Agen Terpercaya  
 
 
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

CERBUNG - TAMAT I M P I A N 2

absen siang, jemur bidji biar kering
jangan dulu om lagi mendung ntar bisa jadi menciut 🤣🤣🤣
apa yg menciut...
Bijinya pak de 🤭
ini nie otak nya ngeres aj, lagian yg di jemur tuh bidji kopi...
emang kuwi mau bidji nya di tumbuk 😂😂😂😂
janganlah pak deh ilang lho masa depankuh ... 😂😂😂
Menyimak pelijaran soal perBIJIan.....
Lak ono update glm po ora dhe
Yo ora......ORA GELEM NOLAK mesti
 

SUMBER AIR
HUTAN TERLARANG



“Lindu, lindu, lindu.” Teriak penduduk desa sambil berlarian keluar rumah. (Lindu = gempa bumi)

CLAP, CLAP, CLAP, CLAP.

DUAR, DUAR, DUAR, DUAR.


Kilatan – kilatan petir menyambar dari atas langit menghantam ke bumi dan suaranya langsung menggelagar mengguncang isi semesta.

Angin berhembus sangat kencang dan hujan turun dengan lebatnya.

Desa Jati luhur, Desa Jati Bening, Desa Sumber Banyu dan beberapa desa lainnya, dalam kondisi yang mencekam. Gempa bumi yang baru saja terjadi, semakin mengisyaratkan akan terjadi bencana yang maha dahsyat.

Di hulu sungai sana, air bah sudah siap menumpahkan isinya dan pasti akan meluluhlantakkan apapun yang dilewatinya. Sungai yang membelah desa mereka dan biasanya mengalir dengan tenang, hari ini mengalirkan air yang sangat deras dan berombak. Banjir bandang didepan mata dan seluruh penduduk desa diselimuti rasa takut yang sangat luar biasa.

Para tetua desa duduk bersila didalam kamar, sambil memanjatkan doa. Para dukun bersemedi ditempat – tempat yang sangat sakral dan mereka mengeluarkan semua kemampuan yang dimilikinya.

CLAP, CLAP, CLAP, CLAP.

DUAR, DUAR, DUAR, DUAR.


Ada apakah ini.? Kenapa alam hari ini begitu murka.? Tangan – tangan jahil siapa yang sudah berani menggoda semesta, sehingga alam tersinggung dibuatnya.?

Ini bukan kejadian biasa, karena bukan hanya alam yang sedang geram. Disebuah hutan angker yang berada di Desa Sumber Banyu, seperti menunjukan adanya aktifitas yang pastinya sangat menakutkan.

Hutan angker itu bernama hutan terlarang. Hutan yang dihuni berbagai makhluk – makhluk gaib dan juga hewan yang sangat buas. Tidak ada yang berani masuk kedalam hutan itu, terkecuali bagi mereka yang nekad dan ingin menguji ilmu yang mereka miliki.

Hutan terlarang. Hutan yang biasanya tenang dan sunyi, saat ini ingin menunjukan keperkasaannya, lewat makhluk penguasanya yang sudah lama tertidur. Raungan macan kumbang dan hewan – hewan buas lainnya, seperti menandakan bahwa makhluk itu sekarang sudah terbangun dari tidur panjangnya.

CLAP, CLAP, CLAP, CLAP.

DUAR, DUAR, DUAR, DUAR.


Beberapa saat kemudian, suara gemurah air dari atas sana mulai terdengar dan bencana itu akhirnya datang juga. Air sungai meluap dan gerakannya seperti tsunami yang meluluhlantakan benda – benda yang dilewatinya.

Hutan, sawah, rumah, manusia dan hewan – hewan, tersapu gelombang yang maha dasyat. Suara jerit ketakutan dan kesakitan, saling menyahut dan membuat suasana semakin mencekam. Suara tangis anak kecil dan juga orang dewasa yang terombang – ambing digelombang itu, terdengar sangat menyedihkan.

Aku hanya bisa terdiam dan terpaku, menatap ribuan orang dan termasuk juga seluruh keluargaku, terseret air bercampur tanah itu. Aku tidak bisa berbuat apa – apa, bahkan berteriakpun aku tidak sanggup.

Aku menyaksikan dengan mata kepalaku sendiri, bagaimana banjir bandang itu menghancuran desa dimana tempat aku lahir dan dibesarkan.

Rasa sedih yang begitu mendalam, langsung menyelimuti diriku yang tidak bisa berbuat apa - apa. Teriakan dari seluruh keluargaku pun, hanya bisa aku balas dengan jeritan dari dalam hati.

Mulutku tidak bisa berbicara dan seluruh tubuhku tidak bisa digerakan. Aku Irawan Jati yang katanya pemilik mata merah sejati, sekarang menjadi orang yang paling lemah dan paling bodoh didunia ini.

“Hentikan Wan, hentikan semua ini. Sebelum bencana ini benar – benar meluluhlatakan seluruh alam dan juga isinya, segera hentikan saat ini juga.” Ucap sesosok makhluk yang tidak terlihat dan aku langsung mencari asal suara itu.

“Hentikan Wan, hentikan sekarang juga.” Ucap makhluk itu lagi dan aku tidak tau dimana makhluk itu berada.

“Yah, Yah.” Terdengar suara istriku memanggil, tapi aku tetap mencari makhluk yang berteriak tadi, tanpa bisa mengeluarkan suaraku.

“WAN. HENTIKAN SEKARANG JUGA.” Teriak makhluk itu dan aku langsung membuka kedua mataku, dengan nafas yang memburu.

“Hu, hu, hu, hu.”

“Yah, Yah.” Ucap Istriku sambil mengelus pundakku dari arah belakang.

“Ya Bu.? Hu, hu, hu, hu.” Ucapku sambil menoleh ke arah belakang.

“Ayah mimpi buruk.?” Tanya istriku dan kedua putriku yang duduk disebelahnya, langsung menatapku dengan herannya.

“Engga Bu. Hu, hu, hu.” Jawabku sambil menoleh ke arah depan dan ternyata mobil kami sudah berhenti diterminal keberangkatan, dibandara ibukota propinsi.

“Ayah gak apa – apa.?” Tanya putraku yang duduk disebelah kananku, sambil memegang setir.

“Ayah gak apa – apa nak. Hiufftt, huuu.” Jawabku lalu aku menarik nafasku dalam – dalam.


Irawan Jati


Oh iya, namaku Irawan Jati. Aku mempunyai seorang istri bernama Anjani Ranajaya dan kami berdua dikaruniai tiga orang anak. Sandi Purnama Irawan, Eliana Rumi Irawan dan Suhita Maharani Irawan.

Aku berasal dari Desa Jati Luhur dan istriku berasal dari Desa Jati Bening. Aku dan keluarga kecilku sekarang menetap di Pulau Seberang. Kedatangan kami kepulau ini adalah untuk acara lamaran putraku tersayang, Sandi Purnama Irawan.

Acara lamaran putraku ini, seharusnya tidak boleh terjadi kalau mengikuti hitungan weton dipulau ini. Weton itu artinya hari lahir seseorang menurut penanggalan pulau ini. Contohnya seperti senin pahing, selasa legi, rabu pon, kamis wage dan jumat kliwon.

Hari lahir seseorang itu mempunyai angka dan bila angka itu dijumlahkan dengan hari lahir pasangannya, lalu menghasilkan angka 25, maka perjodohan itu tidak boleh dilanjutkan. Akan banyak musibah yang datang dan salah satunya adalah kematian.

Itulah kondisi yang sekarang sedang dihadapi keluarga kami. Sandi dan calon pasangannya yang bernama Ayu, hitungan wetonnya bertemu angka 25. Sandi tidak percaya dengan akibat hitungan weton, karena anakku itu dibesarkan dipulau seberang yang mempunyai adat dan istiadat yang sangat berbeda dengan pulau ini.

Aku menyetujui perjodohan ini, karena aku tidak ingin Sandi kecewa. Bagiku senyum Sandi dan anak – anakku yang lain, adalah segalanya. Aku juga melihat sosok Ayu sebagai wanita yang baik dan dia sangat mencintai Sandi.

Akhirnya melalui perdebatan yang sangat serius dengan keluarga besarku yang ada dipulau ini, Aku memutuskan untuk tetap melanjutkan perjodohan anakku.

Acara perjodohan itu sendiri, sudah diawali dengan pertunangan yang diadakan kemarin dikota sebelah dan hari ini kami sekeluarga akan balik ke Pulau Seberang.

Begitulah cerita singkat tentang perjodohan anakku, yang sebenarnya juga pernah aku alami bersama Damayanti, kekasihku yang dulu. Tapi bedanya, kami berdua menyadari akibatanya, karena kami masih tinggal dipulau ini dan terikat dengan adat istiadat yang sangat kental.

“Ya sudah, kalau begitu kita turun sekarang Yah. Pesawatnya sebentar lagi akan berangkat.” Ucap istriku.

“Iya Bu.” Jawabku dan aku langsung turun dari mobil.

Beberapa orang kepercayaanku yang sudah menunggu dibandara, langsung mendekat ke arah kami dan mereka semua langsung menundukan kepala.

“Yah, mobilnya diparkir dimana.?” Tanya Sandi yang masih berada didalam mobil.

“Turun aja Nak.” Jawabku.

“Nanti saya yang parkirkan mobilnya Mas.” Jawab Darto, salah satu orang kepercayaanku dan dia melihat ke arah Sandi.

“Oke Om.” Sahut Sandi, lalu dia keluar dari mobil.

Beberapa orang anggota Darto mendekat ke arah bagasi belakang mobil dan mereka semua langsung mengangkat barang – barang bawaan kami, kedalam ruang keberangkatan.

“Mohon maaf Cak. Ini tiketnya untuk empat orang, atas nama Cak Irawan, Mbak Yu Anjani, Mba Ana dan Mba Ita.” Ucap Darto sambil menyodorkan tiket perjalanan kami. (Cak adalah panggilan kepada laki - laki yang dianggap lebih tua atau yang dituakan.)

“Oke, terimakasih.” Jawabku.

“Kita masuknya lewat pintu VIP aja Cak.” Ucap Darto lagi dan kami semua langsung berjalan ke arah pintu yang ditunjuk.

“Yah, Bu, Sandi berangkat ke Kota Pendidikan dulu ya.” Ucap Sandi ketika kami sampai didepan pintu ruang VIP.

Sandi berpamitan kepada kami dan dia tidak ikut balik ke Pulau Seberang, karena ingin menghadiri wisuda sahabatnya.

“Hati – hati nak.” Ucapku dan Sandi langsung mencium punggung tangan kananku, lalu Sandi menganggukan kepalanya, setelah itu dia menoleh ke arah Ibunya.

“Terus kapan Sandi balik ke Pulau Seberang.?” Tanya Istriku, ketika Sandi mencium punggung tangannya.

“Mungkin tiga atau empat hari Bu.” Jawab Sandi.

“Iya sudah, jangan terlalu capek ya nak.” Ucap Istriku, lalu dia mencium kening Sandi.

“Iya Bu.” Jawab Sandi, setelah itu dia berpamitan kepada kedua adiknya.

Dan setelah kepergian Sandi, kami berempat masuk kedalam ruang tunggu, untuk menunggu jadwal penerbangan kami.

“Yah. Siapa orang – orang yang membantu kita diluar tadi.?” Tanya Ana anakku.

“Teman – teman Ayah.” Jawabku singkat.

“Enak banget ya Mba. Setiap kita pulang kepulau ini, banyak pengawalnya. Hihihi.” Sahut Ita.

“Memangnya kita keluarga kerajaan, pakai pengawal segala.” Ucap Ana kepada adiknya.

“Kita kan memang keluarga kerajaan Mba. Kerajaan Jati luhur. Hihihi.” Ucap Ita lalu dia tertawa.

“Berarti kita berdua tuan putri dong De.” Ucap Ana.

“Ya iyalah. Bagaimana Tuan Baginda Raja.?” Ucap Ita kepada Ana, lalu melihat ke arahku.

“Tanyakan kepada Permaisuriku.” Ucapku sambil menoleh ke arah Istriku.

“Hem. Jadi Ibu dilibatkan dalam drama yang gak jelas ini.?” Tanya Istriku ke Ita.

“Ibu gak asyik ah.” Sahut Ita, lalu dia mengeluarkan hpnya dan memasang headset dikedua telinganya, begitu juga Ana yang duduk disebelahnya.

Aku lalu melihat ke arah luar bandara dan terlihat dari arah barat sana, gumpalan awan tebal dan petir yang menyambar.

CLAP, CLAP, CLAP, CLAP.

Kilatan petir terlihat dengan jelas, tapi suara menggelegarnya tidak terdengar.

“Pulanglah Wan. Pulanglah. Hentikan bencana yang maha dasyat itu, sebelum terlambat.” Samar – samar aku mendengar suara itu lagi dan aku langsung menoleh kekanan dan kekiri, untuk mencari asal suara itu.

Dan diruang tunggu VIP ini, hanya ada kami berempat dan beberapa pelayan yang berdiri didekat pintu sana.

“Mas.” Panggil istriku dan dia memanggilku seperti itu, ketika kami mengobrol berdua.

“Ya De.” Jawabku.

“Sudah diminum ramuan dari Ibu.?” Tanya Anjani dan aku langsung mengangguk pelan.

Oh iya. Sekarang ini aku sedang menderita kanker hati stadium tiga dan aku harus meminum ramuan tradisional buatan dari Ibu mertuaku.

Ibu mertuaku memang terkenal dalam meramu obat – obatan tradisonal. Dan ketika tau aku sedang menderita kanker ganas ini, beliau langsung meracikan aku ramuan dan aku harus meminumnya setiap hari.

Tidak ada yang tau kalau aku sedang mengidap penyakit yang sangat mengerikan ini, kecuali Istriku dan Ibu mertuaku. Kalau seandainya Ibu mertuaku bukan peracik ramuan tradisional, mungkin aku dan Anjani akan menutup rapat kabar buruk ini.

Sebenarnya aku melarang Anjani untuk bercerita kepada Ibunya, tapi Anjani memaksa, karena dia yakin Ibunya bisa membantuku dengan obat – obatan ramuannya.

“Mas merasakan sesuatu ya.?” Tanya Anjani, ketika aku melihat ke arah gumpalan awan tebal dibarat sana.

“Enggak. Dadaku enggak sakit.” Jawabku sambil menoleh ke arah Anjani.

“Bukan masalah penyakit Mas, tapi tentang desa kita.” Ucap Anjani dan itu langsung mengejutkanku.

“Maksudnya.?” Tanyaku.

“Mas mau kehutan terlarang.?” Tanya Anjani dan aku langsung menoleh ke arah gumpalan awal tebal tadi.

“Enggak tau De. Tapi ada bisikan yang memaksaku untuk pergi kesana.” Jawabku, lalu aku menoleh ke arah Anjani lagi.

“Pergilah Mas. Mungkin saat ini hanya Mas yang bisa menghentikan bencana itu.” Ucap Anjani sambil membelai pipiku dan kedua anakku tidak mendengar pembicaraan kami, karena mereka berdua asyik dengan headseat yang ada ditelinga mereka.

“Kamu mengijinkan aku pergi kesana.?” Tanyaku karena aku yakin Anjani tau resikonya ketika aku akan memasuki hutan terlarang.

“Hidup, mati dan rezeki, sudah diatur oleh Sang Pencipta. Mas sendiri yang mengatakan itu, ketika kita menghadapi keluarga besar kita, pada saat perdebatan tentang perjodohan Sandi dan Ayu.” Jawab Anjani.

“Anjani tau yang Mas hadapi ketika Mas masuk ke hutan terlarang. Ada beberapa ritual yang harus Mas jalani, setelah itu Mas pasti akan menghadapi lawan yang pasti sangat kuat sekali.”

“Jujur Anjani sangat berat melepas kepergian Mas, karena penyakit yang Mas derita saat ini. Belum lagi kalau sampai terjadi apa – apa dengan Mas, pasti kejadian ini akan disangkut pautkan dengan perjodohan anak kita.”

“Tapi itulah resiko seorang Anjani Ranajaya, ketika menerima pinangan Irawan Jati sang pemilik mata merah sejati.”

“Walaupun Anjani sudah menghindarkan keluarga kecil kita dari segala masalah, dengan pindah ke Pulau Seberang, tapi masalah – masalah seperti ini pasti akan mendatangi kemanapun kita akan pergi.” Ucap Anjani sambil terus membelai pipiku.

“Dan untuk kejadian saat ini, mau tidak mau, ikhlas atau tidak ikhlas, Anjani harus merelakan kepergian Mas, karena banyak nyawa yang harus diselamatkan.” Ucap Anjani lagi dan sekarang matanya terlihat berkaca – kaca.

“Seorang suami itu akan tenang dalam melangkah, ketika istrinya merestui dan mengikhlaskan kepergiannya.” Ucapku dan Anjani langsung tersenyum, dengan kedua mata yang terus berkaca – kaca.

“Pergilah Mas, pergilah. Tapi dari dalam hati ini, Anjani sangat berharap Mas kembali dengan kondisi yang sehat dan kita akan menghabiskan masa tua bersama, seperti janji kita waktu menikah dulu.” Ucap Anjani dan aku langsung mengecup keningnya dengan sangat lembut.

CUUPPP.

“Baiklah De. Dengan ijin dan restumu, aku akan balik kedesa. Tapi mohon maaf, aku tidak bisa berjanji pulang dalam keadaan.” Ucapku terpotong, karena jari telunjuk Anjani menutup bibirku pelan.

“Anjani akan menunggu kedatangan Mas dirumah dan Anjani yakin Mas akan pulang dengan membawa senyuman. Senyuman yang selalu membuat hati ini jatuh cinta setiap harinya dan pasti dengan cara yang berbeda.” Ucap Anjani, lalu dia mengecup keningku.

CUUPPP.

“Ayah sama Ibu dari tadi kok ciuman terus sih.? Memangnya gak lihat ada Mba Ana sama Ita disini.?” Tanya Ita yang mengejutkanku dan kami berdua langsung melihat ke arahnya.

Ita melihat ke arah kami dan headset masih menempel dikedua telinganya. Anjani langsung memberi kode, agar Ita melepaskan headset ditelinganya. Itapun menuruti perintah Ibunya dan dia menyenggol Ana untuk melepas headsetnya juga.

“Memangnya kalian berdua aja yang bisa asyik dengan hp dan headset.?” Ucap Anjani dan Ana terlihat kebingungan dengan ucapan Ibunya.

“Memangnya ada apasih De.?” Tanya Ana ke Ita.

“Ada yang marah Mba, lagi asyik pacaran digangguin.” Bisik Ita ke Ana.

“Hem. Sudah berani mengejek Ibu ya.” Ucap Anjani sambil melirik ke arah Ita dan aku hanya menggelengkan kepalaku pelan.

“Ampun Bu, ampun.” Ucap Ita yang ketakutan, melihat lirikan maut Ibunya.

Perlahan aku berdiri dan ketiga wanita cantik yang aku sayangi ini, langsung memandang ke arahku.

“Ayah mau kemana.?” Tanya Ita dan Ana bersamaan, sementara Anjani memandangku sambil tersenyum dan kedua matanya kembali berkaca – kaca.

“Ayah akan pergi ke kerajaan Jati Luhur nak. Ada penjahat yang berani mengacaukan kerajaan kita dan Ayah harus segera menumpas mereka.” Jawabku dengan semangatnya.

“Ayah. Ita lagi gak bercanda.” Ucap Ita dengan seriusnya dan dia langsung berdiri dihadapanku.

Tatapannya perlahan mulai sayu dan kesedihan mulai terihat dibola matanya yang indah. Aku langsung tersenyum kepadanya dan Ita membalasnya dengan menggelengkan kepalanya pelan.

Suhita Maharani Irawan. Anak gadisku yang beranjak dewasa ini, mempunyai sedikit keunikan. Anaknya agak tomboy, santai dan cuek. Tapi dibalik itu semua, dia memiliki perasaan yang sangat sensitive, apalagi menyangkut keluarga dekatnya. Dia tidak segan untuk berkelahi dengan siapapun, kalau ada yang berani macam – macam dengan keluarga kami. Entah sudah berapa kali aku menyelesaikan masalahnya, tanpa dia ketahui. Dari pada Sandi yang bergerak, masalahnya tidak akan selesai dan justru akan semakin menjadi.

“Jadi hanya Ita yang boleh bercanda.? Ayah gak boleh gitu.?” Tanyaku sambil membelai pipinya dengan lembut.

“Ayah. Hiks, hiks, hiks, hiks, hiks.” Gadis kecilku ini langsung memeluk tubuhku dan tangisnya pecah dipelukanku.

Pelukannya sangat erat dan seperti tidak ingin dilepaskannya.

“Hey. Ada apa dengan gadis Ayah.? Kenapa menangis seperti ini.?” Tanyaku sambil mengelus rambut belakangnya pelan.

Ana yang berdiri dibelakang Ita, menatapku dengan tatapan mata yang sangat dalam sekali. Dia seperti sedang membaca pikiranku dan aku langsung tersenyum kepadanya.

Anjani mengelus punggung Ita pelan dan Ita langsung menarik nafasnya dalam – dalam, lalu mengeluarkannya perlahan.

“Hiuufft, huuu.” Dada Ita bergetar dan dia seperti berusaha menenangkan dirinya.

“Hati – hati Yah. Ita, Ibu dan Mba Ana, menunggu Ayah dirumah.” Ucap Ita dengan suara yang agak berat.

Akupun langsung mengecup kening putriku itu dan dia langsung memalingkan wajah sedihnya.

“Yah.” Panggil Ana dan aku langsung melihat ke arahnya.

Eliana Rumi Irawan. Kalau anak gadisku yang satu ini, mempunyai tatapan yang sangat berbeda dari seluruh wanita yang ada dikeluarga besarku, termasuk Ibunya.

Lewat tatapan matanya yang sangat dalam itu, Ana bisa mempengaruhi pikiran lawannya, Ana bisa membuat orang itu berkata jujur dan yang pasti Ana bisa menaklukannya.

“Ana gak akan meminta Ayah untuk berkata jujur, tentang apa yang ada didalam pikiran Ayah. Ayah adalah laki – laki terbaik didunia ini dan segala sesuatu yang Ayah lakukan, pasti sudah Ayah pikirkan secara matang.” Ucap Ana lalu dia merentangkan kedua tangannya ke arahku, lalu dia memelukku dengan erat.

“Entah kenapa, Ana yakin kalau Sang Baginda Raja pasti akan segera pulang kerumah, setelah menumpas para penjahat itu. Sang Baginda Raja akan menemui Sang Permaisuri, Sang Pangeran dan dua putri kesayangannya, dengan cintanya yang sangat luar biasa.” Ucap Ana dan aku langsung mengecup keningnya dengan lembut.

CUPPP.

“Jaga Sang Permaisuri Raja dan tunggu kedatangan Raja secepatnya.” Ucapku sambil membelai rambut Ana.

“Titah Raja akan Ana lakukan dengan sepenuh hati.” Jawab Ana sambil menekukan kedua kakinya sedikit, sambil menyentuh kedua ujung jaket yang dikenakannya.

Aku lalu melihat ke arah istriku, lalu melihat ke arah Ita yang masih memalingkan wajahnya dariku.

“Ayah pergi dulu.” Pamitku dan Ita langsung melihat ke arahku dengan perlahan.

Anjani merangkul kedua putriku dan itu seperti memberikan aku kekuatan dalam perjalananku ini.

Aku tersenyum ke arah ketiga wanita – wanitaku yang sangat cantik ini, lalu aku membalikan tubuhku dan berjalan ke arah pintu keluar.

Aku lalu meraih Hpku dikantong dan aku menelpon Ali, orang kepercayaanku diPulau Seberang.

“Halo Cak.” Ucap Ali menjawab telponku.

“Jemput Mba Anjani dibandara, terus antar kerumah. Aku masih ada sedikit urusan di Desa. Tolong awasi rumah selama kepergianku.” Ucapku.

“Siap Cak.” Jawab Ali dan aku langsung menutup Hpku.

Oh iya. Bapakku adalah penguasa bisnis hitam yang ada dipropinsi ini. Bapakku pemegang keamanan di terminal, pelabuhan, bandara, mall, pasar dan tempat – tempat penting lainnya. Relasi bisnisnya banyak dan musuhnya juga pasti banyak.

Salah satu alasan Anjani mengajakku pindah ke Pulau Seberang adalah, karena kerasnya bisnis hitam yang dijalankan Bapakku. Anjani tidak ingin aku sebagai anak tertua, mewarisi bisnis yang pasti selau bersinggungan dengan kepalan tangan ini. Dia ingin keluarga kecil kami hidup dengan tenang, jauh dari propinsi ini dan aku juga setuju dengan hal itu.

Tapi entah kenapa, hari ini dia mengijinkan dan merestui aku untuk pergi kehutan terlarang. Padahal kalau dipikir, masuk kehutan terlarang bukan hanya fisik yang bermain, tapi juga makhluk dunia lain ikut terlibat. Resikonya bukan hanya kematian didalam hutan, tapi juga bisa menghilang dan tersesat di alam gaib.

Sudahlah, lebih baik aku sekarang berkonsentrasi saja dengan perjalananku dan menyelesaikan misi yang pasti tidak akan mudah ini, setelah itu aku pulang dan berkumpul dengan keluarga kecilku di Pulau Seberang.

“Loh Cak. Gak jadi berangkat.?” Tanya Darto yang masih ada dibandara, ketika aku sudah keluar dari ruang tunggu VIP.

Dia dan beberapa orang lainnya, sengaja aku tugaskan untuk mengawasi bisnis Bapakku dan mengawasi orang – orang yang berseberangan dengan keluargaku. Walapun aku tidak berminat untuk melanjutkan bisnis Bapakku, tapi aku paling tidak suka kalau ada yang berani mengganggu keluargaku atau bisinis yang dijalankan keluargaku.

“Ada rokokmu.?” Tanyaku kepadanya dan aku tidak menjawab pertanyannya.

“Ada cak, ada. Kebetulan saya baru beli.” Ucap Darto kepadaku, sambil mengeluarkan sebungkus rokok, lalu menyerahkan kepadaku bersama korek zippo miliknya.

Aku sebenarnya sudah lama tidak merokok, karena penyakit yang aku derita ini. Anjani juga pasti akan marah, kalau dia tau aku merokok.

Tapi untuk hari ini, aku ingin sekali merokok agar pikiranku tidak terlalu tegang.

Aku lalu mengambil sebatang rokok, lalu aku tempelkan di sela – sela bibirku.

Cring.

Bunyi korek zippo yang sudah lama tidak aku dengar dan sangat aku rindukan.

Aku lalu membakar rokokku, setelah itu aku mengantongi bungkusan rokok dan korek zippo kedalam saku celanaku.

“Aku bawa rokok dan korek zippomu ya.” Ucapku sambil melihat ke arah Darto.

“Iya Cak, iya.” Jawab Darto dengan cepatnya.

Aku menghisap dalam – dalam rokokku, lalu mengeluarkan asap tebalnya dari dalam mulutku. Aku lalu melihat mobil – mobil yang berhenti sejenak untuk menurunkan penumpang, lalu mobil – mobil itu berjalan lagi, karena tidak boleh terlalu lama parkir disepanjang jalan ini.

Pandanganku langsung tertuju pada sebuah sedan berwarna putih, yang cukup lama terparkir tidak jauh dari tempat aku berdiri ini. Kaca mobil bagian depan samping kiri terturun dan aku bisa melihat dengan jelas pengemudi sedan putih itu.

Pengemudi mobil itu seorang wanita dan aku sangat mengenal wanita itu. Wanita yang sempat menjadi kekasihku dan kami juga sempat ingin menikah, tapi terhalang hitungan 25 pulau ini. Wanita itu bernama Damayanti Kusuma.

Ah, gila. Kenapa Yanti ada ditempat ini dan sedang menunggu siapa dia.?

Pandangan Yanti mengarah lurus kedepan, tangan kanannya yang tidak terlihat olehku tiba – tiba mengarah kemulutnya, lalu dia menghisap benda yang ada ditangannya, setelah itu dia mengeluarkan asap dari mulutnya.

Astaga. Dia pasti sedang menungguku dan dia sengaja merokok, agar aku mendatanginya. Yanti tau kalau aku itu paling tidak suka, melihat wanita yang aku kenal merokok.

Hiuuufft, huuu.

“Sampean mau kemana Cak.? Apa sampean membutuhkan mobil.?” Tanya Darto yang berdiri didekatku. (Sampean = anda.)

“Aku ada urusan dan sudah ada yang menjemputku.” Jawabku lalu aku melangkah ke arah mobil Yanti.

Dan ketika aku sudah sampai didekat mobil Yanti, aku hanya berdiri tanpa menyapanya dan aku langsung menghisap rokokku.

Yanti langsung membuang rokoknya, setelah itu dia menyalakan mesin mobilnya.

Aku buang rokok yang masih agak panjang ini, lalu aku masuk kedalam mobil Yanti. Kaca mobil bagian samping kiri dan kanan dinaikannya, lalu mobil mulai dijalankannya.

Aku lalu menoleh ke arah kiri dan tiba – tiba aku melihat seseorang berdiri dipinggir jalan, sambil melihat ke arahku. Tubuhku merinding, karena orang itu sudah mati dan dia adalah sahabatku Cakra.

Aku menoleh ke arahnya terus dan ada mobil yang menyalib mobil kami, sehingga pandanganku ke arah Cakra terhalang sejenak. Dan ketika mobil itu sudah melewati kami, Cakra sudah tidak berada ditempat berdirinya tadi.

Ahh. Ini pasti hanya halusinasiku saja. Akupun melihat ke arah depan dan mobil semakin melaju.

Didalam mobil ini kami berdua sama – sama diam dan Yanti tidak menoleh ke arahku sama sekali.

“Siapa yang sudah masuk kedalam hutan terlarang dan kenapa bisa dia membangkitkan penguasa hutan itu.?” Tanyaku tanpa berbasa – basi, karena aku yakin tujuan Yanti menjemputku karena masalah itu dan dia pasti sudah memilki informasinya.

“Seorang pemuda dari Desa Sumber Banyu yang sedang frustasi dan Mas pasti sangat mengenalnya.” Jawab Yanti dan itu langsung mengejutkanku.

“Apakah Joko yang kamu maksud.?” Tanyaku dan kami berdua tidak saling memandang.

“Hem.” Jawab Yanti.

Hiuufftt, huuuu.

Joko Purnomo. Aku tidak menyangka kalau dia akan bertindak sejauh ini, karena dia anak yang sangat baik. Walaupun kadang – kadang sikapnya nyeleneh, tapi dulunya dia tidak pernah melakukan tindakan diluar kewajaran. Tapi rupanya disitulah kelengahanku. Aku terlalu focus kepada sahabatnya yang bernama Gilang Adi Pratama, karena Gilang memiliki potensi kekuatan yang sangat luar biasa. Bagiku saat itu Gilang yang harus lebih banyak diarahkan, karena kalau anak itu sampai salah jalan, kekuatannya akan menghancurkan dirinya sendiri dan juga orang lain. Tapi rupanya takdir berkata lain, karena Gilang meninggal diusia muda dan sekarang justru Joko yang salah jalan.

“Joko telah mengalami hari – hari yang sangat berat dihidupnya. Mulai dari kehilangan kedua orang tuanya, kekasihnya yang terbunuh dengan sadis, dan yang terakhir, kehilangan sahabat yang menjadi panutan dikehidupnya.” Ucap Yanti.

“Beberapa tahun dia menghilang dan ternyata dia melakukan ritual di hutan terlarang.” Ucap Yanti lagi lalu dia menghentikan ceritanya.

“Aku tau jalan hidupnya sangat berat dan cobaan hidupnya sangat luar biasa menyakitkan. Tapi apa yang dilakukannya sekarang, tidak bisa dibiarkan. Akan banyak korban yang berjatuhan dan dia harus dihentikan sekarang juga.” Ucapku sambil melihat ke arah jalan yang ada dihadapanku.

Mobil ini berjalan cepat dan menuju Desa Jati Luhur yang sedang ditutupi awan yang sangat tebal.

“Apa yang akan Mas lakukan.? Apa Mas akan memberikan dia pelajaran.?” Tanya Yanti dan dia belum melirikku sama sekali.

“Mungkin sedikit pelajaran, agar dia menyadari perbuatannya dan dia menghentikan ritualnya, sebelum kekuatannya benar – benar sempurna.” Jawabku.

Sebenarnya aku sangat kasihan sekali dengan Joko, mengingat semua peristiwa yang dihadapinya. Aku tidak tega kalau sampai kami berdua harus berduel, karena permasalahan ini. Tapi apa mau dikata, apa yang dilakukannya ini sangat fatal dan membahayakan bagi banyak orang.

“Kelihatannya Mas gak tega untuk memberi pelajaran anak muda itu.” Ucap Yanti.

“Tega gak tega, aku harus memberinya pelajaran. Mau itu teman, sahabat atau bahkan saudara sekalipun. Kalau dia bertindak diluar kewajaran dan membahayakan banyak orang, terpaksa bukan bibir ini yang berucap, tapi kepalan tangan ini yang akan berbicara.” Ucapku.

“Kadang kala hantaman diwajah seseorang itu, bisa menyadarkan dari tingkah lakunya. Kadang kala membuat pecah bibir seseorang itu, bisa mengingatkan kalau ucapannya sudah terlalu kelewatan. Kadang kala mematahkan batang hidung seseorang itu, bisa menyadarkan kalau tindakannya sudah bukan dijalur yang sebenarnya.” Ucapku lagi.

“Tapi kenapa Mas tidak melakukannya kepada Sandi.?” Tanya Yanti dan aku langsung menggelengkan kepalaku pelan.

“Aku bukannya tidak suka dengan Sandi dan meminta Mas untuk menghukumnya. Aku hanya mengingatkan Mas, kenapa Mas tidak bisa sekeras itu kepada dia.?” Tanya Yanti lagi.

Aku langsung menarik nafas panjangku, setelah itu aku mengeluarkannya perlahan.

“Hiuufftt, huuuu.”

“Sudah terlalu banyak orang yang memberikan anakku pelajaran. Bukan saja hantaman diwajah, bibir yang pecah, hidung yang patah dan sekujur tubuh yang tertikam, tapi juga luka hati yang terdalam. Dan setelah semua yang dialaminya itu, apa aku juga harus menambahkannya.?” Jawabku.

“Alasan. Bilang saja kalau Mas gak tega ‘menyentuh’ putra tersayang Mas itu.” Ucap Damayanti dan aku langsung menurunkan kaca bagian kiri mobil.

“Huk, huk, huk.” Bunyi suara batukku, karena tenggorakanku terasa agak gatal.

Aku lalu merogoh kantongku dan mengambil bungkusan rokok serta korek zippo.

“Hem.” Ucap Yanti sambil melirikku, ketika aku mengambil sebatang rokok dari dalam bungkusnya.

Aku tidak menghiraukannya dan aku langsung meletakkan rokok disela – sela bibirku.

Cring.

Aku buka penutup korek zippo, lalu menyalakannya.

“Tolong bakarkan rokok buat aku juga Mas.” Ucap Yanti, ketika aku akan membakar ujung rokokku.

“Aku lagi nyetir, jadi gak bisa membakar sendiri.” Ucap Yanti dan aku langsung menutup korek ini lagi.

Aku tidak jadi membakar rokokku dan memasukannya kedalam bungkusannya lagi. Aku tidak mengucapkan sepatah katapun dan aku hanya menaikan kaca mobil lagi.

“Kenapa Mas bisa kecolongan masalah Joko.?” Tanya Yanti.

“Aku manusia biasa, sama seperti kamu Yan. Jangankan masalah Joko, masalah anakku saja aku sering kecolongan.” Jawabku, sambil menyandarkan kepala belakangku dikursi mobil dan Yanti langsung terdiam mendengar jawabanku ini.

Dinginnya AC didalam mobil Yanti ini, membuat kedua mataku mengantuk. Sekarang tubuhku gampang letih dan gampang sekali mengantuk. Ini pasti karena penyakit yang sedang aku derita, jadi fisikku tidak sekuat dulu. Akhir – akhir inipun, aku sudah jarang membawa mobil. Aku takut tidak bisa berkonsentrasi dan itu pasti bisa membahayakan orang lain.

Pukul 12.00 dan aku berusaha agar mata ini tidak terpejam, karena gak enak dengan Yanti yang sedang menyetir mobil.

Tap.

Mataku terpejam beberapa saat dan aku langsung membukanya lagi.

“Loh kok sudah sampai disini.?” Tanyaku dan mobil ini sudah berhenti tidak jauh dari rumahku di Desa Jati Luhur.

“Iya, Mas tertidur pulas dari tadi.” Ucap yanti dan aku langsung melihat ke arah jam tanganku. Pukul 14.00.

“Maaf.” Ucapku karena aku sudah tertidur dua jam.

“Gak apa – apa. Sekarang lebih baik Mas turun, karena mendungnya sudah sangat gelap sekali.” Ucap Yanti dan memang suasana desaku sangat gelap disiang ini, karena mendung yang sangat tebal.

“Kamu gak ikut turun.?” Tanyaku dan akhirnya aku menoleh ke arah Yanti.

“Enggak, tugasku hanya sampai disini.” Jawab Yanti dan dia juga menoleh ke arahku.

Tatapan mata kami bertemu dan ini yang sangat kuhindari dari tadi. Tatapan dari bola mata yang indah itu, pasti mampu menyentuh sampai didalam hatiku yang terdalam. Sekuat apapun aku menolaknya, pasti tatapan itu bisa masuk dan menerobos kekakuan hatiku ini. Gila.

Dan yang lebih gilanya lagi, tidak ada yang berubah dari caranya memandangku mulai dari dulu sampai saat ini.

“Ooo. Baiklah kalau begitu.” Ucapku sambil mengalihkan pandanganku, sebelum suasana ini benar – benar mengacaukan hatiku.

“Terimakasih.” Ucapku sambil memandang ke arah lurus kedepan dan Yanti masih menoleh ke arahku.

“Hiuffftt, huuuu.” Terdengar tarikan nafasnya yang agak panjang dan agak bergetar.

“Aku pamit.” Ucapku sambil memegang handle bagian dalam mobil dan membuka kuncinya.

“Sebelum Mas Pergi, boleh aku bertanya.?” Ucap Yanti.

Aku tidak menjawab pertanyaannya dan aku juga tidak keluar dari mobil ini. Aku hanya diam sambil melihat ke arah kiri mobil.

“Bagaimana cara Mas menata hati, setelah hubungan kita kandas.?” Tanya Yanti dan aku langsung menunduk sejenak.

Kenapa lagi dia bertanya seperti ini.? Hubungan kami sudah kandas bertahun – tahun yang lalu, jadi kenapa sakitnya harus diungkit lagi.? Kami berdua sudah memiliki pasangan hidup dan kami juga sudah memiliki anak dari pasangan masing – masing.

Beberapa kali juga kami sudah membahas masalah ini dan dia seperti tidak puas dengan jawabanku. Bajingann.

Aku menarik nafasku dalam – dalam, lalu mengeluarkannya perlahan.

“Hiuffftt, huuuu.”

Perlahan aku menoleh ke arahnya dan tatapan matanya terlihat sangat sayu sekali.

“Gak perlu kau tanya bagaimana hati ini terbentuk. Yang perlu kamu lakuan saat ini adalah, merelakan dari pada harus memaksakan dan mengikhlaskan dari pada harus menyakitkan.” Ucapku dan aku menguatkan hatiku, agar aku tidak terlihat lemah dihadapannya.

“Selalu itu saja jawaban yang kau berikan.” Ucap Yanti dengan mata yang berkaca – kaca.

“Aku tidak akan bosan menjawab seperti ini, karena pertanyaanmu selalu sama.” Ucapku dan Yanti hanya menggelengkan kepalanya pelan.

“Sudahlah Yan. Kita sudah memiliki pasangan dan mari kita nikmati kebahagiaan kita masing – masing, tanpa perlu membandingkan dengan kehidupan yang lalu. Jalani kehidupan yang telah kau pilih bersama suamimu dan aku akan melangkah bersama istriku yang sangat aku cintai.” Ucapku sambil membuka pintu mobil.

“Maaf, kalau jawabanku tidak bisa menenangan dirimu.” Ucapku lalu aku keluar dari mobil, dengan diiringi tetesan air mata Yanti yang mulai menetes.

Aku menutup pintu mobil, lalu aku berjalan ke arah rumahku.

“Hiuffftt, huuuu.”

Sikapku ini kejam dan sadis ya.? Terserahlah dia menilaiku seperti apa. Kami berdua sudah memutuskan untuk mengakhiri hubungan dan kami juga sudah memiliki jalan sendiri – sendiri.

Bagiku tidak perlu lagi membahas kejadian yang lalu, karena itu hanya akan menyakitkan untuk kita dan juga pasangan yang sudah mendampingi kita. Apa yang sudah di pilih, pertanggung jawabkanlah. Tidak perlu lagi ada kata – kata kenapa dan bagaimana, karena itu hanya akan membuat sebuah jalan yang bernama perselingkuhan.

Bukannya aku sengaja menyakiti Yanti dan mencampakan dia setelah tidak berhubungan lagi, bukan seperti itu. Aku hanya ingin menyadarkan dia, agar dia tidak mengulangi pertanyaan – pertanyaan bodoh macam itu lagi.

Sudahlah. Tidak usah dilanjutkan pembahasan masalah itu, karena ada masalah yang lebih genting dan harus segera diselesaikan.

Mendung semakin gelap, tapi rintik hujan tidak turun walau setetes. Banyak penduduk desa yang keluar rumah, karena curiga dengan perubahan alam yang tidak biasa ini.

CLAP, CLAP, CLAP, CLAP.

Kilatan petir menyambar dari arah hutan terlarang dan tidak disertai dengan bunyi yang menggelegar.

Aku terus malangkah dan langkah kakiku baru terhenti, ketika aku sudah berada didepan rumah. Puluhan orang tampak bersiaga dihalaman rumahku dan mereka semua tampak terkejut melihat kedatanganku. Sebagian dari mereka penduduk Desa ini dan sebagian lagi dari luar kota, yang ikut menjadi bagian dari kelompok keluargaku.

Aku mengambil bungkusan rokok yang ada dikantongku, lalu aku mengambil sebatang dan aku letakkan disela – sela bibirku.

Cring.

Bunyi korek zippo.

Jres.

Aku menyalakan korek zipo, lalu aku membakar rokokku.

Aku menghisap dalam – rokok yang ada dibibirku ini, sambil melihat ke arah orang - orang yang berada dihalaman rumahku. Satu persatu mereka menundukan kepala dan aku langsung berjalan ke arah pintu rumah.

Didalam rumah, tepatnya diruang tengah, beberapa orang sedang berkumpul dan sedang membahas masalah yang sangat serius sekali. Bapakku, kedua adikku Gito dan Ji’i, suami dari Darmi adikku dan juga mertuaku Bapak Ranajaya.

Mereka tidak menyadari kedatanganku, karena wajah – wajah mereka terlihat tegang sekali.

“Jadi bagaimana Pak. kelihatannya penduduk Desa Jati Luhur, Jati Bening dan Sumber Banyu, sudah curiga dengan kebangkitan makhluk hutan terlarang.” Ucap Ji’i ke Bapakku.

“Cepat atau lambat, mereka semua akan mengetahuinya.” Jawab Bapakku, lalu beliau menghisap rokok kelobotnya.

“Kalau tidak ada tindakan secepatnya, kekacauan akan terjadi di seluruh desa Pak.” Ucap Gito.

“Aku tau itu. Setelah ini aku akan pergi kehutan terlarang.” Ucap Bapakku dengan tenangnya.

“Aku ikut sampean Kang Mas.” Sahut Bapak Ranajaya dan Bapakku langsung mengangguk pelan.

“Kami juga ikut Pak.” Ucap Gito, Ji’i dan suami Darmi.

“Jangan. Lebih baik kalian semua tetap disini. Biar aku dan Dimas Ranajaya yang masuk kedalam hutan terlarang.” Jawab Bapakku.

“Tapi Pak.” Ucap Gito terpotong, karena Bapakku langsung melirik ke arahnya.

“Dalam kondisi seperti ini, hutan terlarang tidak boleh dimasuki sembarang orang. Kami berdua saja, belum tentu bisa keluar dengan selamat.” Ucap Bapakku dan suasana tegang, semakin menyelimuti di ruang tengah rumahku.

“Kalau begitu, ijinkan saya saja yang masuk kedalam hutan terlarang Pak.” Ucapku dan seisi ruangan ini langsung melihat ke arahku.

“Mas Irawan.” Ucap Gito, Ji,i dan juga suami Darmi yang terkejut, sementara Bapakku dan Bapak Ranajaya melihatku dengan tatapan yang sangat khawatir.

“Irawan.” Ucap Ibuku yang keluar dari arah dapur.

“Mas.” Ucap Darmi yang ada dibelakang Ibuku.

“Sebenarnya saya bisa langsung menuju ke hutan terlarang. Tapi itu tidak saya lakukan, karena saya ingin meminta restu dari Bapak dan Emak terlebih dahulu.” Ucapku sambil melihat ke arah Bapakku, Bapak Ranajaya dan Ibuku.

“Kelihatannya, kondisimu tidak memungkinkan untuk masuk kedalam sana Wan.” Ucap Bapak Ranajaya dan Ibuku berjalan ke arahku.

“Mohon maaf Pak, kondisi saya sangat sehat sekali dan saya siap untuk masuk kedalam hutan terlarang.” Jawabku dan aku hanya memegang batang rokokku, karena aku gak enak kalau menghisap rokok disaat mengobrol seperti ini.

“Nak.” Ucap Ibuku yang sudah berdiri dihadapanku, sambil mengelus pipiku.

“Mohon doa restu Mak. Irawan harus masuk kedalam hutan terlarang.” Ucapku sambil menjatuhkan batang rokokku, lalu aku meraih tangan Ibuku yang mengelus pipiku.

“Kenapa Nak.? Kenapa harus kamu yang masuk kedalam hutan terlarang.?” Tanya Ibuku dengan mata yang berkaca – kaca dan seperti tidak ikhlas dengan kepergianku kali ini.

Aku langsung mengecup telapak tangan wanita yang melahirkan dan membesarkan aku ini, dengan sangat lembut.

CUUPPP.

“Karena Irawan telah diberikan anugrah dari Sang Pencipta, yaitu dilahirkan oleh wanita yang sangat luar biasa.” Jawabku.

“Bukan itu jawaban yang Emak mau dengar Nak. Bukan itu.” Ucap Ibuku sambil menggelengkan kepalanya pelan.

“Kamu sudah terlalu lama meninggalkan rumah ini dan Emak sudah tua sekali Nak.” Ucap Ibuku lagi dengan suara yang bergetar.

“Nimas.” Ucap Bapakku kepada Ibuku dengan suara yang lembut.

(Nimas itu panggilan kesayangan Bapak untuk Ibuku, yang berarti wanita cantik. Nimas juga bisa diartikan sebagai adik.)

Ibuku langsung menunduk pelan dan seperti masih menyimpan sesuatu yang belum disampaikan kepadaku.

“Mak. Restui Irawan pergi kehutan terlarang. Irawan janji, Irawan akan pulang kerumah ini, setelah semuanya selesai.” Ucapku dan Ibuku langsung mengangkat wajahnya dengan diiringi deraian air matanya.

Aku pegang kedua pipi Ibuku dengan lembut, lalu aku membersihkan air mata beliau dengan kedua jempolku. Tatapan mata beliau yang awalnya tidak ikhlas dengan kepergianku, perlahan menjadi kerelaan tapi di iringi dengan kesedihan yang teramat dalam.

Kedua tangan Ibuku merangkul lewat bawah ketiakku, lalu beliau memelukku dengan erat. Kedua tanganku melingkar dibelakang leher beliau dan aku mengelus punggung atas beliau dengan pelan.

Getaran dada Ibuku sangat terasa dan itu semakin menandakan kalau beliau sangat bersedih sekali.

“Ibu merestuimu nak, Ibu merestuimu. Pergilah ksatriaku dan bawa kebesaran panji Jati didadamu. Hiks, hiks, hiks, hiks.” Ucap Ibuku dan diakhiri dengan tangisnya yang terdengar pilu.

“Terimakasih Mak, terimakasih.” Ucapku dengan suara yang bergetar.

Lalu tiba – tiba, bumi terasa berguncang dan lantai rumahku terasa bergetar.

“Lindu, lindu, lindu.” Teriak penduduk desa dengan kencangnya dan kami berdua sama – sama melepaskan pelukan kami. (Lindu = gempa bumi)

Gempa hanya beberapa detik, tapi mampu membuat wajah semua orang didalam rumah ini terlihat tegang dan mereka semua langsung melihat ke arahku.

“Saya ikut Mas Irawan kehutan terlarang.” Ucap Gito ke Bapakku, lalu melihat ke arahku.

“Aku juga.” Ucap Ji’i dan juga suami Darmi.

“Biarkan Irawan pergi sendiri, karena ini adalah pertempurannya.” Ucap Bapakku dengan suara yang berat.

“Pak. Kami juga bisa bertarung sama seperti Mas Iarawan.” Ucap Gito

“Setiap orang itu bisa bertarung, tapi tidak setiap orang bisa mengendalikan dirinya.” Ucap Bapak sambil menatap ke arah mereka bertiga dan mereka langsung terdiam.

“Mbah Jati, Mbah Jati, Mbah Jati.” Teriak beberapa orang dari luar rumah kami dan kami semua langsung keluar.

Puluhan warga Desa Jati Luhur berdatangan dan berkumpul didepan rumah kami. Wajah mereka terlihat sangat panik dan juga ketakutan.

“Ada apa.?” Tanya Bapakku.

“Ada suara binatang – binatang buas terdengar dari hutan terlarang.” Ucap salah satu penduduk.

“Burung – burung juga berterbangan, keluar dari hutan terlarang Mbah.” Sahut penduduk yang lain.

“Langit mendung, lindu, suara binatang, air sungai mengalir deras dan kilatan petir ini, pertanda penguasa hutan terlarang akan bangkit Mbah.” Ucap penduduk yang lain lagi.

“Tolong kami Mbah. Hentikan semua ini, sebelum bencana dasyat akan datang.”

“Iya mbah. Tolong kami.”

“Tolong Mbah.”

Suara dari penduduk desa bersahut – sahutan dan Bapakku hanya mentap ke arah mereka, sambil menghisap rokok klobotnya. Penduduk desa yang melihat ekspresi wajah Bapakku, langsung terdiam dan menunduk satu – persatu.

“Pulanglah kerumah masing – masing dan berdoalah kepada Gusti Pengeran.” Ucap Bapakku dan satu persatu penduduk desa mengangkat wajahnya, tapi mereka tidak langsung melihat ke arah Bapak. Mereka semua saling memandang, setelah itu baru melihat ke arah Bapakku.

Mereka semua mengangguk, lalu satu persatu membalikan tubuhnya dan pulang kerumah masing – masing. Dihalaman rumahku pun, hanya tersisa puluhan orang – orangnya Bapak.

Langit sangat gelap dan kilatan petir semakin sering terlihat, tapi belum mengeluarkan suaranya yang menggelegar.

“Mungkin sudah saatnya Irawan pergi.” Ucapku sambil melihat ke arah Bapakku, Ibuku, Bapak Ranajaya, lalu seluruh saudaraku.

“Mas. Hiks, hiks, hiks.” Ucap Darmi adik perempuanku, lalu dia menangis tersedu.

Aku menghusap rambut adikku pelan, lalu aku mulai berjalan pelan. Sengaja aku tidak bersalaman dan mencium tangan kedua orang tuaku serta Bapak mertuaku, karena pasti itu hanya akan membuat mereka semua bersedih dan semakin memberatkan langkahku.

“Oh iya. Saya hanya berpesan. Tolong jangan ada yang ikut campur dengan rencana pernikahan Sandi dan Ayu. Jangan pula menghubung – hubungkan kejadian ini dengan weton perjodohan mereka. Mati, hidup, rezeki dan jodohku, hanya Gusti pengeran yang mengatur.” Ucapku sambil menghentikan langkahku sejenak, tanpa menoleh ke arah belakangku.

Aku lalu mengambil bungkusan rokok yang ada dikantongku, lalu aku mengambil sebatang dan aku letakkan disela – sela bibirku.

Cring.

Bunyi korek zippo.

Jres.

Aku menyalakan korek zipo lalu aku membakar rokokku.

Aku menghisap rokokku dalam - dalam dan orang – orangnya Bapak tidak berani melihat ke arahku.

“Huuuu.” Aku keluarkan asap tebal dari mulutku, setelah itu aku mulai berjalan lagi.

CLAP, CLAP, CLAP, CLAP.

Langkahku di ikuti oleh kilatan petir yang terlihat menyambar di hutan terlarang.

Aku berjalan menyusuri jalan desaku, menuju ke arah hutan terlarang. Sengaja aku berjalan, untuk merenggangkan otot – otot ditubuhku. Sudah cukup lama aku tidak berolah raga dan tubuhku agak kaku.

Jalan yang aku lalui ini akan melewati Desa Jati Bening dan Desa Sumber Banyu, setelah itu baru sampai ke hutan terlarang.

Satu persatu penduduk Desa Jati Luhur keluar rumah, ketika aku melewati rumah mereka. Mereka seperti tau kemana aku akan pergi dan mereka semua menatapku sejenak, lalu menundukan kepala. Isakan tangispun mereka keluarkan, ketika langkahku sudah agak menjauh.

Aku terus berjalan dan pandanganku tetap lurus kedepan.

WUSS, WUSS, WUSS, WUSS.

Angin yang sangat kencang langsung menyambutku, ketika aku sudah keluar dari Desa Jati Luhur dan akan memasuki Desa Jati Bening.

Dan ketika aku memasuki Desa Jati Bening, penduduk desanya juga berdiri dihalaman rumahnya, padahal angin sangat kencang sekali.

Aku terus berjalan sambil menghisap batang rokokku yang tinggal sedikit ini, setelah itu aku membuangnya.

Terlihat dihalaman rumah mertuaku, Ibu mertuaku dan ketiga saudara istriku, berdiri sambil melihat ke arahku. Mas Taruna, Danu dan Devi.

Aku mendekat ke arah mereka berempat dan Ibu mertuaku langsung memberikan aku sebotol ramuan.

Aku mengambil botol itu, lalu aku meminumnya sampai habis.

Gluk. Gluk, gluk, gluk.

“Ahhhh.” Ucapku sambil membersihkan sisa ramuan yang berada di bibirku.

“Terimakasih Bu.” Ucapku dan Ibu mertuaku langsung mencium keningku, setelah itu beliau memalingkan wajahnya dengan mata yang berkaca – kaca.

Mas Taruna menepuk pundakku pelan, tanpa berkata apa – apa. Kedua adik iparku Danu dan Devi langsung menunduk, tanpa bersuara juga.

“Saya Pamit Bu, Mas, Dek.” Pamitku, lalu aku berjalan lagi.

Hiuufftt, huuuu.

Langkahku terasa begitu berat, bukan karena keraguan didalam hatiku. Kedua kakiku seperti diikat oleh tangis dari orang – orang terdekatku dan aku menepis semua itu dari pikiranku.

Aku tau proses menuju hutan terlarang pasti sangat berat sekali. Bukan hanya makhluk bengis yang menantiku, tapi pikiran dan perasaan akan dipermainkan juga.

Tes, tes, tes, tes.

Rintik hujan mulai turun, ketika aku sudah keluar dari Desa Jati Bening dan akan memasuki Desa Sumber Banyu.

Kembali aku membakar rokokku, sambil menatap ke arah langit diatas hutan terlarang. Langit semakin gelap gulita dan kilatan petir semakin sering menyambar.

Rokokku mulai basah terkena rintik hujan, tapi aku tetap menghisapnya.

“Hiuufft, huuuu.”

Aku lanjut berjalan lagi, menyusuri pinggiran jalan Desa Sumber Banyu. Dan didesa ini, yang menyambutku berdiri dihalaman rumah mereka, hanya orang – orang yang berusia sepuh. Beliau – beliau berdiri dengan kedua tangan yang menutupi selangkangan dan kepala yang menunduk.

Perjalananku telah sampai di dekat area pemakaman di Desa Sumber Banyu. Hujan semakin deras dan rokokku telah basah, tapi baranya masih tetap menyala.

Aku hisap rokokku sangat basah ini, lalu aku membuangnya.

Digerbang area pemakaman, berdiri seseorang yang sudah lama tidak pernah kujumpai. Sahabat dan teman seperjuangan waktu STM dulu.

Aku mendekat ke arahnya dan dia tersenyum kepadaku, seperti yang biasa dilakukannya dulu.

“Darman.” Ucapku lalu aku membersihkan wajahku yang dipenuhi air hujan.

Darman langsung merentangkan kedua tangannya dan aku langsung memeluk tubuhnya.

“Maaf Wan, maaf.” Ucap Darman dengan suara yang sangat berat, sambil membalas pelukanku.

“Maaf untuk apa Man.? Kamu tidak pernah mempunyai salah kepadaku.” Ucapku dan kami berdua melepaskan pelukan ini.

“Aku tidak bisa mencegah kepergian Joko waktu itu dan akhirnya sekarang terjadi kegaduhan seperti ini.” Ucap Darman dan tatapan matanya terlihat penuh dengan penyesalan.

“Ini bukan kesalahanmu dan gak ada yang perlu kamu sesali.” Ucapku sambil menepuk pundak Darman pelan.

“Joko anak baik Wan. Dia anak baik.” Ucap Darman dengan mata yang terlihat berkaca – kaca dan dengan nada suara yang bergetar.

“Joko dibutakan oleh kesedihannya, karena dia kehilangan orang – orang yang dia sayangi. Dia kehilangan arah dan aku tidak mampu membimbingnya.” Ucap Darman lagi, lalu dia menunduk perlahan.

“Man. Tidak ada yang menyalahkanmu dalam kondisi seperti ini. Kamu sudah melakukan hal yang terbaik, padahal kamu sedang berduka saat itu.” Ucapku menenangkan Darman dan dia langsung mengangkat wajahnya, lalu menatap wajahku.

Hujan turun semakin deras dan mata Darman tampak memerah. Air matanya bercampur dengan air hujan dan tampak sekali kesedihan di bola matanya.

“Oh iya, bagaimana kabarmu.?” Tanyaku untuk mengalihkan rasa sedih Darman.

“Baik. Apalagi baru beberapa hari yang lalu, cucuku datang kemari.” Ucap Darman.

“Oh iya.?” Ucapku dengan senangnya.

“Iya. Walaupun hanya beberapa menit aku melihatnya, aku sudah sangat bahagia sekali.” Ucap Darman dan aku langsung mengerutkan kedua alis mataku.

“Maksudmu kamu hanya melihatnya dan kamu tidak menyentuhnya sama sekali.?” Tanyaku dan Darman langsung mengangguk pelan.

“Cok.” Gumamku pelan.

“Dari lahir sampai detik ini, aku maupun keluargaku yang ada di Desa Jati Bening dan Desa Sumber Banyu, belum sekalipun menyentuh Abimanyu Wan.” Ucap Darman.

(Abimanyu anak dari Gilang, cucu dari Darman.)

“Aku, istriku dan anak – anakku, hanya melihat Abimanyu sebanyak dua kali. Pada saat dia lahir dan pada saat dia melihat melihat kuburan Gilang serta Ratna.”

“Aku tidak mau cucuku terkena marabahaya dan aku juga tidak ingin cucuku tinggal di Desa ini. Aku ingin cucuku tinggal jauh dan tidak terkena kutukan, karena Gilang pernah menerima kekuatan mata hitam maupun mata bening, walaupun akhirnya dia melepaskannya.”

“Cukup sudah Abimanyu menderita karena kehilangan Papahnya. Cukup sudah dia kehilangan Mamahnya yang juga pergi, karena pendaharan hebat setelah melahirkan.”

“Aku tidak ingin dia menderita lagi dan aku ikhlas dia di asuh Opah serta Omahnya di negeri kincir angin.” Ucap Darman.

“Aku sudah cukup bahagia, melihatnya tersenyum ketika melihat makam Papah dan Mamahnya kemarin.” Lanjut Darman bercerita dan dia langsung tersenyum, dibalik kesedihan yang ditahannya.

“Kamu luar biasa Man, kamu luar biasa.” Ucapku yang semakin mengagumi sosok Darman.

CLAP, CLAP, CLAP, CLAP.

DUARRRR.


Kilatan petir menyambar dan kali ini di ikuti suara yang menggelegar. Aku dan Darman yang terkejut mendengar suara yang menggelegar itu, langsung melihat ke arah hutan terlarang. Hutan itu sekarang ditutupi oleh derasnya hujan yang turun.

“Kelihatannya aku harus pergi sekarang Man.” Ucapku.

“Pergilah Wan. Tapi kamu jangan lewat jalur yang disana.” Ucap Darman sambil menunjuk ke arah pinggiran Desa Sumber Banyu dan itu tempat biasa orang desa ini mandi disungai.

“Kenapa.?” Tanyaku.

“Debit air sungai sedang tinggi dan alirannya sangat deras serta berombak. Kamu tidak akan bisa menyebrangi sungai, untuk menuju ke pintu hutan terlarang.” Jawab Darman.

“Jadi aku harus lewat mana.?” Tanyaku.

“Lewat belakang kuburan ini saja. Beberapa hari yang lalu, ada pohon tua yang sangat besar tersambar petir. Pohon itu roboh dan melintang ke arah seberang sungai. Kamu bisa menggunakan batang pohon itu untuk menyebrangi sungai.” Jawab Darman.

“Baiklah. Aku akan melewati jalan yang kamu tunjuk.” Ucapku.

“Aku akan mengantarkanmu, sampai menemukan pohon tua itu.” Ucap Darman, lalu dia membalikan tubuhnya.

“Terimakasih Man.” Jawabku dan kami berdua langsung berajalan memasuki area pemakaman ini.

Kami tidak banyak bicara lagi, karena hujan semakin lebat.

Beberapa saat kemudian, aku melihat dua makam yang bersanding. Di dua makam itu tertulis dibatu nisannya, nama kedua orang yang terkubur didalamnya. Gilang Adi Pratama dan Ratna Silvi Juwita.

Sebenarnya aku ingin singgah dan berdoa di kedua makam itu, tapi waktu kelihatannya sudah tidak memungkinkan.

Akupun hanya melirik kedua makam itu, sambil berdoa didalam hati.

Bunyi aliran sungai yang sangat deras, langsung mengalihkan pandanganku. Aku melihat ke arah sungai dan debit air sedang tinggi – tingginya. Aliran air yang biasanya tenang, sekarang berombak dan sedikit lagi meluap. Warna air yang biasanya bersih dan jernih, sekarang berwarna keruh dan kecoklatan. Ranting kayu dan batang pohon, terombang – ambing di arus yang sangat deras itu.

“Kamu bisa menyusuri batang pohon besar itu.” Ucap Darman sambil menunjuk sebuah batang pohon yang melintang diatas sungai. Bagian akar ada diseberang sana dan bagian ujung pohon berada di pinggir sungai sebelah sini.

Air sungai sedikit lagi menyentuh batang pohon yang melintang itu dan aku harus menyebrang sungai secepatnya.

“Baiklah Man. Aku akan menyebrang kesana. Terimakasih atas petunjukmu.” Ucapku sambil menepuk pundak Darman.

“Wan.” Ucap Darman dan aku langsung menoleh ke arahnya.

“Joko itu sudah dianggap saudara oleh almarhum anakku dan itu berarti, dia adalah anakku.” Ucap Darman, lalu dia menghentikan ucapannya sejenak.

“Aku tidak melarangmu untuk memberinya hukuman, karena apa yang diperbuatnya saat ini tidak bisa dimaafkan.” Ucap Darman lagi dengan suara yang sangat berat, lalu dia menelan air liurnya.

“Tapi aku mohon kepadamu, berikan dia kesempatan untuk menebus semua kesalahannya.” Ucap Darman dan dia mengucapkannya dengan suara yang bergetar.

“Maaf, aku tidak bisa berjanji Man. Kamu taukan bagaimana kalau sudah didalam sana. Bisa saja dia dan makhluk hutan terlarang yang membunuhku, atau sebaliknya.” Jawabku dan wajah Darman semakin terlihat sedih.

“Aku pergi dulu.” Ucapku lalu aku berjalan meninggalkannya.

Jujur aku juga tidak tega kalau sampai harus menghabisi Joko, tapi aku juga pasti tidak akan bisa menghindari pertumpahan darah diantara kami, kalau sampai dia menggunakan kekuatan hitam dari makhluk hutan terlarang.

Aliran air sungai sangat deras dan tidak mungkin aku menyebrang, tanpa melewati batang pohon yang melintang ini. Akupun harus berhati – hati melewati batang pohon ini, karena kalau sampai tergelincir, tubuhku pasti terseret aliran air ini dan terhantam batu – batu besar yang aku lewati.

Hiufftt, huuu.

Aku menartik nafasku dalam – dalam, ketika aku mulai menapakan kaki kananku dibatang pohon ini. Aliran air yang begitu deras dan berada tepat dibawahku, sedikit mengganggu konsentrasiku.

Kedua kakiku sudah berada dibatang pohon dan hujan semakin deras saja. Aku langkahkan kakiku bergantian dan batang pohon ini terasa bergoyang.

Aku melangkah dengan sangat berhati – hati dan aku juga berkonsentrasi untuk menyeimbangkan tubuhku.

Perlahan perjalananku yang menegangkan dan memacu adrenalinku ini, sudah sampai ditengah sungai.

Hembusan angin yang kencang, hujan yang semakin deras dan kelap – kelip dari kilatan petir, membuatku semakin waspada dalam melangkah.

Dan tiba – tiba,

“WAN. AWAS ADA POHON.” Teriak Darman dari arah belakangku dan aku langsung melihat ke arah sebelah kiriku.

Sebuah batang pohon yang lebih besar dari yang kupijak ini, mengarah ke arahku dengan sangat cepatnya.

“Hiuufftt,” Aku menarik nafasku, lalu aku menjatuhkan tubuhku ke arah depan dan aku langsung memeluk batang pohon yang melintang ini dengan kuatnya.

BRUAAKKK, KRAAKKK

Ujung batang pohon besar menghantam bagian tengah pohon yang aku pijak tadi, sampai pohon ini terbelah menjadi dua.

Bagian tengah pohon sampai bagian ujung atas terbawa arus. Sementara batang yang aku peluk, tertahan oleh sebagian akar yang masih tertanam ditanah.

BLUP, BLUP, BLUP, BLUP.

Batang pohon tenggelam di sungai, lalu timbul lagi dan mengarah kepinggir sungai.

BYUR, BYUR, BYUR, BYUR.

Wajahku terhantam derasnya aliran air dan aku semakin mempererat pelukanku.

“IRAWAN.” Sayup – sayup terdengar suara Darman dari seberang sungai sana.

Kretek, kretek, kretek, kretek.

Sebagian akar pohon yang tertanam mulai tergerus derasnya air dan batang yang aku peluk, sedikit lagi menyentuh pinggir sungai.

KRETEK.

Bunyi akar pohon yang tercabut seutuhnya dan langsung mengarah ketengah sungai. Aku langsung menoleh ke arah pinggir sungai yang jaraknya agak dekat denganku. Tanahnya tergerus dan banyak akar – akar pohon yang menjuntai keluar tanah. Aku lalu melepaskan pelukanku pada batang pohon dan pohon itu langsung terbawa arus.

HUPP. BLUP, BLUP, BLUP, BLUP.

Aku menahan nafasku, lalu aku berenang ke arah pinggir sungai. Tubuhku terseret arus yang deras, tapi aku berusaha menggapai akar – akar pohon yang menjuntai.

Sret, sret, sret, sret.

Beberapa kali pegangan tanganku terlepas, karena akar yang kupegang sangat licin sekali.

HUPP. BLUP, BLUP, BLUP, BLUP.

Dan.

Tap.

Akhirnya aku menggapai akar serabut dan telapak tangan kananku bisa menggenggamnya dengan kuat.

“HAUUPPP.” Aku mendangakkan kepalaku untuk mengambil nafas dan tangan kiriku ikut menggenggam akar itu.

HUPP. BLUP, BLUP, BLUP, BLUP.

Perlahan aku berenang merapat ke arah pinggir sungai, dengan bertumpu pada akar serabut ini.

Lalu dengan bertumpu pada akar – akar yang lain, aku bersusah payah keluar dari sungai ini.

“Hu, hu, hu, hu.” Nafasku memburu dan sekarang aku berdiri, dengan posisi membungkuk dan kedua tanganku bertumpu pada kedua lututku.

Tenagaku lumayan terkuras dan dadaku dipenuhi lumpur, ketika aku keluar sungai tadi.

CLAP, CLAP, CLAP, CLAP.

DUARRRR, DUARRRR, DUARRRR, DUARRRR.


Petir menyambar, di ikuti suara yang menggelegar dan bersahut – sahutan.

Aku lalu menegakkan tubuhku dan melihat ke arah hutan terlarang yang berada tepat dihadapanku. Hutan yang sangat luas dan pasti dipenuhi mistery.

Pohon – pohon bergoyang, karena tertiup angin yang sangat kencang. Suara hujan bergemuruh, terkena dedaunan dan juga ranting – ranting pohon. Jarak pandang tidak bisa terlalu jauh, karena derasnya hujan yang turun.

Akupun mulai berjalan, menuju ke arah pintu gerbang hutan terlarang. Jaraknya tidak begitu jauh, karena jalur yang aku lewati ini tidak melewati tempat yang biasa digunakan mandi oleh penduduk Desa Sumber Banyu.

Sebuah pondok tua didekat gerbang hutan terlarang mulai terlihat dan aku terus berjalan, sampai melewati pondok itu.

Beberapa saat kemudian, aku disambut pemandangan yang sangat indah sekali. Sebuah air terjun yang mengalirkan air yang sangat bersih dan juga bening. Warna air itu berbeda dengan air yang mengalir disungai yang aku lewati tadi, coklat dan dipenuhi dengan batang – batang pohon. Selain itu juga, airnya mengalir dengan tenang walaupun hujan turun dengan sangat derasnya.

Aku terus mendekat ke arah air terjun, karena posisi pintu gerbang hutan terlarang, berada tidak jauh dari air terjun itu.

Ditengah hujan yang sangat deras ini, terlihat seorang wanita sedang mandi dibawah air terjun yang indah itu. Aku tidak terkejut melihat wanita itu, karena disepanjang aliran sungai ini adalah tempat bermainnya. Sedangkan tempat tinggalnya, berada disungai yang membelah antara Desa Jati Bening dan Desa jati Luhur.

Akupun langsung mendekat ke arah air terjun dan wanita itu langsung menoleh ke arahku, sambil tersenyum.


Lanjut kebawah
 

“Hai Wan.” Ucap Wanita itu, lalu dia berjalan ke arahku, sambil membenarkan posisi kain jarik yang melilit tubuhnya.

“Hai yang.” Jawabku dan sekarang dia sudah berdiri dihadapanku.

“Yang.? Yang itu sayang atau Dayang.?” Tanya wanita itu dan dia bernama Dayang.

Dayang itu wanita yang sangat cantik dan dia adalah penunggu sungai yang ada didekat desaku sana.

Dayang

“Kamu pasti pahamlah maksudku.” Ucapku dan kembali dia tersenyum dengan manisnya.

“Ternyata kamu gak berubah. Masih dingin seperti yang dulu.” Ucap Dayang, sambil membenarkan kain jariknya lagi.

Kain jarik yang basah itu, melilit ditubuhnya dengan ketat, sehingga menampakan setiap inchi lekuk tubuhnya.

“Biasa aja.” Jawabku sambil mengalihkan pandanganku, ke arah pintu gerbang hutan terlarang yang tertutup pepohonan.

“Bagaimana kabarmu Wan.?” Tanya Dayang.

“Baik.” Jawabku singkat dan aku tetap melihat ke arah gerbang hutan terlarang, untuk mencari jalan masuk kedalam sana yang masih belum terlihat.

“Kamu gak kangen sama aku ya.?” Tanya Dayang dan aku langsung melihat ke arahnya.

“Tujuanku kemari itu, bukan untuk reoni dan kangen kangenan. Kamu pasti paham itu.” Ucapku sambil menatap matanya.

“Kenapa sih kamu gak bisa ngomong romantis kalau sama aku.?” Tanya Dayang dan aku tidak menjawab pertanyaannya. Aku hanya terus menatap matanya dan Dayang langsung menggelengkan kepalanya pelan.

CLAP, CLAP, CLAP, CLAP.

DUARRRR, DUARRRR, DUARRRR, DUARRRR.


Suara petir mengejutkan kami berdua dan kembali aku melihat ke arah pintu gerbang hutan terlarang.

“Kamu gak akan bisa masuk kesana, walaupun kamu tau dimana letak gerbang hutan terlarang.” Ucap Dayang dan aku langsung melihat ke arahnya lagi.

“Pintu masuknya akan tertutup pepohonan dan halusinasi hutan ini akan menggagalkan tujuanmu ketempat ini.” Ucap Dayang lagi.

“Kegagalan itu bisa terjadi, kalau ada keraguan dalam melangkah. Sedangkan didalam dadaku, tidak ada sedikitpun yang namanya ragu.” Ucapku dengan tenangnya.

“Jangan pernah meremehkan keangkeran hutan terlarang, karena masuk kedalam sana gak semudah yang kamu pikirkan. Sehebat apapun seorang Irawan Jati, tidak akan ada apa – apanya, ketika didalam sana.” Ucap Dayang dan sekarang wajahnya terlihat sangat serius sekali.

“Aku tidak pernah meremehkan segala sesuatu yang akan kujalani dan aku tidak pernah merasa diriku hebat. Aku bisa berdiri ditempat ini, karena aku hanya menjalani takdirku yang telah tertulis dilangit.” Ucapku lalu aku menggeser tubuhku, sampai menghadap ke arah gerbang hutan terlarang.

“Aku akan masuk kedalam sana dan aku akan menaklukannya. Tidak perduli seberapa kuat atau seberapa seram makhluk penghuni hutan itu.” Ucapku lagi dan Dayang berdiri tepat disamping kiriku.

“Takdirmu memang sudah ada dilangit. Tapi apakah kamu tau apa yang sudah tertulis disana.? Apa kamu tau kenapa takdir sampai membawamu kemari.? Apa kamu tau kenapa anak muda sebaik Joko, nekat melakukan hal yang sangat membahayakan untuk dirinya dan juga orang banyak.? Apa kamu tau kenapa harus kamu yang menghentikannya.?” Tanya Dayang dan aku langsung terdiam mendengar pertanyaannya yang beruntun ini.

“Hilangkan sikap angkuhmu dihutan ini, karena ini bukan duniamu Wan. Hutan ini bukan rumahmu dan kalau kamu mau masuk kedalam sana, kamu harus melakukan beberapa ritual.” Ucap Dayang sambil berjalan ke arah depanku, lalu berdiri menghadap ke arahku.

Aku tetap diam sambil menatapnya dan Dayang seperti paham akan arti tatapanku ini.

“Suka atau tidak suka, kamu harus melakukan beberapa ritual, supaya tujuanmu tercapai.” Ucap Dayang lagi dan aku tidak membantah ucapannya.

“Baiklah. Apa yang harus aku lakukan saat ini.?” Tanyaku, karena yang dikatakan Dayang ini ada benarnya.

Aku tidak begitu mengenal hutan terlarang dan hutan ini memang bukan rumahku. Aku disini sebagai tamu dan sebagai tamu aku harus melakukan ritual, agar aku bisa masuk kedalam sana.

Kenapa aku bisa berbicara seperti ini.? Aku tau letak pintu gerbang hutan terlarang, tapi sampai sekarang aku tidak menemukan jalan masuknya. Sepanjang mata yang aku lihat, hanya pohon yang menjulang tinggi keangkasa, tapi tidak ada jalan masuk yang terlihat. Jalan setapak yang ada dihadapanku dan mengarah kehutan terlarang, terlihat putus ditengah jalan dan tidak ada jalan lagi selain putar balik.

Hiuufftt, huuuu.

“Sebelum kamu melakukan ritual, kamu harus tau dulu kenapa harus kamu yang mengentikan semua ini. Kamu juga harus tau kenapa Joko sampai terbuai rayuan makhluk penghuni hutan ini, sampai dia nekat masuk kedalam sana.” Ucap Dayang dan sekali lagi apa yang diucapkan Dayang ini sangat benar sekali. Pasti ada alasan dan tujuan, kenapa aku yang dibisiki oleh sesosok makhluk untuk masuk kedalam hutan terlarang ini.

Aku tinggal agak jauh dari hutan terlarang dan yang terdekat justru Desa Sumber Banyu. Tapi kenapa bukan masyarakat dari Desa Sumber Banyu yang dipilih, padahal mereka pasti mengenal dan menguasai medan hutan terlarang. Yang menjadi akar permasalahan didalam hutan sanapun, Joko yang notabennya orang dari Desa Sumber Banyu. Jadi kenapa harus aku yang dipilih.?

“Joko masuk kedalam sana, karena jiwanya telah kosong. Kesedihan akibat kehilangan orang – orang yang disayanginya, membuatnya tidak punya semangat dan tujuan hidup. Hal itu dimanfaatkan oleh makhluk penghuni hutan terlarang, agar Joko membangkitkan pemimpin mereka yang telah lama tertidur.”

”Kenapa harus Joko yang membangkitkannya.? Karena Joko itu murni keturunan dari Desa Sumber Banyu, yang mempunyai ikatan kuat dengan hutan terlarang ini.”

“Jiwa Joko yang kosong itu, dijanjikan sebuah ilmu yang bisa membuatnya kembali menikmati indahnya kehidupan dunia, bersama orang – orang yang telah meninggalkannya. “ Ucap Dayang dan itu langsung membuatku mengerutkan kedua alis mataku.

CLAP, CLAP, CLAP, CLAP.

DUARRRR, DUARRRR, DUARRRR, DUARRRR.


“Maksudnya, Joko akan diberi ilmu sambung nyowo.?” (Menyambung nyawa.) Tanyaku dan Dayang langsung mengangguk pelan.

Ilmu sambung nyowo itu, memang telah melegenda di sekitar hutan terlarang dan banyak yang mempercayainya. Tapi untuk aku, aku tidak sama sekali mempercayai hal itu. Bagiku manusia yang telah mati, raganya tidak akan bisa kembali lagi karena mereka telah mempunyai dunia sendiri. Lagian orang yang sudah mati, pasti tubuh mereka hanya menyisakan tulang – belulang, jadi bagaimana tulang – belulang itu akan diberi nyawa lagi.? Tidak masuk akal.

“Ya. Joko akan diberi ilmu sambung nyowo. Dengan ilmu itu, Joko akan membangkitkan kedua orang tuanya, Gilang dan juga kekasihnya yang sudah lama mati.” Ucap Dayang.

“Tidak mungkin. Mereka sudah tenang dialam sana dan tubuh mereka sekarang pasti sudah menjadi tulang belulang. Jadi bagaimana mereka akan bangkit lagi.?” Tanyaku.

“Ilmu itu memang jahat, karena yang dibangkitkan bukan mereka – mereka yang sudah mati. Mereka yang datang itu justru makhluk lain, tapi berwujud siapapun yang ada dipikiran orang yang menguasai ilmu sambung nyowo.” Jawab Dayang.

“Dan bagi mereka yang menguasai ilmu itu, tidak akan merasakan hal itu. Jiwa mereka sudah kosong dan pikiran mereka berada didalam pengaruh makhluk hutan terlarang.” Ucap Dayang, yang melanjutkan jawaban atas pertanyaanku tadi.

Wah. Mengerikan sekali orang yang berada dibawah pengaruh ilmu sambung nyowo. Mereka akan hidup dengan makhluk yang mirip dengan orang – orang yang disayanginya, tapi itu hanya dalam khayalannya saja. Terus untuk apa hidup kalau hanya jadi seperti robot.? Pasti tidak ada kasih sayang yang nyata, pasti tidak ada sebenar – sebenarnya perhatian dan pasti tidak ada sentuhan yang berasal dari hati.

Kalau memang seperti itu, kenapa harus mengikuti hawa nafsu, kalau yang didapat ternyata palsu.? Kenapa tidak merelakan dari pada harus memaksakan.? Kenapa tidak mengikhlaskan hati dari pada harus menyakiti diri.?

Dunia ini bukannya kejam, tapi kita yang terlalu berharap banyak dan akhirnya terperosok semakin dalam.

Mencintailah sewajarnya dan membencilah seperlunya. Karena kalau perasaan kita dilebih – lebihkan, maka kita tidak akan bisa menikmati indahnya dunia.

Hiuuuffttt, huuuu.

“Oh iya, sebelum Joko menerima ilmu sambung nyowo, dia harus membangkitkan makhluk hutan terlarang terlebih dahulu.” Ucap Dayang.

“Kamu taukan akibatnya kalau sampai makhluk itu bangkit.?” Ucap Dayang lagi, lalu diakhiri dengan sebuah pertanyaan.

“Tidak ada yang bisa menghentikan keganasan makhluk itu dan semesta ini pasti akan dipenuhi aliran darah dari manusia – manusia yang tidak berdosa.” Ucap Dayang dan dia menjawab pertanyaannya sendiri.

CLAP, CLAP, CLAP, CLAP.

DUARRRR, DUARRRR, DUARRRR, DUARRRR.


Kilatan dan bunyi yang melegar, semakin sering terdengar.

“Dan hari ini, setelah tujuh tahun Joko melakukan ritual yang sangat berat, makhluk itu nanti malam akan dibangkitkan, bertepatan dengan puncaknya gerhana bulan.” Ucap Dayang dan aku tau arah tujuannya berbicara.

“Jadi karena kejadian ini bertepatan dengan gerhana bulan, aku yang harus menghentikan kegilaan Joko, sebelum dia membangkitkan makhluk itu.?” Tanyaku dan dayang langsung mengangguk pelan.

“Seharusnya Sandi Purnama Irawan yang menghentikan bangkitnya makhluk hutan terlarang. Tapi kelihatannya itu tidak mungkin. Selain karena kamu pasti tidak mengijinkannya, Sandi belum menguasai dirinya secara sempurna.” Ucap Dayang lagi.

Huuuu. Pasti. Aku pasti tidak akan mengijinkan Sandi untuk datang kehutan terlarang ini. Bukan karena aku meremehkan kekuatan putra tersayangku, bukan. Hutan ini sangat ganas dan melebihi keganasan dari Cakra, sahabatku yang telah dibantai oleh Sandi. Resikonya terlalu besar dan aku pasti tidak akan merestui Sandi, apapun alasannya. Lebih baik aku sendiri yang turun tangan, walaupun nyawaku sebagai taruhannya.

“Jadi apa yang harus aku lakukan, agar aku bisa menembus gerbang hutan terlarang.” Tanyaku dan cukup sudah obrolan kami ini. Waktuku tidak banyak, karena sebentar lagi malam akan tiba.

“Ada tiga air terjun yang ada di hutan terlarang dan kamu harus mandi diketiga air terjun itu. Air terjun yang pertama, berada dihadapanmu ini. Air terjun yang kedua, ada ditengah perjalananmu nanti. Air terjun yang ketiga, berada tepat dibawah sumber mata air hutan terlarang.”

“Tujuan mandi di air terjun yang pertama adalah, untuk membersihkan segala pikiranmu dan membuka mata batinmu, agar kamu bisa melihat pintu gerbang hutan terlarang.”

“Tujuan mandi di air terjun ke dua, untuk menenangkan jiwamu agar kamu lebih focus dengan tujuanmu datang kehutan terlarang.”

“Sedangkan mandi di air terjun ketiga, bertujuan untuk membersihkan jiwa ragamu dari segala dendam dan kebencian yang ada dihatimu.” Ucap Dayang, lalu tiba – tiba dia membuka lilitan kain jarik yang ada didadanya, setelah itu dia melepaskan kain jarik ketanah.

CLAP, CLAP, CLAP, CLAP.

DUARRRR, DUARRRR, DUARRRR, DUARRRR.


Tubuh Dayang telanjang bulat dihadapanku dan tidak ada selembar kainpun yang menutupi kemolekan tubuhnya.

“Apa yang kamu lakukan ini yang.? Pakai lagi kain jarikmu.” Ucapku sambil memalingkan wajahku dan melihat ke arah air terjun.

“Kita harus bersetubuh, karena ini salah satu ritual yang harus kamu lakukan.” Ucap Dayang sambil merapatkan tubuhnya ke tubuhku dan tangan halusnya menyentuh kulit pipiku.

“Jangan gila kamu yang. Ini pasti akal – akalanmu saja, agar kita bisa bersetubuhkan.?” Tanyaku sambil memundurkan tubuhku dan aku tetap tidak melihat ke arahnya.

Dayang dari dulu memang sering kali merayuku, agar kami berdua bersebutuh. Berbagai cara dia lakukan, tapi aku selalu menolaknya. Aku merasa dia memiliki sebuah tujuan dan itu bukan hanya sekedar merengkuh kenikmatan. Entah apa itu, yang jelas aku tidak pernah menggubrisnya.

“Enggak Wan, ini bukan kemauanku. Tapi ini memang harus kita lakukan, karena halusinasi hutan terlarang juga akan mempermainkan nafsu birahimu.” Ucap Dayang.

“Apapun alasanmu, aku tidak akan memperdulikannya yang. Dulu saja aku selalu menolak permintaanmu yang gila ini, apalagi sekarang aku sudah menikah dan memiliki anak dengan Anjani.? Gila.” Ucapku lalu aku melangkah ke arah air terjun.

“Wan. Didalam sana permainan nafsunya lebih gila lagi dan kalau kamu sampai terjerumus kedalamnya, itu akan membahayakanmu.” Ucap Dayang yang sekarang ada dibelakangku dan aku langsung menghentikan langkahku, tepat dipinggir sungai.

CLAP, CLAP, CLAP, CLAP.

DUARRRR, DUARRRR, DUARRRR, DUARRRR.


“Didalam sana, pasti bukan hanya permainan nafsu birahikan.? Didalam sana juga pasti akan ada pertempuran yang dahsyat dan pasti akan ada banjir darah kan.?” Tanyaku tanpa menoleh ke arahnya dan Dayang tidak menjawab pertanyaanku.

“Iya. tapikan.” Ucap Dayang terpotong.

“Terus kenapa kamu hanya mengajakku bersetubuh.? Kenapa juga kamu tidak mengajakku berduel, sampai darah kita tertumpah disini.?” Tanyaku yang memotong ucapan Dayang tadi.

“Aku hanya membantumu, sesusai dengan kemampuanku.” Jawab Dayang dengan suara yang bergetar.

“Bukan. Kamu bukan membantuku yang. Kamu justru menjerumuskan aku kedalam kesalahan yang sangat fatal dan aku pasti akan menyesali seumur hidupku, karena aku mengkhianati cinta suci Anjani.” Ucapku dengan suara yang juga bergetar.

“IRAWAN.” Teriak Dayang.

“Sudahlah yang, kamu tau bagaimana sifatku kan.? Aku akan berjuang sampai tetes darah terakhirku dan aku akan menghabisi semua yang menghalangi jalanku. Aku juga akan menahan nafsu birahiku, walapun nyawaku yang menjadi taruhannya. Lebih baik aku mati, dari pada aku harus melihat Anjani meneteskan air mata kekecewaannya.”

“Aku sangat mencintai Anjani dan tidak akan ada yang mampu menggoyahkannya.” Ucapku, lalu aku melangkahkan kaki kananku, masuk kedalam sungai yang dalamnya hanya semata kakiku ini.

Dayang tidak bersuara lagi dan aku terus berjalan ke arah air terjun.

CLAP, CLAP, CLAP, CLAP.

DUARRRR, DUARRRR, DUARRRR, DUARRRR.


Hujan semakin deras dan dibarengi dengan petir yang terus menyambar.

Ketika sampai dibawah air terjun yang pertama ini, aku langsung duduk diatas sebuah batu dengan kedua kaki yang bersila.

Dinginnya air terjun, langsung mengguyur kepala dan seluruh tubuhku.

Hiuuffttt, huuuu.

Aku menarik nafasku dalam – dalam, lalu aku memejamkan kedua mataku. Aku atur pernafasanku dan aku berusaha menenangkan pikiranku. Aku ingin focus dengan perjalananku yang pasti sangat berat ini dan aku ingin menepikan masalah – masalah yang lain.

“Bukalah matamu Le.” Bisik seseorang dan aku langsung membuka kedua mataku perlahan.

Dan dihadapanku saat ini, Simbah bermata merah penunggu desa Jati luhur, duduk bersila dihadapanku. Aku lalu melirik ke arah sekitarku dan rupanya aku tidak lagi berada dibawah air terjun. Sekarang aku berada dihamparan tanah yang agak tinggi dan tidak begitu luas. Hamparan tanah yang aku duduki ini, dikelilingi jurang dan kobaran api terlihat dari arah bawah sana.

Ini adalah rumah Simbah bermata merah, tempat yang sangat mengerikan yang pernah aku datangi selama hidupku. Didalam jurang sana, banyak manusia – manusia yang disiksa dan dibakar hidup - hidup oleh Simbah.

“Apakah kamu sudah siap untuk pertempuranmu yang terakhir.?” Tanya Simbah dan aku langsung melihat ke arahnya, sambil tersenyum.

“Siap atau tidak siap, aku pasti akan menikmati pertempuranku ini Mbah. Tapi aku tidak tau apakah ini pertempuran terakhirku atau masih ada pertempuran – pertempuran lainnya setelah ini. Tugasku hanya menjalani dan sekali lagi, aku akan menikmati setiap jengkal langkah kehidupanku Mbah.” Jawabku.

“Apa kamu merasa mampu menghadapi pertempuranmu kali ini.?” Tanya Simbah.

“Mampu atau tidak mampu, tidak ada kata menyerah didalam kamus kehidupanku Mbah.” Jawabku.

“Seberapa keyakinan yang ada didalam dirimu, kalau kamu sanggup memenangkan pertempuran kali ini.?” Tanya Simbah lagi.

“Tidak ada yang namanya makhluk yang kuat ataupun makhluk yang hebat Mbah. Yang ada itu hanya rasa takut didalam diri kita sendiri. Semakin kita takut menghadapi sesuatu, itu yang akan menjadi kekuatan dan kehebatan lawan kita Mbah.” Jawabku dengan tenangnya.

“Baiklah. Mari kita mulai saja pertempuran malam ini.” Ucap Simbah lalu dia tersenyum dengan bengisnya dan kedua matanya langsung menyala berwarna merah darah.

“ARGHHHHHHHH.” Teriak Simbah dengan kepala yang mendangak keatas, lalu melihat ke arahku, setelah itu tubuhnya melayang ke arahku dan menabrak tubuhku.

Aku merentangkan kedua tanganku, menerima kedatangan dari makhluk penjaga Desa Jati Luhur dan juga makhluk penjagaku ini.

Buhggg.

Tubuh Simbah menyatu kedalam kedalam tubuhku dan aku langsung memejamkan kedua mataku.

“ARGHHHHHHH.” Giliran aku yang berteriak dengan kencangnya dan aku melakukannya sambil membuka kedua mataku.

Pandanganku berubah menjadi merah darah dan sekarang aku berada dibawah air terjun lagi.

“Herg, herg, herg, herg.” Nafasku memberat dan aku langsung berdiri perlahan.

Aku berjalan keluar sungai kecil ini dan tidak nampak Dayang disekitarku. Aku lalu melihat ke arah gerbang terlarang dan sekarang terlihat ada jalan setapak ditengah gerbang itu.

Aku lalu berjalan ke arah jalan setepak itu dan tiba – tiba, lima ekor macan kumbang keluar dari dalam hutan dengan garangnya.

Kelima macan kumbang itu langsung berhenti didepan pintu gerbang dan berjejer sambil menatap ke arahku. Dibelakang macan kumbang itu, muncul lima makhluk menyeramkan dengan memakai jubah panjang.

Kelihatannya mereka adalah penjaga gerbang hutan terlarang dan mereka ingin menghalangi jalanku.

“Hemm. Aku suka dengan aroma pertempuran. Apalagi yang dihadapi hanya lima badut beserta lima anjing peliharaannya.” Ucap Simbah yang menggema didalam kepalaku.

“Kita habisi mereka, sebelum anjingnya kencing sembarangan.” Ucap Simbah lagi dan dia mencoba untuk membakar emosiku.

“Mereka bukan anjing Mbah. Lagian kalau mereka beneran anjing, mereka tidak akan berani kencing sembarangan, karena ada tuannya disini.” Ucapku yang tetap tenang dan tidak terpancing oleh perkataan Simbah.

“Jangan terlalu diberi hati. Kamu bisa dicabik – cabik oleh kelima macan itu.” Ucap Simbah dan aku hanya menatap kelima macan itu.

“AUURGMMMMMM.” Auman kelima macan kumbang itu bersamaan dan bersiap menerjang ke arahku.

Salah satu macan berjalan ke arahku dengan tatapan yang sangat tajam. Langkahnya pelan dan mulutnya sesekali menganga, memamerkan gigi – gigi tajamnya.

Aku terus menatap ke arah matanya dan macan itu langsung berhenti didepanku.

“AUURGMMMMMM.” Dia mengaum dengan suara yang lantang dan mulut yang terbuka lebar.

Aku tidak gentar sedikitpun dan aku tidak menghindarinya walau selangkah. Kedua kakiku justru mendekat ke arahnya dan tangan kananku langsung memegang kepala macan itu pelan.

“Herg, herg, herg, herg, herg.” Nafasnya memberat dan tatapan matanya yang tajam tadi, perlahan mulai sayu.

Dengan pandangan mataku yang memerah ini, aku terus menatap mata macan itu dan akhirnya macan itu tertunduk dihadapanku.

“Aku kemari bukan untuk merusak rumahmu ini. Jadi sekarang lebih baik kamu masuk kembali kedalam sana dan tetap jaga rumahmu ini dari tangan orang – orang yang berniat busuk.” Ucapku berbisik ditelinga macan itu dan aku melakukannya sambil membungkukkan tubuhku.

Macan itu melihat ke arahku sejenak, lalu dia membalikkan tubuhnya dan berjalan ke arah pintu gerbang hutan terlarang. Dia melewati keempat macan lainnya dan keempat macan itu langsung mengikuti berjalan dibelakangnya.

“Bajingann. Disela emosimu yang seperti ini, masih saja kamu mempunyai rasa sayang kepada makhluk yang lain.” Ucap Simbah.

“Ada kalanya kita menaklukan lawan kita dengan kasih sayang dan ada kalanya kita menaklukannya dengan kepalan tangan.” Ucapku sambil melihat ke arah kelima makhluk berjubah panjang yang masih berdiri didepan hutan terlarang.

“Bajingann. Kamu telah menaklukan kelima macan kumbang milik kami. Tapi kamu jangan besar kepala dulu, karena kepalamu akan kami tanam ditempat ini.” Ucap salah satu makhluk berjubah itu, sambil menunjuk ke arahku.

“Terus makhluk yang gak sopan itu, bagusnya ditaklukkan memakai apa.? Sayang atau kepalan tangan.?” Tanya Simbah dan aku merasa dia sudah mulai mengeluarkan energy yang hebat, sehingga membuat seluruh tubuhku memanas.

“Gak keduanya Mbah. Makhluk yang berbicara itu, harus dibungkam dengan injakan kakiku.” Ucapku sambil memiringkan kepalaku kekanan, kebelakang, kekiri, mendunduk, lalu aku tegakkan lagi.

Aku lalu berlari ke arah makhluk itu dan dia juga berlari ke arahku.

Dan ketika jarak kami sudah agak dekat, makhluk itu meloncat ke arahku dan aku juga meloncat ke arahnya.

“ARRGGGHHH.” Makhluk itu berteriak sambil mengarahkan kepalan tangannya ke arah wajahku..

Tubuhku yang melayang diudara ini, aku serongkan kesamping dan tumit kaki kananku mengarah ke makhluk itu.

BUGGHH.

Tumitku terlebih dahulu mengenai mulutnya dan membuat makhluk itu terlempar kebelakang.

“ARRGGGHHH.” Makhluk itu berteriak kesakitan dan kedua kakinya langsung menapak ketanah.

Makhluk itu terseret kebelakang dan seretan kedua kakinya menggores ditanah.

“Hu, hu, hu, hu.” Makhluk itu terhenti beberapa meter didepanku sana dan nafasnya terdengar memburu.

Dia menatapku lagi dan sekarang terlihat semakin emosi. Keempat makhluk lainnya langsung berlari ke arahku dan aku langsung memasang kuda – kuda, bersiap untuk menyerang makhluk - makhluk penunggu pintu gerbang hutan terlarang itu. Bagiku, pertahanan terbaik adalah menyerang, seperti filosofi total football negeri kincir angin.

“ARRGGGHHH.” Makhluk kedua meloncat sambil mengarahkan tinjuan ke arah wajahku.

Aku memiringkan tubuhku ke arah kiri untuk menghindari pukulannya, sambil mengayunkan kepalan tanganku ke arah belakang.

WUUTTT.

Pukulannya melesat dan ketika kepalan makhluk itu sudah melewati samping wajahku, aku ayunkan kepalan tanganku kedepan, mengarah di bagian leher makhluk itu dengan kuatnya.

BUHHGGGG.

“HOORRGGHHHH.” Tubuh makhluk itu tertahan sesaat oleh pukulanku dilehernya, lalu setelah itu tubuhnya terlempar kebelakang.

Berbeda dengan makhluk pertama yang masih bisa berdiri, setelah injakanku dikeningnya. Makhluk yang kedua langsung roboh dan tubuhnya terseret ditanah, lalu beberapa saat kemudian, tubuh makhluk itu menghilang bersama derasnya hujan.

“ARRGGGHHH.” Teriak makhluk ketiga dan keempat, yang berlari dari arah kanan dan kiriku.

Aku menoleh ke arah kiri dan sesekali aku melirik ke arah kanan dengan ujung ekor mataku.

Makhluk ketiga menyerangku dari arah kiriku dan aku langsung menyepaknya, menggunakan punggung kaki kananku. Aku mengarahkan sepakanku ke arah dagunya dan mulutnya sedang terbuka lebar.

BUHHGGGG.

Makhluk itu terdanga dan aku langsung memutarkan tubuhku, lalu aku melakukan tendangan balik ke arah lehernya.

BUHHGGGG.

Tubuh makhluk itu terlempar kebelakang dan kembali aku memutarkkan tubuhku, karena makhluk keempat sudah berada didekatku.

Kepalanya miring kekanan dan mulut terbuka dengan lebar. Makhluk itu mengincar leherku dan ingin menggigitnya. Akupun langsung mengarahkan kepalan tangan kiriku, ke arah bagian bawah telinganya.

BUHHGGGG.

Kepala makhluk keempat itu langsung miring kekiri, karena pukulanku masuk dengan telaknya. Karena posisi kepalanya lebih rendah daripada posisiku berdiri, aku langsung menghantam kening makhluk itu dengan kuat.

BUHHGGGG.

Makhluk itu langsung tersungkur dihadapanku, setelah itu tubuhnya menghilang.

“ARRGGHHH.” Makhluk kelima berteriak dari arah belakangku dan aku langsung membalikan tubuhku.

BUHHGGGG.

“HUPPP.” Nafasku sesak dan tubuhku langsung terlempar kebelakang, karena makhluk kelima itu menginjak dadaku dengan kuat.

BUHHGGGG, BUHHGGGG, BUHHGGGG, BUHHGGGG, BUHHGGGG.

Makhluk kelima itu melayang sambil melepaskan tinjuannya ke arah wajahku dan aku termundur, sambil mencoba melindungi wajahku dari serangannya.

BUHHGGGG, BUHHGGGG, BUHHGGGG, BUHHGGGG, BUHHGGGG.

Pukulannya cepat dan kuat, sehingga beberapa pukulannya masuk kewajahku.

BUHHGGGG, BUHHGGGG, BUHHGGGG, BUHHGGGG, BUHHGGGG.

Makhluk itu terus menghantam wajahku dan dia tidak memberi kesempatan aku untuk membalas serangannya. Jangankan membalas serangan, menarik nafaspun aku seperti tidak diberi kesempatan oleh makhluk ini.

Lalu tiba – tiba.

BUHHGGGG.

Perutku di injak oleh makhluk pertama yang aku injak mulutnya tadi.

“ARRGHHH.” Tubuhku melayang kebelakang, lalu terjatuh terlentang ditanah yang basah ini dan terserat beberapa meter kebelakang.

Sretttt. Buhg.

Tubuhku terhenti, dengan posisi kepala belakangku terhantam pohon.

“Lemah.” Ucap Simbah yang mengejekku.

“Apa kamu sudah terlalu tua untuk sebuah pertarungan seperti ini.? Apa tulang – tulangmu sudah rapuh dan kamu tidak memiliki tenaga lagi.? Payah.” Ucap Simbah lagi dan aku hanya mendiamkannya saja.

Aku lalu duduk perlahan dan melihat ke arah kedua makhluk yang berdiri berdekatan itu. Makhluk pertama dan kelima itu terlihat bersiap untuk menyerangku lagi.

“Huuuu.” Aku hembuskan nafasku, lalu aku berdiri dengan tubuh bagian belakangku yang dipenuhi tanah, akibat terseret tadi.;

“Kalau kamu masih mau bermain, lebih baik kita pulang saja. Waktu kita sudah tidak banyak.” Ucap Simbah yang terus saja bersuara.

“Hehe.” Aku pun hanya tertawa sambil menyapu air hujan yang memenuhi wajahku.

CLAP, CLAP, CLAP, CLAP.

DUARRRR, DUARRRR, DUARRRR, DUARRRR.


Kilatan petir dan suara yang menggelegar, membuatku sempat terkejut dan aku kembali aku focus dengan dua makhluk dihadapanku. Aku harus menyelesaikan kedua makhluk ini dan segera masuk kedalam hutan secepatnya.

Salah satu makhluk bergerak ke arahku dengan sangat cepat, sambil mengarahkan tinjuannya ke arah wajahku.

WUTTT.

Aku menghindar ke arah kanan, sambil mengayunkan kepalan tangan kiriku ke arah dadanya.

BUHHGGGG.

“Huuuppp.” Makhluk itu termundur, dengan wajah yang condong kedepan.

Aku memutar tubuhku, lalu aku mengarahkan sikut kananku ke arah wajahnya.

BUHHGGGG.

“ARRGGHHH.” Wajahnya terdanga dan aku langsung menyambutnya dengan kepalan tangan kiriku ke arah batang lehernya yang terbuka.

BUHHGGGG.

“HORRGGG.” Makhluk itu terdorong kebelakang.

Dan ketika aku akan menyerangnya lagi, makhluk itu menghilang seperti debu.

Satu makhluk yang tersisa terbang ke arahku dan aku langsung memiringkan tubuhku, lalu aku meraih kerah bagian lehernya, setelah itu aku membantingnya ketanah dengan posisi tubuhnya yang terlentang.

BUUMMMM.

Aku lalu menginjak wajahnya yang berada didekat kaki kananku.

BUHHGGGG.

Wusssss.

Tubuhnya menghilang, seperti keempat temannya yang tadi.

“Lambat.” Ucap Simbah dengan nada suara yang mengejek dan aku hanya menggelengkan kepalaku pelan.

Perlahan pandanganku yang memerah, berubah menjadi seperti biasa. Seluruh tubuhku langsung terasa ngilu, akibat perkelahian tadi dan pakaianku yang basah kuyub ini, membuat hawa dingin terasa sampai ketulangku.

“Huuuu.” Aku menghela nafas panjangku, sambil melihat ke arah pintu gerbang hutan terlarang.

Jalan setepak ke arah pintu hutan mulai terlihat dan perlahan hujan mulai mereda.

Aku lalu melangkah ke arah pintu gerbang dan tiba – tiba kabut mulai datang, menyelimuti hutan belantara dihadapanku ini. Suasana yang menengangkan dan begitu menyeramkan, langsung menyambutku ketika aku mulai masuk kedalam hutan terlarang ini.

Pohon – pohon tua menjulang tinggi ke angkasa dan akar – akarnya yang besar, muncul dipermukaan tanah. Suara gemuruh hujan pun perlahan mulai menghilang dan kondisi dihutan ini menjadi sangat sunyi sekali. Tidak suara lain yang terdengar, kecuali tapak kakiku ditanah yang basah ini.

Aku terus melangkah kedalam hutan dan jalannya mulai menanjak. Tidak ada gangguan mistis ataupun halusinansi hutan terlarang yang katanya sangat menyeramkan. Hawanya memang membuat seluruh tubuh merinding, tapi bagiku suasananya masih cukup bersahabat dan tidak terlalu menakutkan seperti cerita yang pernah aku dengar. Tidak ada angin, tidak ada hujan dan tidak ada kilatan petir. Tapi apapun itu, aku tidak akan lengah sedikitpun. Sesuatu yang tenang itu justru lebih mematikan.

Akupun berjalan sangat berhati – hati, karena jalan setapak ini sangat licin sekali.

Suasana hutan semakin gelap dan kabut semakin tebal. Pohon – pohon yang tadinya terlihat menjulang tinggi ke angkasa, tidak terlihat satupun.

Aku mencoba menenangkan diri dan focus dengan jalur perjalanan, yang jarak pandangnya sangat dekat sekali.

Beberapa saat kemudian, cahaya remang – remang mulai menyinari hutan yang sangat gelap ini dan kabutpun mulai berkurang. Langit terlihat cerah dan bulan purnama mulai tertutup sedikit oleh bayangan hitam dari matahari.

Gila. Cepat banget berubahnya cuaca ditempat ini. Apa ini bagian dari halusinasi hutan terlarang atau kondisinya memang seperti ini.?

Tes, tes, tes.

Tetesan cairan dari atas pohon, mengenai pundakku dan aku tidak memperdulikannya. Aku terus berjalan karena aku merasa ini adalah tetesan sisa – sisa air hujan yang ada di pepohonan.

Bau amis darah tercium dan aku tetap tidak memperdulikannya. Aku terus melangkah tapi bau amis darah itu semakin terasa menyengat. Aku langsung menghentikan langkahku, untuk mencari asal bau itu. Aku menoleh ke arah sekitarku dan bau itu sangat dekat sekali. Aku lalu melihat pundakku dan ada bercak tetesan darah yang melekat dibajuku.

Aku dangakkan kepalaku keatas dan aku sangat terkejut sekali, melihat pemandangan yang sangat mengerikan diatas pohon sana. Pohon berdaun kepala manusia. Ya, kepala manusia. Tidak ada daun diranting – ranting pohon, yang ada justru kepala – kepala manusia yang tergantung diatas sana. Kepala itu hanya sampai sebatas leher dan meneteskan darah segar yang cukup banyak. Jumlah kepala tanpa tubuh itu sangat banyak, sama seperti helaian daun yang ada dipepohonan. Kepala – kepala orang tua, anak muda, anak kecil, laki – laki maupun perempuan. Mata pemilik kepala – kepala itu melotot dan mulut mereka menganga.

Tes, tes, tes.

Hujan darah langsung turun dari pohon yang ada diatasku dan juga pohon – pohon yang ada disekitarku. Amis dan seluruh tubuhku terasa lengket, karena darah telah membasahi seluruh tubuhku.

Aku ingin segera meninggalkan tempat ini, tapi kedua kakiku terasa seperti di ikat ditanah dan aku tidak bisa menggerakannya.

“HAHAHAHA.” Suara tawa sesosok makhluk terdengar keras dan aku langsung melihat ke arah suara itu.

Pandanganku tertuju pada sebuah pohon yang sangat besar sekali. Pohon itu juga berdaun kepala manusia, sama seperti pohon – pohon yang ada disekitarku. Tapi bedanya, pohon itu berdiri diatas batu yang tidak kalah besar. Akar – akar pohon itu mencengkram batu sampai menembus tanah dibawahnya.

“HAHAHAHA.” Tiba – tiba muncul sesosok makhluk berjubah putih, berdiri dibawah pohon dan diatas batu.

Makhluk itu menenteng dua kepala manusia. Satu ditangan kanannya dan satu ditangan kirinya. Wajah makhluk itu terlihat menyeramkan dan tubuhnya tinggi besar, kira – kira tiga kali dari pada ukuran tubuhku.

“Takdir perjalanan hidupmu hanya sampai disini dan kamu tidak akan bisa berlari.” Ucap makhluk itu dengan tatapan mata yang sangat tajam sekali.

Aku menatapnya dengan tenang dan dia semakin terlihat emosi.

“Kamu akan mati ditempat ini, kamu akan mati. Herg, herg, herg.” Ucapnya pelan dan nafasnya terdengar berat.

“Aku tidak akan lari dari takdirku dan aku akan menghadapinya, walaupun nyawaku yang menjadi taruhannya.” Ucapku sambil mengepalkan kedua tanganku.

“Sombong sekali Trah Jati ini. Akan aku penggal kepalamu, sama seperti kedua orang ini.” Ucap Makhlu itu sambil mengangkat kepala yang ada dikedua tangannya.

Mataku langsung melotot, melihat dua kepala yang ada ditangan makhluk itu. Ditangan kanan makhluk itu kepala Cakra sahabatku dan ditangan kirinya kepala Pak Djatmiko, Ayah dari Cakra.

“Mereka berdua ini memang sudah mati dibunuh keluargamu, tapi aku bisa memenggal kepala mereka dineraka dan membawanya ketempat ini. Hahahaha.” Ucap Makhluk itu lalu dia melempar kepala Cakra ke arahku.

Tap.

Aku langsung menangkap kepala Cakra dan memeluknya didadaku. Aku langsung menunduk dan melihat ke arah kepala Cakra yang ada didekapanku. Matanya melotot berwarna hitam pekat, mulutnya menganga dan darah segar keluar dari lehernya yang terpotong.

“Ca, Ca, Cakra.” Ucapku terbata dan perlahan air mataku mulai menetes.

Kepala ini kepala sahabatku, walaupun sebelum akhir hayatnya kami berdua sempat menjadi musuh. Aku yang menggendong tubuhnya dipunggungku, sebelum dia dikuburkan waktu itu.

Dan sekarang, disaat dia sudah beristirahat ditidur panjangnya, jasadnya diambil oleh makhluk biadab ini dan kebawa ketempat ini. Bajingann.

Aku akan membantai makhluk biadab ini dan aku akan mengirimnya keneraka yang paling dalam, sampai dia tidak akan kembali kehutan ini lagi.

“Herg, herg, herg. Herg.” Nafasku memberat dan emosiku mulai merambat kekepala.

Aku tempelkan telapak tanganku dikening Cakra, lalu aku husap wajahnya, untuk menutup matanya yang melotot. Telapak tanganku turun perlahan ke arah hidungnya dan mata Cakra tertutup perlahan. Tapi beberapa detik kemudian, mata sahabatku itu terbuka dan melotot lagi.

“Huuuu.” Nafas panjang aku keluarkan dan perlahan pandanganku mulai memerah lagi. Emosi mulai membakar diriku dan tiba – tiba,

Buhhgg, gluduk, gluduk, gluduk.

Sebuah kepala jatuh tidak jauh didepanku, lalu menggulundung dan berhenti tepat dikakiku. Kepala itu adalah kepala Pak Djatmiko. Wajah Pak Djatmiko melihat ke arahku dan matanya juga melotot berwarna hitam pekat, seperti mata Cakra.

Pandanganku semakin memerah dan aku sangat emosi sekali. Aku berlutut ditanah, lalu aku mengelus kepala Cakra, setelah itu aku meletakkannya diatas akar yang keluar dari tanah. Sengaja aku meletakkannya diakar itu, karena hanya itu tempat yang paling tinggi disekitarku. Aku tidak mungkin meletakan kepala sahabatku diatas tanah, karena itu sangat menyakiti hatiku. Aku lalu mengambil kepala Pak Djatmiko dan meletakkan disebelah kepala Cakra. Nanti setelah pertarungan ini selesai, aku akan mengubur kedua kepala ini dengan layak.

“HAHAHAHA.” Makhluk itu tertawa lagi dan kali tawanya terdengar lebih keras.

Aku berdiri perlahan sambil menunduk, setelah itu aku menegakkan kepalaku dan menatap ke arah makhluk itu.

“Manusia yang telah mati, sudah tidak mempunyai urusan didunia ini lagi. Segala perbuatannya dimasa lalu, akan dipertanggung jawabkan kepada Sang Pencipta di alam keabadian. Dan kamu, kamu sudah menyalahi kodrat itu, dengan mengusik orang yang sudah tenang dialam kubur.” Ucapku dengan suara yang pelan, tapi nada bicara yang sangat tegas.

“Sekarang kamu harus mempertanggung jawabkan perbuatanmu dan tanganku ini yang akan menghukummu.” Ucapku sambil menunjuk ke arahnya, lalu aku menggengamnya dengan erat.

“Lancang sekali mulutmu. Siapa kamu yang mau menghukumku.? Ha.? Kamu makhluk hina dan kamu yang akan aku hukum.” Ucap Makhluk itu dengan emosinya, lalu tubuhnya melayang keudara.

“Persetan dengan ucapanmu.” Ucapku dan aku langsung berlari ke arahnya. Kedua kakiku dan seluruh tubuhku bisa digerakkan lagi, karena aku sudah sangat emosi sekali.

Tanah yang becek bekas air hujan bercampur darah yang turun dari atas pohon, tidak menyurutkan sedikitpun emosi yang ada dikepalaku. Aku tidak takut, aku tidak gentar dan nyaliku tidak sedikitpun ciut, menghadapi makhluk bisadab yang melayang itu.

Aku terus berlari menuju ke arah makhluk yang melayang tinggi itu. Dan ketika aku sudah tidak jauh di bawah makhluk itu, aku menghentakan kaki kananku diatas sebuah akar dan tubuhku pun bisa melayang ke arah makhluk itu.

Entah mendapatkan kekuatan dari mana, sampai tubuhku bisa melayang seperti ini. Aku tidak memikirkan hal itu dan aku langsung mengarahkan kepalan tangan ku ke arah wajah makhluk itu, ketika aku sudah melayang dihadapannya.

BUHGGG.

Makhluk itu menghilang dan kepalan tanganku menghantam pohon besar dihadapanku. Tidak ada rasa sakit ditelapak tanganku, padahal pukulanku sangat kuat dan jari – jariku terluka. Kulit pohon yang kasar terlihat ada bercak darahku.

“Huuup” Tubuhku terturun dan telapak kakiku langsung menapak diatas batu yang besar ini.

Posisiku masih menghadap ke arah pohon besar dan aku langsung membalikan tubuhku, untuk mencari keberadaan makhluk itu.

TAPP.

Dan ketika aku membalikan tubuhku, leherku dicengkram makhluk itu dengan kuatnya. Punggungku tersandar dikulit pohon yang sangat kasar ini dan makhluk itu mengangkat leherku, sampai kedua kakiku tidak menapak dibatu.

Makhluk itu sangak kuat dan pegangannya yang menggunakan tangan kanan itu, tidak bisa aku tepis.

“Hup, hup, hup, hup.” Nafasku sesak dan aku mencengkram tangan kanan makhluk ini, dengan kedua tanganku.

Aku menggoyangkannya sekuat tenagaku, agar cengkaramannya terlepas. Tapi sekuat apapun aku menggoyangkannya, cengkramannya semakin kuat dileherku.

Kakiku yang melayang ini pun, aku gerakan dan aku menendang dadanya. Makhluk ini tetap berdiri kokoh dan tidak goyah sedikitpun.

Sebenarnya aku ingin melepaskan cengkaraman tanganku dilengannya, untuk menghantam wajahnya. Tapi karena tubuhnya besar dan tangannya lebih panjang, pasti jangkauan tanganku tidak akan sampai mengenai wajah makhluk ini.

“Kubunuh kamu. Kubunuh.” Ucap Makhluk itu dengan suara yang serak dan perlahan di mencengkram tenggorokanku, sampai aku tidak bisa bernafas lagi.

“Horg. Horg. Horg.” Nafasku tertahan dan kedua mataku semakin memerah.

Aku terus mencengkram pergelangan tangan makhluk itu, sambil menatap ke arah matanya. Tidak ada ketakutan dimatanya melihat mataku yang memerah ini dan dia justru menatapku dengan amarah yang menggila.

Gila. Aku gak boleh takluk dari makhluk ini dan aku tidak boleh mati ditempat ini. Kalaupun aku mati, aku tidak ingin mati dihutan terlarang. Aku ingin mati dikelilingi oleh orang – orang yang menyayangi aku, bukan ditangan makhluk terkutuk ini.

Aku mengalihkan pandanganku dari tatapan matanya bukan karena takut, tapi aku melakukannya untuk mencari kelemahan dari makhluk ini.

“Huft, huft, huft, huft.” Aku mencoba menarik nafasku tapi cengkraman makhluk ini, membuat saluran pernafasan yang ada ditenggorokanku tertutup rapat.

Pandanganku mulai berbayang dan mataku seperti mau keluar dari tengkorak kepalaku.

Perlahan makhluk itu mengangkatku lebih tinggi, setelah itu dia mendekatkan wajahku ke arah wajahnya. Punggungku tidak tersandar dipohon dan aku seperti melayang dengan bertumpu pada cengkraman dileherku.

“Aku akan membunuhmu, aku akan membunuhmu.” Ucapnya dan posisiku sekarang, dekat dengan kepala atasnya.

Dipandanganku yang berbayang dan memerah ini, terlihat bagian ubun – ubun makhluk ini berdenyut, seperti ubun – ubun bayi.

Aku lalu melepaskan cengkraman tanganku dipergelangan tangannya, setelah itu aku menekuk jari – jari tangan kananku. Makhluk itu terus mendekatkan wajahku ke arah wajahnya dan ketika aku merasa jangkauan tanganku sudah bisa mengenai ubun – ubunnya, aku mengangkat tangan kananku perlahan.

“Saatnya kematianmu tiba.” Ucapnya dan kukunya sudah mulai mengoyak kulit tenggorokanku.

“HIUFFTTT.” Ucapku dengan suara yang tertahan, lalu.

BUHGGG.

Aku menghantam ubun – ubunnya yang berdenyut dengan kuat dan cengkramannya langsung terlepas dari tenggorakanku.

“ARGHHHHH.” Dia berteriak dengan kencang, sambil memegang ubun – ubunnya.

BUGHHH.

Tubuhku terjatuh kebatu, dengan posisi bokong yang mendarat terlebih dahulu.

“Hiuft, ha, hiuft, ha, hiuft, ha.” Nafasku cepat dan memburu.

“ARGHHHHH.” Mahluk misterius itu terus kesakitan, sambil memegangi ubun – ubunnya.

“Hu, hu, hu, hu, hu.” Aku mengatur nafasku sambil berdiri berlahan dan bertepatan dengan makhluk sudah berdiri tegak.

Dia terlihat marah sekali dan bersiap menghantam wajahku. Tanpa menunggu lama, aku langsung mengarahkan injakanku ke arah perutnya. Sebenarnya aku ingin mengincar dadanya, tapi karena makhluk itu tinggi besar dan perutnya sejajar dadaku, akhirnya perutnya yang aku injak.

BUHGGG.

Tubuhku terdorong kebelakang dan tersandar dipohon, karena makhluk itu menahan injakanku diperutnya, lalu perutnya mendorong kedepan.

“ARRGGGHHHH.” Makhluk itu berteriak sambil mengarahkan kepalan tangannya yang besar, ke arah hidungku.

BUHGGG, KRAKKK.

Aku menunduk dan hantamannya mengenai pohon, sampai tangannya membelah kulit pohon yang kasar itu. Aku lalu berlari ke arah belakang mahluk itu, lewat bawah ketiaknya.

Makhluk itu berputar kearahku, sambil mengarahkan tinjuannya ke arah wajahku lagi.

WUUTTT.

Aku menunduk lagi dan aku berlari ke belakangnya. Posisi sekarang aku membelakangi pohon dan makhluk itu membelakangi aku, menghadap ke arah tanah yang ada dibawah batu.

Aku lalu meloncat dan menendang bagian punggung bawahnya dengan kedua kakiku, sekuat tenagaku.

BUHGGG.

Makhluk itu terdorong kedepan dan dia jatuh ketanah. Kedua kakinya dengan sigap menapak ketanah dan kepalanya sejajar dengan posisiku diatas batu ini.

Aku lalu mengepalkan tangan kananku dan aku meloncat ke arahnya. Makhluk itu memutar ke arahku dan aku langsung menghantam ubun – ubunnya dengan kuatnya.

“ARGGHHHH.” Ucapku berteriak, dan.

BUHGGGG.

Pukulanku tepat mengenai ubun – ubunnya dan ubun – ubun yang agak lembek itu, langsung pecah dan mengeluarkan darah yang berwarna hitam pekat.

“AARGGHHHHH.” Suara makhluk itu melengking dengan kerasnya dan tubuhnya langsung tumbang kebelakang.

BUMMMM.

Tubuhnya terlentang dan perlahan menghilang seperti butiran debu, bertepatan dengan kedua kakiku yang menapak ketanah.

Angin bertiup kencang sesaat dan kepala - kepala manusia yang bergantungan diatas pohon, berubah menjadi daun lagi. Tapi anehnya, seluruh tubuhku masih dibasahi oleh darah – darah yang jatuh dari leher kepala yang menggantung diatas pohon tadi.

Hiuuffttt, huuuu.

Aku harus segera menuju ke air terjun kedua, untuk membersihkan tubuhku yang terasa sangat lengket ini.

Perlahan pandanganku yang memerah berubah menjadi seperti biasa lagi dan tangan kananku langsung terasa sangat sakit sekali.

Punggung tangan kananku yang menghantam pohon tadi terluka dan sekarang agak membengkak. Aku mengelus punggung tangan kananku dengan telapak tangan kiriku, setelah itu aku melangkah lagi, menuju ke arah air terjun kedua. Tapi baru beberapa langkah, akupun teringat dengan kepala Cakra dan kepala Ayahnya. Apa kedua kepala itu berubah menjadi daun juga atau wujudnya tetap seperti tadi.?

Akupun membalikan tubuhku dan melihat keakar pohon, dimana aku meletakan kedua kepala itu. Kepala Cakra masih terlihat utuh, tapi kepala Ayahnya berubah menjadi tengkorak.

Aku berjalan ke arah kedua kepala itu dan setelah sampai, aku langsung berlutut. Aku ambil kepala Cakra, lalu meletakan dikedua pahaku. Aku memandang ke arah wajahnya dan matanya masih saja melotot berwarna hitam pekat. Aku lalu menyentuh keningnya dengan telapak tangan kananku dan aku ingin mencoba menutup matanya lagi.

“Tenanglah sahabatku, tenanglah dialam sana bersama cita dan cintamu.” Ucapku dengan suara yang bergetar, sambil menggerakan telapak tanganku ke arah mulutnya.

Kedua matanya terpejam dan aku langsung menutup mulutnya yang menganga. Hatiku tiba – tiba bahagia, karena wajah Cakra terlihat seperti tertidur dan bibirnya tersenyum. Aku buka baju yang aku kenakan, lalu aku membungkus kepala sahabatku itu. Setelah itu aku membuka kaos dalamku, karena hanya ini yang bisa aku gunakan untuk membungkus kepala Pak Djatmiko.

Dengan bertelanjang dada, aku lalu berdiri dan membawa kedua kepala itu dibawah batu besar tadi. Aku letakan kedua kepala itu diatas batu lalu aku mencari kayu yang keras, untuk menggali tanah dibawah batu.

Setelah aku menemukan kayu dan menggali tanah, aku menguburkan kedua kepala itu dengan linangan air mataku yang mulai menetes lagi.

Gila. Ada apa dengan sahabatku ini.? Harusnya raganya tertidur dengan tenang, tapi kenapa harus disiksa seperti ini.? Pasti arwahnya tersiksa dan bersedih sekali, melihat raganya diperlakukan dengan sangat – sangat biadab seperti ini. Bajingann.

Jujur harus aku akui, Cakra memang berubah menjadi jahat dan tidak mempunyai perasaan, ketika aku dan Anjani menjalin hubungan. Dia sangat mencintai Anjani, tapi Anjani lebih memilih untuk memberikan hatinya kepadaku. Djiancok. Dan yang lebih mendjancokan, aku menyerahkan hatiku kepada Anjani. Aku sangat mencintai wanita yang sekarang menjadi sudah istriku itu dan aku menyakiti perasaan Cakra. Cakra yang sudah menjadi saudaraku itu, akhirnya menjadi pribadi yang sangat berubah.

Aku yang menjadikan dia jahat seperti ini dan aku yang sudah menjerumuskannya kedalam jurang kehidupan yang gelap. Saudara macam apa aku ini.? Aku bukan saudara sehidup semati baginya, tapi sebangsat dan sejancok yang bajingann sekali.

Aku tidak pernah menyesal mencintai Anjani dan aku tidak pernah merasa bersalah, karena telah menikahinya. Yang aku sesali dan yang membuatku merasa bersalah, kenapa harus ada Cakra diantara kami dan kenapa harus berakhir dengan pertumpahan darah.?

Hiuffttt, huuuu.

Aku menarik nafasku dalam – dalam, untuk menenangkan diriku sejenak. Sungguh ini adalah bagian terberat selama perjalanan hidupku dan dari dalam hatiku yang terdalam, aku tidak bisa bangkit dari semua ini.

Orang – orang melihatku tenang dalam menghadapi setiap permasalahan, tapi mereka semua tidak ada yang tau bagaimana hancurnya hidupku dan bagaimana tercabik – cabiknya hati ini, ketika ada persaudaraan diantara cinta sejatiku.

“Ora umum, ora umum, ora umum.” (Ora umum bisa diartikan sesuatu yang tidak biasa dilakukan atau bisa juga diartikan sangat istimewa atau bisa juga agak nyeleneh.) Ucap seseorang dan aku langsung terkejut, mendengar kata – kata yang sudah sangat lama tidak terdengar itu.

Itu adalah suara Cakra dan hanya dia yang biasa mengucapkan kata – kata itu.

Ahhh. Tidak, tidak mungkin. Ini sangat tidak mungkin. Itu pasti bukan suara Cakra, karena selain dia telah mati dibunuh Sandi anakku, kepalanya juga sudah dipenggal makhluk biadab tadi dan aku sudah menguburkan kepalanya. Ini pasti halusinasi hutan terlarang dan itu pasti suara salah satu makhluk penunggu hutan ini, yang menyamar sebagai Cakra.

“Djiancok koen Wan.” (Djiancok kamu Wan.) Ucap Cakra dan kata – kata itu sangat aku rindukan dari Cakra.

Djiancok yang ucapkan Cakra terdengar sangat tulus dan tidak ada nada kebencian sama sekali. Djiancok yang diucapkannya, sama seperti ketika kami masih bersama dulu.

Tapi bagaimana mungkin Cakra datang kembali saat ini dan nada bicaranya seperti itu.? Diakan sangat membenci aku, ketika aku sudah bersama Anjani. Ya walupun didetik – detik akhir hidupnya, kami berdua sudah saling memaafkan.

Arrghhh. Kenapa bisa seperti ini sih.? Kenapa suara Cakra harus muncul disaat – saat seperti ini.? Apa karena rasa bersalahku yang sangat besar, membuat aku sangat merindukannya dan dia hadir di dalam pikiranku.? Tapi suara ini bukan berdengung dikepalaku. Suara ini terdengar jelas ditelingaku dan aku merasa dia ada disekitarku.

Akupun mengangkat kepalaku perlahan dan tidak ada Cakra dihadapanku. Aku lalu membalikan tubuhku dan aku langsung terkejut setengah mati, ketika melihat Cakra berdiri sambil tersenyum kepadaku.

“Salam jempol kejepit.” Ucap Cakra sambil menjepitkan jempolnya diantara jari telunjuk dan jari tengahnya, lalu diletakan didepan kedua matanya, seperti gaya orang yang mengintip. Gaya yang selengean dan gaya andalan sahabatku, yang sudah lama tidak aku lihat.

“Ca, Ca, Cakra.” Ucapku terbata.

“Salam jempol kejepit.” Ucap Cakra lagi dan dia tetap meletakan kedua jempolnya yang masih terjepit itu didepan matanya. Tapi kali ini dia menggerakan jempolnya keatas dan kebawah.

“Jembut.” Ucapku dan ini ejekanku kepadanya, karena kalau dia bangun tidur, rambutnya yang bergelombang itu terlihat kusut dan sangat berantakan sekali.

“Loh, loh, loh, Ngelamak.” (Loh, loh, loh. Kurang ajar.) Ucap Cakra sambil menurunkan kedua jempolnya dari depan matanya.

Akupun menampakan ekspresi yang kebingungan dan Cakra langsung tertawa dengan kerasnya.

“HAHAHAHA.” Tawanya khas, wajahnya terlihat bahagia dan tatapan matanya penuh dengan rasa persaudaraan yang sangat kental.

Aku tetap menatapnya, sambil merapikan rambutku ke arah belakang dan rambutku terasa agak kaku karena darah dari kepala – kepala yang tergantung tadi. Aku sengaja melakukan ini, untuk menenangkan hatiku sejenak. Wajah Cakra yang kembali bersahabat seperti dulu lagi, semakin membuat aku merasa sangat bersalah sekali.

“Kemayu.” (Kemayu = gadis yang centil, genit.) Ucap Cakra dan dia selalu mengejekku seperti itu, karena aku selalu berdandan rapi dalam kondisi apapun.

“Hehe.” Aku tertawa pelan, tapi tawaku tidak lepas. Kesedihan, kemarahan dan kebahagiaan, menyatu didalam tawaku ini.

Aku berjalan pelan ke arahnya dan Cakra juga berjalan pelan ke arahku. Kami berdua langsung berpelukan dengan erat dan tubuh Cakra terasa sangat dingin sekali.

“Kenapa kamu datang mbut.? Kenapa.?” Tanyaku dengan suara yang bergetar dan kami berdua tetap berpelukan.

“Mergone koen kangen aku yu, kemayu.” (Karena kamu kangen aku nit, genit.) Jawab Cakra sambil mengeratkan pelukannya.

“Asuuu.” Makiku dan aku langsung melepaskan pelukanku.

Aku tatap wajah Cakra yang agak memucat itu dan kembali dia tersenyum kepadaku.

“Hehe. Aku kate ngancani awakmu nang sumber.” (Hehe. Aku mau menemani kamu ke mata air.) Ucap Cakra.

“Kenapa.?” Tanyaku.

“Kita pernah berjanji disungai desa, bahwa kita akan menaklukan dunia ini dengan kepalan tangan kita dan janji itu masih aku pegang sampai detik ini.” Jawab Cakra dan dia menghentikan ucapannya sejenak.

“Tapi mohon maaf.” Ucap Cakra terpotong.

“Untuk.?” Tanyaku.

“Aku tidak bisa ikut pertarungan kali ini, karena aku sudah berada didunia yang berbeda.” Jawab Cakra dan dari bola matanya, terlihat sekali rasa penyesalan yang sangat luar biasa.

“Santai aja Cak. Aku paham itu.” Jawabku sambil menepuk pundaknya pelan.

“Aku memang tidak bisa mengikuti pertarunganmu Wan. Tapi aku akan berada didekatmu, sampai pertarunganmu selesai.” Ucap Cakra dan aku langsung tersenyum kepadanya.

“Sekarang lebih baik kita jalan dan kamu harus mandi di air terjun yang kedua. Badanmu bau amis darah cok.” Ucap Cakra.

“Hehe.” Akupun hanya tertawa pelan, lalu kami berdua berjalan menyusuri jalan setapak yang menanjak ini

Sekarang bebanku menjadi sedikit berkurang, dengan kehadiran Cakra. Walapun dia tidak ikut pertarungan, kehadirannya ini menambah semangat yang baru bagiku.

“Mohon maaf Cak.” Ucapku sambil terus berjalan.

“Untuk.?” Tanya Cakra.

“Maaf karena aku mengubur kepalamu di dekat batu sana, bukan di tempat kuburan jasadmu didesa Jati Bening.” Jawabku.

“Gak apa – apa, aku justru berterimakasih karena kamu telah menguburkan kepalaku dengan layak.” Jawab Cakra.

“Dan aku lebih berterimakasih lagi, karena kamu telah membantai makhluk biadab itu.” Ucap Cakra lagi.

“Hem.” Ucapku dan aku langsung memeluk tubuhku sendiri, karena hawa yang sangat dingin ini.

Dengan memakai jaket saja, udara dingin dihutan ini pasti akan terasa. Apalagi dengan kondisi bertelanjang dada seperti aku.

Huuuuu.

Beberapa saat kemudian, pondok dan air terjun kedua mulai terlihat.

“Aku tunggu dipondok aja.” Ucap Cakra sambil berjalan ke arah Pondok

“Iya.” Jawabku dan aku berjalan ke arah air terjun yang dinding tebingnya sangat tinggi ini.

“Fokus dengan tujuanmu kemari dan jangan terganggu oleh apapun yang ada disekitarmu.” Ucap Cakra.

“Iya.” Jawabku lagi sambil terus berjalan.

“Jangan lupa, setelah mandi rapikan rambutmu, arek kemayu.” (Anak centil.) Ucap Cakra.

“Jembut.” Makiku sambil melihat ke arahnya dan aku terus berjalan.

“Loh, loh, loh, Ngelamak.” (Loh, loh, loh. Kurang ajar.) Ucap Cakra lalu dia duduk di balai – balai yang ada dipondok.

Aku lalu menghentikan langkahku dipinggir sungai. Aku masuk kedalam sungai yang tinginya selututku, setelah itu aku berjalan ke arah air terjun.

Dingin dan sangat dingin sekali, ketika air sungai dan percikan air terjun mengenai dadaku yang tak berbaju ini.

Dibawah air terjun, ada sebuah batu dan aku langsung naik keatas batu itu. Aku duduk bersila diatas batu dan air terjun langsung membasahi seluruh tubuhku.

Aku lalu melihat ke arah Bulan dan sebagian sudah tertutup oleh bayangan hitam, pertanda sebentar lagi gerhana total akan segera terjadi. Aku harus segera menyelesaikan ritual ini, agar aku bisa cepat sampai di sumber mata air sana.

Aku memejamkan kedua mataku dan aku meresapi setiap air terjun yang mengenai bagian tubuhku.

Dingin, tenang dan damai, langsung terasa menyelimuti tubuhku. Kembali aku kosongkan pikiranku dan aku fokuskan ke perjalananku selanjutnya.

Brurrrr.

Air mengguyur kepalaku dan seluruh tubuhku, tapi anehnya aku tidak merasa kedinginan seperti tadi. Air terjun ini terasa hangat dan tubuhku yang terasa pegal ini, seperti dipijat dengan sangat lembutnya.

Tubuhku benar – benar terasa nyaman dan aku dimanjakan oleh suasana alam ini. Aku yang sedang memejamkan mata ini, bukannya berkonsentrasi, tapi malah tertidur dibawah guyuran air terjun.

“Wang.” Suara seorang wanita mengejutkanku dan aku tetap memejamkan kedua mataku.

Wang atau Wawang, itu panggilan kesayangan untukku dan hanya satu wanita yang memanggilku dengan sebutan nama itu, Damayanti Kusuma.

Ah, gila. Apa benar ini suara Yanti.? Tapi kenapa dia terus memanggilku dengan sebutan nama kesayangan itu.? Kami berdua sama – sama sudah memiliki pasangan dan kami juga sudah sama – sama mengakhiri hubungan kami dengan baik – baik. Tapi kenapa dia memanggilku seperti itu dan terkesan dia masih mengharapkan cintaku.?

Tidak, ini pasti bukan suara Yanti dan aku hanya bermimpi. Mimpi.? Kok bisa aku bermimpi.? Aku kan sekarang berada dihutan terlarang, jadi kenapa aku bisa tertidur sampai bermimpi seperti ini.? Bajingann, aku pasti terbawa halusinasi hutan terlarang dan pikiranku terhanyut ke bawah alam sadarku.

Aku langsung membuka kedua mataku dan aku terbangun dipondok dekat sungai pinggiran desaku. Aku duduk dibalai – balai bambu dan dihadapanku sungai tempat biasa aku mandi, ketika aku tinggal di Desa Jati Luhur.

“Wang.” Suara seorang wanita memanggilku dari arah kiri dan aku langsung menoleh ke arahnya.

“Yanti.” Ucapku dan wanita yang duduk disebelah kiriku ini adalah Damayanti Kusuma.

“Apakah cinta dihatimu untukku benar – benar hilang, sampai panggilan kesayanganmu untukku, tidak pernah kau ucapkan lagi.?” Tanya Yanti yang tiba – tiba membahas masalah percintaan kami yang sudah lama usai.

“Kamu itu ngomong apa sih Yan.? Sudah berapa kali kita membahas masalah ini dan sudah berapa kali aku menegaskan, jalani kehidupan kita – masing dan nikmati kehidupan kita dengan orang yang kita pilih.” Jawabku.

“May Wang, May. Apa sih susahnya mengeluarkan kata May dari bibirmu.?” Tanya Yanti dan May itu panggilan kesayanganku untuknya.

“Gak susah Yan. Tapi aku lebih nyaman memanggilmu dengan sebutan Yanti.” Jawabku dan entah kenapa aku bisa terlarut dengan obrolan ini.

Aku seolah berat untuk focus dengan pikiranku dan keluar dari halusinasi ini. Ya, aku tau dan aku sadar kalau ini hanya halusinasi, karena harusnya aku berada dibawah air terjun hutan terlarang. Tapi entah kenapa aku tidak mampu memfokuskan pikiranku dan berontak dengan halusinasi ini. Bajingann.

“Nyaman.? Kamu beneran nyaman memanggilku dengan sebutan Yanti.? Kamu gak sedang membohongi hatimu kan Wang.?” Tanya Yanti.

“Enggak. karena ratu dihatiku saat ini hanya ada satu, Anjani Ranajaya.” Ucapku, lalu aku melihat ke arah sungai.

“Lihat aku kalau lagi bicara. Aku paling tidak suka kalau lawan bicaraku melihat ke arah yang lain.” Ucap Yanti dengan nada yang agak tinggi.

“Maumu itu sebenarnya apasih Yan.?” Tanyaku sambil menoleh ke arahnya lagi dia langsung tersenyum dengan manisnya.

“Perpisahan yang manis, setelah itu pergilah selamanya.” Jawab Yanti.

“Gila, kamu gila Yan. Kamu gak sadar dengan status kita masing – masing.?” Tanyaku.

“Iya, aku gila dan kamu yang membuatku gila seperti ini.” Ucap Yanti, lalu tangan kanannya membelai pipiku dengan lembutnya.

Tiba – tiba aku terhanyut dengan belaiannya ini dan aku tidak mampu untuk menepisnya. Belaian ini sangat aku rindukan dan sudah lama tidak aku rasakan dari tangan lembut Yanti. Belum lagi ditambah dengan tatapan mata dan senyum yang keluar dari bibirnya, membuatku terjatuh dipusaran permainan hati.

Benih - benih cinta yang telah lama aku kubur didalam hatiku yang terdalam, perlahan mulai tumbuh menjadi bunga – bunga yang bermekaran. Aku larut dengan belaiannya dan aku tidak mampu untuk berlari lagi.

Ternyata aku masih mencintai dan menyayangi wanita yang dulu hampir saja menjadi istriku ini. Aku tidak mampu menahan gelombang cinta yang begitu dasyat dan aku hanya bisa hanyut didalamnya.

“Wan, Wan.” Samar – samar aku mendengar seseorang memanggilku dan aku tidak menghiraukannya.

Aku terus menatap mata Yanti dan dia membalasnya dengan tatapan yang begitu mendalam.

“Tatapan matamu, mencumbu hatiku Wang.” Ucap Yanti sambil terus membelai pipiku.

“Aku benar – benar jatuh cinta kepadamu dan tidak ada yang bisa menghentikannya.” Ucap Yanti lagi dan dia mulai mendekatkan wajahnya ke arah wajahku.

“Wan, Irawan.” Panggil seseorang dan suaranya semakin nyaring terdengar.

“Kamu juga mencintai aku kan Wang.?” Tanya Yanti dan wajah kami sudah sangat dekat sekali.

Aku tidak menjawab pertanyaan Yanti ini, karena bibirku langsung bergetar.

“Kalau kamu tidak mampu untuk jujur dengan perasaanmu, bisakah kamu mewakilkannya dengan panggilan kesayanganmu kepadaku.?” Tanya Yanti lagi dan jempolnya sekarang membelai bibirku yang bergetar ini.

“WAN.” Teriak suara itu lagi dan aku tetap tidak menghiraukannya.

Bibirku yang bergetar ini terbuka sedikit dan perlahan kepalaku memiring kekanan, sedangkan Yanti memiringkan kepalanya ke arah yang berlawanan.

Bibir kami sekarang sangat dekat dan aku bisa merasakan hembusan nafasnya yang halus.

“Aku mencintaimu Wang, aku mencintaimu.” Ucap Yanti.

“Ma, Ma, Ma.” Ucapku terbata dan aku ingin menyebut kata May, tapi suaraku seperti tertahan ditenggorokanku.

Mata Yanti terlihat berbinar dan dia semakin mendekatkan bibirnya ke bibirku.


Lanjut kebawah.
 
Dekat, dekat dan sangat dekat sekali bibirnya di bibirku. Dan ketika bibir kami akan bersentuhan, aku lalu memejamkan kedua mataku.

“KEMAYU. TANGIO COK, DJIANCOK.!!!” (Genit. Bangunlah cok, djiancok.) Teriak seseorang dan itu suara Cakra yang sangat keras sekali.

Akupun langsung tersadar dengan halusinasi ini dan aku langsung membuka kedua mataku dengan cepatnya.

“ARGGHHHHHH.” Teriakku dan sekarang aku sudah berada dibawah guyuran air terjun hutan terlarang lagi.

“Hu, hu, hu, hu, hu.” Nafasku memburu dan tidak ada suara atau wujud Yanti dihadapanku lagi.

“DJIANCOK KOEN IKU. KENEK KIMPET AE GAK ISO KONSENTRASI. BAJINGAN.” (Djiancok kamu itu. Kena kemaluan wanita aja gak bisa konsentrasi. Bajingan.) Ucap Cakra dengan emosinya dan dia sekarang berdiri dipinggir sungai sana, sambil berkacak pinggang.

“Hu, hu, hu, hu.” Aku mencoba mengatur nafasku dan aku melakukannya sambil menundukan kepalaku.

“Ndang muduno cok. Delok’en bulane iku loh.” (Cepat turun cok. lihatlah bulannya itu loh.)

Aku lalu melihat ke arah bulan dan bayangan hitam itu sudah hampir menutupi seluruh bagian bulan. Sinar terangnya tingal sedikit lagi dan sekarang membentuk sabit yang sangat tipis sekali.

Djiancok. Beberapa saat lagi akan terjadi gerhana bulan dan aku masih berada dibawah pancuran air terjun ini.? Bajingann. Apa sempat aku menuju ke arah sumber mata air dan menghentikan Joko untuk membangkitkan penguasa hutan terlarang.?

Ahh, persetanlah. Sempat gak sempat, aku harus segera menuju kesumber mata air sekarang juga.

Aku lalu melompat dari batu yang aku duduki ini, setelah itu aku berlari ke arah pinggir sungai.

“Assuuu. Dadi uwong kok ngacengan.” (Anjing. Jadi orang kok gampang konak.) Gerutu Cakra ketika aku akan keluar dari sungai dan aku tidak menghiraukannya.

Aku keluar sungai dengan terburu – buru, lalu setelah itu aku berlari ke arah jalan setapak yang menuju sumber mata air.

“DJIANCOK.” Maki Cakra yang ikut berlari dibelakangku dan aku langsung menghentikan lariku.

Aku berhenti bukan karena makian Cakra dan makian itu juga bukan ditujukan kepadaku. Makian itu ditujukan kepada sesosok makhluk yang berdiri didepan jalan setapak sana.

Makhluk itu sangat besar dan lebih besar dari makhluk yang memenggal kepala Cakra. Makhluk ini lebih menyeramkan dan terlihat lebih kuat dari makhluk yang aku kalahkan tadi.

Hiuuffftt, huuu. Makhluk ini tidak muncul saja, aku belum tentu bisa mencapai sumber mata air dengan tepat waktu. Apalagi ada dia yang menghalangi jalanku.

“Samblek wes. Kesuwen arek iki.” (Hajar sudah. Kelamaan anak ini.) Bisik Cakra dibelakangku dan aku langsung meliriknya.

“Cukup sudah perjalananmu sampai disini. Kamu akan aku beri kesempatan untuk melihat kehancuran semesta ini di tempatmu berdiri, setelah itu aku akan menghabisi nyawamu.” Ucap Makhluk yang menyeramkan itu dan aku langsung menatap ke arah matanya yang terlihat sangat mengerikan itu.

“Loh, loh, loh. Ngelamak begedel siji iki. Mosok trah Jati diomongi ngono iku.? Lek aku seng diomongi koyo ngono, wes tak tungkak cangkeme.” (Loh, loh, loh. Kurang ajar perkedel satu ini. Masa keturunan Jati di omongin seperti itu.? Kalau aku yang di omongin seperti itu, sudah kuinjak pakai tumit mulutnya.) Ucap Cakra dan memang itu salah satu kebiasaannya dari dulu. Memanas – manasi aku, ketika aku akan berkelahi. Dia berharap aku semakin emosi dan aku membantai lawanku sampai mampus. Kata – katanyapun lebih pedas dari pada ucapan Simbah mata merah.

Aku tidak menghiraukan ucapan Cakra, karena kalau aku menjawabnya, dia akan semakin bersemangat untuk memanas – manasi aku.

“Kamu bukan Sang Pemilik Hidup dan bukan kamu yang mengatur hidupku.” Ucapku sambil menunjuk ke arah wajahnya.

“Wah, seneng aku lek ngene iki.” (Wah, senang aku kalau begini ini.) Ucap Cakra dan dia tau kalau aku berbicara sambil menunjuk wajah seseorang, berarti aku sangat tidak menyukai orang itu.

“Kamu memang menakutkan, tapi tidak sedikitpun membuatku takut.” Ucapku lagi dan wajah makhluk itu terlihat sangat tidak terima dengan ucapanku.

“Sombong sekali kau anak muda. Aku ralat ucapanku. Aku akan membunuhmu sekarang juga dan rohmu yang akan melihat hancurnya semesta ini.” Ucap makhluk itu, lalu dia mengangkat kedua tangannya setinggi dadanya, setelah itu dia menghentakannya kebawah.

WUUTTTT.

DREDEK, DREDEK, DREDEK, DREDEK.

Tiba – tiba tanah yang kupijak bergetar dengan hebat dan bumi ini terasa tergoncang dengan kuat. Gempa bumi yang dasyat seketika datang dan membuat tubuhku bergoyang.

“Loh, loh, loh. Kok ngene.? Gak asyik guyone begedel siji iki.” (Loh, loh, loh. Kok begini.? Gak asyik bercandanya perkedel satu ini.) Ucap Cakra yang terus saja bersuara.

Goncangan ini hanya beberapa saat dan dilanjut dengan hembusan angin yang sangat kencang sekali.

WUSSS, WUSSS, WUSSS.

Pepohonan disekitarku meliuk – liuk dan saling bergesekan dengan pepohonan yang lain.

KRETAK, KRETAK, KRETAK.

Bunyi akar pepohonan yang keluar dari dalam tanah dan pepohonan itu seperti akan tercabut dari tanah ini.

“HAHAHAHAHA.” Makhluk itu tertawa dengan keras.

Angin kencang itu tiba – tiba berhenti dan pohon – pohon kembali berdiri dengan tegak.

Lalu beberapa saat kemudian, muncul satu lagi makhluk dari belakang pohon yang besar dan dia langsung berdiri dibelakang dibelakang makhluk pertama tadi.

Dan ternyata, bukan hanya satu makhluk. Belasan makhluk lainnya muncul, lalu diikuti puluhan, ratusan, ribuan bahkan lebih banyak lagi, turun dari atas bukit sana.

“Loh, loh, loh. Iki.” (Loh, loh, loh. Ini.) Ucap Cakra yang tidak bisa mengunci mulutnya dari tadi.

“Lah, loh, lah, loh ae ket mau. Tak sepak cangkemmu koen engko.” (Lah, loh, lah, loh aja dari tadi. Kusepak mulutmu nanti.) Ucapku sambil melirik ke arah Cakra. Aku sengaja melirik ke arah Cakra dan mengucapkan kata – kata ini, untuk mengalihkan pikiranku sejenak dan mencari cara agar sampai ke sumber mata air dengan cepat.

Jujur aku bingung harus berbuat apa sekarang ini. Aku bukannya takut menghadapi makhluk yang tidak terhitung jumlahnya ini. Yang aku pikirkan saat ini, gerhana bulan sebentar lagi akan mencapai puncaknya.

Sekuat – kuatnya aku, sesakti – saktinya aku dan sehebat – hebatnya aku, tidak mungkin aku bisa menerobos gerombolan makhluk – mahluk yang ada di hadapanku ini dengan cepat.

“Lek ngomong li li li, nggededer ilatku cok.” (Kalau ngomong li li li, gemetar lidahku cok.) Ucap Cakra, lalu dia menggidikkan tubuhnya.

“Iso meneng gak.?” (Bisa diam gak.?) Ucapku.

“Wedi yo.? Hehehehe.” (Takut ya.? Hehehehe.) Tanya Cakra lalu dia menertawakan aku.

“Assuu.” Makiku.

“Lek tak trawang wajahmu seng kemayu iki, ketok ane awakmu gak wedi blas. Mek rodok dredek. Hahahaha.” (Kalau aku baca wajahmu yang centil ini, kelihatannya kamu tidak takut sama sekali. Cuman agak grogi. Hahaha.) Ucap Cakra dan kembali dia tertawa, melihat wajahku yang agak panik ini.

Kembali aku tidak menghiraukan Cakra dan aku melihat ke arah gerombolan makhluk yang ada dihadapanku ini.

“Hiuuuuffftt, huuuuu.” Aku menarik nafasku dalam – dalam dan aku berusaha untuk berkonsentrasi, untuk mencari jalan keluar dari permasalahan yang berada didepan mataku ini.

Ini adalah pertarunganku yang terbesar dan pasti yang terakhir. Aku harus mengeluarkan semua kemampuan yang ada didalam diriku dan aku harus berhasil. Entah bagaimana caranya, yang jelas aku harus mencapai sumber mata air.

“Tenang Le, tenanglah. Kamu jangan mengatur Sang Pencipta, dalam pertarunganmu kali ini. Lakukan apa yang harus kamu lakukan. Untuk hasil akhirnya, serahkan semua kepada Sng Pencipta.” Ucap seseorang yang mendengung dikepalaku dan itu bukan suara Simbah mata merah.

Argghh, gila. Kenapa aku bisa segoblok ini ya.? Halusinasi hutan ini sangat kuat dan mampu membuat keraguan – keraguan, muncul didalam hatiku. Aku tidak pernah seperti ini ketika akan bertarung dengan siapapun yang akan menjadi lawanku. Yang ada didalam pikiranku ketika akan bertarung, datang, selesaikan lalu pulang. Aku tidak pernah memikirkan siapa lawanku, sebanyak apa dan sekuat apa, aku tidak perduli itu. Jiwa dan ragaku aku serahkan kepada Sang Pencipta, sehingga itu memudahkan aku untuk mengeluarkan semua kemampuanku.

Baiklah Wan. Sekarang waktunya kamu bertarung dan habisi semua yang ada dihadapanmu.

“Hiufffttt, huuuuu.” Kembali aku menarik nafas panjangku dan kali ini aku melakukannya, sambil mengelus kepala tato rajawali yang ada didadaku.

Tiba – tiba seluruh tubuhku memanas, tapi pandanganku tidak memerah. Hawa panas keluar dari dalam dadaku dan itu membuatku kepanasan, disuhu yang sangat dingin dihutan ini.

“Hu, hu, hu, hu.” Nafasku memburu dan aku langsung menunduk, melihat ke arah dadaku.

Mata ditatto rajawali yang ada didadaku, terlihat mengeluarkan sebuah cahaya berwarna merah darah dan aku belum pernah melihatnya selama tattoo ini terlukis didadaku.

Aku merasa tattoo ini hidup dan itu membuat tubuhku semakin memanas. Darahku seperti direbus dan keringat mengucur deras dari seluruh tubuhku.

WUSSS, WUSS, WUSS, WUSS.

Hembusan angin yang sangat kencang terasa dari atas kepalaku dan ini bukan angin yang ditiup oleh semesta. Angin ini seperti dari kepakan sayap dan aku langsung melihat ke arah atas kepalaku.

Lima ekor burung rajawali yang sangat besar, terbang diatas kepalaku. Burung rajawali itu bulunya berwarna hitam pekat dan bola matanya berwarna merah darah. Dimasing – masing tengkuk burung rajawali, ada makhluk yang menungganginya. Makhluk bermata merah, bermata hitam, bermata biru, bermata hijau dan bermata bening.



Makhluk Mata Merah


Makhluk Mata Biru


Makhluk mata Hitam


Makhluk Mata Hijau


Makhluk Mata Bening


Gila. Kelima makhluk penguasa semesta ini ikut dalam pertarunganku, luar biasa.

“Loh, loh, loh. Ono bolomu cok.” (Loh, loh, loh. Ada temanmu cok.) Ucap Cakra yang terkejut melihat burung – burung besar berterbangan dilangit.

Kehadiran kelima burung rajawali ini membuat darahku semakin mendidih dan jiwa membunuhku bangkit sebangkit – bangkitnya. Tapi walaupun aku emosi seperti ini, mataku tidak memerah sama sekali. Mungkin karena Simbah bermata merah, sedang berada diatas salah satu burung rajawali.

Sudahlah, biarkanlah aku bertarung sebagai petarung sejati, tanpa ada pengaruh kekuatan apapun. Lagipula saat ini sudah ada lima kekuatan yang akan membantuku dan kami pasti akan bisa membantai iblis – iblis yang ada dihadapan kami ini.

Aku lalu mengepalkan kedua tanganku dengan erat dan bersiap menyerang semua musuh – musuhku.

“Le.” Ucap Simbah bermata merah dan aku langsung melihat ke arahnya.

Simbah bermata merah duduk ditengkuk burung rajawali dengan gagahnya dan dia menghunuskan pedangnya ke arah musuh - musuh dihadapan kami. Makhluk mata hijau, mata biru, mata hitam dan mata bening, juga mengeluarkan senjatanya masing – masing dan mereka semua seperti menunggu komando untuk menyerang.

Kembali aku melihat ke arah musuh – musuh kami, lalu aku menunjuk ke arah mereka dengan tangan kiriku.

“BANTAI.” Teriakku lalu aku berlari ke arah musuh – musuh kami.

“BANTAI.” Teriak Cakra dan dia tetap berdiri ditempatnya. Cakra tidak ikut bertempur dan dia hanya memberikanku semangat.

“ARGGHHHHHH.” Raungan dari kelima makhluk yang ada diatasku dan burung rajawali terbang melesat ke arah ribuan lawan – lawan kami.

Aku berlari sekencang – kencangnya dan terdengar bunyi tapak kaki yang bergemuruh dibelakangku. Aku tidak menghiraukan suara itu dan aku fokus pada ribuan musuh dihadapanku. Semangatku berkobar dengan adanya lima rajawali dan lima makhluk yang menungganginya. Keyakinanku pun berlipat untuk sampai di sumber air tepat waktu.

“ARGGHHHHH.” Aku berteriak sambil berlari menuju ke makhluk yang pertama menghadangku.

Dan ketika aku sudah berada tidak jauh dari makhluk itu, aku melompat dengan bertumpu pada kaki kiriku, lalu aku mengarahkan lututku ke arah lehernya.

BUGHHHH.

“HUUPPP.” Makhluk itu langsung terlempar kebelakang, lalu dia roboh terlentang.

WUSSSSS.

Kelima rajawali terbang rendah dan makhluk bermata merah, biru, hitam, hijau dan bening, mengarahkan senjata yang mereka bawa, keleher musuh – musuh kami.

JRAB, JRAB, JRAB, JRAB, JRAB, JRAB.

Simbah bermata merah dan makhluk bermata biru, menggunakan pedang yang sangat panjang. Makhluk bermata hitam, hijau dan bening, menggunakan sabit yang gagangnya panjang seperti tongkat.

JRAB, JRAB, JRAB, JRAB, JRAB, JRAB.

Satu persatu musuh kami roboh tanpa kepala, lalu tubuh dan kepala mereka menghilang seperti debu.

“AARGGHHHH.” Terdengar teriakan dari banyak orang dibelakangku dan aku langsung menoleh ke asal suara itu.

Puluhan bahkan ratusan ksatria dengan mata yang berwarna merah, biru, hitam, hijau dan bening, berlari ke arahku, lalu melewatiku dan menyerang ke arah musuh yang mulai kocar – kacir.

Gila. Siapa para ksatria ini.? Apa mereka makhluk dari alam lain dan mereka semua dulunya manusia seperti aku, yang memiliki kekuatan mata.?

Akupun terdiam sejenak, melihat para ksatria itu bertarung dengan ganasnya. Mereka membantai musuh dengan brutal dan mereka juga membawa senjata, sama seperti makhluk – makhluk yang berada di tengkuk rajawali.

“Ora umum, ora umum, ora umum.” Teriak Cakra dengan mata yang berubah menjadi hitam pekat, lalu dia berlari dan dia ikut menyerang musuh – musuh kami.

Cok. Kelihatannya Cakra sudah tidak bisa menahan dirinya dan akhirnya dia ikut juga dalam pertempuran yang sangat dasyat ini.

Akupun langsung berlari dan pandangan mataku langsung memerah seperi darah. Aku mengejar musuh yang berlarian ke arah bukit dan aku menyerangnya tanpa ampun.

BUHGGG, PAKKKK, BUHGGG, PAKKKK, BUHGGG, PAKKKK.

BUHGGG, PAKKKK, BUHGGG, PAKKKK, BUHGGG, PAKKKK.

Aku dan Cakra menggila dengan menghajar lawan – lawan kami menggunakan tangan kosong.

BUHGGG, PAKKKK, BUHGGG, PAKKKK, BUHGGG, PAKKKK.

BUHGGG, PAKKKK, BUHGGG, PAKKKK, BUHGGG, PAKKKK.

“HAHAHAHA. Akhirnya aku bisa bertarung bersama si kemayu lagi.” Ucap Cakra sambil membantai lawannya.

BUHGGG, PAKKKK, BUHGGG, PAKKKK, BUHGGG, PAKKKK.

BUHGGG, PAKKKK, BUHGGG, PAKKKK, BUHGGG, PAKKKK.

“Jembut.” Makiku dan aku juga menghajar setiap musuh yang ada dihadapanku.

CLAP, CLAP, CLAP, CLAP.

DUARRRR, DUARRRR, DUARRRR, DUARRRR.


Kilatan petir dan dilanjut dengan suara yang menggelegar, menghentikan seranganku dan juga Cakra.

DREDEK, DREDEK, DREDEK, DREDEK.

Tanah yang kupijak tiba – tiba bergetar dengan hebat dan gempa bumi terjadi lagi, tapi hanya sebentar saja.

“COK.” Maki Cakra sambil melihat ke arah tanah yang dipijak, lalu dia melihat ke arah bukit tempat dimana mata air berada.

Aku lalu melihat ke arah yang sama dan terlihat tanah ini retak. Ujung tanah retak itu berada dipijakan Cakra dan retakan itu semakin melebar ke atas bukit. Bukit terbelah menjadi dua dan belahannya membentuk jurang yang sangat dalam sekali, sampai memperlihatkan sungai lava didalam sana.

Lalu tiba – tiba dari dalam lava yang mendidih, muncul sebuah cahaya bulat yang cukup besar. Cahaya itu keluar sampai kelangit dan menembusnya. Cahaya itu membuat lubang yang sangat besar dilangit dan energy yang sangat luar biasa menyeramkan, turun dari atas sana.

WUSSS, WUSS, WUSS, WUSS.

Angin dari berbagai arah berhembus sangat kencang, menuju ke cahaya yang membelah langit. Angin itu membentuk pusaran angin yang sangat dasyat dan menarik benda – benda yang ada disekitarnya.

Astaga. Apa itu proses kebangkitan dari makhluk penguasa hutan terlarang.? Bajingann.

Aku lalu melihat ke arah bulan dan gerhana bulan ternya sudah mencapai puncaknya.

“Le.” Ucap Simbah bermata merah dan aku langsung menoleh kebelakang.

Burung Rajawali yang ditunggangi Simbah terbang ke arahku dan aku langsung belari ke arah depan. Dan ketika ada sebuah batu yang agak besar didepanku, aku jadikan tumpuan untuk meloncat.

“ARRGGHHHH.” Aku berteriak sambil meloncat dan aku menggunakan kaki kananku untuk mendorong tubuhku, agar bisa meloncat setinggi – tingginya.

Tubuhku melayang keudara dan burung rajawali terbang rendah dibawahku, lalu.

BUHGGG.

Tubuhku disambut oleh burung rajawali dan aku duduk ditengkuknya, dengan Simbah mata merah yang langsung menyatu ketubuhku. Tangan kananku memegang pedang panjang milik Simbah mata merah, dengan posisi terlentang ke arah kanan.

“BANTAI YANG ADA DI ATAS COK.” Teriak Cakra yang ada dibawah dan dia terus mengejar musuh – musuh kami, beserta para kesatria, empat rajawali dan empat makhluk mata.

WUSSS, WUSS, WUSS, WUSS.

Burung rajawali terbang ditengah angin yang sangat kencang dan menuju kepusaran angin didekat sumber air.

Dan dari posisiku ini, aku bisa melihat makhluk yang sangat besar berada ditengah pusaran angin dan didasar tanah yang terbelah tadi. Makhluk itu keluar dari lava dengan posisi tidur menghadap kelangit dan tubuhnya melayang menuju kepermukaan tanah.

Gila. Aku harus segera menghentikan makhluk itu, agar tidak muncul dipermukaan tanah. Tapi ini pasti sangat berat sekali, karena aku dan burung rajawali harus menembus pusaran angin, sebelum sampai kemakhluk itu.

“AARRGGGHHHH.” Terdengar terikan seorang pemuda yang berdiri dipinggiran sumber air dan diujung retakan tanah.

Pemuda itu Joko dan dia berdiri sambil merentangkan kedua tangan, serta wajah menghadap kelangit.

“Pegang kalung dileher rajawali dengan kuat, terus kalau sudah sudah sampai di ujung tanah yang terbelah, tebaskan pedang yang ada di tanganmu di kayu yang tertancap didekat sumber mata air.” Ucap Simbah yang mendengung dikepalaku.

Aku lalu memegang kalung dileher rajawali dengan kuat dan rajawali semakin melesat menembus pusaran angin yang sangat kencang sekali.

WUSSSSS.

Tubuhku seperti tertarik oleh pusaran angin dan aku semakin mengeratkan peganganku. Pedang yang aku hunuskan kesamping pun, aku turunkan disebelah kananku

Aku melirik ke arah tubuh makhluk yang terus melayang menuju kepermukaan tanah dan rajawali ini semakin melambat, karena kuatnya arus putaran angin.

WUSSSSS, WUSSSSS, WUSSSSS, WUSSSSS.

Pusaran angin semakin kuat dan cepat, ketika aku berada di dekat sumber mata air.

WUSSSSS, WUSSSSS, WUSSSSS, WUSSSSS.

Akhirnya burung rajawali ini bisa menembus pusaran angin dan diatas sumber mata air ini, hembusan angin tidak sekencang disekeliling kami.

Burung rajawali mengitari sumber mata air dan Joko tepat berada dibawahku. Joko sedang mendangakkan kepala dan merentangkan kedua tangannya, untuk melakukan ritual membangkitkan makhluk penguasa hutan terlarang. Mulutnya berkomat – kamit dan itu membuat pusaran angin disekitar kami semakin kencang.

Beberapa saat kemudian, bunyi kepakan sayap burung rajawali ini menyadarkan Joko dan dia langsung membuka kedua matanya. Matanya terlihat bersinar berwarna bening dan menyala dengan terang.

Dia menatapku dengan tajam dan terlihat sangat emosi sekali.

“DJIANCOK.” Maki Joko sambil menunjuk ke arahku.

Kembali aku menghunuskan pedang ke arah samping dan bersiap menebas kayu yang tertancap didekat Joko berdiri. Waktuku sudah tidak banyak dan aku harus segera merobohkan kayu itu. Sedangkan untuk urusan Joko, setelah urusan ini selesai aku akan berbicara kepadanya dan aku akan mencoba untuk menyadarkannya.

Burung rajawali menukik kebawah dan aku langsung mengayunkan pedang yang kubawa, ke arah belakang.

WUSSSS.

Dan ketika sudah dekat dengan kayu yang tertancap itu, aku langsung mengayunkan pedang ke arah depan.

TRANGG.

Pedangku menghantam sebuah senjata tajam dan bukan kayu yang aku incar tadi.

Burung rajawali terbang keatas lalu berputar balik dan berhenti sejenak diudara, sambil mengepakan sayapnya.

Dan ketika aku bersiap untuk menebas kayu tadi, terlihat dibawah sana Joko berdiri sambil menenteng sebuah sabit yang gagangnya panjang seperti tongkat. Rupanya sabitnya tadi yang menangkis pedangku dan entah darimana dia mendapatkan senjata itu. Joko tadi berdiri tidak membawa senjata dan disekitarnya juga tidak ada senjata sama sekali. Senjata yang dipegangnya itupun, sama seperti senjata makhluk bermata bening yang ikut bertempur bersamaku dibawah sana.

“TURUN KAU PENGECUT.” Teriak Joko sambil mengacungkan sabitnya ke arahku dan ini bukan seperti Joko yang dulu aku kenal. Joko yang dulunya pemuda santun dan baik hati, sekarang terlihat menjadi kasar dan tidak beretika.

“Terbang merendah.” Ucapku kepada burung rajawali, sambil mengelus tengkuk lehernya pelan.

Burung rajawali terbang merendah dengan gerakan yang perlahan dan aku langsung berdiri di tengkuk lehernya. Aku meloncat kebawah, ketika burung rajawali sudah dekat dengan tanah.

Buhggg.

Bunyi kakiku ketika menginjak tanah.

“Kenapa kamu turun Le.?” Suara Simbah mendengung ditelingaku.(Le = Tole = anak.)

“Ada yang mau selesaikan sedikit dengan Joko Mbah.” Jawabku sambil menurunkan pedang yang aku hunus.

“Waktu kita tidak banyak, jangan gegabah kamu.” Ucap Simbah.

“Sebentar aja Mbah. Semoga dengan waktu yang sebentar, aku bisa menyadarkannya.” Ucapku.

“Le. Joko itu berada ditempat ini bukan satu atau dua jam. Dia sudah tujuh tahun dan tidak pernah beranjak pergi walau satu detikpun. Anak itu sudah bukan seperti yang dulu kamu kenal. Dia sekarang jahat dan sangat sadis sekali.”

“Ilmu sambung nyowo yang akan dimilikinya nanti, itu hanya puncak dari segala ilmu yang didapatkannya selama berada ditempat ini. Joko sudah mempunyai kekuatan yang hebat, walaupun belum mendapatkan ilmu sambung nyowo.”

“Jadi jangan kau remehkan dia.” Ucap Simbah dengan nada yang meninggi.

“Saya tidak meremehkannya Mbah, saya hanya ingin menyadarkannya.” Ucapku.

“Tidak akan bisa. Otak anak itu sudah benar – benar dikuasai oleh makhluk yang ada ditempat ini dan tidak ada satupun yang bisa menyadarkannya.” Ucap Simbah.

“Mbah. Berikan saya waktu sebentar saja.” Ucapku yang masih bersikukuh untuk berbicara dengan Joko.

“Cok. Ini pasti karena pembicaraanmu dengan Darman tadikan.? Sudahlah Le. Kamu gak usah mencoba – coba bermain dengan makhluk itu. Ingat, banyak nyawa manusia tergantung kepadamu dibawah sana. Satu detik saja kamu telat, bencana yang maha dasyat pasti akan terjadi.” Ucap Simbah.

“Kalau tujuanmu kesini hanya untuk menghentikan ritualku, aku akan membunuhmu ditempat ini. Aku tidak perduli siapa kamu dan aku tidak sedikitpun takut kepadamu.” Ucap Joko yang mengejutkanku dan aku langsung melihat ke arahnya. Tatapan matanya mengerikan sekali dan dia memang benar – benar saat ini.

“Bantai dia sekarang Le, bantai. Sebelum kamu menyesalinya nanti, lebih baik kamu bantai dia sekarang juga.” Ucap Simbah yang terus mendengung di ruang kepalaku.

“Hentikan semua ini sekarang juga Jok, hentikan. Kamu anak baik dan masih banyak orang yang menyangimu, termasuk aku.” Ucapku kepada joko dengan suara yang bergetar dan aku tidak menghiraukan ucapan Simbah.

“Cok. Kamu memang keras kepala Le.” Ucap Simbah dengan emosinya dan jiwanya yang menyatu dengan jiwaku, terasa sangat panas sekali.

“Jangan ajari aku tentang kasih sayang. Cukup sudah semesta ini saja yang memberikan aku pelajaran tentang kehidupan dan aku tidak akan mempercayainya lagi atau siapapun saat ini. Aku akan mengatur hidupku sendiri dan aku tidak akan membiarkan siapapun turut campur.” Ucap Joko sambil memiringkan kepalanya kekanan dan kekiri, lalu dia bersiap untuk menyerangku.

“Jok. Biarkan Sang Pencipta yang mengatur kehidupan kita dan jangan coba – coba untuk mengaturnya sendiri, atau semuanya akan berantakan. Hanya Sang Pencipta yang tau, apa yang kita butuhkan saat ini.” Ucapku yang mencoba meyakinkan Joko.

“Cuiihhh.” Joko meludah ke arah sebelah kanannya.

“Aku tidak percaya dengan yang namanya Sang Pencipta, Sang Pembuat Hidup atau Sang Pemilik Segalanya. Aku adalah aku dan aku yang menentukan hidupku sendiri.” Ucap Joko dengan emosinya.

“Tanpa impian, kamu tidak akan merasakan yang namanya berjuang. Tanpa cinta, hidupmu akan terasa hampa. Dan tanpa Sang Pencipta, kamu bukan siapa – siapa.” Ucapku.

“Aku muak mendengar kata – kata impian dan juga kata – kata cinta. Lebih baik tutup mulutmu dan nikmati sisa - sisa akhir kehidupanmu. Aku akan menghabisimu saat ini juga dan kamu pasti akan menyesali semua ini, karena takdir telah membawamu ketempat ini.” Ucap Joko sambil mengangkat senjatanya dan mengarahkan sabitnya ke arahku.

“Aku tidak akan pernah menyesal dengan jalan hidupku yang membawaku ketempat ini, karena saat ini justru saat terbaik di takdir kehidupanku.” Jawabku dan cukup sudah aku meyakinkan manusia satu ini, karena ucapanku tidak ada yang didengarnya sedikitpun. Mungkin kepalan tanganku yang akan didengarnya nanti.

Aku sekarang memang sedang memegang senjata, tapi aku tidak akan menggunakannya untuk melukai Joko. Aku akan menggunakan senjata ini, hanya untuk menangkis serangan senjatanya dan mematahkan kayu yang akan menutup tanah yang terbelah ini, hanya itu.

“Sudah berulang kali aku mengucapkan kata – kata ini, tapi aku tidak akan pernah bosan dan aku akan terus mengucapkannya kepadamu. Lindungi mereka yang ada dibelakangmu, hormati mereka yang ada disampingmu dan habisi siapa saja yang berdiri menantangmu. Angkat senjatamu dan bantai dia.” Ucap Simbah dan kedua mataku semakin memerah.

“Kubunuh kamu, kubunuh. Kamu sudah berani menggangguku dan kamu harus menerima akibatnya.” Ucap Joko dan itu membuat darahku langsung mendidih.

“ARRGGHHHH.” Ucap Joko berteriak sambil berlari ke arahku dan mengarahkan senjatanya ke arahku.

“BANTAI.” Ucap Simbah dan aku langsung mengangkat pedang yang ada ditanganku.

Joko yang sudah berada dihadapanku, langsung melayangkan senjatanya ke arahku dan aku menangkisnya dengan pedangku.

TRANG, TRANG, TRANG, TRANG.

Bunyi gesekan senjata kami yang saling bertemu dan itu mengeluarkan percikan – percikan api.

TRANG, TRANG, TRANG, TRANG.

Joko terus menyerangku dengan amarah yang menggila dan aku terus menangkis serangannya.

TRANG, TRANG, TRANG, TRANG.

Dia menyerangku dari arah kanan, kiri, atas dan bawahku. Dan memang benar apa yang dikatakan Simbah tadi, kalau kemampuan Joko telah meningkat dan ilmunya tidak bisa diremehkan. Kekuatannya bahkan sudah bisa menandingi aku atau bahkan sekarang sudah berada diatasku.

Energy yang keluar dari tubuhnya terasa sangat kuat dan dia bukan lagi pemuda Desa Sumber Banyu yang biasa, tapi pemuda yang memiliki kekuatan yang sangat luar biasa.

TRANG, TRANG, TRANG, TRANG.

Joko sangat lihai menggunakan senjatanya dan justru aku yang canggung dengan pedangku. Aku tidak terbiasa bertarung menggunakan senjata dan aku juga tidak bisa melepaskan pedang ini, karena pedang ini seperti menyatu dengan genggaman telapak tanganku.

TRANG, TRANG, TRANG, TRANG.

Bunyi gesekan senjata kami ini memekakan telingaku dan membuat gigiku terasa ngilu sekali.

“ARRGHHHH.” Joko berteriak dan dia langsung menginjak dadaku dengan kuat.

Aku yang canggung menggunakan pedangku dan sedang berkonsentrasi dengan serangan senjata Joko, tidak menyangka kalau dia akan menggunakan kakinya untuk menyerangku.

BUHHGGGG.

Injakannya masuk kedadaku dengan telak dan itu langsung membuatku terlempar kebelakang.

“HUUPPPP.” Nafasku sesak dan tubuhku melayang kebalakang, lalu roboh dengan posisi terlentang ditanah.

BUUMMM.

SRETTTT.

Punggungku yang tidak memakai kaos ini, menghantam kerikil – kirikil tajam yang ada dipinggiran sumber air, lalu tubuhku terseret beberapa meter kebelang.

Joko langsung meloncat dan mengarahkan senjatanya yang berbentuk sabit itu ke arah dadaku, dengan posisi seperti orang yang sedang mencangkul.

“ARRGHHHH.” Teriak Joko dan ujung sabit itu sudah berada tidak jauh dari dadaku.

Aku langsung mengangkat pedangku dan menangkis senjata Joko, sekuat tenagaku.

TRANGGG.

Senjata Joko terayun kesamping kanan dan posisi tubuhnya melayang diatasku. Aku langsung mengangkat kaki kananku dan aku arahkan keperutnya yang tidak ada perlindungan itu.

BUHGGGG.

Injakanku masuk dengan telak ke arah perutnya dan itu membuat tubuhnya melayang kebelakang. Joko yang ilmunya sudah meningkat itu, terlalu sigap dengan seranganku dan dia bisa mendarat ditanah dengan sempurna.

Aku lalu bangkit dengan menggunakan gerakan kick up, tapi tidak menggunakan kedua tanganku. Aku angkat kedua kakiku sampai lututku medekat ke arah dadaku dan bokongku terangkat, lalu aku mendorong kedua kaki kedepan dengan kuat dan aku sedikit bertumpu pada punggungku ditanah.

“HUUUPPP.” Tubuhku melayang keudara, lalu kedua kakiku mendarat ditanah dan aku langsung memasang kuda – kuda.

Pandanganku menunduk dan terlihat tetesan darah yang membentuk garis dari tempat beridi Joko sampai dibawah kakiku. Tempat berdiri Joko itu awal punggungku terjatuh dan aku terseret sampai ditempat aku berdiri ini.

Gila, berarti punggungku terluka karena terkena kerikil tajam dan aku tidak merasakan sakitnya. Ini pasti karena aku dibawah pengaruh kekuatan mata merah, jadi luka ini tidak terasa sama sekali.

Pandanganku langsung beralih ketanah yang terbelah dan tubuh makhluk penguasa hutan terlarang itu, sedikit lagi mencapai permukaan tanah.

Cok. Waktuku sudah sangat mepet sekali dan aku harus segera menebas kayu yang berada didekat Joko. Tapi kelihatannya perjuanganku sangat berat, karena Joko masih berdiri tegak. Bahkan menurutku, dia belum mengeluarkan semua kemampuannya.

Tapi apapun itu, berat bukan berarti tidak bisa aku taklukan.

SRENGGG.

Joko menggesekan sabitnya kebatu – batu kerikil yang ada didekatnya, lalu kembali dia mengacungkan senjatanya keaarahku.

WUT, WUT, WUT, WUT, WUT.

Joko memutar – mutarkan senjatanya dibagian tengahnya, setelah itu dia memegang ujung bagian bawah gagang tongkatnya, lalu mengarahkan bagian sabit tajamnya ke arah lehar bagian samping kiriku.

Sabit yang memiliki panjang gagang tongkat kira – kira dua meter lebih itu, melesat dengan cepat dan aku langsung menangkisnya dengan pedangku.

TRANGG.

Lalu dengan cepat aku memutarkan tubuhku ke arah Joko dan senjata kami berdua masih saling menggesek. Dengan posisi tubuhku yang membelakangi Joko, aku mengangkat sikut kiriku dan aku arahkan kewajah Joko.

BUHGGGG. SRETTTTT.

Joko terlebih dahulu menginjak punggungku dan injakannya sangat kuat. Tubuhku terpental dan aku roboh kedepan, lalu dadaku terseret di kerikil – kerikil tajam lagi.

“ARGGHHHH.” Tubuhku terseret beberapa meter kedepan, dengan posisi wajahku yang menoleh kekiri dan aku angkat sedikit, lalu terhenti karena kepalaku bagian atas terhantam batu yang besar.

BUHGGGG.

Pandanganku langsung berkunang – kunang dan aku merasa ada kilatan yang berasal dari arah belakangku. Aku lalu memutarkan tubuhku ke arah kanan dan sekarang posisinya aku tertidur dengan posisi mengahadap ke arah langit.

TRANGGG.

Sabit Joko menghantam batu kerikil di samping wajahku dan itu sejajar dengan telingaku.

Bajingan. Anak muda ini rupanya mengincar tengkorak kepala bagian belakangku dan dia benar – benar ingin membunuhku.

“DJIANCOK.” Maki Joko, karena sabitnya tidak mengenai sasaran.

Joko lalu menoleh ke arahku yang terlentang disebelah kirinya. Posisi sabit yang seperti sedang mencangkul ditanah itu, bagian tajamnya langsung diarahkan kebagian leherku.

Diayunkan sabitnya itu ke arah belakang atau ke arah kanannya dan gerakannya seperti pemain golf yang ingin memukul bola ditanah.

Aku lalu menyepak lutut kiri Joko bagian sampingnya dengan kaki kananku, sambil memutarkan tubuhku ke arah kiri.

BUHHGGGG.

JEDUUKKKK.

Lutut kirinya menghantam krikil, sementara kaki kanannya menekuk. Lalu sambil memutar, aku mengarahkan tumitku ke arah wajah kirinya.

BUHHGGGG.

“ARRGHHHH.” Teriak Joko.

Kepalanya limbung ke arah kanan dan wajah kanannya langsung menghantam bebatauan dengan kerasnya.

BUMMMMMM.

Joko tersungkur ditanah dan ini kesempatanku untuk menebas kayu yang berada tidak jauh dari tempatku terlentang ini.

Aku langsung cepat bangkit dan berlari ke arah batang kayu itu, sambil mengarahkan pedangku kesamping.

Dan sebelum ujung pedangku aku ayunkan, sesosok makhluk yang sangat besar, muncul dari tanah yang terbelah. Makhluk yang poisinya tadi tertidur dan melayang, sekarang perlahan mulai berdiri dan melayang diantara tanah yang terbelah itu.

Cok. Inikah makhluk penguasa hutan terlarang dan makhluk yang paling ditakuti kebangkitannya di semesta ini.? Apakah dia sekarang benar – benar bangkit dan aku sudah terlambat untuk menghentikannya.? Bajingan.

Makhluk dihadapanku ini benar – benar memiliki wajah yang sangat seram sekali. Matanya ada tiga. Satu dikanan dan satu dikiri, sedangkan yang satu lagi berada dikeningnya dan lebih besar dari kedua matanya yang lain. Kepalanya bertanduk dibagian samping kanan serta bagian samping kiri kepalanya, dan dia tidak memiliki batang hidung. Hanya dua lobang yang cukup besar, diantara mata dan mulutnya. Gigi – giginya besar dan ada empat taring yang keluar dari mulutnya.

Tubuhnya memang sangat besar, tapi kedua kakinya agak pendek dan perutnya sangat buncit.

Cok. Makhluk ini benar – benar iblis yang menyeramkan dan mungkin dia satu – satunya makhluk yang membuat tubuhku merinding. Ya, seluruh tubuhku memang merinding dan nyaliku seperti ciut ditatap oleh matanya.

“HAHAHAHAHA.” Makhluk itu tertawa dengan keras dan tawanya langsung menggetarkan tanah yang kupijak.

Terus apa yang harus aku lakukan.? Pertarunganku dengan Joko belum selesai dan sekarang makhluk hutan terlarang sudah dibangkitkan. Apakah sudah tidak memiliki kesempatan sedikitpun saat ini dan aku sudah kalah dengan pertarungan ini.?

Tidak, itu tidak mungkin. Selagi nyawa ini masih berada ditubuhku, aku masih mempunyai kesempatan dan makhluk ini pasti bisa aku kirim ke asalnya lagi.

“Tamatlah riwayatmu kini.” Ucap Joko dari arah belakangku.

Bajingan. Belum juga aku bertarung dengan makhluk yang menyeramkan itu, yang satu sudah bangun lagi. Kelihatannya aku harus menenangkan diriku sejenak dan aku harus mempelajari situasi. Joko merupakan lawan yang tangguh dan makhluk penguasa hutan terlarang ini pasti ketangguhannya lebih berlipat – lipat.

Aku tidak boleh gegabah dan aku harus bisa memanfaatkan kesempatan sekecil apapun.

Hiuuffffffttt, huuuuu.

Aku menarik nafasku dalam – dalam, lalu mengeluarkannya perlahan. Aku tundukan wajahku dan terlihat darah segar mengalir dari dada sampai perutku.

Cok. Seluruh dadaku terluka dan lukanya membentuk garis - garis dari bagian atas dadaku, sampai sebatas celana panjang yang aku kenakan. Celanakupun sobek dibagian paha, sampai sebatas lutut. Sobekan dicelana itu tembus sampai kulit pahaku dan pahaku juga tergores.

Hiufffttt, huuuuu.

Kembali aku menarik nafasku dalam – dalam dan kali ini aku barengi dengan mengusap dadaku yang terluka. Aku mengusapnya tepat dibagian tattoo kepala rajawali. Darahku memenuhi tattoo kepala rajawali yang bertinta hitam itu, dan tiba – tiba suhu tubuhku memanas dengan cepat.

WUSSS, WUSSS, WUSSS, WUSSS.

Angin yang sangat kencang terasa mengenai tubuhku dan aku langsung mendangakan kepalaku keatas.

Burung rajawali yang aku tunggangi tadi terbang mengelilingi aku dan ketika posisi kami berhadapan, burung rajawali itu menukik tajam ke arahku dan perlahan menjadi bulatan berwarna merah serta bercahaya terang.

WUUTTTT.

Burung rajawali itu terbang semakin cepat, lalu dia menabrak bagian dadaku dengan kuatnya.

BUHGGG.

SRETTTT, SRETTT, SRETTT.

Tubuhku terseret kebelakang, dengan posisi tetap berdiri tegak. Bekas kedua kakiku yang menyeret ditanah terlihat jelas dan nafasku langsung memberat.

“Hu, hu, hu.”

Burung rajawali itu telah menyatu didalam tubuhku, bersama Simbah mata merah. Tubuhku terasa memiliki kekuatan yang berlipat – lipat dan aku siap untuk bertarung lagi.

“BAJINGANNN.” Teriak Joko dan aku langsung menoleh kearahnya. Dia berlari ke arahku sambil mengayunkan senjatanya dan wajah bagian kanannya terlihat berdarah – darah, karena tendanganku tadi.

“Saatnya kita membantai mereka dan tidak perlu ada negoisasi lagi. Paham kamu.!!!” Ucap Simbah dengan penekanan kata yang keras dan tegas.

Aku hanya diam saja sambil menatap ke arah Joko yang berlari ke arahku.

Dan ketika sudah sampai didekatku, Joko langsung mengayunkan sabitnya menggunkakan kedua tangannya. Dia mengayunkan dari arah kanan dengan kuat dan aku langsung menangkisnya dengan pedang yang ada ditanganku.

TRAANGGG.

Lalu dengan cepatnya, aku memutarkan tubuhku ke arahnya, sambil melakukan tendangan balik.

WUUTTTT, BUGGHHH.

Tendangan balikku kali ini masuk kedadanya dengan telak dan itu langsung membuat tubuh Joko terlempar kebelakang. Tubuhnya melayang lalu terjatuh kebebatuan kerikil, setelah itu terseret beberapa langkah dan dia langsung terlentang sambil memegangi dadanya.

“COK.” Maki Joko.

“Urusan anak itu dilanjut nanti, kita bereskan dulu makhluk penguasa hutan terlarang.” Ucap Simbah dan aku langsung menoleh ke arah makhluk yang masih melayang diantara tanah yang terbelah itu.

“Kekuatannya belum sempurna, karena ritual Joko belum selesai. Sekarang mari kita kirim dia ke bagian bumi yang paling terdalam.” Ucap Simbah lagi dan aku langsung berlari ke arah makhluk itu.

Dipinggir tanah yang terbelah itu, ada bebatuan yang agak besar dan itu bisa aku jadikan tumpuan untuk meloncat ke arah makhluk itu.

Aku semakin mempercepat lariku dan kaki kiriku aku hentakan diatas bebatuan itu, sehingga aku melayang dan posisiku lebih tinggi dari makhluk itu. Aku lalu mengangkat kaki kananku dan aku arahkan kedadanya.

“ARRGGGHHHH.” Aku berteriak sekencang – kencangnya dan aku memusatkan seluruh kekuatanku ditelapak kaki kananku.

Aku menyerang makhluk itu dengan injakan, seperti burung rajawali yang ingin mencengkram musuhnya dengan kuku – kuku tajamnya.

BUHGGGG.

Tubuh makhluk itu terhempas kebelakang dan punggungnya menghantam ke arah dinding tanah yang terbelah.

Kedua kakiku menapak ditanah dan posisiku sekarang berada diseberang tanah yang terbelah. Aku berdiri memunggungi makhluk penguasa hutan terlarang dan aku langsung membalikan tubuhku dengan cepat.

Aku lalu mengayunkan pedangku ke arah leher makhluk itu dengan sekuat tenagaku.

“JANGAAANN.” Teriak Joko dan aku tidak memperdulikannya.

JRABBBB.

“ARRGGHHHHH.” Lengkingan makhluk itu terdengar sangat keras dan kepalanya langsung terlepas dari lehernya. Darah berwarna hitam pekat keluar dari tenggorokan makhluk itu dan tubuhnya langsung terjatuh kedalam jurang terdalam, yang berisi aliran lava yang sangat panas.

“BANGSAT. KAMU SUDAH MENGHANCURKAN SEMUA RENCANAKU DAN KAMU HARUS MENANGGUNG AKIBATNYA.” Teriak Joko disebarang sana dan dia sangat – sangat emosi sekali.

“Tidak usah hiraukan anak itu. Sekarang tebas kayu yang ada didekat sumber air, agar tanah ini menyatu dan mengubur makhluk ini selamanya. Jangan sampai terlambat atau makhluk itu bisa muncul kepermukaan tanah lagi.” Ucap Simbah.

“Tidak dihiraukan bagaimana mbah.? Anak itu sekarang berada didekat batang kayu yang akan aku tebas.” Jawabku.

“Kalau begitu, tebas juga anak itu bersama batang kayunya.” Ucap Simbah.

“Mbah.” Ucapku singkat.

“Kenapa.? Kamu mau membiarkan duri didalam daging dan seluruh tubuhmu yang akan merasakan sakitnya.? Sudahlah Le, sudah. Joko tidak mungkin lagi bisa disadarkan. Kalau kamu tidak cepat membantai Joko dan menebas kayu itu, bencana ini tidak akan bisa dihindarkan lagi. Makhluk itu pasti akan bangkit lagi, walaupun kamu sudah memenggal kepalanya.” Ucap Simbah dengan emosinya dan aku hanya diam, sambil mencari celah untuk menebas kayu yang tertancap itu.

Joko sepertinya paham dengan apa yang akan aku lakukan dan diapun menunggu kayu itu, sambil terus menatapku dengan tajam. Kalau saja aku tidak mengincar kayu itu, mungkin Joko akan menyebrangi tanah yang terbelah ini dan dia pasti langsung mengajakku berduel.

“JANGAN BANYAK BERPIKIR. WAKTUMU TIDAK BANYAK.” Teriak Simbah yang menggema dikepalaku.

Akupun langsung berlari, lalu aku meloncat menyebrangi jurang yang cukup lebar ini. Lava yang mengalir didasar jurang, terlihat sangat jelas sekali. Akupun sempat melihat sesuatu yang terbang dari dasar jurang, menuju kepermukaan tanah.

Gila. Apa yang terbang tadi itu adalah makhluk penguasa hutan terlarang.? Cok. lagi - lagi apa yang diucapkan Simbah bermata merah benar. Waktuku sudah tidak banyak dan mungkin saja kalau makhluk itu berada dipermukaan tanah, aku tidak bisa mengembalikannya kedasar jurang lagi.

Bugghhh.

Kedua kakiku mendarat diseberang tanah yang terbelah dan Joko langsung berlari ke arahku, sambil mengarahkan senjatanya ke arahku.

TRANG, TRANG, TRANG, TRANG.

Aku menangkis serangan Joko dan dia terus menyerangku dengan membabi buta. Wajahnya terlihat sangat ingin membantaiku dan dia sangat dendam sekali kepadaku.

TRANG, TRANG, TRANG, TRANG.

Aku menangkis serangan senjata Joko dan dia semakin menggila saja.

TRANG, TRANG, TRANG, TRANG.

Pikiranku saat ini terbelah dan sebenarnya aku tidak mengeluarkan kekuatanku yang sepenuhnya, ketika melawan Joko. Aku masih menganggapnya pemuda yang masih bisa disadarkan, walaupun kondisinya yang seperti ini. Apa yang aku pikirkan ini, bukan karena ucapan Darman, tapi sekali lagi aku masih mengharapkan Joko kembali menjadi pemuda yang baik.

“Le. Kamu sendiri yang pernah mengucapkan. Cintailah sewajarnya dan membencilah seperlunya. Jangan mau diperbudak oleh rasa sayang yang membabi buta, karena itu pasti akan menjadikan gelap mata. Jadi tuntaskan sekarang juga kewajibanmu, karena yang kamu hadapi ini bukan manusia lagi, tapi iblis yang dipenuhi hawa nafsu.” Ucap Simbah.

TRANG, TRANG, TRANG, TRANG.

Sebuah cahaya terlihat keluar dari dasar jurang dan itu pasti cahaya dari makhluk penguasa hutan terlarang.

“Aku tidak akan membiarkanmu lagi untuk menghancurkan rencanaku dan aku akan membunuhmu ditempat ini.” Ucap Joko sambil terus menyerangku.

TRANG, TRANG, TRANG, TRANG.

Senjata kami saling menempel dan pertempuran terhenti sejenak. Kami beradu pandang dan tatapan mata Joko memang benar – benar sudah dikuasai oleh iblis.

“Kelihatannya kamu tidak bisa diberi hati Jok, kamu harus segera dihentikan.” Ucapku sambil mendorong pedangku kedepan, sampai senjata kami tidak bersentuhan lagi.

“BANGSATTT.” Maki Joko sambil menarik senjatanya ke arah belakang lalu mengayunkan ke arah wajahku.

WUSSSS.

Aku tidak menangkis serangannya, tapi aku memundurkan wajahku sampai senjata itu melewati kedua mataku.

Tangannya yang mengayun kesebelah kiri, membuat pertahanan ditubuhnya agak kendor.

Aku lalu menghantam wajahnya menggunakan gagang pedang bagian bawah.

BUHGGGG.

“AARGGHHHH” Joko berteriak kesakitan dan pukulanku tepat mengenai keningnya, sampai dia terdanga.

Aku lalu memutarkan tubuhku dan mengarahkan tumitku ke arah wajah samping Joko.

BUHGGGG.

Tubuh Joko oleng kekananku dan aku menyambutnya dengan sepakan kaki kananku ke arah wajah samping kirinya.

BUHGGGG.

Sepakanku sangat keras dan itu membuat Joko langsung tumbang kesebelah kiriku, dengan posisi wajah sampingnya mengantam bebatuan dengan kerasnya.

BUMMMMM.

“CEPAT TEBAS KAYU ITU, KARENA MAKHLUK ITU SUDAH DEKAT DIPERMUKAAN TANAH.” Ucap Simbah dan aku langsung melihat ke arah kayu didekat sumber air.

Aku lalu berlari ke arah kayu itu, sambil mengayunkan pedangku dari arah samping.

Dan ketika aku sudah didekat kayu itu.

JRABBB.

“HIUUUFFTTT.” Aku menghentikan lariku, karena ada benda tajam yang menancap dibetis kiriku, sampai mengenai tulang kakiku.

“UHHHHHHH.” Rasa sakit yang sangat luar biasa, langsung terasa dari betisku dan merambat kesekujur tubuhku. Kekuatan mata merah yang menguasai diriku dan biasanya mampu menahan rasa sakit separah apapun, kali ini seperti tidak berdaya.

Rasa sakit ini membuat ini membuat tubuhku melemah dan aku langsung menurunkan ujung pedangku dibatu, yang ada dibawahku. Aku berpegangan digagangnya dengan kuat, karena kakiku tidak bisa aku langkahkan.

“Hu, hu, hu, hu.” Aku lalu menoleh ke arah betisku dan ujung sabit Joko menancap sangat dalam sekali.

Sabit Joko terasa sangat panas didalam dagingku dan rasa sakit yang luar biasa, perlahan membuat kaki kiriku bergetar dengan hebatnya.

“ARGGHHHH.” Aku menahan rasa sakit sambil memejamkan kedua mataku sejenak, lalu aku membukanya lagi.

“Kamu tidak akan bisa menghentikan kebangkitan makhluk penguasa hutan terlarang.” Ucap Joko yang masih terlentang diatas kerikil dan rupanya dia tadi melemparkan sabitnya, sampai mengenai betisku.

Perlahan dia mulai bangkit dari tidurnya dan wajahnya terlihat sangat mengerikan sekali. Selain wajahnya berdarah – darah, dia seperti sedang dirasuki sesosok makhluk yang sangat kuat dan juga hebat. Mungkin itu ilmu yang sudah didapatkan selama tujuh tahun berada dihutan ini. Bajingan.

Joko yang sudah berdiri tegak, langsung mengangkat tangan kanannya keatas.

Dan tiba – tiba.

SRETTTT.

Sabit yang menancap dibetisku tercabut, tanpa Joko menyentuhnya dan sabit itu langsung melayang ke arah Joko.

Tap.

Gagang kayu sabit itu langsung digenggam Joko dan dia terlihat semakin mengerikan, dengan senjata yang ada ditangannya itu.

“ARGGHHHH.” Aku merintih kesakitan, karena darah mengucur deras dari betisku.

Persetan dengan rasa sakit ini. Lebih baik sekarang aku menebas kayu yang sudah tidak jauh dari tempatku berdiri ini, setelah itu aku akan melanjutkan berduel dengan Joko.

Aku lalu melihat ke arah kayu itu lagi, setelah itu aku berjalan tertatih – tatih.

WUSSSS.

Joko berlari dengan cepat dan sekarang tiba – tiba dia sudah berdiri didekat kayu, sambil mengarahkan sabitnya ke arahku.

Hiuuffttt, huuuu.

Aku menarik nafas panjangku dan aku mengangkat pedangku ke arah Joko.

“Cukup sudah permainan kita ini dan aku akan menyelesaikannya sekarang juga.” Ucapku dan rasa sakit dibetisku, langsung membakar emosiku.

Kedua mataku semakin memerah dan aku sudah siap dengan akhir pertarungan ini.

“Kamu yang akan berakhir ditempat ini.” Ucap Joko sambil mengayunkan sabitnya ke arah belakang, lalu mengarahkannya ke arahku.

TRANG, TRANG, TRANG, TRANG.

Aku langsung menyerang Joko dan kembali senjata kami saling beradu.

TRANG, TRANG, TRANG, TRANG.

Aku tidak mengiraukan rasa sakit dibetisku, luka didada dan juga luka dipunggungku. Aku juga sudah cukup memberikan Joko kesempatan, tapi rupanya itu hanya membuang – buang waktuku.

Joko mengayunkan senjatanya dari arah kanan dengan kuat dan aku juga menyambutnya dengan ayunan yang kuat.

TRAANGGGG.

Senjata Joko terlepas dari genggaman tangannya dan jatuh jauh dari posisi kami berdiri.

Kembali aku mengayunkan pedangku ke arah leher Joko, tapi dia memundurkan kepalanya.

SREETTTTT.

Ujung pedangku mengenai dadanya dan pakaian yang dikenakannya langsung sobek. Ujung pedangku sempar merobek kulit dada Joko, tapi tidak terlalu dalam.

“ARGHHHH.” Teriak Joko kesakitan, karena darah segar keluar dari dadanya dan juga dari seluruh wajahnya.

Kepalanya yang condong kebelakang, membuat dadanya tidak terlindung dan aku langsung menginjaknya dengan kuat.

BUGGHHHHH.

“HUUPPPP.” Joko kesakitan dengan nafas yang tertahan dan kedua mata yang melotot. Tubuhnya terpental kebelakang, lalu dia roboh terlentang.

Sebenarnya aku bisa menyerangnya lagi, tapi aku harus menebas kayu itu dulu.

Aku lalu memutar tubuhku dan sempat terlihat dari arah tanah yang terbelah, makhluk penguasa hutan terlarang bangkit dari posisi tidurnya dan tubuhnya melayang diantara tanah yang terbelah itu. Kepalanya telah menyatu lagi dengan tubuhnya dan dia menatapu penuh dengan amarah.

JRABBBBB.

Aku menebas kayu itu dan kayu itu langsung terpotong, dengan ujung kayu yang runcing, karena aku menebasnya dengan posisi miring dari atas kebawah.

TAP.

Kayu itu jatuh ketanah, lalu terdengar teriakan Joko serta makhluk penguasa hutan terlarang, yang sangat memekan telinga.

“DJIANCOOKKK.”

“AARGGHHHHHHHH.”

Tanah yang aku pijak langsung bergoyang dan diikuti aliran air yang sangat deras dari sumber mata air.

“Ambil batang kayu itu dan lemparkan kedada makhluk itu Le.” Ucap Simbah mata merah dan aku langsung berjalan tertatih, setelah itu aku membungkukan tubuhku, untuk mengambil kayu yang aku potong tadi.

WUSSS, WUSSS, WUSSS, WUSSS.

Angin kencang kembali terasa dan ini lebih kencang dari sebelumnya. Goncangan ditanah yang kupijak semakin terasa kuat dan aku langsung membalikan tubuhku, melihat ke arah makhluk yang menatapku dengan tajam itu.

“KEMBALILAH KEALAMMU.” Teriakku sambil melemparkan kayu yang aku pegang dengan tangan kanan, sedangkan tangan kiriku memegang pedang.

WUUSSSS, JRABBBB.

Kayu itu menancap tepat didada makhluk itu dan kedua matanya alnsgung melotot kesakitan. Tubuhnya terhempas dan menghantam dinding tanah disebelah sana.

CLAP, CLAP, CLAP, CLAP.

DUAR, DUAR, DUAR, DUAR.


Kilatan petir dan diikuti suara yang menggelagar.

Tubuh makhluk itu masuk kedalam jurang dan tanah yang terbelah ini, perlahan mulai menyatu.

CLAP, CLAP, CLAP, CLAP.

DUAR, DUAR, DUAR, DUAR.


WUSSS, WUSSS, WUSSS, WUSSS.

Kilatan petir terus bersahut - sahutan dan angin beritiup dengan kencangnya. Sumber mata air meluapkan isinya dan sangat deras sekali.

“Kamu telah mengacaukan segalanya dan kamu harus menerima akibatnya. AKU JOKO PURNOMO BERSUMPAH DIMATA AIR INI, AKAN MENGHABISI KAMU DAN JUGA SELURUH KETURUNAN JATI.” Ucap Joko dengan emosinya, lalu tubuhnya melayang ke arahku dan dia melayangkan kepalan tangannya ke arahku.

Amarahku bergejolak, ketika aku mendengar sumpah Joko. Emosiku meluap – luap dan siap untuk diledakkan.

“Sebelum kamu membunuh keluargaku, aku yang akan membunuhmu terlebih dahulu.” Ucapku sambil mengayunkan tangan kananku ke arah belakang dan aku bersiap menyambut tubuh Joko yang melayang ke arahku.

“ARGHHHHHHH.” Kami berdua sama – sama berteriak dan,

BUHGGGGGG.

Kepalan tanganku masuk kedadanya terlebuh dahulu dan tubuhnya yang melayang itu, langsung terlempar kebelakang dan terjatuh dialiran air yang sangat deras. Aku memukulnya dengan kekuatan penuh dan itu pasti bisa melumpuhkannya, atau malah bisa membunuhnya.

“ARGGHHHHH.” Teriak Joko yang kesakitan.

BYURRR.

Tubuhnya masuk ke aliran sungai yang deras, lalu terseret jauh. Aku ingin mengejarnya, tapi tubuhnya sudah tidak terlihat lagi.

“AARGGHHHHHH.” Aku berteriak untuk meluapkan sisa – sisa emosi yang masih ada ditubuhku.

Pandanganku perlahan kembali seperti biasa dan tubuhku langsung lemas seketika.

Buhgggg.

Tubuhku roboh ketanah dan pedang yang ada ditangan kiriku menghilang entah kemana.

Hembusan angin mulai mereda dan getaran ditanah juga mulai menghilang, seiring dengan tanah yang sudah merapat seperti semula. Aliran air di sumber mata airpun, juga mulai tenang dan tidak deras seperti tadi.

“ORA UMUM, ORA UMUM, ORA UMUM.” Ucap Cakra yang datang dari arah bawah.

“Hu, hu, hu, hu, hu.” Nafasku memburu dan aku langsung tidur terlentang, menatap ke arah bulan yang sudah bersinar dengan terang.

Seluruh tubuhku terasa perih, akibat luka – luka yang aku derita. Aku tidak sanggup bergerak lagi dan aku hanya bisa tidur terlentang.

“Luar biasa kamu wan.” Ucap Cakra sambil mendekat ke arahku, lalu dia menjulurkan tangan kanannya ke arahku dan tubuhnya sedikit membungkuk.

Aku menyambut uluran tangan Cakra dan dia langsung membantuku untuk duduk. Cakra lalu mengangkat tubuhku yang lemas ini dan menyandarkan dibatu yang agak besar. Dia menyandarkan punggungku dengan sangat berhati – hati, karena luka dipunggungku sangat parah sekali.

“Ahhhhh.” Aku mengeluarkan nafas panjangku, sambil mendangakan kepalaku dan Cakra hanya menatapku sambil tersenyum.

“Apa yang didapat dari semua ini Cak.?” Tanyaku.

“Pelajaran hidup.” Jawab Cakra singkat dan dia berdiri tepat dihadapanku.

“Cintailah sewajarnya dan membencilah seperlunya. Jangan mau diperbudak oleh rasa sayang yang membabi buta, karena itu pasti akan menjadikan gelap mata.” Ucap Cakra lagi.

“Itu kata – katamu dan aku sudah merasakan, bagaimana yang namanya gelap mata.” Ucap Cakra sambil menatapku dan dari tatapan matanya itu, terlihat rasa penyesalan yang begitu mendalam.

“Aku dan Joko mempunyai kisah yang agak sama Wan, sama – sama digelapkan rasa sayang dan tidak siap untuk kehilangan rasa itu.”

“Usia kamipun hampir sama, ketika harus menghadapi ujian yang sangat berat itu.”

“Tapi sekali lagi itu menjadi pelajaran yang sangat berharga bagiku.”

“Bukan hanya diri sendiri yang menderita, tapi orang yang kita sayangi juga akan ikut menanggung penderitaan. Bahkan orang yang ada disekitar kita juga akan terkena akibatnya.”

“Hiuffttt, huuuu.” Cakra menarik nafasnya dalam – dalam, setelah itu mengeluarkannya perlahan.

“Aku sangat menyesal Wan, aku sangat menyesal sekali.” Ucap Cakra dan kata – katanya terdengar sangat tulus.

“Sudahlah Cak, aku tau kamu orang baik.” Ucapku yang mencoba menenangkan Cakra.

“Sifat baik dan buruk pada seseorang, itu hanya seperti membalikan telapak tangan Wan. Ketika orang baik tidak mampu menanam keikhlasan didalam hatinya, dia akan bisa berubah menjadi jahat dalam sekejap. Orang baik yang tidak mampu menahan nafsunya yang begitu besar, dia akan terseret dalam pusaran ambisinya dan tersesat didalam kegelapan perjalanan hidupnya.” Ucap Cakra dengan suara yang bergetar.

“Tapi kamu telah menemukan titik terbaik ditakdir hidupmu kan.?” Tanyaku.

“Iya. Dan proses untuk menuju ke titik itu begitu menjacokan, karena aku harus menyakiti kamu, Anjani dan seluruh keluargamu.” Jawab Cakra dan matanya terlihat berkaca – kaca.

“Cak. Apapun yang telah kamu lakukan selama ini, doa ku tidak pernah putus kepada Sang Pencipta, agar menjadikanmu orang yang baik. Doaku terkabul bahkan melebihi apa yang aku minta, karena kamu menjadi yang terbaik saat ini.” Ucapku.

“Sudahlah Cak. Jalani saja takdirmu saat ini dan biarkan Sang Pencipta yang mengaturnya. Dia tau apa yang baik dan tidak untukmu.” Ucapku lagi dan Cakra langsung menunduk sambil menyapu seluruh wajahnya dengan telapak tangannya.

“Kamu memang saudaraku yang terbaik, tapi sayang kebersamaan kita hanya singkat sekali.” Ucap Cakra lalu dia melihat ke arah sumber mata air.

“Apa sekarang waktunya kamu akan pergi.?” Tanyaku dan jujur aku sangat berat mengucapkan kata – kata ini.

“Iya. Tapi ada yang harus aku selesaikan dulu, agar jiwaku tenang di alam keabadian.” Jawab Cakra sambil menoleh ke arahku lagi.

“Apa itu.?” Tanyaku.

“Aku akan melepaskan kekuatan mata hitam yang ada pada diriku, karena aku tidak ingin menjadi seperti ksatria – ksatria yang bertarung bersama kita dibawah tadi.” Jawab Cakra dan aku langsung mengerutkan kedua alis mataku.

“Menjadi ksatria seperti mereka, membuat jiwa kita tidak akan tenang di alam keabadian. Karena setiap ada gerhana, jiwa – jiwa mereka akan turun kebumi. Apalagi kalau sampai ada pertarungan seperti tadi, para ksatria akan terpanggil dengan sendirinya.” Ucap Cakra.

“Oh. Jadi ini penyebab kamu ikut dalam pertarungan tadi, padahal sebelumnya kamu tidak bisa terlibat karena berbeda alam.?” Tanyaku.

“Hem.” Jawab Cakra sambil mengangguk pelan, lalu dia berjalan ke arah sumber mata air.

“Apa tidak ada salam perpisahan atau pelukan terakhir.?” Tanyaku lagi.

“Salam jempol kejepit.” Jawab Cakra sambil mengangkat tangan kanannya keudara, dengan posisi jempol terjepit diantara jari telunjuk dan jari tengahnya. Diapun melakukannya tanpa menoleh ke arahku sama sekali.

“Jembutt.” Makiku dan Cakra terus berjalan.

“Oi. Tunggu aku disana ya.” Ucapku dan Cakra langsung menoleh ke arahku sambil tersenyum, setelah itu dia masuk kedalam sungai.

Dan setelah sampai dibawah sumber mata air yang mengalir, Cakra langsung mencuci kedua tangannya, lalu dia membasuh wajahnya dan membasahi kepalanya.

Beberapa saat kemudian, Cakra menadahkan kedua tangannya dan menampung air ditelapak tangannya. Cakra lalu meminum air itu, setelah itu dia menegakkan tubuhnya.

“ARGHHHHHH.” Cakra berteriak sekencang – kencangnya, dengan kedua tangan yang terlentang dan kepala yang mendangak keatas.

Lalu tiba – tiba sesosok makhluk berwajah seram, keluar dari sumber mata air dan terbang diatas kepala Cakra. Makhluk itu melayang sambil meletakan telapak tangannya dikening Cakra dan tubuh Cakra langsung bergetar dengan hebatnya. Sebuah bulatan cahaya berwarna hitam keluar dari mulutnya dan tubuh Cakra terlihat mengejang.

“HORRGGGG.” Kembali Cakra berteriak dan dia seperti merasakan kesakitan yang sangat luar biasa.

CLAP.

Cakra dan juga makhluk yang menyeramkan itu tiba – tiba menghilang entah kemana. Suasana hutan inipun menjadi sunyi dan yang terdengar hanya bunyi butiran air yang jatuh dari sumber mata air kesungai.

“Mandilah disumber mata air itu, untuk membersihkan tubuhmu dan mengakhiri semua yang sudah kamu lakukan dari tadi Le.” Ucap Simbah mata merah.

“Iya Mbah. Tapi sebelum itu ada yang mau saya tanyakan mbah.” Ucapku.

Tiba – tiba Simbah mata merah menampakan wujudnya dan duduk diatas batu yang berada dihadapanku.

“Apa yang mau kamu tanyakan.?” Tanya Simbah.

“Kenapa makhluk dan para ksatria mata hitam, mata hijau, mata biru dan mata bening, ikut dalam pertempuran kita tadi.?” Tanyaku.

“Kelima makhluk warna mata itu memiliki ikatan batin dan memiliki hubungan yang sangat erat. Dan ketika salah satu diantara mereka ada yang berperang, yang lainnya akan membantu.” Jawab Simbah.

“Salah satu yang aku hadapi tadi itu, Joko yang menggunakan kekuatan mata bening Mbah. Tapi kenapa Makhluk bermata bening justru malah memihak kita.?” Tanyaku.

“Le. Makhluk berkekuatan mata itu hanya memberikan kekuatannya, kepada manusia yang mempunyai garis keturunan dan yang berhak untuk mendapatkan kekuatan mata.”

“Setelah mendapatkan kekuatan mata, semua tergantung dari manusia itu sendiri. Dia bisa mengendalikan kekuatannya atau dia yang akan dikendalikan.”

“Dan ketika manusia itu sudah keluar dari jalur, maka dia akan mendapatkan hukuman.” Jawab Simbah

“Berarti makhluk berkekuatan mata itu kejam dong. Mereka hanya memberikan kekuatan, tapi mereka tidak bisa mencegah manusia yang akan keluar dari jalur.” Ucapku.

“Kenapa kamu tidak berani mengucapkan itu kepada Penciptamu, ketika ada ciptaannya yang terjerumus dalam kejahatan.?” Tanya Simbah dan itu langsung membuatku terdiam.

“Kekuatan mata itu, ibarat nafsu yang ada didalam dirimu Le. Kamu mau menurutinya, atau kamu bisa mencegahnya. Mudahkan.” Ucap Simbah dan penjelasan Simbah ini sangat bisa aku terima.

“Kalau masalah ksatria bagaimana Mbah.? Apa manusia itu masih terikat, ketika dia sudah berada didalam alam keabadian.?” Tanyaku.

“Apa yang dikatakan Cakra tadi, tidak semuanya benar. Jiwa manusia yang sudah berada dialam keabadian, sudah tidak ada hubungannya dengan kehidupan disemesta ini.” Jawab Simbah.

“Terus kenapa Cakra bisa datang dan ikut dalam pertempuran tadi.?” Tanyaku.

“Cakra belum melepaskan kekuatannya, ketika ajal menjemputnya.” Jawab Simbah dan aku langsung menundukan kepalaku sejenak.

Aku lalu menarik nafasku, setelah itu aku berdiri perlahan.

“Hiuuffft.” Aku menahan rasa sakit yang sangat luar biasa dari sekujur tubuhku.

“Kamu mau kemana.?” Tanya Simbah ketika aku sudah berdiri.

Aku berdiri bertumpu pada kaki kananku dan kaki kiriku hanya menjinjit saja.

“Aku ingin tenang ketika aku berada dialam keabadian Mbah.” Jawabku.

“Maksudmu, kamu ingin melepaskan kekuatanmu.?” Tanya Simbah dan aku langsung mengangguk pelan.

“Jangan gila kamu Le. Saat ini belum saatnya kamu melepaskan kekuatanmu.” Ucap Simbah.

“Terus kapan Mbah.? Apa harus menunggu seperti Cakra dulu, baru aku akan melepaskan kekuatanku.? Ajal kita tidak ada yang tau Mbah.” Ucapku.

“Aku tau itu Le. Tapi bukan berarti harus saat ini dan ditempat ini.” Sahut Simbah yang mencoba menahanku.

“Esok atau hari ini, bagiku sama saja Mbah. Aku sudah mencapai titik tertinggi didalam kehidupanku dan aku sudah tidak ingin bertarung lagi. Aku ingin melepaskan semuanya, saat ini juga.”

“Terimakasih karena Mbah sudah mendampingi aku selama ini dan terimakasih karena Mbah sudah memberikan aku pelajaran hidup yang sangat banyak sekali.”

“Aku sangat bersyukur, karena sudah pernah mengenal Mbah. Terimakasih, terikasih dan terimakasih.” Ucapku, lalu aku berjalan dengan tertatih – tatih.

“Jangan Le, jangan saat ini.” Ucap Simbah dan aku tidak menghiraukannya.

Kaki kananku aku masukan kedalam sungai yang dalamnya semata kakiku, lalu aku berjalan ke aliran sumber mata air.

“Uhhhhh.” Luka – lukaku yang terkena air terasa sangat perih dan aku hanya memejamkan kedua mataku sesaat, lalu berjalan lagi.

“Le.” Panggil Simbah dan aku langsung menghentikan langkahku, lalu aku menoleh ke arah Simbah.

“Mohon maaf Mbah. Keinginanku sudah bulat dan aku akan tetap melepaskan kekuatanku.” Ucapku pelan dan dengan penekanan kata yang sangat sopan sekali.

“Baiklah. Aku tidak akan menghalangimu lagi, asalkan kamu sudah benar – benar ikhlas dengan semua ini. Dan setelah ini, kamu akan menghadapi semuanya seorang diri, tanpa ada diriku yang mendampingimu.” Ucap Simbah dan aku langsung menganggukan kepalaku, sambil tersenyum kepada Simbah.

Aku lalu menghadap depan lagi dan sekarang aku sudah berdiri dibawah sumber mata air yang mengalir. Aku lalu membungkukan tubuhku dan membasuh kedua lenganku, lalu wajahku, rambut, telinga dan kedua kakiku.

Dan yang terakhir, aku menampung air ditelapak tanganku, lalu aku meminum air itu.

“Gluk, gluk, gluk, gluk, gluk.”

Air yang sangat segar ini membasahi tenggorokanku dan langsung menyatu didalam tubuhku.

Beberapa saat kemudian, tubuhku terasa sangat panas sekali, padahal aku tidak mengenakan baju.

“ARGGHHHHHH.” Aku berteriak untuk mengeluarkan hawa panas ditubuhku, sambil mendangakkan kepalaku

“ARGGHHHHHH.” Aku terus berteriak dan tubuhku mulai bergetar dengan hebatnya.

Bayangan sesosok makhluk terbang diatasku dan itu seperti yang mendatangi Cakra tadi.

Makhluk itu lalu meletakkan telapak tangannya dikeningku dan aku merasa nyawaku seperti tertarik, oleh sentuhan tangan makhluk itu.

“ARGGHHHHHH.” Aku merasakan sakit yang sangat luar biasa dan ini yang paling menyakitkan yang aku rasakan seumur hidupku.

Aku merasa sesuatu menjalar dari dalam tubuhku, mulai dari ujung kakiku, kelutut, paha, perut, dada dan terhenti ditenggorokanku. Sesuatu itu seperti terganjal ditenggorokanku dan sakitnya sangat luar biasa.

Sesuatu yang menjalar itu, rasanya seperti goresan silet disetiap inchi bagian tubuh yang dilewatinya.

“ARGGHHHHH.” Aku berteriak sekencang – kencangnya, sambil terus mendangakkan wajahku kelangit.

Perutku terasa mual dan aku ingin memuntahkan sesuatu dari mulutku

“HOEKKK.” Bulatan cahaya berwarna merah darah keluar dari mulutku dan seluruh tubuhku semakin terasa bergetar.

Bulatan cahaya merah itu masuk ditelapak tangan makhluk itu, lalu tiba – tiba dia menghilang dari pandanganku.

“Hu, hu, hu, hu.” Nafasku cepat dan memburu, tenggorokanku terasa lega dan aku langsung menundukan kepalaku.

Tubuhku langsung lemas dan kepalaku sangat pusing sekali. Pandanganku berbayang dan tubuhku mulai sempoyongan.

“Akhirnya kamu melepaskan kekuatanmu anak muda. Sekarang aku akan membalas dendam, karena kamu telah menghalangi pasangan hidupku untuk bangkit lagi.” Ucap sesosok makhluk yang berada diatas sumber mata air.

Aku lalu mendangakkan kepalaku dan terlihat sesosok makluk perempuan tua yang luar biasa menyeramkan. Wujud makhluk ini sama seperti makhluk penguasa hutan terlarang, yang aku gagalkan kebangkitannya tadi. Tapi bedanya makhluk ini berjenis perempuan.

Makhluk itu menatapku dengan tajam, setelah itu dia meloncat ke arahku, sambil mengarahkan injakan kakinya ke arah dada sebelah kiriku dengan kuat.

BUHHGGGGG. KRAKKKKK.

“HUUPPPP.” Nafasku sesak dan tubuhku melayang kebelakang, lalu terhempas ditengah sungai, dan.

Gelap.



Pop Orang Ketiga.

Ke esokan harinya, di Desa Jati Bening.

“Bagaimana Kondisi Irawan Dimas.?” Tanya Jati kepada besannya.

“Kondisinya kritis Kang Mas. Untuk luka luarnya, aku bisa menyembuhkannya dengan cepat. Tapi untuk luka dalamnya.” Jawab Ranajaya dengan suara yang bergetar dan dia sangat berat untuk melanjutkan perkataannya. Ranajaya hanya menggelengkan kepalanya pelan dan Jati langsung menarik nafasnya dalam – dalam.

“Hiuufftt, huuuu.”

“Aku sudah berjanji kepada Anjani, kalau aku akan mengantarkan Irawan dalam kondisi apapun. Tapi jujur aku sangat berat sekali, melihat kondisi Irawan yang seperti ini. Aku tidak sanggup melihat kesedihan dari Anjani.” Ucap Jati dengan mata yang berkaca – kaca.

“Sebenarnya aku ingin ikut mengantarkan Irawan kepulau seberang Kang Mas. Mungkin dengan kehadiranku, Anjani akan sedikit lebih kuat. Tapi kondisi cucu kita Sandi di Kota Pendidikan, sangat mengkhawatirkan sekali dan aku harus segera kesana.” Sahut Ranajaya.

“Ikatan batin Sandi dan Irawan memang sangat kuat, sampai Irawan kritispun, Sandi ikut terbaring dirumah sakit.” Ucap Jati, lalu dia menghisap rokok klobotnya.

“Huuuuu.” Jati mengeluarkan asap tebal dari mulutya.

“Entah semua ini saling berkaitan atau tidak, tapi kejadian – kejadian ini beruntun dan hampir bersamaan waktunya. Setelah kemarin lusa Sandi melamar Ayu dan hitungannya bertemu dua lima, Irawan saat ini kritis dan Sandi juga ikut – ikutan drop dirumah sakit. Belum lagi Bapaknya Ayu yang tiba – tiba sakit dan sampai saat ini sakitnya tidak diketahui.” Ucap Jati lagi dan tatapan matanya terlihat kosong.

“Cucu kita sudah tidak mempercayai adat leluhur dan kita tidak bisa memaksanya untuk mempercayainya Kang Mas. Irawan juga tidak bisa melarang Sandi, karena cintanya yang begitu besar kepada Sandi.” Sahut Ranajaya.

“Tapi inilah takdir kehidupan yang harus dijalani. Apapun yang sudah dipilih, itu yang harus dipertanggung jawabkan Kang Mas.” Ucap Ranajaya dan mereka berdua langsung diam, dengan lamunan masing – masing.



Beberapa hari kemudian ditempat yang berbeda.


Seseorang sedang membopong sahabat lamanya, yang baru terdampar dipinggiran sungai, jauh dari Desa Sumber Banyu.

“Ada apa denganmu Jok.?” Tanya Zaky kepada Joko, sambil menyandarkan punggung Joko dipinggiran sebuah batu besar.

“Engga ada apa – apa Ky. Aku hanya baru selesai dengan sebuah permainan yang sedikit gila.” Jawab Joko.

“Sedikit gila.? Kondisimu seperti ini, kamu bilang sedikit gila.?” Tanya Zaky sambil melihat kondisi sahabatnya yang sangat menyedihkan itu.

Pakaiannya compang – camping, luka diwajah dan sekujur tubuh. Belum lagi guratan – guratan ditelapak tangan juga telapak kaki yang memutih juga terlihat, karena terlalu lama terendam di air sungai.

“Ya. Hanya sedikit gila aja, karena setelah ini aku akan memulai permainan yang lebih gila lagi.” Ucap Joko dan tatapan matanya terlihat sangat emosi sekali.

“Siapa lawanmu dalam permainan gila itu Jok.?” Tanya Zaky.

“Keluarga Jati.” Jawab Joko singkat dan mata Zaky juga langsung terlihat emosi.

“Aku ikut permainan gila itu.” Ucap Zaky dengan suara yang bergetar.

“Jangan. Ini adalah permainanku dan hanya aku saja yang boleh bermain disana. Aku tidak perduli kamu itu sahabatku atau karena tadi kamu sudah menyelamatkan aku, aku tidak perduli itu.” Ucap Joko sambil menatap Zaky dengan tajam.

“Terserah kamu setuju atau tidak, tapi aku akan melibatkan diriku dalam permainan ini.” Ucap Zaky dan dia membalas tatapan mata Joko, dengan lebih tajam lagi.

“Beri aku satu alasan yang tepat, agar aku bisa mengubah keputusanku.” Ucap Joko.

“Dendam atas kematian Ayahku, ditangan Irawan Jati.” Ucap Zaky dengan suara yang bergetar dan mata yang berkaca – kaca.



#Cuukkk. Dendam ini sepertinya tidak akan ada habisnya, ketika nafsu sudah menguasai kepala. Apakah dendam yang dimulai dari sumber mata air sungai terlarang, bisa berakhir disana juga.? Entahlah. Tapi yang jelas, dendam ini pasti akan menumpahkan darah yang begitu banyak dan air mata yang tidak bisa terbendung. Djiancok.!!!
 
Selamat sore Om dan Tante.

Selamat menikmati kisah yang seharusnya aku ikutkan LKTCP 2021.

Tapi berhubung tidak sempat, ya aku posting disini saja.

Semoga kisah ini masih bisa dinikmati dan semoga tidak bosan membaca coretan yang menggathelkan ini.

Mohon maaf atas segala kekurangan dan terimakasih masih mengikuti cerita yang tidak tau kapan akan berakhirnya ini.

Oh iya, mohon maaf kalau tidak ada adegan enak - enaknya ya.

Salam Hormat dan Salam Persaudaraan.
:beer::beer::beer:



Pulau Seberang, 14 November 2021.
Kisanak87.
 
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd