Agen Terpercaya  
 
 
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

CERBUNG - TAMAT I M P I A N 1

silahkan

  • dijawab sebisanya

    Votes: 347 45,6%
  • pertanyaan yang berkaitan dengan cerita

    Votes: 538 70,7%

  • Total voters
    761
BAGIAN 1
PENYEMANGAT





PRAKKK.. PRAKKK.. PRAKKK..

Bunyi tiga celengan kendi yang terbuat dari tanah liat, yang aku banting dilantai tanah kamarku. Uang logam 500 berwarna emas dan uang logam 1000 yang dipinggirnya berwarna perak serta ditengahnya berwarna emas, berhamburan dilantai tanah ini. Uang kertas 500 bergambar monyet, uang kertas 1000 berwarna biru dan paling besar nominalnya 5000 berwarna coklat tua, tampak tergulung diantara uang – uang logam yang berhamburan. Aku mengumpulkan uang ini semenjak SMP dulu, dari hasil mengamen dan juga kerja serabutan.

Aku lalu mengumpulkan uang tabunganku itu dan aku kumpulkan berdasarkan nominalnya. Aku menumpuknya menjadi beberapa bagian, agar memudahkanku untuk menghitungnya.

Oh iya, namaku Gilang, Gilang Adi Pratama. Aku terlahir dikeluarga kaya, kaya akan cinta dan kasih sayang. Rumahku lumayan besar dan terbagi tiga bagian. Bagian teras yang berfungsi sebagai ruang tamu, bagian tengah yang terdapat dua kamar, dan bagian belakang yang berfungsi sebagai dapur serta ruang penyimpanan padi. Bangunan rumahku ini berbentuk joglo dengan tiang kayu jati, dinding anyaman bambu, dan atap genteng yang terbuat dari tanah liat.

Bapakku seorang petani yang menggarap sebidang sawah, sawah yang menjadi tumpuan kehidupan kami sehari – hari. Sedangkan Ibuku, Ibuku seperti perempuan desa lainnya, mengurus rumah tangga dan sesekali membantu Bapak disawah.

Aku mempunyai dua orang adik, satu laki – laki dan yang satu perempuan. Adik laki – lakiku bernama Damar yang masih bersekolah di SMP, sedangkan yang perempuan bernama Lintang dan masih sekolah dasar.

Aku mengamen dan kerja serabutan, karena hasil dari sawah kedua orang tuaku itu, tidak cukup untuk membiayai sekolahku dan kedua adikku. Aku bekerja keras dan uang hasil keringatku itu, sebagian aku serahkan kepada Ibu dan sebagian lagi aku simpan di celengan kendi.

Aku yang sempat menganggur dua tahun sebelum masuk STM, mempunyai cita – cita ingin melanjutkan pendidikanku keperguran tinggi. Setelah itu aku ingin menaklukkan dunia dengan semua bekal yang aku miliki..

Terdengar sombong ya.? tapi itulah aku dan tentang tekadku.

Hampir semua penduduk desa ini, mencibir niatku yang ingin melanjutkan pendidikanku ini. Tapi aku tidak menghiraukan suara – suara sumbang itu. Dulu saja ketika aku akan melanjutkan jenjang pendidikanku ke STM, banyak orang yang menyepelekan aku dan keluargaku. Mereka selalu bilang, aku pasti tidak akan sampai lulus STM, karena tidak mempunyai biaya. Tapi buktinya.? Aku sekarang sudah lulus dan aku bisa membungkam suara – suara sumbang mereka sejenak. Tapi sejenak saja sih. karena setelah mendengar kabar aku akan melanjutkan pendidikan, suara – suara sumbang mereka terdengar lagi dan lebih keras lagi. Persetanlah, aku tidak pernah meminta uang dari mereka dan aku juga tidak pernah minta makan sama mereka. Jadi buat apa aku ambil pusing.

Itu perkenalan singkat tentang aku dan keluargaku. Aku yang bernama Gilang, seorang pemuda desa yang mempunyai cita – cita setinggi langit dan seluas samudra.

“jadi beneran Gilang mau kuliah?” Tanya Ibuku dari arah belakangku dan mengejutkanku dari lamunan.

Aku lalu menoleh kearah Ibu yang berdiri dipintu kamarku, sambil memegang kelambu usang kamarku.

“iya bu.” Jawabku lalu aku tersenyum.

“cukup uang yang ada ditabunganmu?” tanya Ibu dan wajah beliau berubah menjadi sayu.

“cukup Bu.” Ucapku berbohong, karena aku belum menghitung uang yang masih aku kumpulkan ini.

“heeemmm,” Ibu mengeluarkan nafas panjangnya, lalu membalikkan tubuhnya dan menutup selambu kamarku.

Terdengar langkah Ibu menuju kearah dapur dan aku langsung berdiri, lalu keluar kamarku. Aku ingin berbicara dengan Ibu, karena aku tau Ibu sangat bersedih sekali. Aku berjalan kearah dapur, lalu berdiri tidak jauh dari Ibu yang sedang duduk dan menanak nasi.

“Ibu tau kalau kamu itu memiliki cita – cita yang sangat tinggi sekali nak. Tapi apa gak sebaiknya cita – citamu itu, mempertimbangkan kondisi keluarga kita.?” Ucap Ibu yang memulai pembahasan tentang kelanjutan pendidikanku ini.

Pembahasan ini sudah sering kami lakukan dan aku tidak pernah mengendurkan sedikitpun cita – citaku. Justru aku semakin semangat dan semua nasehat Ibu, aku jadikan pelecut untuk perjuanganku nanti.

“bukannya Ibu melarangmu nak, tapi.” Ucap Ibu terpotong dan Ibu langsung menunduk sejenak, setelah itu mendorong kayu bakar kedalam tungku yang terbuat dari tanah liat itu.

“Ibu takut mendengar omongan dari orang – orang ya.?” tanyaku dan Ibu hanya melihatku dengan tatapan sayunya.

“Bu, yang memberikan makan dan yang membesarkan Gilang serta Adik – Adik itu, Ibu dan Bapak, bukan orang – orang desa. Jadi buat apa kita memikirkan ucapan mereka.” Ucapku sambil berjalan kearah tumbukan kayu bakar, lalu mengambil beberapa batang dan setelah itu berjalan kearah Ibu.

“bukan itu yang Ibu pikirkan nak. Gilang tau kan biaya kuliah itu sangat mahal sekali. Bagaimana kalau nanti Gilang terhenti ditengah jalan.?” Ucap Ibu dan aku langsung duduk disebelah beliau, sambil memasukan kayu bakar kedalam tungku.

“Gilang hanya butuh doa restu dari Ibu dan Bapak. Itu saja.” jawabku dengan tenangnya dan Ibu langsung menyenderkan kepala beliau dipundakku.

“Gilang tau, Gilang sekolah sampai STM saja, Bapak dan Ibu sudah sangat bangga sekali nak. Apa lagi Gilang meraihnya dengan keringat Gilang sendiri.” Ucap Ibuku dengan suara yang bergetar.

“banyak orang yang mencemooh Ibu, ketika Gilang masuk STM dulu. Tapi Gilang berhasil membuktikannya dan lulus dengan baik nak.” Ucap Ibu lagi.

“dan sekarang bukannya Ibu mau melemahkan semangatmu nak, bukan itu maksud Ibu.” Ucap Ibu dan suara beliau semakin terdengar sedih.

“tapi,” ucap Ibu terpotong dan seperti tidak kuat melanjutkan ucapannya.

“Gilang hanya butuh doa restu Ibu dan Bapak. Selebihnya, akan menjadi urusan Gilang dan Sang Pencipta.” Ucapku.yang mengulang perkataanku tadi dengan nada yang tetap tenang.

Hiuufftttt, huuuuu.

Ibu menarik nafas panjang, lalu mengeluarkan perlahan sambil menegakkan kepala beliau dari pundakku. Suasana jadi sedikit canggung, karena Ibu tidak melanjutkan pembicaraan.

Kami berdua diam sambil memandang api yang menyala didalam tungku. Dan beberapa saat kemudian,

“nasinya sudah mateng.” Ucap Ibuku dan aku langsung berdiri, lalu mengambil kain lap untuk mengangkat panci dari atas tungku.

Ibu lalu mengambil panci lain, untuk merebus daun singkong yang dipetik didekat sawah tadi pagi.

“Gilang mau kerumah Pak Nyoto Bu, makanan untuk sapi beliau habis.” Ucapku setelah meletakkan panci didekat tungku.

“makan dulu, biar kuat menghadapi kenyataan.” Ucap Ibu yang mencoba mencairkan suasana canggung ini.

“pasti lah Bu, daun singkong itu mengandung zat besi, dan zat besi bisa menguatkan hati yang rapuh. Apalagi kalau direbusnya pakai kasih sayang, bisa jadi superboy Gilang bu.” Ucapku lalu tersenyum.

“kamu itu, ada aja jawabannya.” Ucap Ibu sambil menggelengkan kepalanya pelan.

Aku lalu masuk kedalam kamarku, untuk melanjutkan kegiatanku tadi. Aku menghitung lagi uang tabunganku.

Kurang seribu, tabunganku ini berjumlah tujuh ratus limapuluh ribu. Apa cukup uang ini untuk pendaftaran kuliah dan membeli segala persiapan untuk masuk kuliah.? Semoga saja cukup. Untuk tempat tinggal dan makan sehari – hari, itu nanti saja dipikir. Selagi aku memegang gitar usangku, semua masalah itu bisa diatasi.

Aku lalu mengganti pakaianku, setelah itu keluar kamar menuju dapur.

“Ibu kesawah dulu ya nak, itu makananmu ada dimeja.” Pamit Ibuku sambil menenteng rantang dan kendi yang digendong dikain jariknya. Siang hari seperti ini, Ibu pasti kesawah untuk mengantarkan makan siang untuk Bapak.

“iya bu, hati – hati ya.” ucapku dan Ibu hanya mengangguk lalu memakai caping dikepalanya, setelah itu melangkah keluar rumah (Caping adalah sejenis topi berbentuk kerucut yang umumnya terbuat dari anyaman bambu)

Aku lalu berjalan kearah meja makan. Hidangan yang sangat lezatpun, tersaji dimeja makan dan membuat air liurku mau menetes. Nasi panas, kulupan daun singkong rebus, sambel dan lauk tahu tempe.

Aku mengambil piring seng, lalu mengambil nasi dan sandingannya. Aku angkat kaki kananku dan aku letakkan dikursi kayu yang aku duduki ini, lalu piring seng aku pegang dengan telapak tangan kiriku, lalu aku makan dengan sangat lahap sekali.

Dan setelah selesai makan, aku mengambil kendi lalu meminumnya langsung tanpa memakai gelas.

Setelah makananku turun, aku mengambil gelas seng yang berisi kopi panas, yang dibuatkan Ibu sebelum kesawah tadi. Lalu aku mengambil rokok kretekku dan mengambilnya sebatang, lalu aku bakar dan aku hisap perlahan.

Gimana.? nikmat gak kehidupanku.? Pasti nikmat sekali.

Huu, luar biasa sekali kehidupan yang diberikan Sang Pencipta ini kepadaku. Aku sangat besyukur lahir dikeluarga yang sangat luar biasa ini. Semua aku dapatkan dirumah ini. Kebahagian, kasih sayang, perhatian, dan juga cinta, semua aku dapatkan dengan sempurna disurga yang aku tinggali ini.

Berat sekali sebenarnya aku rasakan, karena aku akan meninggalkan rumah ini. Tapi kalau aku tidak keluar dari rumah ini, sama saja aku mengubur cita – citaku..

Hiuuffttt,

Tretek, tretek, tretek, tretek, tretek,

Bunyi rokok kretek yang aku hisap dalam – dalam ini.

Huuuu.

Aku mengeluarkan asap tebal yang ada dimulutku, lalu aku berdiri dan mengambil arit serta caping yang ada didekat pintu dapur. Aku keluar rumah sambil menggenggam arit ditangan kiri dan rokok kretek ditangan kanan. (arit = celurit)

“Mas.” Panggil adikku Damar yang baru pulang sekolah dan disebelahnya adikku Lintang, dengan wajah mereka yang dipenuhi keringat.

Baju putih kedua adikku yang dikenankan, tampak berubah menjadi agak kekuningan dan menyempit ditubuh mereka berdua. Celana biru yang dikenakan Damar dan rok berwarna merah yang dikenakan Lintang, warnanya juga tampak memudar.

“baru pulang.?” Tanyaku.

“iya Mas, Mas Gilang mau ngarit.?” Tanya Damar. (ngarit = cari rumput)

“iya, kalian pulang sana, ganti baju terus makan.” Ucapku lalu aku menghisap rokok kretekku.

“nanti Damar nyusul ya Mas.” Ucap Damar.

“terus yang jaga Lintang siapa.?” Tanyaku sambil melihat kearah Lintang.

“Lintang ikut jugalah.” Jawab Lintang.

“gak usah, kalian belajar aja dirumah, sebentar lagi kalian kan ulangan catur wulan.” Ucapku sambil melihat mereka berdua bergantian, lalu aku meninggalkan mereka menuju rumah Pak Nyoto.

Pak Nyoto ini salah satu orang terkaya di desaku. Beliau punya banyak sawah, tambak dan juga hewan ternak. Selain itu, beliau juga punya istri yang banyak. Dan sekarang aku mendatangi salah satu rumahnya, yang ditinggali salah satu istri mudanya.

Istri mudanya yang ini usianya mungkin sekitar 40 tahunan, berbeda jauh usianya dengan Pak Nyoto yang hampir 70 tahunan. Kelihatannya Istri mudanya yang satu ini, itu dulunya kembang desa. Diusianya yang sekarang ini aja, tubuhnya masih terlihat agak langsing. Bokongnya semok dan susunya juga besar. Apalagi kalau sudah pakai kemben, seperti mau berontak aja itu susunya. Dan yang jadi pikirinku, apa masih sanggup Pak Nyoto memerah susu istrinya yang besar itu.? apa masih punya tenaga.? Terus kalau dinenenin, apa Pak Nyoto gak langsung sesak nafas.? Hehehe,

Aku terus melangkah kearah rumah Pak Nyoto, sambil memikirkan istri mudanya yang semok itu. biasanya kalau aku dibelakang rumah Pak Nyoto, istri Pak nyoto itu selalu keluar masuk rumahnya. Ntah apa maksudnya, yang jelas aku juga senang ada pemandangan yang begitu indah hilir mudik dihadapanku.

Setelah sampai dirumah Pak Nyoto, aku membuang rokok kretekku lalu menuju kandang sapi yang ada dibelakang rumah beliau. Terlihat belasan sapi Pak Nyoto sedang makan rumput yang persediaannya mulai menipis.

Aku lalu meletakkan aritku dan mengambil air diember, untuk mengisi wadah tempat minum sapi. Aku mengambil airnya disumur yang berada tidak jauh dari kandang sapi. Beberapa kali aku mondar - mandir dari arah sumur kekandang sapi, sambil melihat kearah pintu dapur rumah Pak Nyoto.

Tumben banget Bu Nyoto gak keluar, apa beliau lagi keluar rumah ya.? tapi biarlah, lebih baik aku mencari rumput dulu didekat sungai sana.

Setelah wadah tempat air minum sapi penuh, aku mengambil aritku dan berjalan kearah hutan dipinggir desa. Didekat hutan itu, ada padang rumput yang lumayan luas dan letaknya didekat sungai.

JRABB, JRABB, JRABB, JRABB,

Aku langsung menebas rumpat, ketika sampai ditempat itu..

JRABB, JRABB, JRABB, JRABB,

Panas matahari disiang ini, membuat seluruh tubuhku dipenuhi keringat..

JRABB, JRABB, JRABB, JRABB,

Setelah lumayan banyak hasil tebasan rumputku, aku lalu mengikat rumput itu menjadi tiga bagian.

“Lang,” tiba – tiba suara seseorang datang dari arah belakangku.

Aku lalu melihat kearah suara itu dan terlihat Joko sahabatku datang sambil menenteng aritnya.

“he Jok, kate ngaret ta.?” (mau cari rumput kah.?) Tanyaku.

“ora, kate mbadok.” (enggak, mau makan.) ucap Joko lalu,

JRABB, JRABB, JRABB, JRABB,

Joko langsung menebas rumput, tidak jauh dari tempat aku berdiri.

“kaet kapan pangananmu suket Jok.?” (sejak kapan makanmu rumput Jok.) Tanyaku sambil berjalan kearah pohon yang ada didekatku. Aku lalu duduk dibawah pohon, sambil melepas capingku. Lalu aku mengambil rokok kretekku dan membakarnya. Setelah itu aku menyandarkan punggungku dipohon, sambil mengambil capingku dan mengipaskan dengan tangan kiri untuk mengeringkan keringat ditubuhku.

“matamu cok.” maki Joko sambil terus menebas rumput.

JRABB, JRABB, JRABB, JRABB,

“hehe,” aku hanya tertawa lalu menghisap rokokku.

“sido budal nang Kota Pendidikan ta.?” (jadi pergi ke Kota Pendidikan kah.?) tanya Joko sambil melihat kearahku.

“iyo, melu ta.?” (iya, ikut kah.?) tanyaku

“lapo nggolek suket adoh – adoh, nde kene je’ akeh sukete.” (ngapain cari rumput jauh – jauh, disini juga masih banyak rumputnya.) jawab Joko lalu melanjutkan menebas rumputnya.

“iyo Jok, opo maneh sukete Bu Nyoto.” (iya Jok, apalagi rumputnya Bu Joko.) ucapku dengan cueknya.

“asu, wes diketok’i Pak Nyoto cok, hahaha.” (anjing, sudah dipotong Pak Nyoto cok, haha.)

“wes tau ndelok ta wakmu cok.?” (sudah pernah lihat kah kamu cok.?) tanyaku dengan terkejutnya.

“wes yo, haha.” (sudah dong.) jawab Joko tapi tidak melihat kearahku.

“otek’e Bu Nyoto opo Pak Nyoto.?” (punya Bu Nyoto apa Pak Nyoto.?) tanyaku lalu aku menghisap rokok kretekku lagi.

“bajingan, hahaha.” Jawab Joko sambil melihat kearahku lagi lalu tertawa.

“hahaha,” akupun tertawa juga, lalu berdiri sambil memakai capingku.

Aku lalu membuang rokokku, sambil berjalan kearah rumput yang telah aku ikat. Aku mengangkat salah satu tumpukan rumput kepundaku.

“Hup.”

“kate nangdi cok.?” (Mau kemana cok.?) tanya Joko.

“kate ndelok sukete Bu Nyoto, hahaha.” (mau lihat rumputnya Bu Nyoto, hahaha.) jawabku sambil berjalan dengan cueknya.

“assuu.” Maki Joko dan aku tetap berjalan dengan cueknya.

Aku berjalan kearah rumah Pak Nyoto yang jarak lumayan jauh itu, dan setelah sampai dibelakang rumahnya, aku meletakkan rumput yang aku panggul ini ketempat penyimpanan rumput.

Aku melihat kearah belakang pintu rumah Pak Nyoto dan pintunya masih juga tertutup. Aku kembali lagi ketempat tadi, dan mengambil tumpukan rumput yang kedua. Tidak terlihat Joko ditempat ini, hanya tumpukan rumput yang telah diikat Joko yang tergelak didekat tumpukan rumputku.

Kembali aku memanggul tumpukan rumput yang kedua dan aku mengantarnya kerumah Pak Nyoto. Lagi – lagi pintu belakang rumah Pak Nyoto terlihat masih tertutup. Akupun kembali kearah hutan, untuk mengambil tumpukan ruput yang terakhir.

“lang, mari ngene adus nde kali yo.” (lang, habis ini kita mandi disungai ya.) Ucap Joko yang sudah ada ditempat tadi, sambil memangul rumput dipundaknya.

“yo.” Ucapku singkat sambil mengangkat tumpukan rumput yang terakhir dipundakku.

“piye sukete Bu Nyoto cok.?” (gimana rumputnya Bu Nyoto cok.?) Tanya Joko yang berjalan disebelahku.

“resik.” (bersih) jawabku singkat.

“temenan.?” (beneran.?) Tanya Joko yang terkejut.

“hahaha,” dan aku hanya tertawa saja.

“matamu.” Gerutu Joko sambil membelokkan langkahnya kearah jalan yang berbeda.

“hahaha.” Aku terus tertawa sambil terus berjalan kearah rumah Bu Nyoto.

Dan ketika aku sampai dibelakang rumah Bu Nyoto, tampak pintu belakangnya sudah terbuka. Aku dengan semangatnya berjalan kearah kandang sapi sambil sesekali melirik kearah ruang yang terbuka itu.




Bu Nyoto

Pemandangan yang begitu indahnya pun langsung menyambutku, ketika melihat Bu Nyoto sedikit menunduk didapur rumahnya. Bu Nyoto yang hanya memakai Bra, kain jarik dan sanggul yang masih menempel dirambutnya, terlihat cantik sekali.

Aku lalu meletakkan rumput sambil melihat kearah Bu Nyoto, dengan pandangan yang sangat bernafsu sekali.

Dan ketika Bu Nyoto melihat kearahku sambil berdiri, aku lalu melihat kearah sapi yang ada didepanku. Sapi yang berdiri memunggungi aku ini, memperlihatkan bokong semoknya.

Duh, kira – kira kalau kain jarik Bu Nyoto terbuka, bokongnya kencang seperti bokong sapi ini gak ya.? uhhh,

“Lang,” panggil Bu Nyoto dan aku langsung melihat kearah Bu Nyoto yang berdiri dan memperlihatkan susunya yang besar dan mau tertumpah dari Bra nya itu.

Waw, masih kencang susumu Bu, asli masih kencang. Susumu lebih besar dari susu kekasihku Bu, aku bohong. Boleh gak aku nyusu sebentar.? Aku haus banget Bu, haus banget.

Oh iya, Bapaknya Ibu dulu sunat dimana sih.? kok bisa punya anak yang berkulit putih dan berwajah cantik seperti ini.?

“kamu minum apa lang.?” tanya Bu Nyoto dengan susunya yang terlihat mengundang untuk aku jamah.

Aku yang masih memperhatikan susunya yang mau berontak dari branya itu, hanya diam dengan bibir yang sedikit terbuka.

“lang, kok melamun.?” Ucap Bu Nyoto dan aku langsung tersadar, lalu melihat kearah wajah manis Bu Nyoto.

“ya Bu.?” tanyaku dengan wajah yang sedikit gugup.

“kamu mau minum apa.?” Tanya Bu Nyoto.

“susu.” Jawabku dengan refleknya dan aku langsung menutup mulutku.

Duh, kok keceplosan begini sih aku.? Marah gak ya Bu Nyoto.? Nanti kalau dilaporkan suaminya bagaimana.? Bisa jadi gosip satu desa aku.

“oh, mau yang sudah jadi atau mau meras sendiri.?” Tanya Bu Nyoto dengan santainya.

“eh.” Ucapku yang terkejut mendengar ucapannya.

“kalau mau merasa sendiri, itu meras disapi. Kalau mau langsung jadi, aku ambilkan didalam.” Ucap Bu Nyoto.

“anu Bu, kopi aja bu.” Ucapku dengan malu – malu.

“oh, ya udah, aku ambilkan dulu didalam.” Ucap Bu Nyoto, lalu berbalik dan melangkah kearah dalam rumahnya..

Waw, itu bokong semok yang tertutup kain jarik, kalau diceples bagaimana rasanya ya.? duh, pasti langsung merah tuh bokongnya kalau diceples, terus Bu Nyoto pasti mendesah dengan suara yang seperti, uuhh. Bikin ngaceng aja Bu nyoto ini. (diceples = ditampar)

Dan untuk mengalihkan pikiranku yang makin ngelantur ini, aku lalu menyusun rumput – rumput ini ditempat penyimpanan rumput.

“lang, kopimu.” Ucap Bu Nyoto yang berdiri didepan pintu belakang rumahnya.

Aku lalu membalikkan tubuhku dan melihat kearah Bu Nyoto yang berdiri sambil memegang gelas yang berisi kopi. Bu Nyoto pun sudah memakai kemben dan dilapisi kebaya berwarna biru tua. Dan itu menambah kecantikannya.

“oh iya Bu.” Ucapku sambil melangkah kearah Bu Nyoto.

Bu Nyoto melihat dengan pandangan yang sangat menggoda sekali, bibirnya tebal dan mungkin rambutnya kemaluannya juga agak tebal, hehe.

“Bi Surti kemana bu.?” Tanyaku sambil berdiri dihadapan Bu Nyoto. Dan ketika aku akan mengambil gelas yang ada ditangannya, Bu Nyoto langsung membalikan tubuhnya dan berjalan kearah dalam ruangan.

“lagi rewang.” Jawab Bu Nyoto tanpa melihat kearahku. (rewang = membantu orang yang ada hajatan)

“oh.” Jawabku singkat dan bingung.

Aku bingung karena Bu Nyoto membawa gelas kopiku kembali kedalam rumahnya. Terus aku harus bagaimana.? Apa aku menyusul kedalam rumahnya.? Tapi kalau dia marah bagaimana.?

“kamu minum kopi ga.?” Ucap Bu Nyoto sambil meletakan kopiku di meja makannya.

“mau Bu, tapi kaki saya kotor.” Ucapku dan memang dapur milik Bu Nyoto ini dikeramik, beda dengan lantai rumahku yang masih tanah.

“masuk aja.” Ucap Bu Nyoto singkat lalu duduk dikursi dekat meja makan.

“oh iya Bu.” Ucapku lalu meletakkan capingku dan aritku didekat pintu, setelah itu aku menggesekkan kakiku yang kotor di keset, yang ada didepan pintu.

“Pak Nyoto kemana Bu.?” Tanyaku sambil berjalan ke arah Bu Nyoto.

“Bapak lagi ada undangan didesa sebelah, sebentar lagi pulang nyusul Ibu, terus kami keluar lagi.” Jawab Bu Nyoto dan aku tetap berdiri.

Lah terus ini maksudnya apa.? Kenapa aku disuruh masuk, ketika dirumah yang ada cuman aku dan Bu Nyoto aja.? Apa Bu Nyoto mau mengajakku.? Serius nih.? Aku sih gak nolak, lagian aku sudah gak perjaka lagi kok. Hehehe.

“duduklah lang.” ucap Bu Nyoto sambil melirik kearah kursi yang tidak jauh dari tempat duduknya.

“oh iya Bu.” ucapku lalu duduk.

Kami pun diam beberapa saat, sambil sesekali saling melirik. Uhh, lirikannya Bu Nyoto, bikin tambah ngaceng aja.

“kamu mau kuliah ya lang.?” tanya Bu Nyoto dengan seriusnya.

“oh iya Bu.” Jawabku.

Duh, kenapa Bu Nyoto bahas masalah ini sih.? apa beliau mau mengejekku seperti orang desa yang lain.?

“lanjutkan lang, jangan dengar kata orang.” Ucap Bu Nyoto dan aku langsung terkejut dibuatnya.

“kenapa Ibu berbicara seperti ini.?” tanyaku.

“aku dulu sebenarnya juga mau melanjutkan sekolah ke SMA, terus kuliah seperti orang – orang kaya itu.” ucap Bu Nyoto dengan pandangan yang menerawang.

“terus.?” Tanyaku.

“orang desa seperti aku ini, bisa buat apa.? Selain karena keluargaku pas – pasan, aku juga seorang wanita. Sekolah sampai SMP aja, itu sudah luar biasa.” Jawab Bu Nyoto.

“aku juga orang desa Bu, emang orang desa gak boleh sekolah tinggi – tinggi ya Bu.?” Tanyaku, lalu dengan cueknya aku mengambil gelas kopi yang dihidangkan, lalu menyeruputnya perlahan.

“pertanyaan yang sebenarnya bisa kamu jawab, kenapa harus kamu tanyakan kepadaku.?” Ucap Bu Nyoto sambil melihat kearahku.

“hehe.” Dan aku hanya tersenyum dengan sinisnya, lalu aku mengeluarkan rokok kretekku.

“boleh saya rokokkan Bu.?” Tanyaku sambil mengangkat bungkusan rokok kretekku dan Bu Nyoto hanya menganggukan kepalanya.

“kita ini mempunyai cita – cita yang sama, tapi berbeda jalan Lang.” ucap Bu Nyoto.

“maksudnya Bu.?” Tanyaku lalu aku membakar rokok kretekku.

“kamu bercita – cita ingin merubah kondisi keluargamu dengan sekolah yang setinggi – tingginya, untuk bekalmu mencari kerja nantinya. Sedangkan aku, aku ingin merubah kondisi keluargaku dengan cara menikahi Pak Nyoto yang kaya raya dan punya banyak istri.” Ucap Bo Nyoto dan aku hanya melihatnya sambil menghisap rokokku.

“itulah kenapa aku bilang sama kamu, lanjutkan dan tidak usah mendengarkan suara – suara orang yang meremehkan kita. Mereka itu ya seperti itu omongannya. Ketika kita miskin tidak ada yang memandang, bahkan keluarga dekat sendiripun banyak yang tidak menganggap. Tapi ketika kita sudah sukses dan kaya, mereka semua pasti mendekat ke kita dengan sendirinya. Bahkan saudara yang teramat jauhpun, pasti menganggap kita keluarga dekat.” Ucap Bu Nyoto.

“bukan seperti itu tujuan saya untuk kuliah Bu.” Jawabku dengan santainya sambil membuang abu rokok diasbak yang ada didekatku.

“apa tujuanmu.? Mau menunjukkan kalau orang miskin bisa sekolah tinggi, terus bisa sukses.? Sama aja lang.” ucap Bu Nyoto dan aku hanya tersenyum lalu aku menyeruput kopiku lagi.

“suka atau tidak suka, selagi manusia itu punya nafsu, segala sesuatu kelebihan yang ada dirinya pasti akan ‘dipamerkan.’” Ucap Bu Nyoto.

“tapi saya tidak punya niat seperti itu Bu.” Ucapku.

“tapi orang bisa melihat dan kamu tidak bisa melarang orang untuk berkomentar.” Jawab Bu Nyoto.

Hehe, ada aja jawaban Bu Nyoto ini. Ternyata asyik juga ngobrol sama beliau. Selain wajahnya cantik, segala sesuatu yang diucapkannya ada benarnya juga, walaupun ada beberapa ucapannya yang sedikit mengganjal dihatiku.

“terserah orang mau ngomong apa Bu, saya sih santai aja.” Ucapku lalu aku menghisap rokokku.

“itu yang kusuka dari kamu lang. Makanya aku hanya berpesan seperti tadi, untuk menguatkan cita – citamu yang juga cita – citaku yang tak kesampaian.” Ucap Bu Nyoto dan aku hanya tersenyum saja.

Aku lalu menyeruput kopiku sampai habis, lalu aku mematian rokokku diasbak, setelah itu aku berdiri.

“saya mau sungai dulu Bu, kasihan Joko sudah nunggu saya dari tadi.” Pamitku kepada Bu Nyoto.

“oh iya,” jawab Bu Nyoto lalu berdiri sambil mengambil sesuatu dari balik kembennya.

“nih upahmu.” Ucap Bu Nyoto sambil menyerahkan segulung uang berwarna kehijauan.

Aku pun terkejut dengan uang yang diberikan Bu Nyoto itu. terus terang aku gak tau berapa jumlahnya dan pasti itu sangat besar sekali. Aku diam terpaku sambil melihat kearah Bu Nyoto yang tersenyum kepadaku.

“ambilah, maaf aku hanya bisa kasih segini untuk sangumu.” Ucap Bu Nyoto sambil melangkah kearahku dan meraih tanganku, lalu menggenggamkan uang pemberiannya ditangan kananku.

Tangan kananku bergetar, bukan karena halus dan lembutnya tangan Bu Nyoto. Tapi karena aku tidak pernah memegang uang yang berjumlah sangat besar itu.

“ta, ta, tapi Bu.” Ucapku terbata dengan tangan yang bergetar dan Bu Nyoto masih menggenggam tangan kananku dengan erat.

“kamu pasti membutuhkannya.” Ucap Bu Nyoto lalu kembali tersenyum.

Hiufftttt, huuu.

Aku menarik nafasku dalam – dalam dan Bu Nyoto langsung melepaskan pegangan tangannya ditangan kananku ini.

“nanti kalau saya sudah kerja, saya akan menggantinya Bu.” Ucapku dengan suara yang bergetar.

“terserah kamu, yang jelas aku gak menganggap ini sebagai pinjaman.” Jawab Bu Nyoto dan membuat kedua mataku berkaca – kaca.

“Bu, Bu,” ucap suara dari arah pintu depan dan itu suara Bi Surti.

Bu Nyoto lalu mendekat kearah dan,

CUUPPP,

Beliau mengecup keningku dengan lembut, sambil memegang kedua pipiku lalu melepaskannya dan mundur beberapa langkah.

“pergilah mengejar cita – citamu lang. Walapun banyak yang mengejek, tapi yakinlah, banyak juga yang mendukung dan mendoakanmu.” Ucap Bu Nyoto sambil menganggukan kepalanya pelan.

“te, te, terimakasih Bu.” Ucapku terbata dan aku langsung berjalan keluar karena langkah Bi Surti terdengar kearah dapur.

Kembali Bu Nyoto menganggukan kepalanya pelan, sambil tersenyum dengan penuh arti. Aku lalu keluar dapur dan berjalan sambil menggenggam erat uang yang ada ditanganku.

“lang, aritmu sama capingmu ketinggalan.” Ucap Bu Nyoto memanggilku dan aku langsung membalikkan tubuhku.

Duh, entah apa yang ada dipikiranku, sampai aku bisa meninggalkan senjata pamungkasku dipintu Bu Nyoto.

“te, te, terimakasih Bu.” Ucapku sambil mengambil capingku lalu memakainya dan mengambil aritku.

“iya, hati – hati ya.” ucap Bu Nyoto sambil tersenyum dan menganggukan kepalanya.

Aku lalu berbalik dan berjalan terburu – buru kearah hutan sana. Dan ketika sampai ditengah jalan, aku lalu berhenti dan bersembunyi dibalik sebuah pohon yang besar dipinggir jalan.

Aku mengapitkan aritku diketiakku lalu dengan tangan yang bergetar, aku meluruskan uang yang tergulung digenggamanku ini. Uang berwarna agak kehijauan bergambar presiden kedua dinegeri khayangan ini, langsung membuat kedua mataku kembali berkaca – kaca.

Aku belum pernah memegang uang sebesar ini, walaupun satu lembar. Tapi sekarang, aku memegang dalam jumlah yang sangat banyak.

Dengan tangan yang makin bergetar, aku lalu menghitung dalam hati uang yang diberikan Bu Nyoto itu.

Satu, dua, tiga, empat, lima,..

Dua puluh lembar uang dan itu berjumlah satu juta. Gila, banyak sekali Bu Nyoto memberikan aku uang. Ini melebihi jumlah uang yang aku tabung mulai dari SMP.

Terimakasih Sang Pencipta, terimakasih. Aku berjanji didepan sawah yang menghampar didepanku ini dan dibawah sinar matahari yang condong kearah barat, aku akan mengganti semua uang yang diberikan Bu Nyoto ini suatu saat nanti. Aku berjanji, aku berjanji, aku berjanji.

Aku lalu menggulung uang ini lagi dan menyimpannya dikantong. Lalu setelah itu aku menenteng arit dengan tangan kananku dan berjalan kearah hutan lagi.

Dan ketika aku sampai didekat sungai, tampak Joko sudah berenang ditengan sungai yang mengalir dengan jernihnya itu. Aku lalu melepas pakaianku, sampai meninggalkan sisa celana pendekku. Setelah itu aku menggulung pakaianku dan meletakkan diatas batu yang lumayan besar.

Aku lalu berlari kearah sungai dan,

BYUR, BLUP, BLUP, BLUP.

Aku menyelam kesungai yang agak dalam, lalu memunculkan wajahku kepermukaan.

“cok, tak kiro awakmu gak sido rene.” (cok, aku kira kamu gak jadi kesini) Ucap Joko sambil berenang kearahku.

“hehehe.” aku hanya tertawa, lalu menenggelamkan wajahku lagi. Aku mengayuhkan kedua kakiku dan kedua tanganku, lalu muncul dipermukaan lagi.

“tak kiro koen di adusi Bu Nyoto cok.” (kukira kamu dimandiin sama Bu Nyoto cok.) ucap Joko lalu menenggelamkan wajahnya dan muncul lagi.

“asu, la koen kiro aku sapi dia adusi.” (anjing, kamu kira aku sapi dimandiin.) Ucapku sambil memercikan air kearah wajah Joko.

“hahaha.” Dan Joko hanya tertawa saja.

“endi sabunmu cok.?” (mana sabunmu cok.?) Tanyaku.

“asu, mari teko omae Bu Nyoto langsung nggolek sabun, hahaha.” (anjing, dari rumah Bu Nyoto langsung cari sabun.) ejek Joko.

“matamu.” Makiku sambil keluar dari sungai.

“iku loh cok, ojo dibolongi. Lek kate ngeloco, tukuwo sabun dewe. Hahaha.” (itu loh cok, jangan dilobangi. Kalau mau coli, beli sabun sendiri. Hahaha.) Ucap joko sambil menunjuk kearah pakaiannya yang ada diket pakaianku.

“asu.” (anjing) makiku.

Aku lalu berjalan kearah yang ditunjuk Joko. Aku memakai sabun yang dibawanya, lalu memakai sampo yang sisa sedikit didalam sacetnya itu. setelah itu aku menceburkan diri kesungai lagi.

Dan setelah bersih, kami berdua lalu naik ke atas sungai lalu duduk diatas batu besar.

Aku lalu mengambil rokokku dan membakarnya, sambil memandang kearah lurus kedepan. Aku melihat kearah sungai ini mengalir.

Oh iya, aku tinggal di Desa Sumber Banyu. Dan nama desaku ini, berasal dari mata air sungai ini yang memang ada didesaku. Sementara sungainya mengalir kebawah dan membelah Desa Jati Luhur dan Desa Jati Bening. (tapi kita tidak usah membahas kedua desa itu, karena cerita ini tidak ada hubungannya dengan kedua desa itu. walaupun nanti ada yang menyerempet sedikit, tapi cerita ini berdiri sendiri.)

Aku memandang kearah aliran sungai itu, dengan sinar matahari yang mulai tenggelem diufuk barat sana. Aku lalu menghisap rokokku dalam – dalam, dan mengelurkan asapnya perlahan.

Hiuffttt, huu.

Pemandangan yang sangat indah dan cantik ini, pasti akan aku rindukan ketika aku pergi dari desa ini. Airnya yang bening dan segar, serta anginnya yang sejuk, pasti akan membuat aku ingin kembali lagi.

“piye cok.?” (Gimana cok.?) tanya Joko lalu dia menghisap rokoknya.

“gak piye – piye cok. Tak lakoni uripku iki, koyo banyu kali iki ngalir tekan segoro.” (gak gimana – mana cok. Kujalani hidup ini, seperti air sungai ini mengalir sampai ke laut lepas.) ucapku dengan pandangan yang lurus kedepan.

“selamat berjuang kawan, aku bukan pelaut yang handal dan aku tidak mempunyai perahu yang besar untuk mengarungi samudra yang luas.” Ucap Joko dengan bahasa negeri khayangan ini.

“pelaut yang handal, belum tentu mempunyai perahu yang besar. Bisa saja dia membuat rakit, lalu dengan kenekatannya, dia akan menaklukan samudra yang luas itu.” ucapku lalu aku menghisap rokokku.

“itu alasannya aku bangga menjadi sahabatmu, kamu orang yang nekat.” Ucap Joko sambil menepuk pundakku pelan.

“kenekatanku ini, juga karena ada kamu disampingku Jok. Kamu sahabatku dan kita melakukan apapun mulai dari nol. Kita sama – sama pernah menganggur dua tahun setelah SMP, terus ngamen, terus lanjutin ke STM. Kita sama – sama tidak mempunyai apa – apa, tapi buktinya.?” Ucapku sambil meliriknya. Aku mengucapkan ini, sekalian ingin merayunya untuk kuliah bersamaku.

“hehe, aku jaga kandang aja. Kalau kita berdua pergi dari desa ini barengan, siapa yang jaga Desa Sumber Banyu.” Ucap Joko dan aku hanya menggelengkan kepalaku pelan.

“asu, koen iku ngomong opo to Jok.?” (anjing, kamu itu ngomong apa sih Jok.?) tanyaku.

“haha, mbalik yo, wes kate peteng iki.” (haha, pulang yo, sudah mau gelap ini.) ucap Joko sambil berdiri dan memakai pakaiannya.

“yo.” Jawabku sambil berdiri dan memakai celana panjangku. Dan kaosku, aku selempangkan dipundakku.

Aku merogo kantongku dan gulungan uang pemberian Bu Nyoto, masih ada dikantongku. Lalu setelah aku memakai capingku, aku mengambil aritku lalu aku dan Joko berjalan kearah desa dengan suasana hari mulai gelap.

Dan ketika sampai ditengah jalan, sebuah sepeda motor melintas didekat kami. Diatas sepeda motor itu, seorang perempuan memeluk seorang laki – laki dengan sangat mesranya.




Kinanti Nur Annisa

Kinanti, wanita itu adalah kekasihku dan hubungan kami sedang berada diujung tanduk. Dia dijodohkan dengan salah satu anak Pak Nyoto yang kaya raya itu. dan nama pemuda itu adalah Guntur.

Kurang ajar juga Kinanti ini. Katanya dia gak mau dijodohkan sama si Guntur itu, tapi kenapa dia bisa memeluk Guntur dengan mesranya.? Bajingan.

Dia telah benar – benar menggores luka didalam hatiku. Apa karena aku ini miskin, jadi dia bisa seenaknya seperti itu kepadaku.? Aku memang miskin, tapi aku kaya akan cinta dan belum tentu Guntur cintanya sekaya aku.



“sabar cok. Ini salah satu ujian untuk kesuksesanmu. Ingat. Ketika kamu sukses, bukan kamu yang mengejar cinta, tapi cinta yang akan mengejarmu.” Ucap Joko sambil menepuk pundakku.

“dan Bu Nyoto, Ibu tiri si Guntur itu, bisa menjadi sarana balas dendammu kelak, Hahaha.” Ucap Joko lalu tertawa dengan senangnya.

“kirek.” (anjing.) makiku ke Joko sambil memetengnya dengan tangan kanan, sedang tangan kiriku memegang arit.

“hahaha, enak to.” Ucap Joko sambil terus tertawa dipetenganku.





#cuukkk, goresan luka dihati ini akan menjadi salah satu penyemangat didalam hatiku. Aku akan membuktikan, kalau aku bisa sukses dan aku akan kembali kedesa ini dengan dada yang terbusung. Jiancuukkk.
Ikutan baca ya om suhu
 
Menarik sekali judul yg dipilih sama @Kisanak87 dimana pada saat sekarang banyak anak2 yg sudah melupakan impiannya karena tidak pernah merasa susah, dan maaf bagi yg kekurangan sudah merasa menyerah duluan karena merasa minder.
Dicerita ini jelas dilukiskan bagaimana tekad dari seseorang untuk merubah diri keluarga dan juga di desanya dan focus terhadap cita2nya
salute
 

BAGIAN 2
IKHLAS



“nih.” Ucapku sambil menyodorkan uang lima puluh ribuan, masing – masing dua lembar kepada Damar dan Lintang.

“u, u, uang apa ini Mas.?” Tanya Damar dengan wajah terkejut dan memucat.

“ini uang beneran Mas.?” Tanya Lintang dengan polosnya.

Kedua adikku ini sama seperti aku. mereka tidak pernah melihat apalagi memegang uang dengan nominal yang sangat besar seperti ini.

“ini uang beneran de. Ini untuk beli baju, tas, sama perlengkapan sekolah kalian yang lain.” Ucapku dan mereka berdua masih melihat ke arah uang yang aku pegang, lalu melihat kearah wajahku.

“ambilah dek. Nanti kalau ada sisanya, simpan aja buat tabungan atau kalian buat jajan juga boleh.” Ucapku sambil menyodorkon lagi uang yang ada ditanganku ini.

Mereka berdua lalu saling melihat, setelah itu melihat kearahku lagi.

“enggak Mas, baju Damar sama Lintang masih bagus dan cukup dibadan. Tas dan perlengkapan yang lain juga masih bisa dipakai kok. Mas yang lebih membutuhkan untuk kuliah.” Ucap Damar yang langsung membuatku menarik nafas dalam – dalam.

Lintang langsung membalikkan tubuhnya dan diikuti oleh Damar. Mereka berdua keluar kamarku dan beberapa saat kemudian, mereka berdua balik lagi dengan membawa celengan kendi mereka masing – masing.

“ini uang tabungan kami Mas. Ini uang jajan pemberian dari Bapak, Ibu dan Mas Gilang, yang sengaja kami tabung untuk kuliahnya Mas Gilang.” Ucap Damar lalu menyerahkan celengannya kepadaku.

“kami tetap jajan kok Mas, tapi gak banyak, nanti sakit perut.” Sahut Lintang dengan diiringi senyum manisnya.

Loh, kok malah mereka yang mau kasih aku uang sih.? seharusnya kan aku yang memberi mereka, kenapa sekarang terbalik.?

Kedua matakupun langsung berkaca – kaca melihat apa yang dilakukan kedua adikku ini. Aku memang sering memberikan uang jajan kepada mereka, karena aku kasihan ketika mereka beristirahat disekolah, mereka hanya melihat teman – temannya yang lagi asyik dengan jajanannya. Aku memberikannya pun tidak cukup banyak, tapi mereka malah menabungnya dan sekarang diserahkan lagi kepadaku.

Mereka terlalu menyayangi aku, sampai mereka punya niat yang sangat baik seperti ini. tapi bukan berarti aku harus menerima pemberian mereka ini. bukannya aku tidak menghargai atau tidak menyayangi mereka, tapi mereka juga pasti membutuhkannya.

Mungkin ini salah satu hasil didikan orang tua kami. Kami yang selalu disuguhi dengan cinta, kasih sayang dan perhatian.

“dengar ya dek, uang Mas itu banyak. Makanya Mas berani untuk daftar kuliah. Sekarang ambil uang ini dan simpan tabungan kalian.” Ucapku agak meninggi.

Aku sengaja bersuara agak keras, karena aku mau mereka menerima pemberianku ini. aku ingin kedua adikku ini terlihat memakai perlengkapan yang lebih baik ketika sekolah. Lagian uang yang aku pegang juga sudah cukup banyak. Tabunganku tujuh ratus lima puluh ribu, terus ditambah pemberian yang mengejutkan dari Bu Nyoto satu juta. Aku merasa uang segitu sudah cukup untuk pendaftaran dan membeli perlengkapan kuliah lainnya. Dan untuk kebutuhan sehari – hari lainnya serta tempat tinggal, itu nanti aja dipikirkan ketika sudah sampai dikota Pendidikan. Yang terpenting sekarang itu mendaftar dan diterima aja dulu.

“kok Mas marah.?” Ucap Lintang dengan mata yang berkaca – kaca.

Hatiku pun langsung nelangsa melihat wajah adikku yang sangat tulus membantuku ini.

“bu, bukan begitu de. Sekolah kalian ini masih panjang dan masih membutuhkan banyak biaya. Jadi lebih baik tabungan itu untuk kalian sendiri.” Ucapku dan nadaku mulai merendah.

“kalau Mas kuliah, nanti Damar yang ngarit mas. Damar yang cari uang bantuin Bapak dan Ibu.” Ucap Damar.

Ucapan Damar ini semakin membuat hatiku nelangsa, aku langsung memeluk kedua adekku ini dan merangkulnya dengan erat sekali. Gila, mereka mendukungku sampai seperti ini untuk melanjutkan pendidikanku. Mereka adalah semangatku dan aku harus membuat mereka bangga. Dan sekarang tekadku, bukan hanya aku yang akan kuliah, tapi kedua adikku ini juga harus kuliah. Boleh kami ini miskin harta, tapi jangan sampai miskin ilmu.

“De, Mas hanya ingin kalian belajar dengan sangat baik. Dan salah satu yang membuat kalian belajar lebih giat, pakaian dan perlengkapan kalian harus baik. Mas tau pakaian kalian itu sudah dua tahun ini belum diganti. Tas dan sepatu kalian sobek, buku – buku kalian juga kurang. Satu buku mata pelajaran kalian, bisa diisi beberapa mata pelajaran. Jadi bagaimana kalian mau konsentrasi belajar.?” Ucapku sambil melepaskan pelukanku lalu melihat mereka berdua bergantian.

“buktinya kami bisa Mas.” Jawab Damar.

“jangan begitu de. Kalau kita gak bisa beli, kamu gak apa – apa bicara seperti itu. Tapi sekarang Mas ada uang dan kalian harus beli. Jangan buat mas kecewa de.” Ucapku dan kedua adikku langsung saling berpandangan lagi.

“Mas mau, sebelum Mas berangkat kuliah besok, Lintang dan Damar harus sudah membeli semua perlengkapannya. Biar Mas semangat juga kuliahnya.” Ucapku sambil menyodorkan lagi uang yang ada ditanganku.

“tapi Mas.” Ucap Damar terpotong.

“Mas ada uang dan ini adalah lebihnya.” Ucapku meyakinkannya.

Lalu dengan tangan yang agak bergetar, Damar dan Lintang menerima pemberianku.

“setelah Ibu datang dari sawah, kalian harus kepasar. Nanti Mas panggilkan becaknya Cak To.” Ucapku.

Dan sebelum mereka berubah pikiran, aku langsung keluar kamarku dan menunggu kedatangan Joko di teras rumahku. Rencananya pagi ini kami berdua mau mengamen terminal untuk yang terakhir kalinya, karena besok aku sudah berangkat ke Kota Pendidikan.

Aku lalu duduk dibalai – balai bambu yang ada diteras, sambil melihat kearah rumah Pak Tejo yang sangat ramai sekali. Tampak keluarga besar mereka sedang berkumpul dan memakai pakaian yang sangat bagus sekali. Orang tua yang laki – laki memakai baju batik dan yang perempuan memakai kebaya. Sedangkan yang muda dan anak – anak, memakai pakaian mereka yang paling keren.

Beberapa saat kemudian, tiga mobil bison datang dan parkir didepan rumah mereka. (mobil bison = mobil angkutan umum yang dipakai untuk antar kota)

“mobile wes teko.” (mobilnya sudah datang.) teriak beberapa orang.

“ayo, ndang siap – siap.” (ayo, cepat siap – siap.) Sahut Pak Tejo dengan semangatnya.

“iya, nanti kesorean sampai Kota Pendidikannya. Trisno kan mau daftar kuliah.” Ucap Bu Tejo dengan suara cemprengnya, sambil menggoyangkan kepalanya dan melirik kearah rumah kami.

Akupun langsung tersenyum sambil menganggukan kepalaku kearah Bu Tejo. Sedangkan Bu Tejo langsung memaling wajahnya, tanpa membalas senyumanku.

Keluarga Pak Tejo ini, salah satu orang terkaya didesaku. Beliau itu pegawai negeri dan mempunyai banyak sawah. Anaknya yang bernama Trisno, adek kelasku waktu SMP. Tapi waktu STM, kami satu angkatan karena aku menganggur dua tahun. Kalau disekolah, kami berdua berteman biasa. Tapi kalau dirumah, kami gak pernah berkumpul atau saling mengunjungi. Biasanya kalau hari raya aja kami saling berkunjungnya. Hehehe.

Dan sekarang tampak sekali kesibukan keluarga besar Pak Tejo. Beberapa orang membawa beras yang ada dikarung, untuk dinaikkan di mobil bison. Beberapa orang lainnya membawa tas pakaian, perlengkapan memasak sampai perlengkapan tidur.

“mereka mau ngantar Mas Trisno ke Kota Pendidikan ya Mas.?” Tanya Lintang yang keluar dari kamarku.

“kayak mau nikahan aja, banyak pengiringnya.” Ucap Damar dengan ketusnya.

“mereka mau pindahan.? Kok banyak banget sih bawaannya.?” Tanya Lintang.

“sudah, gak usah diurus. Biarkan sajalah.” Ucapku sambil mengambil rokok kreteku lalu membakarnya.

“eh, Bu Darman. Dari sawah ya.?” ucap Bu Tejo ketika melihat Ibuku yang baru datang dari sawah. Tampak Ibu sedang memanggul sayuran yang baru dipetik dari sawah dengan kain jariknya.

“enggeh Bu Tejo.” (iya Bu Tejo.) jawab Ibuku dengan sangat sopan sekali, sambil melepaskan capingnya.

“saya mau mengantarkan Trisno ke Kota Pendidikan loh Bu. Trisno mau daftar kuliah disana, Hehe.” Ucap Bu Tejo menjelaskan, tanpa Ibuku bertanya. Suara Bu Tejo terdengar agak keras, bibir miring kekanan dan kekiri yang tidak simetris, dan suara yang makin cempreng terdengar.

“oh, enggeh Bu.” (oh, iya Bu,) Jawab Ibuku sambil mengangguk.

“Trisno mau daftar kuliah dikampus negeri loh Bu Darman.” Ucap Bu Tejo lagi.

“oh, enggeh Bu.” (oh, iya Bu,) Jawab Ibuku lagi.

“semua sanak saudara mau mengantarkan kesana loh Bu.” Ucap Bu Tejo lagi dengan suara yang mendayu – dayu.

“enggeh Bu.” (iya Bu.) Jawab Ibuku lagi.

“kami semua mau mengantarkan sampai kekontrakannya, pakai tiga mobil bison Bu.” Ucap Bu Tejo sambil mengggoyangkan gelang emas yang bergerombol di kedua lengannya.

“enggeh Bu.” (iya Bu.) Jawab Ibuku dan tetap dengan sangat sopan sekali.

“dasar tukang pamer.” Gerutu Damar.

“De.” Ucapku sambil meliriknya.

DUNG, TAK, DUNG, DUNG,

TAK, DUNG, DUNG,

TAK, DUNG, DUNG,

Terdengar suara gendang paralon yang dibawa Joko, ketika melewati Bu Tejo dan Ibuku yang sedang mengobrol. Joko terlihat sengaja sekali melakukan hal itu, dengan wajah yang terlihat agak jengkel. Bu Tejo pun sampai terkejut dibuatnya.

“Halo lang, kamu belum berangkat kekota pendidikan.? Kamu kan mau daftar kuliah.” Ucap Joko yang dengan suara yang agak keras ketika sampai didepan terasku.

Bu Tejo tampak melirik kearah Joko yang memunggunginya lalu melirik kearahku dengan ketusnya.

“assuu.” (anjing.) gerutuku pelan.

“hahahaha.” Joko tertawa dengan santainya, lalu berjalan kearahku sambil menabuh gendang paralonnya lagi.

DUNG, TAK, DUNG, DUNG,

TAK, DUNG, DUNG,

TAK, DUNG, DUNG,

“cok, bengak – bengok ae.” (cok, teriak – teriak aja.) makiku ke Joko dan Joko hanya tersenyum lalu membakar rokoknya.

Aku lalu berdiri dan masuk kedalam kamarku, untuk mengambil gitar usangku. Lalu setelah itu aku pamit kekedua adikku dan keluar rumah.

“Bu, Gilang mau keterminal.” Pamitku kepada Ibu yang masih berdiri dihadapan Bu Tejo, sambil menjulurkan tanganku kearah beliau.

“hati – hati ya nak.” Ucap Ibuku dan aku langsung mencium tangan beliau.

Aku lalu tersenyum kearah Bu Tejo dan Bu Tejo langsung melirik kearah yang lain.

DUNG, TAK, DUNG,

Joko menabuh gendang paralonnya, lalu meraih tangan Ibuku dan menciumnya juga.

“ijinkan ananda untuk menjemput rezeki dengan suara emas ini, didepan jutaan penonton yang menanti.” Ucap Joko dan Ibuku hanya menggelengkan kepala, sambil tersenyum.

DUNG, TAK, DUNG,

Joko menabuh gendang paralon lagi ketika melewati Bu Tejo dengan agak kuat, tanpa melihat kearah beliau.

“asu,” (anjing) makiku ketika kami sudah agak jauh berjalan, sambil memeteng leher Joko lalu melepaskannya.

“hahaha, aku mangkel ambe wong iku cok. Koyok sugeh dewe nde deso iki. Aku yo wong sugeh cok.” (hahaha, aku jengkel sama orang itu cok. Kayak kaya sendiri aja didesa ini. aku orang kaya juga cok.) Joko tertawa lalu mengomel.

Memang Mbahnya Joko ini termasuk orang kaya juga didesa ini, beliau juragan sapi yang terkenal dikabupaten dan aku gak tau kenapa Joko mau mengamen bersamaku. Kalau aku tanya, dia selalu jawab ‘seng sugeh mbahku, aku yo panggah kere’ (yang kaya mbahku, aku ya tetap miskin)

“ga oleh ngono cok, seng sopan karo wong tuo.” (gak boleh begitu cok, yang sopan sama orang tua.) ucapku kepadanya

(cok = jancok = panggilan akrab sesama teman. Tapi jangan coba – coba memanggil orang yang tidak dikenal dengan sebutan cok, bisa disemen nanti mulut kita. Hehe.)


“aku iku emosi lek krungu suarane Bu Tejo seng elek iku. suara kendangku iki, luwih apik cok.” (Aku itu emosi kalau dengar suara Bu Tejo yang jelek itu. suara gendangku ini, lebih merdu cok.) ucap Joko sambil menabuh gendangnya.

DUNG, TAK, DUNG,

“bajingan.” Makiku.

“ketokane, Bu Tejo gak seneng ambe awakmu yo.?” (kelihatannya, Bu Tejo gak suka sama kamu ya.?) tanya Joko lalu dia menghisap rokoknya.

“ojo sampek cok, iso diamuk ambek Pak tejo aku.” (jangan sampai cok, bisa diamuk sama Pak Tejo aku) jawabku dengan entengnya lalu aku menghisap rokokku dengan cueknya.

“nggateli koen cok, gak ngono maksudku, bajingan.” (jengkelin kamu cok, bukan begitu maksudku, bajingan.) Gerutu Joko.

“maksudku iku, lapo kaet krungu awakmu kate mlebu kuliah, Bu Tejo langsung berubah. Biyen loh ora ngono. Opo gak gelem disaingi, mergo Trisno mlebu kuliah.?” (maksudku itu, kenapa sejak dengar kamu mau masuk kuliah, Bu Tejo langsung berubah. dulu kan gak seperti itu. apa gak mau diasingi, karena Trisno masuk kuliah.?) ucap Joko lagi.

“perasaanmu ae iku cok.” (perasaanmu aja itu cok.) ucapku yang malas menanggapi ucapan Joko, walaupun memang ada benarnya.

“bajingan, aku gak nduwe perasaan karo Bu Tejo cok. Iso gelut karo Pak Tejo aku, asu.” (bajingan, aku gak punya perasaan sama Bu Tejo cok. Bisa berkelahi dengan Pak Tejo aku, anjing.) ucap Joko sambil menggelengkan kepalanya.

“mbales koen cok. Hahaha.” (balas kamu cok. Hahaha.) ucapku lalu aku tertawa sambil membuang puntung rokokku.

Dan ketika kami sampai diperbatasan desa, kami berpapasan dengan Cak To yang sedang mengayuh becaknya.

“Cak To, nang omah yo. Ibu kate nang pasar.” (Cak To, kerumah ya. Ibu mau kepasar.) Ucapku.

“oke.” Sahut Cak To sambil mengacungkan jempolnya.

Lalu sebuah mobil pickup dari arah belakang kami, berhenti disamping kami.

“kate nang terminal ta lang.?” (mau keterminal kah lang.?) ucap sisopir kepadaku. Sisopir ini tinggal didesa sebelah.

“iyo lek.” (iya paman,) Jawabku.

“munggao.” (naiklah) ucap sisopir.

“aku gak ditawari lek.?” (aku gak ditawari paman.?) Tanya Joko sambil melihat kearah dalam mobil pickup.

“awakmu nyurung pickupku ae Jok.” (kamu dorong pickupku aja Jok.) jawab sisopir sambil tersenyum..

“hahaha.” Aku hanya tertawa sambil naik kebak picak up.

“asu,” (anjing) gerutu Joko sambil naik kebelakang pickup.

BRUMM, KRATAK, KRATAK,

Pick up pun langsung berjalan dengan agak tersendat dan mengeluarkan asap tebal yang berwarna hitam.

“alon – alon lek, duduk wedos nde ngguri iki.” (pelan – pelan paman, bukan kambing dibelakang ini.) teriak Joko.

“embe,” sahut sisopir.

“hahaha, asu asu.” (hahaha, anjing anjing.) sahut Joko sambil menggelengkan kepala.

Mobil pun berjalan pelan dan langsung mengarah ke terminal kabupaten ini.

Terminal kabupaten ini, terminal antar kota dan tidak terlalu besar. Warga beberapa desa sekitar kalau mau ke Ibukota propinsi dan kota – kota lainnya, pasti lewat terminal ini. Letaknya pun berdekatan dengan pasar besar kabupaten ini. kalau masih pagi begini, pasar dan terminal pasti sangat ramai sekali. Apalagi hari minggu seperti ini, pasti semakin ramai.

Beberapa saat kemudian, ketika kami sampai didekat terminal, mobil ini semakin pelan. Aku dan Joko langsung loncat dari mobil.

Buhggg..

Bunyi hentakan sepatuku ketika menginjak aspal.

“suwon lek.” (terimakasih paman.) ucapku dan Joko. Sisopir hanya mengangkat jempolnya sambil menginjak gasnya lagi.

BRUMM, KRATAK, KRATAK,

Asap tebal berwarna hitam kembali keluar dari knalpot pick up itu.

“cok, pencemaran udara.” Ucap Joko sambil mengibaskan tangannya di wajahnya.

“lah rokokmu gak mencemari udara ta cok.?” Ucapku sambil mengibaskan tanganku didepan wajahku juga.

“asu,” gerutu Joko.

“langsung mlebu terminal opo nang pasar disek.?” (langsung masuk terminal apa ke pasar dulu,) Tanya Joko.

“pasar disek ae yo. Ketoane rame.” (pasar aja dulu yo. Kelihatannya rame) jawabku sambil melihat kearah pasar yang ramai sekali.

“siap.” Jawab Joko dan kami membelokan tujuan kami kearah pasar.

Dan ketika kami akan memasuki pasar, beberapa preman sedang berkumpul dan sedang berpesta minuman.

“isuk – isuk ngombe cok, wes dol wetenge wong – wong iku.” (pagi – pagi minum cok, sudah dol perutnya orang – orang itu.” bisik Joko kepadaku dan aku hanya tersenyum saja, sambil mengarahkan gitarku kearah depan.

“lang, kate ngamen ta.?” (lang, mau ngamen kah.?) Panggil salah satu preman yang menguasai pasar ini.

“iya cak.” Jawabku sambil berjalan kearah mereka.

“ngombe disek, ben suaramu penak.” (minum dulu, biar suaramu merdu) ucap preman itu sambil menyerahkan segelas minuman arak kepadaku.

“siap cak.” Ucapku sambil duduk didepan preman itu, lalu mengambil gelas itu dari tangannya.

“werrr.” ucapku sambil mengangkat gelas itu tinggi – tinggi. (werr = kode ketika kita mengangkat gelas.)

“werr, werr, werr, “ sahut semua preman yang ada disitu dan aku langsung meminum arak itu sampai habis.

Argghh. Pahit dan panas rasa mau terbakar, ketika minuman itu masuk ketenggorakanku. Gila, minuman gak enak begini aja, banyak yang suka. Aku sih sebenarnya suka juga, tapi gak terlalu sering meminumnya.

Dan setelah beberapa saat, aku mengembalikan gelas itu kepada sang Bandar dan gelas itu diisi lagi lalu diserahkan ke Joko.

“werr.” Ucap Joko sambil mengangkat gelas tinggi – tinggi.

“werr, werr, werr, “ sahut semua preman yang ada disitu.

“tarik Jok.” Sahut sang Bandar.

Aku lalu mengambil rokokku yang sisa sebatang, lalu membakarnya dan menghisapnya.

“cak, aku nang njeru disek yo.” (cak aku masuk dulu ya.) Ucapku kepada sang bandar.

“lanjut lang.” ucap sang Bandar dan aku langsung berdiri.

“sak lagu disek cok.” (satu lagu dulu cok.) Teriak tukang parkir yang berdiri tidak jauh dari kami.

“wani piro.?” (berani berapa.?) sahut Joko sambil berdiri juga.

“asu.” (anjing) maki tukang parkir itu dan kami berdua hanya tersenyum saja.

“suwon cak.” ucapku kepada para preman yang ada disitu.

“oke.” Sahut mereka semua, lalu aku dan Joko berjalan masuk kedalam pasar.

Setelah kami sudah berada diemperan sebuah toko dan akan memulai sebuah lagu kami,

JRENG,

Bunyi petikan gitarku.

DUNG, TAK,

Tabuhan gendang Joko.

“lang.” panggil seorang wanita dari arah belakangku dan aku langsung menghentikan petikan gitarku, lalu aku melihat kearah suara itu. Begitu Joko, dia langsung membalikkan tubuhnya dan melihat kearah suara itu.

“cok.” Gumamku pelan ketika melihat wanita yang memanggilku itu.




Kinanti Nur Annisa

Kinanti, seorang wanita yang masih mempunyai ikatan hubungan asmara denganku sampai detik ini. Entah ikatan yang seperti apa, atau malah dia sudah tidak menganggapku lagi. Aku memang masih mencintai wanita ini, tapi gak tau kalau dia. Aku merasa kalau dia sudah tidak memiliki rasa lagi denganku.

Aku menyadari kalau hubungan yang kami jalani ini, memang berbeda kasta. Dia anak orang kaya, sedangkan aku anak orang gak punya. Dia dikelilingi orang – orang yang berada, sedangkan bersamaku mungkin merasa dekat dengan orang yang akan membuat hidupnya sengsara.

Kami yang awalnya saling jatuh cinta, tapi beberapa waktu ini mulai ada yang berubah. Dia seperti menjauh dan menghindari aku. Puncaknya ya beberapa hari yang lalu, waktu aku memergoki dia bergoncengan mesra dengan Guntur.

Dulu sebelum aku memergokinya, dia selalu bilang tidak mau kalau dijodohkan dengan Guntur. Tapi nyatanya.? Sudahlah, mungkin dia bukan jodohku. Mungkin dia seperti mantan kekasihku yang lain, sadar kalau aku ini anak orang yang tidak punya. Mungkin mereka berpikir, masa depannya akan suram kalau melanjutkan hubungannya denganku, dan akhirnya memilih pergi meninggalkan aku.

Dan sekarang, wanita yang satu ini mungkin akan mengakhiri hubungan kami sekarang juga. Tapi aku sudah siap dengan segala resiko apapun, jauh sebelum saat – saat ini tiba. karena awal - awal hubungan kami sudah banyak yang menentang, terutama keluarga besarnya. Bukannya aku minder ketika berpacaran dengan orang yang kaya. Tapi apa salahnya kalau kita menyiapkan hati ini, sebelum sakit itu datang.

“Kita putus.” Ucap Kinanti tanpa ada kata – kata pembuka dan langsung ke tujuan utamanya.

Asu, gila gak.? Aku sih memang sudah menyiapkan hatiku untuk mendengar kata putus dari dia, tapi gak gini juga kali caranya. Coba dia bertanya tentang kabarku dulu atau bagaimana gitu, baru dia ucapkan kata putus.

Tapi sudahlah, lebih cepat lebih baik. Dari pada berlama – lama dan makin membuat hati hancur, lebih baik seperti ini. Untungnya aku sering makan daun singkong rebus buatan Ibu, kalau engga, mungkin hatiku gak akan sekuat ini. zat besi yang terkandung di daun singkong, rupanya sangat ampuh menguatkan hatiku. Ampuh atau aku ini memang nrimo.? Ah sudahlah, gau sah dipikir. (nrimo = orang yang gampang menerima.)

Hiuft, huuu.

Dan sebelum aku menjawab iya, Kiranti langsung membalikkan tubuhnya dan pergi meninggalkan aku.

“jiancuukk.” Maki Joko dengan kerasnya dan dia terlihat sangat emosi sekali.

“santai Jok, santai.” Ucapku menenangkan Joko.

“elek, kemayu.” (jelek, sok cantik) gerutu Joko.

“cok, mantanku iku cok.” (cok, mantanku itu cok.) Ucapku sambil melangkahkan kaki, kupergi keluar pasar.

“loh, koen kok ngamuk ambe aku.?” (loh, kamu kok marah sama aku.?) Ucap Joko yang mengikuti aku dibelakangku.

“seng ngamuk sopo cok.?” (yang marah siapa cok.?) Ucapku sambil terus melangkah.

“lek gak ngamuk, lapo awakmu ngaleh.? Gak sido ngamen ta.?” (kalau gak marah, kenapa kamu pergi.? Gak jadi ngamen kah.?) tanya Joko yang sekarang berjalan disebelahku.

“nde terminal ae.” (diterminal aja.) ucapku dan ketika aku keluar pasar tadi, aku sempat melihat Ibu disebuah toko peralatan sekolah. Dan ketika aku melihatnya, Ibu langsung masuk kedalam gang pasar lainnya, sambil menarik tangan kedua adikku.

Ibu mungkin melihat apa yang dilakukan Kinanti tadi kepadaku dan tidak ingin menambah kesedihanku. Bukannya Ibu tidak perduli. tapi biasanya kalau aku ada masalah diluar seperti ini, beliau akan mendiamkanku. Lalu nanti setelah dirumah, beliau akan mengajakku berbicara.

“Mas Gilang.” Ucap seseorang memanggilku ketika aku akan masuk keterminal. Aku pun langsung melihat kearah suara itu.

Dan disana, seorang anak laki – laki yang berumur belasan dan masih bersekolah di SMP, duduk bersama preman – preman yang usianya jauh lebih tua darinya. Anak itu bernama Gani. Walaupun masih sangat muda, Gani itu preman yang disegani di terminal ini bahkan di seluruh kabupaten ini. Selain karena Gani itu pemberani dan hebat berkelahi, dia itu cucu Mbah Jati. Orang yang paling ditakuti seantero kabupaten ini, bahkan sepak terjang beliau terkenal sampai dipelosok propinsi ini.

“oi, Gan.” Ucapku sambil mendekat kearahnya.

“Damar dimana Mas.?” Tanya Gani sambil mengambil gelas minuman dari Bandar, yang memutar minuman. Gani ini teman satu kelas Damar adikku.

“tadi kalau gak salah kepasar sama Ibukku, kenapa Gan.?” Tanyaku.

“gak apa – apa Mas, kirain ikut ngamen.” Ucap Gani setelah menghabiskan minumannya.

“hehe.” Akupun hanya tertawa.

“minum dulu mas.” Ucap Gani kepadaku dan sang bandar langsung menyerahkan gelas kepadaku.

“oh iya, makasih ya.” ucapku lalu aku mengangkat gelas itu dan menghabiskannya. Kalau dengan preman – preman diterminal ini, aku tidak mau terlalu banyak bicara. Disini lebih garang – garang wajahnya dan mereka lebih pendiam.

Begitu juga Joko, dia yang biasa mengeluarkan candaannya, disini tidak mau banyak bicara. Dan setelah kami berdua minum, kamipun pamit untuk masuk kedalam area terminal.

“asu, ngelu ndasku cok.” (anjing, pusing kepalaku cok.) ucap Joko sambil menggelengkan kepalanya.

“wes talah, dinikmati ae cok.” (sudahlah, dinikmati aja cok.) Ucapku yang masih kepikiran dengan kejadian bertemu dengan Kinanti tadi.

“iyo.. yuk mulai.” Ucap Joko sambil melangkahkan kakinya kearah warung makan yang ada didalam terminal.

“lagu apa.?” Tanyaku sambil memegang gitarku.

“iming – iming.” Jawab Joko.

“yu ah.” jawabku.

JRENG,

Bunyi petikan gitarku.

DUNG, TAK,

Tabuhan gendang Joko.

“permisi Bapak – Bapak dan Ibu – Ibu, ijinkan kami untuk menghibur anda – anda semua.” Ucap Joko sambil terus menabuh gendangnya. dan semua yang ada didalam warung makan ini, cuek dan asyik dengan kegiatannya masing – masing. Ada yang lagi makan, merokok dan mengobrol.

“SEMONGKO,!!!” teriak Joko dan semua yang ada didalampun, langsung terkejut sambil melihat kearah kami.

“SEMANGAT SAMPAI BONGKO.!!! (semangat sampai mampus) jawabku.

DUNG, TAK, DUNG, DUNG,

JRENG, JRENG, JRENG, JRENG,



(dibawah ini adalah ilustrasi pengamen yang ada dipulau ini, supaya lebih menikmati musiknya, disarankan memakai henset.
)





Bulan yang engkau janjikan, Bintang malam kau tawarkan.
Yang ada hanya celakaaa, Karena hati kau sakiti.
Kurang apakah, ya aku ini. Ganteng sudah baik juga sudah.
Di matamu

Musim hujan kepanasan, Musim panas kehujanan
Pantaslah saja diriku, Selalu dalam keresahan

Kau janji janji, Kau tawar tawar.
Kau janjikan kau tawarkan cinta, Iming iming saja.

Cinta siapa, Rindu siapa.
Kalau cinta milik orang lain, Ya percuma saja.

Biarlah diriku sendiri sendiri saja




Aku lalu berjalan masuk kedalam warung makan, sambil menyodorkan plastic kosong kepada mereka semua. Uang logam seratus dan lima ratus, mulai masuk kedalam kantong plastic yang aku pegang. ada juga yang memasukan beberapa batang rokok dan ada juga yang hanya melambaikan tangan, tanda minta dilewati.

DUNG, TAK, DUNG, DUNG,

“yang memberi lima ratus saya doakan nanti akan masuk sorga, yang memberi seratus saya doakan masuk sorga, tapi belakangan. Yang memberikan rokok, saya doakan masuk sorganya bareng sama saya.” Ucap Joko sambil terus menggendang.

DUNG, TAK, DUNG, DUNG,

“yang tidak memberikan uang, saya doakan juga masuk surga. Tapi masuk surganya duluan, kalau bisa nanti setelah pulang dari terminal.” Ucap Joko dengan cueknya.

“hahahaha.” Gelak tawa dari semua pengunjung ketika mendengar celotehan Joko.

“Budal nang talun, klambine teles. matur suwon, pengeran seng bales.” (pergi ketalun, bajunya basah. Terimakasih, Sang Pencipta yang membalas.) ucap Joko mengakhiri pertunjukan pertama kami dihari ini.

Kami mengamen dari warung makan kewarung makan lain yang ada didalam terminal, lalu kami naik satu bis terus bis yang lain. Dan kami terus mengamen sampai jam satu siang.

Lalu setelah itu kami beristirahat diluar terminal, diemperan sebuah rumah makan yang agak besar.

“jadi gimana.? besok kamu berangkatnya.?” Tanya Joko sambil duduk lesehan lalu menyeruput kopi panas pesanan kami.

“iya, kamu beneran gak ikut.?” Tanyaku.

“enggak.” jawab Joko menggeleng pelan sambil meletakkan gelasnya, lalu mengambil rokoknya dan membakarnya.

“kamu gak kangen aku.?” Tanyaku lalu giliranku menyeruput kopi yang kami pesan satu gelas berdua ini.

Sebenarnya kami bisa aja membeli dua, tapi segelas itu lebih nikmat kalau dinikmati bersama.

“asu.” (anjing) gerutu Joko lalu dia menghisap rokoknya.

“hehe.” Aku hanya tertawa sambil mengeluarkan plastic yang berisi hasil mengamen kami dan menghamburnya kelantai.

Joko juga mengeluarkan uang receh yang ada ditas kecilnya dan menggabungnya dengan uang yang berserakan dilantai.

“slawe.” (dua lima) ucap Joko ketika sudah menghitung semua hasil kami tadi. Duapuluh lima ribu, itu maksud Joko.

Aku lalu mendorong sejumlah sepuluh ribu kearah Joko dan sepuluh ribu kearahku.

“seng limang ngewu digawe mangan ambe ngopi.” (Yang lima ribu dibuat makan sama ngopi) ucapku.

“gawe sangumu mene.” (buat sangumu besok.) Ucap Joko sambil mendorong uang bagiannya kearahku.

“cok.” Makiku sambil melihat kearahnya.

“lapo.? Gak usah ndelok teko nominale cok. Seng pinting aku ikhlas gawe awakmu.” (kenapa.? Jangan dilihat dari jumlahnya cok. Yang penting aku ikhlas buat kamu.) Ucap Joko sambil agak melotot kearahku.

“raimu, gak ngono maksudku cok.” (mukamu, bukan begitu maksudku cok.) ucapku pelan dan terus terang aku sangat sedih akan meninggalkan sahabat karibku ini.

“taek, lek koen gak gelem nerimo, koen duduk dulurku cok.” (taik. Kalau kamu gak mau terima, kamu bukan saudaraku cok.) ucap Joko sambil berdiri.

“kate nangdi koen.?” (Mau kemana kamu.?) tanyaku sambil mendangakkan kepalaku dan melihat kearahnya.

“mangan, aku luwe.” (makan, aku lapar.) ucap Joko sambil berjalan kearah dalam rumah makan.

Hiuffttt, huuu.

Aku menarik nafasku sambil mengambil batangan rokok dari dalam plastic hasil mengamen tadi. Aku membakarnya lalu menghisapnya sambil menyenderkan punggungku ke dinding rumah makan.

Aku menatap lurus kedepan dan melihat kendaraan yang berlalu lalang, serta orang – orang yang sibuk dengan kesibukannya. Aku pasti akan melihat suasana seperti ini diKota pendidikan, ketika aku mengamen untuk kuliahku nanti. Dengan orang – orang baru, pemandangan baru, kesibukan yang baru, tapi mungkin dengan rasa yang sama. Sama – sama mengandalkan petikan gitar dan suara yang alakadarnya ini.

Aku akan meninggalkan orang – orang yang mencintai aku dan orang – orang yang membenci aku. Dan mereka mempunyai cara masing – masing sebagai penyemangatku untuk impianku ini.

Aku tidak pernah marah dengan mereka yang membenciku atau yang tidak menyukai aku. Justru aku berterimakasih, karena mereka aku semakin kuat dan aku semakin bersemangat.

Termasuk juga Kinanti. Semoga dia bahagia dengan pilihannya dan semoga dia bisa benar – benar mencintai Guntur.

Aku itu orangnya tidak bisa terlalu lama marah atau malah membenci orang yang melukai aku. Kata Ibuku, ‘kalau ada yang membencimu, jangan balas membencinya. Doakan saja yang terbaik untuknya. Kalau kamu tidak bisa mendoakan yang baik, jangan doakan yang buruk bagi orang lain.’

Bisa seperti itu ya.? entahlah, gak usah terlalu dipikir. Enak ditinggal ngopi sambil merokok. Hehehe.

“mangan cok.” (makan cok) Ucap Joko yang baru datang dari dalam rumah makan, sambil membawa sepiring nasi.

Sepiring nasi yang porsinya sangat banyak, lauk tahu, tempe dan gimbal jagung, terus ditambah dengan sayur asem dan sambel.

“panganan enak iki.” (makanan enak ini.) ucapku sambil duduk bersila dihadapan Joko. Aku lalu membuang rokokku dan langsung menyantap makanan ini sepiring bersama sahabatku.

Tidak usah cuci tangan, kuman itu gak mau berteman dengan orang miskin seperti kami. Kuman aja jijik sama kami, apalagi mereka yang menilai seseorang dari hartanya. Hehehe.

Dan setelah selesai makan, kami berdua menikmati segelas es teh sambil menikmati rokok masing – masing.

“mari ngene muleh yo.” (habis ini pulang ya.) ucap Joko dan aku langsung melihat jam yang ada didalam rumah makan.

“jek jam loro cok.” (masih jam dua cok.) ucapku lalu aku menghisap rokokku.

“mene awakmu budal loh. kumpulo ambe keluargamu disek.” (besok kamu berangkat loh. kumpul sama keluargamu dulu.) ucap Joko dan aku hanya tersenyum sambil mengangguk.

Lalu setelah membayar kopi dan makanan kami, kami berdua balik. Rute perjalan kami pun sekarang lewat belakang terminal.

“Cak Ndut, lapo.?” (Cak Ndut, nagapain.?) Tanyaku ketika melihat Cak Ndut yang sedang membersihkan bisnya yang besar.

“ngentu,” (ngentot.) jawab Cak Ndut sambil menunduk dan memasukkan kain lapnya kedalam ember yang berisi air sabun, lalu mulai memandikan Bisnya.

“hahaha.” Akupun tertawa sambil melangkah kearah Cak Ndut.

“kok semok bokonge Bis samepean Cak.?” (Kok semok pantat Bis anda Cak.?)

“bokonge bisku opo bokongku.?” (Pantat bisku apa pantaku.?) Ucap Cak Ndut tanpa melihat kearah kami, sambil menggoyangkan bokong besarnya itu.

“hahaha,” kembali aku tetawa sambil meletakkan gitarku dan membantu Cak Ndut mencuci bisnya itu.

Aku dan Joko sering membantu Cak Ndut mencuci bisnya, karena beliau sering memberi kami rokok ketika kami mengamen dibisnya. Selain itu, beliau juga ramah dan suka bercanda kepada kami berdua.

Kami bertiga pun mencuci bis ini bersama – sama, sampai bersih dan mengkilat. Kami mencuci bis sambil diiringi candaan – candaan yang membuat pekerjaan ini tidak terasa berat dan cepat selesai.

“wes mangan ta.?” (sudah makan kah.?) tanya Cak Ndut setelah pekerjaan kami selesai.

“wes Cak, njaluk mentahe ae.” (sudah Cak, minta mentahannya aja) jawab Joko (mentahan = uangnya aja)

“mentahan opo.? Ban’e bis ta.?” (Mentahan apa.? Bannya bis kah.?) tanya Cak Ndut.

“asu, dikiro jaranan be’e” (anjing, dikira kuda lumping mungkin.) gerutu Joko.

“hahaha.” Aku dan Cak Ndut hanya tertawa saja.

“wes Cak, aku tak muleh disek.” (sudah Cak, Aku pulang dulu) ucapku sambil mengambil gitarku dan berjalan bersama Joko meninggalkan Cak Ndut.

“terus mentahane piye iki.?” (terus mentahannya gimana ini.?) tanya Cak Ndut.

“sampean pangan dewe ae Cak, ojo lali dike’i oli titik, ben rodo gurih.” (anda makan aja sendiri Cak, jangan lupa dikasih oli sedikit, biar agak gurih.) jawab Joko.

“asu,” maki Cak Ndut.

“hahaha,” aku dan Joko hanya tertawa sambil terus berjalan.

Kami pun menumpang kendaraan yang lewat didepan kami dan menuju kearah desa kami.

“aku langsung muleh yo.” (aku langsung pulang ya.?) ucap Joko ketika kami sudah sampai didesa kami dan berjalan kearah rumahku

“engko adus nde kali yo.” (nanti mandi disungai ya.?) ucapku kepada Joko.

“ndelok engko cok.” (Lihat nanti cok.) jawab Joko sambil berjalan kearah rumahnya, tanpa melihat kearahku.

Ada apa sama Joko ya.? kok dia agak berubah setelah pulang dari ngamen tadi.? Apa dia sedih karena besok aku pergi dari desa ini.? sudahlah, nanti aja aku tanya disungai.

Aku lalu berjalan kearah rumahku, sambil menggendong gitar dipunggung dan rokok kretek ditangan kanan.

Dan ketika aku sampai dirumah, tampak kedua adekku sedang memakai pakaian sekolah mereka yang baru, sepatu baru dan tas yang juga baru.

“wow, bagus de.” Ucapku dengan senangnya sambil membuang puntung rokokku dan masuk kedalam rumah.

“baguslah, coba lihat ini Mas.” Ucap Lintang sambil memutarkan tubuhnya dengan senangnya.

“tambah cantik aja kamu de.” Ucapku lalu tersenyum.

Damar dan Lintang terlihat sangat senang dan bahagia sekali.

Akupun langsung berjalan kearah kamarku untuk meletakkan gitarku. Dan aku terkejut ketika melihat ada tas punggung, beberapa kemeja dan juga celana panjang baru di tempat tidurku.

“itu punya siapa.?” Tanyaku sambil keluar kamarku.

“punya Mas lah.” Jawab Damar lalu tersenyum.

“buat Mas kuliah, biar keren.” Sahut Lintang.

“iya, tapi siapa yang belikan.?” Tanyaku.

“Ibu, kenapa.? Gilang gak suka.?” Tanya Ibuku yang keluar dari arah dapur.

“bukan begitu Bu, tapi itu pasti gak murah.” Ucapku dengan wajah yang agak sedih.

“Ibu punya banyak uang kok, dan masih ada lebihnya.” Ucap Ibuku dan itu seperti kata – kataku untuk kedua adekku tadi.

“Bu.” Ucapku.

“kenapa.? Salah ya kalau orang tua membelikan anaknya sendiri.?” Ucap Ibuku dan itu langsung membuat mataku berkaca – kaca.

“kalau Gilang pakai pakaian dan tas yang bagus, Gilang pasti semangat kuliahnya.” Jawab Ibuku lalu tersenyum kepadaku.

Akupun langsung menghambur kearah Ibu dan aku langsung memeluk beliau dengan eratnya.

“te, te, terimakasih bu.” Ucapku terbata dan entah kenapa air mataku langsung menetes.

Bukan karena aku cengeng, tapi Ibu jarang sekali membelikan aku pakaian atau tas seperti itu. Pakaian untuk lebaranpun, aku membeli sendiri dan itu mungkin dua tahun sekali.

Aku mengerti kenapa Ibu jarang sekali membelikan aku pakaian. Untuk makan sehari – hari kami saja, uangnya masih agak kurang. Belum lagi kebutuhan sekolah adik – adikku, jadi gak mungkin kan memikirkan pakaian yang bagus.

“maaf, Ibu gak bisa membelikan yang lebih lagi.” Ucap Ibuku sambil mengelus rambutku.

“Ibu ngomong apa sih.? ini sudah lebih dari cukup dan Gilang sudah sangat senang sekali Bu.” Ucapku sambil mengangkat wajahku dan melihat wajah Ibu, tanpa melepaskan pelukanku.

Ibu langsung tersenyum dengan kedua mata yang berkaca – kaca.

“doa Ibu menyertaimu nak, semoga Gilang bisa meraih segala impian dan cita – cita yang diharapkan.” Ucap Ibuku sambil mengelus rambutku dengan sangat lembut.

Air mataku pun semakin deras mengalir dan aku langsung memeluk Ibuku lagi dengan sangat erat.

Gila, tubuh perempuan yang sudah mulai menua ini yang melahirkanku dan yang selalu mengajarkanku tentang arti kehidupan. Beliau yang selalu memelukku ketika aku sedang terpuruk dan patah semangat. Doa beliau yang selalu mengiringi jalanku, ketika banyak permasalahan yang datang menghadang. Ibuku, Ibuku dan Ibuku.

“teteskan air matamu ketika dirumah ini saja nak, jadi Ibu bisa membersihkannya dan menguatkanmu. Hadapilah semua masalahmu dengan senyuman, karena hanya senyummu yang bisa meluluhkan. Hadapilah masalahmu dengan hati yang lapang, karena hati ini milik pemuda yang kuat, penuh cinta dan penuh kasih sayang.” Ucap Ibuku sambil melepaskan pelukannya dan membelai dadaku dengan sangat lembut sekali.

“ingat nak, ibu tidak pernah melarangmu bersedih dan meneteskan air mata. Tapi hasrus didalam rumah ini saja.” ucap Ibu dan aku langsung menganggukan kepalaku pelan.

“Mas Gilang itu kuat Bu, gak mungkin Masku ini mudah meneteskan air mata. Apalagi gara – gara cinta.” Ucap Damar dan aku langsung melihat kearahnya.

“kamu itu ngomong apa de.?” Ucapku pura – pura marah sambil membersihkan air mataku.

“hahaha.” Damar tertawa dan langsung berlindung dibelakang Ibuku.

“kamu ya de.” Ucapku yang mencoba mengejar Damar tapi ditahan oleh Ibuku.

“Gilang.” Ucap Ibuku.

“Damar itu loh bu.” Ucapku dengan manja kepada Ibu.

“emang cinta itu apa.?” Tanya Lintang dengan wajah polosnya.

“Lintang.” Ucapku dan Ibu bersamaan sambil melihat kearah Lintang.

“hahaha.” Damar tertawa dibelakang Ibu dan Ibu langsung memutar tubuhnya, lalu menjewer kuping Damar.

“ampun Bu, ampun.” Ucap Damar sambil memegangi kupingnya. Walaupun jeweran Ibu tidak kuat, tapi Damar terlihat ketakutan.

“yang kuat Bu, yang kuat.” Ucapku.

“apasih Mas Gilang ini.” ucap Damar dengan mata yang agak melotot.

“hahaha,” giliran aku yang tertawa.

“ini ada apa sih.?” tiba – tiba Bapakku datang dari arah pintu depan dan Ibuku langsung melepaskan jewerannya ditelinga Damar.

“loh, kok Damar sama Lintang pakai baju sekolah yang baru.?” Tanya Bapak sambil melihat kearah Damar dan Lintang.

“iya pak, dibelikan sama Mas Gilang.” Jawab Lintang.

“terus baju Bapak mana.?” Ucap Bapakku bercanda.

“ada dikamar pak.” Ucap Ibuku dan aku langsung melihat kearah Ibu.

Ibu langsung masuk kedalam kamar dan keluar lagi sambil membawa baju batik yang sangat bagus sekali.

“wah, terima kasih ya nak.” Ucap Bapak sambil tersenyum kepadaku.

Aku lalu melihat kearah Ibu dan Ibu hanya mengangguk pelan kepadaku.

“sudah, mandi sana, dah sore ini.” ucap Ibuku kepadaku, lalu melangkah kearah dapur.

Akupun masuk kedalam dan diikuti Damar yang sekamar denganku, sedangkan Lintang masuk kekamar Bapak dan Ibu, karena kalau malam Lintang tidur disana.

Aku mengambil shampoo sachetanku yang sisa sebungkus dan sabun batanganku dilemariku, lalu aku keluar rumah menuju kesungai.

Jalan yang menuju kearah sungai ini, melewati rumah Bu Nyoto yang semok itu. rencanaku aku akan singgah sebentar kerumah beliau dan pamit kepada beliau.

Dengan hati yang senang dan berbunga – bunga, aku pun melangkahkan kakiku ini. entah kenapa hatiku seperti ini, apa karena beberapa hari yang lalu Bu Nyoto mengecup keningku.? Ahh, emang kenapa kalau beliau mengecupku.? Kan hanya sekedar mengecup dan beliau mungkin hanya menganggapku sebagai adiknya.

Ketika sampai dirumah beliau, tampak Bu Nyoto duduk didepan terasnya dan sedang menantikan seseorang. Wajah Bu Nyoto semakin terlihat cantik, karena dia habis berdandan.




Bu Nyoto



Kebaya warna merah muda yang dikenankannya, tampak serasi sekali dengan kulitnya yang putih bersih. Buah dadanya pun tampak menyembul dan isinya terasa mau tertumpah.

Akupun langsung berjalan kearah beliau dan beliau langsung berdiri sambil tersenyum kepadaku.

“Bu.” Teriak Pak Nyoto dari dalam rumah dan Bu Nyoto langsung melihat kearah dalam rumah.

Aku menghentikan langkahku dan Bu Nyoto kembali melihat kearahku sambil menggelengkan kepalanya. Beliau seperti melarangku untuk mendekatinya, dengan mimic wajah yang terlihat sedih.

“Bu.” Panggil Pak Nyoto lagi dan Bu Nyoto menatapku dengan sayu.

Lewat tatapan mata yang jaraknya tidak begitu jauh ini, aku berpamitan kepadanya dan aku mengucapkan teriamaksih. Bu Nyoto mengangguk pelan lalu membalikkan tubuhnya dan berjalan kearah dalam rumahhnya.

Hiufft, huuu.

Aku lalu meninggalkan rumah Pak Nyoto dengan hati yang tidak lega, karena aku tidak sempat mengobrol dengan Bu Nyoto walau sebentar saja.

Aku berjalan kearah sungai sambil membakar rokok kreteku. Dan ketika aku sampai disungai, tidak Joko disini dan sungai tampak sepi sekali. Aku lalu membuka pakaianku sampai menyisakan celana pendekku. Aku duduk dibatu yang besar sambil menghabiskan rokokku.

Setelah rokokku habis, aku lalu menyeburkan diri kesungai dan menikmati mandi sore yang terakhir kali sebelum esok aku berangkat. Aku menikmati segarnya air sungai ini sambil berendam dan punggungku aku sandarkan dibatu kali.

Pemandangan matahari yang tenggelam diufuk barat, terlihat berbeda seperti biasa. Cahayanya yang berwarna jingga, terlihat sangat bersedih seperti suasana hatiku. Entah aku bersedih untuk apa, yang jelas kedua mataku berkaca – kaca. Dan sebelum kesedihan ini berlarut, aku langsung mengentikan kegiatanku ini dan aku langsung keluar dari air. Aku memakai pakaianku dengan cepat dan aku langsung pulang menuju rumahku.

Malam hari dirumahku setelah aku menyiapkan pakaianku didalam tas, aku berbaring disebelah Damar yang tertidur lelap. Samar – samar terdengar suara radio tua dari kamar Bapakku, yang sedang memutar gending pulau ini. aku tidak bisa memejamkan kedua mataku dan aku langsung bangkit dari tidurku lalu keluar kamarku.

Suara radio makin terdengar jelas ketika aku diluar kamar. Radio itu merupakan satu – satunya barang elektronik yang ada dirumahku dan barang antic itu adalah barang kesayangan Ayahku. Kalau pagi beliau selalu menjemur baterai radio didepan rumah. dan kalau sore ketika beliau pulang dari sawah, beliau langsung mengambilnya dan memasangnya kembali diradio.

Dan diantara suara radio, samar – samar terdengar tangis Ibu dari arah kamarnya.

Hiufftt, huuu.

Aku lalu keluar rumah dan duduk dibalai – balai bambu, sambil membakar rokokku.

Beberapa saat kemudian, tampak satu mobil bison datang dan terparkir didepan rumah Pak Tejo. Rupanya mereka sudah balik dari Kota Pendidikan. Terlihat Bu Tejo keluar dari mobil dengan wajah yang sangat letih sekali.

Aku pun menganggukan kepalaku sambil tersenyum, ketika Bu Tejo melihat kearah rumahku. Dan seperti tadi pagi, Bu Tejo memalingkan wajahnya dengan sangat ketus sekali, sambil melangkah kearah rumahnya.



#cuukkk, terserahlah dia marah denganku atau tidak. Aku merasa tidak pernah punya masalah dengannya dan aku juga tidak pernah marah dengan sikapnya yang jutek selama ini. tugasku didunia ini hanya untuk membagi kebahagiaan yang ada didalam hatiku dengan ihklas. Masalah orang tidak mau menerimanya, itu terserah. Yang penting aku sudah mencoba melakukannya.
 
Terakhir diubah:
Selamat malam.

Updatenya tipis - tipis aja ya, sudah gak bisa banyak lagi, otaknya lagi gak mamu diajak bercanda.
Semoga masih bisa dinikmati.

Jangan lupa saran dan masukan.

Salam hormat dan salam persaudaraan.
 
Jav Toys
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd