Agen Terpercaya  
 
 
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

CERBUNG - TAMAT I M P I A N 1

silahkan

  • dijawab sebisanya

    Votes: 347 45,6%
  • pertanyaan yang berkaitan dengan cerita

    Votes: 538 70,7%

  • Total voters
    761
Jadi ingat dulu lulusan stm, tapi ga kuliah, wedi dolane keter yen kerjo nyambi kuliah 🤣

kalau dulu masuk stm emang niatnya habis lulus lsng kerja, kalau niatnya masih kuliah yang bukan kelas pekerja mendingan masuk sma banyak ceweknya ga cenggur kaya anak stm
 
Terakhir diubah:

BAGIAN 3
MULAI MELANGKAH



Aku terbangun ketika mendengar suara kesibukan dari arah dapur. Mataku langsung terbuka dengan lebar dan aku langsung melihat jam dinding tua yang ada dikamarku, pukul 04.45.

Uhh, masih pagi buta dan aku mencoba memejamkan kedua mataku lagi, tapi tidak bisa. Gila, padahal aku baru tertidur satu jam tapi aku gak ngantuk lagi. Semalam aku sangat susah sekali memejamkan mata, karena aku terus mendengar sesenggukan tangis Ibuku. Baru ketika suara tangis Ibu tidak terdengar, aku memaksakan mataku terpejam.

Sudahlah, lebih baik sekarang aku bangun aja. Aku menolehkan wajahku kearah kiri dan tidak ada Damar tidur disebelahku. Aku lalu bangun dan keluar kamarku, menuju kearah dapur. Tampak Ibu, Damar dan Lintang sedang memasak bersama.

Bau harum semerbak masakan Ibu langsung tercium dari hidungku. Ini masakan yang paling aku sukai dan Ibu memasaknya biasanya satu tahun sekali, yaitu pada saat hari raya. Soto ayam kampung dan lontong, makanan khas dari kabupaten sebelah.

Waw, tumben banget Ibu masak seperti ini dan dipagi buta seperti ini. dan tumben juga kedua adikku sudah bangun dan membantu Ibu didapur. Biasanya kesibukan didapur masih agak nanti, bukan pada saat matahari masih belum memunculkan sinarnya sama sekali seperti ini.

“loh, tumben sudah pada bangun.? Emang ada acara apa sampai masak seperti ini.?” tanyaku.

“sudah bangun nak.?” Tanya Ibuku tanpa menjawab pertaanyaanku dan kedua adikku hanya tersenyum saja.

“iyalah bu, kalau belum bangun mana bisa Gilang kedapur.” Ucapku sambil melangkah kearah mereka.

“sudah disiapin semua perlengkapan yang mau dibawa ke Kota Pendidikan.?” Tanya Ibuku lalu tersenyum. Wajah Ibu terlihat ceria dan tidak tampak kalau habis menangis semalam.

“sudah bu.” Jawabku singkat sambil membuka tutup panci yang ada diatas tungku.

Heemmm, aroma khas soto ayam buatan Ibu, makin menggoda seleraku. Soto yang masih mendidih dan direbus itu, mengeluarkan aroma yang sangat nikmat sekali. Aku lalu menutupnya dan membuka panci yang satu lagi. Tampak lontong yang juga masih direbus, membuat perutku langsung berbunyi.

“cek lagi, siapa tau ada yang belum dimasukkan.” Ucap Ibuku dan aku langsung melihat kearah Ibu.

“iya Bu,” ucapku sambil menutup panci dan kedua adikku tidak bersuara sama sekali. Mereka berdua memang tersenyum, tapi mata mereka tampak terlihat sangat sedih sekali.

Aku lalu melangkah kearah kamarku lagi, setelah itu mengecek semua bawaanku yang telah aku masukkan didalam tas punggung yang baru dibelikan Ibu kemarin. Pakaian baru dan beberapa pakaian lama, ijazah, serta perlengkapan mandi, sudah aku masukan. Uang tabunganku yang sudah aku tukarkan dan uang pemberian Bu Nyotopun, sudah aku lipat ditempat yang paling tersembunyi.

Terus apa lagi yang mau aku bawa.? Satu tas ini aja cukup kok. Tapi kenapa kemarin Trisno banyak sekali ya yang dibawanya.? Ah, kok aku jadi ngurusin orang lain sih.?

“Nak.” Panggil Ibuku dari arah belakangku.

Aku lalu menoleh dan melihat kearah wajah Ibu yang tersenyum.

“ya Bu.” Ucapku sambil membalikkan tubuhku dan membalas senyuman Ibu.

Ibu lalu meraih tangan kananku dengan tangan kirinya, lalu dengan tangan kanannya, Beliau menyelipkan sesuatu ditelapak tanganku yang terbuka, lalu memaksaku untuk menggenggamnya.

“apa ini Bu.?” Ucapku sambil mencoba untuk membuka telapak tanganku, tapi Ibu menahannya.

Sebenarnya aku bisa aja membuka paksa genggaman tangan Ibu ditelapak tanganku, tapi aku tidak melakukannya. Aku takut itu malah membuat tangan Ibu sakit dan Ibu akan marah kepadaku.

Sejenak aku merasakan apa yang ada digenggaman tanganku ini. Duh, ini kan uang kertas.? Untuk apa Ibu memberikan aku uang seperti ini.? kebutuhan Ibu kan masih banyak.?

“simpanlah nak, Gilang pasti membutuhkannya.” Ucap Ibuku lalu kembali tersenyum.

“u, u, untuk apa Bu.? Gilang ada uang dan Ibu gak perlu memberikan Gilang uang seperti ini.” ucapku dengan nada yang sangat sedih sekali.

“jangan merusak kebahagiaan Ibu dan Bapak dipagi ini, dengan penolakanmu nak.” Ucap Ibuku dan sekarang wajah beliau terlihat sangat serius sekali.

“ta, ta, tapi Bu.?” Ucapku.

“sekaya apapun seorang anak, setinggi apapun pendidikan seorang anak, dan sebanyak apapun pengalaman seorang anak, anak adalah seorang anak.”

“semiskin apapun orang tua dan serendah – rendahnya pendidikan orang tua, orang tua tetaplah orang tua.”

“orang tua masih mempunyai tanggung jawab kepada anaknya, sampai kapanpun juga.” Ucap Ibu dan aku langsung menundukkan kepalaku, dengan mata yang mulai terasa perih.

“Ibu tau Gilang ini anak yang sangat baik dan perhatian kepada keluarga. Kewajibanmu sebagai anak, sudah sangat luar biasa sekali. Terus apa salahnya kalau sekarang kamu mendapatkan hakmu sebagai seorang anak.?” Ucap Ibuku dan semakin membuat mataku perih, disertai air yang mau menetes dari kedua kelopak mataku.

Ibu langsung melepaskan genggamannya ditanganku dan langsung memelukku dengan sangat erat sekali.

“te, te, terimakasih sudah memberikan segalanya untuk Gilang Bu. Gilang sangat bersyukur terlahir dikeluarga yang penuh dengan cinta ini. ini adalah kekayaan yang tidak ternilai oleh apapun Bu.” Ucapku dengan suara yang bergetar dan dengan tetesan air mata yang mulai mengalir.

“dan anak – anak Ibu inilah, harta yang Ibu miliki. Harta yang tidak bisa dimiliki oleh orang lain.” Ucap Ibu dengan nada suara yang dibuat sekuat mungkin.

Boleh Ibu menguatkan nada suara supaya tidak terdengar sedih, tapi tidak dengan getaran didada Ibu yang sangat terasa ini. Beliau seperti menahan tangis didalam hatinya.

“cukup sudah tetesan air mata ini nak. Gilang sekarang boleh meneteskan air mata, tapi ketika nanti melangkah keluar rumah, tegakkan kepalamu dan tersenyumlah menghadapi dunia. Jadi ketika Gilang balik kerumah kelak, dunia yang akan tersenyum kepada kita.” Ucap Ibu sambil melepaskan pelukannya dan meraih kedua pipiku, lalu,

CUUPPP.

Ibu mengecup keningku dengan sangat lembut lalu membalikkan tubuhnya, dan keluar dari kamarku.

Akupun langsung terduduk dikasurku, dengan uang pemberian Ibu yang aku genggam sangat erat.

Gila, walaupun segala kebutuhan keluarga kami dibilang kurang dari cukup, tapi Ibu masih memberikan aku sangu untuk kuliahku.

Baiklah Bu, baik, uang dan doa restu yang Ibu berikan, akan menjadi penyemangatku untuk meraih semua impianku. aku akan kembali kerumah ini dan membuat semua keluarga kita tersenyum.

Hiuffttt, huuu.

Aku menunduk sambil memasukan uang pemberian Ibu yang tidak aku hitung jumlahnya ini, kedalam lipatan tasku.

“gimana nak.?” Ucap Bapak yang berdiri didepan pintu kamarku.

“eh, Pak.” Ucapku sambil membersihkan air mataku, lalu menutup tasku dan aku langsung mendekati Bapak.

“jangan jatuhkan semua impianmu lewat air matamu. Dunia ini akan mengejekmu, ketika itu terjadi. Air mata seorang laki – laki itu mahal nak, gak ternilai harganya.” Ucap Bapakku sambil mengelus rambutku.

Aku menarik nafasku dalam – dalam, lalu aku keluarkan perlahan. Aku pandang wajah Bapakku yang sudah mulai menua ini, lalu aku tersenyum.

“inilah Gilang, Gilang Adi Pratama. Anak kebanggaanku.” Ucap Bapakku lalu beliau memelukku.

Hiuffttt, huuu.

Sedih.? Memang sangat sedih yang aku rasakan.

Berat.? Tentu saja. siapa yang tidak berat meninggalkan keluarga dalam waktu yang tidak sebentar. Walaupun aku bisa saja balik seminggu sekali, karena jarak kota tempat aku tinggal dan Kota Pendidikan hanya beberapa jam.

Terus.? Ya harus melangkah. aku harus terus melangkah, berusaha dan berjuang untuk meraih semua impianku. Karena meraih impian tidak semudah yang dipikirkan orang. Tenaga, pikiran, keringat dan air mata pasti akan keluar, mungkin juga darah.

Hidup ini memang keras, tapi aku sudah terbiasa dengan kerasnya hidup dijalanan. Banyak yang aku dapatkan dijalan dan itu yang akan menjadi salah satu modalku.

Impianku ini mungkin seperti khayalan yang tidak akan tercapai, bagi orang yang kurang mampu. Tapi bagiku, apa yang tidak bisa didapat ketika tekad sudah membulat.

Hiuffttt, huuu.

“Mas, mandi disungai yo,” teriak Damar dari arah dapur.

“gak pakai teriak bisa kan.?” Omel Ibuku.

“hehehe..” dan Damar hanya tertawa saja.

Bapak lalu melepaskan pelukannya dan menepuk pundakku pelan.

“mandilah disungai dan buang semua beban yang mengganjal dihatimu. Biarkan semua beban itu mengalir dan terbuang jauh dari dalam pikiranmu.” Ucap Bapak lalu tersenyum dan langsung membalikan tubuhnya.

Aku lalu keluar kamar dan Damar sudah menungguku dengan peralatan mandinya. Kami berdua keluar rumah dengan kondisi yang masih gelap dan matahari masih malu menampakkan wujudnya.

“Mas.” Ucap Damar.

“kenapa.?” Tanyaku sambil mengeluarkan bungkusan rokok kretekku dan aku mengambilnya sebatang, lalu aku membakarnya.

“setelah lulus SMP nanti, Damar nganggur dulu ya.?” ucap Damar dan aku langsung menghentikan langkahku.

Damar juga berhenti lalu melihat kearahku sambil tersenyum.

“kamu gak mau langsung melanjutkan sekolah.?” Tanyaku dengan tatapan sedikit tajam kearahnya.

“bukan begitu mas.” Ucap Damar lalu tertunduk.

“gak ada biaya untuk sekolah.?” Tanyaku dan Damar tetap menundukan kepalanya.

“kamu jangan ngikutin jejakku yang menganggur dulu de. Kamu harus terus melanjutkan sekolah. Masalah biaya, nanti aku bantu. Aku kuliah nanti, kusambi sama cari kerja.” Ucapku lalu aku menghisap rokokku.

“terlalu banyak yang mas tanggung. Untuk biaya kuliah dan kehidupan sehari – hari aja, Mas harus cari duit sendiri. Jangan jadikan Damar sebagai beban Mas. Mas focus aja sama kuliah dan Damar juga focus cari duit dulu untuk melanjutkan sekolah.” Ucap Damar dengan suara yang pelan dan seperti ketakutan.

“kamu kira aku gak mampu.? Kalau kamu punya pemikiran yang seperti itu, lebih baik aku batalkan aja niatku untuk berkuliah.” Ucapku dan Damar langsung mengangkat wajahnya.

“ja, ja, jangan Mas.” Ucap Damar terbata dengan tatapan sayunya.

Aku langsung merangkul Damar dan mengajaknya berjalan lagi kearah sungai.

“kamu itu salah satu semangatku de. Kamu harus terus melanjutkan sekolah, tanpa perlu menganggur dulu seperti aku.” Ucapku sambil merangkulnya dan Damar hanya terdiam.

“aku juga mau setelah kamu lulus SMA, kamu melanjutkan kuliah. Begitu juga Lintang. Semua keturunan Bapak Darman, harus sekolah setinggi – tingginya. Masalah biaya, aku anak pertama yang akan memikirkannya.” Ucapku sambil merangkul lebih rapat Damar kearahku.

“bukanya aku sombong de, bukan. Keluarga kita bukannya keluarga miskin, jadi kamu gak usah minder. Keluarga kita hanya butuh sedikit kesempatan, dan kesempatan itu yang akan merubah semuanya.” Ucapku lagi.

“walaupun kesempatan itu kecil sekali.?” Tanya Damar.

“gak ada yang namanya kesempatan kecil atau besar. Semua kesempatan itu sama saja. semua tergantung dari diri kita masing – masing untuk merebutnya.” Jawabku.

“dan ingat, kesempatan untuk mencapai suatu tujuan, bukan hanya bagi mereka yang beruntung. Tapi juga bagi mereka yang mau meraihnya dengan bekerja keras.” Ucapku sambil melepaskan rangkulanku, lalu aku menghisap rokokku lagi.

“boleh kamu bermimpi, tapi jangan lama – lama tidurnya. kamu harus cepat bangun dan memujudkan semua impianmu.” Ucapku sambil memukul pelan pundak adikku.

“dapat kata – kata dari mana sampean mas.?” Tanya Damar. (sampean = anda)

“dari situ.” Ucapku sambil menunjuk kearah sungai yang ada dihadapan kami.

“air sungai itu tidak diam disitu dan terkurung dalam bongkahan tanah. air itu mengalir sampai jauh dan akhirnya bisa merasakan berada diluasnya samudra. Dan samudra itu, tempat dimana air bisa merasakan luasnya kenikmatan kehidupan.”

“dan kamu tau.? Sebelum air sampai kesamudra, begitu banyak halangan yang harus dilewati dan begitu banyak bebatuan yang menghadangnya. Belum lagi ketika air itu melewati perkotaan, mereka akan melewati limbah – limbah kehidupan.” Ucapku sambil menghentikan langkahku dan berdiri dipinggir sungai.

“Mas ini ngomong apasih.? Kok Damar bingung.” Ucap Adikku sambil mengerutkan kedua alisnya.

“gak tau, Mas Juga bingung. Mungkin karena bangun tidur makanya Mas ngelantur.” Ucapku lalu tersenyum.

“aneh.” Ucap Damar lalu melepaskan pakaiannya dan langsung menceburkan dirinya disungai.

BYURR,

Aku masih berdiri dipinggir sungai dan melihat kearah matahari yang mulai menampakan warna jingga dilangit, tanda dia akan memperlihatkan wujudnya yang agung.

Aku menarik dalam – dalam rokok kretekku, lalu mengeluarkan asap tebal dari mulutku. Asap rokokku pun menyatu bersama embun pagi yang sangat sejuk ini.

“mas gak mandi.?” Tanya Damar sambil memunculkan wajahnya dari dalam sungai.

“entar, habisin rokokku dulu.” Ucapku lalu menghisap rokokku lagi.

Setelah rokokku habis, aku lalu membuka pakaianku dan.

BYURR,

Aku menyelam kedalam sungai dan menikmati dinginnya air dipagi ini, yang membuat pikiranku segar kembali. Aku membuang semua beban dan semua ganjalan yang ada dihati, dan membiarkan semua mengalir mengikuti air yang mengalir.

“kata Ibu, setelah mandi Mas disuruh pamit dulu kerumah mbah.” Ucap Damar sambil menggerakkan tubuhnya di air, ketika aku memunculkan kepalaku.

“iya.” jawabku singkat lalu kembali aku menyelam kedalam air.

Dan setelah selesai mandi, kami berdua mengeringkan tubuh dan bersiap untuk kerumah Mbah yang ada dipinggiran desa.

Mbah yang kami datangi ini, orang tua dari Bapakku. sedangkan orang tua dari Ibuku, tinggal di Desa Jati Bening.

“Mas gak pamit ke desa Jati Bening.?” Tanya Damar sambil melangkah kearah pinggiran desa bersamaku.

“sudah kemarin lusa.” Jawabku.

“oo,” ucap Damar sambil mengangguk pelan.

“jadi bagaimana.?” Tanyaku.

“apanya Mas.?” Damar bertanya balik.

“kamu gak nganggur dulukan setelah lulus SMP.?” Tanyaku.

“iya.” jawab Damar singkat.

“iya apanya.?” Tanyaku.

“iya, Damar lanjut terus.” Ucap Damar sambil melihat kearahku.

“bagus.” Ucapku sambil menepuk pundak adikku pelan.

Matahari sudah mulai menampakkan wujudnya dan kami juga sampai didepan rumah Mbahku yang ada dipinggiran desa.

“Mbah Kung.” Ucapku ketika melihat Mbah Kung sedang duduk diruang tengah sambil menikmati rokok kelobotnya.

“kapan kamu berangkat ke Kota Pendidikan le.?” Tanya Mbah Kung tanpa basa basi ketika melihatku berdiri didepan pintu.

“sebentar lagi Mbah.” Ucapku sambil melangkah masuk dan meraih tangan kanan Mbah Kung lalu menciumnya, lalu bergantian Damar yang meraih tangan Mbah Kung dan menciumnya juga.

“sudah siap – siap.?” Tanya Mbah Kung lalu meraih cangkir yang berisi kopi dan meminumnya.

“sudah.” Jawabku singkat lalu tersenyum.

“le.” Ucap Mbah Putri yang keluar dari arah dapur.

“Mbah Putri,” ucapku lalu aku meraih tangan Mbah Putri juga dan menciumnya.

“jadi berangkatnya.?” Tanya Mbah Putriku.

“jadi Mbah, sebentar lagi saya berangkat.” Jawabku dan Mbah Kung langsung berdiri dan masuk kedalam kamarnya.

“sebentar dulu ya le.” Ucap Mbah Putri lalu masuk lagi kedalam dapur.

Beberapa saat kemudian, Mbah Putri keluar dengan membawa karung yang entah berisi apa.

“nopo niku mbah.? Pari ta.? Kate diselebno.?” (apa itu mbah.? Padi kah.? Mau digiling jadi beras.?) tanyaku.

“ini sudah jadi beras, ini buat sangumu.” Ucap Mbah Putri.

“jangan pakai begitu Mbah, Gilang hanya butuh doa dari Mbah Kung dan Mbah Putri.” Ucapku dan Mbah Putri langsung meletakan karung beras itu didepanku, lalu memegang pipiku dengan sangat lembutnya.

“tanpa diminta pun, doa ini selalu untukmu le.” Ucap Mbah Putri lalu tersenyum kepadaku.

“tapi kebutuhan Mbah kan masih banyak, buat apa Mbah kasih saya sangu beras.?” Ucapku.

“kebutuhan apa sih le.? Gak ada yang kami kejar dan kami kumpulkan lagi di dunia ini. kamu itu loh yang banyak kebutuhan.” Ucap Mbah Putri sambil menowel hidungku.

“Mbah.” Ucapku dengan suara yang sangat lembut sekali.

“mar, bawa beras ini le.” Ucap Mbah Putri ke Damar dan Damar langsung mengangkat beras itu dengan senangnya.

“terimakasih Mbah.” Ucapku dan Mbah Putri kembali memegang pipiku.

“kalau Mbah Kung kasih sangu ini aja ya.?” Ucap Mbah kungku yang keluar dari kamarnya, sambil menyodorkan sebuah biola kepadaku, lengkap dengan kotak kayunya. Biola tua itu peninggalan dari buyutku.

“serius ini kung.?” Tanyaku dengan senangnya, karena aku sangat suka sekali bermain biola. Dan biola milik Mbah Kungku ini sering aku mainkan ketika aku main kesini.

“bawalah le, mungkin dengan biola ini ada sama kamu, lebih bermanfaat dan Bapakku pasti akan senang sekali diatas sana.” Ucap Mbah Kung dan aku langsung mengambilnya dengan senang sekali.

“sarapan dulu le.” Ucap Mbah Putri.

“enggak Mbah, terimakasih. saya langsung aja, soalnya sebentar lagi mau berangkat. Bapak sama Ibu pasti sudah nunggu dirumah.” Ucapku.

Aku gak mau lama – lama disini, dari pada nanti ada acara tangis – tangisan lagi. Untungnya kedua mbahku paham dan beliau langsung menganggukan kepala.

Aku lalu pamit dan mencium tangan kedua mbahku ini, setelah itu aku langsung balik kerumah bersama Damar.

“lama banget sih mandinya.?” Ucap Lintang yang sudah menunggu didepan rumah.

“habis dari rumah Mbah Kung.” Jawabku dan aku langsung merangkul Lintang dengan tangan kanan, sedangkan tangan kiriku menjinjing kotak biola.

“loh, dapat sangu dari Mbah Kung sama Mbah Putri.?” Tanya Bapakku ketika melihat aku membawa kotak biola dan Damar membawa beras yang mungkin beratnya sekitar lima kilo.

“iya pak, buat Mas Gilang. Hehehe.” Sahut Damar sambil meletakkan berasnya didekat kamar.

“ya sudah, kita makan aja dulu.” Ucap Ibu kepada kami.

Dan dimeja dapur, tersaji soto ayam dan lontong yang sangat nikmat sekali. Kami makan pagi ini dengan diiringi obrolan dan candaan ringan. Tidak ada kesedihan yang nampak diwajah kedua orang tuaku dan kedua adikku. Mereka semua seperti ingin melepaskan kepergianku dengan senyuman dan tidak ingin membebani aku dengan kesedihan.

Setelah makan pagi, akupun masuk kekamar dan mengganti pakaian serta menyiapkan semua barang bawaanku. Satu tas punggung, satu gitar dan satu biola. Oh iya, satu lagi, beras bawaan Mbah Putri yang ada didepan kamar.

Aku memandang seluruh kamarku ini sejenak, sambil membakar rokok kretekku. Hem, aroma lantai tanah kamarku ini pasti akan membuatku semakin rindu dengan rumah ini. kehangatan, keceriaan, canda, tawa dan, cukup – cukup, nanti aku akan sedih dan berat meninggalkan rumah ini.

Aku mematikan rokokku, lalu memakai tas punggungku, setelah itu menggantungkan gitar dipundak kanan dan kotak biola ku jinjing ditangan kiri. Aku menarik nafasku dalam – dalam, lalu aku keluar kamarku.

Bapak, Ibu dan kedua adikku, menyambutku diruang tengah dengan senyuman hangat mereka.

“kok baju barunya gak dipakai.?” Tanya Ibuku.

“Nggah ah bu, sayang. Nanti aja kalau sudah mulai masuk kuliah, baru dipakai.” Ucapku yang memakai kaos oblong, celana levis butut dan sepatu warior.

“kalau sayang, dibungkus plastik terus dipajang.” Ucap Bapak dan aku hanya tersenyum.

“Mas, dikota pendidikan kan dingin. Jadi Mas pakai ini ya.” ucap Lintang sambil memberikan aku sebuah switer yang agak tebal.

“kamu beli de.?” Tanyaku.

“sudah gak usah banyak tanya.” Ucap Ibuku dan aku hanya menunduk sebentar, lalu aku mengambil switer ditangan adik perempuanku yang cantik ini.

“oh iya, kopinya belum diminum loh.” ucap Ibuku lalu membalikkan tubuhnya dan melangkah kearah dapur.

“sini Mas, barangnya aku bawa ke becak Cak To.” Ucap Damar.

“loh siapa yang panggil.?” Tanyaku.

“kemarin sudah dipesan sama Ibu, itu Cak To nya sudah didepan rumah.” Ucap Damar sambil meraih gitarku dan kotak biolaku, lalu membawanya keluar rumah.

Dan beberapa saat kemudian, Ibu keluar dari dapur sambil membawa segelas kopi panas ditangannya. Aku lalu meminum kopi itu dan aku sangat menikmatinya sekali. Kopi cinta, cinta dari keluargaku.

“Gilang pamit ya Bu.” Ucapku sambil meletakkan gelas dimeja, lalu berdiri dihadapan Ibu.

“hati – hati ya nak. Raihlah impianmu dan doa Ibu selalu menyertaimu.” Ucap Ibu dan aku langsung meraih tangan beliau dan menciumnya. Ibu memegang kedua pipiku dan langsung memelukku dengan erat.

“sudah ah. entar nangis lagi loh.” celetuk Bapak dan Ibu langsung melihat ke arah Bapak sambil tetap memelukku.

“siapa yang nangis Pak.?” Tanya Ibu dan aku langsung membalas pelukan Ibu..

“hiks, hiks, hiks,” tangis Ibu langsung pecah sambil menyembunyikan wajahnya didadaku.

“tuh kan,” ucap Bapak dan aku hanya mengelus punggung Ibu dengan pelan. Aku juga sebenarnya ingin menangis, tapi aku menahannya sekuat tenaga agar Ibu tidak semakin bersedih.

“Bu.” Panggil Bapak dengan suara yang sangat lembut.

Hiuft, huu.

Terdengar Ibu menarik nafas panjang, lalu mengeluarkannya sambil melepaskan pelukannya. Aku juga melepaskan pelukanku dan,

CUUPPP,

Aku langsung mengecup kening Ibu dan Ibu langsung tersenyum dengan deraian air mata yang mulai terhenti.

Aku lalu berdiri dihadapan Bapak, sambil meraih tangan Bapak dan menciumnya.

“kamu pasti bisa le.” Ucap Bapak sambil mengelus rambutku.

Aku lalu memeluk beliau dan beliau hanya menepuk punggungku pelan, setelah itu kami berdua melepaskan pelukan ini.

“Mas.” Ucap Lintang yang langsung menghambur dipelukanku.

Aku membalas pelukan tubuh mungil adikku ini dan aku mengelus rambut panjangnya itu.

“Lintang gak nangis kok mas.” Ucap Lintang dengan suara yang bergetar.

“iyalah, kalau nangis hidungmu tambah gak kelihatan.” Ucapku sambil mengeratkan pelukanku.

“ihhh, jahat.” Ucap Lintang dengan manjanya.

Aku lalu melepaskan pelukanku dan aku langsung mengecup kening adikku ini.

CUUPPP,

“yang pinter sekolahnya ya.” ucapku sambil mencubit pelan kedua pipinya.

“iya, Mas juga yang rajin kuliahnya. Jangan pacaran aja.” Ucap Lintang dan aku langsung melotot kearahnya.

“anak kecil kok tau pacaran sih.?” ucapku sambil memencet hidungnya.

“iiihhh.” Ucap Lintang meraju.

Aku lalu menyodorkan tanganku kearah wajahnya dan Lintang menyambutnya lalu mencium punggung tanganku.

Setelah itu giliran Damar yang memelukku dan aku langsung membalasnya sambil berbisik sesuatu.

“kamu sekarang yang jadi anak tertua dirumah ini, beri contoh yang baik buat Lintang dan bantu kedua orang tua kita. Jangan lupa, sekolahmu yang rajin.” Ucapku sambil mengelus punggungnya pelan.

“iya Mas.” Ucap Damar pelan dengan suara yang bergetar.

Kami berdua melepaskan pelukan ini dan aku langsung menatap satu persatu wajah orang – orang yang menyayangiku dengan senyumku yang tersungging dibibir.

“Gilang pamit.” Ucapku lalu aku membalikkan tubuhku dan keluar dari rumahku.

Gemuruh didalam hatiku ini, membuatku melangkah tanpa menunggu jawaban dari mereka semua. Aku takut berlama – lama lagi, dan tangisku pasti akan pecah. Aku juga tidak mau diantar oleh semua keluargaku, walaupun itu hanya ke terminal kabupaten. Dirumah aja sesedih ini, apalagi ketika aku naik bis sambil melihat wajah mereka semua. Bisa banjir air mata nanti.

Aku tersenyum kepada Cak To yang sudah menungguku dan ketika aku akan naik ke becaknya, aku lihat beras yang dibawakan Mbah Putri tadi, terlihat makin banyak isinya.

Aku lalu menoleh kearah pintu rumah dan semua keluargaku hanya melambaikan tangan sambil tersenyum.

Astaga, kenapa lagi berasnya ditambahin.? Kenapa gak buat dirumah aja sih.? Tapi kalau kali ini aku bersuara, pasti Ibu akan mengomel. Aku pun naik ke becak Cak To sambil melambai kearah keluargaku, dan becakpun berjalan pelan meninggalkan surga duniaku itu.

“mau ngamen lang.?” tiba – tiba suara Bu Tejo terdengar dari depan pintu rumahnya.

Hehe, tumben banget Bu Tejo menegurku.? Biasanya dia ketus sama aku. Tapi biarlah, sapaannya ini membuat aku semakin bersemangat mengejar impianku. Hehe.

“iya bu, hehe.” Ucapku lalu aku tersenyum dan wajahnya langsung terlihat kecut.

“orang mau keluar kota begini kok dibilang mau ngamen, matanya ketutupan apa sih Bu Tejo itu.?” gerutu Cak To sambil mengayuh becaknya.

“haha, biarkan aja Cak, yang penting hatinya senang.” Ucapku.

“menyenangkan hati, gak perlu dengan cara merendahkan orang.” Sahut Cak To dan aku hanya tersenyum saja.

“singgah tempat Joko cak.” Ucapku.

“oke.” Sahut Cak To.

“mau ngamen kemana lang,? kok bawa tas.?” Ucap tetanggaku lainnya, ketika becak yang aku tumpangi lewat depan rumahnya. Akupun hanya tersenyum saja kepada laki – laki yang seumuran Cak To itu.

“ngamen mripatmu iku.” (ngamen matamu itu.) Omel Cak To dan orang yang menegurku itu langsung terkejut dibuatnya.

“Cak.” Ucapku sambil menoleh kearah Cak To dibelakangku.

“aku itu gak senang kalau lihat orang lain merendahkan orang yang mau mengejar impiannya. Kalau mereka gak mau mendoakan keberhasilan orang lain, cukup diam aja. gak usah bersuara apalagi untuk mematahkan semangat.” Ucap Cak To dan aku langsung melihat kearah depan lagi.

Aku lalu mengambil rokok kretekku dan membakarnya, lalu aku menghisapnya pelan.

“setiap orang mempunyai cara tersendiri untuk membangkitkan semangat orang lain Cak. Entah dengan ucapan selamat, semangat, atau malah mencaci. Kalau kita sudah mempunyai tekat yang bulat, justru itu makin membuat kita semangat.” Ucapku.

“itu yang bikin aku marah lang, kamu yang nrimo seperti ini selalu saja direndahkan seperti itu.” omel Cak To. (Nrimo = menerima)

“ngga ada yang merendahkan aku Cak.” Ucapku.

“pancet ae awakmu lang.” (tetap aja kamu itu lang.) ucap Cak To yang maksudnya, aku selalu saja membela mereka yang merendahkan dan bukannya membalas mereka dengan kemarahan.

“budal ta lang.? semangat yo.” (berangkat kah lang.? semngat ya.) ucap salah satu temanku yang berdiri didepan rumahnya.

“siap, suwon yo.” (siap, terimakasih ya.) ucapku sambil mengacungkan jempolku kearahnya.

“lek ngono iku kan penak.” (kalau begitu kan enak) ucap Cak To dan aku hanya menggelengkan kepala pelan.

Beberapa saat kemudian, kamipun sampai didepan rumah Joko.

“Joko ten pundi Pak.?” (Joko Dimana Pak.?) tanyaku kepada Bapaknya Joko yang duduk didepan balai – balai bambu rumahnya.

“loh, tak kiro ngamen bareng awakmu.” (loh, aku kira ngamen bareng sama kamu.) ucap Bapak Joko dengan santainya.

“oh, enggeh pak.” (Oh iya pak.) ucapku yang kebingungan.

“kulo pamit pak.” (saya pamit Pak.) Ucapku kepada Bapaknya Joko dan beliau hanya melambaikan tangannya saja.

Bapaknya Joko ini orang cuek dan gak terlalu banyak bicara, makanya aku tidak turun dari becak. Sebenarnya aku tadi mau turun, tapi karena ucapan Bapak Joko seperti itu, lebih baik aku tetap dibecak. Dari pada Ibunya keluar dan aku ditanyain macam – macam, bisa kesiangan aku keterminalnya.

Cak To pun mengayuh becaknya lagi, kearah terminal.

Hiufftt, huuu.

Akhirnya aku tinggalkan desa yang sebenarnya sangat damai dan tenang ini. Walaupun ucapan sebagian penduduk desa ini panas didengar, sebenarnya mereka itu orang – orang yang baik. Akupun merasa tidak pernah punya masalah dengan semua penduduk desa ini. bagiku semua orang didesa ini adalah keluargaku.

Beberapa saat kemudian, kamipun sampai didepan terminal kabupaten. Aku lalu turun dan menurunkan semua barang bawaanku. Setelah itu aku merogoh uang yang ada dikantong depanku, lalu mengambil beberapa lembar dan aku serahkan ke Cak To.

“gratis.” Ucap Cak To menolak pemberianku.

“kok gitu Cak.?” Tanyaku.

“biarkan kayuhan kakiku dibecakku ini, mengantarkanmu kejalan impian yang kamu tuju, dengan keikhlasan hatiku lang. semoga kamu bisa membuat bangga orang – orang yang mendukung dan menyayangimu.” Ucap Cak To lalu tersenyum.

“sampean jangan buat aku berhutang budi Cak.” Ucapku.

“justru aku yang berhutang budi sama kamu. Kamu mempunyai semangat yang sangat luar biasa dan anakku harus mempunyai semangat seperti kamu.” Ucap Cak To sambil membelokan becaknya, lalu menaikinya dan meninggalkan aku yang terbengong mendengar ucapannya itu.

Gila, banyak banget orang yang mendukung dan mendoakan aku dijalanku ini. aku tidak akan membuat mereka semua kecewa dan aku harus membuat mereka bangga.

Aku lalu mengangkat semua barang bawaanku ini dan masuk kedalam terminal. Oh iya, Joko dimana ya.? bukannya dia kemarin pulang bareng sama aku.? Masa dia balik lagi dan mengamen sendirian diterminal ini.?

Aku lalu melihat kearah sekeliling sambil terus berjalan. Tidak ada wajah Joko yang terlihat dan tidak terdengar suara gendang paralon andalannya. Apa mungkin dia sedih aku tinggal dan gak mau aku pamiti.? Tapi kemana ya dia.?

“lang.” panggil Cak Ndut yang berdiri disamping bisnya.

“ya Cak.” Ucapku sambil melangkah kearahnya.

“kamu naik bisku aja.” Ucap Cak Ndut.

“iya Cak, tapi sampean lihat Joko gak.?” Tanyaku.

“loh kan terakhir kemarin siang sama kamu.” Ucap Cak Ndut sambil meraih kotak biolaku dan aku menyerahkannya. Cak Ndutpun langsung berjalan kearah bis bagian depan kanan.

“iya, tapi dia gak pulang kerumahnya.” Ucapku yang berjalan kearah kiri lalu naik kebis Cak Ndut.

“mungkin dia nangis kamu tinggal.” Ucap Cak Ndut yang duduk dibagian sopir.

“masa dia secengeng itu sih.?” ucapku sambil meletakkan tas, gitar dan beras didekat kotak biolaku dibelakang kursi Cak Ndut.

Aku lalu duduk dan satu persatu penumpang, mulai naik dan memenuhi bis Cak Ndut ini.

BRUMM, BRUM, BRUM,

Cak Ndut menginjak gas bisnya, untuk memanaskan mesinnya.

Hiuft, huuu.

Aku berangkat tanpa melihat wajah sahabatku itu, gila.

BRUMM, BRUM, BRUM,

Cak Ndut memasukan persenelingnya lalu bis berjalan pelan.

“LANG,” teriak seseorang yang berlari mengejar bis ini.

Orang itu berlari sambil membawa gendang paralon dan tas punggung dipundaknya.

“cok, itu Joko Cak.” Ucapku kepada Cak Ndut dan Cak Ndut memperlambat bisnya, lalu kenek Cak Ndut membuka pintu bagian depan samping kiri.

“asu, aku ditinggal. Bajingan. Hu, hu, hu, hu.” Omel Joko ketika sudah berada didalam bis dan berdiri tidak jauh dari aku.

BRUMM, BRUM, BRUM,

Bispun berjalan lagi, meninggalkan terminal kabupaten.

“aku kerumahmu cok, kamu gak ada.” Ucapku sambil mengarahkan telapak tanganku ke Joko dan Joko langsung menggenggamnya erat, lalu dibuat tumpuan untuk berjalan mendekat kearahku yang sedang duduk ini.

“telek.” (taik) gerutu Joko sambil melewati aku lalu duduk disebelahku. Dia meletakkan gendang paralonnya dan tas punggung yang ada dipundaknya, didekat barang bawaanku.

“awakmu kate kuliah bareng aku to.?” (Kamu mau kuliah bareng sama aku kan.?) Tanyaku dengan senangnya.

“gak cok, aku ngeterno awakmu ae.” (Nggak cok, aku mau ngantarkan kamu aja.) jawabnya dan aku tau dia berbohong. Tidak mungkin dia cuman mengantarkan aku, tapi membawa tas punggung dan bawaaan didalam tasnya terlihat banyak sekali.

“gak usah rame ae, aku gak iso nyangui awakmu wong loro. Njaluk’o nang penumpang kono.” (gak usah ribut aja, aku gak bisa kasih kalian berdua sangu. Minta sama penumpang sana.) ucap Cak Ndut yang menyuruh kami untuk mengamen.

“sektalah Cak, aku tak embe’an disek.” (sebentar dulu Cak, aku mau tarik nafas dulu.) jawab Joko sambil mengatur nafasnya.

“lah ket mau ga ambe’an ta Jok.?” (lah dari tadi gak nafas kah Jok.?) Tanya Cak Ndut sambil tetap konsentrasi menyetir.

“asuu,” gerutu Joko sambil melihat kearah kotak biolaku.

“cok, entok warisan koen cok.?” (cok, dapat warisan kamu cok.?) Ucap Joko sambil mengambil kotak biolaku dan membukanya.

“dititipi aja itu.” jawabku.

“asu, ayo ndang ngamen.” (anjing, ayo cepat ngamen) Ucap Joko sambil menyerahkan biolanya kepadaku dan dia mengambil gitarku.

“simpan aja biolanya, kita pakai gitar sama gendang.” Ucapku sambil meletakkan biolanya lagi dikotak, lalu mengambil gitarku ditangan Joko.

“ayo wes.” (Ayo sudah) Ucap Joko dan kami berdua langsung berdiri.

“selamat siang Bapak – Bapak, Ibu – Ibu, Mba – Mba dan Mas – Mas. Selamat siang juga buat Bapak sopir dan Mas kondektur. Mohon maaf kalau kami mengganggu istirahatnya. Ijinkan kami untuk mengeluarkan suara indah kami dan menghibur hati yang sedang gundah gulana.” Ucap Joko membuka omongan dan tidak ada jawaban dari semua penumpang bis.

DUNG, TAK, DUNG, Joko menabuh gendang paralonnya

JRENG, aku memetik gitarku

“SEMONGKO.” Teriak Joko.

“SEMANGAT SAMPAI BONGKO,” sahutku yang diikuti oleh kondektur dan Cak Ndut.

(ilustrasi cara mengamen Gilang dan Joko dipulau ini)



Akupun mulai bernyanyi sambil memetik tali senar gitarku dan dan Joko mulai menabuh gendangnya.

Ceritane wayang jawi, Ing projo ngalengko dirojo.

Rahwono rojo arane, Gawe geger nyolong Shinto.

Anoman cancut tumandhang. Ngalengko wis dadi awu

Kobong gedhe jeroning projo, Ceritane wayang romoyono.

Ing negoro ngalengko dirojo, Ratu buto rahwono rojo

Gawe geger nyolong dewi Shinto.



Anoman si kethek putih, Mlebu taman, shinto dijak mulih

Konangan indrajit lan patih, Ning anoman ora wedi getih.



Eh lhadalah ngalengko diobong, Togog bilung wa a o.

Podho pating domblong, Omah gedhe kabeh dadi areng.

Dosomuko hare gereng-gereng



Iyo wae yaeya, iyo wae yae, Iyo wae yae yaiyo yae

Iyo wae yaeya iyo wae yae, Iyo wae yae yaiyo yae




Aku berjalan kearah belakang bis, sambil mengarahkan plastik kearah para penumpang.

“terimakasih Bapak – Bapak dan Ibu – Ibu. semoga kalian semua selamat sampai tujuan, karena saya juga dalam bis ini sampai akhir tujuan kita semua. Buat Bapak sopir, pelan – pelan pak. Impian kami terletak di injakan pedal gasmu. Tali gas dol, impian bisa mbrodol (berhamburan)” Ucap Joko dan disambut senyuman oleh semua penumpang.

“asu,” gerutu Cak Ndut.

Aku dan Joko hanya tertawa lalu duduk dibelakang Cak Ndut lagi.

“dapat uang dari mana daftar kuliah Jok.?” Tanyaku sambil meliriknya.

“siapa yang mau kuliah.? Aku cuman mau ngantar kamu, biar gak tersesat.” Jawab Joko sambil meletakkan gitar dilantai bis.

Aku langsung melihatnya dengan tatapan yang sangat menyelidiki.

“hiuufftt, huuu.” Joko menarik nafasnya agak dalam, lalu mengeluarkannya pelan.

“aku mari ngedol sapine Mbahku.” (aku habis jual sapi mbahku.) Bisik Joko tapi agak keras.

“cok.” Aku dan Cak Ndut memaki bersama.

“Mbahmu gak ngerti yo.?” (Mbahmu gak tau ya.?) tanyaku dan Joko hanya menggelengkan kepalanya pelan, sambil tersenyum.

“asu,” makiku sambil menggelengkan kepalaku pelan dan senyum Cak Ndut terlihat dispion tengah bis yang besar ini.

“loro seng tak dol cok. Hehehe.” (dua yang kujual cok, hehehe.) Ucap Joko sambil mengacungkan dua jarinya, lalu tertawa dengan tidak merasa berdosa sama sekali.

“KIREK.” (ANJING.) makiku, kondektur dan Cak Ndut dengan kompaknya.

“HAHAHAHAHA.” lalu kami berempat tertawa dengan kerasnya.



#cuukkk, kulangkahkan kakiku bersama sahabatku yang agak geser otaknya ini. Kami berdua melangkah meninggalkan desa, menuju kota yang belum kami kenal seluk beluknya. Demi satu impian, impian tentang perubahan.
 
Terakhir diubah:
Selamat sore.
Update tipis - tipis ya.

Selamat menikmati dan semoga masih bisa dinikmati.
Selamat berakhir pekan dan selamat berkumpul dengan keluarga.

Salam hormat dan salam persaudraan.
:beer: :beer: :beer:
 
Jav Toys
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd