentar ya. Mba masih ada urusan sebentar.” Sahut Gendhis.

“Iya, tapi jangan lama – lama. Entar Mba ketinggalan pesawat loh.” Ucap Jaya dan aku langsung terkejut dibuatnya.

“Iya.” Jawab Gendhis pelan lalu dia melihat ke arahku.dan Jaya pun langsung pergi meninggalkan kami.

“Kamu mau kemana Ndhis.?” Tanyaku dengan suara yang bergetar.

“Aku mau bertemu Ibuku di Ibukota negara.” Jawab Gendhis.

“Oohh. Kamu kangen sama Ibumu ya.?” Tanyaku dan sekarang nada bicaraku sudah agak santai.

“Iya, aku kangen banget sama Ibuku.” Jawab Gendhis.

“Hiuffttt, huuuu.” Giliran aku yang menarik nafas panjangku, karena entah kenapa aku takut dia pergi dan tidak kembali lagi.

“Selain itu, aku juga ingin pamit dengan Ibuku.” Ucap Gendhis dan detak jantungku tiba – tiba terasa berhenti sesaat.

“Pa, pa, pamit kemana.?” Tanyaku terbata.

“Aku mendapatkan beasiswa untuk melanjutkan pendidikan keluar negeri.” Jawab Gendhis dengan suara yang pelan dan bergetar.

Jawaban Gendhis ini seperti menusuk gendang telingaku dan mencabik – cabik seluruh isi dalam tubuhku.

“Ke, ke, ke, keluar negeri.?” Tanyaku dan kedua mataku langsung berkaca – kaca. Rokok ditanganku langsung terlepas, karena tanganku gemetaran.

“Iya.” Jawab Gendhis dan perlahan dia bisa menguasai dirinya.

Cok. Kok jadi seperti ini sih.? Kenapa dia gak pernah bicara dengan aku, kalau mau melanjutkan pendidikannya keluar negeri.? Memang benar kami gak memiliki ikatan hubungan. Tapi setidaknya dengan semua yang pernah kami lewati, apa salahnya mengucapkan kata pamit beberapa hari yang lalu.? Gak dadakan seperti ini.

Beberapa bulan ini sikap Gendhis memang sangat dingin kepadaku dan aku ingin memperbaikinya, dengan mengajukan dia sebagai salah satu pembimbing tugasku. Tapi rupanya semesta berkehendak lain dan aku harus kehilangan dia, disaat aku benar – benar ingin memperbaiki semuanya.

Niatku hanya ingin memperbaiki saja kok. entah hasil akhirnya kami akan menjadi kekasih atau hanya sebagai sahabat. Aku gak ingin dia bersikap dingin terus kepadaku dan aku ingin lulus dari kampus ini, tanpa meninggalkan ganjalan sedikitpun. Tapi sekali lagi semesta berkehendak lain. Gendhis yang ‘lulus’ duluan dan rencanaku hancur berantakan.

.hiuufftt, huuuuu.

“Apa kamu berencana pergi tanpa berbicara kepadaku ya Ndhis.?” Tanyaku dan aku mencoba menguasai diriku.

“Maksudnya.?” Gendhis bertanya balik.

“Kita bertemu sekarang ini kebetulan kan.? Kalau seandainya kita gak bertemu hari ini, kamu akan pergi begitu saja, tanpa ada sepatah kata buat aku kan.?” Tanyaku sambil menatap matanya.

“Tidak ada yang kebetulan didunia ini Lang. Sang Pencipta sudah mengaturnya dan kita dipertemukan saat ini, ditempat ini.” Jawab Gendhis.

“Ya berarti kita bertemu sekarang, bukan karena keinginanmu, tapi karena Sang Penciptakan.?” Tanyaku.

“Kalaupun aku ada keinginan untuk berpamitan, tapi Sang Pencipta tidak mengijinkan, kamu mau apa.? Mau menyalahkan Sang Pencipta.? Dan kalau saat ini Sang Pencipta menginkan kita bertemu, walaupun kita tidak merencanakan, apa bisa ditolak.?” Tanya Gendhis dan tiba – tiba dadaku terasa sangat sakit sekali.

Sakit ini datang, disaat yang tidak tepat. Aku menahannya sekuat tenaga dan aku tidak ingin menunjukannya dihadapan Gendhis.

“Sekuat apapun kamu berjuang, tapi Sang Pencipta tidak merestui, semua akan sia – sia. Sekuat apapun kamu berlari, tapi Sang Pencipta mentakdirkan untukmu, kamu gak akan bisa menghindar.”

“Terdengar kejam, tapi itulah kenyataan.” Ucap Gendhis dan kembali nada suaranya terdengar bergetar.

“Huft, hu, hiuft, hu.” Aku mengatur nafasku pelan dan perlahan.

Aku berusaha untuk tidak membuat Gendhis curiga dan aku menahan sakit didadaku ini sekuat tenagaku.

Hatiku terasa diremas oleh sakit yang kuderita dan jantungku terasa ditikam oleh kata – kata Gendhis. Tenggorakanku cekat, pikiranku buntu dan perasaanku luluh lantak.

“Sudahlah Lang. gak akan ada habisnya kalau kita berdebat. Waktuku sudah sangat mepet dan aku harus pergi sekarang juga.” Ucap Gendhis sambil melihat ke arah yang lain dan aku tetap diam sambil terus melihat ke arahnya.

“Hiufftttt, huuuuu.” Tarikan nafas Gendhis terdengar berat dan sekarang terlihat dia sedang menahan rasa sedihnya.

“Aku pamit.” Ucap Gendhis tanpa melihat ke arahku, lalu dia berjalan meninggalkan aku dengan linangan air mata yang mulai jatuh dipipinya.

Tap.

Aku memegang dada bagian kiri bawahku, ketika Gendhis sudah berjalan melewati aku.

“Hu, hu, hu, hup, hup, hup, hup.” Aku mencoba menarik nafasku, tapi tidak bisa sama sekali.

Jantungku terasa berhenti berdetak dan aliran darahku terasa berhenti mengalir.

Sakit didada dan kecewa yang begitu mendalam, menyatu ditubuhku. Aku tidak bisa berbuat apa – apa, selain diam sambil terus meremas dadaku dengan kuatnya.

Apa hanya seperti ini saja perpisahan kami berdua.? Tanpa ada pelukan.? Tanpa ada jabat tangan.? Atau setidaknya saling menatap untuk yang terakhir kali.

Kalaupun hati kami tidak bisa saling berpelukan, biarkan jabatan tangan yang mewakilkan. Kalaupun semua itu tidak bisa, biarkan tatapan mata kami yang saling berbicara.

Sakit, ya memang sakit kawan.

Ketika seorang wanita yang menjadi pengisi hatimu pergi dan kamu tidak bisa berbuat sesuatu, itu sangat perih sekali kawan.

Ketika seorang wanita yang jelas – jelas mencintaimu dan kamu tidak bisa membuat keputusan, itu sangat pedih sekali kawan.

Ketika kamu mencintai wanita itu dan kamu tidak sanggup memperjuangkannya, itu sangat sakit sekali kawan.

Perih tapi tak sanggup merintih, itu sangat menyiksa kawan.

Pedih tapi tak sanggup menangis, itu sangat mencekik kawan.

Sakit tapi tidak berdarah, itu bisa membunuh perlahan kawan.

Rasa ini benar – benar membunuh jiwaku, tapi tidak ragaku. Aku seperti hidup tapi tak bernyawa.

Dan tiba – tiba.

Tap.

Tubuhku dipeluk seseorang dari arah belakang. Dada orang itu menempel dipunggungku sangat erat, sampai dadanya menggncet punggungku. Dada seorang wanita tentunya.

Kedua tangan wanita itu masuk disela – sela ketiakku, lalu dia mengelus dada bagian atasku dan turun perlahan. Tangan kananku yang meremas dada bagian bawahku disingkirkannya perlahan, lalu dia menyentuh kebagian yang sakit dengan sangat lembut sekali.

Pelukannya terasa hangat dan sentuhannya terasa menenangkan jiwa. Nyeri didadaku yang teramat sangat sakit ini, perlahan mulai mereda. Setiap sentuhannya ini, terasa diikuti dengan cinta dan kasih yang sangat luar biasa.

Hiuufftt, huuuu.

Akhirnya Gendhis memelukku dan pasti dia tidak akan pergi selamanya, sebelum semuanya berakhir dengan baik.

“Hiuuffttt, huuuuu.” Aku menarik sedikit nafas panjangku dan kembali jantungku mulai berdetak agak cepat.

Terimakasih Sang Pencipta, terimakasih. Kau tidak membiarkan perpisahan kami, menjadi sangat menyedihkan. Walapun akhirnya kami tetap berpisah, tapi setidaknya sakit ini bisa agak berkurang.

“Hiuuuuffttt, huuuuuuu.” Aku menarik nafas panjangku dan dadaku benar – benar sangat lega sekali.

Aku lalu menunduk dan melihat pergelangan tangan wanita yang memelukku ini. Jam tangan logam yang mungil, melingkar di pergelangan tangan kanan wanita ini. Dan pemilik jam tangan ini adalah Ratna.

Ratna.? Jadi yang memelukku dari belakang ini Ratna, bukan Gendhis.? Arrgghhhh.

“Tenangkan hati dan pikiranmu Lang.” Ucap Ratna dengan sangat lembut dan terasa wajah sampingnya menempel dipunggungku

Ratna terus membelai dadaku sangat lembut dan aku tidak menghentikannya. Sebenarnya aku sangat ingin mengejar Gendhis, tapi sisi lain dalam hatiku mencegahnya. Kedua kakiku terasa kaku dan aku tidak bisa menggerakannya.

“Bersabarlah, karena hidup itu gak selamanya indah. Ikhlaslah, karena itu yang bisa mengembalikanmu kejalur ke kehidupan yang indah. Kuatlah dan percayalah, kalau kamu mampu melewatinya.” Ucap Ratna dengan suara merdunya dan aku langsung menegakkan kepalaku lagi.

“Hiuuuuffttt, huuuuuuu.” Kembali aku menarik nafas panjangku dan Ratna langsung mengendurkan pelukannya.

Diangkat wajahnya yang menempel dipunggungku dan perlahan dia melepaskan pelukannya.

Aku langsung membalikan tubuhku dan senyum Ratna langsung menyambutku.

“Apa ada cinta yang akan mendampingi aku, untuk menemukan indahnya kehidupan.?” Tanyaku sambil menatap matanya.

“Tanyakan pada hatimu, karena hanya dia yang bisa menjawabnya.” Ucap Ratna, sambil menunjuk ke arah bagian hatiku dengan sentuhannya yang lembut.

Aku langsung menundukan kepalaku sejenak, lalu aku menegakan kepalaku lagi sambil melihat ke arah sampingku. Aku tidak sanggup menatap mata Ratna lebih lama, karena ada cinta disitu dan aku takut menyakitinya.

Dan ketika aku menoleh itu, terlihat Pak Tomo berdiri diseberang gedung sambil menghisap rokoknya. Tatapannya datar dan dia langsung membalikan tubuhnya, lalu berjalan masuk kedalam gedung lagi.

“Lang, Gilang.” Tiba – tiba dari arah belakang Ratna, Gandi berlari ke arah kami. Wajahnya terlihat babak belur dan darah keluar dari hidung serta mulutnya.

“Gandi. Kenapa kamu.?” Tanya Ratna yang membalikan tubuhnya, lalu berdiri disebelah kiriku. Gandi langsung berhenti dihadapanku dan nafasnya tersengal – sengal.

“Ada anak mahasiswa baru yang menghajar teman – teman kita. Hu, hu, hu.” Ucap Gandi, lalu dia membungkuk dan kedua tangannya bertumpu pada kedua lututnya. Gandi melihat ke arah Ratna, lalu melihat ke arahku.

“Terus kenapa kamu cari Gilang.?” Tanya Ratna, sambil merangkul tangan kananku. Dia seperti menahanku dan tidak ingin aku mencampuri masalah yang dibawa Gandi ini.

“Kalau dia masalahnya dengan kami, aku tidak akan mencari Gilang Rat.” Ucap Gandi sambil menegakkan tubuhnya lagi.

“Terus.?” Tanya Ratna sambil menguatkan rangkulannya dilenganku.

“Mahasiswa baru yang bernama Alan itu, mencari Gilang sang legenda. Kalau sampai Gilang gak datang, dia akan menghabisi semua angkatan kita yang laki – laki.” Jawab Gandi dan aku langsung menggelengkan kepalaku pelan.

“Lang.” Panggil Ratna dan aku langsung menoleh ke arahnya.

“Aku harus kesana, karena dia mencariku.” Ucapku ke Ratna, sambil memegang punggung tangan kanannya yang merangkul tangan kiriku.

“Tapi Lang.?” Ucap Ratna terpotong, karena aku meremas punggung tangannya dengan lembut.

“Aku janji tidak akan berkelahi.” Ucapku lalu aku tersenyum.

“Tapi kalau dia memukulmu.?” Tanya Ratna dengan wajah yang sangat khawatir.

“Kamu percaya sama akukan.?” Aku bertanya balik ke Ratna dan Ratna langsung menghela nafas panjangnya.

“Aku ikut kesana.” Ucap Ratna dan dia tidak melepaskan rangkulannya.

Aku langsung menganggukan kepalaku pelan, setelah itu aku melihat ke arah Gandi.

“Kita kesana Gan.” Ucapku ke Gandi.

“Ayo.” Ucap Gandi sambil membalikan tubuhnya dan kami bertiga langsung menuju ke gedung kuliah jurusan teknik sipil.

Dan pada saat kami berjalan, kami berpapasan dengan sebuah mobil. Kami berjalan disebelah kanan dan kaca mobil bagian kiri terturun sedikit, sehingga memperlihatkan penumpang wanita yang duduk disebelah kiri depan.

Wanita itu adalah Gendhis dan dia melirikku dengan tatapan yang datar. Ratna menatap lurus kedepan dengan tetap merangkul tanganku dan dia tidak mengetahui kalau wanita yang ada didalam mobil itu adalah Gendhis.

Cok. Jadi mobil yang ditumpangi Gendhis parkir di parkiran samping dan baru saja keluar. Kenapa.? Apa dia ada keperluan yang lain atau dia sengaja menungguku untuk menemuinya.? Bajingan.

Mobil itu terus berlalu dan aku hanya bisa menangis didalam hati ini saja. Kakiku terus melangkah dan tatapan mataku kosong seketika.

PAK, BUHG, PAK, BUHG, PAK, BUHG, PAK, BUHG.

Suara baku hantam dari arah lapangan yang ada didepan gedung kuliah teknik sipil, langsung menyadarkan aku.

Seorang mahasiswa baru menghajar Naryo dan belasan teman – temanku tergeletak ditengah lapangan.

Mahasiswa baru itu menggila dengan serangannya dan dia membantai Naryo yang sudah berdarah – darah itu.

Kami bertiga menghentikan langkah dan Ratna langsung mengeratkan rangkulannya di lenganku.

“Rat. Aku mau menyelesaikan masalahku sebentar ya.” Ucapku sambil memegang punggung tangan kanan Ratna lagi.

“Lang.” Ucap Ratna sambil menetapku dengan mata yang berkaca – kaca.

“Kalau aku gak menghentikan anak itu, kasihan Naryo dan teman – teman kita yang lain.” Ucapku dengan tenangnya.

“Tapi Lang.” Ucap Ratna yang ketakutan.

“Kamu percaya aku kan.?” Tanyaku sambil meremas punggung tangannya pelan.

Ratna langsung melepaskan rangkulannya dilenganku, diiringi dengan butiran air matanya yang mulai terjatuh.

“Aku janji tidak akan berkelahi.” Ucapku sambil menghusap air mata Ratna dan Ratna langsung memejamkan kedua matanya sesaat.

Aku lalu melihat ke arah mahasiswa baru itu dan dia masih menghajar Naryo.

PAK, BUHG, PAK, BUHG, PAK, BUHG, PAK, BUHG.

Aku berjalan ke arahnya, sambil mengambil rokokku dikantong belakang. Aku lalu menghentikan langkahku sebentar, untuk membakar rokokku. Setelah aku mengantongi rokokku dikantong belakang, aku berjalan lagi sambil menghisap rokokku yang kembali terasa hambar ini.

BUHHGGG, BUHHGGG. BUUMMMM.

Sebuah pukulan dan diakhiri tendangan ke arah wajah Naryo, membuat temanku itu langsung tergeletak dilapangan dengan bersimbah darah.

“MANA YANG NAMANYA GILANG.? MANA.?” Teriak mahasiswa baru yang bernama Alan itu.

“Kenapa kamu cari Gilang.?” Tanyaku kepada Alan, sambil menghentikan langkahku tidak jauh darinya.

“Kamu Gilang atau bukan.? Kalau kamu bukan Gilang, lebih baik kamu pergi atau kubantai kamu sekarang juga.” Ucap Alan sambil menunjuk wajahku.

“Kalau aku Gilang.?” Tanyaku dengan tenangnya.

“Kamu akan tetap kubantai dan pasti akan lebih parah.” Ucap Alan dengan emosinya.

“Kenapa.? Apa aku punya masalah sama kamu.?” Tanyaku lalu aku menghisap rokokku yang semakin lama semakin tidak terasa enak ini.

“Jadi kamu yang namanya Gilang.?” Tanya Alan sambil berjalan ke arahku.

“Iya, emang kenapa.?” Tanyaku dan entah kenapa, aku tidak emosi menghadapi pemuda satu ini.

Aku sangat tenang dan aku ingin berbicara sebentar dengannya. Sebenarnya aku tidak ada niat melawan anak ini, kalau dia langsung datang menemui aku. Walaupun dia membantaiku, aku mungkin tidak akan melawannya. Aku sudah tidak mau berkelahi dan aku mau menikmati sisa – sisa kuliahku dikampus ini dengan tenang. Tapi karena dia sudah membantai teman – temanku, mungkin aku akan memberikan sedikit pelajaran untuknya.

“Aku mau beduel dengan kamu, karena menurut informasi yang kudapat, aku harus melawan kamu dulu sebelum lawan Mas Pandu.” Jawab Alan.

“Apa hubungannya aku dengan Mas Pandu.?” Tanyaku.

“Karena orang itu yang bantai aku waktu ospek kemarin.” Jawab Alan.

“Terus hubungannya sama aku apa.?” Tanyaku sambil menatap matanya.

“Kamu salah satu orang terkuat di teknik sipil dan namamu telah melegenda. Kalau aku bisa mengalahkan kamu, berarti aku bisa melawan Mas pandu.” Jawab Alan sambil membalas tatapanku.

Tatapan mata anak ini, mengisyaratkan kalau dia sebenarnya anak baik. Tapi mungkin karena kegiatan ospek terlalu keras dan Mas Pandu kelewatan, akhirnya dia nekat seperti ini.

“Aku itu bukan siapa – siapa dan aku tidak mau berkelahi. Tapi karena kamu sudah membantai teman – temanku, mau tidak mau aku harus melawan kamu.” Ucapku lalu aku menghisap rokokku.

“Persetanlah.” Ucap Alan sambil mengarahkan sebuah tinjuan ke arah wajah sebelah kiriku, tepatnya ditulang dekat mata kiriku.

BUHGGGG.

“ARGGHHH.” Aku merintih kesakitan dan rokokku langsung terjatuh entah kemana.

Aku oleng kekanan dan tubuhku terasa melayang. Aku mau roboh dan seseroang langsung menangkap tubuhku.

Cok. Kok aku jadi lemah seperti ini sih.? Dulu menahan pukulan seperti ini bahkan lebih keras lagi, aku masih berdiri tegak. Tapi kenapa terkena pukulan seperti ini tubuhku langsung oleng.? Apa mata hitam dan mata bening membawa semua kekuatan yang ada didiriku.? Bajingan.

“GILANG.” Terdengar teriakan Ratnya yang sangat histeris.

“BANGSAT.” Terdengar makian dari arah belakangku dan orang itu langsung berlari ke arah Alan dengan cepatnya.

BUHGGGG.

“ARRGGHHH.” Teriak Alan kesakitan, setelah sebuah tendangan mengenai dadanya dengan telak dan Alan langsung terlempar kebelakang. Alan langsung jatuh terlentang dan dia langsung terguling – guling sambil memegangi dadanya.

Dan orang yang menendang dada Alan itu adalah Rendi Van Gerrit, sementara yang memegangi tubuhku adalah Bendu. Bendu terlihat sangat emosi sambil terus memegangi tubuhku.

“Kamu mau jadi preman ya.?” Tanya Rendi sambil mendekat ke arah Alan yang terguling – guling, lalu Rendi memegang kerah baju Alan dan menariknya sedikit keatas.

“Bajingan.” Ucap Rendi yang terlihat tenang tapi dia tidak bisa menyembunyikan emosinya.

BUHGGGG, BUHGGGG, BUHGGGG, BUHGGGG, BUHGGGG, BUHGGGG.

Rendi menghantam wajah Alan dengan brutalnya, sambil terus memegang kerah baju Alan.

“ARRGGHHH.” Alan merintih kesakitan dan wajahnya langsung berdarah – darah.

BUHGGGG, BUHGGGG, BUHGGGG, BUHGGGG, BUHGGGG, BUHGGGG.

Rendi terus menghajarnya, tanpa memberikan kesempatan Alan untuk bangkit.

BUHGGGG, BUHGGGG, BUHGGGG, BUHGGGG, BUHGGGG, BUHGGGG.

Wajah Rendi terlihat ingin membunuh Alan yang sudah tidak berdaya itu.

Akupun langsung melepaskan pegangan tangan Bendu yang masih menahan tubuhku.

“Bantai dia Lang, bantai.” Ucap Bendu sambil melepaskan pegangannya.

Aku tidak menghiraukan ucapan Bendu dan cukup sudah Rendi menghajar Alan. Dia sudah sangat parah dan melebihi parahnya teman – temanku yang dibantainya. Kalau aku tidak menghentikan kebrutalan Rendi, bisa – bisa Alan mati dilapangan ini.

BUHGGGG, BUHGGGG, BUHGGGG, BUHGGGG, BUHGGGG, BUHGGGG.

Alan sudah tidak bergerak lagi dan wajahnya dipenuhi darah.

“Ren. Cukup.” Ucapku sambil memegang pundak Rendi dan Rendi langsung menghentikan serangannya, sambil melihat ke arahku.

“Kamu yang bantai atau aku yang bunuh bajingan satu ini.?” Tanya Rendi sambil melepaskan peagangannya dikerah baju Alan dan Alan langsung terlentang dengan kondisi yang sangat mengenaskan.

“Dia sudah cukup mendapatkan balasan Ren.” Ucapku dan Rendi langsung memalingkan wajahnya ke arah Alan, sambil mengangkat kaki kanannya.

Rendi terlihat semakin emosi dan ingin menginjak wajah Alan. Aku pun langsung menarik tubuh Rendi dengan cepat.

“Cukup Ren.” Ucapku sambil menariknya kebelakang, lalu aku menahan dadanya.

“Dia berani mukul kamu, berarti dia menyakiti aku Lang.” Ucap Rendi dan emosi masih terpancar dimatanya.

“Anak itu sudah cukup mendapatkan balasan dan aku sudah memaafkan dia.” Ucapku yang mencoba menenangkan Rendi yang ingin menggila lagi.

“Tapi aku gak memaafkan dia Lang.” Ucap Rendi.

“Kalau begitu, aku aja yang kamu bantai.” Ucapku sambil melepaskan telapak tanganku yang menahan dada Rendi.

“COK.” maki Rendi sambil menggelengkan kepalanya.

“Dia anak baik Ren. Kamu percaya sama aku kan.?” Ucapku ke Rendi, sambil memegang pundaknya dan Rendi hanya menatapku.

Aku langsung merangkul pundak Rendi dan mengajaknya berjalan ke arah pinggir lapangan.

“Kalau kamu menganggap aku sahabat atau saudaramu, tenangkan dirimu.” Ucapku sambil terus merangkulnya.

“Itupun kalau kamu menganggap aku saudara atau sahabatmu. Tapi kalau enggak, ya udah, lanjutkan lagi kegilaanmu.” Ucapku sambil menghentikaan langkahku dan melepaskan rangkulanku dipundak Rendi.

“Taik kamu itu Lang.” Gumam Rendi, tapi dia tidak kembali ke arah Alan.

“Pikiranmu gak boleh kalah sama emosimu. Kamu boleh menggunakan kepalan tanganmu, tapi otakmu jangan kamu tinggalkan. Bertindak sambil menggunakan otak, itu lebih elegan untuk Rendi calon panglima pondok merah.” Ucapku sambil menepuk pundaknya pelan.

Rendipun langsung menunduk, sambil menggelengkan kepalanya.

Aku langsung melihat ke arah lapangan dan semua teman – temanku yang terbantai, sudah bisa berdiri sambil merintih kesakitan. Sedangkan Alan, Alan masih tergeletak dilapangan dan dia masih belum bergerak.

“Lihat aku kawan, lihatlah. Orang yang katanya menjadi legenda dan banyak yang mencari, tapi ternyata lemah. Aku tidak bisa berbuat apa – apa ketika kalian semua terbantai dan aku tidak mempunyai kekuatan untuk menghadapi seorang mahasiswa baru. Terus untuk apa orang – orang menjadikan aku legenda.?” Ucapku sambil melihat ke arah teman – temanku bergantian.

“Legenda itu orang yang patut dijadikan panutan, bukan orang yang bisanya hanya menyusahkan dan menjerumuskan dalam permasalahan.”

“Tidak ada yang pantas di diri Gilang Adi Pratama untuk dijadikan panutan.”

“Kalianlah legenda – legenda yang sebenarnya, dengan segala yang ada di diri kalian sendiri.”

“Aku adalah aku, dan aku hanya butiran debu dikebesaran dan keagungan kampus teknik kita ini.”

“Maaf kawan, aku mohon maaf dan ini dari dalam hatiku yang terdalam.”

“Aku mohon maaf kepada kalian semua.”

“Maafkan aku, karena aku kalian jadi seperti ini. Maafkan aku, karena aku hanya membuat masalah bagi kita semua. Maafkan aku, karena harusnya aku yang terbantai, bukan kalian semua.” Ucapku dan satu persatu wajah teman – temanku langsung tertunduk.

“Rasa sakit kalian semua, sudah dibalaskan oleh Rendi. Jadi aku mohon masalah ini selesai sampai disini dan tidak ada dendam yang mengganjal.” Ucapku dan tidak ada yang menyahut ucapanku ini.

“Aku juga minta maaf sama kamu Ren.” Ucapku sambil melihat ke arah Rendi dan dia langsung mengangkat wajahnya.

“Dan kalau boleh aku meminta, tolong jadikan dia keluarga pondok merah.” Ucapku sambil menunjuk ke arah Alan yang masih tergeletak.

“Tapi Lang.” Ucap Rendi yang terkejut dan terpotong.

“Gunakan pikiranmu dengan tenang, maka kamu akan bisa menilai seseorang itu seperti apa. Aku yakin kamu bisa, karena kamu akan menjadi orang yang hebat.” Ucapku sambil menepuk pundak Rendi, lalu aku berjalan meninggalkannya.

“Bangsatt.” Gumam Rendi pelan dan aku tidak menghiraukannya.

“Ndu, tolong dirawat anak itu ya.” Ucapku kepada Bendu, ketika aku melewatinya.

“Tapi Lang.” Ucap Bendu dan aku juga tidak menghiraukannya.

“Djiancok koen iku Lang.” (Djiancok kamu itu Lang.) Maki Bendu.

Aku terus berjalan dan pandanganku lurus ke arah depan, melihat Ratna yang menatapku dengan senyum menyedihkan.

Kedua tangannya diarahkan kepadaku dan dia langsung berjalan ke arahku.

“Gilang.” Ucapnya dengan mata yang berkaca – kaca dan Ratna langsung memelukku dengan sangat erat.

“Sudahlah Rat. Gak pantas seorang wanita sebaik kamu, mengkhawatirkan aku sipembuat masalah ini,” Ucapku sambil membalas pelukan Ratna dan aku langsung mengelus punggungnya pelan.

“Kamu hebat Lang, kamu hebat. Walaupun kamu tidak mau menggap dirimu sebagai panutan, tapi bagiku kamu segalanya.” Ucap Ratna sambil mengendurkan pelukanya dan dia menatap wajahku.

“Kamu panutanku dan kamu yang membuat aku bisa berdiri dikampus ini sampai saat ini. Kamu dengan segala yang ada dirimu, mampu membawaku terbang tinggi dikampus teknik kita.” Ucap Ratna sambil melepaskan pelukannya, lalu dia membelai pipi kananku.

“Kampus teknik yang katanya sangat sulit menembus titik tertinggi yang bernama kelulusan, kamu bisa mendobraknya dan kamu membawaku selangkah lagi untuk lulus tepat waktu. Gila gak.?” Ucap Ratna dengan mata yang berkaca – kaca.

“Aku yang awalnya sempat minder dan tidak percaya diri ketika masuk dikampus yang gila ini, langsung percaya diri ketika bertemu denganmu pertama kali dulu.” Ucap Ratna sambil memundurkan tubuhnya, lalu dia menujulurkan tangan kanannya ke arahku.

“Panggil aja Ratna Mas, Ratna Silvi Juwita.” Ucap Ratna dan kata – kata itu sama persis ketika kami pertema kali bertemu dan berkenalan.

Aku lalu menjulurkan tangan kananku dan menjabat tangan Ratna dengan sangat lembut. Ratna langsung tersenyum dan senyumnya itu sangat – sangat manis sekali.

Ratna menarik tanganku pelan, lalu dia memelukku lagi dengan erat.

Dada kami yang merapat ini, mampu menenangkan seluruh tubuhku dan membuat pikiranku diselimuti kesejukan serta kedamaian.

Aku membelai rambutnya pelan dan Ratna mengelus punggungku dengan lembut.

“Bangsatt.” Gerutu Rendi yang berjalan melewati kami dan dia bersama Bendu, memapah Alan yang belum sadarkan diri.

Ratna langsung melepaskan peluakannya dan berdiri disampingku.

“Ikhlas.” Ucapku singkat kepada Rendi dan juga Bendu, yang sudah beberapa langkah didepan kami.

“Ikhlas lambemu iku.” (Ikhlas mulutmu itu.) Sahut Bendu dan mereka berdua tidak menoleh ke arahku.

“Sudah Lang, sudah. Jadi orang kok usil banget sih.” Ucap Ratna sambil merangkul tangan kiriku.

“Bukannya usil, tapi menyisipkan sebuah pesan ditengah candaan itu gak salahkan.?” Ucapku.

“Pesan.? Emang kamu mau kemana.?” Tanya Ratna sambil melihat kearahku.

“Kan aku mau lulus.” Jawabku dan aku juga melihat kearahnya.

“Seminar judul aja belum, kok bahas lulus.” Ucap Ratna sambil menarik tanganku pelan dan kami berdua berjalan ke arah luar kampus.

“Terus kita mau kemana ini.?” Tanyaku.

“Kita nongkrong dicafe aja yuk. Entar pulang dari café, kamu antar aku balik.” Ucap Ratna.

“Jangan ah. Kita balik aja dulu kerumah untuk pamitan, biar kamu gak dicari.” Ucapku.

“Boleh juga.” Ucap Ratna dengan senangnya dan kami terus berjalan.

“Tapi kita naik angkot ya. Aku gak bawa kimba.” Ucapku.

“Iya gak apa – apa.” Ucap Ratna dan tiba – tiba ada sebuah mobil dari arah belakang kami berhenti didekatku.

Kaca mobil bagian depan sebelah kiri terturun, sampai memperlihatkan si pengemudi yang ternyata Pak Tomo. Kami berdua terkejut dan Ratna langsung melepaskan rangkulannya ditanganku.

“Om.” Ucap Ratna dan Pak Tomo langsung melihat ke arah Ratna.

“Pak.” Sapaku dan Pak Tomo tidak melihat ke arahku.

“Kita pulang bareng.” Ucap Pak Tomo ke Ratna.

Aku dan Ratna saling melihat sejenak, lalu melihat ke arah Pak Tomo lagi.

“I, I, I, iya Om.” Jawab Ratna tanpa berani menolaknya.

Ratna langsung membuka pintu mobil sebelah kiri dan dia langsung masuk kedalam mobil. Pak Tomo langsung melihat ke arah depan dan tidak melihat ataupun menyapaku sama sekali.

Ratna melihat ke arahku dan aku hanya mengangguk sambil tersenyum.

Mobil lalu berjalan dan aku langsung menarik nafas panjangku.

Hiuufftt, huuuu.

Aku berjalan ke arah kosan dan tulang sebelah kiri didekat mataku, terasa nyut - nyutan akibat dipukul Alan tadi.

Cok. hari yang sangat melelahkan dan sangat menguras emosi pikiran. Marah, senang, benci, dan cinta, datang silih berganti.

Ini semua pasti rencana Sang Pencipta, untuk jalan hidupku kedepan. Aku yang tidak ingin orang mengenangkanku dikampus teknik kita, harus bertemu dengan Alan. Walaupun jalannya dengan menyakiti teman – temanku dan aku sangat menyesali itu, tapi aku yakin itu akan mempermudah jalanku, untuk sedikit menghilangkan ingatan orang – orang tentang aku yang dulunya pernah bringas dalam bertarung.

Orang – orang akan menganggapku lemah dan aku pasti akan terlupakan dengan sendirinya.

Hiufftt, huuuu.

Aku terus berjalan dan kembali aku mengeluarkan bungkusan rokokku. Aku bakar rokok ditanganku dan rasanya tetap saja tidak enak.

Aku sengaja berjalan melewati kos Barbara dan berharap bertemu dengan Gendhis, untuk yang terakahir kalinya. Tapi ketika aku melewati kosan Barbara, mobil yang dinaiki Gendhis tidak terlihat dan dia pasti sudah menuju ke arah bandara.

Rasa kecewa yang begitu mendalam kembali hadir didalam hatiku dan aku berusaha untuk menenangkan diriku.

Hambar dan perutku terasa mual, ketika aku menghisap rokokku lagi. Aku lalu membuang rokokku yang masih agak panjang, karena rasanya sangat menyiksa tenggorokan.

Kembali aku berjalan kekosan dan ketika aku sampai di dekat kosanku, terdengar suara seseorang didekat pagar kosanku. Aku lalu menghentikan langkahku dan orang itu ternyata Zaky yang sedang menelepon seseorang menggunakan hpnya.

“Aku sudah bilang sama kamu Black, jangan ganggu perusahaan temanku. Tapi rupanya kamu mau melihat keseriusanku ya.?” Ucap Zaky yang berdiri memunggungi aku dan dia tidak sadar aku berdiri dibelakangnya.

“…..”

“Aku gak perduli dan kita harus bertemu secepatnya. Kamu sendiri ataupun bersama teman – temanmu yang lain, aku tidak akan gentar sedikitpun.” Ucap Zaky yang terdengar emosi.

“…..”

“Persetan. Aku gak butuh penjelasanmu.” Ucap Zaky lalu dia menutup Hpnya, setelah itu dia berjalan ke arah pintu kosanku dan dia tetap tidak mengetahui kedatanganku.

Cok. Sangar juga Zaky kalau marah. Tapi ngomong – ngomong, dia ini kuliah nyambi keamanan perusahaan ya.? Kok dia marah sama orang yang ditelponnya.? Wahh, preman kelas kakap juga Zaky ini.

Aku lalu berjalan ke arah pintu kosanku dan terdengar teman – temanku sedang ngobrol diruang tengah. Joko, Mas Candra, Mas Jago dan juga Zaky.

“Bajingan. Siapa sih yang berani ganggu proyek kita.?” Terdengar suara Joko yang sangat emosi.

Waw. Siapa yang berani ganggu proyek kami ya.? Ada masalah apa mereka dengan kami.? Kami tidak pernah mengganggu ataupun merebut proyek orang lain, tapi kenapa ada yang ganggu.? Bajingan.

“Apa perlu orang – orang bayaranku bantu keamanan proyekmu.?” Terdengar suara Mas Jago yang sangat santai sekali.

“Gak perlu Mas. Aku sendiri yang akan mencari orang – orang itu.” Ucap Joko.

“Sudahlah, gak usah dibahas lagi. Mereka itu pasti cuman menggertak dan besok – besok tidak akan menggangu proyek kalian.” Ucap Zaky dan aku langsung terkejut dibuatnya.

Apa tadi Zaky menelpon orang yang mengganggu proyek kami.? Kalau iya, berarti Zaky kenal dengan mereka dong. Kira – kira siapa ya.?

“Di Kota ini hanya ada dua kelompok yang bermain didunia keamanan proyek. Yang pertama kelompok keluarga Jati dan yang kedua aliansi selatan. Kalau kita berlindung disalah satu kelompok itu, proyek kita akan aman – aman saja.” Ucap Mas Candra.

“Dan itu berarti kita harus memberi upeti ya.?” Tanyaku yang berdiri didepan pintu dan mereka semua langsung melihat ke arahku.

“Pastilah.” Jawab Mas Candra.

“Enggak Mas, aku paling anti sama hal yang seperti itu. Orang – orang seperti itu, biasanya hanya mencari keuntungan saja. Kalau tidak ada masalah dengan proyek kita, mereka – mereka juga yang akan membuat masalah, lalu yang lain datang mencoba menjadi penyelamat.” Ucapku sambil berjalan ke arah mereka.

“Aku sepakat sama Gilang. Kalau menurutku, mereka itu hanya menggertak saja. Mereka hanya menakut - nakuti dan kalau kita larut dalam permainan mereka, mau tidak mau akhirnya kita bergabung dengan mereka.” Ucap Zaky dan aku langsung melihat ke arahnya.

“Justru itu Ky. Gertakan mereka jangan dilawan dengan gertakan. Gertakan mereka harus dilawan dengan kepalan tangan, supaya menjadi efek jera bagi yang lain.” Ucap Joko sambil mengepalkan tangan kanannya.

“Tenang Jok, tenang. Kita harus bermain cantik.” Ucap Mas Candra.

“Gak perlu cantik – cantikan Mas. Langsung bantai saja, biar kita gak dianggap remeh.” Ucap Joko yang ngotot.

“Santai Jok, santai. Aku setuju dengan apa yang diucapkan Mas Candra.” Ucapku yang menenangkan Joko.

“Cok. Kok kamu kembali tenang gitu sih.? Padahal kemarin – kemarin kamu senang dengan yang namanya aroma geger geden (ribut besar).” Ucap Joko dan aku hanya tersenyum saja.

“Iya. kok aku ngerasa ada yang berbeda sama Gilang, semenjak dari desa Sumber Banyu waktu itu ya.?” Ucap Mas Jago sambil menatapku dengan penuh selidik.

“Gak ada yang berubah dari saya Mas. Saya cuman gak ingin ada keributan. Itu saja.” Ucapku sambil meraih bungkusan rokok Mas Jago dan aku ingin merasakan rokok yang lain dari punyaku. Apakah rasanya sama aja dengan rokokku yang hambar atau waktunya aku ganti rokok.?

“Assuuu. Angel wes lek arek iki ngomong ngono. Gak iso dibantah.” (Anjingg. Susah sudah kalau anak ini bicara seperti itu. Gak bisa dibantah.) Gerutu Joko.

“Sudah – sudah. Gak usah dibahas lagi. Lebih baik kita bahas masalah pekerjaan dilapangan.” Ucap Mas Candra.

“Ini kan juga salah satu masalah dilapangan Mas.” Sahut Joko.

“Jok. Masalah itu gak usah dibahas lagi. Masih banyak masalah lain yang harus perlu kita bicarakan.” Ucapku lalu aku membakar rokok yang aku pegang, setelah itu aku menghisapnya.

Rokok yang kuhisap ternyata rasanya sama – sama hambar dan justru makin gak enak saja. Dadaku pun terasa nyeri karena isapan rokok ini dan aku langsung meletakkan batang rokok diasbak.

“Sakarebmu.” (Terserah kamu.) Ucap Joko dengan nada yang sangat tidak ikhlas.

“Hahaha. Joko Jinaknya sama Gilang aja. Hahaha.” Ucap Mas Jago lalu tertawa dengan senangnya.

“Jinak.? Lah dikiro aku kirek.?” (Jinak.? Lah dikira aku anjing.?) Tanya Joko ke Mas Jago.

“Duduk kirek tapi guguk.” (Bukan anjing tapi guguk.) Sahut Mas Jago dengan entengnya.

“Hahahaha.” Kami semua tertawa dengan senangnya.

“Bajingan.” Maki Joko dan dia langsung melihat ke arah rokokku yang belum mati diasbak.

“Kenapa gak kamu hisap rokokmu Lang.?” Justru Zaky yang bertanya kepadaku.

“Iya. Masa bakar rokok dibiarkan begitu aja.” Ucap Joko.

“Mulutku hambar.” Jawabku.

“Ya ga usah merokok cok.” Ucap Joko sambil mengambil rokokku diasbak, lalu dihisapnya.

“Terus bagaimana ini.? Kita bahas perkembangan masalah proyek kita gak.?” Tanya Mas Candra dan kami semua langsung mengangguk.

“Kalau begitu aku pergi aja ya.” Ucap Zaky.

“Gak usah Ky. Gak ada yang dirahasiakan dikantor kami. Kamu duduk aja disini.” Ucapku yang menahan Zaky.

“Iya. santai aja Ky.” Ucap Mas Candra dan Joko langsung mengacungkan jempolnya ke arah Zaky.

“Oke, jadi begini. Kantor kita tahun ini mendapatkan keuntungan yang lumayan banyak, karena kita gak perlu mengeluarkan biaya tambahan, contohnya seperti keamanan dan menyogok kanan kiri - kiri. Tidak ada kendala yang berarti ketika proyek kita berjalan. Mungkin hanya cuaca yang sering hujan, jadi pekerjaan kita sedikit terhambat.” Ucap Mas Candra.

“Tapi hambatan itu bisa diatasi kan Mas.?” Tanyaku dan Mas Candra mengangguk pelan.

“Berarti gak ada masalah teknis yang terlalu berat ya Mas.?” Tanya Joko dan Mas Candra kembali mengangguk.

“Cok. Mantuk – mantuk ae koen cok. Koyo manuk kuntul ae. Bajingan.” (Cok. Angguk – angguk aja kamu cok. Kaya burung bangau aja. Bajingan.)” Ucap Mas Jago.

“Matamu iku.” (Matamu itu.) Gerutu Mas Candra.

“Hahahaha.” Joko dan Zaky langsung tertawa dengan kerasnya.

“Manuk kuntul iku mantuk – mantuk a Mas.?” (Burung bangau itu angguk – angguk kah Mas.?) Tanyaku.

“Emboh. Delok’en manukmu a.” (Gak tau. Lihat burungmu lah.) Jawab Mas Jago dengan cueknya.

“Asuuu.” Makiku.

“Hahahahaha.” Kembali Zaky dan Joko tertawa bersama.

“Lambene rusak arek iki.” (Mulutnya rusak anak ini.) Ucap Mas Candra.

“Hahahaha.” Mas Jago lalu tertawa sambil mengeluarkan tiga buah kotak dari dalam tas yang dibawanya.

“Untuk merayakan keberhasilan kalian. Aku ingin memberikan kalian semua hadiah.” Ucap Mas Jago dan membuat kami semua terkejut.

“Waw. Hp baru.?” Tanya Mas Candra dengan senangnya dan dia sudah tidak jengkel dengan Mas jago.

“Assuuu. Hahahaha.” Maki Joko lalu tertawa dengan senangnya.

Akupun langsung melihat ke arah kotak Hp yang diletakkan diatas meja oleh Mas Jago. Terlihat gambar Hp berbentuk kotak, tipis, layarnya tertutup dan berantena. Merek Hp itu joni ereksi.

“Wah keluaran terbaru ini. Keren - keren. Sudah ada nomornya kan Mas.?” Tanya Zaky ke Mas Jago.

“Ya pastilah. Tapi kamu gak kukasih loh Ky. Kamu kan sudah punya.” Jawab Mas Jago lalu menyerahkan Hp itu kepadaku, Mas Candra dan Joko.

“Santai Mas.” Jawab Zaky sambil mengeluarkan Hp dari kantongnya.

“Suwon Mas.” (Terimakasih Mas.) Ucap Joko sambil menerima kotak Hp dengan senangnya.

“Kenapa sampean kasih ke kami Mas.?” Tanyaku sambil membolak – balikkan kotak Hp ini.

“Hp ini belum beredar dinegeri ini dan kebetulan Papahku yang akan menjadi distributornya. Anggap aja aku promosi, supaya Hp ini bisa dikenal dikota ini lewat kalian bertiga.” Jawab Mas Jago.

“Ooo.” Ucapku sambil membuka kotak Hp dan aku mendapatkan Hp yang berwarna biru, Joko kuning dan Mas Candra hitam.

“Gimana cara makainya ini mas.?” Tanya Joko sambil memutar – mutarkan Hpnya.

“Dicas dulu baterainya.” Sahut Zaky.

“Tadi sudah kucas sebelum kesini.” Jawab Mas jago.

“Luar biasa sekali persiapan sampean Mas. Gak nanggung – nanggung kalau memberi sesuatu.” Ucap Zaky.

“Aku kok.” Ucap Mas Jago sambil menepuk dada kirinya pelan.

“Sudah ngobrolnya. Sekarang itu kasih tau cara pemakaian Hp ini.” Ucap Joko.

“Sabar cok.” Ucap Mas Jago dan Joko langsung tertawa.

“Hahahaha.”

Kami bertiga lalu mendapatkan kursus singkat, tentang penggunaan Hp baru ini. Kami berlima juga saling bertukar nomor, dengan di iringi canda tawa.

Oh iya, karena Zaky sering bermain kekosan kami, dia juga berteman akrab dengan Mas Candra maupun Mas Jago. Sedangkan untuk Rendi, dia jarang bermain kekosan kami dan seringnya bertemu dikampus. Rendi juga baru sekali bertemu dengan Zaky ketika kami di Desa Sumber Banyu. Aku tau mereka berdua pasti ada masalah. lebih tepatnya sih yang bermasalah itu pondok merah dan blackhouse.Tapi mereka berdua waktu itu mencoba berusaha untuk bersikap biasa, ketika ada aku dan Joko. Tapi sekuat apapun mereka menutupi, sesekali tatapan mereka pasti bertemu dan seakan mereka mau saling mencakar satu sama lain. Bajingan.

“Kita nongkrong ke kafe yuk.” Ajak Zaky.

“Duh, aku dan Jago ada janji mau ketemu orang. Kalian pergi aja bertiga.” Ucap Mas Candra.

“Oke Mas. Entar kalau ada apa – apa, kita telpon – telponan aja.” Ucap Joko sambil mengangkat Hpnya.

“Sombong.” Ucapku kepada Joko.

“Masalah.? Wajar dong kalau aku sombong, sombong yang terhormat. Kita itu pasti orang pertama yang mempunyai Hp di Desa Sumber Banyu Lang. Pak Nyoto yang kaya raya aja, pasti belum punya. Apalagi Pak Tejo bapaknya Trisno yang kekayaan nya nanggung itu, pasti belum punya. Hahaha.” Joko tertawa dengan kerasnya.

“Asuuu.” Ucap ku sambil menggelengkan kepalaku.

“Berarti tingkat kehormatan didesamu, bisa diukur dengan Hp dong Jok.?” Tanya Mas Jago.

“Bisa dibilang seperti itu.” Ucap Joko dengan sombongnya, sambil memencet Hp yang dia pegang.

“Kalau begitu besok kamu buka toko Hp didesamu, biar kehormatanmu semakin tinggi. Nanti aku yang menyediakan Hpnya.” Ucap Mas Jago.

“Terus siapa yang mau beli siapa Mas.?” Tanya Zaky.

“Gak ada yang beli Ky. Hpnya kan dipajang aja, supaya orang – orang desaku bisa melihat kehormatan Lord Joko.” Jawabku dengan asalnya.

“Matamu cok.” Maki Joko kepadaku.

“Hahahaha.” Zaky, Mas Jago dan Mas Candra tertawa dengan kerasnya.

“Ooo. Asuuuu.” Gerutu Joko pelan.

“Lord Joko. Ooooo.” Ucapku, Zaky, Mas Jago dan Mas Candra, sambil mengangkat kedua tangan keatas, lalu kami membungkuk bersama seperti gerakan menyembah.

“Bajingan. Hahahaha.” Maki Joko lalu dia tertawa dengan kerasnya.



Pop Joko.


Gilang Adi Pratama. Satu kata untuk dia, nggatheli (menjengkelkan). Bagaimana gak nggatheli (menjengkelkan). Dia menghilang selama sepuluh hari dan entah kebetulan atau tidak, selama sepuluh hari itu aku disibukan dengan tugas kampus. Aku yang awalnya berencana bermalam tujuh hari distudio arsitek, harus tinggal lebih lama karena beberapa temanku meminta bantuanku.

Aku sempat pulang kekosan beberapa kali untuk berganti pakaian, tapi aku tidak curiga kalau Gilang menghilang. Aku menyangkanya Gilang sedang sibuk dengan persiapan tugas akhir dan rencana PKNnya.

Dan setelah menyadari kalau Gilang pergi dari kosan cukup lama, aku langsung mencari manusia gila itu. Aku mencari dia kemana – mana, tapi aku tidak menemukannya. Aku baru tau keberadaan Gilang, setelah aku bertemu dengan Rendi dan dia bertanya apakah Gilang sudah balik dari desa atau belum. Aku lalu berangkat ke Desa Sumber Banyu bersama Zaky yang kebetulan hari itu main kekosanku.

Aku sangat marah sekali dengan Gilang di hari itu. Dipikiranku hanya satu, kalau aku sudah bertemu dengannya, aku berniat akan meninju batang hidungnya sekuat tenagaku. Tapi ketika aku bertemu dengannya, niat itu langsung hilang seketika. Tatapan matanya dan tingkahnya itu, membuatku hanya bisa menggelengkan kepala dan mengeluarkan sedikit kata – kata mutira. Djiancok.

Oh iya. Aku merasa ada yang berubah dari diri Gilang. Gilang seperti mempunyai pribadi yang berbeda, ketika di Kota Pendidikan ini. Kadang emosinya meledak – ledak, kadang sangat sabar, kadang suka berkelahi, kadang kalem, kadang nggatheli, kadang njancoki dan sering kali menyimpan suatu rahasia dari aku. Arrgghhh, bajingan.

Kalau dulu waktu masih didesa, emosi anak itu stabil dan dia tidak pernah menutupi apapun dari aku. Ada apa dengan Gilang ya.?

Zaky. Kalau manusia yang satu ini, memang agak aneh. Tapi walaupun aneh, aku merasa cocok dengannya dan cara bersahabatnya terlihat sangat tulus. Selama ini aku merasa dia tidak memiliki tujuan apapun, kecuali pertemanan. Diapun tidak pernah aneh – aneh dan dia memberi warna lain dipersahabatan kami. Dia bertingkah sangat baik dan anaknya itu apa adanya. Jujur aku sangat menyayangkan, dia ikut dalam lingkaran permasalahan antara pondok merah dan black house. Aku yakin, kalau dia tidak kost di black house, dia tidak mungkin bermasalah dengan siapapun termasuk pondok merah.

Dan sekarang kembali lagi ke Gilang. Walaupun sekarang Gilang agak berubah, dia tetap sahabatku dan dia adalah saudaraku. Aku akan tetap menganggapnya seperti itu sampai kapanpun juga dan tidak mungkin aku akan meninggalkannya, apalagi memusuhinya. .

Hiuuufftt, huuuuu.

“Jadi gak nongkrong dicafe.?” Tanya Zaky.

“Jadilah. Aku ganti baju dulu ya.” Jawab Gilang sambil menoleh ke arah Zaky dan posisi Gilang dekat dengan posisiku.

Pandanganku langsung tertuju ke arah bagian tulang dekat mata kirinya yang agak membiru.

“Lapo iku bengep cok.?” (Kenapa itu lebam cok.?) Tanyaku sambil menunjuk ke arah wajah Gilang sebelah kiri.

“Kenapa itu Lang.?” Zaky ikut bertanya.

“Dicium pintu kampus.” Jawab Gilang dengan santainya dan aku sangat yakin kalau dia berbohong. Dia pasti habis berkelahi dan dia tidak mau bercerita kepada kami semua.

“Hahaha. Gilang – Gilang. Dicium kok sama pintu.” Ucap Mas Jago.

“Hahaha.” Zaky dan Mas Candra tertawa, tetapi tidak denganku. Aku terus menatapnya tanpa tersenyum sama sekali.

Gilang lalu masuk kedalam kamarnya, untuk berganti pakaian..

“Aku keluar dulu ya.” Ucap Mas Jago kepadaku dan juga Zaky.

“Iya Mas.” Sahutku.

“Aku juga.” Ucap Mas Candra sambil berdiri bersama Mas Jago.

“Oke.” Jawabku sambil mengacungkan jempolku ke arah mereka berdua.

“Lang, kami keluar dulu ya.” Ucap Mas Candra.

“Iya Mas, hati – hati.” Sahut Gilang dari dalam kamarnya.

Setelah Mas Jago dan Mas Candra keluar dari kosan, Gilang juga keluar dari kamarnya.

“Ayo.” Ucap Gilang kepadaku dan juga Zaky. Gilang mengatakan itu sambil berdiri didepan pintu kamarnya.

“Yo.” Sahut Zaky sambil berdiri dan aku juga ikut berdiri.

“Naik sepeda motor kan.?” Tanya Gilang.

“Naik mobilku aja.” Jawab Zaky.

“Wihhh. Punya mobil juga kamu Ky.?” Tanyaku.

“Iyalah.” Jawab Zaky sambil memutarkan kunci mobil ditangan kirinya.

“Sombong.” Ucapku kepada Zaky sambil berjalan ke arah luar kosan.

Kring, kring, kring.

Hp Zaky berbunyi, ketika kami sampai di pagar kosan.

“Halo.” Ucap Zaky sambil mengehentikan langkahnya.

“…….”

“Hem.” Ucap Zaky dengan wajah yang sangat serius.

“…….”

“Iya, aku kesana sekarang.” Ucap Zaky, lalu dia menutup telponnya.

“Duh. Maaf ya. kelihatannya kita gak jadi ke kafe.” Ucap Zaky dan wajahnya yang tadinya serius, sekarang jadi merasa bersalah kepada kami.

“Kamu mau balik Ky.?” Tanyaku.

“Iya. Ada temanku yang datang dikosanku.” Jawab Zaky.

“Ya sudah.” Sahut Gilang dengan santainya.

“Asuuu.” Makiku.

“Maaf ya.” Ucap Zaky lagi dan tiba – tiba, sebuah mobil berhenti didepan pagar kosan kami.

Sang pengemudi keluar dari mobil dan tersenyum dengan manisnya ke arah Gilang. Pengemudi itu seorang wanita cantik yang bernama Mery, pacar dari Rendi Bule.

“Hai Mas.” Sapa Mery ke Gilang dan dia terlihat sangat akrab sekali dengan Gilang.

Cok. Kok sepertinya Mery sangat dekat dengan Gilang ya.? Apa mereka sering bertemu.? Tapi kapan.? Atau jangan - jangan Gilang main gila dibelakang Rendi.? Wah ga bener ini, gak bener.

“Mer.” Ucap Gilang dengan wajah yang terlihat berbeda.

Dia seperti sangat terkjeut dan juga senang melihat kedatangan Mery yang tiba – tiba ini.

Gilang lalu mendekat ke arah Mery dan dia langsung menjulurkan tangan kanannya ke arah Mery.

“Mau kemana.?” Tanya Gilang dan Mery langsung menyambut tangan kanan Gilang, lalu dia mencium punggung tangan Gilang pelan.

Cuppp.

“Mau kekosan teman Mas.” Jawab Mery sambil melepaskan jabatan tangannya dan Gilang hanya diam terpaku menatap wajah Mery.

Bajingan. Mereka berdua pasti mempunyai suatu ikatan hubungan, sampai Mery berani mengecup tangan Gilang dan membuat Gilang terbuai seperti itu. Gila juga mereka berdua ini. Djiancok.

Mereka tidak menyadari status diri masing – masing dan itu resikonya pasti sangat luar biasa.

Gilang bersahabat dengan Rendi, tapi Gilang bermain hati dengan Mery.

Arrgghhh. Aku harus menghentikan kegilaan ini, dari pada terjadi pertumpahan darah dikampus teknik kita.

Bukannya aku takut kalau sampai terjadi gesekan dengan Rendi. Tapi gesekan ini pasti akan melebar kemana – mana. Pondok merah pasti akan ikut terlibat dan Zaky pasti akan melibatkan diri membantu kami, bersama anak – anak blackhouse. Kan tambah rumit masalahnya kalau begitu.?

Aku itu suka dengan pertempuran, tapi kalau pertempurannya hanya gara – gara bermain hati seperti ini, pasti gak lucu dong. Asuuu, asuuu.

“Mas Gilang.” Ucap Mery dengan tatapan mata yang seperti ingin menyadarkan Gilang, kalau ada aku dan Zaky disini.

“Oh iya.” Ucap Gilang sambil mengalihkan pandangannya ke arahku lalu melihat ke arah Zaky.

Tatapan Gilang ke arah Zaky agak berbeda dan aku juga langsung melihat ke arah Zaky yang menatap ke arah Mery. Wajah Zaky terlihat bahagia dan dia seperti sangat mengagumi wanita cantik ini. Mata Zaky berbinar dan senyum tipis mengambang dibibirnya. Terlihat juga di wajah Zaky kalau dia ingin mendekat dan berkenalan dengan Mery, tapi mungkin tidak enak dengan Gilang.

Sebentar dulu, sebentar. Sebelum dilanjutkan. apa Zaky menyukai Mery.? Apa Zaky mencintai wanita ini pada pandangan pertama.?

Djiancok. Kok tambah ruwet seperti ini sih.?

Memang harus aku akui, Mery ini wanita yang sangat cantik. Tapi kalau kecantikannya bisa mengacaukan segalanya, itu akan menjadi boomerang buat dia sendiri. Aku harus mencari cara untuk menghentikan semua ini, sebelum masalahnya semakin larut.

“Sudah ah. Mery mau pergi dulu.” Ucap Mery dan Gilang langsung melihat ke arahnya.

“Kok buru – buru Mer.?” Tanya Gilang dengan wajah yang sedikit kecewa.

“Mery ada janji Mas.” Jawab Mery sambil tersenyum dengan manisnya. Mery lalu membuka pintu mobilnya, setelah itu dia masuk dan menutupnya kembali.

Mery menurunkan kaca mobil bagian samping kiri dan dia melambai lagi ke arah Gilang yang terlihat kebingungan.

Aku lalu melihat ke arah Zaky dan wajahnya juga terlihat memendam kecewa yang sangat mendalam.

“Da Mas.” Ucap Mery.

“Hati – hati.” Ucap Gilang dan Mery mengangguk pelan, lalu dia menjalankan mobilnya.

“Cantik Mery itu.” Ucapku untuk memancing reaksi Zaky dan aku ingin mengetahui kebenaran tentang perasaannya kepada Mery.

Gilang membalikan tubuhnya dan melihat ke arahku, lalu melihat ke arah Zaky. Zaky terus melihat ke arah mobil Mery yang sudah berjalan agak jauh.

“Ky.” Gilang memanggil Zaky yang focus melihat mobil Mery.

“Eh. Iya Lang.” Jawab Zaky sambil melihat ke arah Gilang dan wajahnya terlihat malu sekali.

“Katanya kamu mau balik.?” Tanya Gilang tanpa berbasa - basi.

“Oh iya.” Ucap Zaky dan Gilang langsung berjalan ke arah pintu kosan.

Dan ketika Gilang sudah melewati kami berdua, Zaky langsung memanggil Gilang.

“Lang.” Panggil Zaky.

“Apa.” Jawab Gilang sambil membalikan tubuhnya ke arah kami.

“Maaf kalau aku tadi memandang pacarmu.” Ucap Zaky dengan nada yang sangat merasa bersalah dan aku langsung terkejut dibuatnya.

“Yang mana.?” Tanya Gilang dan terlihat dia kebingungan.

“Perempuan yang bernama Mery tadi.” Ucap Zaky dan Gilang langsung menggelengkan kepalanya pelan.

Cok. Berarti Gilang tidak main gila dengan Mery.? Tapi kenapa pandangan mata Gilang berkata lain.? Apa dia malu kepada kami berdua dan mencoba menutupinya.?

“Bukan. Itu pacarnya Rendi.” Sahutku dan sengaja aku mengucapkan ini, agar Zaky berpikir dua kali untuk mendekati Mery dan aku juga ingin mengingatkan Gilang tentang status Mery.

“Oooo. Baguslah kalau begitu.” Ucap Zaky dan wajahnya terlihat senang sekali.

“Emang kenapa sih Ky.?” Tanya Gilang sambil mengerutkan kedua alis matanya.

“Gak apa – apa.” Jawab Zaky lalu dia tersenyum.

“Kamu suka sama Mery ya.?” Tanya Gilang yang kelihatan sangat penasaran sekali.

“Dia bukan pacarmu kan.?” Tanya Zaky dan dia tidak menjawab pertanyaan Gilang.

“Jangan Ky.” Ucap Gilang yang paham arah pembicaraan Zaky.

“Kenapa.? Kamu takut kalau aku bermasalah dengan Rendi.?” Tanya Zaky.

“Bukan begitu Ky.? Tapi lebih baik jangan. Aku berteman denganmu dan aku juga berteman dengan Rendi. Aku tidak ingin melihat sesama temanku berkelahi.” Ucap Gilang.

“Santai ajalah. Kami berdua itu sudah bermasalah dari dulu. Dan kalau dulu masalah kami itu hanya sebatas pondok merah dan blackhouse, kelihatannya mulai hari ini ada masalah baru. Masalah hati.” Ucap Zaky dengan tenangnya dan dia seperti ingin memperjuangkan cinta nya kepada Mery.

“Ky.” Ucap Gilang dan suasana menjadi sangat tegang sekali.

“Maaf Lang. Kalau kamu mencintai Mery, aku akan mundur. Tapi kalau masalahnya hanya sekedar Rendi, itu tidak akan menyurutkan langkahku.” Ucap Zaky dan dia langsung membalikan tubuhnya, lalu berjalan ke arah mobilnya yang ada diseberang jalan.

Gilang sebenarnya ingin berbicara lagi dengan Zaky, tapi aku langsung merangkulnya dan berjalan masuk kedalam kosan.

“Sudahlah. Kalau sudah bicara masalah cinta, apalagi sama orang yang baru jatuh cinta, pasti tidak akan bisa.” Ucapku ke Gilang.

“Masalahnya itu, Rendi dan Zaky teman kita.” Sahut Gilang.

“Ya kita netral aja Lang.” Jawabku dan Gilang langsung duduk dikursi ruang tengah.

“Netral bagaimana.?” Tanya Gilang dan aku duduk diseberangnya.

“Itu bukan ucapanku loh ya, tapi kamu sendiri yang mengucapkannya. Aku hanya mengulang kata – katamu waktu itu.” Ucapku yang akhirnya terpancing dengan kata – kata Gilang.

Aku sebenarnya ingin jadi penengah dan mencari jalan terbaik. Tapi berhubung manusia gathel dihadapanku ini sulit diajak berkomunikasi dengan baik, mau gak mau dia harus dihadapi dengan nada yang sedikit tinggi.

“Tapi ini bukan masalah antara pondok merah dan black house cok.” Ucap Gilang.

“Sama aja. Manusianya itu – itu juga cok.” Jawabku lalu aku menghisap rokokku, setelah itu aku mematikannya diasbak.

“Beda masalah cok.” Ucap Gilang.

“Terus maumu bagaimana.? Apa kamu mau ikut campur masalah percintaan mereka.? Kenapa masalah percintaan kamu mau ikut campur, tapi masalah lain enggak.? Atau jangan – jangan kamu suka dengan Mery juga.?” Tanyaku.

“Cok. Omonganmu kok ngelantur.?” Tanya Gilang sambil melotot.

“Sudahlah Lang, gak usah bahas masalah itu lagi.” Ucapku dan sikapnya sangat – sangat berubah, bajingan.

“Kamu itu makin aneh dan gak jelas.” Ucap Gilang lalu dia berdiri dan berjalan ke arah kamarnya.

Assuuu. Bukannya dia yang berubah dan bersikap aneh, kenapa malah aku yang disalahkan.?

“Bukannya kamu yang berubah ya Lang.?” Tanyaku dan Gilang langsung menghentikan langkahnya, tapi tidak menoleh ke arahku. Dia berdiri memunggungi aku dan dia tidak bersuara sama sekali.

“Aku gak tau ada apa denganmu, tapi aku merasa banyak hal yang kamu sembunyikan dari aku dan kamu sekarang lebih tertutup.” Ucapku lagi dan Gilang tetap tidak bersuara.

Tangan kirinya perlahan memegang kusen pintu dan tangan kanannya memegang bagian depan tubuhnya.

“Ada apa Lang.? Ada apa denganmu.? Aku berbuat salah apa sama kamu, sampai kamu berubah seperti ini.?” Tanyaku dan dia langsung menarik nafasnya, tapi tertahan. Tubuhnya sedikit bergetar, lalu tiba – tiba tubuh bagian kirinya tersandar dikusen pintu.

DUARRRRR.

Suara petir menggelegar dan aku langsung berdiri, karena Gilang seperti sedang menahan rasa sakit yang luar biasa.

“Gilang.” Ucapku sambil berlari ke arahnya dan aku langsung memegang pundaknya.

“Hup, hup, hup.” Gilang kesulitan bernafas dan punggungnya langsung disandarkan kedadaku.

Wajahnya memucat, matanya melotot dan tangan kanannya meremas dada bagian kirinya dengan kuat.

“Ka, ka, kamu kenapa Lang.?” Tanyaku terbata dan aku menahan tubuhnya yang semakin tidak bertenaga.

“Hup, hup, hup, hup.” Dia tidak bisa bernafas dan aku langsung menggeretnya kekursi, lalu aku mendudukannya.

“Lang, Gilang.” Ucapku sambil menyandarkan punggungnya dikursi dan kepalanya langsung terdanga diatas sandaran kursi.

“GILANGG.” Teriakku dan mataku langsung berkaca – kaca, karena matanya makin melotot.

Plak, plak, plak, plak.

Aku menampar kedua pipinya dengan keras, agar dia tetap tersadar.

Lalu tiba – tiba terdengar suara hujan yang turun dengan sangat derasnya.

Aku harus membawanya kerumah sakit sekarang juga, kalau nggak, sesuatu yang buruk bisa saja terjadi kepadanya.

Aku lalu membalikan tubuhku dan jongkok dihadapan Gilang yang masih tersandar dikursi.

Aku tarik kedua tangannya, sampai dia merangkul leherku. Aku tarik taplak diatas meja dengan kuat, sampai benda – benda diatas meja terhambur entah kemana. Aku ikat tangan Gilang yang ada dileherku agar tidak terlepas.

Kedua paha Gilang aku lingkarkan dipunggungku, lalu aku menahannya dengan kedua tanganku.

“HUPPP.” Aku berdiri perlahan dan posisinya sekarang aku sedang menggendong Gilang dipunggungku.

“Hup, hup, hup.” Nafas Gilang masih sesak dan dagunya tersandar dibahu kananku.

Dadanya yang sangat rapat dipunggungku, membuat detak jantungnya yang cepat, sangat terasa sekali.

“Sabar cok, sabar. Aku bawa kamu kerumah sakit.” Ucapku dan aku langsung berjalan ke arah luar kosan.

Awan yang tadinya cerah, sekarang terlihat menghitam. Panas yang tadinya menyengat, berganti dengan derasnya hujan yag turun. Angin yang tadinya sepoi – sepoi, berganti dengan badai yang menggila.

“Hup.” Ucapku membenarkan posisi paha Gilang yang agak melorot, dengan menguatkan peganganku di bagian bawah pahanya.

“Hup, hup, hup, hup.” Nafas Gilang memberat.

“SABAR COK. SABAR.” Teriakku lalu aku berlari menembus hujan yang sangat deras ini.

Clap, clap, clap.

DUARRRRR, DUARRRRR, DUARRRRR.

Kilatan petir dan disertai bunyi yang menggelegar, tidak menyurutkan kecepatan lariku.

“Hup, hup, hup, hup.” Tubuh Gilang mengejang dan rasa takut langsung membuat air mataku mengalir dengan deras.

“KUAT COK, KAMU HARUS KUAT.” Teriakku sambil berlari dan menoleh ke arah wajahnya yang berada dipundak kananku.

Crap, crap, crap.

Bunyi cipratan air yang aku injak ketika berlari.

Jalanan sepi dan tidak ada kendaraan yang lewat. Aku terus berlari dibawah guyuran air hujan yang sangat deras, sederas air mataku yang mengalir. Djiancok.

Gilang. Sakit apa anak ini.? Kenapa sering kali dia sesak nafas, sambil meremas dadanya.? Apa sebenarnya dia tau penyakitnya dan sengaja menyembunyikan dari aku.? Atau memang dia tidak tau selama ini.? Bajingan.

Arrgghhh. Apapun itu, aku harus bisa menyelamatkan bajingan satu ini, bagaimanapun caranya. Aku tidak mau kehilangan dia, karena hanya dia satu – satunya orang yang membuatku bisa bertahan sampai detik ini. Dia alasanku tetap berada dikota ini, dia alasanku tetap melanjutkan kuliah, dia alasanku tetap mengejar impian dan dia alasanku untuk tetap menikmati kehidupan ini.

Banyak hal yang dilakukan manusia satu ini kepada diriku dan aku pasti tidak akan bisa membalasnya, walau sampai diakhir kehidupanku nanti. Aku tidak tau bagaimana dengan diriku, kalau seandainya terjadi apa – apa dengannya.

“Hiuft, hiuft, hiuft, Hu, hu, hu.” terdengar Gilang menarik nafasnya pendek, lalu dia mengeluarkannya perlahan.

“Kuat cok. kamu kuat.” Gumamku sambil terus berlari.

“Hu, hu, hu, hu, hu.” Nafasku memburu dan aku tidak mengurangi sedikitpun kecepatan berlariku.

Clap, clap, clap.

DUARRRRR, DUARRRRR, DUARRRRR.

“AARRGGGGGGHHHHH.” Aku berteriak sekencang – kencangnya dan aku membalas gertakan suara petir yang menggelegar itu.

Crap, crap, crap.

Bunyi cipratan air yang genangannya semakin lama semakin agak tinggi diatas mata kakiku.

“Arggh, argghh, argghh.” Rintih Gilang yang kesakitan dan itu membuat air mataku semakin deras mengalir.

“KOEN KUDU KUAT COK. KOEN KUDU KUAT.” (Kamu harus kuat cok, kamu harus kuat.) Teriakku.

Entah sudah berapa jauh aku berlari, tapi rumah sakit pusat kota masih juga belum kelihatan.

“Hu, hu, hu, hu, hu.” Nafasku semakin memburu dan air mataku juga semakin deras mengalir.

“Ka, ka, kate nanggdi cok.?” (Ma, ma, mau kemana cok.?) Suara Gilang terdengar terbata.

“Ra usah ngomong koen cok. Menengo ae. Hu, hu, hu, hu.” (Gak usah ngomong kamu cok. Diam aja. Hu, hu, hu, hu.) Ucapku dan sengaja aku menyuruhnya diam, agar dia bisa mengatur nafasnya yang sesak itu.

“Uh, uh, uh, uh, assuuu.” Ucap Gilang dan disela nafasnya yang sesak itu, dia masih sempat memaki. Bajingan.

“HIUFFTTTT.” Ucap Gilang dan tubuhnya mengejang, sambil menguatkan rangkulannya dileherku dengan kuat.

Aku merasa saat ini sakitnya Gilang lebih menggila dan dia sangat tersiksa sekali.

“ARGHHHH.” Leherku kesakitan dan aku kesulitan bernafas, karena tangannya yang aku ikat itu menekan leherku dengan kuat.

“ARRGGHHHH.” Kembali aku berteriak, karena bukan hanya leherku yang kesakitan. Aku berteriak karena rintihan kesakitan Gilang, sangat – sangat menggores hatiku.

Clap, clap, clap.

DUARRRRR, DUARRRRR, DUARRRRR.

Kilatan yang di iringi suara petir yang menggelegar, sambung menyambung dan seperti menyambar diatas kepalaku.

“DJIANCOOOKKK.” Teriakku.

Dan tiba – tiba.

CITTTT.

Sebuah mobil langsung berhenti dan menghalangi lariku ini. Aku lalu berhenti, dengan nafas yang tersengal – sengal.

“KENAPA GILANG JOK.?” Teriak Zaky yang turun dari mobil dan langsung berlari ke arahku.

“Aku gak tau Ky, aku gak tau. Hu, hu, hu.” Jawabku dan Zaky langsung membuka pintu mobilnya bagian belakang.

“CEPAT MASUK.” Teriak Zaky sambil melotot.

Aku lalu membalikan tubuhku dan Zaky langsung menyambut tubuh Gilang. Aku buka ikatan kedua tangan Gilang dan Zaky langsung mendudukan Gilang kedalam Mobil.

Tanpa Banyak bicara Zaky langsung menutup mobilnya dan berlari ke arah depan bagian setir.

Kami berdua langsung masuk kedalam mobil dalam keadaan basah kuyub. Aku duduk dibelakang disebelah Gilang, sementara Zaky didepan langsung menginjak gasnya dengan kencang.

BRUUUMMM.

“Lang, Lang.” Ucapku sambil menepuk pipinya pelan, lalu aku membersihkan air yang membasahi wajah dan rambut Gilang.

Wajahnya semakin memucat, nafasnya memberat, kepalanya mendanga tersandar diatas sandaran kursi dan matanya melotot ke arah atas.

“Hup, uh, hup, uh, hup, uh.” Gilang tidak menjawab panggilanku dan dia berusaha untuk mengatur nafasnya.

“Kenapa Gilang tadi itu.?” Tanya Zaky sambil melihat ke arahku, lewat spion bagian tengah dan wajahnya terlihat panik.

“Gak tau aku Ky, gak tau.” Jawabku.

“Bangsat. Kenapa kamu gendong dia disaat hujan deras begini.?” Tanya Zaky dengan nada yang meninggi.

“Terus mau naik apa.? Gak mungkin naik kimba cok. Angkot aja gak ada yang lewat. Bajingan.” Ucapku dan dengan nada yang tidak kalah tinggi.

Bukannya aku marah dengan Zaky, bukan. Aku marah dengan kondisi saat ini dan aku tidak bisa berbuat apa – apa. Sahabatku merintih kesakitan, sementara aku hanya bisa melihatnya dengan air mataku yang terus mengalir.

Untuk apa air mata ini mengalir.? Untuk apa.? Apakah air mataku bisa membuat Gilang bernafas seperti biasa.? Gak bisa cok, gak bisa.

Terus kenapa air mata ini tidak bisa berhenti mengalir, kalau tidak bisa mengubah keadaan.? Bajingaann.

“Kamu kan bisa telpon aku, gak perlu berhujan – hujanan seperti ini.” Ucap Zaky dan nada bicaranya mulai merendah.

“Djiancok.” Gumamku pelan dan aku baru teringat, kalau aku mempunyai Hp baru.

Aku lalu merogoh kantong celanaku bagian depan dan aku langsung mengambil Hp joni ereksiku yang baru ini.

“Assuu.” Makiku lagi, ketika melihat Hp ini tidak menyala.

“Aku lupa Ky.” Ucapku sambil menggengam Hp ini dengan kuatnya.

“Sudahlah, gak usah diperpanjang lagi pembahasan ini. Sekarang itu yang penting Gilang harus segera sampai rumah sakit.” Ucap Zaky dan dia semakin melajukan kendaraannya.

Hujan semakin deras mengalir, petir tidak berhenti menyambar dan angin juga semakin kencang berhembus.

Beberapa saat kemudian, kendaraan masuk kedalam area rumah sakit dipusat kota dan langsung menuju ruangan UGD.

CIITTTT.

Mobil berhenti tepat didepan pintu ruangan UGD dan kami berdua langsung keluar dari mobil. Zaky langsung masuk kedalam ruang UGD, sementara aku berdiri didepan pintu mobil sambil memegang tubuh Gilang.

“SUS. TOLONG SAUDARA SAYA SUS. TOLONG.” Terdengar teriakan Zaky didalam ruangan sana.

“Sabar Lang, sabar. Kita sudah sampai dirumah sakit.” Ucapku sambil meraih tangan kiri Gilang, lalu aku rangulkan dileherku. Tangan kananku aku arahkan dipunggungnya, lalu tangan kiriku aku arahkan dibagian bawah pahanya.

“Hup.” Aku membopong tubuh Gilang dan sekarang dia mulai terkulai lemas.

Aku membalikkan tubuhku dan Zaky berjalan ke arahku, sambil mendorong brankar (Tempat tidur dorong.)

“Tidurkan disini Jok.” Ucap Zaky dan dia datang bersama dua orang suster.

“I, I, iya.” Ucapku sambil menidurkan Gilang diatas tempat tidur dan dibantu oleh Zaky.

Tubuh Gilang sudah tidak sekaku tadi, tapi dia tidak bergerak. Matanya sedikit lagi terpejam dan nafasnya masih memberat. Wajahnya semakin memucat dan tubuhnya basah kuyub, akibat kehujanan bersamaku tadi.

“Lang, Gilang.” Ucapku sambil menepuk pipinya pelan.

“Mas berdua urus administrasi aja dulu, biar kami tangani teman sampean ini.” Ucap salah satu suster dan suster yang satu, langsung mendorong blankar kedalam ruang UGD.

“Iya sus.” Jawab Zaky.

“ARGHHHH, DJIANCOKK.” Ucapku dengan emosinya dan air mataku belum berhenti mengalir.

“Tenang Jok, tenang. Kamu disini dulu, biar aku yang urus administrasinya.” Ucap Zaky lalu dia menuju keruang administrasinya.

Akupun hanya terdiam dan tidak tau harus berbuat apa. Tubuhku aku sandarkan didinding dan aku langsung duduk diteras UGD sambil menjambak rambutku.

Hatiku benar – benar kacau dan aku sangat takut kehilangan Gilang. Akupun tidak tau harus bagaimana menyampaikan kabar kepada keluarga Gilang, kalau sampai terjadi apa – apa dengan sahabatku itu.

Arrgghh. Kenapa aku harus berpikiran ada apa – apa sih.? Gilang itu kuat dan dia pasti bisa bertahan. Gilang itu sehat dan mungkin kurang enak badan aja. Bodoh sekali sih aku ini.? Bajingan.

Akupun langsung membersihkan sisa air mataku, sambil menarik nafas panjangku.

Hiuufftt, huuuu.

“Jok, tenangkan dirimu. Kamu sudah melakukan yang terbaik untuk Gilang.” Ucap Zaky yang baru datang dan mencoba menenangkan aku. Zaky langsung duduk disebelahku sambil menyandarkan punggungnya didinding.

“Aku ini gak berguna banget ya Ky.?” Tanyaku sambil menatap kearah lurus kedepan..

“Siapa yang bilang.? Kamu itu sudah melakukan yang terbaik dan kamu itu sahabat yang paling luar biasa.” Ucap Zaky sambil menepuk pundakku pelan.

“Kamu dan Gilang itu panutanku. Persaudaraan kalian berdua itu sangat mengagumkan dan jujur aku sangat iri sekali melihatnya. Kalian saling mendukung dan saling menutupi kekurangan masing – masing. Aku salut sekali Jok. Aku salut.” Ucap Zaky dengan suara yang bergetar.

“Apa arti persaudaraan dan persahabatan kami, kalau aku saja tidak bisa menjaga Gilang dengan baik Ky. Lihat kondisi Gilang sekarang, lihatlah. Apa aku tau yang dia derita dan dia simpan dalam kesakitannya.? Enggak Ky, aku gak tau itu.” Ucapku sambil menggeleng pelan.

“Saudara macam apa aku ini Ky,? Saudara macam apa.? Saudara macam tai.? Begitu ya.? Djiancok.” Ucapku dengan emosinya, lalu.

BUHHGGGG.

Aku menghantam lantai dengan keras, untuk melampiaskan emosi yang ada dikepala.

“Jok, Jok, Jok. Tenang Jok.” Ucap Zaky yang mencoba menenangkan diriku.

“Mas Joko.” Panggil seorang wanita dari arah pintu ruangan UGD.

“I, I, I, iya Mba.” Ucapku sambil menoleh dan yang memanggilku itu seorang suster.

Aku langsung berdiri dan bejalan cepat kearahnya.

“Bagaimana kondisi saudara saya Mba.? Dia baik – baik saja kan.?” Tanyaku dengan gugupnya, ketika aku sudah berdiri dihadapan suster itu.

“Mas Joko masuk aja, biar dokter yang menjelaskan.” Jawab Suster itu dan langsung membuat jantungku serasa berhenti berdetak beberapa saat.

Rasa takut yang sangat luar biasa langsung menyelimuti diriku, karena tatapan suster itu terlihat seperti sedang menyimpan suatu kabar yang sangat buruk.

“Mas.” Panggil suster itu.

“I, I, I, iya mba.” Jawabku terbata.

“Silahkan masuk.” Ucap Suster itu dan aku langsung melihat ke arah Zaky.

“Masuklah Jok.” Ucap Zaky dan kembali dia menepuk pundakku pelan.

Aku lalu melihat ke arah suster itu lagi dan suster itu langsung memberikan aku jalan untuk masuk kedalam ruang UGD.

Hiuufftt, huuuu.

Aku menarik nafasku dalam – dalam, lalu mengeluarkannya perlahan.

Kedua kakiku gemetaran dan aku mulai melangkah pelan. Jantungku berdetak dengan cepat dan entah kenapa hatiku dikuasai rasa takut yang sangat luar biasa.

Tap, tap, tap, tap.

Langkah kakiku yang lambat, langsung disambut dengan suasana yang mencekam di dalam ruangan UGD. Hawa dingin didalam ruangan ini, membuat tubuhku merinding. Pakaianku yang masih basah inipun, membuat seluruh tubuhku gemetaran.

TIT. TIT. TIT. TIT. TIT. TIT. TIT. TIT. TIT.

Bunyi alat ventilator yang terdengar ditelingaku, langsung membuat kepalaku reflek menoleh ke arah sumber suara tersebut. Seorang pemuda terbaring lemah dengan wajah yang memucat dan berbagai selang yang menancap ditubuhnya.

Pemuda itu adalah sahabatku, Gilang Adi Pratama. Pakaiannya telah diganti dengan pakaian rumah sakit dan dia masih belum sadarkan diri.

Gilang. Kamu itu sakit apa sih cok.? Kenapa kamu bisa kesakitan seperti itu dan kenapa kamu tidak pernah memberitahu aku.? Bajingan.

TIT. TIT. TIT. TIT. TIT. TIT. TIT. TIT. TIT.

Bunyi alat ventilator itu sangat menggangguku dan ingin rasanya aku mengambil alat itu, lalu membuangnya jauh – jauh.

Hiuufftt, huuuu.

“Mas.” Panggil suster itu, ketika aku akan melangkah mendekat ke arah Gilang.

“Sudah ditunggu dokter.” Ucap Suster itu lagi dan aku langsung melihat ke arahnya.

Kami berdua melangkah lagi, menuju ke arah ruangan dokter.

“Dok, ini saudara dari pasien yang bernama Gilang.” Ucap Suster itu, ketika kami sudah sampai depan meja dokter itu.

“Oh iya. Terimakasih sus.” Ucap Dokter itu kepada sang suster.

“Iya dok. Kalau begitu saya pamit dulu.” Pamit sang suster dan dia langsung meninggalkan kami berdua.

“Silahkan duduk Mas.” Ucap dokter itu kepadaku.

“Iya dok.” Jawabku dan aku langsung duduk dihadapannya.

“Siapa namanya Mas.?” Tanya dokter itu.

“Joko dok.” Jawabku.

“Mas Joko ini punya hubungan apa dengan pasien yang bernama Gilang.?” Tanya dokter.

“Saya saudaranya dan sekarang kita langsung saja ke pokok pembahasan. Gilang sakit apa dok.?” Tanyaku dan aku sudah sangat tidak sabar dengan keadaan ini.

“Sabar Mas. Sabar dan saya harap sampean juga tenang, sebelum kita melanjutkan obrolan.” Ucap dokter itu dengan nada bicara yang santai, tapi cukup tegas.

“Hiiuufftt, huuu.” Aku menarik nafas panjangku, lalu mengeluarkannya perlahan.

“Baiklah dok.” Ucapku pelan sambil menatap mata dokter itu dan dokter itu tersenyum dengan sangat dipaksakan.

“Pasien yang bernama Gilang, saat ini sedang kritis.” Ucap Dokter yang langsung membuatku terdiam.

Tenggorokanku langsung terasa kering, lidahku kaku dan bibirku bergetar. Seluruh tubuhku merinding dan kembali mataku berkaca – kaca.

“Organ didalam tubuh Gilang terluka parah, terutama di bagian hatinya. Permukaan hatinya kasar dan tidak halus seperti hati manusia pada umumnya.”

“Jujur saya heran dengan kondisinya yang seperti itu, Gilang masih bisa bertahan sampai detik ini. Kalau saya atau sampean yang ada diposisi Gilang, pasti sudah lewat.” Ucap Dokter itu dengan suara yang agak bergetar.

“Sa, sa, sakit apa Gilang dan apa yang bisa kita lakukan saat ini dok.?” Tanyaku dengan terbata.

“Gilang mengidap kanker hati stadium empat dan dia tidak mungkin bisa diselamatkan.” Jawab dokter.

Dan tiba – tiba.

DUARRRRR, DUARRRRR, DUARRRRR.

Suara petir menggelegar dan membuat dokter yang duduk dihadapanku ini terkejut dibuatnya. Tubuhnya seperti terhentak sesaat dan aku juga sangat terkejut.

Dokter terkejut karena suara petir, sedangkan aku terkejut mendengar ucapan yang keluar dari bibirnya. Ucapan dokter itu membuat isi kepalaku bergemuruh dengan hebatnya dan hatiku terguncang dengan hebatnya.

Bajingan. Ternyata selama ini Gilang mengidap penyakit yang sangat ganas dan bisa membunuhnya sewaktu – waktu. Entah dia tau atau tidak, tapi yang jelas aku menjadi orang yang paling bodoh sedunia. Kenapa aku tidak menyadarinya dari dulu, ketika penyakitnya itu kambuh. Harusnya aku langsung membawanya kerumah sakit untuk memeriksakannya. Tapi kenapa aku tidak melakukannya.? Sahabat macam apa aku ini.? Djiancok.

“Apa tidak ada tindakan medis yang mampu menyembuhkannya dok.?” Tanyaku dan aku masih berharap, agar dokter ini melakukan sesuatu untuk menyelamatkan Gilang.

Dokter tidak menjawab pertanyaanku dan dia hanya menatapku.

BRAKKK.

Aku menggebrak meja dengan keras, sampai dokter itu kembali terkejut dan wajahnya langsung memucat.

“Anda itu dokter. Harusnya anda bisa melakukan sesuatu, karena ini memang spesialis anda.” Ucapku dengan nada yang meninggi.

“Kalau anda tidak bisa menyembuhkan orang yang sakit, untuk apa anda bekerja disini.? Untuk apa.?” Ucapku dan mataku melotot ke arahnya, lalu aku berdiri dengan emosinya.

“Jok, Jok. Tenangin dirimu.” Ucap Zaky yang tiba – tiba datang dari arah belakangku, lalu dia merangkulku dan menarikku keluar ruangan dokter.

“Lepas Ky, lepas.” Ucapku sambil melepaskan rangkulan Zaky dan kami berdiri tidak jauh dari tempat Gilang tertidur dikasur UGD.

“Terus kamu mau apa.?” Tanya Zaky dengan suara yang sangat pelan, tapi matanya melotot ke arahku.

“Kamu mau marah.? Marah sama siapa.? Sama dokter.?” Tanya Zaky dan belum pernah aku melihatnya marah seperti ini.

“Gak ada gunanya Jok, gak ada gunanya kamu marah. Dokter juga manusia sama seperti kita. Hidup dan mati itu, Sang Pencipta yang mengaturnya, bukan manusia. Paham gak kamu.?”

“Ayolah Jok. Kamu jangan seperti ini. Kalau seandainya Gilang sadar dan melihatmu seperti ini, apa dia tidak akan kecewa kepadamu.?”

“Kamu lihat Gilang itu, kamu lihat. Dia berjuang untuk tetap bertahan hidup, tapi kamu malah seperti ini.” Ucap Zaky dan aku langsung menunduk, mendengar kata – katanya yang pelan tapi menusuk jantung itu.

“Dia saja bisa berjuang untuk tetap hidup, kenapa kita tidak membantunya.?” Ucap Zaky dan aku langsung melihat ke arah wajahnya.

“Mungkin rumah sakit ini tidak bisa membantunya, tapi entah diluar sana. Kita cari orang yang bisa membuat obat – obatan tradisonal atau kalau perlu lewat jalan yang non medis. Terserah apapun itu, yang penting kita berusaha dulu.”

“Memang benar yang mengatur hidup dan mati itu Sang Pencipta. Tapi kalau kita berusaha, mungkin Sang Pencipta bukan hanya memberi kesempatan Gilang untuk hidup sebentar, tapi lebih lama lagi.” Ucap Zaky.

“Sekarang mari kita Fokus pada prosesnya, jangan berpikir pada hasilnya. Serahkan semuanya kepada Sang Pencipta. Semoga Dia bermurah hati kepada kita dan juga Gilang.” Ucap Zaky dan kata – katanya itu, langsung membuka pikiranku yang kalut ini.

“Oke, oke Ky. Kalau begitu kita sekarang harus ke desa. Ada orang yang terkenal meracik ramuan – ramuan tradisional di desa Jati Bening.” Ucapku dan Zaky langsung mengangguk.

“Kita jalan sekarang. Mau dimanapun itu tempatnya, kalau ada harapan untuk Gilang, kita datangi malam ini juga.” Ucap Zaky

“Tapi siapa yang jaga Gilang disini.?” Tanyaku.

“Ada Mas Jago sama Mas Candra didepan. Tadi aku menelpon mereka berdua.” Jawab Zaky.

“Baguslah.” Ucapku sambil mengangguk pelan, lalu kami berdua melangkah ke arah pintu ruang UGD.

“Sabar Lang, sabar. Aku akan berusaha menyelamatkan kamu, bagaimanapun caranya.” Gumamku sambil menoleh ke arah Gilang.

Zaky. Untung dia datang dan menemaniku hari ini. Kalau dia tidak ada, aku gak tau bagaimana harus melewati hari yang sangat menjacukkan ini. Hari yang paling buruk dan di dalam mimpiku pun, aku tidak pernah mengalaminya.

Cukup sudah aku kehilangan kedua orang tuaku dan Denok wanita yang aku cintai. Aku tidak ingin kehilangan lagi orang yang mengerti aku dan orang yang menjadi panutan hidupku. Akupun tidak ingin berandai – andai Gilang pergi selamanya. Kalau sampai itu terjadi, akan aku guncangkan semesta ini dengan kemurkaanku.

Hiuuffttt, huuuu.

Malam sudah mulai menyapa dan sekarang kami berdua sedang dalam perjalanan ke Desa Sumber Banyu. Setelah tadi sempat berpamitan dan menitipkan Gilang kepada Mas Jago serta Mas Candra, Aku pergi dengan penuh harap kepada orang yang aku tuju ini.

Orang yang aku harapkan itu adalah Eyang Ranajaya dan Eyang Putri yang tinggal di Desa Sumber Banyu. Beliau berdua ahli obat – obatan yang terkenal dan pasti obatnya dapat menyembuhkan Gilang. Beliau pasti membantuku, karena Gilang masih mempunyai hubungan keluarga dengan Eyang Ranajaya.

Hujan mulai mereda dan mobil yang dikendarai Zaky ini melaju kencang, dijalanan yang sepi ini.

Setelah perjalanan yang cukup panjang, akhirnya kami berdua sampai juga didepan rumah Eyang Ranajaya.

Suasana sepi, hening dan penuh dengan kedamaian, langsung menyambut kedatangan kami berdua. Tidak ada bekas hujan sama sekali didesa ini dan itu berbeda dengan Kota Pendidikan yang baru saja dilanda hujan badai.

“Kamu kenal dengan penghuni rumah ini Jok.?” Tanya Zaky ketika kami berdua sudah turun dari mobil dan berjalan ke arah rumah Eyang Ranajaya.

“Beliau terkenal di desa ini dan juga desa sekitar. Beliau juga ada hubungan keluarga dengan Gilang dan pasti kedatangan kita akan disambut dengan baik.” Jawabku sambil menoleh ke arah Zaky.

“Baguslah. Beliau pasti akan membantu Gilang dan semoga saja usaha kita ini mendapatkan hasil yang baik.” Ucap Zaky dengan wajah yang terlihat senang dan aku hanya mengangguk pelan.

Kami berdua lalu berjalan ke arah rumah dan aku terkejut, melihat Eyang Ranajaya duduk diteras rumahnya sambil menghisap rokok klobotnya.

“Permisi Eyang.” Ucapku menyapa Eyang Ranajaya.

Eyang Ranajaya hanya melirik ke arah kami dengan tatapan dingin dan tidak terkejut dengan kedatangan kami berdua.

“Duduk Le.” Ucap Eyang Ranajaya.

Aku dan Zaky langsung saling berpandangan dan kami berdua tetap berdiri ditempat kami ini.

“Mohon maaf Eyang. Kami berdua sedang terburu – buru.” Ucapku dengan nada bicara yang sangat sopan sekali.

“Tujuan kedatangan kami berdua ini, untuk memohon pertolongan dari Eyang Ranajaya dan Eyang Putri.” Ucapku tanpa basa – basi dan aku langsung kepada tujuanku

“Gilang sakit parah Eyang. Dia sekarang kritis dirumah sakit dan dokter sudah angkat tangan.” Ucapku lagi dan Eyang Ranajaya hanya mendengarkan setiap ucapanku dengan tenangnya.

“Saya mohon Eyang mau membantunya dengan ramuan obat – obatan tradisonal yang Eyang punya.” Ucapku dengan suara yang bergetar.

“Maaf, aku tidak bisa membantunya saat ini Le.” Ucap Eyang Ranajaya dan langsung membuatku terkejut.

“Kenapa Eyang.? Eyang kan terkenal bisa membuat ramuan tradisonal yang sangat luar biasa, kenapa Eyang tidak mau membantu Gilang.?” Tanyaku dengan nada yang agak tinggi.

“Aku tau tujuanmu sangat baik, tapi jangan memaksakan kehendakmu.” Ucap Eyang Ranajaya.

“Bukan memaksakan Eyang, tapi saya memperjuangkan.” Ucapku dan entah mendapatkan keberanian dari mana, aku berani menjawab perkataan dari orang yang paling disegani didesa ini.

“Tidak ada manusia yang sempurna Le. Semua pasti mempunyai kelemahan dan pasti mempunyai batas kekuatan. Aku, kamu, ataupun sahabatmu.” Ucap Eyang Ranajaya.

“Kelemahan dan batas kekuatan itu, hanya diketahui ketika sudah berusaha Eyang. Tapi kalau tidak melakukan apa – apa, bagaimana kita mengetahui semua itu.?” Tanyaku dengan suara yang bergetar.

“Apakah melakukan sesuatu itu harus diketahui banyak orang.?” Tanya Eyang Ranajaya.

“Lakukan apa yang bisa kamu lakukan, tanpa perlu diketahui oleh orang lain.” Ucap Eyang Ranajaya.

“Saya datang kemari untuk memohon pertolongan Eyang dan itu untuk sahabat saya. Tidak ada tujuan lain selain itu Eyang. Saya datang kemaripun tidak ada orang yang tau.” Ucapku dan Zaky langsung memegang pundakku.

Aku menoleh ke arahnya dan Zaky menganggukan kepalanya pelan. Dia seperti mongkodeku agar aku lebih tenang berbicaranya.

“Pulanglah Le. Maaf aku tidak bisa membantumu kali ini.” Ucap Eyang Ranajaya dan perlahan emosiku mulai menguasai kepalaku.

“Kalau Eyang gak mau membantu Gilang sebagai sahabat saya, tolong bantu Gilang karena dia keluarga Eyang.” Ucapku dengan nada yang memohon dan aku berusaha menahan emosiku.

Eyang Ranajaya langsung menatapku dengan tatapan yang sangat dalam dan aku langsung menarik nafasku dalam – dalam.

“Kita balik Jok.” Bisik Zaky dan aku tidak menghiraukannya.

“Hidup itu bukan hanya tentang mendapatkan apa yang kamu inginkan. Hidup itu juga mengajarkan tentang menghargai. Menghargai diri sendiri, menghargai orang lain dan menghargai semesta.” Ucap Eyang Ranajaya dan aku langsung menggelengkan kepalaku pelan.

“Baiklah Eyang. Kalau Eyang tidak bisa membantu, saya akan pergi sekarang juga. Tapi sebelum saya pergi, saya ingin bertanya satu hal dengan Eyang.” Ucapku dan Eyang Ranajaya hanya menatapku saja.

“Kalau seandainya penyakit yang sedang diderita Gilang ini, suatu saat akan dialami oleh keluarga terdekat Eyang, apa yang akan Eyang lakukan.?” Tanyaku.

“Hidup, mati dan rezeki itu, hanya Gusti Pengeran yang tau. Jangan berandai – andai tentang itu, karena sama saja kamu menghinaNya. Cukup jalani dan persiapkan semuanya, karena Dia bisa memberi dan Dia bisa mengambilnya sewaktu – waktu.” Jawab Eyang Ranajaya dan aku langsung membalikan tubuhku, meninggalkan Eyang Ranajaya yang hanya menatapku sambil menghisap rokok klobotnya.

Bukannya aku tidak sopan dengan Eyang Ranajaya, bukan. Aku hanya kecewa kepadanya, yang seolah – olah menyuruhku pasrah dengan semua ini.

Aku pergi dengan hati yang hancur berkeping – keping, karena harapanku satu – satunya pupus dan aku harus balik ke Kota Pendidikan dengan tangan hampa.

Aku sangat terpukul dengan keadaan ini dan aku sudah tidak punya harapan untuk kehidupanku selanjutnya. Entah bagaimana kehidupanku esok, karena aku sudah tidak punya semangat dan jiwaku telah mati saat ini.

Hiuuffttt, huuuu.

Dan sekarang, sebelum kembali ke Kota Pendidikan, aku dan Zaky duduk disebuah batu besar dipinggir sungai desaku.

Malam semakin larut dan malam yang tadinya dipenuhi bintang, perlahan ditutupi awan yang tebal. Kilatan – kilatan petir perlahan mulai terlihat menyambar, ditengah hutan terlarang yang ada disebrang sungai sana. Angin mulai berhembus kencang dan aku hanya diam sambil menghisap rokok kretekku.

“Kita balik ke Kota Pendidikan Jok.” Ucap Zaky sambil menoleh ke arahku.

“Untuk apa Ky.? Untuk melihat Gilang merintih kesakitan dan tidak ada harapan sembuh dari dia.?” Tanyaku dan pandanganku tetap kurus kedepan.

“Apa kita disini terus dan kita tidak berbuat apapun untuk Gilang yang masih bernafas.?” Tanya Zaky dan aku hanya diam saja.

“Ayolah Jok. Harapan itu masih ada, karena Gilang masih bernafas. Kita masih diberi kesempatan untuk mencari jalan, walaupun peluangnya sangat kecil.”

“Tidak ada yang tidak mungkin didunia ini, selagi sukma masih menyatu diraga.”

“Semesta pasti akan mengutuk orang – orang yang hanya berdiam diri dan menikmati kesedihannya.” Ucap Zaky dan aku tetap diam, sambil menarik isapan rokokku dalam – dalam, lalu membuang puntung rokokku ketanah.

Aku lalu berdiri perlahan dan menatap kearah langit, yang mulai menurunkan rintik hujannya.

“Tuhan. Kenapa harus Gilang yang menanggung semua ini.? Kenapa bukan aku.? Begitu banyak orang yang menyayangi dan mencintai Gilang. Sedangkan aku, aku hanya sebatang kara didunia ini dan tidak ada yang memperdulikan aku selain Gilang Tuhan.” Ucapku sambil memandang ke arah langit.

Clap, clap, clap, clap.

DUARR, DUARR, DUARR, DUARR.

Kilatan petir yang tadinya tidak terdengar suara, sekarang langsung diikuti suara yang menggelegar.

“Berikan rasa sakit itu kepadaku dan aku akan menerimanya dengan ikhlas Tuhan. Aku akan menerimanya.” Ucapku dan butiran air mataku kembali mengalir.

Clap, clap, clap, clap.

DUARR, DUARR, DUARR, DUARR.

“Tuhan. Aku hanya memohon satu kali saja didalam sisa hidupku ini. Tolong jangan ambil nyawa sahabatku itu dan ambil saja nyawaku yang tidak berguna ini.”

Clap, clap, clap, clap.

DUARR, DUARR, DUARR, DUARR.

“SALAHKU APA TUHAN.? SALAHKU APA.? KENAPA KAU MEMBERIKAN AKU UJIAN SEBERAT INI.? KENAPA.? AMBIL NYAWAKU SEKARANG JUGA TUHAN, AMBIL NYAWAKU.” Teriakku dengan lantangnya.

Clap, clap, clap, clap.

DUARR, DUARR, DUARR, DUARR.

Dan tiba – tiba,

Kring, kring, kring.

Bunyi telpon Zaky dan aku langsung melihat ke arahnya. Dengan tangan yang bergetar, Zaky langsung mengambil Hpnya dikantong dan matanya langsung tertuju pada layar Hpnya.

“Ma, Ma, Mas Candra.” Ucap Zaky terbata dan Zaky belum mengangkat Hpnya.







#Cuukkk. Ada apa ini.? Kenapa Mas Candra telpon.? Apakah ada kabar buruk dari rumah sakit.? Djiancok.!!!
 
Terakhir diubah:
Selamat malam Om dan Tante.

Updete malam dan semoga bisa sedikit memuaskan.
Mohon maaf kalau ada typo dan mohon maaf kalau ada yang tidak nyambung.

Jangan lupa saran dan masukannya.
Jangan lupa berbahagia dan jangan lupa jaga kesehatan.

Salam Hormat dan Salam Persaudaraan.

:beer::beer::beer:
 
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd