Agen Terpercaya  
 
 
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

CERBUNG - TAMAT I M P I A N 1

silahkan

  • dijawab sebisanya

    Votes: 347 45,6%
  • pertanyaan yang berkaitan dengan cerita

    Votes: 538 70,7%

  • Total voters
    761

BAGIAN 8
SEMANGAT


Intan

“udah mau berangkat ya.?” tanya Intan sambil merapikan kemeja yang aku kenakan ini.

“iya, huaaa, hem, nyam, nyam, nyam,” jawabku lalu aku menguap sambil menutup mulutku dengan tangan kananku.

“sudah tau mau ujian masuk, malah larut banget pulangnya.? bau minuman lagi mulutnya.” Ucap Intan sambil meraba dadaku, untuk lebih merapikan kemejaku.

“huu, dingin.” Ucapku sambil menggidikkan tubuhku dan aku tidak menjawab ucapan Intan.

Pagi ini memang terasa sangat dingin sekali dan lebih dingin dari pada pagi – pagi sebelumnya. Kata orang - orang, kalau masuk musim kedatangan mahasiswa baru seperti ini, hawa kota pendidikan memang lebih terasa dingin. Entah kenapa seperti itu, mungkin kota ini ingin memberikan sambutan bagi mereka yang baru menginjakan kaki dikota ini.

Huuu.

Tubuhku yang terasa sangat dingin apalagi aku baru mandi subuh tadi, tiba – tiba terasa hangat karena Intan langsung memelukku. Intan memelukku sambil mengelus punggungku dengan sangat lembutnya. Wajah sampingnya menempel didadaku dan kepala atasnya tepat dibawah hidungnya. Harum sekali yang terasa tercium dihidungku, ketika aku mencium aroma rambut dari Intan.

Gila, khusus untuk aku, selain mendapatkan sambutan hawa dingin dari kota ini, aku juga mendapatkan sambutan kehangatan dari seorang wanita bernama Intan. Walaupun wanita ini berbeda alam denganku, tapi pelukannya sangat menghangatkan tubuhku ini.

Kedua tanganku langsung membalas pelukan Intan dan tubuhnya terasa sangat dingin sekali.

“tubuhmu dingin banget tan, tapi kenapa bisa memberikan kehangatan?” tanyaku dan Intan makin mengeratkan pelukannya.

Dada Intan yang merapat didadaku, terasa sangat kenyal dan langsung membuat tubuhku merinding.

“empuk banget.” Gumamku.

“hem.?” Ucap Intan sambil mengangkat wajahnya dan melihat kearahku.

Intan menatapku sambil melebarkan kedua matanya dan kepalanya agak miring sedikit.

“hehe.” Akupun hanya tersenyum saja, melihat ekspresi wajah Intan yang sangat cantik ini.

“apanya yang empuk.?” Tanya Intan dengan suara yang menggoda dan menggesekkan dadanya didadaku.

“jangan mulai ya.?” ucapku dan Intan langsung tersenyum dengan manisnya.

“kamu yang mulai kok aku yang disalahin.?” Tanya Intan dan lagi – lagi dengan nada suara yang sangat menggoda sekali.

“bukannya aku menyalahkan.” Ucapku dan Intan langsung melepaskan pelukannya, tapi tubuhnya tetap merapat ditubuhku.

“terus kenapa tadi bilang empuk.?” Tanya intan dengan tangan kanannya membelai pipi kiriku.

Uhh, sudah hawanya seperti ini, Intan malah memancing aku. kurang ajar.

“sudah ya, sudah. Aku mau ujian, nanti aku gak konsen lagi.” Ucapku dan Intan langsung menghentikan belaiannya, sambil terus tersenyum.

“hihi, iya, iya.” ucapnya lalu.

CUUPPP,

Intan mengecup bibirku pelan, lalu tersenyum dengan sangat manjanya. Gila, kok sekarang malah dibibir sih ngecupnya.? Biasanya kan cuman dipipi.? Duh, kok makin dalam aja sih permainan hati ini.?

“semoga lancar dan diterima ya.” ucap Intan sambil menatap mataku.

“kalau gak pakai ngecup dibibir, bisa kan.?” Ucapku dan aku masih memeluk tubuh Intan.

“bisa aja, asal kamu.” Ucapnya terpotong sambil meraba bibirku.

“ingat kalau ada kamu menunggu disini. Itukan yang mau kamu omongin?” ucapku sambil melebarkan kedua mataku.

“hihihi.” Intan tertawa lalu aku melepaskan pelukanku dan mundur perlahan.

“gimana aku gak ingat kalau kamu terus ada didekatku, ketika aku ada dirumah ini.?” tanyaku.

Intan memajukan tubuhnya lagi, lalu.

CUUPPP.

Intan mengecup pipi kananku.

“jangan ngambek.” Ucap Intan dan lagi – lagi diakhiri dengan senyuman manjanya.

“kamu ya.” ucapku sambil memeluknya dan merapatkan lagi tubuhnya ketubuhku.

Aku makin gemas aja dengan mahluk yang berbeda alam ini. Dia selalu saja membuatku melayang lewat perkataan dan sentuhannya itu. gila.

“ihh, jahat banget sih.” ucap Intan dengan manjanya, tanpa menolak pelukanku ini. perlahan Intan mengangkat kedua tangannya, lalu membalas pelukanku dengan erat. Wajahnya menatap kearah wajahku, tidak ditempelkan didada seperti tadi.

“kamu itu ngegemesin banget.” Ucapku dan kami saling bertatapan dengan wajah yang sangat dekat sekali.

“baru tau.?” Tanyanya dengan nada yang sangat menggoda sekali.

Ucapan Intan ini membuatku terpancing dan aku makin mendekatkan wajahku kearah wajahnya.

“kamu mau apa.?” Tanya Intan dengan bibirnya sangat dekat sekali dengan bibirku.

Aku tidak menjawabnya. Aku langsung memiringkan sedikit kepalaku dan Intan juga memiringkan kepalanya kearah yang berlawanan. Bibir kami berdua terbuka, lalu aku memajukan sedikit – demi sedikit wajahku sambil memejamkan kedua mataku.

Uuhhh, kenapa aku ingin merasakan lebih dalam kecupan bibir manisnya itu ya.?

Lalu perlahan bibirku yang terbuka sedikit ini mendekat, dekat dan dekat, dengan kedua mataku yang terpejam.

“COK.” maki Joko yang langsung membuatku terkejut.

Aku yang terkejut langsung membuka kedua mataku, menegakkan kepalaku dan menurunkan kedua tanganku yang terangkat dan terlihat seperti sedang memeluk sesuatu. Sedangkan Intan sudah tidak terlihat dihadapanku.

“ASSUU.” makiku yang terkejut.

“koen gendeng ta cok.? sopo seng kate koen ambung tell.?” (kamu gila kah cok.? siapa yang mau kamu cium tell.?) Tanya Joko yang berdiri didepan pintu kamarku, yang baru dibukanya.

“sopo seng kate ngambung cok.? oo, matamu ketutupan kete’mu iku loh. Resi ono disek.” (siapa yang mau nyium cok.? oo, matamu ketutupan taik matamu itu loh. bersihin dulu.) Ucapku sambil berpura – pura merapikan kemejaku.

“hihihi.” Intan langsung tertawa dan dia sekarang berdiri didekat lemari.

“matamu,” ucap Joko sambil membersih kedua matanya, dengan kedua jari tengahnya.

“delo’en iku ketekmu, iso koen nggo sarapan cok.” (lihatin itu taik matamu, bisa kamu buat sarapan cok.) ucapku ketika Joko melihat kedua jari tengahnya, setelah membersihkan kedua matanya barusan.

“hihihi,” lagi – lagi Intan tertawa.

“gak ono cok.” (gak ada cok) omel Joko.

“oo, berarti kete’ ghoib iku.” (oo, berarti taik mata ghaib itu.) Ucapku lalu aku membalikan tubuhku dan mengambil tas punggungku.

“assuu, kete’ ghoib. Bajingan.” (anjing, taik mata ghoib. Bajingan.) Ucap Joko memakiku.

“wes ados ta awakmu.?” (sudah mandikah kamu.?) Tanyaku yang sudah membalikkan tubuhku dan melihat Joko yang sudah berpakaian rapi. Aku sengaja bertanya seperti ini, supaya dia tidak melanjutkan pertanyaan yang mempergoki aku tadi.

“mripatmu iku ketutupan dengkulmu ta.?” (matamu itu ketutupan lututmukah.?) Ucap Joko sambil mengomel, lalu membalikkan tubuhnya dan berjalan kearah kamarnya.

“hihihi.” Intan terus saja tertawa.

“assuu,” makiku sambil berjalan kearah pintu dan melewati Intan yang dari tadi tertawa.

“semangat dan semoga berhasil.” Ucap Intan ketika aku melewatinya dan aku hanya meliriknya saja.

Aku lalu menutup pintu kamarku dan keluar kosan bersama Joko.

“wes sinau koen cok.?” (sudah belajar kamu cok.?) tanyaku kepada Joko ketika dia mengunci pagar.

“gak sinau – sinauan. Bukune mau tak bong, terus tak celupno banyu, terus banyune tak ombe.” (ga pakai belajar. Bukunya tadi kubakar, terus kucelupkan di air, terus airnya aku minum.) Jawab Joko dan aku langsung melihat kearah pintu kosan. Disana Intan berdiri sambil melambaikan tangan dan tersenyum kepadaku.

“mau awakmu nguyuh opo ora.?” (tadi kamu kencing aga nggak.? Tanyaku.

“iyo, lapo.?” (iya kenapa) Tanya Joko dan kami berdua melangkah meninggalkan kos – kosan.

“percuma cok, ilmune wes metu teko uyuhmu.” (percuma cok, ilmunya sudah keluar lewat air kencingmu.) Ucapku sambil meraih rokokku lalu membakarnya.

“ilmune nyantol nde pejuhku cok, pejuhku durong tak tukno. Hahahaha.” (ilmunya nyangkut di air maniku cok, air maniku belum aku keluarkan. Hahaha.) Ucap Joko lalu tertawa.

“opo.? Pentolmu keju.?” (apa.? Bijimu keram.?) Tanyaku pura – pura tidak mendengar.

“kupingmu kopokan cok, resik ono disek.” (kupingmu banyak kotorannya cok, bersihin dulu.) ucap Joko sambil melihat lubang telinga sebelah kiriku.

“resik cok.” (bersih cok.) ucapku sambil memasukkan jari telunjukku kedalam lubang telingaku, lalu aku melihat tidak ada kotoran telinga yang melekat dijari telunjukku ini.

“oo, kopok ghoib iku cok.” (oo, taik kuping ghaib itu cok. hahaha.) ucap Joko membalasku lalu tertawa.

“assuu. hahaha.” (anjing. Hahaha.) Dan aku pun ikut tertawa lalu aku menghisap rokokku.

Kami berdua langsung menuju kampus teknik kita, karena kami tadi sudah sarapan dikosan. Beberapa hari ini aku dan Joko selalu masak dan makan dikosan aja, karena itu jauh lebih hemat.

Dan ketika kami sudah sampai dikampus, suasana sangat ramai oleh calon mahasiswa baru yang akan mengikuti ujian masuk kampus teknik kita. Calon mahasiswa baru ini didominasi oleh laki – laki, yang mungkin persentasinya tujuh puluh lima persen. Dan dari tujuh puluh lima persen itu, hampir semuanya berwajah garang.

“cok, kok ndok – ndokan kabeh iki isine.?” (cok, kok biji – bijian semua ini isinya.?) Ucap Joko sambil melihat kearah sekeliling depan aula utama.

“lek kate ndelok apem, nde kampus seng ono jurusan sekertarise cok.” (kalau mau lihat kue apem, dikampus yang ada jurusan sekertarisnya cok.) jawabku lalu aku menghisap rokokku.

“gak ngono maksudku cok, wajahe iku loh. kok kereng – kereng ngono.?” (bukan begitu maksudku cok, wajahnya itu loh, kok garang – garang gitu.?) ucap Joko

“wedi.?” (takut.?) Tanyaku.

“gilo aku cok.” (jijik aku cok.) ucap Joko lalu dia menghisap rokoknya sambil melihat beberapa orang wanita yang dikerubungi banyak laki – laki.

“wedok’e sitik, dikerubungi lanangan akeh. Asuu.:” (perempuannya sedikit, dikelilingi laki – laki banyak. Anjing.) maki Joko.

“wes talah cok, lapo seh nggerutu ae. Ayo nang ruang ujian.” (sudahlah cok, kenapa kamu nggerutu aja.? Ayo keruang ujian.) Ucapku sambil membuang puntung rokokku.

“hem.” Jawab Joko lalu kami berdua melangkah kearah aula utama. Kebetulan aku dan Joko ujiannya di aula utama.

“langsung mlebu opo cangkruk disek.?” (langsung masuk apa nongkrong dulu.?) Tanya Joko ketika kami sudah berdiri didepan pintu aula, sambil membuang puntung rokoknya.

“rokokkan disek aelah. Jek kurang setengah jam engkas.” (rokokkan dulu aja. Masih kurang setengah jam lagi.) Jawabku lalu kami berjalan kearah samping aula.

Dan disamping aula ini, tidak seramai didepan aula sana. Disini hanya ada beberapa calon mahasiswa baru, yang sedang merokok dan asyik dengan kegiatannya masing – masing.

Aku lalu duduk didekat dua orang yang sedang mengobrol santai. Satu orang berwajah seperti orang bule dan yang satu sepertinya orang dari kota ini, karena logat bahasanya khas kota pendidikan.

Sibule sedang memegang sebotol gepeng vodka putih. Gila, keren juga bule satu ini. Akupun membakar rokokku dan Joko mengambil sebatang rokokku, lalu membakarnya juga.

“piye le’.?” (gimana le’) Tanya orang itu kepada orang yang wajahnya seperti orang bule.

“apanya ndu.?” Jawab sibule lalu dia meminum seteguk vodka gepeng yang ada ditangannya, lalu menyerahkan kepada temannya itu.

“ospekke iki loh, jarene nawak – nawak keras.” (ospeknya ini loh, kata kawan – kawan keras.) Jawab orang yang dipanggil ndu itu, lalu meminum vodka yang ada ditangannya dan diserahkan kembali ke bule.

“jalani aja.” Ucap sibule dengan santainya dan sangat tenang sekali, sambil mengambil vodka yang diberikan si ndu.

“Undap. Iku seng nyekel kampus teknik kita.” (Pandu, itu yang megang kampus teknik kita.) ucap Si ndu dan aku langsung mengerutkan kedua alisku.

Apa Pandu yang dimaksud orang ini, itu Mas Pandu ya.? waw, hebat juga dong Mas Pandu.

“terserah siapa aja yang pegang, aku gak ada urusan. Yang penting gak ganggu aku aja.” Ucap si bule lalu meminum minumannya lagi.

Uhh. Keren – keren, memang kampus ini isinya bajingan – bajingan kok. hahaha. Entar dulu, kalau begitu aku juga bajingan dong.? Ah persetan lah. Hahaha.

“ngono’a.” (gitu kah.?) ucap si ndu.

Aku yang duduk dekat mereka, mengeluarkan rokok kretekku lalu menawarkan kemereka berdua.

“rokok mas.” ucapku dan mereka berdua langsung melihat kearahku.

“okermu jes, koyo otek’e ebesku ae. Suwon wes, ayas okeran iki ae.” (rokokmu bro, kaya punyaan bapakku aja. Terimakasih. Aku rokokan ini aja.) Ucap si ndu lalu mengeluarkan bungkusan rokoknya dan mengambilnya sebatang, lalu membakarnya. sedangkan sibule hanya melirikku lalu mengambil rokokku sebatang dan membakarnya. Terlihat dia menikmati isapan rokokku itu.

“lek iki rokok special rek, ono campuran jembute arek iki.” (kalu ini rokok spesial bro, ada campuran jembutnya anak ini.) Ucap Joko ke ndu dan bule, sambil melirik kearahku.

“hup, uhuk, uhuk, uhuk.” Si bule kesedakan asap rokokku lalu melihat kearah Joko.

“jiancok, menclek arek iki. hahahaha.” (jiancok, gila anak ini. hahaha.) Si ndu lalu tertawa dan Joko hanya tersenyum saja.

“oh iya, namaku Gilang.” Ucapku sambil menjulurkan tangan kearah si bule.

“Rendi.” Jawab sibule singkat, lalu kami melepaskan jabatan tangan kami.

“Bendu.” Ucap si ndu, memperkenalkan dirinya. Lalu giliran Joko yang berkenalan dengan Bendu dan Rendi si bule.

Bule lalu menyerahkan vodka gepengnya kepadaku.

“biar lancar ngerjain ujiannya.” Ucap Rendi.

“hehe. Asuu.” (hehe. Anjing.) Ucapku sambil mengambil vodka gepeng itu, lalu meminumnya.

“terimakasih.” Ucapku sambil mengembalikan botol itu kepada Rendi Bule dan dia langsung menyerahkan ke Joko.

“kos nangdi ker.?” (kos dimana bro.?) tanya Bendu kepada kami.

“nde mburi.” (dibelakang) Jawab Joko setelah meminum vodka gepeng, sambil menyerahkan ke Rendi lagi..

“cok, awakmu kos nde bengkel mesin.?” (cok, kamu kos dibengkel mesin.?) tanya Bendu bercanda.

“ga cok, nde sebelah’e bengkel. Pas jedinge iku loh.” (ga cok, disebelahnya bengkel. Pas dikamar mandinya itu loh.) Jawab Joko dengan cueknya.

“hahaha, mengong.” (hahaha, gila.) Ucap Bendu lalu tertawa lagi, sedangkan Rendi bule hanya diam saja, sambil menikmati rokok kretek pemberianku.

Garang juga Bule ini. walaupun dia terlihat tenang, tapi tatapannya mengerikan juga. Dia kelihatannya gak banyak bicara seperti si Bendu.

“rek, ayo mlebu. Kate dimulai ujiane.” (bro, ayo masuk. Ujiannya mau dimulai.) Panggil seseorang kearah kami.

Aku dan Jokopun, langsung berdiri. Sedangkan Bule dan Bendu tetap santai sambil menikmati rokok yang dihisapnya.

“ayo rek.’” Ajakku kemereka berdua.

“duluan aja.” Jawab Rendi sambil melihat kearah kami berdua.

“nanti kamu telat,” ucapku sambil mematikan rokokku yang masih panjang ini, lalu memasukkan kebungkusnya lagi.

“gak apa – apa, bagiku menikmati rokok ini lebih mengasyikan daripada didalam.” Jawab Rendi lalu dia menghisap rokokknya lagi.

“rokok itu gak mahal, kamu bisa membelinya atau kamu minta aku lagi nanti setelah ujian. Jadi jangan gara – gara menikmati rokok itu, kamu telat ujian.” Ucapku.

“bukan masalah harganya, rokok kalau dibeli dari hasil keringat sendiri itu, rasanya lebih nikmat. Ini rokok persaudaraan.” Jawab Rendi lalu tersenyum kepadaku.

Loh, emang Rendi tau kalau rokok ini hasil dari keringat sendiri.? Luar biasa banget dia dalam menilai arti sebuah persahabatan. Dia ini cocok untuk dijadikan sahabat.

“ya udah, kami duluan ya. hehe.” Ucapku sambil tersenyum, lalu aku pergi bersama Joko dan meninggalkannya bersama Bendu.

Dan didepan pintu masuk aula, seorang wanita berdiri sambil melihat kearah kami berdua dengan tatapan yang sedikit tajam.



Gendhis

Gendhis, makin cantik aja wajahnya. Gila. Selain wajahnya yang cantik, tatapannya itu membuat getaran – getaran didalam hati, yang tidak bisa aku ungkapkan dengan kata – kata.

Huu. Aku terus berjalan dan ketika aku melewatinya, aku menganggukan kepalaku pelan, sambil tersenyum kepadanya. Gendhis hanya melirikku dan tidak membalas senyumanku.

“tambah ayu ae mbak iku.” (tambah cantik aja mba itu.) Bisik Joko kepadaku ketika kami sudah dekat dengan kursi yang ada nomor ujian kami.

“hem.” Ucapku.

Aku dan Joko lalu duduk dikursi sambil meletakkan tas didekat kami. Beberapa saat kemudian, kertas ujianpun mulai dibagikan. Dan yang membagikan kertas ujian di barisan kursiku, Gendhis. Dia berjalan sambil membagikan kertas ujian itu dan ketika sampai didekatku, dia tidak menatap kearah mataku. dia hanya menyerahkan kertas ujian sambil melihat kelantai, lalu pergi begitu saja.

Apa dia masih marah denganku.? Atau dia makin tersinggung karena aku membawakan lagu untuknya tadi malam.? Ah sudahlah. Biarkan saja. aku tidak punya niat untuk mengganggunya dan aku juga gak sengaja membuatnya marah. Lebih baik sekarang aku berkonsentrasi dengan ujian ini.

Ujian dimulai, akupun langsung mengerjakan soal ini dengan sesekali lirikan Gendhis diarahkan kepadaku. Aku melihatnya dari ujung ekor mataku dan dia berdiri tidak jauh dari tempatku duduk. dia memang mengawasi kearah sekeliling peserta ujian, tapi selalu saja diakhiri dengan melirik kearahku.

Kamu suka aku atau bagaimana ya ndhis.? Tapi terserah kamulah. Maaf, kali ini aku gak memperhatikan kamu. Aku mau konsen dengan jalan impian yang sedang aku kerjakan ini. Mungkin dilain waktu ketika aku sudah berada didepan pintu impianku, aku mungkin akan mendekatimu dan menggendeng tanganmu. Aku akan menggandengmu masuk kedalamnya, karena mungkin itu impian milik kita bersama. Arrgghh, kok jadi seperti ini ya pikiranku.?

Sepuluh menit ujian ini berlalu, tiba – tiba Rendi dan Bendu masuk dengan santainya kedalam aula. Dia berjalan kearah kursinya masing – masing, lalu duduk dengan cueknya. Gendhis lalu menyerahkan soal kepada Rendi dan Bendu. Akupun melanjutkan mengisi lembar jawaban.

Lima menit kemudian, Rendi berdiri sambil membawa lembar jawaban, lalu dikumpul dimeja pengawas. Gila bule satu itu, sudah masuknya telat, duduknya cuman lima menit, sekarang sudah dikumpul. Luar biasa sekali dia.

Akupun melanjutkan mengisi lembar jawaban, yang belum separuh aku kerjakan. Lima menit kemudian, giliran Bendu yang berdiri lalu mengumpulkan kertas ujiannya. Aku dan Joko langsung saling melihat, sambil menggelengkan kepala pelan. Setelah itu kami melanjutkan kembali mengisi lembaran jawaban ini.

Beberapa jam kemudian, waktu ujian selesai. Aku dan Joko langsung mengumpulkan kertas ujian kami, setelah itu kami keluar aula.

“cok, opo seng diisi ambe arek gendeng iku.?” (Apa yang diisi sama anak gila itu.) ucap Joko sambil mengarahkan tangannya kearahku dan dia meminta rokokku.

“sakarepe lah, wong arekke dewe seng ngisi og.” (terserah dialah, orang dianya sendiri yang isi kok.) Jawabku sambil mengeluarkan bungkusan rokokku, lalu aku mengambil rokok sisa tadi yang aku matikan. Setelah itu aku menyerahkan bungkusan rokokku ke Joko.

“iyo, yo. Lapo aku ngurusi.? Otekku ae gak ono seng ngurusi.” (Iya, ya. ngapain aku ngurusin.? Otakku aja gak ada yang ngurusin.) Ucap Joko sambil membakar rokok lalu menyerahkan bungkusannya kepadaku.

“pinter.” (pintar.) Ucapku lalu aku menghisap rokokku.

“nangdi iki.?” (kemana ini.?) Tanya Joko.

“sek talah cok, ambekan disek.” (sebentar dulu cok, bernafas dulu.) Jawabku.

“ngerti cok, maksudku iku, mari ngene nangdi.?” (ngerti cok, maksudku itu, habis ini kemana.?) tanya Joko.

“nang kosan disek ae, aku luwe.” (kekosan aja dulu, aku lapar.) jawabku.

“oke.” Ucap Joko.

“penyetan tempene jek ono ta mau.?” (penyetan tempenya masih adakah tadi.?) Tanyaku.

“tak entekno cok, sak segone barang. Engko aku ae seng masak sego, sak menyet tempene.” (aku habisin cok, sama sekalian nasinya. Nanti biar aku aja yang masak nasi, sekalian menyet tempenya.) Jawab Joko.

“males, bosen aku penyetan tempe terus.” Ucapku.

“goreng pitek ta.?” (goren ayam kah.?) Tanya Joko sambil memainkan kedua alisnya.

“ra usah, tempe ae enak.” (gak usah, tempe aja enak. ) Ucapku lalu aku menghisap rokokku.

“jaren koen bosen cok.” (bilang kamu bosan cok.?) gerutu Joko.

“bosen lek dipenyet.” (bosan kalau dipenyet.) Jawabku singkat.

“terus dimasak opo.? Dilodeh opo dioseng - oseng.?” (terus dimasak apa.? Dilodeh apa disayur oseng.?) Tanya Joko.

“digoreng ae.” (digoreng aja.) Jawabku.

“diuntal ngono ae ta.?” (Dimakan gitu aja kah.?) Tanya Joko.

“gak cok. gawe sambel terus didudul – dudulno.” (gak cok. buat sambel terus ditutul – tutulkan.) Ucapku dengan cueknya.

“matamu. Opo bedane ambe penyetan tempe iku.? Assu.” (matamu. Apa bedanya sama penyetan tempe itu..?) Omel Joko kepadaku.

“bedo cok. Lek dipenyet iku, tempene teles. Lek didudulno iku, tempene garing.” (beda cok. Kalau dipenyet itu, tempenya basah. Kalau ditutulkan itu, tempenya kering.) Jawabku.

“sakareb congormu ae lah.” (terserah mulutmu aja lah.) Ucap Joko sambil menggelengkan kepalanya.

“hehe.” Akupun hanya tersenyum kepada Joko.

“mbalik yo.” (pulang yo.) Ucapku sambil membuang puntung rokokku.

“ayo wes.” Jawab Joko dan kami meninggalkan aula utama.

“SEMONGKO.” Teriak sekumpulan orang dari depan emperan toko yang kosong, disebelah gang depan kampus teknik kita, ketika aku dan Joko sampai di pintu gerbang kampus teknik kita.

“SEMANGAT NGANTI BONGKO.” (semangat sampai bongko.) Sahut mereka juga.

“cok. wong – wong iku mbendino ta ngombene.? isuk, awan, sore sampe bengi. Gendeng. Gak jebul ta wetenge.?” (cok. orang – orang itu setiap hari minum kah.? Pagi, siang sore sampai malam. Gila. Gak jebol kah perutnya.?) Bisik joko kepadaku.

“wetenge wes distem cok.” (perutnya sudah disetel cok.) jawabku sambil menyebrang jalan, mendatangi sekumpulan orang yang memanggil kami itu. dan mereka adalah Mas Pandu dan teman – temannya satu kosan.

“assuu, dipadakno gitar.” (anjing, disamakan gitar.) Gumam Joko sambil menggelengkan kepalanya.

“halo om.” Sapaku kepada mereka semua.

“kurang ajar arek iki, ket wingenane awak dewe dicelok om ae cok.” (kurang ajar anak ini, dari kemarin kita dipanggil om aja cok.) ucap Mas Adam.

“yang dipanggil om itu kamu aja dam, bukan kita.” sahut Bli Oka.

“iyo dam, raimu iku koyok om – om cok. hahaha.” (iya dam, mukamu kan kayak om – om cok. hahaha.) sahut Mas Pandu lalu tertawa dengan senangnya.

“gathel. Kurang ajar koen iku lang.” (sialan, kurang ajar kamu itu lang.) ucap Mas Adam mengomel kepadaku.

“kok aku yang disalahin om.?” Tanyaku ke mas Adam.

“angel wes, angel ngene iki. Angel temen tuturanmu, angel temen tuturanmu.” (susah sudah, susah kalau begini. Susah benar nasehati kamu, susah benar nasehati kamu.) Ucap Mas Adam dengan mendayu – dayu.

“hahaha. Bajingan.” Mas Arief tertawa lalu memaki Mas Adam.

“duduk, minum.” Ucap Bang Ramos kepadaku, sambil menyerahkan segelas minuman kepadaku.

“iya bang.” Ucapku mengangguk sambil duduk diikuti Joko disebelahku. Aku lalu mengambil gelas ditangan Bang Ramos lalu mengangkatnya.

“werr.” Ucapku.

“werr, werr, werr,” sahut semua yang ada disitu dan aku langsung meminumnya sampai habis, lalu menyerahkan kembali gelasnya ke Bang Ramos.

Lalu setelah itu Joko meminum jatah selanjutnya dan dilanjutkan ke yang lain.

“Ndu.” Ucap Mas Wagiyo ke Mas Pandu sambil mengkode Mas Pandu, untuk melihat kebelakangku.

Aku dan Joko langsung menoleh kearah yang ada dibelakangku. Tampak Rendi si Bule sedang berjalan diseberang sana bersama Bendu.

“metesek arek iku Mas.” (belagu anak itu Mas.) ucap Mas Adam.

Aku dan Joko langsung saling melihat, lalu melihat kearah Mas Pandu.

“jarno ae lah.” (biarin ajalah.) ucap Mas Pandu dengan tatapan tajam kearah Rendi, sambil menghisap rokoknya.

“asyik kok anaknya Mas.” ucapku.

“kenal ta awakmu.?” (kenal kah kamu.?) Tanya Mas Arief.

“iyo mas, koncoku iku.” (iya mas, temanku itu.) Ucapku sambil aku mengambil rokok kretekku, lalu mengambilnya sebatang dan membakarnya. Mas Pandu hanya melirikku saja, lalu meminum jatahnya.

Ada apa sih orang – orang ini.? kenapa seperti ini menilai seseorang.? apa karena cara berjalannya yang cuek.? penampilannya yang slengean.? Atau karena apa.?

“bisa tadi ujianmu lang.?” tanya Daeng Betta kepadaku.

“oh, bisa daeng.” Jawabku lalu aku menghisap rokokku.

“Mas, aku tak mbalek yo. Kate ngamen aku.” (Mas, aku balik dulu ya. mau ngamen aku.) ucapku yang malas dengan situasi seperti ini.

“iyo wes.” (iya sudah.) jawab Mas Pandu singkat.

Aku dan Joko langsung berdiri dan pamitan kepada semua, lalu kami berjalan kearah kosan.

“lapo wong – wong iku lang.?” (kenapa orang – orang itu lang.?) tanya Joko kepadaku.

“emboh.” (gak tau.) jawabku singkat sambil terus berjalan.

“mari mangan langsung ngamen ta.?” (habis makan langsung ngamen kah.?) Tanya Joko lagi.

“piye menurutmu.?” (gimana menurutmu.?) Tanyaku balik.

“panggah ngamen, tanganku iki wes geringgingen gak tau ngaploki gendangku.” (tetap ngamen, tanganku ini ini sudah gemetaran gak pernah mukulin gendangku.) jawab Joko.

“cok, wanine ngaploki gendang. Gak ngelawan cok.” (cok, beraninya mukulin gendang. Gak ngelawan cok.) ucapku.

“terus aku kudu ngaploki sopo.? Raimu iku ta.? melas raimu cok.” (terus aku harus pukulin siapa.? Mukamu itu kah.? menyedihkan wajahmu cok.) jawab Joko.

“lek melas mbo disun.” (kalau melas coba dicium.) ucapku.

“piye lek tak tungkak ae.?” (gimana kalau ku injak pakai tumit aja.?) sahut Joko.

“assuu, mari teko kampus teknik kita kok medeni ngene koen Jok.?” (anjing, habis dari kampus teknik kita kok jadi menakutkan kamu Jok.?) tanyaku.

“iki jek melu ujian. Le’ mene wes ketrimo, tak tungkak’i lambene wong seng wani karo aku.” (ini masih ikut ujian, nanti kalau sudah diterima, ku injak mulutnya orang yang berani sama aku.) ucap Joko dengan angkuhnya.

“kakean mangan sikile sapi koen cok.” (kebanyakan makan kakinya sapi kamu cok.) ucapku.

“ga usah bahas sapi cok.” ucap Joko dengan nada suara yang langsung merendah.

“hehehe.” Dan aku hanya tertawa.

Kami berduapun akhirnya sampai dikosan dan Intan sudah menungguku didepan pintu kosan.

“kok bête gitu mukanya.?” Tanya Intan yang menyambutku, ketika aku akan membuka pintu kosan.

Aku hanya meliriknya sambil membuka pintu kosan. Setelah itu aku dan Joko masuk kedalam kamar masing – masing.

Dan setelah aku mengganti pakaianku, aku yang masih berdiri didepan lemariku, langsung dipeluk dari belakang oleh Intan.

“capek ya.?” tanya Intan sambil memelukku dan telapak tangannya meraba dadaku pelan.

“biasa aja.” Jawabku.

“terus kenapa wajahnya BT.?” Tanya Intan.

“lapar.” Jawabku singkat sambil membalikkan tubuhku dan pelukan Intan ini pun langsung terlepas.

“emang kalau wajahnya BT seperti ini, bisa langsung kenyang.?” Tanya Intan yang sekarang berdiri dihadapanku.

“dengar ya lang. kalau kamu BT, makin banyak mengeluarkan energy. Terus perutmu main keroncongan dan bawaannya pasti emosi aja.” Ucap Intan sambil membelai pipiku dan menatap mataku.

“emang aku harus senyum.? Terus kalau senyum itu, apa gak mengeluarkan energy juga.?” Tanyaku sambil membalas tatapannya.

“setidaknya kamu gak marah – marah, dan justru kamu membagikan kebahagiaan bagi orang lain.” Jawab Intan.

“jadi aku harus membahagiakan orang, walaupun aku sendiri tidak bahagia.?” Tanyaku.

“kebahagianmu pasti akan hadir dengan sendirinya, kalau kamu melihat orang lain bahagia karena melihatmu.” Jawab Intan.

“iya kalau dia bahagia.? Kalau dia justru menertawakan.?” Tanyaku lagi, dan.

CUUPPP.

Intan langsung mengecup Bibirku.

“itu bukan pemikiran Gilang. Gilang gak pernah berpikir seperti itu.” ucap Intan lalu tersenyum dengan manisnya.

Duh, kenapa harus dibarengi dengan kecupan dibibir sih.? arrghhh. Bikin nyaman suasana hati aja loh wanita satu ini. hehehe.

“kenapa harus pakai ngecup sih.?” tanyaku.

“kenapa.? Gak suka.?” Tanya Intan sambil mendekatkan wajahnya lagi kearah wajahku.

“ya, gimana ya.?” ucapku pura – pura berpikir dan,

CUUPPP.

Intan mengecup bibir bawahku lalu memundurkan tubuhnya.

“ihhh.” Ucapku mendekat kearah Intan, sambil mencoba memeluknya.

Intan langsung mengihindari pelukanku dan aku terus mengejarnya.

“hihihi.” Intan tertawa dengan manjanya, ketika aku menangkapnya dan memeluknya dari belakang.

“kamu ya.” ucapku sambil mencoba menciumnya dipipi, tapi dia menghindarinya dipelukanku ini.

“COK.” maki Joko didepan pintu kamarku, yang aku punggungi ini.

“ASSUU,” ucapku yang terkejut, sambil membalikkan tubuhku kearah Joko.

“koen iku lapo cok, cok.” (kamu itu ngapain cok, cok.) ucap Joko sambil menggelengkan kepalanya.

“senam cok.” ucapku berbohong sambil menggerakkan kedua tanganku keatas dan kebawah.

“hihihi.” Intan tertawa didekat pintu kamarku.

“senam kok awakmu dengkek – dengkek ngono cok.?” (senam kok badanmu bengkok – kok gitu.?) tanya Joko.

“jenenge senam cok, moso awakku meneng ae.” (namanya senam cok, masa badanku diam aja.) Jawabku.

“prosoku awakmu kok tambah gendeng ae yo.?” (perasaanku kamu kok tambah gila aja ya.?) ucap Joko lalu membalikkan tubuhnya dan berjalan kearah dapur.

“hihihi,” Intan terus tertawa dan aku berjalan keluar kamar.

“cok.” makiku.

Aku menuju dapur sambil melirik Intan yang aku lewati.

“Muaacchhh.” Ucap intan sambil mencium jari tengah dan telunjuknya, lalu diarahkan kepadaku.

“masak ta cok.?” (masak kah cok.?) tanyaku yang melihat Joko mengambil panci, lalu diisi beras dan dia langsung mencucinya.

“enggak cok, mbadok.” (Enggak cok, makan.) jawab Joko sambil terus mencuci beras tanpa melihat kearahku.

“keren badokanmu cok.” (keren makananmu cok.) ucapku sambil mengambil bumbu dapur.

“matamu iku.” (matamu itu.) jawab Joko.

“lombokke kari sakmene yo.?” (lomboknya sisa segini ya.?) tanyaku.

“iyo. Mari ngamen engko tuku ae, sekalian tuku bumbu – bumbu liane.” (Iya. habis ngamen nanti beli aja, sekalian beli bumbu – bumbu yang lain.) jawab Joko

“hem.” ucapku sambil mengiris tempe, lalu merendamnya dengan air yang sudah dicampuri bawang putih dan garam, sisa tadi pagi.

Setelah semua makanan jadi dan kami menyantapnya, kami beristirahat sebentar lalu berangkat mengamen pada sore hari.

Hari ini kami mengamen dipertokoan tengah kota, dengan memakai gendang paralon dan gitar. Dan setelah sore hari menjelang malam, kami beristirahat diemperan toko yang sudah tutup.

“piye cok.? duwekmu wes ngumpul piro.?” (gimana cok.? uangmu terkumpul berapa.?) Tanya Joko lalu dia menghisap rokoknya.

“rong juta rongatus.” (dua juta dua ratus.) jawabku.

“kurang wolungatus, jek akeh yo kurange.” (kurang delapan ratus, masih banyak ya kurangnya.) ucap Joko sambil melirikku.

“alon – alon iso dikumpulno og.” (pelan – pelan bisa dikumpulin kok.) jawabku.

“oh iyo, nang cafene Mas Jeki yuk. Awa dewe kan dikongkon rono.” (oh iya, kecafenya Mas Jeki yuk. Kita kan disuruh kesana.) ucap Joko yang mengingatkan tentang ucapan Mas Jeki semalam.

“iyo yo.” ucapku lalu aku tersenyum.

“be’e awak dewe dikongkon langsung main ndek cafene, lumayan loh iku. Paling nggak ono duwek bulanan.” (mungkin kita disuruh langsung main dicafenya, lumayan loh itu. paling engak ada duit bulanan.) ucap Joko dengan senangnya.

“iyo cok, budal.” (iya cok, berangkat.) Ucapku lalu berdiri.

“SEMONGKO.” Ucap Joko yang sudah berdiri juga, sambil mengepalkan tangan kanannya kearahku.

“SEMANGAT NGANTI BONGKO.” (semangat sampai bongko.) teriak kami, sambil aku meninju tangannya.

“hahahaha.” Lalu kami berdua tertawa bersama.

Dan ketika kami berjalan tidak jauh dari tempat kami, dua orang datang dengan menggunakan sepeda motor dan kami mengenal orang itu.

Dua orang itu mendatangi tukang parkir yang menjaga toko yang agak ramai, tidak jauh dari tempat kami berdiri. Mereka adalah Bendu dan Rendi si Bule.

Bendu tampak turun dari sepeda motornya, lalu meminta uang dari tukang parkir yang berjaga itu.

“cok, sangar men Bendu iku.” (cok, sangar betul Bendu itu.) ucap Joko.

“iyo, bose tukang parkir.” (iya, bosnya tukang parkir.) Ucapku.

“NDU.” Tiba – tiba Joko berteriak kearah Bendu.

Bendu dan Rendi langsung melihat kearah kami.

“woy. Jiancok, lapo koen ende kene.?” (woy. jiancok, ngapain kamu disini.?) tanya Bendu dan dia berjalan mendekat kearah kami, diikuti Rendi.

“konser jalanan cuk.” Jawab Joko lalu.

DUNG, TAK, DUNG,

Joko menabuh gendangnya dengan kerasnya.

“weh, ternyata kalian berdua ini musisi ya.?” ucap Rendi dan kali ini suaranya terdengar sangat bersahabat sekali. mereka berdua lalu bersalaman ala mahasiswa dengan kami.

“engga juga Ren, penyanyi jalanan aja kami ini.” jawab Joko.

“iya, masih merduan suara – suara mesin kendaraan yang lewat.” Sahutku sambil menyodorkan rokokku ke Rendi.

“ah, merendah aja kalian itu.” ucap Rendi sambil menerima rokokku lalu mengambilnya sebatang

“hehe.” Akupun hanya tersenyum saja.

“ngombe disek yo.” (minum dulu yo.) ajak Bendu.

“mene ae Ndu, aku jek ono perlu.” (besok aja Ndu, aku masih ada perlu.) jawabku.

“ente ngono jes.” (kamu gitu bro.) ucap Bendu.

“sepurane rek, penting soale.” (maaf bro, penting soalnya.) ucapku sambil menyodorkan tangan kanan kearahnya.

“yo wes lah.” (ya sudahlah.) ucap Bendu sambil menyambut tanganku dan kami bersalaman lagi.

“Ren.” Ucapku sambil bersalaman dengannya.

“sukses ya.” ucap Rendi sambil memainkan kedua alisnya.

“siap.” Jawabku.

Aku dan Joko langsung pergi menuju kecafe Mas Jeki.

Malam mulai menyapa kota pendidikan yang sangat dingin ini. café Mas Jekipun terlihat ramai dan pertunjukan live musiknya juga sedang berlangsung.

Ketika aku dan Joko mau masuk kedalam cafenya, band pengisinya telah menyelesaikan lagunya. Para personel band itu langsung turun, lalu seorang wanita dan seorang laki – laki naik keatas panggung kecil untuk pertunjukan selanjutnya.

Langkahku terhenti ketika aku melihat wanita itu sudah berdiri diatas panggung, sambil melihat kearah pengunjung. Laki – laki yang bersamanya, langsung menyerahkan sebuah biola kepada wanita itu dan laki – laki itu langsung menuju kearah piano dibelakang wanita itu.

“cok, mba itu pemain musik.?” Ucap Joko yang terkejut juga dan aku tidak menjawabnya.

“ketika hadirmu hanya sekedar ada, tanpa disertai rasa. Itu hanya menggoreskan luka.” Ucap Gendhis dengan suara yang begitu menghayati perkataannya.

Cok, Gendhis cok. wanita itu Gendhis dan dia bisa bermain biola. Gila cok. Tapi barusan kata – kata itu untuk siapa ya.? kok dalam banget sih.?




Ghendis mulai menggesek biolanya dan diiringi laki – laki yang bermain piano dibelakangnya. Dia menghayati setiap gesekan biolanya dan membuat siapapun pasti merinding mendengarnya.

Aku hanya menatapnya dan dia sepertinya tidak menyadari kehadiranku disini.

“mbalik cok.” (pulang cok.) ucapku kepada Joko, sambil membalikkan tubuhku ketika Gendhis sudah selesai memainkan lagu pertamanya.

“lapo cok.? awak dewe durong ketemu Mas Jeki.” (kenapa cok.? kita belum ketemu Mas Jeki.) Ucap Joko.

“nde kene wes ono seng main cok, gak usah njupuk lahane uwong.” (disini sudah ada yang main cok, gak usah ambil lahannya orang.) ucapku sambil melangkah.

“bajingan. jek tas oleh harapan, saiki langsung ilang. Jiancuk’i temenan og urip iki.” (bajingan, baru saja dapat harapan, sekarang langsung hilang. Kejam memang hidup ini.) ucap Joko pelan sambil berjalan disebelahku.

“hidup didunia ini gak pernah kejam Jok, dunia ini hanya mengajari agar kita kuat.” Ucapku sambil merangkul pundak sahabatku ini.

“masih banyak yang bisa kita lakukan diluas dan panjangnya jalanan ini.” ucapku lagi sambil melepaskan rangkulanku.

“cok, iki seng tak senengi duluran karo awakmu iku.” (cok, ini yang kusenangi bersaudara sama kamu itu.) ucap Joko sambil mengepalkan tangannya kearahku.

“semongko.” Ucapku sambil meninju tangan Joko pelan.

“SEMANGAT NGANTI BONGKO.” (semangat sampai bongko.) teriak kami dengan kerasnya.

“HAHAHAHA.” Lalu kami berdua tertawa bersama, sambil berangkulan.









#cuukkk. Inilah kami, kami dengan semangat yang tidak mudah dipatahkan oleh apapun. Semoga semangat ini terus hadir dan semoga tidak akan pernah padam. SEMONGKO.!!!
 
Terakhir diubah:
Jav Toys
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd