Agen Terpercaya  
 
 
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

CERBUNG - TAMAT I M P I A N 2


BAGIAN 42
I M P I A N



Pop Gilang.

“Huaaammm, nyam, nyam, nyam, nyam.”

Aku bangun dari tidurku dan istriku masih tertidur disebelahku dengan nyeyaknya. Wajahnya terlihat sangat keletihan, karena aktifitas yang sangat padat beberapa minggu ini.

Kami berdua disibukkan dengan tugas akhir dan belum lagi dia merawatku karena sakit yang kuderita ini semakin menjadi.

Wajah cantik istriku terlihat agak memucat dan aku membelai rambutnya perlahan. Aku dekatkan wajahku dikeningnya, lalu aku kecup dengan sangat lembutnya.

Cuuppp.

“Hemmmm.” Gumam istriku, lalu dia menggeliatkan tubuhnya dan matanya tetap terpejam.

Ratna tetap tertidur dan dengkuran halusnya, menandakan kalau dia benar – benar sangat letih sekali.

Aku benarkan letak selimut ditubuhnya, setelah itu aku bangun dan berjalan ke arah jendela kamarku.

Aku buka jendela kamarku dan udara pagi langsung masuk kedalam kamarku. Dingin dan sangat segar aroma yang aku hirup. Aku memandang ke arah timur dan mentari pagi masih malu – malu untuk memancarkan sinarnya.

Aku lalu berjalan ke arah lemari, setelah itu aku bercermin disana.

Dikeremangan cahaya pagi ini, aku melihat pantulan wajah dan tubuhku dicermin.

Tubuhku mengurus dan terlihat sangat menyedihkan sekali. Daging dan lemak yang berada diseluruh tubuhku hilang entah kemana, meninggalkan tulang – tulang yang terbungkus kulitku.

Aku sering kali mual, lalu memuntahkan apa saja yang ada didalam perutku. Tidak ada nafsu makan sama sekali, bahkan meminum air saja aku jarang melakukannya.

Bola mataku menguning dan disekitar area mataku cekung kedalam. Pipiku kempes dan kulit wajahku terlihat agak keriput.

Gila. Empat puluh hari sudah aku mengetahui penyakitku dan selama itu perubahan drastis terjadi pada tubuh ini.

Hilang sudah tubuhku yang tegap dan digantikan dengan tubuh yang kering kerontang. Hilang sudah kepalan tanganku yang kuat dan digantikan dengan tulang – tulang yang sangat lemah. Hilang sudah kesegaran diwajahku dan digantikan dengan wajah yang sayu dan memucat.

Waktu yang sangat singkat untuk mengubah diriku seperti ini dan aku tidak mampu berjuang melawannya. Ternyata aku sangat lemah dan tidak ada apa – apanya.

Aku tidak menyesali semua ini, bahkan aku tidak meratapi nasibku. Aku hanya terenyuh ketika orang lain menatapku dengan tatapan kesedihan. Mereka mencoba menyembunyikan dari aku, tapi perasaanku terlalu dalam menyambutnya. Mereka mencoba menutupi dari aku, tapi hatiku terlalu tanggap menerimanya. Mereka mencoba membohongi aku, tapi pikiranku terlalu peka melihatnya.

Hiuufftt, huuuu.

Sudahlah. Hatiku pasti akan menjerit kalau harus membahas itu. Aku tau mereka melakukan itu karena besarnya sayang dan perhatian mereka kepadaku. Lebih baik aku berpura – pura buta dan tuli, sama seperti yang mereka lakukan. Bukan karena tidak perduli, tapi karena besarnya rasa sayang dan perhatian yang juga aku miliki.

Aku lalu melihat ke arah istriku dan dia tetap tertidur dengan nyenyaknya. Akupun langsung berjalan ke arah dapur, untuk membuatkan teh yang biasanya dia minum setiap pagi. Dia biasa membuat sendiri dan dia juga membuatkan aku minuman. Tapi untuk hari ini, aku ingin dia yang beristirahat dan aku yang akan melayaninya, seperti dia melayani aku setiap harinya.

Belum ada aktifitas dikosanku yang juga befungsi sebagai kantor kami ini. Joko, Mas Candra dan Mas Jago, masih beristirahat dikamar masing – masing. Mereka bertiga semalam lembur, mengerjakan laporan proyek – proyek yang sedang berjalan. Sebenarnya aku ingin membantu, tapi sekali lagi kondisiku tidak mendukung dan mereka bertiga beserta istriku melarang keras aku untuk memikirkan masalah kantor.

Oh iya. Untuk masalah tugas akhir, kami bertiga sudah menyelesaikannya. Beberapa hari yang lalu aku, Joko dan Ratna sudah melaksanakan sidang kompre atau sidang hasil, untuk skripsi kami. Hari ini rencananya kami bertiga akan mengikuti sidang yudisium, lalu bulan depan kami akan diwisuda.

Tugas akhir kami ini tergolong cepat dan kami mampu menyelesaikannya tepat waktu. Bukan karena rasa iba dari para dosen pembimbing dan juga dosen penguji kepadaku, tapi karena aku benar – benar menguasai skripsi yang aku buat.

Seluruh isi didalam skripsiku sangat aku kuasai dan aku mampu menjelaskan kepada dosen pembimbing pada saat penyusunan sikripsi, maupun kepada dosen penguji pada saat seminar hasil. Ya walaupun ada beberapa revisi, tapi tidak terlalu banyak dan aku bisa menyelesaikannya.

Dan sekarang kita kembali lagi diaktifitasku dipagi buta ini.

Aku menyalakan kompor untuk memasak air, setelah itu aku menyiapkan beberapa gelas untuk minuman. Satu gelas teh untuk Ratna, tiga gelas kopi untuk Mas Jago, Mas Candra dan juga Joko. Sedangkan untuk aku, aku hanya mencicip sedikit teh yang diminum Ratna, seperti biasanya. Lambungku sudah tidak bisa menerima segelas teh, apalagi segelas kopi.

Klinting, klinting, klinting.

Aku menuangkan air yang mendidih, lalu mengaduk teh dan kopi bergantian.

“Sayang.” Ucap Ratna yang tiba – tiba muncul di dapur sambil mengikat rambut panjangnya kebelakang.

“Selamat pagi cinta.” Ucapku dan Ratna langsung berjalan mendekat ke arahku dengan terburu – buru.

“Kenapa buat teh sendiri.? Kenapa gak bangunin Ratna.? Sayang gak boleh capek – capek loh.” Ratna mengomel kepadaku dan dia langsung merebut sendok ditanganku, lalu melanjutkan mengaduk teh yang tadi aku lakukan.

Wajah istriku terlihat marah, khawatir dan juga jengkel, yang dibungkus dengan penyesalan yang sangat luar biasa.

Klinting, klinting, klinting.

Adukannya sangat cepat, padahal warnanya sudah kecoklatan dan rasanya pasti sudah tercampur antara gula, air dan juga teh. Tapi istriku terus mengaduknya dengan emosi yang tertahan.

Aku lalu memeluk tubuh istriku dari belakang dan posisi wajahku diatas pundak kanannya, lalu aku mengecup pipi kanannya dengan lembut.

“Selamat pagi cinta.” Ucapku lagi dan aku mengulangi kata – kataku tadi.

Ratna mengehentikan adukannya, lalu dia menundukkan kepalanya sejenak. Dadanya sedikit bergetar dan dia seperti menahan tangisnya. Ratna lalu menarik nafasnya dalam – dalam, setelah itu dia mengeluarkannya pelan.

“Hiuffttt, huuuu.”

Perlahan dia memutar tubuhnya sampai menghadap ke arahku dan matanya terlihat berkaca – kaca.

“Maaf Mas, Ratna ketiduran.” Ucap Ratna dengan suara yang bergetar dan aku langsung membelai pipinya dengan lembut.

“Selamat pagi cinta.” Ucapku lagi dan kata – kata ini, selalu aku ucapkan ketika dipagi hari kepada istriku.

Hiuuuffftt. Huuuu.

Ratna menarik nafasnya dalam – dalam, sambil menatap mataku.

“Se, se, selamat pagi sayang.” Akhirnya Ratna menjawab seperti biasa dan itu langsung membuat bibirku tersenyum.

CUPPP.

Aku mengecup keningnya, setelah itu aku menatap matanya lagi.

“Sayang sudah melakukan banyak hal yang terbaik untukku dan sebagai ucapan terimakasihku, aku sengaja bangun pagi ini, untuk membuatkan sayang teh hangat.” Ucapku sambil membelai pipinya.

“Maaf, hanya itu yang bisa aku lakukan untukmu saat ini.” Ucapku, lalu kembali aku tersenyum kepadanya.

“Sayang ini ngomong apa sih.? Sayang itu segalanya bagi Ratna dan sayang juga sudah melakukan banyak hal, bagi hidup Ratna. Jadi kenapa sayang harus mengeluarkan ucapan seperti itu.?” Ucap Ratna dengan suara yang terus bergetar dan tatapan mata yang sayu.

“Sayang itu mataharinya Ratna, yang bersinar terang disiang hari. Sayang itu bulannya Ratna, yang menuntun jalan digelapnya malam. Sayang itu pegangan hidup dan sayang itu penunjuk jalan kehidupan bagi Ratna.”

“Sayang itu cintanya Ratna dan tak akan tergantikan selamanya.” Ucap Ratna lagi dan aku terus membelai pipinya.

“Aku itu bukan siapa – siapa tanpa dirimu yang.” Ucapku sambil menatap mata Ratna.

“Jangankan menjadi matahari yang bersinar terang, menjadi bulan yang cahayanya meredup, akupun tidak sanggup.”

“Aku tidak memiliki apa - apa dan hanya cintamu yang membuatku memiliki segalanya.” Ucapku dan aku akhiri dengan kecupan dibibir Ratna.

Cuuppp.

Aku lalu menatap kembali mata Ratna yang berkaca – kaca.

“Aku adalah.” Ucapku terpotong.

Cuuppp.

Ratna melumat bibirku dan kedua tangannya langsung merangkul leherku.

Cuuppp, cuuppp, cuuppp, cuuppp, cuuppp.

Air mata Ratna perlahan turun disela lumatan kami, lalu mengalir dengan derasnya dan ikut bermain dilumatan bibir kami ini.

Cuuppp, cuuppp, cuuppp, cuuppp, cuuppp.

“Muacchhh.” Aku melepaskan kuluman kami, karena aku tidak sanggup melihat Ratna menangis seperti ini dan aku lebih tidak sanggup merasakan air matanya dibibirku.

“Kenapa yang.? Kenapa.? Sayang sudah berjanji tidak akan menangis dihadapanku, tapi kenapa sekarang air mata ini menetes lagi.?” Tanyaku sambil membersihkan air matanya yang terus mengalir.

“Maaf yang, maaf. Hiks, hiks, hiks, hiks.” Ucap Ratna dan dia mencoba menahan, agar air matanya tidak mengalir semakin deras .

“Ratna terlalu rapuh dan Ratna perempuan lemah. Hiks, hiks, hiks, hiks.” Ucap Ratna dan ternyata dia tidak mampu menahan air matanya.

“Enggak yang, enggak. Kamu wanita yang sangat luar biasa dan kamu wanita yang sangat kuat. Kalau kamu wanita yang lemah, kamu tidak akan berdiri disini bersamaku.” Ucapku dan Ratna langsung memelukku dengan erat.

“Hiks, hiks, hiks, hiks.” Tangis Ratna semakin menjadi dan itu membuat dadaku terasa sesak sekali.

“Jangan menangis yang, jangan menangis.” Ucapku sambil mengelus punggungnya.

Cok. Kenapa aku melarang Ratna untuk mengeluarkan air matanya.? Kenapa.? Sudah kodratnya sebagai manusia itu bisa tertawa, menangis, bersedih dan berbahagia. Terus apa hakku untuk melarangnya.?

Tertawalah, jika memang harus tertawa. Menangislah, jika memang harus menangis.

Manusia itu mempunyai nafsu, gairah, ambisi, emosi dan lain sebagainya. Manusia mempunyai berbagai cara untuk meluapkan apa yang dirasakannya dan tidak ada satupun manusia lain yang boleh melarangnya.

Apa orang yang ingin menangis harus disuruh tertawa.? Atau orang yang ingin tertawa disuruh menangis.? Atau malah disuruh diam.? Jangan, jangan lakukan itu.

Silahkan menghibur ketika orang sedang bersedih dan silahkan ikut tertawa ketika dia berbahagia. Tapi jangan pernah melarang orang yang ingin mengeluarkan apa yang sedang dirasakannya, atau orang itu akan menggila dan membungkam congkaknya dunia. Bajingan.

“Hiks, hiks, hiks, hiks.” Tangis Ratna semakin menjadi dan sekarang aku hanya mendengarkannya, sambil membelai rambutnya pelan.

Joko terlihat memunculkan wajahnya, karena tangis Ratna yang mungkin membangunkannya. Dia tidak berani mendekat dan dia hanya melihatku sebentar, setelah itu dia membalikan tubuhnya dan pergi meninggalkan kami.

Kaos bagian dadaku telah basah oleh air mata Ratna, tapi aku tetap membiarkannya, meluapkan tangisnya dipelukanku.

Ratna menarik nafasnya dalam – dalam dan dadanya terasa bergetar dengan hebatnya. Aku terus membelai rambutnya dan sesekali bagian punggungnya.

Perlahan tangisnya mulai mereda dan sekarang berganti dengan isakan – isakan yang jujur sangat menggores hatiku.

“Hup.” Ucap Ratna menahan nafasnya sesaat, lalu mengeluarkannya perlahan.

“Te, te, terimakasih sudah membiarkan Ratna menangis di dada ini sayang.” Ucap Ratna dengan suara yang bergetar.

“Kenapa harus mengucapkan kata terimakasih, ketika kamu sudah selesai meneteskan air mata.? Dan kenapa ketika kamu selesai tertawa bahagia, kamu hanya mengakhirinya dengan memeletkan lidahmu kepadaku.?” Tanyaku dan Ratna langsung mengangkat wajahnya dari dadaku, lalu menatap mataku sambil mengerutkan kedua alis matanya. Rupanya pertanyaanku tadi berhasil menghentikan tangisnya.

“Kamu gak adil. Padahal tangis dan tawa itu jaraknya dekat, sedekat bibir atas dan bibir bawahmu, ketika akan mengulum bibirku.” Ucapku dengan asalnya.

“Apasih yang.? Kok ga nyambung gitu.” Ucap Ratna, sambil membersihkan sisa air matanya.

“Aku itu nyambungnya, kalau sudah mengecup bibir atas dan bibir bawahmu.” Ucapku, lalu aku mengecup bibir Ratna pelan.

CUUPPP.

“Djiancok.!!!” Terdengar Joko memaki dari ruang tengah.

“Kari ngecupp ae, omongane nggatheli.” (Tinggal mengecup aja, ucapannya menjengkelkan.) Sahut Mas Jago dan mereka berdua tidak terlihat dari posisi kami yang masih sedang berpelukan ini.

“Asyik, asyik josss.” Ucap Mas Candra yang ikut bersuara.

“Sayang sih. Kenapa pakai acara kedapur.?” Ucap Ratna dan wajahnya sudah tidak sesedih tadi.

“Untung didapur, jadi mereka cuman dengar suara kecupan aja. Coba kalau kita diruang tengah, mereka bertiga malah bisa lihat kita kecupan.” Jawabku dan Ratna langsung memencet hidungku pelan.

“Iihhhhh. Ada aja jawabannya.” Ucap Ratna, lalu dia membalikan tubuhnya.

“Mau sarapan apa ini.?” Tanya Ratna.

“Cukup sarapan kecupan aja, aku sudah kenyang banget.” Jawabku sambil merapat ke arah tubuhnya dan memeluknya dari belakang lagi.

“Yang.” Ucap Ratna dan aku hanya tersenyum saja.

Aku lalu mendekatkan wajahku ke arah samping wajah Ratna, lalu ketika aku akan mengecupnya, Ratna langsung menghindari kecupanku.

“Sayang jangan mulai lagi ya. Entar mereka dengar lagi loh.” Ucap Ratna pelan.

“Gak apa – apa. Telinga mereka sudah kebal kok.” Jawabku dan aku memajukan bibirku lagi.

“Sayang ah.” Ucap Ratna, sambil teus menghindari ciumanku.

“Ancene asuuu’og” (Memang anjing kok.) Ucap Joko.

“Tuhkan, assunya bersuara.” Ucap Ratna lalu dia menutup mulutnya, karena dia reflek dan tidak sadar mengucapkan itu.

“Apa Rat.?” Tanya Joko.

“Maaf mas, maaf. Maksud Ratna itu, Mas Joko yang bersuara.” Jawab Ratna dengan rasa bersalah.

“Mas Joko juga gitu, kenapa pakai acara memaki sih.? Ratna kan jadi keceplosan.” Ucap Ratna lagi.

“Ancene sak bojone podo - podo nggathelli.” (Memang seperti suaminya sama - sama menjengkelkan.) Gerutu Joko.

“Jenggongngo Jok, jenggongo. Uu, aa, uu, aa.” (Menggonggonglah Jok, menggonggonglah. Uu, aa, uu, aa.) Ucap Mas Jago.

“Iku suarane kete’ Mas, duduk asu. Bajingan.” (Itu suara monyet Mas, bukan anjing. Bajingan.) Sahut Joko.

“Hahahaha.” Mas Jago dan Mas Candra tertawa dengan kerasnya.

“Mandi sana Mas. Kita mau kekampus loh.” Ucap Ratna dan aku langsung melepaskan pelukanku ditubuh Ratna.

“Kita sarapan diluar aja kalau begitu.” Ucapku.

“Jangan ah. Ratna mau buat nasi goreng aja. Nasi semalam masih banyak, sayang kalau pagi ini gak dimakan.” Jawab Ratna.

“Oke deh.” Ucapku dan aku langsung berjalan ke arah ruang tengah, dengan kepala yang sedikit bergoyang.

Cok. Kenapa kepalaku tiba – tiba pusing ya.? Sudahlah. Mungkin karena belum sarapan, kepalaku jadi pusing seperti ini.

Aku terus berjalan dan aku menguatkan pijakanku, agar jalanku tidak sempoyongan.

Diruang tengah, ketiga sahabatku sedang duduk dan tidak ada yang merokok satupun. Semenjak aku sakit seperti ini, mereka merokoknya pasti diluar pagar kosan. Apalagi semenjak kedatangan Ratna, mereka jadi semakin segan untuk merokok dilingkungan kosan kami.

Hiuufftt, huuuu.

Ketiga sahabatku yang sedang duduk santai itu, langsung melihat ke arahku. Mereka melihat dari ujung kaki, sampai ujung rambut atasku. Tatapan yang tadinya terlihat biasa, perlahan terlihat sayu dan mereka bertiga seperti mengkasihani kondisiku yang semakin kurus ini.

“Apa rencananya hari ini.?” Tanyaku dan aku berdiri sambil menyandarkan pundakku didinding, agar tidak terlalu terlihat kalalu tubuhku sedikit bergoyang karena kepalaku yang pusing.

Akupun sengaja menatap mereka satu persatu dan mereka langsung memalingkan wajahnya. Mereka tidak mungkin berani menatapku terlalu lama, kalau aku melihat mata mereka.

“Kami berdua mau kekampus teknik kita, untuk melihat kalian bertiga sidang yudisium.” Jawab Mas Candra, lalu dia melihat ke arah lain.

“Iya.” Sahut Mas Jago dan bertepatan dengan Ratna yang datang, sambil membawa nampan yang berisi tiga gelas kopi.

“Tumben buat kopi Rat.? Biasanya buat teh.” Ucap Joko dan dia tidak berani melihat ke arahku lagi.

“Kopi ini special buatan Mas Gilang, untuk Mas – Mas.” Ucap Ratna sambil meletakkan nampan diatas meja, setelah itu Ratna berjalan ke arah dapur lagi.

Ketiga sahabatku ini langsung melihat ke arahku dan tatapan mereka terlihat semakin sayu saja.

“Minum kopinya, biar ga ngantuk.” Ucapku lalu aku berjalan ke arah kamarku dan mereka bertiga langsung terunduk satu persatu.

Dadaku perlahan berdenyut dengan pelan dan itu biasanya pertanda penyakitku akan kambuh. Aku mempercepat langkahku, agar ketika sakit ini datang, tidak ada yang mengetahuinya.

NYUTTT.

Bagian hatiku terasa diremas dengan kuat, ketika aku sampai didalam kamarku dan aku langsung menutup pintu kamarku.

Aku sandarkan punggungku dipintu kamar dan kepalaku aku dangakkan, agar memudahkan aku untuk menarik nafas.

“Uh, uh, uh, uh.” Nafasku berat dan jantungku terasa berhenti berdetak.

Aku langsung meremas dadaku, agar sakitnya tidak terlalu menyiksaku. Tujuan lainku meremas dadaku, untuk memompa jantungku agar berdetak seperti biasa.

Apa itu berpengaruh.? Tidak, itu tidak berpengaruh sama sekali. Sakit didadaku terasa semakin perih dan air mataku sampai menetes dibuatnya. Jantungku semakin berdetak lemah dan aliran darahku juga seperti melambat.

“Uh, uh, uh, uh.” Aku berusaha menarik nafasku, tapi sangat sulit sekali.

Paru – paruku seperti tertutup dan tidak ada udara sama sekali didalam sana.

“Hu, hu, hu, hu, hup.” Aku berusaha menarik nafasku lagi dengan sekuat tenaga, tapi tetap saja tidak bisa.

Djiancok. Apa aku akan mati hari ini.? Jangan, jangan dulu. Aku belum menggapai impianku dan aku harus tetap berjuang agar bisa bernafas seperti biasa.

“Hup, uh, hup, uh, hup, uh.” Aku berhasil menarik nafas pendekku dan aku keluarkan pendek juga.

Pandanganku tiba – tiba berbayang dan tertuju pada sebuah botol yang ada diatas meja. Botol ramuan yang isinya masih penuh dan baru kemarin dikirim kekosanku.

Aku berjalan tertatih – tatih ke arah meja, sambil terus meremas dadaku.

“Hup, uh, hup, uh, hup, uh.” Nafas pendek kembali aku lakukan, tapi nyeri didadaku justru semakin sakit.

Tap.

Akhirnya aku bisa memegang botol ramuan itu, tapi seluruh tubuhku bergetar dengan hebatnya. Aku berusaha membuka tutup botol, tapi sangat kesulitan. Selain tanganku yang gemetaran, tiba – tiba seluruh jemariku kaku dan sulit aku tekuk.

Aku berusaha membuka penutup botol sekuat tenagaku dan akhirnya usahaku tidak sia – sia.

Aku pegang botol ramuan dengan kedua telapak tanganku yang terbuka, lalu aku arahkan kemulutku.

Kedua lututku bergetar dan tubuhku langsung terasa lemas, sebelum ramuan itu sampai kemulutku.

Dan tiba – tiba.

BUHGGG.

Tubuhku lunglai dan aku langsung terjatuh dilantai kamarku. Botol ramuan yang telah terbuka, membuat isinya tertumpah ditubuhku dan aku tergelak dengan bermandikan ramuan.

“DJIANCOK.!!!” Terdengar makian dari luar kamarku dan,

BRUAKKKK.

Pintu kamarku didobrak, lalu terdengar teriakan histeris dari Ratna dan juga teman – temanku.”

“MAS GILANG.!!!”

“GILANG.!!!”


Pop Joko.

Djiancok. Kondisi tubuh Gilang yang semakin kurus, membuatku tidak tega berada didekatnya. Ingin sekali aku pergi, tapi hati ini selalu menahannya.

Aku selalu menangis didalam hati, apalagi ketika mendengar tarikan nafasnya yang berat. Aku tidak bisa melakukan apa – apa, walaupun sekedar berobat. Uang tabungan hasil dari proyek – proyek kami cukup banyak. Tapi untuk apa uang yang banyak, kalau tidak bisa membeli kesehatan.? Untuk apa uang banyak, kalau tidak bisa membeli nafas.? Untuk apa uang banyak, kalau tidak bisa makan.? Untuk apa semua itu.? Djiancok.

Ternyata uang bukan segalanya didunia ini. Coba bayangkan. Uangmu sangat banyak dan bisa membeli makanan yang sangat lezat, tapi kamu tidak punya nafsu makan dan kamu tidak bisa memakannya, walau sesuap saja. Percuma kan.? Itu yang dialami Gilang saat ini.

Setiap hari aku selalu membelikan dia makanan yang enak – enak yang dulu kami tidak mampu membelinya, tapi saat ini justru dia tidak bisa memakannya. Aku ingin dia makan yang banyak, agar tubuhnya menjadi kekar seperti dulu. Tapi jangankan sesuap, satu butir nasipun dia tidak sanggup untuk memakannya. Meminum air putihpun, dia sangat kesusahan, apalagi mengunyah makanan. Asuuu, asuuu.

Hiuuftt, huuuu.

Dan pagi buta ini, aku terbangun dari tidur ketika mendengar tangisan Ratna yang sangat menyedihkan. Bukan hanya aku saja yang terbangun, tapi juga Mas Candra dan Mas Jago yang sudah duduk diruang tengah.

Sebenarnya kami sudah terbiasa mendengar tangis Ratna dan juga melihat wajah sedihnya, ketika penyakit Gilang kumat. Tapi bukannya dia menunjukan tangisnya itu ataupun memamerkan kesedihannya loh ya, bukan seperti itu. Ratna berusaha menyembunyikan perasaannya itu dari kami maupun dari Gilang, tapi kami sering memergokinya dengan tidak sengaja.

Dan untuk akhir – akhir ini, tangis Ratna terdengar semakin menyedihkan dan itu membuat kami semua terjaga. Kondisi Gilang yang semakin parah, membuat kami semua khawatir dan was – was dengan keadaannya.

Hiuffttt, huuuu.

Saat ini tiga gelas cangkir kopi tersaji dihadapan kami dan itu membuat dadaku bergetar. Air mataku berkumpul dikelopak mataku dan siap untuk tertumpah. Aku menahan sekuat tenaga agar air mata ini tidak menetes, karena Gilang berdiri tidak jauh dihadapanku. Gilang itu tidak suka dikasihani, apalagi ditangisi karena keadaannya.

Akupun sengaja tidak melihat ke arahnya, karena aku tau dia mencoba kuat dihadapan kami. Ingin rasanya aku merangkul dia dan menjadikan tubuhku sebagai tumpuannya, agar dia semakin tegak berdiri. Tapi apa bisa itu aku lakukan.? Tidak mungkin, karena Gilang pasti akan menolaknya dengan alasan tidak ingin merepotkanku. Assuuu.

“Minum kopinya, biar ga ngantuk.” Ucap Gilang yang mengejutkanku dan dia langsung berjalan ke arah kamarnya.

Jalannya sempoyongan dan aku langsung berdiri dengan cepat, ketika dia sudah melewati kami. Aku ingin membantunya dan menuntunnya, masuk kedalam kamar.

Mas Candra dan Mas Jago langsung mengkodeku, agar aku tetap disini.

Akupun hanya melihat punggung Gilang dan ketika dia sudah masuk kedalam kamarnya, aku langsung terduduk dengan lemasnya.

“Percuma kamu membantunya berjalan. Dia pasti akan menolaknya dan ujung – ujungnya kamu hanya bisa menangis.” Ucap Mas Candra pelan.

“Iya cok. Kalau saja Gilang mau dibantu, aku sendiri yang gendong dia kedalam kamarnya.” Ucap Mas Jago dengan emosi yang tertahan dan aku tetap diam sambil melihat ke arah kopi yang dibuat oleh Gilang.

“Sudahlah, lebih baik kita nikmati saja kopi buatan Gilang ini. Dia pasti sudah bersusah payah membuatnya untuk kita.” Ucap Mas Candra sambil mengambil segelas kopi, lalu dia meminumnya perlahan.

“Kalau saja Gilang gak sakit, kopi ini pasti semakin nikmat dengan isapan sebatang rokok.” Ucap Mas Jago yang juga mengambil segelas kopi.

Kembali aku menarik nafasku dalam – dalam, lalu setelah itu aku ambil kopi bagianku dan aku tidak langsung meminumnya. Aku dekatkan gelas kopi ke hidungku dan aku lansung menghirup aromanya.

“Hemmmm.”

Aroma kopi buatan sahabatku ini sangat wangi sekali, tapi tidak sewangi jalan takdir hidupnya.

“Sruupppp.”

Aku sruput kopi ini dan rasa nikmatnya, langsung membuat air mataku menetes. Air yang digunakan untuk kopi ini pasti direbus dengan cinta, lalu diaduk dengan sayang dan diseduhkan dengan persaudaraan.

Rasa pahit dari kopi ini pasti dari keras kepalanya dan rasa manis kopi ini dari semangatnya yang tidak pernah padam.

“Ahhhhh.”

Hembusan nafasku aku keluarkan, setelah cairan kopi ini melewati tenggorokanku.

“Mas Gilang dimana.?” Tanya Ratna yang muncul dari ruang dapur.

“Dikamar.” Jawabku dengan gelas kopi yang aku pegang.

“Kok kamarnya ditutup.?” Ucap Ratna dengan wajah yang terlihat sangat khawatir dan kami semua langsung melihat ke arah pintu kamar.

BUHGGG.

PRANGG.

Terdengar suara seseorang terjatuh dari dalam kamar Gilang dan gelas yang ada ditanganku langsung terlepas dari gengamanku. Gelasnya pecah dan pecahannya terhambur dilantai.

“DJIANCOK.!!!” Makiku dan aku langsung berdiri.

Aku lalu berlari ke arah kamar Gilang dan ketika aku sudah berada beberapa langkah dari pintu kamar, aku langsung meloncat dan mengarahkan injakan kakiku kepintu kamar.

BRUAKKKK.

Pintu kamar terbuka dan Gilang tergeletak dilantai, dengan tubuh yang dipenuhi ramuan yang biasa diminumnya.

“MAS GILANG.!!!” Teriak Ratna dengan histerisnya.

“GILANG.!!!” Aku, Mas Jago dan Mas Candra juga berteriak, lalu kami semua berlari ke arah Gilang.

Aku bersimpuh disebelah Gilang dan kepalanya langsung aku letakan dipahaku.

“Hup, hu, hup, hu, hup, hu, hup, hu.” Gilang berusaha bernafas dengan dadanya yang terasa bergetar. Wajahnya memucat, mulutnya menganga dan matanya melotot. Aku sangat panik dan aku sangat ketakutan sekali.

“Kita kerumah sakit sekarang, kita kerumah sakit sekarang.” Ucapku dengan paniknya.

“Hiks, hiks, hiks.” Dan Ratna menangis sesenggukan.

“Huppp, huuu, huppp, huuu.” Nafas Gilang sudah agak panjang dan dia melakukannya sambil menggelengkan kepala.

Dia menolak ajakanku kerumah sakit dan itu membuat emosi langsung menguasai kepalaku.

“Kita kerumah sakit aja Lang.” Ucap Mas Candra yang coba merayu Gilang dan Gilang tetap menggelengkan kepalanya pelan.

“Huppp, huuu, huppp, huuu.” Nafas Gilang mulai gak cepat dan Ratna langsung menggenggam tangannya.

“Mas.” Ucap Ratna dan kembali Gilang menggelengkan kepalanya.

“A, a, aku gak apa – apa. Huuuu.” Ucap Gilang terbata, lalu dia menghela nafas panjangnya.

“Gak apa – apa bagaimana.?” Tanyaku sambil menahan emosiku dan Mas Candra langsung menepuk pundakku pelan.

“Huupppp, huuuuu. Huupppp, huuuuu.” Gilang menarik nafas panjangnya, lalu dia menutup matanya sejenak, setelah itu dia membukanya kembali.

“Aku sudah baikan, huuuu.” Ucap Gilang, lalu dia berusaha duduk.

“Lang, jangan keras kepala kamu.” Ucapku dan aku hanya bisa menahan punggungnya, lalu aku membantunya untuk duduk.

Posisi wajahku dekat dengan wajah sampingnya dan Gilang langsung menoleh ke arahku.

“Awakmu durung sikatan yo.? Mambune cok, cok.” (Kamu belum sikatan ya.? baunya cok, cok.) Ucap Gilang dan aku langsung melotot ke arahnya

“Djiancok. Cek sempete awakmu ngomong ngono.? Bajingan.” (Djiancok. Sempat – sempatnya kamu bicara seperti itu.? Bajingan.) Ucapku dan sekarang aku tidak bisa menahan emosiku lagi.

Aku bukan emosi karena ucapannya, tapi karena dia mencoba mengalihkan pembicaraan, agar tidak dibawa kerumah sakit. Assuuu.

“Ancene nggtheli arek iku.” (Memang menjengkalkan anak ini.) Ucap Mas Jago.

Gilang hanya tersenyum dan wajahnya semakin terlihat menjengkelkan sekali.

“Mas. kita kerumah sakit ya.” Ucap Ratna dengan suara yang bergetar dan tangannya meremas tangan Gilang dengan kuat.

“Hiuffttttt, huuuuu.” Gilang menarik dalam – dalam nafasnya, lalu mengeluarkannya perlahan.

“Aku gak apa – apa yang. Lebih baik sekarang kita siap – siap pergi kekampus.” Ucap Gilang, lalu dia berdiri dengan bersusah payah dan Ratna hanya bisa menarik nafas panjangnya.

“Awakmu iku gendeng ta piye.? Lapo nang kampus cok.” (Kamu itu gila atau bagaimana.? Kenapa kekampus cok.?) Ucapku dan aku tidak bisa mencegah Gilang untuk berdiri.

Kami semua membantunya berdiri, walau hati sebenarnya sangat – sangat tidak ikhlas.

“Yang gila itu kamu cok.” Ucap Gilang kepadaku dan aku langsung mengerutkan kedua alis mataku.

“Huuuuu.” Gilang mengeluarkan nafas panjangnya lagi.

“Pelaksanaan sidang yudisium itu, detik – detik yang sudah lama kita tunggu. Di sidang yudisium nanti, impian kita ada didepan mata. Disanalah penentuan kita lulus atau tidak dari kampus teknik kita. Kalau lulus berarti impian sudah kita genggam, kalau tidak lulus, impian kita akan terbang menjauh. Jadi kita harus datang hari ini.”

“Kalau wisuda, itu hanya seremonial saja. sama seperti pernikahan. Yudisium itu ibarat ijab kabul dan resepsi itu ibarat wisuda. Kamu pahamkan.?” Ucap Gilang.

“Aku paham cok. tapi kondisimu gak memungkinkan untuk kekampus.” Ucapku yang mencoba menahannya dan Gilang langsung menunduk.

“Lapo sikilmu getien cok.?” (Kenapa kakimu berdarah cok.?) Tanya Gilang dan lagi – lagi dia mengalihkan pembicaraan.

“Djiancok.” Makiku dan aku langsung memalingkan wajahku, untuk meredakan emosi yang masih bermain dikepalaku.

Bajingan Gilang ini. Bisa – bisanya dia mengalihkan pembicaraan, dengan mengatakan kakiku berdarah. Bercandanya gak lucu dan gak masuk akal. Assuuu, assuu.

Pandanganku tertuju pada pintu kamar yang baru aku dobrak tadi dan terlihat bercak darah yang membentuk telapak kaki. Bercak darah berbentuk kaki itu tidak hanya menempel dipintu, tapi juga menapak dilantai dan mengarah ke arahku.

Aku lalu mengangkat kedua kakiku bergantian dan terlihat darah keluar dari telapak kakiku. Perlahan kakiku mulai terasa nyeri dan aku langsung menahan rasa sakitnya..

Bajingan. Jadi kakiku beneran berdarah.? Berdarah karena apa ya.?

Cok. Ini pasti karena aku menginjak pecahan gelas kopi yang aku jatuhkan tadi dan aku tidak merasakannya, karena panik dengan keadaan Gilang. Asuu, asuu.

“Gak po – po ta awakmu cok.?” (Gak apa – apakah kamu cok.?”) Tanya Gilang kepadaku.

“Gak po – po.” (Gak apa – apa.) Jawabku sambil melihat ke arahnya.

“Ndang diobati kono.” (Cepat diobati sana.) Ucap Gilang seperti tidak merasa berdosa, padahal dia sendiri paling susah disuruh berobat. Saat ini penyakitnya sedang kambuh saja, dia tidak mau kerumah sakit. Apa gak menjacokan sekali kalau bergitu.?

“Ini gak seberapa. Kamu yang seharusnya dibawa kerumah sakit, biar cepat ditangani.” Ucapku.

“Obati selagi masih bisa diobati. Gak usah cari alasan yang lain.” Ucap Gilang sambil menatapku dengan tajam.

Dan ditatapan tatapan tajam matanya yang berwarna agak kekuningan itu, tersirat sebuah perintah yang tidak bisa dibantah.

“Cok.” makiku pelan dan aku langsung keluar kamar dengan agak tertatih.

Sakit ditelapak kakiku mulai terasa, tapi tidak sesakit perasaanku melihat sahabatku yang berjuang melawan penyakitnya.

Ditelapak kakiku terasa ada pecahan gelas yang menusuk kedalam kulit, tapi rasanya tidak menyiksa. Yang tersiksa itu justru didalam hatiku dan seperti ada belati yang menusuknya, ketika melihat Gilang masih bisa tersenyum dibalik rasa sakitnya yang pasti menyiksa.

Aku tidak tau harus berbuat apa saat ini dan aku merasa menjadi orang yang sangat bodoh sekali, karena aku tidak bisa berbuat sesuatu untuknya.

Aku hanya bisa diam ketika melihatnya tersiksa, aku hanya bisa menangis ketika dia merintih dan aku hanya bisa menatapnya ketika dia tersenyum ditengah penderitaanya.

Hiuuffftt, huuuu.

Tumpahan kopi dan pecahan beling masih tercecer di dekat meja ruang tengah.

Dan ketika aku akan membersihkannya, Mas Candra sudah membawa sapu dan serok dari arah dapur.

“Obati dulu kakimu.” Ucap Mas Jago, sambil membawa kotak P3K dan diserahkannya kepadaku.

“Terimakasih Mas.” Ucapku sambil mengambil kotak P3K ditangan Mas Jago, setelah itu aku duduk dikursi.

Aku angkat kaki kiriku, lalu aku letakkan diatas paha kananku, agar aku bisa melihat lukaku yang menggores.

Ada beberapa luka sobek dikakiku dan masih mengeluarkan darah. Dan dibeberapa lukaku yang sobek, ada pecahan gelas kaca yang kecil didalamnya. Aku keluarkan semua pecahan gelas kaca itu, lalu aku membersihkannya dengan alcohol.

Setelah beberapa saat kedua telapak kakiku aku bersihkan dan aku beri obat, Gilang dan Ratna keluar dari kamar dengan menggunakan pakaian yang sangat rapi.

Gilang menggunakan stelan jas berwarna hitam dan Ratna menggunakan setelan blazer yang juga berwarna hitam. Jas yang pernah digunakan Gilang bulan lalu itu, terlihat kebesaran untuk tubuhnya yang sangat kurus sekali. Padahal pada waktu baru dibeli bulan lalu, jas itu sangat pas dan Gilang terlihat gagah sekali memakainya.

Assuuu. Rupanya tekad Gilang sangat besar, untuk menghadiri sidang yudisum hari ini. Senyum terlihat diwajahnya yang memucat dan dia terlihat sangat bersemangat sekali.

Terus kalau sudah begini bagaimana.? Apa aku akan memaksanya untuk tetap dikosan.? Tidak, tidak mungkin aku melakukan itu, karena itu pasti akan menyisakan kekecewaan yang mendalam bagi Gilang.

Jadi.? Ya mau tidak mau, aku akan berangkat bersama Gilang kekampus. Dia pasti akan bahagia dan semoga itu menjadikan semangat baru untuknya.

“Awakmu gak siap – siap Jok.?” (Kamu gak siap – siap Jok.?) Tanya Gilang.

“Yo.” Jawabku singkat, lalu aku berdiri dan berjalan ke arah kamarku sambil menahan rasa sakit ditelapak kakiku.

Aku lalu berganti pakaian dengan pakaian yang sama digunakan Gilang. Kemeja putih yang dilapisi jas berwarna hitam dan celana kain berwarna hitam.

Bercak darah dari telapak kakiku, terlihat dilantai kamarku dan aku tidak memperdulikannya. Akupun langsung mengambil sepatu dan kaos kakiku, lalu mengenakannya. Kaos kaki yang berwarna putih langsung memerah dibagian telapaknya, karena lukaku terus mengeluarkan darah.

Hiuuffftt, huuuu.

Tiba – tiba bau kembang melati memenuhi kamarku dan langsung membuat tubuhku merinding.

DAG, DAG, DUG, DAG, DUG, DAG.

Dadaku berdetak dengan cepat dan pikiran menjadi gelisah. Aku merasa ada sesosok makhluk yang hadir disekitarku, tapi makhluk itu tidak terlihat.

Aku memutarkan tubuhku kekanan dan kekiri. Aku melihat kebawah meja, atas lemari dan sudut – sudut kamarku, tapi tetap saja aku tidak menemukannya.

Aku membuka lemariku dan didalam sana hanya ada pakaianku yang terlipat.

DAG, DAG, DUG, DAG, DUG, DAG.

Dadaku berdetak semakin cepat dan aku merasa makhluk itu berada sangat dekat denganku.

Bajingan. Makhluk apa yang hadir dikosanku dan kenapa auranya semakin lama terasa semakin menyeramkan.?

Ooo. Kelihatannya ada yang mau main – main sama anak sumber banyu, bajingan. Kalau sampai makhluk itu berani macam – macam, apa lagi sampai mencederai salah satu penghuni kosan ini, akan aku bantai makhluk itu.

Aku gak perduli makhluk itu dari mana asalnya atau bagaimana bentuknya. Aku pasti akan memburunya, sampai keneraka sekalipun.

Aku lalu menutup kembali pintu lemariku dan betapa terkejutnya aku, ketika melihat bayangan seseorang dikaca yang menempel dipintu lemariku. Bayangan itu berdiri dibelakangku dan dia adalah Gilang, Gilang Adi Pratama.

Wajah sahabatku itu terlihat sangat pucat dan tidak ada ekspresi sama sekali yang diperlihatkannya. Gilang hanya menatapku lewat kaca dan aku belum membalikan tubuhku.

Aku terpaku menatap wajah sahabatku itu, karena dia tidak kurus dan seperti tidak menderita suatu penyakit. Walapun wajahnya memucat, wajahnya kembali seperti Gilang yang dulu.

DAG, DAG, DUG, DAG, DUG, DAG.

Dadaku berdetak semakin cepat dan perlahan aku membalikan tubuhku, untuk memastikannya secara langsung.

Dan ketika aku sudah membalikan tubuhku, sosok Gilang menghilang dan dia tidak ada dikamarku ini.

Djiancok. Apa benar tadi itu Gilang atau makhluk lain yang menyerupai Gilang.? Atau jangan – jangan itu hanya halusinasiku saja, karena pikiranku terlalu focus kepada dia.? Atau itu ruh Gilang dan dia datang ingin berpamitan denganku.?

Enggak, enggak. Aku gak boleh berpikiran seperti itu.

Aku lalu berjalan ke arah pintu kamarku dengan terburu – buru dan aku langsung membuka pintu kamarku.

Mas Jago dan Mas Candra terlihat sudah bersiap, karena mereka berdua mau menemani kami di sidang yudisium.

“Gilang mana Mas.?” Tanyaku karena pintu kamar Gilang tertutup.

“Kenapa kamu pucat Jok.?” Tanya Mas Candra.

“Gak apa – apa Mas, mana Gilang Mas.?” Tanyaku lagi.

“Itu diruang depan.” Mas Jago yang menjawab pertanyaanku, sambil menunjuk ke arah ruang depan. Mas Candra terus menatapku dan bingung melihat sikapku ini.

Aku lalu berjalan ke arah ruang depan dan kembali aku terkejut, ketika melihat sesosok makhluk berjubah hitam, berdiri dibelakang kursi tempat Gilang duduk bersama Ratna.

Makhluk itu terlihat menyeramkan dan auranya sangat mengerikan. Dia menggunakan jubah sampai menutup kepalanya dan wajahnya tidak terlihat. Tangan kirinya memegang senjata berbentuk celurit yang besar dan gagangnya panjang sampai menyentuh lantai. Telapak tangan kanannya berada diatas kepala Gilang dan seperti ingin menyedot sesuatu diubun – ubun kepala sahabatku itu.

Cok. Apakah makhluk itu malaikat pencabut nyawa.? Apakah dia sedang menjalankan tugasnya untuk membawa Gilang pergi .?

Jangan Tuhan, jangan. Aku mohon jangan ambil Gilang sekarang. Berikan dia kesempatan untuk meraih impiannya hari ini. Berikan dia kesempatan untuk menikmati kebahagiannya dengan keluarga yang baru dibinanya. Berikan dia kesempatan untuk mempunyai anak dan anaknya bisa melihat senyumannya. Aku mohon Tuhan, aku mohon.

Dan sebagai gantinya, ambil saja nyawaku ini Tuhan. Aku ikhlas dan aku rela dengan sepenuh hatiku.

Hidupku sudah tidak berarti lagi, seandainya Gilang Kau ambil sekarang Tuhan. Aku mohon Tuhan, aku mohon.

“Koen gak po – po ta cok.?” (Kamu gak apa – apa kah cok.?) Tanya Gilang yang mengejutkanku dan aku langsung melihat ke arahnya.

“Ha.? Aku ga po – po.” (Ha.? Aku gak apa – apa.) Jawabku, lalu aku melihat ke arah makhluk itu berdiri dan dia sudah menghilang.

Hiuufftt, huuuu.

Aku menarik nafas panjangku, lalu mengeluarkannya perlahan.

“Raimu kok pucet cok.?” (Wajahmu kok pucat cok.?) Tanya Gilang dengan suara yang pelan dan agak bergetar, lalu dia berdiri perlahan dan Ratna langsung membantunya.

“Mambengi mari lembur.” (Tadi malam habis lembur.) Jawabku singkat.

“Ooo. Yo wes lah, ayo budal. Engko telat loh.” (Ooo. Ya sudahlah, ayo berangkat. Nanti telat loh.) Ucap Gilang, lalu dia berjalan pelan dan Ratna langsung menggandengnya.

Terlihat jalannya tertatih dan dia berusaha untuk menguatkan langkahnya.

Akupun langsung berjalan cepat kesebelah kanannya, karena Ratna berjalan disebelah kirinya.

Sengaja aku disebelah kanannya, untuk jaga – jaga kalau tubuhnya tidak seimbang. Tapi sebenarnya bukan itu tujuan utamaku. Tujuanku itu untuk menjaga Gilang, kalau seandainya makhluk berjubah hitam tadi datang lagi.

Hiuufft, huuuu.

Kami bertiga terus berjalan ke arah mobil, yang sudah dipersiapkan Mas Jago dan juga Mas Candra didepan kosan.

“Kita foto – foto dulu.” Ucap Mas Jago sambil mengeluarkan tustel dari dalam tas kecil yang dibawanya.

Mas Jago akhir – akhir ini sering memfoto kegiatan kami. Mulai dari kegiatan penyusunan tugas akhir waktu dikosan, sidang judul dan juga sidang hasil dikampus waktu itu.

“Ayolah.” Jawab Mas Candra.

Kami berlima lalu berfoto didepan kosan, setelah itu kami semua bersiap masuk kedalam mobil.

Mas Candra membuka pintu mobil bagian tengah dan aku langsung membantu Gilang yang agak kesusahan naik kemobil. Dia aku posisikan duduk ditengah, Ratna duduk disebelah kirinya, sementara aku duduk disebelah kanannya.

“Maaf kalau Ratna gak bisa menahan Mas gilang untuk kekampus.” Bisik Ratna ketika aku akan masuk kedalam mobil dan Ratna masih berada diluar mobil.

Aku hanya mengangguk, sambil melihat ke arah Gilang yang duduk sambil menyandarkan kepala belakangnya disandaran kursi mobil.

“Mas. Ratna mohon Mas Joko tidak menampakkan wajah sedih ketika dihadapan Mas Gilang. Mas Gilang jadi merasa sangat bersalah sekali kalau seperti itu.” Bisik Ratna lagi dan aku langsung melihat ke arah Ratna.

Mata Ratna terlihat berkaca – kaca dan dia seperti sedang menahan tangisnya. Akupun langsung merasa bersalah kepadanya, karena aku tidak mampu menyembunyikan kesedihanku.

Aku sadar selama ini, kalau Ratna selalu menyembunyikan kesedihannya dan dia selalu berusaha tegar dihadapan Gilang.

Harus kuakui, kehadiran Ratna sangat penting dikehidupan Gilang. Dia menjadi penyemangat baru dan dia selalu tau apa yang dibutuhkan Gilang. Kehadiran Ratna dikosan inipun, juga tidak kalah penting. Kami semua jadi terbantu dalam segala hal. Memasak, bersih – bersih sampai merawat seorang Gilang, kami lakukan bersama – sama.

“Dibelakang mobil, ada kursi roda baru.” Bisik Mas Jago kepada kami berdua.

“Untuk apa Mas.?” Tanya Ratna dengan suara yang pelan.

“Siapa tau nanti dibutuhkan Gilang.” Jawab Mas Jago.

“Gak mungkin Gilang mau naik kursi roda Mas. Aku jamin itu.” Ucapku dan dari posisiku berdiri ini, terlihat Gilang sedang memejamkan kedua matanya. Dengkuran halusnya, mengisyratkan kalau dia sedang tertidur pulas.

Kondisinya saat ini membuatnya sulit sekali tertidur dimalam hari. Dan biasanya disiang hari, dia akan tertidur sendiri dengan berbagai posisi. Duduk diruang tamu, duduk di meja makan bahkan ketika buang air besar dikamar mandi.

“Gak apa – apa Mas. Untuk berjaga – jaga, apa salahnya. Terimakasih ya Mas Jago.” Ucap Ratna sambil melihat ke arahku, lalu melihat ke arah Mas Jago.

“Apasih Rat. Gitu aja pakai terimakasih.” Ucap Mas Jago, lalu dia berjalan ke arah pintu mobil sebelah kiri depan.

Ratna melihat ke arahku sebentar, lalu dia membalikan tubuhnya dan berjalan ke arah sebelah kiri juga.

Kami semua lalu naik kemobil dan mobil mulai berjalan pelan.

Kembali pikiranku terasa gelisah dan aku langsung melihat ke arah belakang mobil. Aku takut kalau makhluk berjubah hitam itu muncul tiba – tiba dari arah belakang kami.

“Kamu itu kenapa sih Jok.? Kok gelisah banget.?” Tanya Mas Jago pelan, karena takut membangunkan Gilang.

“Gak ada apa – apa Mas.” Jawabku dan Mas Candra yang sedang memegang setir, hanya melirikku dari spion tengah mobil.

“Aneh kamu itu.” Ucap Mas Jago dan kami semua langsung terdiam.

Gilang masih tertidur pulas dan perjalanan kami sudah sampai digerbang kampus teknik kita.

“Parkir dimana kita Jok.?” Tanya Mas Candra.

“Ya diparkiran mobil lah.” Jawab Mas Jago.

“Kejauhan kalau parkir disana Mas. Kita parkir dibelakang aula utama aja.” Jawabku, sambil menunjuk ke arah belakang aula utama.

“Apa gak tambah jauh, kalau mau masuk ke aula.?” Tanya Mas Candra, sambil mengarahkan mobil ke belakang aula.

“Kita gak usah lewat pintu depan. Kita lewat pintu belakang.” Jawabku dan beberapa saat kemudian, mobil sudah sampai dibelakang aula.

“Parkir disini.?” Tanya Mas Jago dan aku hanya mengangguk pelan.

“Kalau nanti ada yang marah bagaimana.?” Tanya Mas Jago lagi.

“Kuganjalkan kepalanya diban mobil ini.” Jawabku.

“Cok.” Maki Mas jago dan juga Mas Candra.

“Huaaaaa.” Gilang terbangun dari tidurnya, lalu melihat ke arah sekeliling.

“Dimana kita ini.?” Tanya Gilang dan wajahnya terlihat kebingungan.

“Guyon ae koen cok.” (Bercanda aja kamu cok.) Ucapku dan Gilang langsung melihat ke arahku.

“Klambimu koyok wong tenan ae cok.” (Pakaianmu kayak orang beneran aja cok.) Ucap Gilang dengan tatapan yang sangat heran kepadaku.

Aku yang melihat sikap aneh Gilang ini, langsung mengerutkan kedua alis mataku. Gilangpun langsung mengalihkan pandangannya ke arah Ratna yang duduk disebelah kirinya.

“Loh yang, kok sayang juga pakai pakaian seperti ini sih.?” Tanya Gilang.

“Sayang, kita kan mau menguikuti sidang yudisium hari ini.” Ucap Ratna sambil membelai pipi Gilang.

“Jangan bercanda ah yang. semalam kan aku baru ngerjain bab tiga tentang analisa pembebanan, kok sekarang sudah sidang yudisium aja sih.?” Ucap Gilang dan Ratna langsung melihat ke arahku sejenak, lalu melihat ke arah Gilang lagi.

“Yang. Masa aku kelihatan bercanda sih.” Ucap Ratna dan suaranya sangat lembut sekali.

“Dengarin ya yang. Masih banyak lagi tahapan yang harus aku lalui untuk ke sidang yudisium. Aku harus menyelesaikan bab tiga, terus bab empat tentang perencanaan pondasi, lanjut bab lima tentang kesimpulan dan saran. Setelah skripsiku jadi, aku harus sidang hasil dulu, baru bisa sidang yudisium. Gimana sih sayang ini.?” Ucap Gilang dengan seriusnya.

Ratna yang mendengarkan penjelasan Gilang ini, langsung terdiam dan tidak sanggup lagi mengucapkan sepatah katapun.

Cok. Apakah Gilang mulai hilang ingatan jangka pendeknya.? Kenapa bisa seperti itu.? Pertanda apakah ini.? Bajingan.

“Terus ini apa.?” Ucap Mas Jago sambil menyerahkan sebuah album foto kepada Gilang dan Gilang langsung menerimanya.

Gilang membuka album foto satu persatu dan matanya langsung terlihat berkaca – kaca. Difoto itu terlihat kegiatan kami selama dikosan dan juga kegiatan kami bertiga waktu mengikuti sidang hasil.

“Kok aku jadi pikun begini ya.?” Ucap Gilang dengan suara yang bergetar, sambil membersihkan air matanya yang sudah memenuhi kelopak matanya.

“Siapa bilang suamiku ini pikun.?” Tanya Ratna dan Gilang langsung melihat ke arah Ratna.

“Suamiku ini masih muda, masih tampan dan masih mengingat banyak hal. Suamiku ini hanya lelah dan suamiku ini laki – laki yang sangat luar biasa.” Ucap Ratna sambil membelai kedua pipi Gilang, lalu diakhiri dengan kecupan yang lembut dikening Gilang.

CUUPPP.

Aku, Mas Jago dan juga Mas Candra yang melihat pemandangan mengharukan itu, langsung memalingkan wajah dengan mata yang berkaca – kaca.

“Sekarang kita turun dari mobil dan masuk kedalam aula. Acara yudisiumnya sebentar lagi akan dimulai.” Terdengar suara Ratna dari arah sampingku dan kembali aku menoleh ke arah mereka berdua.

“Iya Lang. kita turun sekarang.” Ucapku sambil menepuk pundak Gilang pelan.

Gilangpun mengangguk dan aku langsung turun dari mobil. Aku lalu membantu Gilang turun dan Gilang berdiri dengan agak sempoyongan.

“Mau pakai kursi roda.?” Tanya Mas Jago.

“Untuk siapa.?” Gilang bertanya balik.

“Untuk kamu Lang.” Jawab Mas Jago.

“Memangnya aku kenapa Mas, kok harus pakai kursi roda.?” Tanya Gilang lagi dan Mas Jago hanya tersenyum mendengar jawaban Gilang.

“Ya sudah Mas, kita masuk sekarang yuk.” Ucap Ratna sambil menggenggam tangan kiri Gilang.

Kami berlima lalu berjalan ke arah pintu aula bagian belakang dan kami harus melewati beberapa anak tangga untuk masuk kedalam aula sana.

Dan ketika sampai di anak tangga pertama, Gilang langsung memegang erat tangan kanan Ratna menggunakan tangan kirinya, sementara tangan kanannya memegang pundak kiriku.

“Gilang Adi Pratama.” Panggil seseorang dari arah belakang kami dan kami semua langsung melihat ke arah suara itu.

Ternyata yang memanggil Gilang itu adalah Rendi dan dia datang bersama Mery.

“Rendi Van Gerrit.” Ucap Gilang lalu dia tersenyum ke arah Rendi sambil melepaskan pegangannya ditangan Ratna dan juga pundakku.

“Selamat ya. Akhirnya impianmu tercapai.” Ucap Rendi sambil menjulurkan tangan kanannya ke arah Gilang dan dari tatapan matanya, dia seperti sedang menahan kesedihan, melihat kondisi Gilang saat ini.

“Kamu gak ikut yudisium.?” Tanya Gilang sambil menjabat tangan Rendi.

“Cok.” Gumam Rendi lalu tiba – tiba dia memeluk Gilang dengan eratnya.

“Oh iya. Salam dari Mas Pandu, Mas Arief dan Mas Adam. Mereka bertiga tidak kesini, karena lagi diluar kota.” Ucap Rendi sambil melihat ke arah wajah Gilang, tapi tidak melepaskan pelukannya.

“Iya.” Jawab Gilang singkat, lalu dia tersenyum.

Ahhh. Kenapa harus membicarakan mereka bertiga sih.? Bikin suasana gak enak aja.

Jujur aku masih menyimpan dendam dengan ketiga orang itu, terutama kepada Mas Pandu. Kalau saja tidak ada Gilang dihari itu, mungkin aku akan berduel dengan Mas Pandu.

Aku sangat tidak suka sekali dengan sikapnya yang sok preman. Sudah banyak kejadian tentang kebringasannya yang aku dengar dan aku lihat sendiri. Dan yang terakhir tentu saja kasus Zaky.

Aku tau teman – teman Zaky salah, tapi Zaky sudah berjanji kepadaku kalau dia sendiri yang akan menghukum teman – temannya itu. Tapi Mas Pandu, Mas Arief dan Mas Adam malah menghajar Zaky beserta teman - temannya.

Aku tidak mempermasalahkan Mas Pandu membantai Teman – teman Zaky, yang aku permasalahkan itu kenapa Zaky dibantainya juga.? Padahal sudah sangat jelas sekali, kalau Zaky datang bersamaku dan itu berarti Zaky tidak terlibat dalam penculikan Gilang. Bajingan.

“Selamat Lang, selamat.” Ucap Rendi dengan suara yang bergetar dan matanya langsung berkaca – kaca, sambil memeluk lagi tubuh Gilang dengan erat.

“Kamu pasti bisa lulus juga Ren. Percaya sama aku.” Ucap Gilang sambil membalas pelukan Rendi.

“Tapi sebelum itu, selesaikan dulu tugasmu sebagai panglima pondok merah.” Ucap Gilang sambil mengelus punggung Rendi pelan.

“Kamu itu ngomong apa.?” Tanya Rendi sambil melepaskan pelukannya dan dia langsung menatap wajah Gilang.

“Ngomong yang memang harus aku omongin Ren.” Jawab Gilang, sambil menepuk pundak Rendi.

“Sudahlah, aku datang kemari karena aku kangen sama kamu.” Ucap Rendi, lalu dia mengalihkan pandangannya, karena mungkin dia tidak tega melihat tubuh kurus Gilang.

“Kalau kangen itu main kekosan.” Jawab Gilang dan Ratna langsung melihat ke arah Gilang.

Rendi melirik ke arah Ratna dan Mery yang ada disebelah Rendi, juga melirik ke arah Ratna sejenak. Dari tatapan mereka bertiga seperti menyimpan suatu permasalahan, tapi entah apa itu.

“Kita masuk yuk. Sebentar lagi acara yudisumnya mau dimulai loh.” Ucap Ratna sambil memegang tangan Gilang, lalu dia membalikan tubuhnya.

“Yang.” Ucap Gilang sambil menahan tangan Ratna.

Rendi dan Mery yang melihat hal itu hanya diam dan tidak mengucapkan sepatah katapun.

“Aku gak tau ada masalah apa dengan kalian, tapi aku mohon, bisakah aku melihat kalian berdamai hari ini.?” Ucap Gilang dan kami semua terkejut mendengar Gilang mengucapkan hal itu.

“Tidak ada masalah diantara kami Lang.” Ucap Rendi dan Gilang langsung melihat ke arah Rendi.

“Kalau tidak ada masalah, kenapa kalian berdua tidak masuk kerumah Pak Tomo, ketika aku dan Ratna menikah waktu itu.?” Tanya Gilang dengan suara yang pelan dan nafasnya agak berat.

Rendi, Ratna dan juga Mery langsung terkejut dan mereka bertiga saling memandang lagi.

“Terus kenapa juga kalian berdua tidak pernah datang kekosanku, selama Ratna menjadi istriku.?” Tanya Gilang lagi dan mereka bertiga langsung tertunduk.

“Aku tau kalian berdua ada didekat rumah Pak Tomo, ketika aku datang bersama keluargaku.” Ucap Gilang lagi.

“Awalnya aku tidak curiga, karena aku berpikir kalian tidak berani masuk tanpa undangan. Tapi setelah aku tau Papah Ratna bernama Van Gerrit dibelakangnya, kecurigaanku mulai timbul. Apalagi Ratna tidak mau membahas masalah hubungan persaudaraan diantara kalian.”

“Jujur selama ini aku sangat sedih, melihat kalian bertiga seperti tidak saling mengenal. Rendi dan Ratna hanya berbicara seperlunya, sedangkan Mery tidak sama sekali. Ada apa dengan kalian bertiga.? Didarah kalian sama – sama mengalir darah Van Gerrit dan kalian seperti tidak merasakan hal itu.” Ucap Gilang dan itu langsung mengejutkan aku.

Cok. Mery juga keturunan Van Gerrit.? Jadi dia itu adiknya Rendi dong.? Tapi kenapa mereka mengaku sebagai sepasang kekasih.? Arrgghh. Keluarga yang aneh.

“Ratna sekarang menjadi istriku dan kalian berdua menjadi keluargaku. Tapi keluarga yang seperti apa.?” Tanya Gilang dengan bergetar.

“Aku sangat sedih. Sedih sekali.” Ucap Gilang dan suaranya sekarang terdengar pelan.

Mery dan Ratna langsung mengangkat wajah mereka masing – masing, dengan diiringi tetesan air mata yang mengalir dipipi mereka. Sedangkan Rendi, Rendi hanya tetap menunduk.

“Maaf Mas.” Ucap Ratna dan Mery bersamaan.

“Kalian jangan meminta maaf kepadaku, tapi harusnya kalian berdua yang saling memaafkan.” Ucap Gilang dengan sedihnya.

Ratna dan Mery langsung saling melihat, dengan air mata yang semakin deras mengalir.

“Mba Ratna. Hiks, hiks, hiks.” Ucap Mery.

“Mey.” Ucap Ratna yang memanggil Mery dengan sebutan Mey.

Ratna langsung merentangkan tangannya ke arah Mery dan Mery langsung memeluk tubuh Ratna dengan eratnya.

“Hiks, hiks, hiks.” Tangis mereka bersahut – sahutan, ditengah pelukan yang mengharukan itu.

“Maaf Mba, maaf. Bukannya Mey merebut sayangnya Oma dari Mba Ratna waktu itu. Mey gak ada niatan seperti itu. Hiks, hiks, hiks.” Ucap Mery dan punggungnya langsung dibelai Rendi.

“Enggak Mey, enggak. Kamu gak salah. Harusnya aku yang meminta maaf, karena aku yang terlalu bodoh saat itu. Kamu yang baru saja kehilangan Om Jefry dan Tante Irene, memang seharusnya mendapatkan perhatian dan kasih sayang yang lebih dari Oma.”

“Tapi aku malah cemburu dan marah kepadamu. Hiks, hik,s hiks.” Ucap Ratna dan punggung Ratna dibelai oleh Gilang.

“Mba Ratna. Hiks, hiks, hiks.” Sahut Mery dengan tangisnya yang semakin menjadi.

Cok. Sebenarnya ada masalah apasih ini.? Kenapa masalah keluarga, jadi terbawa ke tempat ini.? Argghhh.

“Mer, Rat.” Ucap Rendi sambil mengelus punggung Mery dan Gilang hanya menatap kedua wanita itu.

Mery dan Ratna seperti tersadar dengan kondisi yang ada disektar mereka, dan mereka berdua langsung melepaskan pelukan mereka itu.

“Mas Gilang.” Ucap Mery dan Ratna bersamaan dan Gilang langsung merangkul mereka berdua bersamaan.

“Keluarga tetaplah keluarga. Apapun yang terjadi, jangan pernah memutuskan tali kekeluargaan.” Ucap Gilang sambil mengelus pundak kedua wanita itu.

Kedua wanita itu hanya mengangguk pelan dan mereka berdua seperti ingin meledakan tangis mereka lagi.

“Sudah – sudah. Sekarang waktunya kita masuk ke aula.” Ucapku agar kesedihan ini tidak berlarut lagi.

“Iya, masuklah dulu kedalam. kami akan menunggu disini.” Ucap Rendi yang seperti paham maksudku.

“Iya, kami juga akan menunggu disini.” Ucap Mas jago dan juga Mas Candra.

“Tunggu disini ya. jangan ada yang pulang, sebelum acara ini selesai.” Ucap Ratna dan Gilang langsung melepaskan rangkulannya kepada kedua wanita itu.

“I, I, iya Mba.” Jawab Mery terbata.

Kami bertiga langsung membalikan tubuh, dengan posisi aku dan Ratna mengapit Gilang ditengah.

Kembali Gilang memegang erat tangan kanan Ratna menggunakan tangan kirinya, sementara tangan kanannya memegang pundak kiriku.

“Hup.” Gilang menarik nafasnya, lalu dia mengangkat kaki kanannya dan menapakkannya di anak tangga.

“Hu, hu, hu, hu.” Nafasnya terdengar berat, seberat kakinya ketika diangkatnya tadi.

Gilang beristirahat sebentar, sambil mengangkat kaki kirinya yang masih berada dibawah.

“Mau kugendong.?” Tanyaku dan masih ada empat anak tangga lagi yang akan kami lewati.

“Koyo aku arek cilik ae. Hiuufft.” (Kaya aku anak kecil aja.) Jawab Gilang, lalu dia menarik nafasnya, setelah itu dia mengangkat kaki kanannya dan ditapakkan dianak tangga selanjutnya.

Akupun hanya menggelengkan kepala, melihat sikap keras kepala sahabatku ini.

Satu persatu anak tangga kami lewati dengan penuh kesabaran dan keringat Gilang sudah mengucur deras dikeningnya. Ratna pun langsung membersihkan keringat itu dengan sapu tangan yang dibawanya.

Dan ketika sudah sampai dipintu ruangan, dia menoleh ke arah orang – orang yang ada dibelakang kami. Gilang lalu tersenyum sambil melihat ke arah Rendi, Mery, Mas Jago dan juga Mas Candra. Senyum yang tidak seperti biasa dan itu seperti senyum perpisahan. Bajingan.

Kami lalu melanjutkan berjalan lagi dan kami harus melewati satu pintu lagi, untuk masuk ke aula utama.

Dan ketika sampai di aula utama, tampak ratusan mahasiswa teknik kita yang akan mengikuti yudisum, sudah duduk ditengah aula.

“Kelihatannya kita harus absen dipintu depan sana.” Ucap Ratna sambil menunjuk pintu depan aula, yang jaraknya lumayan jauh untuk seorang Gilang dalam kondisi seperti ini.

“Kamu aja yang absen, sekalian absenin Gilang juga. Biar aku yang antarkan Gilang ke kursinya.” Ucapku ke Ratna.

Sengaja aku mengucapkan itu, agar aku selalu berada didekat Gilang. Aku ingin menjaga Gilang dari mahkluk berjubah hitam tadi, kalau seandainya dia kembali.

“Iya deh. Ratna tinggal dulu ya Mas.” Pamit Ratna kepadaku dan juga Gilang.

“Sekalian absenin aku ya Rat.” Ucapku ketika Ratna akan melangkah.

“Memangnya bisa Mas.? Kita kan beda jurusan.” Ucap Ratna.

“Bisa. Kalau gak bisa, kubalik meja disana.” Jawabku dan Gilang hanya melihatku.

“Mas ini loh.” Ucap Ratna lalu dia berjalan ke arah meja didepan pintu aula sana.

Akupun melihat ke arah sekeliling ruangan dan aku baru tersadar, kalau semua peserta yudisum ini duduknya sesuai dengan nama yang menempel dikursi.

Cok. Berarti, duduk kami berjauhan dong.? Kalau nanti makhluk berjubah hitam itu datang lagi bagaimana.? Bajingan.

“Aku mau duduk Jok.” Ucap Gilang kepadaku.

“Oh iya. kita cari kursimu dulu.” Ucapku kepada Gilang dan kami berdua langsung melangkah ketengah ruangan.

Semua mata yang ada diruangan ini langsung tertuju ke arah kami. Sebagian kecil menatap kami cukup lama, dengan pandangan yang seperti mengasihani Gilang. Sebagian lainnya langsung memalingkan wajahnya dan seperti tidak tega melihat kondisi Gilang.

“Kursi Gilang disebelah situ.” Ucap seorang peserta sidang yudisum kepada kami..

“Oh iya Mas. Terimakasih.” Ucapku sambil berjalan ke arah kursi yang ditunjuknya.

Gilang langsung duduk dikursi yang ada tertera namanya, sedangkan kursi Ratna berada tepat didepan kursi Gilang. Dan sesuai nomor urut, Gilang mendapatkan kursi diurutan belakang.

Gilang tidak banyak bicara dan dia hanya menatap lurus, ke arah tulisan yang ada didepan dinding sana. Dan tulisan itu tentang acara kegiatan yudisium hari ini.

Ratna yang telah mengisi absen berjalan ke arah kami .

“Sudah Mas. tinggal aja ke kursi sampean.” Ucap Ratna kepadaku.

“Enggak ah. aku disini aja.” Jawabku sambil memperhatikan sekeliling, untuk melihat keadaan. Aku ingin memastikan kalau makhluk berjubah hitam itu tidak ada diruangan ini.

“Gak bisa begitu Mas. Sampean harus duduk dikursi sampean sendiri.” Ucap Ratna.

“Gak apa – apa.” Jawabku.

“Gak apa – apa bagaimana.? Tadi aja seharusnya aku gak bisa isi absen sampean dan Mas Gilang. Kalau Om Tomo tadi gak ada disitu, bisa – bisa sampean berdua dinyatakan gak hadir dan itu berarti sampean berdua gak lulus.” Ucap Ratna dan sebenarnya aku paham akan aturan itu.

“Terus Dimana Pak Tomo sekarang.?” Tanyaku.

“Pak Tomo gak masuk keruangan ini, karena mau rapat dengan Pak Rektor. Lagian yang mengumumkan kelulusan kita bukan Pak Tomo, tapi Pak Dekan.” Jawab Ratna.

“Cok.” Makiku pelan.

Padahal kalau ada Pak Tomo disini, aku bisa duduk didekat Gilang.

“Sudahlah Mas. Sampean kekursi sampean aja, kita kan masih disatu ruangan ini juga. Jadi kalau ada apa – apa, sampean bisa lihat.” Ucap Ratna dan aku langsung melihat ke arah Gilang yang tetap diam dari tadi. Kalau tadi dia menatap ke arah tulisan depan sana, sekarang dia terlihat melamun dan tatapan matanya terlihat kosong

“Sampean gak boleh keluar dari ruangan ini, sebelum acara sidang yudisum selesai. Dan pada saat nama sampean disebutkan, sampean harus berdiri. Kalau sampean tidak berdiri, sampean dinyatakan tidak hadir.” Ucap Ratna dan aku hanya menggelengkan kepalaku pelan.

Cok. aneh – aneh saja aturannya.

“Aku tinggal dulu ya Lang.” Pamitku kepada Gilang dan dia tetap diam, tidak menjawab pamitku.

Lalu dengan berat hati, akhirnya aku mencari kursi tempat aku duduk.

Beberapa saat kemudian, setelah aku mendapatkan kursiku, aku duduk sambil melihat ke arah Gilang. Jarak tempat dudukku dengan kursi Gilang, lumayan jauh. Kami terpisah sekitar delapan baris kursi.

Acara sidang yudisiumpun, akhirnya dimulai. Pandanganku tidak focus kedepan, tapi ke arah Gilang.

Satu persatu acara dimulai dan tiba saatnya diumumkan hasil sidang yudisium ini.

Satu persatu nama mahasiswa mulai disebutkan dan itu mulai dari jurusan teknik sipil.

Satu persatu mahasiswa yang namanya disebut, berdiri lalu setelah itu duduk kembali.

Giliran nama Ratna disebutkan dan Gilang yang ada dibelakangnya langsung tersenyum menatap istrinya yang sedang berdiri itu.

“Gilang Adi Pratama, judul skripsi Studi Perencanaan pondasi tiang pancang beton Hotel Sunan Kuning. Lulus dengan hasil sangat memuaskan.” Ucap Pak Dekan menyebut nama gilang, ketika Ratna sudah duduk kembali.

Gilang tetap duduk ditempatnya dan dia tidak bergerak. Tatapannya lurus kedepan dan sekarang tidak ada ekspresi sedikitpun yang terlihat diwajahnya.

Seluruh orang yang ada didalam ruangan ini menatap ke arah Gilang dan Gilang seperti tidak menyadari itu.

Pak Dekan tidak melanjutkan membaca nama – nama mahasiswa yang lain, tapi beliau melihat ke arah Gilang juga.

Aku langsung berdiri dan ketika akan melangkah ke arah Gilang, Ratna yang ada dihadapannya juga berdiri, lalu dia membalikan tubuhnya dan berjalan ke arah Gilang. Dia merangkul pundak Gilang, lalu membisikan sesuatu ditelinganya.

Perlahan Gilang mulai berdiri dan dibantu oleh Ratna. Akupun hanya diam terpaku, melihat sahabatku yang berdiri dengan sempoyongan dan tubuhnya dirangkul oleh Ratna.

Tubuhnya yang dulu gagah perkasa, sekarang terlihat seperti kakek – kakek tua yang renta. Sangat menyedihkan.

Prok, prok, prok, prok, prok, prok, prok.

Aku bertepuk tangan dengan suara yang pelan, karena aku salut dengan perjuangan dan pergorbanan Gilang, sampai dia bisa berdiri ditempat ini.

Aku yang mendampinginya mulai dari nol, sampai gelar sarjana bisa digenggamnya.

Aku yang menjadi saksi dengan mata kepalaku sendiri, bagaimana kerasnya perjuangan seorang Gilang dalam mengarungi kerasnya dunia.

Aku yang berjuang bersamanya mulai dari jalanan, sampai kebangku kuliahan.

Keringat dan darah dikeluarkannya selama perjalanan ini.

Cacian dan hinaan menjadi pelecut, asap knalpot dan suara deru mesin dijalanan menjadi penyemangat, gendang dan gitar sebagai kendaraan perjalanan, tangis dan tawa sebagai pelepas dahaga.

Dialah Gilang, Gilang Adi Pratama. Seseorang yang menjadi panutan bagi siapapun yang pernah mengenalnya dan seseorang yang bisa dijadikan teladan bagi yang sempat berkawan dengannya.

Dialah Gilang, Gilang Adi Pratama. Keras kepalanya sekeras aspal dijalanan, nekat dan tekatnya tak tertandingi, kemauannya kuat dan tidak bisa dipatahkan.

Dialah Gilang, Gilang Adi Pratama.

PROK, PROK, PROK, PROK, PROK, PROK, PROK.

Satu persatu peserta sidang yudisium ikut berdiri dan mereka semua bertepuk tangan dengan kerasnya.

“SEMONGKO.!!!” Teriakku dengan semangatnya, sambil mengepalkan tangan kiri keudara.

“SEMANGAT NGANTI BONGKO.!!!.” (Semangat sampai mampus.) sambut seluruh peserta dan tangan kiri mereka juga terkepal keudara.

Karena semua peserta berdiri, posisi Gilang pun tidak terlihat olehku.

PROK, PROK, PROK, PROK, PROK, PROK, PROK.

Tepuk tangan semakin riuh terdengar dan aku langsung memiringkan tubuhku, untuk melihat Gilang.

Ditengah suasana yang sangat ramai ini, sosok makhluk berjubah hitam itu tiba – tiba muncul dan dia berdiri dibelakang Gilang. Makhluk itu mengangkat telapak tangannya diatas kepala Gilang dan tubuh Gilang seperti akan terjatuh.

“GILANG.!!!” Teriakku dan aku langsung berlari ke arahnya.

PROK, PROK, PROK, PROK, PROK, PROK, PROK.

Tepuk tangan dari seluruh peserta tidak berhenti dan Ratna baru menyadari kalau Gilang akan roboh. Dipeluknya tubuh Gilang dengan wajah yang sangat panic dan aku itu membuat lariku semakin mengencang.

Aku langsung menangkap tubuh Gilang, ketika aku sudah berada didekatnya. Matanya terpejam dan nafasnya terdengar memberat.

“TANGIO COK. TANGIO.!!!” (Bangunlah cok, bangunlah.) Ucapku berteriak sambil menepuk pipinya agak keras dan kedua mata Gilang tetap tertutup.

Suasana ruangan ini langsung hening seketika dan yang terdengar hanya rintih tangisan Ratna yang sangat menyedihkan.

“GILANG, GILANG, GILAAANG.” Teriakku dengan emosinya.

Aku langsung membopong tubuh Gilang dengan kedua tanganku. Beberapa orang ingin membantu tapi aku langsung menolaknya, karena bagiku semakin banyak orang yang menggendong Gilang, maka itu akan memperlambat gerakanku.

Aku berlari ke arah pintu belakang aula dan Ratna mengikuti dibelakangku sambil terus menangis.

Rendi muncul dipintu belakang dan wajahnya terlihat tegang sekali.

“Mas Gilang. Hiks, hiks, hiks.” Mery menyambut dengan tangisannya, ketika melihat aku didepan pintu.

“Jangan ada yang ikut masuk.” Ucap Rendi kepada orang – orang yang ada dibelakangku, ketika aku dan Ratna sudah masuk kedalam ruang belakang ini.

Brak.

Rendi menutup pintu dan bertepatan dengan mata Gilang yang terbuka perlahan.

“Jo, Jo, Joko.” Ucap Gilang terbata dan itu membuatku sedikit lega.

“Jangan banyak bicara kamu cok. Kita kerumah sakit sekarang.” Ucapku dan Aku langsung menghentikan langkahku, sambil membenarkan posisi Gilang yang aku bopong dengan kedua tanganku.

“A, a, aku mau duduk sebentar.” Ucapnya dengan tatapan yang memalas dan wajah yang sangat pucat sekali.

“Tapi.” Ucapku terpotong.

“Jok.” Ucap Gilang dan tatapan matanya, membuatku tidak bisa menolak permintaannya.

Aku langsung mendudukan Gilang dikursi dan Ratna langsung berdiri disebelah Gilang, sambil memegang pundaknya. Mery terus menangis, sementara Rendi, Mas Jago dan Mas Candra, hanya melihat Gilang dengan mata yang berkaca – kaca.

Gilang menyandarkan punggungnya dikursi, lalu dia mendangakkan kepalanya.

Dadanya bergetar, tarikan nafasnya sangat dalam dan wajahnya semakin memucat. Lalu tiba – tiba.

“HUEKKKK.” Darah kental berwarna merah kehitaman dan gumpalan seperti daging yang berwarna hitam, menyembur dari mulutnya.

“GILANG.!!!” Teriakku, Rendi, Mas Jago dan juga Mas Candra.

“MASSS.!!!” Ratna dan Mery berteriak dengan histerisnya.

“Hu, hu, hu, hu.” Nafas Gilang memberat dan perlahan dia membungkukan tubuhnya, sambil menundukan kepalanya.

Aku langsung mengarahkan tangan kiriku dibagian bawah pahanya dan tangan kananku punggungnya. Aku ingin membopongnya dan segera membawa Gilang kerumah sakit.

Tangan kanan Gilang langsung menahanku dan dia menggelengkan kepalanya pelan sambil tetap menunduk. Darah terus menetes dari mulutnya dan nafasnya semakin memberat.

“Ayo kita kerumah sakit Mas, hiks, hiks, hiks hiks.” Ucap Ratna sambil membungkukan tubuhnya disebelah kanan Gilang.

“Mas. Kerumah sakit ya.” Ucap Mery yang juga merayu Gilang dan dia membungkukan tubuhnya dihadapan Gilang.

Gilang mengangkat wajahnya pelan dan terlihat wajah Mery dihadapannya.

“Hu,hu, hu, hu.” Nafasnya terdengar serak dan jujur aku sangat ngilu mendengarnya.

“Ka, ka, kamu siapa.?” Tanya Gilang ke Mery dengan suara pelan dan berat sekali.

Mery terkejut mendengar pertanyaan Gilang itu dan dia langsung menutup mulutnya dengan telapak tangannya.

“Gilang.” Ucap Rendi dengan suara yang bergetar dan Gilang langsung melihat ke arah Rendi.

“Kamu juga siapa.?” Tanya Gilang dan Rendi langsung menelan air liurnya dengan sangat berat sekali.

“Glek.”

Mery dan Rendi sama – sama tidak menjawab pertanyaan Gilang. Mereka berdua terlihat sangat terpukul dan sangat sedih sekali.

“Hu, hu, hu. Mereka ini siapa Jok.? Hu, hu, hu.” Tanya Gilang kepadaku.

Aku langsung melihat ke arah Mery dan Rendi bergantian, setelah itu aku melihat ke arah Gilang.

“Hu, hu, hu. Kenapa mereka seperti mengenalku dekat sekali.? Hu, hu, hu.” Tanya Gilang lagi. Lalu,

“HUEKKKK.” Gilang memuntahkan darah kental berwarna agak kehitaman lagi.

“Gilang.” Ucapku dan tanpa banyak bicara lagi, aku langsung menggotongnya tanpa persetujuan dia lagi.

“Hup.” Aku menahan nafasku, ketika mengangkat tubuh Gilang.

“Mas Candra. Siapkan mobilnya.” Ucapku dengan paniknya.

“I, I, iya.” Jawab Mas Candra, lalu keluar dari ruangan ini.

Mas Jago langsung berjaga didepan pintu dan aku melangkahkan kakiku dengan cepat.

“Kami mengikuti dibelakang mobilmu.” Ucap Rendi dan aku tidak menyahutnya, karena aku berkonsentrasi dengan anak tangga yang aku turuni.

Mas Candra membuka pintu mobil dan aku langsung mendudukan Gilang dibagian tengah seperti tadi.

“Hu, hu, hu.” Nafas Gilang agak cepat dan aku langsung menutup pintu mobil.

Gilang menyandarkan kepalanya lagi dikursi mobil, dengan mata yang berusaha tetap dibukanya.

“Terus kita harus kemana ini Lang.?” Tanya Mas Candra yang terlihat kebingungan dan mesin mobil sudah menyala.

“Kita kerumah sakit.” Jawabku sambil melihat ke arah Ratna dan Ratna menganggukan kepalanya pelan, sambil menyeka air matanya.

Mas Candra langsung menjalankan Mobilnya menuju gerbang kampus teknik kita.

“Jok. Hu, hu, hu.” Ucap Gilang sambil mendangakan kepalanya dan dia tidak melihat ke arahku.

“Kenapa Lang.?” Tanyaku sambil mendekatkan wajahku ke arahnya.

“Ah, ah. ah. Aku mau pulang Jok, aku mau pulang.” Racau Gilang dan matanya merem melek.

Cok. Kenapa kata ‘pulang’ yang diucapkan Gilang, terdengar agak berbeda ya.? Apa jangan – jangan maksudnya Gilang ini, pulang ke alam kebadian.? Bajingan.

“Iya, nanti kita pulang kerumahmu. Tapi kita kerumah sakit dulu.” Ucapku sambil menatap ke arah Ratna dan dia seperti mengerti apa yang diucapkan Gilang tadi.

“Enggak Jok. Ah, ah, ah. Aku mau pulang sekarang, aku capek.” Ucap Gilang dan Ratna langsung menggelengkan kepalanya, sambil menitikkan air matanya lagi.

“Iya. kita nanti pasti kerumahmu. Tapi kita kerumah sakit dulu ya.” Ucapku.

“Hiuufft, huuuu.” Gilang menarik nafasnya agak panjang, lalu mengeluarkannya perlahan.

“Jok. Aku sudah capek banget dan aku mau langsung kerumahku.” Ucap Gilang.

“Bertahanlah Mas, bertahanlah. Mas pasti kuat demi calon bayi kita ini. Hiks, hiks, hiks.” Ucap Ratna sambil memegang punggung tangan kiri Gilang dengan tangan kanannya, sementara tangan kirinya mengusap perutnya sendiri.

Akupun langsung terkejut dan aku melihat ke arah Ratna.

CITTTT.

Mas Candra menghentikan mobilnya dipinggir jalan, lalu dia dan Mas Jago menoleh ke arah Ratna dengan air mata yang mulai jatuh dipipi mereka.

“Ka, ka, kamu hamil Rat.?” Tanyaku terbata dan Ratna hanya mengangguk pelan.

Tes, tes, tes, tes.

Butiran air mataku langsung turun dengan bangsatnya dan aku langsung menarik nafasku dengan tubuh yang bergetar.

Entah aku harus sedih atau bahagia dengan keadaan yang sangat menjacokan ini.

Gilang terlihat sedang sekarat, tapi dilain pihak dia akan mempunyai anak dari Ratna. Gilang terlihat sudah lelah dan dia akan menyerah, tapi dilain pihak ada kehidupan baru diperut Ratna. Gilang seperti sedang menanti ajalnya, sementara ada nyawa yang sudah siap ditiupkan dirahim Ratna.

Bagaimana bisa semesta berbuat seperti ini.? Bagaimana.? Bajingan.

“Ka, kamu siapa.?” Tanya Gilang sambil menoleh ke Ratna dan itu membuat air mataku semakin deras mengalir.

“Ma, Ma, Mas Gilang.” Ucap Ratna terbata dan dia seperti tidak percaya dengan apa yang diucapkan Gilang barusan.

“Maaf Mba, saya gak kenal Mba.” Ucap Gilang sambil menggeser tangan kirinya yang dipegang oleh Ratna.

Ratna langsung menarik tangan kanannya dan mengepalkan didada, dengan diiringi deraian air matanya.

Gilang langsung menegakkan tubuhnya, lalu melihat ke arah Mas Jago dan juga Mas Candra.

“Huuuuuu.” Gilang menghela nafas panjangnya.

“Mohon maaf Mas. bisa antarkan saya ke Desa Sumber Banyu.?” Tanya Gilang.

“I, I, iya Lang.” jawab Mas Candra terbata.

“Mohon maaf sekali lagi. Saya juga gak kenal dengan Mas berdua, tapi saya sudah berani merepotkan. Saya tidak bisa membalas kebaikan Mas berdua dan saya hanya bisa mendoakan, semoga Mas berdua selalu dalam lindunganNya.” Ucap Gilang dengan suara yang pelan.

Mas Candra dan Mas Jago langsung menoleh ke arah depan, sambil menghapus air matanya. Mereka berdua seperti tidak tega melihat perubahan Gilang yang sedrastis ini.

“Jok.” Panggil Mas Candra, tapi tidak menoleh ke arahku.

Aku lalu menoleh ke arah Ratna dan dia hanya mengangguk pelan.

“Kita ke Desa Sumber Banyu Mas.” Ucapku dan Mas Candra langsung menjalankan mobilnya.

Gilang kembali menyandarkan punggungnya dikursi mobil dan suasana langsung hening seketika. Kami semua diam dan larut dengan kesedihan masing – masing.

Mas Jago tiba – tiba menyalakan radio ditape mobil dan langsung terdengar sebuah lagu yang membuat kami semua merinding.





“Impian yang paling terindah itu, bisa pulang kerumah dan meluapkan kerinduan yang terpendam.” Gumam Gilang pelan, sambil memejamkan kedua matanya.

“Jangan pernah takut untuk pulang kerumah, karena disitulah tujuan akhir kaki melangkah.” Gumam Gilang lagi dan kami semua hanya terdiam mendengarnya

“Seindah apapun kehidupan diluar sana, hanya rumah tempat yang paling nyaman untuk beristirahat.” Ucap Gilang lagi dan entah pada siapa dia berbicara seperti itu.

“Hiuffttt, huuuu.” Nafasnya terdengar parau, lalu diam dan tidak bersuara lagi.

Aku dan Ratna langsung melihat ke arah Gilang. Dadanya terlihat naik turun, hembusan nafasnya pelan, dengkurannya halus dan dia terlihat tertidur dengan pulas.

Aku tidak sanggup lagi mengungkapkan bagaimana suasana sedih didalam mobil ini dan sudah berapa banyak air mata yang tertumpah. Aku hanya bisa diam dan merenungi nasibku yang sangat menyedihkan ini.

Mobil melaju keluar dari jalan tol dan sebentar lagi akan memasuki perbatasan kotaku.

“Sebelum pulang kerumah, aku mau mandi dulu disungai.” Gumam Gilang dan Mas Candra langsung melihat ke arah spion.

Aku pun mengangguk pelan dan Mas Candra melihat ke arah depan lagi.

Setelah beberapa jam perjalanan yang sangat menguras emosi ini, akhirnya mobil kami sudah memasuki Desa Sumber Banyu. Mobil inipun tidak mengarah ke rumah Gilang, melainkan ke sungai yang ada dipinggiran desa.

Dan setelah mobil sampai di jalan masuk ke arah sungai, Gilang masih tertidur pulas. Mobil diparkirkan dipinggir jalan dan kami tidak ada yang berani membangunkan Gilang.

“Rat.” Panggilku ke Ratna.

“Ya Mas.” Jawab Ratna dan matanya terlihat bengkak, karena terlalu banyak air mata yang dikeluarkannya.

“Kalau aku kesungai bersama Gilang, tolong kamu panggil Bapak dan Ibu dirumah ya.” Ucapku.

“Tapi Mas.” Ucap Ratna terpotong, karena Gilang menarik nafasnya dalam – dalam.

“Kelihatannya Gilang sudah hilang ingatannya, untuk beberapa tahun terakhir. Dia tidak mengenalmu, Mas Candra dan juga Mas Jago. Jadi kalau dia bangun nanti, dia pasti hanya ingin berdua saja denganku kesungai sana.” Ucapku dan Ratna langsung melihat ke arah Gilang, sambil membelai pipi suaminya yang sudah tidak mengenalnya itu.

“Baiklah Mas.” Jawab Ratna dengan pasrahnya.

Kami semua lalu terdiam lagi dan menunggu Gilang terbangun.

“Aku adalah aku dan aku bukan siapa – siapa.” Gumam Gilang dan matanya tetap terpejam.

“Aku bukan setitik embun dipagi hari, apalagi rintik hujan yang membasahi bumi.”

“Aku adalah aku dan aku bukan siapa – siapa.”

“Aku bukan sebuah cerita, apalagi sejarah dikehidupan dunia yang fana.”

“Aku adalah aku dan aku bukan siapa – siapa. Huuuu.” Racau Gilang dan diakhiri dengan hembusan nafasnya yang agak panjang.

Kami berempat hanya melihat kearah wajah Gilang, lalu saling memandang.

Hiuuffft, huuuu.

Setelah hampir dua jam kami menunggu dan matahari sudah condong ke barat, akhirnya Gilang terbangun.

Gilang lalu melihat ke arah kami berempat bergantian, dengan wajah yang terlihat bingung.

“Jok. Dimana kita ini.? Terus siapa mereka.?” Tanya Gilang sambil melihat ke arah Ratna, Mas Candra dan Mas jago.

“Kita sudah didekat sungai desa kita.” Jawabku dan aku tidak menjawab pertanyaannya, tentang Ratna, Mas Candra dan juga Mas Jago.

“Ooo. Dapat berapa tadi mengamennya.?” Tanya Gilang dan aku langsung menarik nafasku dalam – dalam.

“Lumayan.” Jawabku sekenanya.

“Bisa buat bayar SPP sekolah kita.?” Tanya Gilang yang ngelantur entah kemana.

“Bi, bi, bisa.” Jawabku.

“Ini sudah sore ya.?” Tanya Gilang sambil melirik ke arah jendela kaca disebelah kananku yang sengaja aku buka dari tadi.

“Iya.” Jawabku singkat.

“Cok. Aku belum cari rumput untuk makan sapinya Pak Nyoto.” Ucap Gilang sambil menegakkan tubuhnya.

“Iya nanti kita cari sama – sama.” Jawabku.

“Ya sudah. Kalau begitu kita kesungai aja dulu.” Ucap Gilang lalu melihat ke arah Mas Jago, Mas Candra dan juga Ratna.

“Mereka ini siapa ya Jok.? Kok mereka ada didesa kita.?” Tanya Gilang.

“Sudah, gak usah dibahas. Sekarang kita kesungai aja.” Ucapku.

“Oh iya, kita mau kesungai ya.” Ucap Gilang.

Akupun langsung mengangguk, setelah itu aku membuka pintu mobil. Aku turun terlebih dahulu, setelah itu aku membantu Gilang untuk keluar.

Gilang terlihat sangat lemas sekali, sehinga agak kesulitan untuk keluar dari mobil. Aku lalu memposisikan Gilang duduk dipinggir kursi mobil, dengan kakinya menjuntai ke arah luar.

“Kamu kugendong aja.” Ucapku sambil memunggungi Gilang dan aku langsung membungkukan tubuhku.

Gilang menganggukan kepalanya, setelah itu dia merangkul leherku dari belakang. Aku lalu mengapitkan kedua pahanya dengan kedua lenganku, setelah itu aku berdiri perlahan.

“HUP, UHHH.” Ucapku dan sekarang aku sudah berdiri tegak.

Ratna, Mas Jago dan Mas Candra yang berada didalam mobil, hanya diam sambil menyeka air mata mereka masing – masing.

Akupun langsung berjalan sambil menguatkan pegangan tanganku dipaha Gilang.

Dada Gilang menempel erat dipunggungku dan itu membuat aku merasakan detak jantung Gilang yang sangat terasa sekali.

“Huuuu.” Hembusan nafas Gilang terasa didekat telingaku, karena dagunya sekarang berada dipundakku.

“Kalau sudah lulus STM nanti, kamu mau lanjut kemana Jok.?” Tanya Gilang kepadaku, ketika langkahku sudah sampai dijalan setepak dipinggiran sawah yang menguning.

“Ngarit.” (Cari rumput.) Jawabku singkat, dengan suara yang bergetar.

“Kamu gak mau ikut aku ke Kota Pendidikan.?” Tanya Gilang dan itu langsung membuat mataku berkaca – kaca.

“Aku jaga kandang aja. Kalau kita berdua pergi dari desa ini barengan, siapa yang jaga Desa Sumber Banyu.” Jawabku dan jawaban ini pernah aku ucapkan kepada Gilang, ketika dulu dia mengajakku ke Kota Pendidikan.

“Kamu tega ya, kalau aku sendirian di Kota Pendidikan.?” Tanya Gilang dan bertepatan kami sudah sampai didekat sungai.

Aku lalu berdiri didekat batu yang biasa tempat kami bersantai dan aku tetap menggendong Gilang, sambil menatap ke arah sungai.

Tes, tes, tes, tes.

Air mataku kembali menetes dengan bangsatnya, karena aku mengingat masa – masa indah dulu, ketika kami berdua bermain dan berenang disungai ini.

Seandainya waktu bisa berputar kembali, aku akan menolak ajakan Gilang untuk kuliah ke Kota Pendidikan. Bukan hanya menolak, tapi aku juga akan melarangnya pergi, apapun yang akan terjadi.

Kalau seandainya hari itu kami tidak berangkat, mungkin kejadian - kejadian yang sangat membangsatkan didalam hidupku tidak akan terjadi.

Aku tidak akan kehilangan orang tuaku, aku tidak akan mengenal serta jatuh cinta pada Denok, dan yang paling aku harapkan lagi, Gilang tidak akan menderita penyakit yang sangat parah ini.

Hidupku mungkin akan lebih damai di desa ini dan aku tidak akan menghadapi masalah – masalah yang sangat menggathelkan ini.

Walaupun dengan uang yang sedikit hasil dari mengamen, aku dan Gilang pasti masih bisa tertawa lepas.

Percuma banyak uang, tapi kami tidak bisa berbahagia dan hidup dengan tenang.

Kalau seandainya waktu bisa berputar, Aku akan sangat berbahagia sekali.

“Bukan aku yang tega membiarkanmu ke Kota pendidikan, tapi kamu yang tega meninggalkan aku sendirian disini.” Ucapku dengan linangan air mataku yang terus mengalir.

“Kalau begitu kamu ikut aku aja, bagaimana.?” Ucap Gilang dan aku langsung menurunkan dia diatas batu yang ada didekatku.

Aku lalu membersihkan air mataku yang menetes dipipi, setelah itu aku membalikan tubuhku dan melihat ke arah Gilang.

“Tapi kamu gak usah ikut deh. Kalau kamu ikut aku, gak ada yang jaga Desa Sumber Banyu.” Ucap Gilang sambil membuka sepatu yang dipakainya, lalu dilanjut dengan melepaskan jas yang dikenakannya.

“Hiuffttt, huuuu.” Aku menarik nafas panjangku, lalu aku mengeluarkannya perlahan.

Aku lalu duduk dibatu yang ada dibelahku, setelah itu aku membuka sepatuku juga.

Kaos kakiku yang putih ini, tampak terlihat berwarna merah kecoklatan. Darah yang keluar dari telapak kakiku itu terlihat mulai mengering, tapi lukaku masih sangat basah.

Aku lalu membuka jas yang kupakai, setelah itu aku juga melepaskan kemeja serta celana hitam yang melekat ditubuhku, sampai meninggalkan celana dalamku saja.

Aku lalu berjalan ke arah Gilang dan telapak kakiku terasa sangat perih, karena tanah yang kupijak ini ada yang masuk kedalam luka ditelapak kakiku. Aku tidak menghiraukan rasa sakit dikakiku, karena rasa sedih dihatiku terasa lebih menyakitkan.

Aku buka kancing kemeja Gilang satu persatu, setelah itu aku melepaskannya. Aku lalu menurunkan celana hitamnya, sampai menyisakan celana dalamnya.

Air mataku kembali menetes, setelah aku melihat tubuh kurus Gilang dari dekat. Seluruh tulang – tulangnya hanya ditutupi kulit tubuhnya yang mulai keriput. Tubuhnya tidak setegap dulu dan ototnya tidak sekekar waktu itu.

Aku lalu menunduk agar Gilang tidak melihat tangisku ini.

“Kenapa kita pakai pakaian ini ya Jok.? Seperti orang kaya aja kita pakai jas.” Ucap Gilang.

“Kita habis ikut karnaval, hari jadi kota kita.” Jawabku sambil membersihkan air mataku, lalu aku berdiri dan duduk disebelahnya.

“Oooo.” Ucap Gilang sambil menganggukan kepalanya.

“Kita mandi yo.” Ucap Gilang lagi.

“Ayo.” Ucapku dan aku langsung berdiri, sambil memapah tubuh kurus Gilang.

Kami berdua masuk kedalam sungai dan rasa perih dari luka dikakiku, semakin terasa karena tersentuh oleh air.

Gilang yang aku papah ini langsung berendam didalam sungai dan aku tidak melepaskan rangkulanku.

Kami berdua mandi bersama tapi tidak lama, karena sebentar lagi matahari akan terbenam.

“Itu sapi siapa ya.?” Tanya Gilang sambil menujuk ke arah puluhan sapi yang berada tidak jauh dari kami.

“Itu sapi mbahku.” Jawabku.

Sebenarnya seluruh sapi itu milikku dan aku baru membelinya sebanyak dua puluh ekor, untuk menggantikan sapi Mbahku, yang aku jual untuk mendaftar kuliah waktu itu.

Sapi – sapi itu rencananya akan aku serahkan kepada Mbahku, ketika aku selesai wisuda nanti. Dan rencananya lagi, aku akan mengajak Gilang untuk menyaksikannya. Tapi entah niatku itu terwujud atau tidak, karena kondisi Gilang yang sudah sangat lemah ini.

“Percaya aku Jok. Mbahmu kan memang juragan sapi yang paling kaya di desa ini.” Ucap Gilang dan aku langsung membantunya memakai pakaiannya.

Setelah Gilang selesai memakai pakaiannya, akupun mengenakan pakaianku.

“Jok.” Panggil Gilang ketika aku sudah memakai pakaianku.

“Apa.?” Tanyaku sambil membalikan tubuhku, lalu menghadap kearahnya.

Gilang langsung tersenyum kepadaku dan senyumannya membuat seluruh tubuhku merinding.

“Aku pulang ya.” Ucap Gilang sambil merapikan rambutnya yang basah, dengan jari – jarinya yang tertekuk.

Aku langsung ketakutan, melihat sikap Gilang yang sangat aneh ini.

“Pu, pu, pulang kemana.?” Tanyaku terbata.

“Hiuufffttt, huuuuu.” Gilang menarik nafasnya dengan sangat berat sekali, lalu mengeluarkannya perlahan.

“Kerumah.” Jawab Gilang, sambil meremas dada bagian kirinya.

“Aku antarkan sekarang.” Ucapku dengan paniknya dan Gilang langsung menggelengkan kepalanya pelan.

Tiba – tiba dari arah belakang Gilang, sebuah tangan terlihat berada diatas kepalanya. Pandanganku terhalang oleh wajah Gilang, sehingga aku tidak tau siapa yang ada dibelakangnya.

Perlahan aku memiringkan kepalaku kearah kanan, untuk melihat pemilik tangan itu.

DAG, DUG, DAG, DUG, DAG, DUG.

Bunyi jantungku yang berdetak cepat, ketika aku melihat sosok dibelakang Gilang,

Sosok yang membuatku sangat ketakutan dan kehadirannya sangat tidak aku harapkan. Makhluk berjubah hitam. Makhluk itu ternyata datang lagi dan langsung membuat seluruh tubuhku merinding dibuatnya.

“Ka, ka, kamu.” Ucapku terbata dan tubuhku menjadi kaku seketika.

Aku ingin menggendong tubuh Gilang lagi dan aku ingin membawanya lari menjuah dari makhluk keparat ini, Tapi kedua tanganku tidak bisa aku gerakkan dan kedua kakipun tidak bisa aku langkahkan.

Aku lalu melihat ke arah Gilang dan kembali dia tersenyum kepadaku.

Tangan makhluk itu perlahan menempel dikepala Gilang bagian atas, lalu melakukan gerakan seperti meremas sesuatu, setelah itu dia menariknya keatas dengan cepat.

WUUTT.

“Ibu.” Ucap Gilang dan matanya langsung melotot, setelah itu tubuhnya lunglai dan roboh ke arahku, bersamaan dengan hilangnya makhluk berjubah hitam tadi.

“GILANGGG.” Teriak beberapa orang dari arah belakangku.

Kedua tangan ku tiba – tiba bisa aku gerakan dan aku langsung memeluk tubuh Gilang, dengan tatapan mata yang kosong.

Mulutku tidak bisa mengucapkan sepatah katapun dan aku hanya terdiam sambil memeluk tubuh Gilang yang sudah tidak bergerak lagi.

Beberapa orang langsung berdiri mengelilingi aku, dengan tangis yang sangat histeris. Mereka semua memegang tubuh Gilang dan melepaskan dari pelukanku.

Aku tetap terdiam sambil terus menatap ke arah Gilang, yang sekarang sudah terbujur dipangkaun Ibunya.

Cok. Apa yang sedang terjadi ini.? Apa penyakit Gilang kambuh dan dia tidak sadarkan diri.? Tapi kenapa semua orang histeris seperti ini.? Apa jangan – jangan Gilang sudah pergi selamanya.? Tapi kenapa aku tidak meneteskan air mata lagi dan tidak sehisteris orang - orang yang ada disekelilingku.? Ada apa denganku ini.? Apa aku benar – benar sudah ikhlas dengan kepergian Gilang, sampai air mataku tidak keluar walau setetes.? Atau jangan – jangan sekarang aku sudah mati rasa dan aku sudah tidak memiliki perasaan sedikitpun.?

Pandanganku langsung tertuju kepada Gilang yang berada dipangkuan Ibunya. Wajahnya terlihat segar dan tidak selesu tadi. Sahabatku itu seperti sedang tertidur dengan nyenyak dan bibirnya terlihat tersenyum.

“Gilang. Hiks, hiks, hiks.” Ibunya Gilang menangis sambil membelai rambut putra kesayangannya itu, sedangkan Bapaknya hanya menatapnya dengan mata yang berkaca – kaca.

“MAS GILANG. HIKS, HIKS, HIKS.” Teriak Lintang dan Damar dengan kencangnya.

“HIKS, HIKS, HIKS.” Ratna menangis, lalu tiba – tiba dia roboh dan tidak sadarkan diri. Mas Jago dan Mas Candra yang ada didekat Ratna, langsung menangkap tubuh Ratna.

Mery dan Rendy yang juga hadir ditempat ini, berpelukan dengan tangis kesedihannya. Sedangkan aku, aku tetap berdiri mematung. Perlahan pandanganku mengarah kepada matahari yang mulai terbenam dan langit yang perlahan mulai gelap.

Jiwaku ikut terbenam, bersama hilangnya senja. Hatiku perlahan mati, bersama perginya Gilang. Hidupku sekarang gelap, seperti malam tanpa bintang dan rembulan.

Kalau sudah begini, untuk apa aku hidup.? Mau aku apakan impian yang sudah kuperjuangkan bersama Gilang.? Apakah impian yang sudah aku genggam ini bisa membanggakan mereka – mereka yang sudah tidak ada.? Terus apa untungnya bagiku kalau mereka bangga.? Apa aku bisa bahagia.? Tidak, aku tidak akan bisa bahagia. Aku tidak butuh semua itu dan aku sudah tidak memiliki tujuan hidup.

CLAP, CLAP, CLAP.

Kilatan petir tiba – tiba terlihat dari langit yang gelap diatas hutan terlarang dan aku langsung menoleh kearah sana.

“Datanglah kemari anakku, datanglah kemari. Disinilah rumahmu dan kamu akan menemukan apa yang kamu cari.” Terdengar bisikan suara dari arah hutan terlarang dan aku langsung menegakkan pandanganku, serta membusungkan dadaku.

Hiufft, huuuu.



Pop Orang Ketiga.

Tujuh tahun kemudian.

Seorang anak kecil duduk diantara dua makam yang berdampingan. Anak kecil itu berdoa dengan sangat khidmat dan wajah lugunya terlihat sangat tenang sekali. Mulutnya bergumam memanjatkan do’a, sambil melihat ke arah salah satu batu nisan.

Dibelakang anak itu berdiri seorang laki – laki setengah baya dan memperhatikan anak kecil itu dengan seksama.

Beberapa saat kemudian, anak kecil itu mengelus dua batu nisan bergantian, lalu dia berdiri perlahan dan membalikan tubuhnya pelan.

“Opah, Abimanyu anak pintarkan.?” Tanya anak kecil yang bernama Abimanyu dan laki – laki itu hanya mengangguk pelan.

“Abimanyu gak cengengkan.?” Tanya Abimanyu lagi dan kembali laki – laki itu menganggukan kepalanya.

Abimanyu mendekat ke arah laki – laki setengah baya itu dan laki – laki itupun langsung berlutut. Dipeluknya tubuh mungil Abimanyu dan Abimanyu membalasnya dengan pelukan yang sangat erat.

Dada Abimanyu bergetar hebat dan kelopak matanya sudah dipenuhi air mata yang siap tertumpah. Tapi anak itu berusaha agar air matanya tidak keluar walau setetes.

“Abimanyu anak hebat, Abimanyu anak pintar, Abimanyu anak kuat.” Ucap Laki – laki setengah baya itu dan dibalik kacamata hitam yang dikenakannya, matanya berkaca – kaca.

“Kejarlah impianmu dan raihlah mimpimu. Papah dan Mamahmu diatas sana, pasti bangga memiliki putra sepertimu.” Ucap laki – laki setengah baya itu dan air matanya yang mulai menetes.

“Tapi ingat nak. Ketika kamu mengejar impianmu, gunakanlah hatimu dan jangan gunakan nafsumu.” Ucap laki – laki itu lagi dan Abimanyu hanya mendengarkannya, sambil tetap memeluk erat laki – laki setengah baya itu.

Entah Abimanyu mengerti atau tidak dengan nasehat laki – laki setengah baya tadi, tapi yang jelas anak sekecil itu sudah dipaksa dewasa oleh keadaan.

Hiuuffftt, huuuu.





#Cuukkk. Manusia terlahir dengan segudang impian dan berjuta – juta mimpi. Semesta hanya memberi petujuk dan semua tergantung dari manusia itu sendiri, bagaimana cara dia meraihnya. Mau mengikuti kata hati atau mau diperbudak oleh nafsu. Sekian saja kisah yang singkat ini, selamat malam dan selamat meraih impainmu.
 
Selamat malam Om dan Tante.

Akhirnya tamat juga juga cerita Impian ini.
Mohon maaf kalau endingnya gak seseuai harapan dan Mohon maaf kalau tidak memuaskan.

Dikesempatan ini juga saya mau minta maaf, karena saya tidak menepati janji, untuk mengikuti LKTCP 2021.

Untuk cerita HUTAN TERLARANG yang rencananya akan saya ikutkan lomba, baru setengah jalan.
Nanti setelah ceritanya rampung, akan saya posting di cerita IMPIAN 2 ini.

Mohon maaf sekali lagi.
Salam Hormat dan Salam Persaudaraan.

:beer::beer::beer:

Pulau seberang, 19 Oktober 2021
Kisanak87
 
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd