Agen Terpercaya  
 
 
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

CERBUNG - TAMAT I M P I A N 2



BAGIAN 41
AIR MATA..



“MAS PANDU.!!!” Teriak Joko dengan emosinya dan Mas Pandu langsung menoleh ke arah Joko, juga dengan emosinya.

“KAMU MAU BELA DIA.?” Teriak Mas Pandu sambil menunjuk ke arah wajah Joko, lalu menunjuk ke arah Zaky yang terkapar bersimbah darah.

Suasana ruangan ini sangat mengerikan. Darah tercecer dimana – mana dan puluhan orang tergeletak tidak bergerak. Hanya Mas Pandu dan Joko yang berdiri, dengan posisi saling menatap dan dengan amarah yang siap mereka ledakan.

Mas Arief sudah duduk bersandar didinding, sementara Mas Adam juga sudah membuka mata, tapi tetap terlentang dilantai. Zaky beserta teman – temannya tidak ada yang sadarkan diri dan semua itu yang membuat suasana tempat ini menjadi semakin menegangkan.

Tubuhku yang sangat lemas karena kondisiku yang sangat tidak sehat ini, hanya bisa terduduk dengan kepala menyandar didinding. Luka akibat benda keras yang menghantam bagian belakang atas kepalaku, membuat pandanganku berkunang – kunang dan semakin membuat tubuhku melemah.

Darah kental membasahi rambut dibagian kepala belakangku dan itu semakin membuat kepalaku terasa pusing.

Aku lemah tidak berdaya dan dihadapanku saat ini, dua orang terdekatku sedang bersiap untuk saling menyerang.

Bajingan. Kenapa aku harus berada diposisi seperti ini dan kenapa aku harus melihat pertumpahan darah yang sangat tidak berguna ini.? Aku harus bisa menghentikannya, sebelum semuanya semakin menjadi dan akan merusak segalanya.

Aku pejamkan kedua mataku, lalu aku menekannya dengan kedua jari manisku, agar pandangan tidak berkunang – kunang lagi. Aku buka lagi kedua mataku dan menatap ke arah mereka berdua. Mata ini sebenarnya sudah terlalu lelah dan butuh istirahat sejenak. Tapi tidak mungkin aku tidur dalam kondisi seperti ini, karena aku pasti akan mendapatkan mimpi yang buruk dan mimpi itu akan menjadi kenyataan.

“Mulailah segera perkelahian kalian berdua. Biarkan aku menikmati sisa hidupku, dengan melihat orang – orang tersayangku saling membantai.” Ucapku pelan dan dengan suara yang bergetar.

“DJIANCOK.!!!.” Maki mereka berdua bersamaan, lalu melihat ke arahku dengan pandangan yang langsung terlihat sayu.

Emosi yang tadinya terpancar sangat jelas dimata mereka, langsung hilang seketika.

“Berikan aku mimpi yang sangat buruk, sebelum malaikat maut menjemputku.” Ucapku lagi dan kedua mata mereka perlahan berkaca – kaca.

“Percayalah, sakit ketika sukma ini dicabut, tidak akan terasa sama sekali. Rasa sakit yang sebenarnya itu, ketika aku melihat kalian saling menumpahkan darah ditempat ini.” Ucapku dan aku memaksakan kedua mataku untuk tetap terbuka.

“Mulailah. Mulailah segera pertarungan kalian. Huupp.” Ucapku lalu tiba – tiba dadaku terasa sangat sakit sekali.

Aku meremas dada kiri bagian bawahku dan aku mencoba menarik nafasku.

“GILANG.!!!” Teriak Mas Pandu dan juga Joko, lalu mereka berdua berlari dan bersimpuh dihadapanku.

“Hiuufftttt, ahhhhhh.” Aku menarik nafasku dalam – dalam, lalu mengeluarkannya perlahan.

Sakit, memang sangat sakit sekali. Tapi aku berusaha melawan sakit ini sekuat tenagaku dan aku tidak ingin menyerah begitu saja. Aku ingin semua berakhir baik dan aku ingin mewujudkan impianku dulu, untuk lulus dari kampus teknik kita. Entah nanti setelah itu aku masih diberi kesempatan atau tidak, aku tidak akan memikirkan hal itu.

Aku merasa sakitku ini bukan sakit biasa dan sakit ini pasti akan merenggut nyawaku. Semua orang yang ada disekitarku pasti paham dengan penyakitku dan mereka tidak berani jujur kepadaku.

“Hiuufftttt, ahhhhhh.” Aku menarik nafasku lagi dalam – dalam, lalu mengeluarkannya perlahan.

“Ayo kerumah sakit.” Ucap Joko dan aku langsung menggelengkan kepalaku.

“Kenapa.?” Tanya Mas Pandu dan tidak terlihat lagi emosi ditatapan matanya.

“Untuk apa aku kerumah sakit Mas.? Apa supaya aku sembuh, terus aku harus melihat kegilaan macam ini lagi.?” Tanyaku dan kembali aku menarik nafasku dalam – dalam.

“Hiufftt, huuuu.”

“Kalau kamu gak diculik, kejadian ini gak akan terjadi.” Ucap Mas Pandu dengan suara yang bergetar.

“Hup.” Aku berusaha berdiri dan ketika mereka berdua ingin membantuku, aku langsung menggelengkan kepalaku pelan.

Aku berusaha berdiri dengan bersusah payah dan mereka juga ikut berdiri, dengan wajah yang terlihat sangat khawatir.

Aku merenggangkan otot – otot leherku dengan memiringkan kepalaku kekanan, kebelakang, kekiri, menunduk, lalu aku tegakkan lagi.

“Ahhh.” Aku menghembuskan nafas panjangku, sambil melihat ke arah depan.

“Ternyata aku ini membuat susah aja ya.” Ucapku pelan dan kedua orang yang berdiri dihadapanku ini, menatapku dengan mata yang berkaca – kaca.

“Sudah membuat susah, membuat orang celaka lagi.” Ucapku lagi sambil menatap mereka bergantian.

“Maaf.” Ucapku dengan suara yang bergetar, lalu aku berjalan tertatih – tatih.

“Lang.” Panggil Joko ketika aku akan melewatinya dan aku hanya tersenyum sambil terus berjalan pelan.

“Kate nangdi koen.?” (Mau kemana kamu.?) Tanya Mas Pandu dan aku juga tersenyum kepadanya.

Aku lalu melangkah ke arah pintu, sambil melirik ke arah Zaky yang masih tidak sadarkan diri.

Cok. Kenapa ini harus terjadi dan kenapa teman – teman Zaky menculikku.? Aku salah apa dan kenapa mereka sampai melukaiku.?

Kejadian yang menimpaku ini berlangsung begitu cepat. Kepalaku dipukul sampai aku pingsan dan aku baru tersadar ketika sudah berada diruangan ini.

Pertempuran berdarah langsung tersaji dihadapanku, ketika mata ini terbuka. Mas Pandu, Mas Arief dan Mas Adam, dikeroyok oleh puluhan orang. Orang - orang yang mengeroyok para dedengkot pondok merah itu, sebagian besar aku kenal dan sebagian kecil lainnya aku tidak pernah melihatnya sama sekali. Orang yang aku kenal itu adalah anak – anak dari black house.

Entah apa yang ada dipikiran anak – anak blackhouse, sampai mereka berani menculik aku. Mereka semua mengenal aku dan mereka juga tau kalau aku sangat dekat dengan Zaky. Jadi untuk apa mereka menculik aku dan siapa otak dibalik ini semua.? Atau jangan – jangan, salah satu orang yang tidak aku kenal diantara anak – anak blackhouse itu yang jadi otaknya.?

Arrgghhh. Bajingan.

Sebenarnya kejadian ini tidak akan menjadi serumit ini, kalau saja mereka yang bermasalah dengan aku, langsung menemui aku dan menyelesaikan masalah yang ada dipikiran mereka. Entah hasil akhirnya nanti mereka akan bertarung dengan aku satu – persatu atau langsung main keroyokan, aku tidak akan mempermasalahkannya. Tapi berhubung mereka main culik dan diketahui orang – orang terdekatku, kejadian berdarah ini tidak bisa dihindarai. Seandainya aku tersadar sedari tadi, pertumpahan darah ini juga pasti bisa dihindari.

Tapi sudahlah. Apa yang sudah terjadi, terjadilah. Sekarang aku hanya bisa menyesali dan mengutuk diriku sendiri, karena aku selalu membuat masalah bagi orang – orang disekitarku. Aku hanya bisa membuat mereka menderita dan aku tidak bisa memperbaiki semua.

Apakah disisa – sisa hidupku, aku akan menjadi orang yang tidak berguna dan malah menyusahkan.? Jangan, jangan sampai itu terjadi. Kalaupun memang aku tidak berguna, jangan sampai aku menyusahkan orang lain lagi. Cukup sudah orang lain menderita karena aku dan aku tidak ingin menambahnya lagi.

“Awakmu iku kate nangdi cok.?” (Kamu itu mau kemana cok.?) Tanya Joko dari arah belakangku, ketika aku sudah berdiri didepan pintu kosan.

“Pulang.” Jawabku sambil menoleh ke arahnya, lalu aku akhiri dengan sebuah senyuman.

“Muleh nangdi Lang.? Kosanmu adoh, opo maneh omahmu nde Sumber Banyu.” (Pulang kemana Lang.? Kosanmu jauh, apalagi rumahmu di Sumber Banyu.) Sahut Mas Pandu.

“Gak apa – apa Mas, aku mau cari udara segar dulu.” Jawabku lalu aku menoleh ke arah depan dan mulai melangkah.

“Gak apa – apa apanya.? Jawabanmu gak nyambung cok.” Sahut Joko dan terdengar dia berlari ke arahku.

“Lang. Berhenti.” Ucap Mas Pandu dan aku tidak menghiraukan mereka berdua.

“Mau kemana kamu.?” Tanya seseorang yang berdiri di samping mobil hartop berwarna hijau tua dan aku langsung melihat ke arah asal suara itu.

Terlihat Pak Tomo berjalan dari arah samping dan beliau melihat ke arahku sambil menghisap rokoknya. Aku sangat terkejut melihat sesosok makhluk yang baru datang itu dan dia berdiri tidak jauh dari tempat aku berdiri ini. Bukan Pak Tomo, tapi sesosok bayangan berjubah hitam dan sebagian kepalanya tertutup. Wajahnya tidak terlihat dan auranya sangat menyeramkan.

Seluruh tubuhku merinding dan aku hanya bisa diam terpaku menatapnya.

Siapa makhluk itu.? Aku tidak pernah melihatnya apalagi mengenalnya. Apa makhluk itu penjaga Pak Tomo.? Tapi kenapa dia baru terlihat sekarang, setelah sekian lama aku mengenal Pak Tomo.? Tidak mungkin, tidak mungkin itu makhluk penjaga Pak Tomo. Wajah Pak Tomo memiliki aura yang positif dan biasanya orang yang mempunyai aura seperti itu, penjaganya juga pasti memiliki aura yang positif. Atau jangan – jangan makhluk itu malaikat penyabut nyawa, yang sengaja memperlihatkan wujudnya dan memberi suatu pertanda untukku.? Argghh, bajingan.

“Kebiasaanmu itu tidak bagus Lang.” Ucap Pak Tomo dan pandanganku langsung mengarah kepada beliau.

“Maksudnya Pak.?” Tanyaku sambil melirik ke arah makhluk yang ada dibelakang Pak Tomo dan sekarang dia sudah menghilang.

Cok. Kemana perginya makhluk itu.? Kenapa dia pergi begitu saja.? Apa tadi makhluk itu beneran ada, atau hanya penglihatanku yang agak kacau, akibat hantaman balok tadi.? Djiancok.

“Suka menyalahkan diri sendiri dan meninggalkan masalah yang seharusnya bisa kamu selesaikan.” Jawab Pak Tomo dan terdengar langkah dua orang yang berhenti dibelakangku.

“Urus teman – temanmu didalam, biar manusia satu ini aku yang urus.” Ucap Pak Tomo sambil melihat ke arah belakangku.

“Iya Pak.” Jawab Mas Pandu dan terdengar langkahnya yang menjauh.

“Terus kamu, kenapa kamu gak mengurus teman – temanmu didalam.?” Tanya Pak Tomo.

“Saya ingin mendampingi Gilang Pak.” Jawab Joko.

“Kamu gak percaya sama aku.?” Tanya Pak Tomo dengan tatapan yang sedikit tajam.

“I, I, I, iya Pak.” Jawab Joko dan dia juga langsung beranjak pergi.

Kembali Pak Tomo melihat ke arahku dan kembali beliau menghisap rokoknya.

“Bukannya saya mau lari dari masalah Pak, bukan. Saya hanya tidak ingin memperumit masalah saja, ketika saya berdiam diri didalam masalah itu.” Ucapku ketika suara langkah kaki Joko tidak terdengar lagi.

“Hahaha. Pengecut.” Ucap Pak Tomo dengan sinisnya dan itu langsung mengejutkanku.

“Didalam sana orang – orang yang ada disekitarmu sedang bertarung demi kamu dan kamu hanya pergi begitu saja, tanpa melakukan apapun.? Laki – laki macam apa kamu ini.?” Ucap Pak Tomo dan matanya terlihat melotot.

“Kamu hanya mengandalkan sakit yang kamu derita dan kamu pasti mengharapkan belas kasihan dari teman – temanmu untuk menghentikan pertarungan itu, tanpa memberikan solusi untuk akhir masalah. Bukan seperti itu laki – laki sejati Lang, bukan.”

“Kalau kamu tidak bisa memberikan solusi untuk suatu masalah, setidaknya jangan lari dari masalah itu.”

“Jangan berlindung dibalik kata ‘aku gak tega melihat darah mengalir dari tubuh orang – orang tersayang, aku penyebab masalah ini, harusnya aku sendiri yang menyelesaikan ini tanpa perlu melibatkan orang lain apalagi mengorbankan orang – orang disekitarku.’ Jangan, jangan seperti itu.”

“Ketika ada orang yang rela mengeluarkan tetesan darahnya untukmu dan menumpahkan keringat untukmu, tidak ada kepentingan lain selain cinta disitu. Apa kamu tega menghempaskan cinta mereka demi pemikiran konyolmu itu.? Ha.?” Ucap Pak Tomo yang semakin lama semakin menghantam dadaku.

“Kalau kamu mau mati, matilah. Tapi jangan meninggalkan rasa sesal yang begitu mendalam bagi orang – orang yang ada disekitarmu.” Ucap Pak Tomo dan kali ini suaranya terdengar bergetar.

“Rasa sesal tidak bisa menjagamu, rasa kecewa tidak bisa membahagiakanmu, rasa bersalah tidak memperhatikan kamu dan rasa sakit tidak bisa melihat senyum tulusmu.” Ucap Pak Tomo dan aku hanya bisa menangis didalam hatiku.

“Hiufffttt.” Aku menarik nafasku dalam – dalam, ketika dadaku terasa bergetar.

“Huuuu.” Aku hembuskan nafasku, dengan diringi kedua mataku yang berkaca - kaca.

Pak Tomo langsung memalingkan wajahnya, sambil menghisap rokoknya.

“Masuk kedalam mobil. Aku akan mengantarmu kemanapun tujuanmu.” Ucap Pak Tomo tanpa melihat ke arahku, sambil berjalan ke arah mobilnya. Sempat terlihat penyesalan yang begitu mendalam dari pandangan Pak Tomo tadi, tapi aku gak tau penyesalan untuk apa.

Akupun hanya bisa diam mematung dan aku seperti ditampar oleh kata – kata Pak Tomo tadi. Aku bukannya menenangkan mereka kita selesai pertempuran, tapi justru aku meninggalkan mereka dengan perasaan yang sangat menyedihkan.

Tindakanku tadi seolah aku membutuhkan belas kasihan dari mereka, sedangkan mereka sudah mengorbankan segalanya untukku. Ini jelas berbanding terbalik dengan pikiranku yang jelas – jelas anti dengan yang namanya belas kasihan, bagaimanapun kondisiku. Kenapa bisa aku sebodoh ini.? Bajingan.

“Apa perlu aku seret dan aku lempar kamu kedalam mobil, supaya kamu cepat masuk.?” Ucap Pak Tomo yang berdiri didekat pintu mobil bagian kanan depan.

“Kalau kamu gak menuruti aku, aku gak perduli dengan kondisimu yang menyedihkan ini,” Ucap Pak Tomo lagi, dengan tatapan matanya yang tajam, lalu beliau membuang puntung rokoknya.

Aku pun langsung melangkah pelan ke arah mobilnya. Aku mengikuti perintah beliau bukan karena takut, tapi semata – mata karena aku segan dan hormat kepada beliau.

Aku lalu membuka pintu mobil bagian kiri dan Pak Tomo membuka pintu bagian kanan depan. Dan pada saat aku sudah didalam mobil, aku lihat Joko dan Mas Pandu keluar dari rumah. Mas Pandu dan Mas Arief menggotong Mas Adam, sementara Joko membopong Zaky.

Cok. Aku hanya bisa memandang mereka semua dan mereka membalas tatapanku dengan tatapan yang datar.

Mobil mulai berjalan pelan dan suasana sore hari yang dingin di Kota Pendidikan ini, langsung menyelimuti tubuhku.

Kami berdua sama – sama diam dan aku langsung merapikan rambut bagian atasku, mengarah kebelakang kepala. Rambutku mulai agak kaku, karena darah yang keluar dari luka dikepalaku agak mengering.

Luka ini tidak begitu terasa sakit, karena aku sudah terbiasa merasakan sakit yang sangat luar biasa dibagian dadaku. Kalau masalah pusing, gak usah ditanyakan lagi. Sekarang aja pandanganku masih agak berkunang – kunang, walaupun tidak separah ketika aku baru sadar tadi.

“Aku harap kamu tidak pasrah lagi dengan keadaanmu, sehingga orang – orang yang ada disekitarmu tidak terlalu khawatir.” Ucap Pak Tomo membuka pembicaraan dan nada bicaranya sudah tidak setinggi tadi.

“Maaf, bukannya saya pasrah Pak. Saya hanya bingung dengan kondisi tubuh ini, karena tidak ada satupun yang mau jujur tentang hasil yang keluar dari rumah sakit, ketika saya dirawat di UGD waktu itu.” Ucapku dan Pak Tomo langsung menarik nafasnya dalam – dalam.

“Apa jangan – jangan Bapak juga tau tentang hasil itu, tapi Bapak menutupi seperti teman – teman saya yang lain.?” Tanyaku sambil melihat ke arah beliau dan Pak Tomo langsung membuka jendela sebelah kanan, setelah itu beliau mengambil rokoknya dan membakarnya.

“Hiuuffttt.” Pak Tomo menarik isapan rokoknya dalam – dalam, lalu mengeluarkan asap tebal dari mulutnya.

“Huuuuu.”

“Apa aku harus tau semua tentang kamu.? Apa aku harus tau isi kepalamu.? Apa aku harus tau keseharianmu.? Memangnya kamu siapa.?” Ucap Pak Tomo sambil sesekali melirikku dan aku hanya tersenyum.

Gila juga Pak Tomo ini. Sebegitu besarnya perhatiannya kepadaku, tapi beliau berusaha menutupinya dan seolah cuek denganku. Tatapan matanya tidak bisa mendustai aku dan perhatiannya tidak bisa membohongi aku.

Aku yakin Pak Tomo tau banyak tentang aku dan juga tentang penyakit yang aku derita. Beliau sama seperti orang – orang disekitarku yang tidak mau jujur kepadaku. Bajingan.

Aku pun akhirnya tidak bertanya lagi dan kami berdua sama – sama berdiam diri.

Mobil melaju dijalanan pinggiran kota ini dan mengarah ke kosanku.

Hiuufftt, huuuu.

Matahari sebentar lagi terbenam dan warna jingga terlihat di arah barat sana.

Senja mulai menyapa dan kali ini aku merasa senja agak berbeda dari seperti biasanya. Senja seperti sedang tersenyum dan membawa sebuah berita. Entah berita apa, tapi hatiku langsung diselimuti bahagia.

Senja adalah waktu peralihan dari sore ke malam dan itu sangat singkat, sesingkat kehidupan yang kita jalani.

Senja adalah waktu yang tepat untuk kita bersyukur dan merenung tentang arti kehidupan.

Senja tidak perlu ditunggu, karena dia pasti akan datang dengan sendirinya. Sama seperti akhir kehidupan, yang pasti akan datang menyapa kita.

Tidak ada kehidupan yang sempurna, tapi menyempurnakan hidup, kita pasti bisa. Dan itu seperti warna jingga yang menyempurnakan senja ketika menyapa.

Ahhh, senja. Apakah kamu akan membawaku pergi bersama keindahanmu.? Ayolah, berbisiklah kepadaku agar hati ini menjadi teduh, seteduh kilauanmu.

Hiuufftt, huuuu.

“Salah satu alasanku ada disini, karena dia yang selalu menantimu.” Ucap Pak Tomo yang mengejutkanku dan aku langsung melihat ke arah Pak Tomo, lalu melihat ke arah yang ditunjuknya.

Mobil ini ternyata sudah berhenti didepan kosanku dan diteras kosanku, seorang wanita duduk dilantai sambil memeluk lututnya yang ditekuk. Dagunya diletakkan di atas lutut dan pandangan wanita itu terlihat sangat menyedihkan. Wanita itu pasti memikirkan aku dan dia pasti sangat khawatir, sampai dia tidak menyadari kehadiran kami. Wanita itu adalah Ratna Silvi Juwita. Wanita tercantik, terbaik dan selalu penuh dengan perhatian.

Aku terus menatapnya dan tiba – tiba makhluk yang menyeramkan yang aku lihat berdiri dibelakang Pak Tomo tadi, sekarang muncul lagi dan dia berdiri disebelah Ratna. Makluk itu seperti melihat ke arahku, tapi wajahnya tetap tak terlihat.

Rasa takut mulai muncul dihatiku, tapi bukan karena kehadiran makhluk itu. Rasa takut ini muncul, karena melihat Ratna yang sangat bersedih.

Aku yang berada dalam kondisi seperti ini saja, dia sudah seperti itu. Apalagi aku pergi selamanya dari dia.? Aku gak bisa membayangkan kesedihan yang akan diderita oleh Ratna disisa hidupnya dan itu pasti tidak akan membuatku tenang selamanya. Kelihatannya aku harus mengakhiri semuanya dengan Ratna, hari ini juga.

“Aku tidak ingin kamu menyakiti hati dan cintanya yang begitu dalam kepadamu. Aku hanya ingn kamu memberikan dia senyuman satu kali saja, yang akan selalu di ingat seumur hidupnya.” Ucap Pak Tomo, sambil melihat ke arah Ratna.

“Justru itu yang saya takutkan Pak. Setelah apa yang saya alami hari ini, saya takut mendekati Ratna.” Jawabku dan Pak Tomo langsung melihat ke arahku.

“Coba tolong Bapak lihat Ratna Pak, tolong Bapak lihat. Ratna terlihat sangat bersedih dan dia sangat takut kalau terjadi apa – apa dengan saya.” Ucapku sambil melihat ke arah Pak Tomo sejenak, lalu melihat ke arah Ratna. Kembali makhluk tadi menghilang entah kemana dan hanya meninggalkan Ratna yang bersedih. Bajingan.

“Penculikan dan kekerasan yang saya alami hari ini, terjadi tepat dihadapannya. Ratna pasti melihat semua kejadian tadi dan dia pasti sangat terpukul sekali.” Ucapku dengan suara yang bergetar.

“Saya tidak bisa membayangkan apa yang terjadi dengan Ratna, kalau saya benar – benar pergi selamanya hari ini.” Ucapku dengan kedua mata yang mulai berkaca – kaca.

“Dan pilihanmu menjauhi Ratna, setelah kamu menjanjikan sebuah pernikahan untuknya.?” Tanya Pak Tomo dan itu langsung membuatku terkejut.

Djiancok. Bagaimana Pak Tomo tau tentang itu, padahal kami baru tadi siang membicarakan hal ini. Apa Ratna bercerita kepada Pak Tomo ketika aku tadi diculik dan Ratna meminta bantuan Pak Tomo untuk membebaskanku.?

Tadi siang aku memang sempat mengucapkan janji untuk menikahi Ratna, tapi itu sebelum aku melihat kondisinya yang seperti ini dan sebelum aku melihat kedatangan makhluk yang menyeramkan itu. Aku takut ketika janji itu aku tepati dan hidupku tidak akan lama, pasti kondisi Ratna akan lebih menyedihkan.

Bukannya aku ingkar janji, bukan seperti itu. Aku takut kebahagiaan yang dirasakan Ratna hanya sebentar, setelah itu dia akan tersiksa diakhir hidupnya. Apa aku bisa tenang dialam sana, ketika Ratna menderita didunia ini.?

Walupun orang – orang tidak cerita tentang penyakitku, aku merasa hidupku sudah tidak lama lagi. Sakit ini benar – benar sangat menyiksaku dan aku tidak ingin pergi dengan meninggalkan sakit yang lain bagi Ratna.

Terdengar kejam sih. Tapi mau bagaimana lagi, lebih baik Ratna sakit sekarang dan dia bisa sembuh ketika menemukan penggantiku, daripada dia bahagia hanya beberapa saat bersamaku.

“Iya Pak.” Jawabku dan aku sangat berat sekali mengucapkannya.

“Apa kamu yakin dengan keputusanmu ini.? Apa setelah kamu mengingkari janjimu, Ratna bisa bangkit dari sakit hatinya dan melupakanmu.?” Tanya Pak Tomo dan aku menundukan kepalaku sejenak,lalu melihat ke arah Ratna lagi.

“Aku bukannya mau ikut campur dengan masalah cintamu dan aku tidak akan memaksamu untuk melakukan apa yang aku minta. Aku hanya mengingatkanmu.” Ucap Pak Tomo lalu beliau menghentikan ucapannya sejenak dan menoleh ke arahku.

“Jangan pernah memaksa atau melawan jalan takdir hidupmu. Biarkan dia menemukan jalannya sendiri, dengan cara dan waktu yang telah ditentukan oleh Sang Pencipta.”

“Sekuat apapun kamu menolak, yang datang akan tetap datang. Sekuat apapun kamu berjuang, yang pergi akan tetap pergi.” Ucap Pak Tomo dengan tatapan yang sangat dalam ke arah mataku.

Cok. Kata – kata Pak Tomo ini langsung membuatku diam membisu, tanpa ada perlawanan kata sama sekali. Aku tidak bisa membantahnya dan aku juga tidak sanggup mengiyakan, karena pikiranku yang sudah gak karuan ini. Aku hanya bisa menunduk sejenak, lalu melihat ke arah Ratna lagi.

“Sekarang kamu turun dan selesaikan masalahmu dengan Ratna. Aku akan menunggu disini, karena aku harus membawanya pulang.” Ucap Pak Tomo dengan suara yang pelan, tapi dengan penekanan kata yang tegas.

Kembali aku melihat ke arah Pak Tomo yang menatap lurus kedepan.

Aku lalu membuka pintu mobil dan aku tetap tidak bisa mengeluarkan suaraku, walau sekedar ucapan terimakasih karena mengantarkan aku pulang.

Tenggorokanku terasa tercekat dan lidahku terasa kaku. Pikiranku tidak karuan dan tubuhku seperti tidak bertenaga. Aku turunkan kaki kiriku ketanah perlahan, lalu aku keluar dari mobil dengan tubuh yang agak gemetaran.

Dan ketika aku akan menutup pintu mobil, aku melihat ke arah wajah Pak Tomo yang masih menatap lurus kedepan. Terlihat dari arah samping wajahnya itu, Pak Tomo sedang melamun dan seperti tidak tersadar, kalau butiran air matanya siap menetes diujung kelopak matanya.

Brak.

Aku menutup pintu mobil dengan sangat pelan sekali, setelah itu aku menegakkan tubuhku dan melihat ke arah Ratna.

Aku langkahkan kedua kakiku perlahan dan terlihat Mas Candra keluar dari pintu kosan.

“Gilang.” Ucap Mas Candra dengan suara agak berat.

Ratna langsung tersadar dari lamunannya dan dia melihat ke arahku.

“Hiks, hiks, hiks.” Terdengar suara tangis Ratna dan dia berusaha menutup mulutnya dengan kedua telapak tangannya yang saling bertumpu.

Cukup, cukup sudah kesedihan yang ditanggungnya karena aku dan aku harus mengakhiri semuanya saat ini juga. Tega gak tega, kuat gak kuat, tahan atau tidak tahan, aku harus memutuskan hubungan yang benar – benar sangat singkat ini.

Entah dia menilaiku sadis atau keji sekalipun, aku tidak perduli. Aku tidak sanggup melihatnya menanggung derita yang pasti sangat berat, ketika harus kehilangan diriku.

Hiuuffftt, huuuu.

Perlahan Ratna mulai berdiri, dengan pundak yang bergetar dan tangis yang sesenggukan. Aku langsung memalingkan wajahku, karena aku tidak ingin pikiranku berubah ketika melihat wajahnya yang sangat penuh perhatian dan cinta kepadaku itu.

Aku takut keputusan untuk mengakhiri segalanya ini akan gagal, karena tatapan matanya pasti akan membuat cintaku memperjuangkan kembali apa yang seharusnya menjadi milikku.

Cukup, cukup sudah.

Terdengar langkah Ratna yang mendekat ke arahku dan aku tetap memalingkan wajahku ke arah yang lain.

Dan ketika Ratna sudah berada dihadapanku, dia langsung memegang pergelangan tangan kananku dengan sangat lembut dan aku tetap tidak melihat ke arahnya

“Sebenarnya aku ingin memelukmu, tapi aku tidak sanggup. Aku takut darah yang keluar dari luka dikepalamu, akan membuatku lemah dan bisa saja aku langsung tidak sadarkan diri.” Ucap Ratna dengan tangis yang tertahan dan aku berusaha untuk tetap tidak melihat ke arahnya.

Aku menguatkan hatiku, walaupun cinta didalamnya memaksaku untuk melihat ke arah wajahnya.

“Kita bersihkan lukamu dulu.” Ucap Ratna sambil memutar tubuhnya ke arah depan, lalu menarik tanganku pelan.

Aku langsung menahan tubuhku, agar kedua kakiku tidak melangkah. Hatiku menangis melakukan ini, karena wanita yang memegang pergelangan tanganku ini sangat tulus dan dia sangat mencintai aku. Dari ujung ekor mataku, terlihat wanita ini membalikan tubuhnya dan melihat ke arah wajahku yang masih tetap berpaling darinya.

“Kamu mau mengingkari janjimu ya.?” Terdengar suara Ratna yang begitu menyedihkan dan dia melepaskan pegangannya dipergelangan tanganku.

Cok, bajingan, assuuu, gathell. Kenapa dia harus mengucapkan kata – kata itu, sebelum aku mengucapkan kata pisah dengannya.? Kenapa.? Djiancok.

“Kalau kamu berkata jujur dan itu bisa membuatmu bahagia, aku tidak akan menuntut ingkarnya janjimu. Tapi kalau itu hanya untuk menyakiti dirimu, karena kamu tidak tega melihatku menderita, aku sangat tidak ikhlas dan aku akan menuntut kepada Sang Pencipta.” Ucap Ratna dan aku langsung menoleh ke arahnya.

“Aku sangat mencintaimu, tapi aku tidak butuh belas kasihan darimu. Aku sangat menyayangimu, tapi aku tidak suka dianggap lemah olehmu. Aku menyerahkan segala yang ada didalam hatiku, bukan untuk mencari simpatimu.” Ucap Ratna, lalu dia membersihkan sisa – sisa air matanya.

Mas Candra yang berdiri dibelakang Ratna, langsung masuk kedalam kosan dan wajahnya terlihat sangat menyedihkan.

“Rat, bukannya aku.” Ucapku terpotong karena Ratna langsung memegang pergelangan tanganku lagi.

“Kita bersihkan lukamu dulu dan aku tidak mau kamu menolaknya.” Ucap Ratna yang memotong ucapanku dan langsung menarikku pelan.

Entah kenapa kedua kakiku ikut melangkah dan tubuhku juga pasrah dengan tarikan tangan Ratna kali ini. Aku tidak sanggup menolaknya dan aku tidak mampu untuk menghindar lagi.

Arrgghhh. Susah sekali sih aku tegas dengan apa yang ada dikepalaku saat ini. Kenapa aku harus melemah, padahal ini untuk kebaikan Ratna sendiri.? Kenapa.? Bajingan.

Hiuufftt, huuu.

Kami berdua langsung masuk kedalam ruang tengah dan Mas Candra sudah menunggu kedatangan kami, dengan kotak P3K ditangannya. Ratna melepaskan pegangan tangannya, tepat didepan kursi kayu diruang tengah. Dia mengambil kotak P3K yang disodorkan Mas Candra, lalu setelah itu dia membalikan tubuhnya dan aku tetap berdiri menatapnya.

“Duduk.” Ucap Ratna singkat dan Mas Candra langsung berjalan keruang belakang.

Aku menarik nafasku dalam – dalam, lalu mengeluarkannya perlahan. Aku lalu duduk dikursi kayu dan Ratna berjalan ke arah belakangku.

Ratna langsung membersihkan rambutku yang mulai mengering karena terkena darah, lalu dilanjut dengan membersihkan luka – lukaku.

Kedua mataku kembali berkaca – kaca, bukan karena luka yang dibersihkannya. Air mata ini mau tertumpah, karena perlakuan lembut dari Ratna. Air mata ini membendung dikelopak mata, karena semua sentuhannya disertai dengan rasa sayang dan cintanya yang sangat tulus.

Sungguh aku sangat tidak tega mengakhiri semua ini, tapi aku lebih tidak sanggup merasakan kesedihannya, ketika perjalanan cinta ini dilanjutkan.

Hiuuffft, huuu.

Tarikan dan hembusan nafasku kali ini terasa bergetar, ketika perban mulai melingkar dikepalaku. Aku langsung memejamkan kedua mataku, agar air mata ini tidak tertumpah.

Ratna tetap berdiri dibelakangku, setelah perban ini terpasang seutuhnya dilingkaran kepalaku.

“Bagaimanapun kondisimu saat ini dan apapun yang akan terjadi dimasa depan, aku tidak perduli. Hatiku telah memilih dan pilihan ini tidak akan pernah berubah selamanya.” Ucap Ratna pelan, tapi sangat tegas sekali.

Dan setelah Ratna mengucapkan itu, terdengar langkah kakinya berjalan ke arah pintu keluar kosan yang ada dibelakangku. Kembali aku terdiam dan aku tidak membalikan tubuhku untuk mencegahnya pergi.

“Oh iya. Aku tegaskan kepadamu sekali lagi. Aku tidak pernah memaksamu untuk memilihku sebagai pendamping hidupmu dan aku tidak ingin menjalani suatu hubungan dengan keterpaksaan.” Ucap Ratna, setelah itu terdengar lagi langkahnya berjalan dan dia pergi dengan di iringi butiran air mataku yang mulai mengalir.

Kuatkan hatimu Lang, kuatkan.

“Terus apa maumu sekarang.?” Tanya Mas Candra yang keluar dari kamar dan aku hanya menunduk sambil membersihkan air mataku, lalu setelah itu aku melihat ke arah Mas Candra.

“Aku hanya ingin semua orang terdekatku bahagia, ketika aku sudah pergi dari sini.” Jawabku.

“Pergi.? Pergi kemana.?” Tanya Mas Candra dan aku tau kalau itu hanya basa – basi yang keluar dari mulutnya.

“Pertanyaan sampean itu lucu Mas, lucu banget. Sampean sudah tau kemana aku akan pergi, tapi masih aja kata – kata itu sampean tanyakan.” Jawabku dengan nada yang sangat sinis dan Mas Candra langsung melihatku dengan tatapan yang terkejut.

Aku terus menatapnya dan kali ini aku akan mendesaknya, agar Mas Candra jujur tentang penyakit yang aku derita. Aku sudah cukup lelah dengan apa yang bermain didalam pikiranku dan sekarang saatnya semua harus jelas, sejelas – jelasnya.

Saat ini hanya ada kami berdua dikosan dan tidak mungkin Mas Candra akan menghindar lagi. Aku akan mendesaknya, bagaimanapun caranya.

“Mas.” Ucapku dan Mas Candra langsung terlihat grogi.

“Kamu yakin kalau yang kamu tinggalkan akan bahagia.?” Terdengar suara Mas Jago yang tiba – tiba muncul dari arah pintu kosanku dan Mas Candra langsung menghela nafas panjangnya.

“Ya, walaupun sakit diawal.” Jawabku.

“Kamu bukan Sang Pencipta, yang tau tentang masa depan seseorang.” Ucap Mas Jago, lalu dia berdiri didekat Mas Candra.

Cok. lagi dan lagi perkataan yang kurang lebih sama seperti yang diucapkan Pak Tomo tadi, sekarang dikeluarkan lagi oleh Mas Jago dan itu langsung membuatku terdiam.

“Aku gak tau ada apa dengan dirimu saat ini Lang. Kamu menjadi pribadi yang berbeda dan kamu bukan seperti Gilang yang aku kenal dulu.” Ucap Mas Jago dengan tatapan nanar dan dia seperti sangat kecewa sekali denganku.

“Kalau aku tau tujuan Gilang melakukan semua ini.” Ucap Mas Candra dan Mas Jago langsung melirik ke arahnya.

“Dia berubah seperti ini, agar orang – orang melupakannya ketika dia sudah keluar dari kampus teknik kita.” Ucap Mas Candra.

“Djiancok. Terus kita yang ada dikosan ini, mau disamakan sama mereka yang ada diluar sana.?” Ucap Mas Jago dengan emosinya.

“Kita ini bernaung diatap yang sama Lang. Kita ini saudara walau tak sedarah dan kita ini keluarga walau berasal dari rahim yang berbeda.” Ucap Mas Candra dan aku langsung tersenyum mendengarnya.

“Saudara mana yang menutupi sesuatu kepada saudara yang lain.? Keluarga mana yang tidak mau berbagi, kepada keluarga yang lain.?” Tanyaku sambil memandang mereka berdua bergantian.

“Sepahit apapun itu, sesakit apapun itu, sepedih apapun itu, kejujuran pasti yang diutamakan dalam hubungan persaudaraan dan kekeluargaan.” Ucapku dan raut wajah mereka berdua langsung berubah seketika.

“Apa Mas – Mas sudah melakukan itu kepadaku.?” Tanyaku dan tidak ada jawaban dari mereka berdua.

“Ayolah Mas. Aku tidak pernah menutupi apapun dari sampean berdua, tapi kenapa sampean berdua seperti menyimpan sesuatu yang sangat besar dan itu tentang aku.”

“Ada apa dengan sampean berdua.? Ada apa.?” Tanyaku dan mereka berdua langsung memalingkan wajahnya dari tatapan mataku.

“Gusti mboten sare mas” (Sang Pencipta tidak tidur Mas.) Ucapku dan kembali mereka berdua melihat ke arahku.

“Walaupun sampean berdua tetap bersikeras tidak mau memberi tahu, Sang Pencipta pasti akan tetap memberikan aku petunjuk.” Ucapku dan pandangan mereka berdua langsung berubah menjadi sayu dan sangat menyedihkan sekali.

“Terus sekarang maumu apa.?” Tiba – tiba terdengar suara Joko dari arah pintu kosan dan aku langsung menoleh ke arahnya.

“Kamu mau kami jujur.? Begitu.?” Tanya Joko dan aku hanya menatapnya saja.

“Jok.” Ucap Mas Candra yang seperti menahan Joko, agar tidak melanjutkan ucapannya.

“Kenapa Mas.?” Tanya Joko ke Mas Candra, sambil melangkah masuk kedalam kosan dan dia berhenti tepat disebelahku yang masih duduk ini.

Pakaiannya terlihat dipenuhi bercak darah dan itu pasti darah dari Zaky yang di bopongnya tadi.

“Kita gak akan bisa terus menerus menutupi rahasia ini dari dia dan harus aku sendiri yang memberitahunya.” Ucap Joko dengan suara yang bergetar.

“Hiuffttt, huuuu.” Mas Jago dan Mas Candra menarik nafasnya dalam – dalam, dengan tatapan memohon agar Joko tetap merahasiakannya.

Aku lalu berdiri dan menatap ke arah wajah Joko yang tidak melihat ke arahku. Aku menunggu keberanian Joko, untuk mengucapkan sesuatu yang selama ini disembunyikannya dari aku.

Joko tetap tidak melihat ke arahku dan aku hanya bisa melihat wajah sampingnya saja.

“Terus kamu harus menunggu apa untuk mengatakannya Jok.?” Tanyaku dan Joko langsung menoleh ke arahku.

“Menunggu sampai kamu benar – benar ikhlas dan kamu menerima semuanya dengan lapang dada, tanpa harus membuat orang lain yang menyesal.” Jawab Joko dengan emosi bercampur kesedihan yang sangat mendalam.

“Jangan ajari aku tentang keikhlasan, kalau kamu sendiri tidak bisa sanggup melakukannya.” Ucapku dan kedua matanya langsung berkaca – kaca.

Joko langsung memalingkan wajahnya, sambil menarik nafasnya dalam – dalam.

“Huuuuu.” Nafas panjang yang dikeluarkannya terdengar berat dan bergetar.

“Kamu sakit kanker hati stadium empat.” Ucap Joko dan dia mengucapkannya, tidak melihat ke arahku.

Dari arah samping wajahnya ini, terlihat butiran air matanya keluar dengan perlahan.

“Cok. hehe.” Ucapku memaki, lalu aku akhiri dengan tawa yang pelan dan Joko langsung melihat ke arahku.

“Usiamu sudah tidak lama lagi dan tidak ada obat yang menyembuhkannya.” Ucap Joko dengan air mata yang semakin deras mengalir dan wajah yang terlihat sangat – sangat menyedihkan.

Akupun langsung menyambutnya dengan senyuman dan tangan kananku langsung menepuk pundak kirinya.

Aku tidak terkejut sama sekali mendengar ucapan Joko ini, karena aku menyadari dibagian hatiku ini memang tidak beres. Akupun menyadari kalau umurku sudah tidak lama lagi, karena malaikat maut sudah mulai menampakan wujudnya dua kali dihadapanku.

“Ngomong begitu aja pakai acara nangis.” Ucapku sambil mendorong pelan pipi kiri Joko, sampai wajahnya melihat ke arah lurus kedepan, lalu dia menoleh ke arahku lagi.

“Djiancok.” Maki Joko sambil memiringkan tubuhnya ke arahku, lalu dia memelukku dengan erat.

“Hiks, hiks, hiks, hiks.” Suara tangis Joko akhirnya terdengar dan aku langsung membalas pelukannya.

Mas Candra dan Mas Jago yang melihat Joko menangis sambil memelukku, langsung memalingkan wajahnya dan mereka juga menangis terisak.

Dadaku tiba – tiba bergetar dan air mata mulai mengumpul dikelopak mataku. Kesedihan dan rasa bersalah yang sangat luar biasa, langsung menyelimuti diriku lagi. Rasa yang aku alami ini bukan karena kabar yang dibawa Joko atau karena sakitku. Rasa ini tiba – tiba muncul, karena begitu banyak cinta yang mengelilingi aku dan begitu banyak sayang yang hadir dihidupku.

Aku belum bisa membalas semua yang mereka berikan kepadaku, tapi aku malah memberikan kesedihan dan kekecewaan yang begitu mendalam bagi orang – orang terdekatku.

Aku terlalu keras dengan pendirianku dan aku tidak mendengarkan nasehat dari mereka – mereka, yang pasti sudah diperhitungkan dengan matang. Ada apa dengan diriku ini.? Seangkuh itukah diriku, sampai aku harus menutup rapat telingaku dan mengunci pintu hatiku.? Bajingan.

“Sepurane aku gak iso nolong awakmu Lang, sepurane. Hiks, hiks, hiks, hiks.” (Maaf aku gak bisa menolong kamu Lang, maaf. Hiks, hiks, hiks, hiks.) Ucap Joko dengan penuh penyesalan dan rasa bersalah kepadaku, sambil terus memelukku.

“Gak ada yang perlu dimaafkan Jok, gak ada. Dengan kamu berdiri dihadapanku dan memelukku saat ini, itu sudah menjadi hal yang sangat istimewa bagiku.” Ucapku sambil menepuk punggungnya pelan dan Joko semakin mengeratkan pelukannya.

“Wes talah cok, wes. Awakku wes remek pol dino iki.” (Sudahlah cok, sudah. Tubuhku sudah hancur lebur hari ini.) Ucapku dan Joko langsung melepaskan pelukannya, lalu dia membersihkan air mata yang ada dipipinya.

Aku lalu melihat ke arah Mas Candra dan Mas Jago, yang masih memalingkan wajahnya.

“Mas.” Panggilku dan mereka berdua langsung menghusap air matanya masing – masing, lalu melihat ke arahku.

“Hem.” Jawab Mas Jago yang melihat ke arahku sejenak, lalu melihat ke arah yang lain lagi. Sementara Mas Candra tetap melihatku dengan tatapan mata yang sangat sedih sekali.

“Maaf kalau aku hanya bisa membuat mas – mas sedih.” Ucapku dan Mas Candra langsung menggelengkan kepalanya pelan.

“Gak ada yang perlu dimaafkan Lang, gak ada. Dengan kamu menganggapku sebagai saudara, itu sudah menjadi hal yang sangat istimewa bagiku.” Mas Jago yang menjawab pertanyaanku dan kata – kata itu hampir mirip dengan apa yang aku ucapkan kepada Joko tadi.

“Lang.” Ucap Mas Candra.

“Ya Mas.” Jawabku.

“Seharusnya kamu meminta maaf kepada Ratna, karena dia sangat terpukul dengan keadaan ini dan dia sangat mencintaimu dengan tulus.” Ucap Mas Candra.

“Tunaikan semua janjimu kepada dia, karena hanya itu yang bisa membasuh semua kesedihan yang ada dihatinya.” Ucap Mas Candra lagi.

“Bukannya saya gak mau menunaikan janji Mas, tapi.” Ucapku terpotong.

“Bukan hanya kesedihan Ratna saja yang akan terbasuh, tapi kesedihanku juga.” Ucap Mas Jago yang memotong pembicaraanku dan aku langsung melihat ke arahnya.

“Buat hatimu, hati Ratna dan hati kita semua bahagia Lang. Mungkin itu salah satu jalan supaya kamu mempunyai semangat untuk tetap bertahan dan penyakitmu bisa sembuh.” Ucap Joko dan wajahnya perlahan langsung terlihat sedikit ceria. Dia seperti memiliki harapan dan semangat yang baru untukku.

“Tapi.” Ucapku terpotong lagi.

“Tapi, tapi ae. Tak tapok cangkemu koen engko. Gak telek – telek an wes. Awakmu kudu semangat cok. semangat.” (Tapi, tapi aja. Kutampar mulutmu nanti. Gak taik – takan sudah. Kamu harus semangat cok, semangat.) Ucap Joko dengan emosinya.

“SEMONGKO.!!!” Teriak Mas Jago dan Mas Candra dengan semangatnya.

“SEMANGAT NGANTI BONGKO.!!!” (Semangat sampai mampus.) Sahut Joko sambil mengepalkan tangan kirinya keudara.

“Nggatheli.” (Menjengkelkan.) Gerutuku, lalu aku berjalan ke arah kamarku dengan tubuh yang sangat lemas sekali.

“Kate nanggi koen cok.?” (Mau kemana kamu cok.?) Tanya Joko dan aku langsung menghentikan langkahku, lalu aku menoleh ke arahnya tanpa menjawab pertanyaannya.

“Kebiasaanmu iku loh cok. Masalah durung mari, langsung ditinggal ngaleh. Djancuki tenanan og.” (Kebiasaanmu itu loh cok. Masalah belum selesai, langsung ditinggal pergi. Benar – benar menjacokkan kok.) Omel Joko.

“Anceni nggatheli koncomu iki Jok.” (Memang menjengkelkan sekali temanmu ini Jok.) Sahut Mas Jago.

“Nggatheli pol.” (Menjengkelkan banget.) Ucap Mas Candra.

“Bajingan.” Makiku pelan.

“Aku kate muleh nang ndeso.” (Aku mau pulang kedesa.) Ucapku lagi dan wajah ketiga orang dihadapanku ini langsung terkejut.

“Kate lapo awakmu muleh Lang.?” (Mau ngapain kamu pulang Lang.?) Tanya Mas Jago dengan wajah yang terlihat bingung.

“Cok’i. koen iki gendeng ta opo.? Ujug – ujug kok kate muleh.” (Cok’i. Kamu itu gila atau apa.? Tiba – tiba kok mau pulang.) Ucap Joko yang tidak kalah bingung.

“Sabar sek talah cok. Jarene mau aku dikongkon nang Ratna, yo aku muleh disek nang ndeso.” (Sabar dululah cok. Katanya tadi aku disuruh ke Ratna, ya aku pulang dulu kedesa.) Jawabku.

“Lapo koen muleh disek cok.? Kari budal nang omae Pak Tomo, beres cok.” (Kenapa kamu pulang dulu cok.? Tinggal berangkat kerumahnya Pak Tomo beres cok.) Ucap Joko dengan mata yang melotot.

“Aku kate njaluk restu nang Bapak Ibuku. Thel, gathel.” (Aku mau minta restu ke Bapak dan Ibuku. Menjengkelkan.) Jawabku dan mereka bertiga langsung tersenyum dengan senangnya.

“Tenan a cok.?” (Beneran kah cok.?) Tanya Joko.

“Serius kamu Lang.?” Tanya Mas Jago.

“Gak bohong kan.?” Mas Candra ikut bertanya.

“Assuuu.” Makiku, lalu aku masuk berjalan kedalam kamarku.

“HAHAHAHA.” Mereka bertiga tertawa dengan kerasnya.

“Meso’o cok, meso’o. Mumpung meso durung dilarang. Hahahaha.” (Memakilah cok, memakilah. Mumpung memaki belum dilarang. Hahahaha.) Ucap Joko lalu dia tertawa lagi.

Hiufftt, huuuu.

Apa keputusan yang aku ambil ini tepat.? Apa hal ini nantinya tidak akan membuat Ratna menderita, kalau aku sudah pergi selamanya.?

Jujur ini menjadi dilema bagiku. Kalau aku tidak menepati janjiku, dia pasti akan sangat terluka. Tapi kalau sampai aku menepati janjiku dan terjadi apa – apa denganku, bagaimana nasib Ratna.?

Arrgghhh. Bajingan.

Karena ini masalah ikatan dua keluarga besar, kelihatannya aku harus berdikusi dengan Bapak dan Ibuku dulu. Aku tidak ingin salah melangkah dan aku butuh nasehat dari kedua orang tuaku, serta keluarga besarku.

Tapi ngomong - ngomong, apa keluarga besarku sudah tau tentang penyakitku ini.? Gila. Bagaimana aku berdiskusi masalah hubunganku dengan Ratna, sedangkan kabar tentang kesehatanku sendiri saja, masih abu – abu.

Kalau kedua orang tuaku sudah tau, mereka berdua pasti akan sangat sedih sekali. Tapi kalau belum tau, bagaimana aku akan mengabarkannya.?

Nyut, nyut, nyut, nyut.

Tiba – tiba isi kepalaku terasa diremas dan jantungku berdetak dengan cepat. Aku langsung duduk dikursi, sambil menekan keningku yang tertutup perban ini dengan kuatnya. Aku bungkukan tubuhku sedikit, dengan kedua sikutku bertumpu pada meja dan aku langsung menundukan kepalaku.

Aku tekan kepala bagian atasku dengan ujung jari - jariku dan aku melakukannya dengan sangat berhati – hati. Kepala belakangku bagian atas masih terasa sakit dan sentuhan ujung jariku menghindari luka yang baru diobati oleh Ratna tadi.

Bajingan. Aku gak bisa berpikir lagi dan kelihatannya aku butuh istirahat sejenak.

Terus kalau aku beristirahat, berarti aku harus menunda kepergianku ke desa.? Kalaupun aku nekat pulang malam ini, aku naik apa.? Tidak mungkin aku mengendarai kimba seorang diri, bisa pingsan dijalan nanti. Apa aku minta antar Joko ke terminal ya.?

Sudahlah. Lebih baik aku beristirahat sebentar, nanti setelah pikiranku tenang dan tubuhku bertenaga, baru aku akan berangkat ke Desa Sumber Banyu.

Beberapa saat kemudian.

“Piye Lang.?” (Gimana Lang.?) Tanya Joko dan aku langsung menegakkan tubuhku, lalu melihat ke arahnya.

Joko berdiri didekat pintu kamarku dan dia berpakaian sangat rapi sekali.

“Kate nangdi koen cok.?” (Mau kemana kamu cok.?) Tanyaku.

“Djiancok. Jaremu kate muleh nang deso cok.” (Djiancok. Katamu mau pulang kedesa cok.) Jawab Joko.

“Terus.?” Tanyaku sambil berdiri perlahan dan kepalaku sudah agak ringan, tidak seberat tadi.

“Yo aku melu cok. Tak tungkak koen engkok.” (Ya aku ikut cok. Kuinjak nanti kamu.) Jawab Joko.

“Hehe.” Aku hanya tersenyum, lalu aku mengganti pakaianku.

“Numpak kimba ta.?” (Naik kimba kah.?) Tanyaku.

“Numpak’o kimba kono. Tak idek cengelmu koen engko.” (Naik kimba sana. Kuinjak tengkuk lehermu nanti.) Ucap Mas Jago yang muncul dari belakang Joko dan dia juga berpakaian rapi.

“Ada mobil kok mau naik kimba.” Ucap Mas Candra dengan setelan pakaian yang tidak kalah rapi.

“Jadi semuanya mau ngantar aku.?” Tanyaku.

“Lapo.? Gak seneng.?” (Kenapa.? Gak suka.?) Tanya Mas Jago.

“Iya, iya. Ayo berangkat.” Ucapku dan mereka bertiga langsung tersenyum.

Kami lalu berangkat ke Desa Sumber Banyu menggunakan dua mobil. Mobil Mas Jago dan Mobil Mas Candra yang baru dibeli.

“Kenapa harus naik dua mobil sih.?” Tanyaku kepada Mas Candra, sementara Joko naik mobil Mas Jago.

“Aku mau kasih lihat penduduk desamu, kalau kantormu sudah sukses dan karyawannya sudah bisa beli mobil sendiri dari hasil gaji.” Jawab Mas Candra.

“Apa sih sampean itu Mas.? Yang menganggap sampean karyawan itu siapa.? Sampean itu keluargaku, sama seperti Joko dan juga Mas Jago. Lagian kenapa juga harus pakai pamer segala.” Ucapku.

“Yang mau pamer siapa.? Aku kan cuman mau kasih lihat aja.” Ucap Mas Candra sambil melihat ke arahku, lalu melihat ke arah depan lagi.

“Sama aja itu Mas.” Jawabku sambil menyandarkan kepala belakangku, disandaran kursi mobil dengan perlahan.

“Beda lah. Kalau cuman cuman lewat dijalan desamu dan parkir depan rumahmu, itukan bukan pamer. Pamer itu, kalau aku ngomong kesetiap orang.” Ucap Mas Candra.

“Walaupun tidak ngomong, niatnya sampean kan pamer.” Ucapku.

“Sudahlah, gak usah berdebat lagi. Lebih baik kamu tidur, kelihatannya kamu ngantuk.” Ucap Mas Candra sambil menyalakan tape yang ada dimobilnya.



Hiufftt, huuuu.

Hari yang sangat melelahkan dan sangat menjacokan. Bukan hanya tenaga, tapi pikiran juga ikut terkuras. Bukan hanya keringat, tapi darah juga ikut menetes. Bukan hanya air mata, tapi emosi juga ikut mengalir.

Begitu banyak kejadian hari ini, tapi semua itu tidak pantas untuk diratapi. Aku harus banyak bersyukur, karena sampai detik ini aku masih diberi kesempatan untuk menghirup nafasku.

Bukannya aku tidak menghargai darah dari orang – orang yang telah menetes karena aku, sehingga aku mengucapkan kata tidak perlu diratapi. Tidak seperti itu.

Aku sadar saat ini, darah yang keluar serta emosi yang mengalir dari mereka yang menyayangi aku, membuatku harus benar – benar bersyukur karena aku terlahir dan hidup dikelilingi oleh orang – orang yang penuh dengan cinta.

Entah apa yang ada dipikiran mereka semua, sampai bisa menyayangi aku dan mengorbankan segalanya demi aku. Padahal kalau dipikir, aku merasa tidak pernah berbuat sesuatu yang sangat luar biasa kepada mereka semua. Tapi kenapa mereka bisa memperlakukan aku seperti ini.? Gila.

Ratna. Alunan music yang diputar Mas Candra ini mengingatkan aku kepada tujuanku pulang kedesa. Meminta izin dan restu kepada kedua orang tuaku, untuk melamar Ratna. Entah bagaimana reaksi dari kedua orang tuaku, karena aku belum wisuda tapi sudah minta dilamarkan seperti ini. Apalagi aku memintanya dadakan seperti ini, Bagaimana reaksi mereka dan harus dari mana aku meminta ijinnya. Kata – kata apa yang aku ucapkan pertama kali ya.?

Hiuufftt, huuuu.

Malam semakin dingin, mobil melaju dengan kencangnya dan mataku mulai memberat. Pelan namun pasti, kedua matakupun akhirnya terpejam.



Yo mung siji.. sesotyaku (Hanya satu janjiku)

Memanikku mung nimas wong ayu (Di mataku hanya kau yang paling cantik)

Panyuwunku mugo nimas ora lali marang janji setyamu (Harapanku semoga kau tak lupa dengan janji setiamu)



Nanging kabeh kui muspro (Kini semua telah berlalu)

Eling kalamun pupusing tresno (Hanya terbayang cinta yang telah usai)

Wes tak cobo nglalekke sliramu (Sudah kucoba melupakanmu)

Nanging tak lali lali tan biso lali (Namun tak pernah bisa)




Terdengar suara seorang laki – laki bernyanyi dan syairnya sama seperti yang diputar Mas Candra. Suaranya parau dan berat, sehingga membuat seluruh tubuhku merinding.

Aku lalu membuka kedua mataku perlahan dan dihadapanku saat ini, Simbah dari Desa Jati Bening dan Kakek dari Desa Sumber Banyu. Aku duduk disebuah batu dan mereka juga duduk di batu yang terpisah. Kami bertiga berada dipinggir danau, yang dikelilingi pepohonan yang tinggi menjulang ke angkasa.



“Apa sampean berdua akan menjemputku saat ini.?” Tanyaku sambil memandang kedua orang tua ini bergantian.

“Enggak, karena itu bukan tugas kami.” Jawab Simbah sambil membalas tatapanku.

“Terus kenapa aku dibawa ketempat ini.?” Tanyaku lagi dan mereka berdua hanya memandangku.

“Apa sampean berdua mau memberi saya sedikit wejangan, sebelum saya ‘pergi’ selamanya.?” Tanyaku lagi.

“Kamu itu bukan Sang Pencipta, yang tau tentang awal dan akhir kehidupan. Jadi gak usah sok tau.” Sahut si Kakek..

“Saya bukan sok tau Kek. Tapi setiap manusia yang akan ‘pergi’, pasti akan diberi tanda – tanda oleh Sang Pencipta.” Ucapku.

“Tidak ada manusia yang akan ‘pergi’, yang ada itu mereka semua akan pulang. Pulang untuk mencurahkan semua kerinduannya kepada rumah yang sebenarnya.” Jawab Simbah.

“Itu hanya permainan kata dan itu hanya untuk menghibur orang yang sedang menanti ajalnya.” Sahutku.

“Hanya orang bodoh yang mau menanti ajalnya.” Ucap Simbah dan aku langsung mengerutkan kedua alis mataku.

“Kehidupan itu banyak sekali misteri dan banyak sekali pertanyaan. Sedangkan untuk jawaban tentang kehidupan, tentu saja dengan menjalaninya, bukan dengan menantinya. Sama seperti ajal.”

“Jalani saja kehidupanmu dan temukan jawaban – jawaban baru tentang arti kehidupan. Ajalmu akan datang dengan sendirinya, tanpa perlu kamu nanti.” Ucap Simbah dan aku hanya menarik nafasku dalam – dalam.

“Cukup sudah kamu berandai – andai, tentang mereka yang akan kamu tinggalkan nanti. Belum tentu juga umur mereka lebih panjang darimu.”

“Ajal itu tidak melihat orang yang sehat atau yang sakit, orang yang sudah tua atau anak yang masih bayi, orang yang sedang tidur atau orang yang sedang berperang, orang yang duduk atau orang yang berlari. Jadi hentikan pikiran konyolmu itu.”

“Selagi sukmamu berada didalam ragamu, jalani saja takdirmu sebagai manusia dan jangan berlagak seperti Sang Pencipta yang tau segalanya.” Ucap Simbah dengan tatapan yang tenang tapi sangat dalam sekali.

“Sudah, sudah. Cukup sudah dia mendapatkan untaian kata – kata mesramu. Kalau kamu melanjutkan kata – katamu lagi, bisa mati disini dia nanti.” Ucap Si Kakek kepada Simbah, sambil berdiri dari duduknya.

“Biar saja dia mati dan membusuk ditempat ini, tanpa ada yang mengetahuinya.” Ucap Simbah dan dia juga langsung berdiri.

“Kasihan. Hehehe.” Ucap Si Kakek lalu dia tertawa dengan sinisnya, setelah itu dia membalikan tubuhnya dan mulai berjalan meninggalkan aku.

“Manusia seperti dia ini, gak perlu dikasihani. Otaknya terlalu beku dan hatinya terlalu keras.” Ucap Simbah, lalu dia juga membalikan tubuhnya dan berjalan bersama Si Kakek.

“Mbah, Kek.” Panggilkku dan mereka berdua langsung menoleh ke arahku.

“Terimakasih.” Ucapku dengan suara yang bergetar dan mereka berdua hanya diam saja, lalu menghilang dengan di iringi cahaya yang sangat terang sekali.

Aku menutupi wajahku dengan lengan kananku, karena cahaya itu sangat menyilaukan.




Aku turunkan lengan kananku lagi dan sekarang aku berada di dalam mobil Mas Candra yang telah berhenti.

“Sudah bangun kamu Lang.?” Tanya Mas Candra dan aku langsung melihat ke arahnya.

“Dimana kita ini Mas.?” Tanyaku dan aku tidak menjawab pertanyaannya barusan.

“Ya kamu lihat sendiri lah.” Jawab Mas Candra dan aku langsung melihat ke arah kiri.

Kami berhenti didepan rumahku di Desa Sumber Banyu dan bertepatan dengan pintu rumah yang terbuka.

Seorang wanita setengah baya dengan paras ayunya, melihat ke arah mobil dengan pandangan yang sangat sayu sekali. Beliau adalah Ibuku, Ibu yang sangat aku sayangi dan sangat kucintai.

Ibu terlihat ketakutan, bingung dan juga khawatir, melihat mobil terparkir didepan rumah kami. Ibu juga pasti tidak bisa melihat ku yang ada didalam mobil ini.

Tiba – tiba hatiku terasa sangat sedih sekali, melihat tatapan sayu Ibuku itu. Jantungku terasa berdetak perlahan dan air mata berkumpul dikelopak mataku.

Hiuufftt, huuuu.

Aku menarik nafas dalam – dalam, untuk menenangkan sejenak hatiku. Aku membersihkan kedua mataku yang berkaca – kaca, lalu kembali aku menarik nafasku dalam – dalam.

Hiuufftt, huuuu.

Setelah hatiku sedikit tenang, aku membuka pintu mobil perlahan. Kaki kiri aku turunkan, setelah itu aku keluar dan berdiri dengan tegak.

“Gi, Gi, Gilang.” Ucap Ibuku dengan terbata dan perlahan air mata beliau mengalir dengan derasnya.

Melihat Ibu menangis seperti itu, aku ingin berlari dan segera memeluk tubuh beliau. Tapi apa daya, kedua kakiku gemetaran dan aku tidak sanggup untuk berlari. Jangankan berlari, melangkahkan kakiku saja, itu sangat sulit sekali.

“I, Ibu.” Ucapku dan beliau langsung berjalan cepat ke arahku dan langsung memeluk tubuhku.

“Hiks, hiks, hiks, hiks.” Tangis Ibu langsung pecah dan aku langsung membalas pelukan beliau.

“Ibu.” Ucapku dan air mataku perlahan mulai menetes.

Dekapan Ibu yang sangat erat dan getaran didada beliau, mengisyaratkan kesedihan yang sangat mendalam.

Ada apa dengan Ibu.? Gak biasanya beliau seperti ini. Kalau cuman kangen karena jarang bertemu, kemarin – kemarin tidak seperti ini.

Apa Ibu tau tentang penyakitku.? Apa Joko sudah mengabarkan kepada Ibu dan keluargaku.? Terus aku harus bagaimana kalau sudah seperti ini.? Apa aku bisa menghibur kesedihan Ibuku ini.? Bajingan.

Aku pejamkan kedua mataku, agar air mata ini tidak deras mengalir.

“Bu.” Tiba – tiba terdengar suara Bapak dan aku langsung membuka kedua mataku.

Bapak berdiri disamping Ibu dan perlahan tangis Ibu mulai mereda. Ibu lalu melepaskan pelukannya, setelah itu beliau menatap mataku sambil memegang kedua pipiku.

“Gilang habis jatuh ya nak.?” Tanya Ibuku sambil mengelus perban yang melingkar dikepalaku.

“Iya Bu.” Jawabku berbohong, karena aku takut Ibu akan sangat khawatir, kalau tau kepalaku habis dihantam balok.

Ibu menggelengkan kepalanya pelan dan linangan air mata masih terlihat dikelopak mata beliau.

Aku lalu meraih tangan kanan beliau dan aku langsung mengecup punggung tangan itu dengan sangat lembut.

Ibu mengelus kepala belakangku yang tertutup perban dengan sangat pelan dan dengan tangan yang bergetar. Aku lalu menegakkan tubuhku, setelah itu aku meraih tangan Bapakku dan menciumnya.

Terdengar suara tangis yang tertahan dari Ibu dan aku langsung melihat ke arah Ibu.

“Bu.” Ucapku dan Ibu langsung menutup mulutnya dengan kedua telapak tangannya.

Bapak langsung merangkul pundak Ibu dan meremasnya pelan.

“Bu.” Ucap Bapak.

“Hiuffttt.” Ibu menarik nafasnya dalam – dalam dengan tubuh yang sedikit bergetar.

Cok. Ada apasih ini.? Apa Ibu benar – benar sudah tau dan beliau jadi sangat sedih seperti ini.?

Argghhhh.

“Bu. Masih ada makanan gak.?” Tiba – tiba Joko datang dari arah belakangku dan dia langsung menjulurkan tangannya ke arah Ibuku.

“A, ada.” Ucap Ibu dengan terbata. sambil menjabat tangan Joko.

“Lapar Bu.” Ucap Joko setelah mencium punggung tangan Ibu.

“Masuk, masuk. Makan dulu didalam.” Ucap Bapak dan Mas Candra serta Mas Jago, menyalami Ibuku dan juga Bapakku.

Mereka semua masuk kedalam rumah dan aku dihadang oleh kedua adikku didepan pintu rumah.

“Mas. Hiks, hiks.” Ucap Lintang adikku dan dia langsung memelukku sambil menangis.

“Hei. Kenapa adikku yang cantik ini menangis.?” Tanyaku sambil membalas pelukannya dan membelai rambutnya.

“Hiks, hiks, hiks.” Lintang terus menangis didadaku.

“Lintang.” Ucap Damar yang berdiri dibelakang Lintang.

Wajah adik laki – lakiku itu terlihat sangat sedih sekali, tapi dia berusaha tegar dihadapanku.

“Kok malah tangis – tangisan didepan rumah.? Ayo masuk.” Ucap Joko dari ruang tengah.

“Nduk.” Panggil Bapakku ke Lintang dan tangis Lintang perlahan mulai mereda.

Lintang melepaskan pelukannya dan aku langsung merangkul pundaknya dengan tangan kanan, sedangkan tangan kiriku merangkul dipundak Damar.

“Gimana De.? Jadi kamu daftar dikampus teknik negeri Ibu kota propinsi.?” Tanyaku ke Damar dan kami bertiga berjalan masuk kedalam rumah.

“I, i, iya Mas.” Jawab Damar terbata.

“Semoga diterima ya De.” Ucapku sambil meremas pundaknya pelan.

“I, i, iya Mas.” Jawab Damar dan kembali dia terbata.

“Kalau Lintang gimana.? Jadi daftar di SMA 1 kota.?” Tanyaku ke Lintang dan Lintang hanya menganggukan kepalanya pelan.

“Kamu pasti diterima De.” Ucapku dan kembali Lintang menganggukan kepalanya. Adik perempuanku ini seperti sangat berat sekali mengucapkan kata – kata dan dia seperti sedang menahan tangisnya.

Cok. Kok suasana rumahku jadi terasa sangat menyedihkan ya.? Tidak ada senyum dan tawa bahagia seperti biasa ketika aku pulang. Rumah ini seperti diselimuti kepiluan, sehingga keceriaan rumah ini menghilang entah kemana.

Apa seisi rumah ini mengetahui penyakitku.? Arrghhh. Djiancok.

Bapak, Mas Jago dan Mas Candra tampak duduk diruang tengah, sementara Joko dan Ibu mungkin ada didapur.

“Sampean berdua bermalam disini kan Mas.?” Tanyaku kepada Mas Candra dan Mas Jago yang menunduk.

“Ha.” Ucap mereka yang terkejut, sambil mengangkat wajahnya.

“Sampean berdua bermalam disini kan.?” Tanyaku lagi dan aku tetap merangkul kedua adikku.

“Iya.” Jawab Mas Candra dan Mas Jago dengan kompaknya.

Seisi rumah ini kembali terdiam dan membuat suasana malam ini semakin terasa menyedihkan.

Cok. kalau suasananya seperti ini, bagaimana aku membicarakan tentang kelanjutan hubunganku dengan Ratna.? Ini waktu yang sangat tidak tepat dan kalau aku mengutarakan niatku, suasana rumah ini akan semakin terasa menyesakkan.

Hiufftt, huuuu.

Aku menarik nafasku dalam – dalam dan bertepatan dengan Joko yang keluar dari arah dapur.

“Pak. Gilang mau minta kawin itu.” Ucap Joko dengan cueknya dan semua yang ada diruang tengah, langsung melihat ke arahku.

Assuu Joko ini. Bisa – bisanya dia memulai pembicaraan ini, tanpa kompromi dulu sama aku.? Bajingan.

“Beneran nak.?” Tanya Ibuku yang muncul dari arah belakang Joko, dengan wajah yang sangat terkejut.

“Beneran Mas.?” Tanya Damar dan Lintang, sambil melepaskan rangkulanku. Wajah mereka tidak kalah terkejutnya, sementara Bapak hanya melihat ke arahku.

“E, e, a, a, anu.” Ucapku yang bingung harus menjawab apa.

“Mas.” Ucap Ibu, Damar dan Lintang dengan kompaknya.

“Gimana ya.?” Ucapku yang belum menjawab iya.

“Tinggal jawab iya aja kok susah banget.” Ucap Joko dengan cueknya, lalu duduk didekat Mas Candra.

Aku lalu melotot ke arah Joko dan dia hanya tersenyum dengan ekspresi yang sangat menjacokan sekali.

“Beneran Mas.?” Tanya Ibu sambil berjalan ke arahku dan aku langsung melihat ke arah Ibu.

“A, a, anu Bu.” Ucapku terbata dan suasana yang tadinya menyedihkan, sekarang menjadi menegangkan bagiku.

“Anu apa.?” Tanya Ibu dan wajah beliau yang tadinya sedih, perlahan terlihat sangat penasaran sekali.

Hiuuufftt, huuuu.

Aku menarik nafasku dalam – dalam, untuk menenangkan hatiku yang diliputi ketegangan ini.

“Anu Bu. Mohon maaf. Gilang cuman mau minta dilamarkan saja. Untuk menikahnya, nanti setelah selesai wisuda.” Ucapku yang akhirnya memberanikan diri, untuk berbicara jujur.

“Serius Mas.?” Tanya Lintang adikku dan wajahnya langsung terlihat senang.

Aku tidak menjawab pertanyaan adikku dan Ibuku langsung memegang kedua pipiku, sampai kedua mataku menatap ke arah Ibu.

“Besok kita akan melamar Ratna.” Ucap Ibuku dan itu langsung mengejutkanku.

“I, I, Ibu kenal Ratna.?” Tanyaku dan Ibu hanya tersenyum dengan tatapan nanarnya.

“Mba Ratna.? Siapa itu Mba Ratna Bu.?” Tanya Lintang.

“Keponakannya Pak Tomo De.” Jawab Joko dan aku langsung melihat ke arah Joko.

“Pak Tomo siapa Mas.?” Tanya Damar.

“Pak Tomo itu dosennya Gilang.” Jawab Joko yang terus mengoceh.

“Oooo.” Ucap Damar sambil menganggukan kepalanya.

“Baiklah. Besok kita lamar dia.” Ucap Ibu mengulangi ucapannya.

“Ibu kenal Ratna kah.? Kok Ibu sudah setuju aja.?” Tanyaku dan aku sudah sangat santai sekali.

“Ibu percaya dengan anak Ibu. Pilihannya, pasti itu yang terbaik.” Ucap Ibu dengan tatapan kebahagiaan, tapi tetap terlihat sedikit kesedihan disana.

“Bapak tidak setuju.” Ucap Bapak dan kami semua langsung melihat ke arah Bapak.

Hiuffttt, huuuu.

“Bapak tidak setuju, kalau kesana hanya untuk melamar. Tapi kalau langsung menikah, Bapak sangat setuju dan Bapak akan merestuimu Nak.” Ucap Bapak lagi dan itu langsung membuatku menarik nafas dalam – dalam untuk kesekian kalinya.

“Mohon maaf Pak. Gilang belum membahagiakan Bapak dan Ibu, jadi bagaimana bisa Bapak menikahkan Gilang terlebih dahulu.?” Tanyaku.

“Nak. Menikahlah dulu, agar jalan rezekimu terbuka. Kamu jangan memikirkan tentang kebahagiaan kami. karena setiap detik melihatmu mulai dari lahir sampai tumbuh sebesar ini, itu merupakan kebahagiaan terbesar bagi kami.” Ucap Ibu.

“Bahagia kami itu, selalu tercipta setiap saat. Jadi bahagia mana lagi yang perlu kamu berikan kepada kami.?” Tanya Bapak dan aku hanya diam mendengarkan kedua orang tuaku berbicara bergantian.

“Sudah, sudah. Kita makan aja dulu.” Ucap Ibu sambil merangkulku.

“Iya Bu. Biar besok Mas Gilang semangat ketemu calon istrinya.” Ucap Damar dan aku langsung melotot ke arahnya.

“Cieee. Yang mau lamaran.” Ucap Lintang sambil mencolek daguku

“Suit, suit, suittt.” Damar bersiul dengan sangat kerasnya.

Aku yang diserang seperti ini pun, langsung malu dan semua orang dirumah ini langsung tertawa bersama.

“Hahahaha.”

Hiuffttt, huuuu.

Kabar tentang acara lamaran untuk Ratna, akhirnya sedikit mencairkan suasana yang sangat menyedihkan tadi dan itu semua diluar dugaanku.

Kami semua mengobrol dan bercanda setelah makan malam. Tidak ada satupun pembahasan tentang penyakitku dan yang dibahas hanya masalah lamaran.

Setelah tengah malam, akhirnya kami semua beristirahat. Joko bermalam dirumahku bersama Mas Candra dan juga Mas Jago.

Hari yang sangat melelahkan inipun, akhirnya membuatku sangat mengantuk sekali. Tubuh dan pikiranku yang sangat letih, membuat mata ini cepat terpejam. Tidak ada obrolan pengantar tidur, bahkan mimpi pun tidak hadir di malam ini.

Pagi hari ketika aku membuka mata, semua orang sudah bangun terlebih dahulu dan mereka semua sibuk didapur. Ibu dan Lintang memasak, sedangkan Damar, Joko, dan Mas Jago sedang membungkus barang – barang didalam wadah yang terbuat dari anyaman bambu.

Ada apa ini.? Kenapa Banyak sekali makanan yang dimasak Ibu pagi ini.? Dan untuk apa teman – temanku membungkus barang – barang itu.?

Terlihat beberapa wadah anyaman bambu yang sudah terisi dan terbungkus rapi. Ada kain jarik, alat – alat make up, perlengkapan mandi, pakaian dan aksesorisnya, buah – buahan dan juga jajanan pasar,

“Loh, masak apa Bu.? Kok banyak banget.? Terus untuk apa barang – barang ini.?” Tanyaku sambil menunjuk barang – barang yang sudah terbungkus rapi.

“Mas Gilang lupa ya.? Inikan buat acara lamaran Mas Gilang.” Jawab Lintang.

Cok. Kok aku bisa lupa ya.? Pagi ini kan kami semua akan ke Kota Pendidikan, untuk melamar Ratna. Ada apa denganku ini.? Apa tidurku terlalu nyenyak, jadi aku melupakan hari yang sangat penting bagiku ini.?

“Maklum, Gilang kan lagi grogi banget De.” Ucap Mas Jago dan Lintang langsung tersenyum.

“Kapan belanjanya Bu.? Kok pagi – pagi begini sudah siap seperti ini.?” Tanyaku lagi.

“Sudah, Mas Gilang mandi aja dulu. Jangan banyak tanya.” Jawab Ibuku dan aku melihat ke arah sekeliling lagi.

“Oh iya. Mas Candra sama Bapak kemana.?” Tanyaku lagi.

“Banyak tanya kamu itu Lang. cepat mandi sana.” Sahut Mas Jago.

“Iyo. Ndang ados kono loh.” (Iya. cepat mandi sana.) Ucap Joko.

“Iya – iya.” Jawabku lalu aku berjalan ke arah kamarku.

Rencananya pagi ini kalau teman – temanku tidak sibuk seperti ini, aku akan mengajak mereka mandi disungai. Tapi berhubung suasananya tidak memungkinkan, akupun akhirnya mandi dirumah saja. Kamar mandi dirumahku ini baru dibangun beberapa bulan yang lalu. Dan didesaku, hanya ada beberapa rumah saja yang mempunyai kamar mandi didalam rumah. Penduduk desa ini, rata – rata masih menggunakan sungai untuk mandi dan keperluan lainnya.

Beberapa saat kemudian, setelah aku mandi, aku langsung mengganti pakaian didalam kamarku.

“Mas.” Ucap Ibu dari luar kamarku.

“Ya Bu. Masuk aja.” Jawabku dan Ibu langsung membuka korden kamarku.

“Pakai baju ini ya.” Ucap Ibuku sambil melangkah masuk kedalam kamarku dan menyerahkan baju batik serta celana hitam kepadaku.

“Wih. Bagus banget ini Bu.” Ucapku dengan senangnya, sambil menerima pemberian Ibuku.

“Iya dong. Biar anak Ibu kelihatan makin ganteng.” Jawab Ibu lalu beliau tersenyum senang.

Aku yang mengenakan kaos dalam dan celana pendek ini, langsung mengenakan pakaian pemberian Ibu, dengan di iringi tatapannya yang perlahan mulai terlihat sayu.

“Bu.” Ucapku setelah aku selesai mengenakan pakaianku.

Ibu kembali tersenyum, tapi mata beliau berkaca – kaca. Tersirat kesedihan yang begitu mendalam, tapi Ibu berusaha menutupinya. Air mata itu pasti air mata kesedihan dan senyum itu pasti untuk mengelabui pandanganku.

Ingin rasanya aku menanyakan tentang kesedihan yang dipendam Ibu, tapi bibir ini terasa berat untuk berucap. Aku tidak sanggup menanyakannya, karena aku merasa ini pasti berhubungan dengan penyakitku. Kalau sampai pertanyaan ini terucap, aku pasti tidak sanggup melihat kesedihan yang Ibu derita.

“Hiufftt, huuuu.” Aku menarik nafasku dalam – dalam, lalu mengeluarkannya perlahan.

“Maaf Bu.” Ucapku dengan suara yang bergetar.

“Gak ada yang perlu dimaafkan Nak. Mas Gilang adalah anugrah terindah didalam keluarga ini dan Mas Gilang anak yang sangat berbakti kepada orang tua.” Ucap Ibu sambil mengelus pipiku pelan dan sentuhan lembut ini langsung membuat mataku berkaca – kaca.

“Hari ini mungkin hari yang sangat berat bagi keluarga kita, karena harus melepas Mas Gilang untuk memulai hidup baru dengan keluarga baru Mas Gilang.” Ucap Ibu dengan butiran air mata yang mulai jatuh dipipi beliau.

“Gilang gak kemana – mana Bu, Gilang tetap anak Ibu, walaupun Gilang nanti sudah menikah.” Jawabku.

“Ibu tau itu nak. Tapi bagaimanapun juga, Mas Gilang harus lebih memperhatikan keluarga baru Mas Gilang.”

“Ingat nak. Wanita yang Mas Gilang pilih itu, pasti kesayangan keluarganya. Ayahnya pasti sangat mencintai Ratna dan hari ini, Mas Gilang akan menggantikan seluruh sayang dan cinta Ayahnya berserta keluarga besarnya.”

“Jangan pernah mengecewakan Ratna, karena itu sama saja mengecewakan hati Ibu nak.” Ucap Ibu dan aku langsung menundukan kepalaku.

“Menikah itu menyatukan dua jiwa dalam satu pemikiran, menyatukan dua hati dalam satu perasaan dan menyatukan dua raga dalam satu tujuan.”

“Pasanganmu adalah rezekimu dan pilihan adalah takdirmu. Jangan pernah berpaling darinya dan jangan membanding - bandingkan dengan yang lain.” Ucap Ibu dan aku tetap menunduk.

Ibu membelai rambutku yang sebagian tertutup perban dan aku meresapi setiap perkataan yang diucapkan Ibuku.

“Ibu yakin anak Ibu ini pasti bisa melakukan apa yang Ibu ucapkan, karena dia seorang ksatria.”

“Anak Ibu ini memang seorang ksatria dan hanya seorang ksatria yang berani meminang seorang wanita.” Ucap Ibu dan aku langsung mengangkat wajahku.

Aku lalu memeluk Ibu dengan erat dan Ibu membalas pelukanku, sambil mengelus punggungku pelan.

Dadaku bergetar dengan hebatnya dan air mataku langsung menetes dipelukan Ibu.

“Ibu merestuimu nak, Ibu merestuimu. Hiks, hiks, hik.” Ucap Ibuku dan diakhiri dengan tangisan yang terdengar sangat memilukan.

“Bu.” Ucap Bapak yang berdiri didepan pintu kamarku dan kami berdua langsung melepaskan pelukan kami.

“Kita siap – siap yuk.” Ucap Bapak.

“Iya Pak.” Jawab Ibu sambil menunduk.

Aku dan Ibu langsung membersihkan sisa – sisa air mata yang mengalir, setelah itu Ibu membalikan tubuhnya dan melangkah keluar kamar. Bapak menatapku sebentar sambil tersenyum yang sangat dipaksakan, setelah itu menyusul berjalan dibelakang Ibu.

Hiuufftt, huuuu.

“Lang.” Panggil Mas Candra.

“Ya Mas.” Jawabku.

“Setengah jam lagi kita berangkat. Ayo sarapan dulu.” Ucap Mas Candra.

“Iya Mas.” Jawabku dan aku langsung melangkah keluar kamar.

Diruang tengah tampak Mah Kung dan Mbah Putri dari Desa Jati Bening maupun dari Desa Sumber Banyu. Beliau – beliau berpakaian sangat rapi dan pasti akan ikut dalam lamaranku.

Aku lalu menyalami satu persatu dan tidak lupa aku mencium punggung tangan beliau.

“Lang, minum ini.” Ucap Mbah Warji, Ayah dari Bapakku.

“Minuman apa ini Eyang.?” Tanyaku sambil menerima botol dari tangan Mbah Warji.

“Sudahlah, minum sekarang juga.” Ucap Mbah Warji.

“Dari Eyang Putri Ranajaya ya Mbah.?” Tanyaku dan Mbah Warji hanya mengangguk pelan.

Akupun langsung membuka penutup botol ramuan, setelah itu aku meminum ramuan itu.

Gluk, gluk, gluk, gluk.

“Ahhhh.” Ucapku sambil memejamkan kedua mataku, karena rasa ramuan ini kecut bercampur manis.

Dadaku langsung terasa sangat lega dan aku merasa sangat sehat sekali.

“Saya kedapur dulu ya Mbah.” Pamitku kepada Mbah – Mbahku dan mereka semua langsung mengangguk.

Aku lalu kedapur dan didapur Joko sudah selesai dengan kegiatannya.

“Gak siap – siap.?” Tanyaku ke Joko.

“Iya, sebentar.” Jawab Joko sambil mendekat ke arahku, lalu merogoh kantong celananya dan aku langsung mengerutkan kedua alis mataku.

“Aku tau acara ini dadakan, jadi kamu belum menyiapkan cincin.” Ucap Joko sambil mengeluarkan sebuah kotak cincin berwarna merah hati.

“Ini cincin harusnya aku pakaikan ke Denok, tapi sayang.” Ucap Joko terputus, karena dia berat melanjutkan ucapannya.

Matanya langsung berkaca – kaca dan dia menelan ludahnya dengan sangat berat sekali.

“Kalau kamu mau, gunakan cincin ini sebagai pengikat lamaran.” Ucap Joko setelah dia menenangkan dirinya.

Terlihat dibola matanya memendam kesedihan yang mendalam dan juga permohonan agar aku menerima pemberiannya ini.

“Terimakasih.” Ucapku dengan suara yang bergetar dan aku menerima pemberian sahabatku ini.

Joko langsung tersenyum dan dia langsung membalikan tubuhnya, sambil membersihkan kelopak matanya yang berkaca – kaca. Joko berjalan ke arah kamar mandi dan aku lansgung membuka kotak cincin ini pelan. Sebuah cincin emas bermata warna biru muda, terlihat sangat cantik dan juga indah, langsung membuat air mataku kembali menetes.

Semoga Ratna mau memaafkan karena sikapku kemarin dan semoga dia mau menerima lamaranku hari ini. Semoga cincin ini cukup dijari manisnya dan semoga dia senang dengan cincin ini.

Beberapa saat kemudian, kami semua sarapan bareng dan setelah itu kami bersiap berangkat ke Kota Pendidikan.

Damar, Joko, Mas Candra dan juga Mas Jago, memasukan seserahan untuk lamaran kedalam mobil. Bapak, Ibu dan juga Lintang, sudah berpakaian yang sangat bagus dan menunggu diteras rumah.

Semua tetanggaku berdiri diteras masing – masing, termasuk Pak Tejo dan juga Bu Tejo. Mereka semua melihat ke arah rumahku dan aku hanya mengangguk dengan sopan ke arah mereka semua.

“Mobilnya kurang ya Jok.? Padahal masih ada tiga mobilnya Gilang dikantor.” Ucap Mas Jago sambil melirik ke arah Pak Tejo dan Bu Tejo.

Cok. Kok bisa Mas Jago ngomong seperti itu sih.? Padahal kan aku tidak punya mobil. Jangankan tiga, satu aja aku tidak punya. Bajingan.

“Nanti aja kalau pas nikahan Gilang Mas. Kita bawa semua mobil yang ada dikantor.” Jawab Joko dengan suara yang agak keras dan seperti pamer kepada seluruh tetanggaku.

“Kalau nikah, ya harus pakai mobil baru dong.” Ucap Mas Jago.

“Gampang. Nanti kita beli sedan civic aja.” Jawab Joko dan terlihat Bu Tejo langsung memalingkan wajahnya.

“Oh iya, sekalian nanti aku mau beli sapi 20 ekor untuk mbahku.” Ucap Joko lagi dan aku hanya menggelengkan kepalaku pelan.

“Jok.” Panggil Bapakku.

“Hehehe.” Joko hanya tertawa pelan dan kami semua langsung naik kedalam mobil.

Aku naik mobil Mas Candra bersama Bapak, Ibu, Damar dan juga Lintang. Sedangkan di mobil Mas Jago, ada Joko dan ke empat Mbahku.

Mobilpun mulai berjalan meninggalkan rumahku dan suasana tegang langsung menyelimuti diriku.

“Tenang Lang, tenang.” Ucap Mas Candra sambil melirikku

“Ya iyalah Mas.” Jawabku berbohong.

“Emang Mas Candra sudah menikah ya.?” Tanya Lintang.

“Belum De. Emang kenapa.?” Tanya Mas Candra.

“Belum menikah kok nenangin orang yang mau melamar.” Sahut Damar.

“Cok.” Gerutu Mas Candra pelan.

“Tenang Mas, tenang.” Ucap Lintang ke Mas Candra.

“Kok jadi aku yang ditenangin.?” Tanya Mas Candra.

“Sabar Mas, sabar. Gak punya pasangan itu, memang kadang menyakitkan. Apalagi ketika sahabat yang biasa jadi tempat curhat, lamaran duluan. Sakitnya itu terasa sampai ke ginjal.” Ucap Damar dengan cueknya dan aku langsung tersenyum mendengarnya.

“Senang kamu Lang.? senang.?” Ucap Mas Candra sambil melirik ke arahku.

“Hihihihi.” Lintang tertawa dengan senangnya.

“Sudah, sudah.” Ucap Ibu kepada Damar dan juga Lintang.

Kami semua lalu diam dengan lamunan masing – masing dan mobil mulai melaju di jalan Tol.

Hiuffttt, huuuu.

Aku menarik nafasku dalam – dalam, sambil mengelus dadaku. Dadaku tidak terasa sakit sama sekali hari ini dan nyeri akibat luka dikepala juga tidak terasa. Apakah ramuan yang diberikan Eyang Putri Ranajaya sudah menyembuhkan sakitku atau ini hanya untuk sementara, karena ada acara lamaranku.?

Sudahlah, lebih baik aku memikirkan bagaimana acara lamaran dadakanku ini dan bagaimana aku harus berbicara kepada Pak Tomo dan juga Ratna. Aku harus bisa meyakinkan mereka dengan sebenar – benarnya yakin, bukan karena belas kasihan karena sakit yang aku derita.

Hiuffttt, huuuu.

Kembali aku menarik nafasku dalam – dalam, ketika kedua kelopak mataku terasa berat. Kedua mataku ingin terpajam, tapi aku berusaha untuk menahannya. Tapi sekuat apapun aku menahan, kelopak mataku akhirnya tertutup dan aku tertidur didalam perjalanan ini.

Beberapa saat kemudian, aku membuka mataku dan mobil kami sudah berhenti didepan rumah Pak Tomo.

Cok. Kok sudah sampai didepan rumah Pak Tomo.? Berarti aku tertidur cukup lama dong.? Bajingan.

“Sudah bangun.?” Tanya Mas Candra.

“Lama ya aku tidurnya Mas.?” Aku bertanya balik dan aku tidak menjawab pertanyaan Mas Candra.

“Lumayan.” Jawab Damar dan aku yang duduk didepan, langsung menoleh ke arah belakang.

“Ayo sudah turun.” Ucap Lintang dan kedua orang tuaku mengangguk pelan.

Aku lalu melihat ke arah depan lagi, setelah itu aku membuka pintu mobil dengan hati yang berdebar.

“Piye cok.?” (Bagaimana cok.?) Tanya Joko ketika aku sudah keluar dari mobil dan Joko terlihat membawa seserahan yang bersisi pakaian.

“Opone seng piye.?” (Apanya yang bagaimana.?) Tanyaku sambil menutup pintu mobil.

“Awakmu dredek yo.?” (Kamu gugup ya.?) Tanya Joko lagi.

“Ora.” (Enggak.) Jawabku singkat, lalu aku berjalan ke arah belakang mobil.

Kedua adikku sudah turun dari mobil dan mereka masing – masing membawa kotak seserahan.

Aku lalu melihat ke arah rumah Pak Tomo dan terlihat dua orang sedang merapikan kursi diteras rumah itu. Sementara didekat pintu pagar, beberapa kursi berjejer rapi menempel didinding.

Kelihatannya dirumah Pak Tomo akan ada acara dan kelihatannya waktu kedatangan kami saat ini tidak tepat.

“Piye cok.?” (Bagaimana cok.?) Tanyaku ke Joko.

“Opone seng piye.?” (Apanya yang bagaimana.?) Tanya Joko.

“Ketok ane ono acara nde omae Pak Tomo.” (Kelihatannya ada acara dirumah Pak Tomo.) Jawabku.

“Gak po – po cok. Cuek ae lah.” (Gak apa – apa cok. Cuek sajalah.) Jawab Joko.

“Gilang.” Ucap Ratna yang keluar dari pintu rumah Pak Tomo.

Aku lalu melihat ke arah Ratna dan dia sangat terkejut melihat kedatanganku, bersama keluarga besarku ini. Aku juga tidak kalah terkejut, karena melihat riasan dan pakaian yang dikenakan Ratna. Dia mengenakan kebaya, tapi rambutnya dibiarkan terurai dengan indahnya. Riasan diwajahnya terlihat pas dengan kulitnya yang putih dan itu membuatnya terlihat sangat cantik sekali.

Cok. Mau kemana dia dengan riasan seperti itu.? Apa dia tau kalau aku akan melamarnya hari ini, jadi dia berdandan seperti itu.?

“Oh, jadi ini Mba Ratna, calon kakak ipar Lintang.?” Ucap Lintang yang ada dibelakangku, lalu adikku itu berjalan ke arah Ratna yang ada diteras rumah.

“Kakak ipar.?” Tanya Ratna yang terkejut. Ratna melihat ke arah Lintang, lalu melihat ke arah seserahan yang ada ditangan Lintang.

“Mba gak mau ya jadi kakak ipar Lintang.?” Tanya Lintang ketika sudah berdiri dihadapan Ratna.

“Bu, bu, bukan begitu De.” Ucap Ratna terbata.

“Darman.” Ucap Pak Tomo yang berdiri didepan pintu rumahnya.

“Tomo.” Jawab Bapakku yang ada dibelakangku.

Ha. Bapakku dan Pak Tomo saling kenal.? Kok bisa ya.?

Bapakku lalu berjalan ke arah Pak Tomo dan mereka berdua langsung berpelukan. Mereka seperti sahabat yang sudah lama tidak bertemu dan itu membuat suasana menjadi haru.

“Aku gak menyangka kalau dosen yang dimaksud anakku itu kamu Mo.” Ucap Bapakku sambil melepaskan pelukannya.

“Aku juga gak tau kalau kamu itu Bapaknya Gilang Man.” Sahut Pak Tomo.

“Hebat. Tomo sikutu buku sekarang menjadi dosen.” Ucap Bapak sambil menepuk pundak Pak Tomo.

“Jangan begitulah Man. Kalau seandainya hari itu kamu mendaftar kuliah bersama Cakra dan Irawan, mungkin kamu menjadi rector.” Jawab Pak Tomo.

“Ah. bisa aja kamu ini.” Ucap Bapakku dan kami semua hanya melihat pemandangan yang sangat menyejukan ini.

“Oh iya. Jadi kedatangan kalian ini untuk melamar Ratna.?” Tanya Pak Tomo yang mengalihkan pembicaraan.

“Ha.? Lamaran.?” Ucap Ratna pelan dan wajahnya terlihat kebingungan.

“Iya. itupun kalau kamu menyetujuinya.” Jawab Bapakku.

“Aku sangat setuju sekali Man. Aku sudah menyiapkan semua ini, untuk menyambut lamaran kalian semua. Tapi aku gak menyangka kalau sahabatku sendiri yang akan menjadi mertua Ratna.” Ucap Pak Tomo.

“Loh. bukannya acara dirumah ini untuk syukuran, karena tante wisuda S2 ya Om.?” Tanya Ratna ke Pak Tomo.

Pak Tomo hanya tersenyum ke arah Ratna yang terlihat makin kebingungan.

“Yah. Kok tamunya gak disuruh masuk.?” Ucap Istri Pak Tomo yang berdiri dibelakang Pak Tomo.

“Oh iya, masuk – masuk.” Ucap Pak Tomo mempersilahkan kami semua untuk masuk, sambil merangkul pundak Bapakku.

Mbah Kung dan Mbah Putri masuk kedalam rumah, sementara Ibuku mendekat ke arah Ratna.

“Cantik juga calon mantu Ibu.” Ucap Ibuku sambil mencolek dagu Ratna dan wajah Ratna langsung memerah karena malu.

“I, I, Ibu.” Ucap Ratna terbata dan dia langsung meraih tangan Ibuku dan mencium punggung tangannya.

Ibu membungkukan tubuhnya sedikit dan,

CUPPP.

Ibu mengecup kening Ratna dengan sangat lembut sekali, setelah itu Ibu menyusul Bapak yang sudah berada didalam rumah.

“Cieeee.” Ucap Damar dan Lintang, lalu mereka berdua masuk kedalam rumah juga.

Mas Candra, Mas Jago dan Joko ikut masuk kedalam, tanpa melirik ke arahku yang berjalan ke arah Ratna.

“Gilang, ini ada apa.? Kok kamu gak ngabarin aku dulu sih.?” Tanya Ratna ketika diluar rumah ini, hanya tinggal kami berdua.

“Kok manggilnya gak Mas lagi sih De.?” Tanyaku dan aku tidak menjawab pertanyaan Ratna.

“Aku lagi gak mau bercanda loh ya.” Ucap Ratna dan wajahnya terlihat sangat serius sekali.

“Emang aku kelihatan bercanda ya De.?” Tanyaku.

“Ihhhh. Mas Gilang.” Ucap Ratna dan sekarang wajahnya terlihat meraju.

“Kenapa De.?” Tanyaku lagi.

“Jawab dong Mas. ini ada acara apa.?” Tanya Ratna.

“Aku mau melamar kamu, sesuai janjiku De.” Jawabku.

“Iya, tapi kenapa dadakan seperti ini.? Atau jangan – jangan, Mas Gilang sudah merencanakan ini bersama Om Tomo.?” Tanya Ratna.

“Enggak. Aku gak ada ngomong sama Pak Tomo.” Jawabku.

“Terus bagaimana bisa Om Tomo menyiapkan semua ini.?” Tanya Ratna lagi.

“Aku gak tau De. Sudah lah, gak usah dibahas lagi. Intinya sekarang itu, kamu mau aku lamar gak.?” Tanyaku dan itu langsung membuat mata Ratna melotot.

“Enggak.” Jawab Ratna dan itu langsung mengejutkanku.

“Ke, ke, kenapa.?” Tanyaku.

“Ratna itu perempuan Mas. Hal yang seperti ini, harus Ratna rundingkan dengan Papah dan Mamah. Masa iya lamaran tidak ada persetujuan dari kedua orang tuaku dan mereka berdua tidak hadir disini.” Ucap Ratna dan itu langsung membuatku terdiam.

“Papah dan Mamah setuju kok.” Ucap seseorang dibelakangku dan aku langsung menoleh kebelakang.



LANJUT KEBAWAH..
 
Terakhir diubah:
“Papah dan Mamah setuju kok.” Ucap seseorang dibelakangku dan aku langsung menoleh kebelakang.

Sepasang suami istri yang bergandengan tangan, tampak berdiri sambil tersenyum ke arah kami berdua. Sang suami berwajah ganteng seperti bule, sementara yang perempuan berwajah cantik khas pulau ini.

“Papah, Mamah.” Ucap Ratna dengan wajah yang terkejut, sekaligus bahagia.

Waw. Ini kedua orang tua Ratna.? Gila. Pantas aja Ratna berwajah cantik, rupanya kedua orang tuanya sangat rupawan seperti ini.

“Sayang.” Ucap Mamahnya Ratna, sambil melepaskan pegangan tangannya ditangan suaminya, lalu beliau merentangkan kedua tangannya ke arah Ratna.

“Mamah.” Ucap Ratna dengan mata yang berkaca – kaca, lalu dia berlari dan memeluk Mamahnya dengan erat.

“Hiks, hiks, hiks, hiks. Kangen.” Ucap Ratna dan Mamahnya langsung membelai rambut Ratna pelan.

“Makin cantik aja anak Mamah ini.” Ucap Mamahnya dengan suara yang sangat lembut sekali.

“Iya Mah.” Ucap Papahnya Ratna, lalu beliau memeluk Ratna dan juga istrinya bersamaan.

Pelukan itu memperlihatkan kasih sayang dan juga cinta yang sangat luar biasa. Aku sampai tidak bisa berucap apapun dan aku hanya bisa melihat pemandangan yang penuh dengan cinta ini.

Djiancok. Apa aku bisa mencintai Ratna, seperti yang ditunjukan Papahnya itu.? Apa aku bisa menyayangi Ratna, seperti kasih sayang beliau berdua.? Apa aku bisa memberikan perhatian, tanpa ada kekurangan sedikitpun seperti kedua orang tuanya.?

Hiuufft, huuuu.

Papah Ratna melepaskan pelukannya, sambil melihat ke arahku. Beliau lalu berjalan ke arahku dan menjulurkan tangan kanannya ke arahku.

“Hartono, Hartono Van Gerrit.” Ucap Papahnya Ratna memperkenalkan diri dan aku langsung menyambutnya, sambil mencium punggung tangan beliau.

“Gilam Om. Gilang Adi Pratama” Ucapku setelah mencium punggung tangan beliau dan aku mengucapkannya dengan sangat sopan sekali.

Tapi entar dulu. Nama beliau tadi apa.? Hartono Van Gerrit.? Kok sama dengan nama belakang Rendi sih.? Apa Ratna dan Rendi itu punya hubungan saudara.? Tapi kenapa mereka berdua bersikap biasa aja dan Ratna atau Rendi tidak pernah bercerita kepadaku.?

“Kok manggilnya Om sih.? Katanya mau menikah dengan putri saya, kok manggil saya begitu.?” Ucap Papahnya Ratna dan aku langsung tersipu malu.

“Ma, ma, maaf Pah.” Ucapku dengan agak kaku, karena aku sangat malu sekali.

“Mas, Mba, kok gak langsung masuk.” Ucap Pak Tomo yang berdiri didekat pintu rumahnya.

“Aku masih mau kenalan sama calon menantuku Tom.” Ucap Papahnya Ratna.

“Nanti lagi aja kenalannya. Sekarang masuk dulu, karena acaranya mau dimulai.” Ucap Pak Tomo.

“Kalian berdua juga cepat masuk.” Ucap Pak Tomo kepadaku dan juga Ratna yang sedang dirangkul mamahnya.

“Satu menit.” Ucap Papahnya Ratna ke Pak Tomo, lalu melihat ke arahku.

“Oke.” Jawab Pak Tomo lalu beliau masik kedalam rumahnya lagi.

“Beri aku satu alasan, agar aku tidak menyesal telah menyetujui hubunganmu dengan putriku.” Ucap Papahnya Ratna dan itu semakin membuatku grogi.

Aku menarik nafasku dalam – dalam, lalu mengeluarkannya perlahan.

“Saya mencintai Ratna Pah.” Jawabku dan terlihat wajah Papahnya Ratna seperti tidak puas dengan jawabanku.

“Kebahagiaan, kehangatan, dan perhatian, itu bagian dari cinta dan saya akan berusaha mencurahkan semuanya untuk Ratna.”

“Mungkin cinta saya tidak sesempurna seperti yang Papah dan Mamah berikan untuk Ratna. Tapi sebagai calon pasangan hidup dari putri tersayang Papah, saya berjanji akan berusaha untuk membahagiakan Ratna, demi kesempurnaan cinta kami Pah.” Ucapku dan Papah Ratna langsung memelukku dengan erat.

Ratna yang melihat Papahnya memelukku, langsung menitikkan air matanya, dirangkulan Mamahnya.

“Semoga bahagia selalu menyertaimu nak.” Ucap Papah Ratna dengan suara yang bergetar, sambil menepuk punggungku pelan.

Beliau lalu melepaskan pelukannya dan giliran Mamah Ratna yang mendekat ke arahku.

“Menikah itu bukan hanya menerima kebaikan dari pasangan, tapi juga menerima hal yang paling buruk.”

“Jujur dan saling menguatkan, adalah cara yang terbaik dalam mengarungi biduk rumah tangga Nak.” Ucap Mamahnya Ratna dan aku hanya mengangguk pelan.

“Mamah tau, hari ini acaranya hanya untuk lamaran saja. Tapi tidak salahkan kalau Mamah menitip pesan seperti ini.?” Tanya Mamahnya Ratna kepadaku.

“Enggak Mah. Justru Gilang sangat berterimakasih, karena nasehat mamah ini sangat berguna sekali bagi Gilang.” Ucapku dan Mamah Ratna langsung tersenyum.

Aku meraih tangan kanan beliau lalu aku menciumnya dan Mamah Ratna langsung mengecup keningku, seperti Ibuku mengecup kening Ratna tadi.

CUUPPP.

“Kita masuk sekarang.” Ucap Papahnya Ratna.

Papahnya Ratna langsung merangkul Ratna dan berjalan masuk kedalam rumah. Sementara Mamahnya Ratna yang berdiri dihadapanku, langsung merangkul lengan kiriku dan mengajakku masuk kedalam rumah juga.

Didalam ruangan rumah Pak Tomo, keluargaku yang laki – laki duduk lesehan diruang tamu, sementara yang perempuan duduk diruang tengah. Pak Tomo tampak duduk didekat Bapakku dan Papahnya Ratna langsung menyalami seluruh keluargaku.

Mamahnya Ratna melepaskan rangkulannya ditanganku, lalu mendekat ke arah Ibuku sambil menggapai tangan Ratna yang terlihat malu.

Suasana sedikit tegang terlihat diwajah seluruh keluargaku, begitu juga Pak Tomo. Mereka semua tadinya mengobrol santai, tapi ketika Papahnya Ratna masuk, semua orang jadi terdiam dan tidak ada yang berbicara satupun.

“Jadi bagaimana ini.?” Tanya Papahnya Ratna dan beliau duduk disebelah Pak Tomo, sementara aku langsung duduk disebelah Joko.

“Mohon maaf Mas. Perkenalkan nama saya Darman. Saya Bapak dari Gilang Adi Pratama. Saya datang bersama keluarga besar saya, untuk melamar ananda Ratna.” Ucap Bapakku tanpa basa – basi, yang langsung kepada tujuan kedatangan kami kerumah ini.

“Cok. Bapak kok langsung ngomong begitu.? Kenapa gak pakai acara basa – basi dulu.?” Bisik Joko kepadaku.

“Bapakku kok.” Jawab Damar yang duduk disebelah kanan Joko, sementara aku disebelah kiri Joko.

“Assuu.” Maki Joko ke Damar, dengan suara yang sangat pelan sekali.

“Oh. Ini acara lamaran aja ya.?” Tanya Papahnya Ratna dan se isi rumah ini langsung tertuju kepada beliau.

“Maksudnya bagaimana Mas.?” Tanya Pak Tomo ke Papahnya Ratna.

“Ya saya kira langsung menikah, soalnya kami kan harus balik kenegeri kincir angin secepatnya.” Jawab Papahnya Ratna dan kami semua langsung terkejut dibuatnya.

“Cok. Kok enak nasibmu cok.” Bisik Joko dan aku tidak menghiraukannya.

“Kalau sampean berkenan menerima lamaran kami dan meminta hari ini juga pernikahannya, keluarga kami sangat senang sekali Mas.” Ucap Bapakku dan seluruh keluargaku langsung tersenyum mendengarnya.

“Bajingan. Koen rabi dino iki cok.” (Bajingan. Kamu menikah hari ini cok.) Bisik Joko lagi kepadaku dan aku tetap tidak menghiraukannya.

Pandanganku langsung tertuju ke Ratna. Wajahnya terlihat bahagia, dengan senyum yang mengambang dibibir dan mata yang berkaca – kaca.

“Sikat wes.” (Sikat sudah.) Ucap Joko yang terus saja bersuara.

Dadaku langsung berdetak dengan kencang dan keringat dingin langsung keluar di keningku. Bukan karena penyakitku yang kambuh, tapi karena suasana ini semakin menegangkan bagiku.

Semalam Bapak memang berencana untuk langsung menikahkan aku, tapi itu hanya sekedar permintaan kepadaku dan bukan keharusan. Ucapan Papah Ratna ini seolah mengaminkan ucapan Bapak semalam dan sekarang Bapak terlihat sangat senang sekali.

Terus bagaimana ini.? Apa hari ini aku benar – benar akan menikah dengan Ratna.?

Bukannya aku tidak senang atau bahagia, bukan seperti itu. Tapi apa ini tidak terlalu cepat.? Aku dan Ratna kan belum mempersiapkan segalanya. Terus bagaimana dengan kelanjutan tugas akhir kami.?

Djiancok. Kok aku malah mikirin tugas akhir sih.? Nikah yang sudah didepan mata ini yang seharusnya aku pikirin. Bajingan.

“Ya sudah Mas. Kalau begitu kita nikahkan aja sekarang. Nunggu apa lagi.?” Ucap Papahnya Ratna kepada Bapakku dan itu semakin membuat dadaku berdetak dengan cepat.

“Benar juga Mas. Rukun dan syarat nikahnya kan sudah lengkap. Jadi tidak ada alasan bagi kita untuk menunda pernikahan ini.” Sahut Bapakku.

“Ada mempelai laki – laki, ada mempelai perempuan, ada wali nikah untuk mempelai perempuan dan diruangan ini pasti ada yang mau menjadi sebagai saksi nikah, terus proses nikah. Bereskan.?” Ucap Bapakku lagi dengan tenangnya.

“Beres Pak.” Sahut Mas Candra, Mas jago dan juga Joko dengan kompaknya.

Cok. Jadi aku beneran akan menikah hari ini.? Gak bercanda kan.?

“Ba, bagaimana dengan mahar untuk nikahnya Pak.?” Tanyaku dan entah kenapa aku berani bertanya seperti ini.

“Mahar apa yang bisa kamu siapkan saat ini.?” Tanya Papahnya Ratna dengan santainya.

“Kenapa kamu bingung.? Itu sudah ada seperangkat alat untuk ibadah, jadi untuk apa lagi kamu bertanya.?” Sahut Pak Tomo.

“Ya sudah, kita mulai saja akad nikahnya.” Ucap Papah Ratna dan lagi – lagi ucapan beliau membuatku terkejut.

Cok. Semudah itukah urusan untuk pernikahan.? Apakah tidak ada ritual atau persyaratan yang harus aku jalani dan aku penuhi.?

Tapi kalau dipikir – pikir, menikah itu ya memang seperti itu. Apa coba persyaratan yang kurang.? Gak ada kan.? Apa harus mengadakan digedung mewah dan menyebar ribuan undangan.? Apa harus sampai mengeluarkan uang yang bertumpuk dan menyibukan banyak orang.? Enggak perlu kan.? Lebih baik uang itu digunakan untuk membeli rumah atau modal usaha. Gak perlu bermewah - mewah, tapi ujungnya hanya berbicara gengsi. Djiancok.

“Lang.” Panggil Papahnya Ratna yang mengejutkanku dari lamunan.

“Ya Pah.” Jawabku.

“Cok. Papah.? Sejak kapan kamu manggil Bapaknya Ratna dengan sebutan Papah.?” Bisik Joko dan Damar langsung menyenggol lutut Joko.

“Maju kemari.” Ucap Papahnya Ratna dan aku langsung melihat ke arah Bapakku, lalu melihat ke arah Ibu.

Kedua orang tuaku mengangguk pelan dan seperti menyuruhku agar duduk dihadapan Papahnya Ratna.

Untuk kesekian kalianya, aku menarik nafasku dalam – dalam untuk menenangkan hatiku yang sangat tegang ini. lalu setelah agak tenang, aku berdiri perlahan lalu berjalan ke arah Ibuku.

Aku bersimpuh dihadapan Ibuku dan aku langsung mencium punggung tangan orang yang sudah melahirkan aku kedunia ini. Tidak ada kata yang sanggup aku ucapkan dan hanya air mataku yang membasahi tangan beliau ini yang menjadi ucapan permohonan restuku.

Ibuku tidak mengeluarkan sepatah katapun dan beliau hanya membelai kepalaku pelan.

Aku lalu meminta restu kepada Bapak, ke empat Mbahku, kedua adikku dan teman – temanku. Setelah selesai meminta restu, aku langsung duduk bersila dihadapan Papahnya Ratna.

“Nak. Duduk disebelah calon suamimu.” Ucap Papahnya Ratna kepada Ratna.

Ratna lalu meminta restu kepada Ibunya, Pak Tomo dan juga istrinya. Ratna juga meminta restu kepada Papahnya, lalu dia duduk disebelahku.

Istri Pak Tomo berdiri, lalu memasangkan sebuah kain selendang untuk menutupi kepalaku dan juga kepala Ratna.

“Baiklah. Sekarang kita akan memulai akad nikah ini dan saya sendiri yang akan menikahkan putri saya.” Ucap Papahnya Ratna dengan suara yang bergetar.

“Seisi ruangan ini akan menjadi saksi pernikahan ini dan semoga kita semua diberi kemudahan oleh Sang pencipta.” Ucap Papahnya Ratna, sambil menjulurkan tangan kanannya kepadaku.

Dengan tangan yang agak bergetar, aku menyambut tangan kanan Papahnya Ratna dan beliau langsung menggenggam tanganku.

“Saya nikahkan engkau Ananda Gilang Adi Pratama Bin Darman, dengan anak saya yang bernama Ratna Silvi Juwita Binti Hartono Van Gerrit dengan mas kawin berupa seperangkat alat ibadah dibayar tunai.” Ucap Papahnya Ratna sambil menatapku dan mengeratkan gengaman tangannya.

Aku menarik nafasku, lalu aku mengucapkan kalimat yang akan menjadi pembuka jalan hidup baruku.

“Saya terima nikahnya Ratna Silvi Juwita Binti Hartono Van Gerrit dengan mas kawin tersebut dibayar tunai.” Ucapku dengan sekali tarikan nafas dan aku mengucapkannya dengan tegas.

“SAH.” Teriak Joko, Damar, Mas Candra dan Mas Jago dengan kompaknya.

“Huuuu.” Aku hembuskan nafas panjangku, dengan sedikit bergetar.

Papah Ratna melihatku dan aku langsung membungkuk, lalu mencium punggung tangan beliau yang masih aku genggam.

“Hiks, hiks, hiks.” Terdengar isakan tangis Ratna dan aku langsung menegakkan tubuhku, lalu melihat ke arah Ratna.

Aku rapikan rambutnya yang terurai dan aku selipkan ditelinga kanannya.

Ratna menoleh ke arahku, di iringi dengan suasana yang hening diruangan ini. Tidak ada yang bersuara dan semua hanya menundukan kepala. Perlahan Ratna menggeser tubuhnya, sampai duduk menghadap ke arahku.

“Kamu tau, sebenarnya kemarin sore aku lebih memilih diam dan tidak mengeluarkan isi hatiku, karena aku takut kamu akan terluka nantinya.” Ucapku sambil memegang tangan kanannya dan meremasnya pelan.

“Tapi ternyata diamku salah dan itu justru menyakiti perasaanmu. Dan bukan hanya kamu, tapi semua orang yang menyayangi aku.”

“Aku bodoh, karena aku berpikir semuanya akan baik – baik saja nantinya. Tapi ternyata sekali lagi aku salah, salah karena cintamu benar – benar luar biasa.”

“Terimakasih sudah mencintaiku dan terimakasih sudah menerima aku sebagai suamimu.”

“Terimakasih sudah melengkapi ketidaksempurnaanku, dengan sempurnanya cintamu.” Ucapku lalu aku mengangkat punggung tangan kanan Ratna, setelah itu aku mencium telapak tangannya dengan lembut.

CUUPPP.

Aku pegang jemari lentik istriku ini dengan tangan kiriku, sambil merogoh kotak kecil dikantong depan celananku.

Tap.

Aku buka kotak cincin itu, lalu aku ambil cincin bermata biru muda dan aku langsung memasang cincin itu diujung jari manis Ratna.

“Aku menyayangi kamu hari ini, esok dan seterusnya.” Ucapku, lalu dengan tangan yang bergetar, aku mendorong cincin itu masuk kejari manis Ratna.

Cincin itu terpasang sempurna dan sangat pas dijari lentik Ratna.

Ratna memegang telapak tangan kananku dengan kedua tangannya, setelah itu dia mengecup punggung tanganku pelan.

CUUPPP.

Air matanya menetes dan membasahi punggung tangan kananku dan aku langsung membelai rambutnya pelan.

“Ratna tidak tau apa artinya cinta. Yang Ratna tau, Ratna hanya merasa nyaman ketika Ratna berada disamping Mas.” Ucap Ratna sambil menegakan tubuhnya dan menatapku dengan lingan air matanya.

“Kita sama – sama tidak sempurna dan semoga ikatan ini yang akan menyempurnakan ketidak sempurnaan kita.”

“Mohon maaf, Ratna tidak bisa merangkai kata – kata yang indah, untuk mewakilkan kebahagiaan didalam hati ini.”

“Terimakasih atas kebahagiaan yang Mas berikan, dan Ratna yakin masih banyak kebahagiaan lain yang akan menanti Ratna esok hari.” Ucap Ratna sambil menatap mataku.

Mamah Ratna langsung mendekat dan menyerahkan sebuah kotak kecil kepada Ratna. Ratna yang terkejut itu langsung menerima kotak kecil itu dan langsung membukanya.

Sebuah cincin bermata bening terselip ditengah kotak dan Ratna langsung mengambilnya, sambil menatap Mamahnya.

Mamahnya mengangguk dan seperti mengkode Ratna untuk memakaikannya untukku. Ratna langsung melihat ke arahku dan memegang jari manis tangan kananku.

“Bimbing Ratna Mas. Bimbing Ratna kejalan yang akan kita lalui bersama.” Ucap Ratna sambil memasangkan cincin dijariku dan aku menyambutnya dengan mengecup keningnya dengan lembut.

CUUPPP.

Itu sekelumit cerita dihari yang sangat membahagiakan bagiku, bagi Ratna dan bagi mereka yang menyayangi kami berdua.

Tidak ada kemewahan, tapi terasa sangat istimewa. Tidak ada kemeriahan, tapi terasa sangat meriah. Tidak banyak orang, tapi terasa banyak doa yang mengelilingi aku.

Hari ini adalah hari bahagiaku, sekaligus hari yang paling menyedihkan yang pernah aku jalani. Wajah seluruh orang dirumah Pak Tomo terlihat tersenyum, tapi tatapan mereka tidak bisa membohongi aku.

Aku tidak bisa melarang mereka untuk tidak melakukan hal yang paling aku benci, yaitu mengasihani aku. Tapi kalau seandainya aku berada diposisi mereka, mungkin aku juga akan mengasihani orang yang sedang bertarung melawan penyakit seperti yang aku alami ini.

Entah aku harus bagaimana esok hari. Tapi yang jelas kehadiran Ratna disampingku pasti akan memberikanku semangat, untuk menghadapi hari – hari terberat yang sudah menanti.

Sebagai seorang laki – laki dan kepala rumah tangga, aku juga tidak akan terlalu merepotkan istriku. Aku akan berjuang sekuat tenaga untuk melawan penyakitku ini dan aku akan berusaha untuk melakukan aktifitas seperti biasa.

Hiufftt, huuuu.

Sore hari setelah acara pernikahanku dan seluruh keluarga besarku selesai bercengkrama, aku meminta izin untuk membawa Ratna kekosanku. Pak Tomo sempat melarangku dan menawarkan untuk tinggal dirumahnya, tapi aku tidak ingin merepotkan beliau dan aku masih bisa menolaknya.

Sebenarnya aku ingin mencari kontrakan baru, tapi Joko melarangku dan dia memintaku untuk tinggal dikosan saja. Kalau sudah Joko yang berbicara, aku pasti tidak bisa menolaknya. Akupun akhirnya memutuskan untuk tinggal sementara dikosan.

Oh iya. Keluargaku sore ini juga balik ke Desa Sumber Banyu dan diantar oleh Mas Jago. Sedangkan aku balik kekosan bersama Ratna dan Joko, diantar oleh Mas Candra.

Kembali suasana haru menyelimuti rumah Pak Tomo, ketika kami berpamitan untuk kekosan. Air mata pun menghiasi wajah – wajah sedih keluargaku dan aku juga tidak mampu membendung air mataku.

Kami berdua lalu masuk kedalam mobil, sambil bergandengan tangan dan kami berdua saling menguatkan.

Hiuufftt, huuuu.

“Piye cok.?” (Bagaimana cok.?) Tanya Joko ketika mobil sudah berjalan meninggalkan rumah Pak Tomo.

“Opone seng piye.?” (Apanya yang bagaimana.?) Tanyaku sambil merangkul pundak Ratna dan kami berdua duduk dikursi belakang mobil.

“Rangkul aku Jok.” Ucap Mas Candra sambil melirik ke arah spion tengah mobil.

Joko lalu menoleh ke arahku, lalu dengan cepatnya dia melihat ke arah depan lagi.

“Djiancok.” Gerutu Joko.

“Mas. Bisa gak ngomongnya gak pakai memaki.?” Tanya Ratna dan dia memanggil Joko dengan sebutan Mas juga.

“Bisa aja. Tapi tolong kasih tau laki – laki yang duduk disebelahmu itu. Bilang, wajahnya gak usah menggathelkan seperti itu.” Jawab Joko

“Memangnya ada apa dengan wajah laki – lakiku ini.? Dia ganteng dan juga jantan loh Mas.” Ucap Ratna sambil menyandarkan kepalanya dipundakku.

“Jadi maksudmu kami gak ganteng dan gak jantan gitu Rat.?” Tanya Mas Candra.

“Ganteng itu relative Mas. Tapi kalau jantan, itu pilihan.” Jawab Ratna.

“Maksudnya.?” Tanya Joko sambil menoleh ke arah belakang.

“Kalau ganteng itu sudah biasa Mas. Tapi kalau jantan, itu hanya sebutan bagi laki – laki yang berani meminang seorang wanita.” Jawab Ratna dan aku langsung memainkan kedua alis mataku ke arah Joko, yang masih menoleh ke arah kami berdua.

“Bajingan. Podo – podo nggatheli.” (Bajingan. Sama – sama menjengkelkan.) Gerutu Joko sambil melihat ke arah depan lagi.

“Apa Mas.?” Tanya Ratna.

“Enggak, enggak ada apa – apa kok Rat. Mas Candra itu loh. nyupirnya kurang jeli.” Jawab Joko.

“Kenapa aku yang dibawa – bawa.? Gantian sini kamu yang nyetir.” Ucap Mas Candra ke Joko.

“Joko biasa naik sapi, mau disuruh bawa mobil.? Bisa – bisa dia berdiri diatap mobil, sambil pegang tali. Terus dia bilang. Yihaa. Hus, hus, hus.” Sahutku.

“Hahahaha.” Mas Candra langsung tertawa senang.

“Assuu.” Maki Joko lagi dan suasana didalam mobil ini, langsung berubah penuh dengan candaan.

Perjalanan kamipun akhirnya sampai juga dikosan. Aku dan Ratna turun dari mobil, setelah itu aku kebagasi bagian belakang mobil untuk mengambil dua tas pakaian Ratna.

“Sudah masuk aja. Entar aku yang bawa.” Ucap Mas Candra.

“Santai aja Mas. Aku masih kuat bawa tas ini.” Ucapku sambil mengambil tas pakaian Ratna yang besar, sementara tasnya yang kecil, langsung diambil oleh Ratna.

“Rat.” Panggil Joko.

“Kenapa Mas.?” Tanya Joko.

“Kamu gak ngucapin terimakasih sama Mas ganteng ini kah.?” Tanya Joko sambil menepuk dada bagian kirinya dengan pelan.

“Ganteng.? Ganteng atap yang bocor.?” Tanyaku.

“Genteng iku cok, genteng. Mosok aku dipadakno ambe genteng.? Bajingan.” (Genteng itu cok, genteng. Masa aku disamakan sama genteng.? Bajingan.) omel Joko dan aku hanya tersenyum saja, sambil berjalan ke arah pintu kosan.

“Eh cok. Ngatasi a.?” (Eh cok. Mampu menyelesaikan kah.?) Tanya Joko dan aku hanya tersenyum, sambil menggelengkan kepalaku pelan.

“Ganteng tapi gak jantan, percuma.” Ratna yang menjawab dan itu langsung membuat mata Joko melotot.

“Maksudmu bagaimana Rat.?” Tanya Joko dan Ratna langsung menggandeng tanganku.

“Masuk yo yang.” Ucap Ratna kepadaku dan dia tidak menjawab pertanyaan Joko. Ratna mengucapkan kata – kata itu pelan didekat telingaku, sambil melirik ke arah Joko.

“Rat.” Ucap Joko dan aku langsung masuk kedalam kosan, dengan Ratna yang menggelendot mesra dilenganku.

“Nanti desahnya jangan kencang – kencang ya.” Ucapku dengan suara yang agak keras, tapi nadanya seperti berbisik.

“Djiancok.” Maki Joko.

“Hahaha.” Akupun tertawa dan aku sudah berdiri didepan pintu kamarku.

“Mau mandi dulu De.?” Tanyaku ke Ratna.

“Ratna mau istirahat dulu sebentar. Bolehkan Mas.?” Jawab Ratna dan aku langsung menganggukan kepalaku, sambil membuka pintu kamar.

Aku meletakan tas yang kubawa didekat lemariku dan Ratna juga meletakan tas yang dibawanya. Ratna lalu duduk didekat kasurku, dengan kaki yang terselenjor kedepan.

Aku lalu menutup pintu kamarku dan menguncinya. Sekarang aku tidak sendirian lagi dikamar ini dan aku bersama istriku. Aku takut ketika Ratna mengganti pakaiannya, teman – temanku lupa dan langsung main nyelonong aja kekamarku. Kan bisa repot urusannya.

Setelah pintu kamar aku kunci, perlahan aku membalikan tubuhku dan melihat ke arah Ratna. Kami berdua sempat saling memandang, lalu sama – sama memalingkan wajah. Suasana didalam kamar inipun, tiba – tiba menjadi kaku.

Arrgghh. Jujur aku sangat canggung dengan kondisi seperti ini. Aku dan Ratna itu kemarin – kemarin bersahabat dan hari ini tiba – tiba sudah menjadi suami istri. Memang aku sudah terbiasa menggandeng tangannya, bahkan aku pernah menciumnya. Tapi itukan waktu kami belum menikah dan bebanku tidak terlalu berat waktu itu.

Ha.? Beban.? Gak salah nih.? Kenapa aku harus terbebani.? Ratna kan sekarang sudah sah jadi istriku, jadi harusnya aku lebih bebas untuk menyentuhnya. Kalau mau jadi beban pikiran, ya dulu waktu sebelum ada ikatan yang sah. Gimana sih aku ini.? bodoh banget.

Tenang Lang, tenang. Kamu harus bisa tenang dalam kondisi seperti ini. Wanita yang duduk dihadapanmu ini adalah istrimu, jadi kamu gak perlu tegang apalagi canggung. Masa menghadapi wanita lain kamu bisa tenang, sedangkan dengan istrimu sendiri gak tenang.? Bajingan.

“De.” Ucapku kepada Ratna dan istriku itu langsung menoleh ke arahku sambil tersenyum.

Aku lalu melangkah ke arahnya, sambil menjulurkan tangan kananku ke arahnya. Ratna menyambut uluran tanganku dan menarik tanganku pelan, sampai aku terduduk disebelahnya.

“Kenapa.? Mau ‘main’.?” Tanya Ratna dan kami duduk sambil melihat ke arah lurus kedepan.

Cok. Kok langsung jujur seperti ini sih istriku ini.? Aku tau kata ‘main’ yang diucapkan itu, bukan kata main seperti biasa. Kata ‘main’ itu pasti untuk malam pertama kami. Djiancok. Kenapa gak pakai acara romantis – romantisan dulu, baru bicara menjurus untuk malam pertama. Aku saja masih mencoba mengontrol pikiranku, malah dianya yang ceplas ceplos. Bajingan.

“’Main’ apa.?” Tanyaku sambil menoleh ke arahnya.

“Huu. Mukanya sudah mesum begitu, pakai acara nanya mau ‘main’ apa.” Ucap Ratna sambil mendorong pipiku pelan.

“Emang kelihatan ya.?” Tanyaku sambil mengerutkan kedua alis mataku.

“Gak kelihatan sih, cuman nampak aja.” Jawab Ratna, sambil mengalihkan pandangannya lurus kedepan, lalu dia mengibaskan rambutnya pelan.

Huuu. Seksi banget sih wanitaku ini. Apa dia sengaja melakukan gerakan itu, untuk memancing birahiku.?

Arrgghhh. Jadi enak kalau begini.

Akupun langsung memajukan wajahku, untuk mencium pipinya.

“Eh, eh, eh. Mau ngapain.?” Tanya Ratna sambil menghindari ciumanku dan aku langsung menghentikan gerakanku.

“Itu loh ada semut didekat telinga.” Ucapku berbohong, sambil memundurkan wajahku.

“Alasan. Bilang aja mau cium.” Ucap Ratna sambil membersihkan daun telinganya.

“Gak percaya, tapi dibersihkan juga.” Ucapku sambil melihat ke arah depan lagi.

“Apa’an sih.?” Ucap Ratna.

Hiuuffttt, huuuu.

“Eh De. Ade ada hubungan keluarga sama Rendi ya.?” Tanyaku untuk mencairkan suasana yang kaku ini.

“Hem. Gimana ya.?” Ucap Ratna, sambil menampakan wajah seperti agak kebingungan.

“Kok bingung.?” Tanyaku sambil merangkul pundak Ratna dan Ratna langsung menggeser tubuhnya, merapat ketubuhku.

“Kami berdua memang punya hubungan saudara, tapi jauh banget.” Jawab Ratna dan aku langsung melihat ke arahnya.

“Kok kamu baru ngomong kalau punya hubungan saudara dengan Rendi.?” Tanyaku sambil melepaskan rangkulanku dipundaknya, lalu aku merapikan rambutnya dan aku selipkan ketelinganya, sehingga melihatkan lehernya yang putih bersih.

“Gak apa – apa. Sudah ah, ga usah di bahas lagi.” Jawab Ratna sambil menoleh ke arahku sebentar, lalu melihat ke arah depan lagi.

“Kenapa.?” Tanyaku, lalu aku mengecup leher Ratna pelan.

CUUPPP.

“Iiiiihhhh. Kok nyium leher sih.?” Ucap Ratna yang sedikit mendesah, sambil menoleh ke arahku dan memegang bagian lehernya yang aku cium tadi.

“Gak apa – apa.” Jawabku sambil tersenyum, lalu aku melihat ke arah depan lagi.

Aku tidak melanjutkan pembahasan tentang hubungan persaudaraannya dengan Rendi lagi, karena Ratna terlihat malas untuk membahasnya.

“Papah sama Mamah sejak kapan tinggal dinegeri kincir angin.?” Tanyaku dan kembali aku merangkul pundak Ratna.

“Mulai Ratna masuk kuliah.” Jawab Ratna singkat.

“Kok Ade gak ikut.?” Tanyaku lagi sambil menoleh ke arahnya dan daun telinga Ratna tepat berada didepan mulutku.

CUPPP.

Aku mengecup daun telinga Ratna dan Ratna langsung memiringkan wajahnya, karena kegelian.

“Iiiihhh. Nakal banget sih.” Rengek Ratna sambil menoleh ke arahku, lalu mendorong pelan pipiku.

“Terus kenapa.?” Tanyaku.

“Kok kenapa itu loh. bibirnya itu loh nakal banget.” Ucap Ratna sambil mencubit pelan pipiku.

“Iiihhh. Maksudku itu, kenapa Adek gak ikut ke negeri kincir angin.?” Tanyaku sambil memegang punggung tangan Ratna yang masih memegang kedua pipiku.

“Oooo. Kalau Ratna ikut kesana, Ratna gak ketemu Mas dong.” Ucap Ratna dan wajah kami sudah berhadapan, dengan jarak yang dekat.

“Cuman itu jawabannya.?” Tanyaku sambil mendekatkan wajahku ke arahnya dan Ratna memundurkan wajahnya, sambil mengerutkan kedua alis matanya.

“Mau nyium ya.?” Tanya Ratna dengan polosnya.

“Emang kenapa.? Gak boleh ya kalau aku mencium istriku sendiri.?” Tanyaku dan Ratna langsung terkejut mendengar pertanyaanku.

Perlahan wajah terkejutnya langsung berubah menjadi sedih dan matanya langsung berkaca – kaca.

“Ma, maaf.” Ucap Ratna dengan terbata.

“Untuk.?” Tanyaku yang kebingungan.

“Maaf kalau Ratna tidak menyadari posisi Ratna saat ini dan Ratna tidak bisa menjalankan kewajiban Ratna sebagai seorang istri.” Ucap Ratna pelan, lalu dia memalingkan wajahnya, setelah itu dia menunduk.

“Ya ampun De. Kamu itu ngomong apasih.?” Tanyaku dan Ratna tetap menunduk.

Aku lalu merangkak ke arah depan Ratna dan kakinya yang tadinya terselonjor, sekarang menekuk kesamping pahanya. Aku duduk bersila dihadapannya, lalu aku angkat pelan dagunya, sampai tatapan matanya melihat ke arah mataku.

“Hey. Kamu itu istriku yang sangat luar biasa De.” Ucapku lalu aku tersenyum kepadanya.

“Maaf Mas, maaf. Ratna takut.” Ucapnya dan aku langsung mengerutkan kedua alis mataku.

“Takut kenapa.?” Tanyaku.

“Ma, ma, malam pertama.” Jawab Ratna terbata, sambil memainkan ujung kebaya yang masih dikenakannya.

“Ha.?” Ucapku yang terbengong, mendengar jawaban polos istriku ini.

Cok. Pantas saja dia selalu menghindar kalau aku cium, rupanya dia takut menghadapi malam sakral ini.? Bajingan.

Tapi kenapa tadi dia memancingku dengan kata ‘main’, sedangkan dia sendiri takut dengan yang namanya malam pertama.? Apa dia tadi berusaha untuk mencairkan suasana, tapi ternyata tidak berhasil.? Terus aku harus bagaimana ini.? Apa iya malam pertama kami, hanya dilewatkan begitu saja.? Walaupun Ratna sudah sah sebagai istriku, tidak mungkin aku memaksanya, apalagi sampai memperkosanya. Gak lucu banget itu. bajingan.

“Ya udah De. Kalau kamu takut, kita tunda aja sampai kamu siap.” Ucapku menenangkan Ratna, walaupun dari dalam hatiku yang terdalam, ada sedikit kekecewaan yang terasa.

“Itu dia Mas. Ratna bingung, karena Ratna mau menyempurnakan hari bahagia kita ini, dengan malam pertama.” Jawab Ratna dan itu semakin membingungkanku.

“Jangan dipaksakan De. Ditunda dulu aja.” Sahutku yang terus menenangkannya.

“Emang Mas gak mau melakukannya dengan Ratna ya.?” Tanya Ratna dengan wajah yang terlihat kecewa dan sedih.

“Melakukan apa.?” Tanyaku yang semakin bingung dengan sikapnya.

“Ya itu.” Jawab Ratna.

“Ya itu apa.?” Tanyaku lagi.

“Ihhhh. Mas ini loh.” Rengek Ratna dengan manjanya.

“Hehehe.” Dan aku hanya tersenyum, sambil membelai rambutnya pelan.

“Mas kok malah ketawa sih.?” Tanya Ratna.

“Mas gak ketawa kok.” Jawabku.

“Sebel ah.” Ucap Ratna meraju, sambil memalingkan wajahnya.

“Ya sudah, ya sudah. Sekarang Ade maunya bagaimana.?” Tanyaku.

“Tau.” Jawab Ratna dan dia tetap tidak melihat ke arahku.

“Hiufftt, huuuu.” Aku menarik nafasku dalam – dalam dan Ratna langsung melihat ke arahku.

“Mas gak apa – apa.?” Tanya Ratna dan aku langsung menggelengkan kepalaku pelan.

“Beneran.” Tanya Ratna lagi.

“Iya De.” Jawabku.

“Hiufftt, huuuu.” Giliran Ratna yang menarik nafasnya dalam – dalam, lalu mengeluarkannya perlahan.

“Kenapa.?” Tanyaku.

“Gak apa – apa.” Jawab Ratna.

“Ya sudah. Bagaimana kalau kita melakukannya, tapi pelan – pelan aja. Kalau Ade merasa gak sanggup atau kesakitan, kita hentikan.” Ucapku dan sengaja aku mengucapkan ini, agar dia tidak terlalu takut dan kecewa.

“Bo, boleh.” Jawab Ratna dengan terbata dan wajah yang terlihat tegang, sekaligus gembira.

Aku lalu mendekatkan wajahku ke wajah Ratna dan Ratna langsung menarik nafasnya dalam – dalam, setelah itu dia menutup matanya. Aku menghentikan gerakanku dan jarak wajah kami sangat dekat sekali.

Wajah Ratna sedikit memucat, bibirnya bergetar dan matanya terpejam dengan kuat. Istriku terlihat sangat tegang dan juga sangat grogi sekali. Jangankan berciuman atau bersentuhan, bertatapan mata saja, dia tidak berani melakukannya.

Ada apa dengan Ratna ya.? Kalau dia malu atau takut berdekatan dengan laki - laki, kenapa sebelum menikah dia berani memegang tanganku, memandang mataku, bahkan sempat sampai berciuman.

Kelihatannya aku harus mencairkan suasana ini dulu, agar bisa membuat Ratna sesantai mungkin dan tidak terbebani dengan malam pertama kami ini.

Aku colek hidung Ratna sampai dia terkejut dan dia langsung membuka matanya.

“Sayang. Kenapa sih ngagetin.?” Tanya Ratna dengan wajah yang terlihat bingung.

“Sayang.? Sekarang manggilnya sayang nih.?” Godaku.

“Iiiihhh. Ditanya kok malah nanya balik.” Ucap Ratna sambil memencet hidungku pelan dan wajahnya perlahan mulai terlihat santai.

Aku pegang punggung tangan kanannya yang memencet hidungku sampai terlepas, lalu aku kecup telapak tangannya itu, sambil melihat wajahnya.

CUUPPP.

“Aku sayang kamu.” Ucapku dan Ratna langsung membelai wajahku dengan tangan kirinya.

“Ratna juga sayang sama Mas.” Ucap Ratna dan aku menarik tangannya pelan, sampai wajahnya mendekat kepadaku.

Kedua matanya kembali terpejam dan aku mengecup telapak tangannya yang masih aku genggam ini.

CUUPPP.

“Aku sayang kamu.” Ucapku lagi dan mata Ratna kembali terbuka.

Wajah kami sudah sangat dekat sekali, sampai hembusan nafasnya terasa diwajahku.

“Ra, Ra, Ratna juga sayang.” Ucap Ratna dengan mata yang sayu dan suara yang bergetar.

Aku memiringkan wajahku ke arah kanan dan Ratna lagi – lagi memejamkan kedua matanya.

CUUPPP.

Aku kecup lagi telapak tangannya dan Ratna membuka lagi kedua matanya.

“Aku sayang kamu.” Ucapku yang mengulangi kata – kataku.

“Ra, Ra, Ratna juga sayang.” Jawabnya yang terus terbata.

Jarak bibir kami sangat dekat dan aku langsung menempelkan bibirku di bibir Ratna.

CUUPPP.

Ratna sempat terkejut dan kembali dia menutup matanya. Aku tetap membuka mataku dan aku tidak mengulum bibirnya. Aku hanya menempelkan bibirku dibibirnya dan itu rasanya sudah sangat luar biasa.

Bibirnya yang sedikit bergetar, mengalirkan rasa cinta yang begitu mendalam dan menularkan getarannya sampai kedalam hatiku.

Aku menikmati setiap detik bibir kami yang saling menempel dan jujur, nafsu belum bermain didalam kepalaku.

Nafas Ratna memberat dan dia tetap memejamkan matanya.

Kedua tanganku langsung merangkul dibelakang lehernya dan kedua tangan Ratna berada diatas pahanya.

Aku belai rambutnya yang lurus dan indah, untuk menenangkan ketegangan yang dia rasakan.

Kedua mata Ratna perlahan mulai terbuka dan bibirnya sudah mulai tidak bergetar, tapi tertutup. Bibirnya atasnya tetap menyatu dengan bibir bawahnya dan sangat terasa sekali dia canggung dalam berciuman.

Hem.

Aku mulai mengulum bibir bawahnya pelan dan perlahan bibir Ratna mulai terbuka sedikit. Bibir atasku mulai masuk kedalam mulutnya, tapi dia tidak mengulumnya.

Hem, hem, hem, hem.

Aku terus mengulum bibirnya pelan, sambil sesekali aku menyapu bibir bawahnya dengan lidahku.

Hem, hem, hem, hem.

Desahan Ratna mulai terdengar, dengan di iringi nafasnya yang mulai cepat.

Muuaacchh.

Aku lepaskan kuluman bibirku dan nafas Ratna langsung memburu.

“Hu, hu, hu, hu.” Deru nafas Ratna yang terdengar dan tatapan matanya semakin sayu.

“Kenapa.?” Tanyaku sambil membelai pipinya yang lembut.

“Hu, hu, hu, hu. Ratna belum pernah berciuman, apalagi selama ini Mas. Hu, hu, hu.” Ucap Ratna sambil memegang punggung tangan kananku yang membelai pipinya.

Wajahnya memerah, nafasnya tersengal – sengal, kedua matanya sayu dan pengangan tangannya sangat erat sekali.

“Belum pernah berciuman.? Terus yang waktu itu kita lakukan apa.?” Tanyaku dan kembali aku menggodanya, agar Ratna menjadi tenang kembali.

“Itukan gak disengaja dan jujur itu pertama kali bibir ini bersentuhan dengan bibir laki - laki. Hu, hu, hu.” Ucap Ratna dan dia mencoba mengatur nafasnya.

Cok. Kelihatannya Ratna benar – benar gadis polos dan belum pernah ‘berhubungan’ dengan laki – laki manapun. Djiancok. Itu beda sekali dengan aku yang sudah sering kali ‘berhubungan’ dengan beberapa wanita.

Ratna menyerahkan segala kehormatannya dengan laki – laki yang menjadi suaminya, sementara aku, entah apa yang bisa aku berikan kepadanya. Bajingan.

“Mas.” Ucap Ratna dan nafasnya sudah mulai tenang.

“Ya.” Ucapku.

“Mikir apa.?” Tanya Ratna.

“Engga De.” Ucapku berbohong.

Ratna lalu berlutut dihadapanku, dengan tubuh yang tegak dan kedua tangan yang melingkar dileherku.

“Mas. Ratna tidak perduli dengan masa lalu percintaan Mas gilang, karena Ratna mencintai dan menerima Mas Gilang dengan sepenuh hati. Ini bukan karena kita sudah menjadi suami istri loh ya. Tapi sebelum kita meresmikan hubungan kita ini, hati Ratna sudah memantapkan pilihannya. Jadi Ratna mohon, tidak usah memikirkan masa lalu. Masa lalu itu hanya kenangan dan itu milik kita masing – masing. Sedangkan masa depan, masa depan itu milik kita bersama.” Ucap Ratna yang seperti tau isi kepalaku dan kedua tanganku langsung merangkul pinggulnya.

Kepalaku terdanga, karena posisi wajah Ratna lebih tinggi dari posisiku yang duduk ini.

“Terimakasih De.” Ucapku dengan suara yang bergetar, karena ucapan Ratna yang terdengar sangat tulus ini.

Ratna lalu tersenyum, setelah itu dia mendekatkan wajahnya kewajahku dan,

CUUPPP.

Ratna mengecup bibirku, lalu dia menatapku mataku lagi.

“Sudah berani ngecup ya.?” Tanyaku.

“Emang gak boleh ya.?” Ratna bertanya balik.

“Boleh sih. Tapi bisa agak lama’an dikit gak.?” Tanyaku.

“Maunya.” Ucap Ratna dan sekarang dia sudah benar – benar sangat santai.

Aku tarik punggung Ratna agar lebih merapat ke arahku dan langsung aku menempelkan bibirku dibibir Ratna yang merapat.

Bibir bawahnya aku apit dengan bibir atas dan bibir bawahku, lalu perlahan aku melumat bibirnya dengan lembut

“Hem, hem, hem, hem.” Desahku dan lagi – lagi Ratna tidak membalas lumatanku. Dia hanya membuka bibirnya sedikit, sehingga bibir atasku masuk lebih dalam kedalam mulutnya.

Bibirnya aku hisap dan sesekali aku sapu dengan lidahku.

Nafas Ratna terasa cepat keluar dari hidungnya dan perlahan dia mulai membalas melumat bibir atasku.

“Hem, hem, hem, hem.” Desah kami bersahut – sahutan, disela lumatan yang semakin memanas ini.

Kepala Ratna menunduk dan leherku dirangkulnya dengan kuat. Sedangkan aku, aku mendangakkan kepalaku, sambil mengelus pungung Ratna dan sesekali telapak tanganku hinggap di kedua bongkahan bokong Ratna. Kedua tanganku tidak meremas bokongnya, karena aku takut dia tidak merasa nyaman..

Ciuman kami berlangsung cukup lama, sehingga air liur kami menyatu disela kuluman yang sangat nikmat ini.

Bebeberapa saat kemudian, aku memasukan lidahku kedalam mulut Ratna dan Ratna langsung melepaskan kuluman kami.

“Muaacchhh.”

“Sayang. Hu, hu, hu, hu.” Ucap Ratna dan wajahnya terlihat terkejut, dengan nafas yang tersengal – sengal.

“Kenapa.?:” Tanyaku.

“Kalau ciuman itu, harus pakai lidah ya.? Hu, hu, hu, hu.” Tanya Ratna dengan polosnya.

“Enggak juga. Tapi kalau menurutku, lebih enak kalau lidah ikut bermain.” Ucapku dan Ratna langsung mengerutkan kedua alis matanya. Kedua tangannya tetap merangkul leherku dan kedua tanganku sekarang berada dibokongnya.

“Kenapa sayang.? Sayang gak suka ya kalau aku pakai lidah.?” Tanyaku dan Ratna mengkidikkan tubuhnya.

“Hiiii.” Ucap Ratna.

“Sayang jijik ya.?” Tanyaku lagi.

“Bukan begitu yang. Cuman agak geli – geli gimana gitu.” Jawab Ratna dan kembali dia mengkidikan tubuhnya.

“Ya sudah. Kalau sayang gak suka, aku gak pakai lidah lagi.” Ucapku.

“Bukannya gak suka sayang. Cuman Ratna agak canggung aja, karena Ratna gak punya pengalaman sama sekali dalam berciuman.” Jawab Ratna dan sekarang dia membelai rambutku.

“Oke. Kalau begitu ciumannya yang biasa aja ya.” Ucapku dan Ratna langsung melumat bibirku.

Bibir lembut, imut dan seksi Ratna, terasa geli dan juga perlahan mulai membangkitkan nafsuku.

“Hem, hem, hem, hem.”

Aku membalas lumatannya dan tiba – tiba, lidahnya masuk kedalam mulutku dan menyapu bagian dalam bibir atasku.

“Heeeeemm.” Desahku dan itu benar – benar sangat nikmat sekali.

Aku langsung meremas bokong Ratna dengan lembut dan Ratna sempat terkejut sesaat. Dia menghentikan sapuan lidahnya dan aku langsung menghisap lidahnya, lalu ujung lidahnya aku sapu dengan ujung lidahku.

“Hup. Ahhhh.” Desah Ratna.

Aku melepas kan ciuman kami dan Ratna langsung meletakan keningnya dikeningku.

“Kenapa.?” Tanyaku.

“Tangannya nakal.” Ucap Ratna dengan manjanya.

“Suka gak.?” Tanyaku lagi dan Ratna mengangguk pelan.

Aku meremas lagi bokong Ratna dan Ratna langsung mengecup bibirku.

CUUPPP.

“Jadi bagaimana.?” Tanyaku dan kening kami masih saling menempel.

CUUPPP.

Ratna mengecup ujung hidungku.

“Apanya yang bagaimana.?” Tanya Ratna.

“Kita lanjutkan atau kita istirahat dulu.?” Tanyaku.

Ratna langsung menegakkan tubuhnya dan melepaskan rangkulannya dileherku. Istriku itu mengangguk pelan, lalu dia tertunduk malu.

Aku lalu menegakkan tubuhku dan bertumpu pada kedua lututku, sampai tinggi kami berdua agak sejajar.

“Boleh aku buka.?” Tanyaku kepada Ratna yang masih menunduk dan Ratna langsung mengangkat wajahnya.

“Apanya.?” Tanya Ratna dengan polosnya dan tatapan matanya, kembali membuatku grogi dan salah tingkah.

“Ya, ya, ya, baju kamu sama bajuku.” Jawabku terbata.

“Ha.?” Ucap Ratna yang terkejut sambil menyilangkan kedua tangannya didada.

“Katanya tadi mau dilanjutkan, kok gak mau buka baju.?” Tanyaku dengan herannya.

“Emang harus pakai acara buka baju gitu.?” Tanya Ratna dan aku langsung mengerutkan kedua alis mataku.

“Terus bagaimana kita ‘melakukannya’, kalau kita berdua tidak buka baju.?” Tanyaku.

“Begitu ya.? Tapi Ratna kan malu yang.” Ucap Ratna lalu dia menunduk lagi.

“Malu.?” Tanyaku sambil memeluk pinggangnya agak kebawah atau tepatnya dibongkahan bokongnya.

“Gimana ya.?” Jawab Ratna yang kebingungan.

“Masa malu sama suaminya sendiri sih.?” Tanyaku dan aku merapatkan tubuhnya ke arahku, sambil meremas pelan bokongnya.

“Iihhhhh.” Ratna mendesah pelan sambil mengangkat wajahnya, lalu dia menggigit bibir bawahnya.

Waw. Kelihatannya kelemahan Ratna berada dibokongnya dan nafsunya bisa cepat bangkit kalau aku meremasnya.

CUUPPP.

Aku mengecup ujung hidungnya, sambil terus meremas bokongnya.

“Yang. hem.” Ucap Ratna, lalu diakhiri dengan desahan yang sangat seksi sekali.

“Kenapa yang.?” Tanyaku dan sekarang aku mulai meraba paha sampingnya. Rabaanku kemudian naik keatas, tepat dibalik kebaya yang dipakainya, untuk mencari ujung kain jarik dibagian perutnya.

“Gak apa – apa. Hemm.” Ucap Ratna dengan pandangan sayunya dan kedua tangannya langsung merangkul leherku.

“Kamu cantik.” Ucapku lalu aku mengecup bibirnya, ketika aku menemukan ujung kain jariknya dan aku langsung melepaskannya perlahan.

CUUPPP.

Ratna langsung melumat bibirku dan aku membalasnya, dengan menghisap bibir bagian atasnya.

Kian jarik yang ditahan oleh sabuk yang dikenakan Ratna akhirnya terlepas, dan terturun kebawah.

“Hem, hem, hem, hem.” Desah kami bersahut – sahutan dan aku langsung berdiri, sambil menarik tubuh Ratna supaya ikut berdiri.

Kain jarik yang dikenankannya pun terlepas dan rupanya Ratna menggunakan celana short pendek yang ketat.

CUUPPP, CUUPPP, CUUPPP, CUUPPP.

Ciuman kami semakin memanas dan aku tidak tau Ratna sadar atau tidak, kalau kain jariknya terlepas.

Perlahan kedua tanganku meraba paha sampingnya dan mengarah kebokongnya.

CUUPPP, CUUPPP, CUUPPP, CUUPPP.

“Hemmmm.” Ratna mendesah disela lumatan kami, dengan tubuh yang sedikit bergetar.

CUUPPP, CUUPPP, CUUPPP, CUUPPP.

Aku remas bokongnya, lalu kedua tanganku masuk kedalam celana short yang dikenakannya. Telapak tanganku menyentuh kulit mulus bokong Ratna dan itu langsung membuat Ratna mengelinjang kenikmatan.

“Hemmmm.” Desah Ratna sambil menghisap bibir bawahku dan aku meremas bokong yang padat itu dengan sangat pelan.

Matanya semakin sayu dan dia menatapku penuh dengan nafsu.

Aku lalu meraih ujung celana short Ratna dan menurunkannya perlahan, sambil mengulum bibir Ratna.

“Hem, hem, hem, hem.” Desah kami bersahut – sahutan.

Aku turunkan celana short Ratna, sampai sebatas pahanya.

CUUPPP, CUUPPP, CUUPPP, CUUPPP.

Lidah kami saling bergantian masuk kedalam mulut kami dan Ratna sudah sangat menikmati kuluman kami.

“Hem, hem, hem, hem.”

Tangan kananku aku arahkan kebagian paha kiri Ratna dan tangan kiriku tetap meremas bokongnya.

Aku meraba paha kiri Ratna dengan lembut dan rabaan ini terus berjalan ke arah bagian selangkangan Ratna.

CUUPPP, CUUPPP, CUUPPP, CUUPPP.

Tanganku sudah menyentuh bibir kemaluan Ratna yang sangat basah dan aku langsung membelai bagian tengahnya, menggunakan jari tengahku.

“Hemmmmm.” Desah Ratna dan tubuhnya menggeliat.

Basah, lembab dan becek, sangat terasa dijari tengahku ini. Kemaluankupun sudah berdiri dengan tegak dan nafsu sudah mulai menguasai kepalaku.

Tubuh Ratna semakin menggeliat, ketika aku menggesek pelan bagian tengah kemaluannya.

“Hem, ehem, ehem, ehem.” Desah Ratna disela lumatannya.

Beberapa saat kemudian. Pahanya mengapit tanganku yang ada selangkangannya, lalu tubuhnya bergetar dengan hebat.

“MUACHHH.” Ratna langsung melepaskan kuluman kami dan dia mendesah dengan suara yang coba ditahannya.

“Heemmmmmm.” Desah Ratna dan kepalanya langsung terdanga, dengan di iringi cairan yang kental keluar dari kemaluannya.

“Sayang. Hu, hu, hu, hu.” Ucap Ratna dengan kepala yang tegak kembali dan mata yang sedikit melotot, serta kedua tangan yang memegang tanganku yang ada diselangkangannya.

“Kenapa yang.?” Tanyaku dan aku langsung menarik tanganku yang dipegangnya.

“Kenapa Ratna bisa pipis yang enak banget.? Hu, hu, hu, hu.” Tanya Ratna lalu menunduk, dan.

“Ha.” Ucap Ratna yang terkejut, sambil menutupi kemaluannya yang terbuka itu.

“Sayang lepas kain jarik sama celana dalam Ratna.?” Tanya Ratna sambil melihat ke arahku.

“Sayang gak terasa.?” Tanyaku balik sambil melihat ke arah selangkangannya yang coba ditutupi dengan kedua telapak tangannya itu.

“Jangan lihat.” Ucap Ratna sambil menutupi kedua mataku dengan telapak tangan kanannya dan telapak tangan kirinya tetap berada diselangkangannya.

Tangan kiriku langsung memegang pergelangan tangan kiri Ratna dan aku menurunkannya perlahan.

“Kenapa yang.?” Tanyaku.

“Ratna malu.” Jawabnya dengan wajah yang memerah. Entah karena masih dikuasai kenikmatan atau memang benar – benar malu.

Tangan kirinya tetap aku pegang dengan tangan kananku, sementara tangan kananku langsung memegang tangan kirinya yang menutupi kemaluannya.

“Gak perlu malu sayang. Kamu istriku yang sangat cantik dan kamu itu seksi banget.” Ucapku yang mencoba merayunya.

“Iya, tapi Ratna kan belum pernah telanjang dihadapan laki – laki.” Ucap Ratna dan aku langsung merangkul lehernya, lalu aku rapatkan wajah sampingnya didadaku.

“Terus bagaimana sekarang.?” Tanyaku dan aku langsung mengelus punggungnya pelan.

“Yang. Tangannya sayang tadi kena pipisnya Ratna ya.?” Tanya Ratna yang tidak menjawab pertanyaanku dan dia justru mengangkat wajahnya dari dadaku, lalu menatap wajahku.

Aku hanya tersenyum dan matanya kembali melotot.

“Kenapa dilapkan di kebaya Ratna.?” Tanya Ratna sambil menoleh ke arah punggungnya yang aku belai.

“Ihhhh. Jorok banget sih.” Ucap Ratna yang meraju.

“Emang tadi sayang pipis ya.?” Tanyaku dan kembali Ratna melihat ke arahku.

“Tau.” Jawab Ratna dan aku langsung melepaskan rangkulanku dilehernya, setelah itu aku menyerong kesamping, lalu aku membopong tubuh Ratna.

“Yang, sayang.” Ucap Ratna yang terkejut dan tubuhnya sedikit berontak.

“Aduh duh.” Tubuhku bergoyang dan aku tidak kuat terlalu lama membopong tubuh Ratna.

Aku lalu membungkuk dan kedua lututku langsung terjatuh di kasur.

“Duh, duh, duh.” Ucap Ratna dan aku meletakan tubuhnya diatas kasur.

“Maaf yang, maaf.” Ucapku.

“Kenapa pakai membopong segala sih.? Sudah tau tubuhnya sekarang gampang capek, pakai acara gendong Ratna segala.” Ucap Ratna dengan tubuh yang tertidur dan kembali dia menutupi selangkangannya.

“Ya biar romantis yang.” Ucapku dan aku merebahkan tubuhku disebelah tubuh Ratna, dengan posisi menyamping. Aku tidak berani meletakkan kepala belakangku dikasur, karena pasti terkena lukaku yang masih tertutup perban ini.

Kami berdua saling berpandangan dan aku tersenyum kepadanya.

“Sok – sok’an romantis.” Ucap Ratna dan dia mencoba untuk memakai celana shortnya.

Aku langsung menahan tangannya, agar membiarkan shortnya tetap terturun

“Mau dilanjutkan apa enggak.?” Tanyaku.

“Sayang curang.” Ucap Ratna.

“Kenapa curang.” Tanyaku.

“Masa Ratna sudah telanjang, tapi sayang masih pakai celana.” Jawab Ratna.

“Ya sudah, lepasin dong celanaku.” Ucapku.

“Ha.” Ucap Ratna sambil menoleh ke arahku.

“Mau nggak.?” Tanyaku dan wajah Ratna terlihat kebingungan.

“Kelama’an.” Ucapku dan aku langsung membuka kancing celanaku lalu menurunkan resleting celanaku.

“Sayang, sayang.” Ucap Ratna yang menahan gerakan tanganku.

“Hehe. Bercanda kok.” Ucapku dan aku membiarkan kancing celanaku terbuka, serta resletingnya terturun.

“Iiihhh.” Ucap Ratna sambil memegang punggung tanganku yang berada diatas kemaluanku.

“Mau lanjut gak.?” Ucapku yang tidak bosan bertanya seperti ini dan Ratna langsung melirik ke arah selangkanganku.

“Yang, kok besar.?” Tanya Ratna yang melihat gelembung kemaluanku yang masih tertutup celana dalamku. Posisi kemaluanku yang berdiri tegak, membuat ujung kepala kemaluan mengintip sedikit di atas celana dalamku.

“Masa sih.?” Tanyaku.

“A, a, apa itu cukup, masuk di.” Ucap Ratna yang terptong dan dia malu melanjutkan ucapannya.

“Pasti masuklah.” Sahutku.

“Gak mungkin yang. Punya sayang besar begitu, masa bisa masuk di punya Ratna yang sempit ini.” Ucap Ratna dengan wajah yang kembali terlihat grogi.

“Masuk yang. Coba diukur dulu.” Ucapku.

“Ha.? Gimana cara ngukurnya yang.?” Tanya Ratna.

“Ya dipegang dong yang.” Jawabku sambil menggeser tanganku dari selangkanganku, sehingga tangan Ratna yang berada dipunggung tanganku, jatuh diatas kemaluanku.

“Yang.” Ucap Ratna terkejut dan sekarang telapak tanganku yang memegang punggung tangannya.

Aku langsung melumat bibirnya, sambil mencengkram pelan punggung tangan Ratna dan itu membuat tangan Ratna meremas kemaluanku.

“Hemm.” Desahku.

Tangan Ratna tidak berontak dan perlahan dia mulai meremas kemaluanku dengan sendirinya.

Tangan kananku yang memegang tangan Ratna, sekarang aku angkat, lalu aku arahkan kekemaluan Ratna.

“Hemm.” Desah Ratna dan pinggulnya sempat terdorong sedikit kebelakang, ketika jemariku menyentuh kemaluannya.

Aku menggosok kemaluannya lagi dan itu membuat pinggulnya bergoyang pelan, lalu di ikuti kedua lututnya yang tertekuk dan paha yang sedikit terbuka.

Uhhhh. Posisi Ratna yang mengangkang seperti ini, membuatku lebih mudah menggosok kemaluannya.

“Hem, hem, hem.” Desah Ratna.

Karena posisi Ratna disebelah kiriku, dia agak kesulitan meremas kemaluanku dengan tangan kanannya. Ratna lalu memiringkan tubuhnya sedikit ke arahku, dengan posisi tetap mengangkang. Tangan kirinya langsung menyelinap masuk kedalam celana dalamku dan dia langsung memegang batang kemaluanku.

“Muaaccchhh. Hu, hu, hu.” Ciumannya dilepaskan dan nafasnya tersengal – sengal.

“Besar banget ini yang. Hu, hu, hu.” Ucap Ratna sambil terus menggenggam kemaluanku dan aku terus menggosok kemaluannya.

“Pasti cukup yang, pasti cukup. Uhhhh.” Ucapku dan nafsuku benar – benar memuncak, karena genggaman tangan Ratna dikemaluanku ini.

“Beneran yang.? ahhhhh.” Tanya Ratna dan dia mengangkat sedikit pinggulnya, karena ada cairan yang merembes dari kemaluannya.

“Kita coba dulu ya. Kalau memang sakit, kita berhenti.” Ucapku dan tanpa persetujuannya, aku langsung bangkit dari posisiku ini dan pegangan tangan Ratna dikemaluanku terlepas.

“Yang.” Ucap Ratna dengan agak ragu, sambil meluruskan kakinya lagi dan dia menutupi kemaluannya.

“Sayang ragu ya.?” Tanyaku dan sekarang aku bersimpuh diantara kedua kakinya.

“E, e, enggak kok.” Jawab Ratna terbata.

“Kalau begitu, kita mulai ya.” Ucapku dan aku langsung berdiri, lalu aku menurunkan celana panjangku dan juga celana dalamku.

Aku lalu melepaskan kaosku dan sekarang aku berdiri telanjang bulat, dihadapan Ratna yang tertidur.

“Ha.” Ucap Ratna sambil menutup wajahnya dengan kedua telapak tangannya, sehingga menampakkan kemaluannya yang bersih, serta ditumbuhi sedikit rambut itu.

Waw. Pahanya, selangkangannya, kemaluannya dan juga pusarnya, terlihat sangat putih bersih dan juga terawat. Pasti bagian dadanya yang masih tertutup kebaya itu tidak kalah bersih dan pasti sangat seksi sekali.

Kemaluanku benar – benar berdiri tegak dan Ratna tidak berani membuka tangan yang menutupi wajahnya.

Aku lalu membungkukan tubuhku dan aku langsung menurunkan celana short yang masih berada dibagian bawah paha Ratna.

“Yang.” Ucap Ratna sambil membuka sedikit tangannya dan memperlihatkan matanya, ketika celananya berhasil aku loloskan.

Aku lalu menekuk kaki Ratna, setelah itu aku melebarkannya sedikit.

“Yang, yang. Kok langsung dimasukin.?” Tanya Ratna dengan paniknya, sambil memegang kedua tanganku yang berada dilututnya.

“Siapa yang mau masukin yang.?” Ucapku, lalu aku mendekatkan wajahku di kemaluan Ratna.

“Yang, yang. Mau apa yang.?” Tanya Ratna dan sekarang dia memegang kedua pipiku, lalu menahannya.

“Sayang percaya aku kan.?” Tanyaku sambil melihat ke arah wajahnya dan hidungku sangat dekat sekali dengan kemaluan Ratna yang wangi ini.

“Iya percaya. Tapi sayang mau apa.?” Tanya Ratna dan aku langsung menjilat kemaluannya dengan ujung lidahku.

“UHHHHH.” Desah Ratna, dengan pinggul yang sedikit termundur.

Kedua jempolku langsung membuka bibir kemaluannya yang berwarna agak kemerahan ini, lalu aku menjilat bagian daging mungil ditengahnya.

“Ahhhhh.” Desah Ratna lagi dan sekarang kedua tangannya langsung dilepaskan dari kedua pipiku.

Slurp. Slurp. Slurpp.

Lidahku menyapu bagian tengah kemaluan Ratna yang sangat – sangat basah ini dan tubuh Ratna menggelinjang kenikmatan. Keringatnya membasahi tubuhnya dan nafasnya tersengal – sengal.

”Hu, hu, hu, hu, hu, hu.”

Slurp. Slurp. Slrupp.

Aku terus menjilat kemalauannya dan sekarang tangan kananku meraba perutnya yang rata dan seksi itu, sementara jempol kiriku memainkan bagian atas kemaluannya.

Ratna langsung memegang punggung tangan kananku dan meremasnya dengan kuat.

Slurp. Slurp. Slurpp.

“Yang, yang, yang. Uhhhhh.” Ucap Ratna pelan dan di iringi dengan desahannya, yang membuatku semakin bersemangat menjilati kemaluannya.

Slurp. Slurp. Slurpp.

Jempol kiriku terus memainkan kemaluan Ratna dan lidahku terus menari dilubang sempit kemaluan Ratna.

“U, u, u, u, uhhhh.” Desah Ratna dan kemaluannya berdenyut.

“Ah, sayang, sayang. Ratna mau pipis lagi.” Ucap Ratna dan.

Srettttt, sretttt, sretttt, sretttt, sretttt, sretttt.

Cairan bening langsung keluar dari kemaluan Ratna, tepat ketika aku mengangkat wajahku.

“Ahhhhhhh.” Ratna mendesah, sambil merapatkan kedua pahanya dan kedua tangannya meremas sprei dengan kuatnya.

“Uhhhhh. Uh, uh, uh, uh, uh, uh.” Ratna terus mendesah, lalu diakhiri dengan nafas yang tersengal – sengal.

Matanya merem melek dan keringat membasahi kebaya yang dipakainya.

“Yang. Hu, hu, hu.” Panggil Ratna, lalu dia berusaha mengatur nafasnya.

“Kenapa yang.?” Tanyaku.

“Maaf, kasurnya Ratna pipisin.” Ucap Ratna.

Cok. Ratna memang benar – benar polos. Dua kali dia merasakan kenikmatan, tapi dia menganggapnya sebagai pipis biasa. Hehe, bajingan.

“Emang Ade pipis ya.?” Tanyaku menggoda Ratna.

“Iiihhh. Ngeledek ya.?” Ucap Ratna dan nafasnya perlahan sudah seperti biasa.

“Enggak kok. Aku kan cuman tanya aja.” Ucapku dan Ratna langsung memejamkan kedua matanya sejenak.

“Hiuffttt, huuuu.” Ratna menarik nafasnya dalam – dalam, lalu mengeluarkannya perlahan.

“Gila, kok bisa enak banget sih Mas.?” Tanya Ratna sambil membuka kedua matanya dan menatap ke arahku.

“Apanya.? Pipisnya.?” Tanyaku balik.

“Tau ah. Ratna tanya serius, malah dibercandain.” Ucap Ratna, sambil memiringkan tubuhnya dan menghadap ke arah dinding.

Bokongnya yang semok, montok, mulus, putih dan menggoda untuk kujamah, langsung terlihat dihadapanku.

“Yang bercandain itu siapa.? Kan aku tanya De.” Ucapku dan Ratna tetap melihat ke arah dinding.

“De.” Ucapku dan Ratna tetap diam saja.

Akupun langsung tidur dengan posisi miring, lalu aku meremas bokong Ratna dengan lembut.

“Iiiihhh.” Ucap Ratna lalu dia membalikan tubuhnya dan melihat ke arahku.

“Marah ya.?” Tanyaku, lalu aku mengecup bibirnya dengan lembut.

CUPP.

“Yang marah siapa.?” Tanya Ratna sambil mencubit kedua pipiku dengan gemasnya.

“Hehe. Terus bagaimana ini.?” Tanyaku lagi, sambil memegang batang kemaluanku yang berdiri tegak.

“Maunya bagaimana.?” Tanya Ratna sambil menepis tanganku yang memegang batangku, lalu gantian Ratna yang memegang batangku dengan agak kuat.

“Uuhhhh. Yang.” Ucapku yang terkejut, karena Ratna tiba – tiba menjadi sedikit liar.

“Giliran lagi main, manggilnya yang.” Ucap Ratna, lalu dia mengocok batangku pelan.

Clok, clok, clok, clok, clok.

“Aduh, duh. Uhhhhh.” Desahku dan tatapan Ratna langsung berubah menjadi binal, lalu dia menyapu bibir bagian atasnya dengan lidahnya.

Cok. Istriku lagi menggodaku dan dia mencoba memainkan nafsuku. Bajingan.

Clok, clok, clok, clok, clok.

“Yang. Uhhhh.” Desahku dan irama kocokan tangan Ratna, mulai agak cepat.

“Sekarang giliran Ratna yang buat Mas pipis.” Ucap Ratna, lalu dia mengedipkan mata sebelah kirinya.

Clok, clok, clok, clok, clok.

“Uhhhh. Gimana caranya buat Mas pipis.?” Tanyaku dan Ratna langsung menghentikan kocokannya dan dia meremas batangku dengan kuatnya.

“Duh, duh, duh.” Ucapku sambil memegang pergelangan tangan Ratna.

“Sayang kira, Ratna gak bisa muasin gitu.?” Tanya Ratna dan genggamannya semakin kuat dan itu membuatku batangku sedikit sakit, tapi kenikmatannya lebih banyak.

“I, I, I, iya yang.” Jawabku terbata.

“Ayo kita lakukan sekarang juga.” Ucap Ratna, sambil melepaskan gengaman tangannya.

DUNG, TAK, DUNG, TAK, DUNG.

JRENG, JRENG, JRENG. JRENG.

Terdengar bunyi tabuhan gendang paralon dan petikan gitar, yang mungkin berasal dari kamar Joko.

Cok. Apa suara kami berdua terdengar sampai luar kamar, sampai teman – temanku memainkan alat musiknya.? Bajingan.

“Yang.” Ucap Ratna dengan wajah yang sedikit panik dan dia seperti paham dengan apa yang aku pikirkan.

“Sudah, cuekin aja. Mereka pasti paham kok.” Ucapku yang mencoba menenangkannya.

“Tapi.” Ucap Ratna terpotong.

“Jadi buat Mas pipis gak.?” Tanyaku dan mata Ratna langsung melotot.

Akupun langsung tersenyum, setelah itu duduk diantara selangkangan Ratna yang aku tekuk dan aku lebarkan sedikit.

Pandangan mataku, langsung tertuju pada belahan kemaluan Ratna yang kemerahan dan sempit. Kemaluan Ratna seperti sedang tersenyum dan mengundangku untuk masuk kedalam.

“Kenapa dilihatin sih.?” Tanya Ratna dengan suara yang sangat pelan sekali dan dia mengucapkan itu sambil menutup kemaluannya.

Kembali aku tersenyum, lalu aku memajukan tubuhku sampai berada diatas tubuh Ratna. Posisiku sekarang, aku merangkak diatas tubuh Ratna dan aku bertumpu pada tangan kiriku. Tangan kananku mengocok batang kemaluanku dan aku menatap ke arah mata Ratna.

“Sudah siap.?” Tanyaku dan wajah Ratna langsung terlihat tegang. Tatapan kebinalannya tadi langsung hilang seketika dan matanya sekarang terlihat sayu.

“Su, su, sudah.” Jawab Ratna terbata dan tangannya yang menutupi kemaluannya, sekarang berada disamping tubuhnya.

Aku lalu duduk bersimpuh lagi dan jempol kiriku, langsung menyentuh bagian atas kemaluan Ratna.

“Uhhhhh.” Ucap Ratna sambil memejamkan kedua matanya.

DUNG, TAK, DUNG, TAK, DUNG.

JRENG, JRENG, JRENG. JRENG.

Suara alat music masih terdengar dari luar kamarku dan itu tidak mempengaruhi aku sama sekali.

“Kalau sakit bilang ya yang.” Ucapku sambil memajukan pinggulku, sampai ujung kemaluanku menyentuh kemaluan Ratna yang basah.

Ratna mengangguk pelan dan aku langsung menggesek bibir kemaluan Ratna, menggunakan kepala batangku.

“Ahhhh.” Ratna mendesah pelan, sambil meremas speri kasurku.

Wajahnya terlihat semakin tegang dan aku langsung menghentikan gerakanku

“Sakit.?” Tanyaku dan batang kemaluanku belum masuk sama sekali.

“Emang sudah masuk.?” Tanya Ratna.

“Belum yang. hehe.” Ucapku lalu aku tersenyum.

“Dasar.” Ucap Ratna menggerutu.

“Yang, bisa buka kebayanya gak.?” Tanyaku sambil menggesekan kepala batangku lagi ditengah kemaluannya.

“Kenapa.? Uhhh.” Tanya Ratna lalu dia mendesah, ditengah wajahnya yang tegang itu.

“Biar sayang lebih rileks.” Jawabku dengan asal.

“Oh iya.? Emang pengaruh gitu.?” Tanya Ratna dengan polosnya dan aku menghentikan gesekanku dikemaluannya.

“Sayang itu dari tadi berkeringat dan keringat itu terhalang kain kebaya. Kalau kain kebaya dilepaskan, otomatis keringat itu bebas mengalir dan sayang pasti akan rileks sekali.” Ucapku dan entah mendapatkan teori dari mana, aku mengucapkan kata – kata itu.

“Bener juga ya.” Sahut Ratna dan perlahan Ratna mulai membuka kancing serta peniti di kebaya yang dipakainya.

Aku memperhatikan setiap detail gerakan tangan Ratna, ketika membuka kain kebaya yang dipakainya dan itu membuat kemaluanku semakin tegak berdiri.

Ratna mengangkat tubuhnya sedikit, untuk meloloskan kebaya dari lengannya. Dan sekarang, tubuh Ratna hanya ditutupi bra berwarna putih. Kulit Ratna benar – benar mulus, bersih, putih dan pastinya terawat sekali.

Matakupun langsung tertuju pada buah dada Ratna, yang ukurannya kira – kira segenggaman tanganku ini.

Uhhhh.

“Branya gak sekalian dibuka yang.?” Tanyaku dengan nafsu yang semakin menggila dikepalaku.

“Oh iya.” Jawab Ratna, sambil mengangkat sedikit tubuhnya, lalu dia meraih pengait bra nya yang ada dibagian belakang, setelah itu dia meloloskannya dari tubuhnya.

Cok. Buah dada yang sekal dan putiing yang berwarna kemerahan, langsung tersaji dihadapanku dan itu membuat aku menelan air liurku.

“Sayang.” Ucap Ratna sambil menutupi buah dadanya.

“Pasti tadi itu akal – akalan sayang aja, supaya Ratna buka baju kan.?” Tanya Ratna yang baru menyadi teori ngawurku tadi.

“Enggak kok.” Jawabku berbohong.

“Bohong.” Jawab Ratna dan aku langsung menggesek kemaluannya lagi, untuk mengalihkan pembicaraan kami ini.

“Uhhhh. Sayang jahat.” Rengek Ratna dengan manja, sambil terus menutupi kedua buah dadanya.

“Yang.” Ucapku dan aku bersiap menekan batang kemaluanku.

Ratna seperti paham dengan maksudku dan dia langsung menganggukan kepalanya pelan.

Tanganku kiriku langsung meraba perutnya, agar Ratna lebih santai dan memancing nafsunya.

“Uhhhh.” Desah Ratna.

Kemaluan Ratna sudah sangat basah dan aku langsung menekan kepala batangku sedikit kedalam.

Blesss.

“Uhhhh.” Desah Ratna, sambil memejamkan kedua matanya.

Kepala batangku yang sudah masuk masuk didalam, disambut dengan remasan yang kuat dan seperti ingin disedot lebih dalam lagi.

Cok. Baru kepala batangku saja yang masuk, aku sudah merasakan kenikmatan yang luar biasa. Bagaimana kalau batangku masuk seutuhnya.? Bisa melayang tinggi ke angkasa aku nanti. Bajingan.

Aku lalu menghentikan gerakanku dan memposisikan tubuhku agar lebih nyaman ketika nanti aku mendorong pinggulku.

Tangan kananku tetap menggenggam bagian tengah batangku, sementara tangan kiriku sekarang sudah meraba naik kebagian bawah buah dada Ratna, yang masih ditutupi telapak tangannya.

“Hemmm.” Ratna mendesah pelan.

Tangan kiriku perlahan menggeser tangan kanan Ratna, agar aku bisa menyentuh buah dadanya itu.

Entah dia sadar atau tidak, tapi tangan kanannya terangkat dan aku langsung menggapai buah dadanya yang kenyal dan padat itu.

“Hemmmm.” Tubuh Ratna melengkung, ketika aku meremas buah dadanya dan sesekali memainkan puttingnya yang mengeras.

Perlahan aku mendorong lagi kemaluanku, sampai masuk seperempat.

DUNG, TAK, DUNG, TAK, DUNG.

JRENG, JRENG, JRENG. JRENG.

Suara alat music teman temanku, sekarang dikuti dengan suara nyanyian mereka yang samar – samar terdengar.

“Yang. Uhhhhh.” Ucap Ratna sambil membuka kedua matanya dan aku langsung menghentikan gerakanku.

“Sakit.?” Tanyaku.

“Enggak. Cuman agak ngilu.” Jawab Ratna, lalu dia menggigit bibir bawahnya.

“Kita berhenti aja ya.” Ucapku.

“Enggak. Kita lanjutkan.” Ucap Ratna sambil menatapku.

Karena posisi kemaluanku sudah masuk seperempat, akupun membungkukan tubuhku ke arah Ratna dan aku bertumpu pada kedua tanganku di samping tubuhnya.

“Uh, uh, uh, uh.” Nafasku mulai tersengal – sengal dan keringatku sudah menetes, mengenai tubuh Ratna.

“Sayang capek.?” Tanya Ratna sambil membelai pipiku.

“Enggak.” Ucapku sambil menggelengkan kepalaku pelan.

Dinding kemaluan Ratna semakin menjepit dan meremas batang kemaluanku dengan kuat.

“Uhhhh.” Desahku.

“Boleh aku lanjutkan.?” Tanyaku dan Ratna langsung mengangguk pelan.

Kedua tanganku langsung hinggap di buah dada Ratna dan aku langsung meremasnya pelan.

“Hem, hem, hem.” Suara desahan Ratna terdengar seksi dan aku langsung mendekatkan wajahku, keputing kanan Ratna.

CUUPPP.

Aku kecup puting kanan Ratna, sementara puting bagian kirinya aku pilin perlahan.

“Ahhhhhh.” Desah Ratna sambil merangkul leherku.

Kembali aku menekan pinggulku dan ujung kemaluanku berjuang keras, untuk masuk kedalam lubang kemaluan yang sangat sempit itu.

“Awwwww.” Desah Ratna.

Entah dia merasa kasakitan atau kenikmatan, karena aku memainkan kedua putingnya dan aku juga menusuk kemaluannya.

Kembali aku menghentikan gerakanku dan kali ini aku mengangkat wajahku, sampai menatap mata Ratna.

“Uh, uh, uh, uh.” Nafas kami berdua memburu dan tubuh kami berdua sudah bermandikan keringat.

“Yang, yang. ngilu.” Ucap Ratna dan aku merasa ujung kemaluanku seperti sedang terhalang sesuatu didalam sana, tapi entah apa itu.

CUPPP.

Aku mengecup bibir Ratna dengan lembut dan wajahnya terlihat kembali tegang.

“Tadi katanya mau buat aku pipis, kok sudah nyerah gitu.?” Ucapku dan sengaja aku mengucapkan itu, karena aku tau gengsi istriku ini pasti sangat besar.

“Siapa yang nyerah.?” Tanya Ratna dan matanya yang tadinya sayu, sekarang sedikit melotot.

“Ya sayang lah. Hemmmm.” Ucapku sambil menekan pelan pinggulku.

Bret, bret, bret, bret.

Kepala batang kemaluanku seperti menembus sesuatu dan kepala batang kemaluan semakin terasa diremas saja.

“Ratna nyerah.? Kapan Ratna bilang begitu.? Uhhhhh.” Ucap Ratna dengan mata yang melotot dan sedikit berkaca – kaca, bertepatan dengan batang kemaluanku yang sudah mentok dan masuk seutuhnya.

“Jadi sayang gak nyerah nih.? Ahhhh.” Tanyaku dan aku mengistirahatkan kemaluanku didalam sana, agar kemaluan Ratna beradabtasi dengan batangku.

“Hu, hu, hu, hu. Ya enggak lah.” Ucap Ratna dengan nafas yang tersengal – sengal.

Aku menatap matanya dengan sangat dalam dan sungguh aku sangat – sangat mencintai wanita yang sudah menjadi istriku ini.

“Aku sayang kamu istriku.” Ucapku dan air mata langsung keluar dari kelopak mata Ratna.

CUUPPP, CUUPPP.

Aku mengecup kedua mata Ratna bergantian dan Ratna langsung memejamkan kedua matanya sesaat.

“Kamu sayangku.” Ucapku sambil menarik pinggulku sedikit keatas.

“Uhhhh.” Desah Ratna dan aku menyambutnya dengan kecupan yang pelan dibibirnya.

CUUPPP.

“Kamu cintaku.” Ucapku lagi, sambil menekan pinggulku kedalam.

“Ahhhhh.” Desah Ratna dan kedua matanya melirik keatas, menyisakan bulatan hitamnya setengah.

CUUPPP.

Aku kecup lagi bibirnya pelan, lalu menghentikan gerakanku.

“Hu, hu, hu, hu.” Nafasku memburu dan bersahut – sahutan dengan Ratna.

“Sudah masuk semua ya yang.? Hu, hu, hu. hu.” Tanya Ratna dan aku langsung tersenyum, sambil menganggukan kepalaku.

“Uhhhh. Pantas aja tadi perih.” Ucap Ratna dan linangan air matanya kembali turun membasahi pipinya.

“Uh, uh, uh. Sekarang masih perih.?” Tanyaku lagi.

“Sedikit, tapi gak seperih tadi.” Jawab Ratna dan aku merasa kemaluan Ratna terasa berkedut, seperti memijit batang kemaluanku.

“Terus.?” Tanyaku.

“Sakit, tapi gak sesakit yang Ratna pikirkan tadi. Mas bisa membuat kesakitan Ratna tidak begitu terasa.” Jawab Ratna, sambil membelai pipiku lalu mengecup bibirku dengan lembut.

CUUPPP.

“Ratna sayang Mas.” Ucap Ratna dan aku langsung menghapus air matanya, lalu aku mengecup bibirnya.

CUPPP.

“Ratna cinta Mas.” Ucap Ratna lagi dan kembali aku mengecup bibirnya.

CUPPP.

Kening kami berdua saling menempel dan hidung kami saling bergesekan.

“Boleh Mas goyang sekarang.?” Tanyaku.

“Iya, tapi jangan cepat – cepat. Masih ngilu.” Jawab Ratna dan aku langsung melumat bibirnya.

CUPPP, CUPPP, CUPPP.

Lidah kami bergantian saling memasuki mulut kami. Aku mengisap lidah Ratna ketika didalam mulutku dan Ratna juga menghisap lidahku ketika didalam mulutnya.

“Hem, hem, hem.” Desah kami disela lumatan kami.

Aku lalu mengangkat pinggulku sedikit.

“Huuuup, ahhhh.” Ucap Ratna sambil melepaskan lumatan kami dan aku mendorong pinggulku kedalam lagi.

“Pelan – pelan yang. Ahhhh.” Ucap Ratna dan aku mengecup bibirnya lagi, sambil menarik pinggulku, sampai menyisakan setengah batangku didalam.

“Hemmm.” Jawabku dan kembali aku menekan pinggulku kedalam.

Mata Ratna sedikit melotot ketika aku menekan batangku kedalam dan ketika aku menariknya keluar.

Dan ketika Ratna sudah mulai bisa beradabtasi dengan goyanganku ini, aku lalu mulai menggenjot pelan pinggulku.

Plokk, Plokk, Plokk, Plokk.

“Uh, uh, uh, uh, uh.” Nafas kami sama – sama memburu dan aku masih menggenjot dengan irama yang pelan.

Plokk, Plokk, Plokk, Plokk.

Plokk, Plokk, Plokk, Plokk.

“Uh, uh, uh, uh, uh. Masih perih yang.?” Tanyaku sambil terus menggenjot.

“Uh, uh, uh, uh, uh. Gak terlalu yang.” Jawab Ratna, sambil mendangakkan kepalanya keatas.

“Hemmmmm.” Desah Ratna yang tertahan dan urat – urat lehernya terlihat dengan jelas.

“Slurrpppppp.” Aku menjilat leher Ratna dan itu membuat tubuhnya menggelinjang.

“Ahhhhhh.” Desah Ratna dan kedua tangannya meremas speri dengan kuat.

Plokk, Plokk, Plokk, Plokk.

Plokk, Plokk, Plokk, Plokk.

“Ah, uh, ah, uh, ah, uh.” Desah kami bersahut sahutan.

Plokk, Plokk, Plokk, Plokk.

Plokk, Plokk, Plokk, Plokk.

“Enak banget yang, enak banget. Ah, ah, ah, ah.” Ucapku lalu aku mendesah.

“Uh, uh, uh, uh, uh. Ratna juga mulai terasa enak yang.” Jawab Ratna sambil melihat ke arahku dan bibir kami saling melumat lagi.

CUPPP, CUPPP, CUPPP.

Plokk, Plokk, Plokk, Plokk.

Plokk, Plokk, Plokk, Plokk.

“Hem, hem, hem, hem.” Suara desahan kami disela lumatan ini.

Plokk, Plokk, Plokk, Plokk.

Plokk, Plokk, Plokk, Plokk.

“Uhhhhhh.” Desahku lalu aku menghentikan gerakanku sejenak, dengan posisi kemaluanku didalam kemaluan Ratna.

“Masih ngilu yang.? Hu, hu, hu, hu.” Tanyaku dengan nafas yang cepat.

“Iya Yang. Tapi sudah terasa nikmat kok. Hu, hu, hu, hu. hu.” Jawab Ratna dan keletihan terlihat diwajahnya.

“Boleh aku pipis didalam.?” Tanyaku dan Ratna hanya mengagguk pelan.

“Kalau goyangannya aku cepatin, sakit gak.?” Tanyaku lagi.

“Gak tau. Dicoba aja yang.” Jawab Ratna dan sekarang aku yang mengangguk pelan.

Aku lalu menegakkan tubuhku, karena kedua tanganku yang kubuat tumpuan membungkuk, terasa sedikit keram.

Aku lalu memegang buah dada Ratna dan bersiap untuk bergoyang lagi.

“Hem.” Desah Ratna sambil memegang kedua punggung tanganku.

“Aku goyang ya.?” Ucapku dan selangkangan kami berdua, menempel erat.

Ratna mengangguk dan aku mulai menarik pinggulku lagi, lalu menekannya kedalam.

“Ahhhhhh.” Desah kami bersamaan, lalu.

Plokk, Plokk, Plokk, Plokk.

Plokk, Plokk, Plokk, Plokk.

Aku mulai menggoyang lagi, sambil meremas kedua buah dada Ratna.

“Ah, uh, ah, uh, ah, uh.” Desah kami sambil saling bertatapan.

Plokk, Plokk, Plokk, Plokk.

Plokk, Plokk, Plokk, Plokk.

“Enak yang, enak. Hu, hu, hu.” Gumamku.

“He eh. Uh, uh, uh, uh.” Jawab Ratna.

Plokk, Plokk, Plokk, Plokk.

Plokk, Plokk, Plokk, Plokk.

Aku mengehentikan goyanganku sejenak, lalu memajukan tubuhku, merapat ketubuh Ratna. Aku tidak sepenuhnya menindih tubuh Ratna, karena aku masih bertumpu pada kedua sikutku.

Aku lalu menggoyang lagi, sambil melumat bibir Ratna.

CUPPP, CUPPP, CUPPP.

Plokk, Plokk, Plokk, Plokk.

Plokk, Plokk, Plokk, Plokk.

“Hem, hem, hem, hem.” Suara desahan kami disela lumatan ini.

Plokk, Plokk, Plokk, Plokk.

Plokk, Plokk, Plokk, Plokk.

Tempo gerakanku mulai agak cepat dan Ratna tidak protes sama sekali. Dia justru sangat menikmati dan dia melumat bibirku dengan ganasnya.

Plokk, Plokk, Plokk, Plokk.

Plokk, Plokk, Plokk, Plokk.

“Hem, hem, hem, hem.”

Plokk, Plokk, Plokk, Plokk.

Plokk, Plokk, Plokk, Plokk.

“Muacchhh.” Ratna melepaskan ciumannya dan menatapku dengan sayu.

“Ratna mau pipis lagi yang. Hu, hu, hu.” Ucap Ratna.

“Aku juga yang. Aku juga mau pipis. Ah, ah, ah. ah.” Jawabku sambil mempercepat goyanganku.

Plokk, Plokk, Plokk, Plokk.

Plokk, Plokk, Plokk, Plokk.

“Ah, uh, ah, uh, ah, uh.” Desah kami berdua.

Plokk, Plokk, Plokk, Plokk.

Plokk, Plokk, Plokk, Plokk.

Air maniku sudah terasa berkumpul diujung batang kemaluanku dan nikmatnya sungguh luar biasa.

Plokk, Plokk, Plokk, Plokk.

Plokk, Plokk, Plokk, Plokk.

“Ahhhhhh.” Desah Ratna dengan tubuh yang mengejang.

Dan,

Srettttt, sretttt, sretttt, sretttt, sretttt, sretttt.

Cairan Ratna keluar lagi dan bersamaan dengan.

Crotttt, crotttt, crotttt, crotttt, crotttt, crotttt, crotttt.

Aku juga menumpahkan air maniku kedalam kemaluan Ratna.

“Uuuhhhh.” Desahku sambil menekan kemaluanku kedalam kemaluan Ratna.

“Aaahhhh.” Ratna mengejang dan tubuhnya bergetar.

Kami berdua sama – sama merasakan gelombang orgasme yang begitu hebatnya dan kami seperti dibawa terbang tinggi ke angkasa yang dipenuhi kenikmatan.

Gila. Ini sangat luar biasa dan baru kali ini aku merasakan kenikmatan yang sungguh membahagiakan. Bukannya aku tidak menghargai kenikmatan yang dulu pernah diberi wanita – wanita yang ada disekitarku, tapi jujur baru kali ini aku bermain dengan lepas.

Mungkin aku bisa selepas ini, karena Ratna pasanganku yang sah, jadi tidak ada beban dipundakku. Ini bukan alasan, tapi memang benar – benar kenyataan. Bukan hanya kenikmatan yang aku dapatkan, tapi juga rasa sayang dan rasa cinta yang semakin besar kepada istriku ini.

Hiuufftt, huuuu.

“Yang, bisa turun.? Ngilu banget. Hu, hu, hu.” Ucap Ratna yang mengejutkanku.

“Oh iya. Uh, uh, uh, uh.” Jawabku dengan nafas yang cepat, lalu aku menegakkan tubuhku, sambil melepaskan kemaluanku dari dalam kemaluan Ratna.

Plop.

Kemaluan Ratna terlihat memerah, karena bercak darah perawan yang ada dipinggir kemaluannya dan juga dikasurku. Air manikupun sedikit meluber keluar dari kemaluan Ratna.

“Ahhhhhh.” Hembusan nafas Ratna yang panjang dan dia melakukannya, sambil menyelonjorkan kedua kakinya yang tertekuk.

Aku lalu merangkak kesebelah Ratna, lalu aku tidur dengan posisi menyamping menghadap Ratna, karena kepalaku belakangku terasa sakit kalau aku tidur terlentang.


Samar – samar terdengar sebuah lagu dan itu menggantikan irama music dari teman – temanku tadi.

“Hiuufftt, huuu.” Aku menarik nafasku dalam – dalam, sambil membelai pipi Ratna yang sedang menghadap ke arah langit – langit kamarku.

“Huuuuuu.” Ratna menghela nafas panjangnya, sambil menoleh ke arahku.

“Gila ya Mas. Hu, hu, hu.” Ucap Ratna dengan sisa – sisa kenikmatan diwajahnya dan juga keletihan dimatanya.

“Banget De. Ini gila banget. Hu, hu, hu.” Ucapku.

Ratna langsung memiringkan tubuhnya dan dia juga menghadap ke arahku.

“Jalan kehidupan seseorang siapa yang tau. Kemarin kita masih berstatus sahabat, sekarang sudah jadi suami istri.” Ucap Ratna sambil membelai dadaku.

“Iya. sama seperti usia manusia. Tidak ada yang tau.” Jawabku dan entah kenapa bibirku langsung berucap seperti ini.

Ratna sempat terkejut dengan ucapanku dan dia langsung menatapku dengan tatapan yang sangat dalam sekali.

“Sayang sudah tau tentang.” Ucap Ratna terpotong dan dia seperti tidak tega melanjutkan pertanyaannya.

“Sudah.” Jawabku singkat, lalu aku tersenyum kepadanya.

“A, a, apa sayang menyerah dengan penyakit ini.?” Tanya Ratna, sambil menyentuh bagian dadaku sebelah kiri bawah.

“Enggak. Ada kamu yang menjadi penyemangatku dan aku pasti akan berjuang sekuat tenagaku.” Jawabku dan Ratna langsung memelukku dengan erat.

Dadanya terasa bergetar dan dan aku tau dia berusaha menahan tangisnya.

“Jangan menangis sayang, jangan. Aku tidak mampu melihatmu meneteskan air mata.” Ucapku sambil membelai rambutnya dengan lembut.

“Enggak, Ratna gak akan meneteskan air mata lagi. Ratna sudah mendapatkan cintanya sayang dan Ratna sudah sangat bahagia sekali hari ini.” Ucap Ratna dengan suara yang bergetar dan keningnya menempel didadaku.

“Kamu wanita hebat yang, hebat sekali.” Ucapku sambil terus membelai rambutnya dan perlahan air mataku menetes dengan bangsatnya.

Air mata ini keluar tidak permisi dan air mata ini jatuh tepat diatas rambut wanita yang aku sayangi.

“HUUPPPP.” Tiba – tiba dadaku terasa sangat sakit sekali dan hatiku terasa dicengkram dengan kuatnya.





#Cuukkk. Ini perih banget cok. Air mataku sampai menetes karenanya dan aku tidak sanggup menahan air mataku cok. Bajingan.
 
Selamat malam menjelang pagi..

Mohon maaf atas keterlambatan updetannya.
Dan mohon maaf juga kalau banyak typonya.

Setelah ini ada mission impossible.
Menamatkan cerita ini dan membuat cerita untuk LKTCP 2021.
Impossible nya, belum ada yang diketik dua - duanya dan harus selesai dalam dua hari..
Semoga bisa, kalau gak bisa ya mohon dimaafkan..
:Peace:

Akhir kata, selamat menikmati dan semoga diterima.
Jangan lupa saran dan masukannya.

Salam Hormat dan Salam Persaudaraan.
:beer::beer::beer:
 
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd