Agen Terpercaya  
 
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

CERBUNG - TAMAT I M P I A N 1

silahkan

  • dijawab sebisanya

    Votes: 347 45,6%
  • pertanyaan yang berkaitan dengan cerita

    Votes: 538 70,7%

  • Total voters
    761

BAGIAN 9
KEJADIAN YANG MENGEJUTKAN



Gilang Adi Pratama. Namaku tertulis dipapan pengumuman dan aku diterima dikampus teknik kita, sesuai dengan jurusan yang aku ambil. Teknik Sipil.

Gilang Adi Pratama. Namaku berada diurutan paling atas, diantara seluruh peserta yang mengikuti ujian masuk dikampus teknik kita.

Gilang Adi Pratama. Nama itu sekarang telah terdaftar disalah satu kampus swasta terbaik negeri ini.

Hiufftt, huuu.

Satu langkah kakiku telah berada dikampus ini, dan aku tinggal melangkahkan kakiku yang satu lagi, supaya aku bisa memulai perjalanan panjangku dikampus ini. Aku harus membayar biaya masuk pendaftaran, supaya aku bisa mengikuti perkuliahan nantinya.

Uang yang ada ditanganku sekarang, berjumlah dua juta lima ratus ribu. Kurang lima ratus ribu lagi, uangku baru mencukupi untuk mendaftar kuliah. Sekarang waktunya aku menemui Pak Tomo lagi, untuk membahas tentang kelonggaran pembayaran pendaftaran kuliahku. Aku akan meminta keringanan kepada Beliau, supaya kekurangannya bisa aku cicil minimal dua semester kedepan.

Dan hari ini kampus sangat ramai sekali, karena teman – teman yang lulus tes masuk gelombang satu banyak yang daftar ulang. Selain itu juga, kampus ramai karena pendaftaran masuk gelombang kedua juga dibuka. Kampus negeri telah mengumumkan siapa aja yang diterima dikampus tersebut. Dan bagi yang tidak diterima, mendaftar di beberapa kampus swasta dikota pendidikan ini, salah satunya kampus teknik kita.

Aku tadi bersama Joko kekampus, tapi kami berpisah karena aku paksa dia untuk mengurus semua administrasinya lebih dulu. Joko sebenarnya membawa uangnya semua dan memaksaku memakai uangnya dulu untuk pendaftaran. Tapi sekali lagi aku menolaknya, karena aku tidak ingin membebani sahabatku itu.

Okelah, sekarang waktunya aku mengurus administrasiku. Aku berjalan kearah ruang Pak Tomo yang berada didekat ruang pendaftaran. Ketika aku melewati tempat pendaftaran, disana duduk seorang wanita cantik yang sedang melayani seorang pendaftar.

Hiufftt, huuu.

Wajahnya terlihat makin cantik, karena dia tersenyum dengan orang yang sedang berkonsultasi dihadapannya.



Gendhis

Gendhis. Kapan senyum manismu itu kau berikan kepadaku.? Kenapa setiap kita bertemu, selalu saja wajah dengan ekspresi kemarahan yang kau tunjukkan kepadaku.? Apa kamu masih marah denganku.? Terus apa yang harus aku lakukan, agar maafmu itu bisa kau berikan.? Dan kenapa juga aku harus sampai berharap kata maaf darimu.? Apa untungnya bagiku sih.? ya sebenarnya untung sih, karena kata maafmu, pasti diiringi senyummu yang bisa menenangkan jiwaku ini. Hehehe.

Sudahlah, aku urus aja dulu administrasiku. Semoga di lain waktu, aku diberikan kesempatan untuk mengucapkan kata maaf kepadamu.

Aku sekarang sudah berdiri didepan pintu ruang Pak Tomo yang tertutup. Dan aku langsung mengetuk pintu ruangan Beliau.

TOK, TOK, TOK.

Tidak ada sahutan dari dalam ruangan.

TOK, TOK, TOK.

Aku mengetuk lagi dan masih tidak ada jawaban dari dalam ruangan sana. Aku lalu melihat kearah Gendhis yang duduk tidak jauh dari aku dan memunggungi aku. Dan ketika mahasiswa yang ada dihadapannya pergi, aku pun langsung berjalan kearahnya.

Aku menarik nafasku dalam – dalam, lalu mengeluarkannya perlahan. Aku berharap semoga saja Gendhis tidak jutek lagi dengan kedatanganku kali ini.

“pagi mba.” Sapaku sambil berdiri disampingnya.

Gendhis langsung menoleh kearahku dan melihatku sesaat, lalu menunduk lagi dan menulis sesuatu dimejanya.

“kenapa.?” Jawabnya dengan cuek dan jutek, tanpa melihat kearahku.

Uhhh. Ternyata dia masih marah kepadaku.

“saya mau ketemu dengan Pak Tomo Mba,” ucapku dengan sangat sopannya, lalu aku tersenyum walaupun dia tidak melihat kearah wajahku.

“temuin diruangannya aja.” Jawab Gendhis.

“tutup ruangannya Mba.” Ucapku sambil melihat kearah ruang Pak Tomo.

“bukan itu ruangannya, tapi di jurusan teknik sipil.” Ucap Gendhis dan aku langsung melihat kearah Gendhis lagi. Dia tadi sempat melihat kearahku dan sekarang dia menunduk lagi sambil melanjutkan tulisannya.

“gedungnya dimana ya Mba.?” tanyaku lagi.

“cari didekat gedung kuliah teknik sipil.” Jawab Gendhis dengan nada yang makin terdengar tidak senang, karena kehadiranku dan kedatanganku ini.

Aku hanya menarik nafasku dalam – dalam lagi. Ini kalau aku lanjutkan pertanyaanku, mungkin dia akan langsung meluapkan semua kemarahannya kepadaku.

“oh iya Mba, terimakasih ya.” ucapku.

“hem.” Jawabnya singkat, padat dan membuat tenggorokan terasa cekat.

Akupun langsung meninggalkannya, dengan hati yang tidak ikhlas. Terus terang aku ingin mengakhiri semua ganjalan yang ada dihati ini kepadanya. Aku tidak ingin memulai kuliahku dengan bermasalah kepada siapapun. Aku ingin berkuliah dengan tenang dan damai dikampus ini. Lagian gak menutup kemungkinan, Gendhis ini salah satu staff pengajar dikampus ini. entah dijurusan apa atau bagian apa. Kalau seandainya dia dijurusan teknik sipil, apa aku gak dapat masalah nantinya,?

Arrggh. aku harus balik, aku harus balik sekarang. Aku harus menyelesaikannya sekarang juga.

Aku lalu membalikkan tubuhku dan melihat kearah Gendhis. Terlihat dia sedang melihat kearahku dan dia langsung terkejut, lalu menunduk ketika aku membalikan tubuhku dengan tiba – tiba ini.

Uhhh. Kamu lihat aku Ndis.? Beneran.? Bukannya kamu marah sama aku.? Atau kamu lihat yang lain dan aku hanya kegeeran saja.? arrgghh.

Aku pun mendekat kearah Gendhis, dan dihadapannya tidak ada mahasiswa baru yang berkonsultasi. Lalu dengan menguatkan hatiku, aku langsung duduk dihadapan Gendhis yang menunduk itu.

Aku menatapnya dan dia tidak sedikitpun mengangkat wajahnya, ataupun bersuara dengan kehadiranku dihadapannya saat ini.

“aku tidak akan pergi dari sini, dengan segala ganjalan dihati dan suasana yang sangat tidak mengenakkan ini.” ucapku yang mulai bersuara dan Gendhis langsung mengangkat wajahnya, lalu menatapku dengan tatapan yang sangat tajam sekali.

“kamu mau apa.? Kamu gak lihat situasi.? Kamu gak lihat kalau ada mahasiswa yang mengantri dibelakangmu.? Jangan pernah mementingkan kepentingan pribadimu, dengan mengorbankan kepentingan orang lain. Paham.?” Ucap Gendhis dengan tegasnya.

“bukannya aku mau mementingkan kepentingan pribadiku Mba. tapi karena aku memulai kesalahanku kepadamu ditempat ini, aku hanya ingin mengakhiri semua masalah itu ditempat ini juga.” Jawabku dengan tenangnya.

“Gak ada yang perlu diselesaikan dan ga ada yang perlu diakhiri. Kita tidak saling mengenal dan sekarang silahkan kamu pergi.” Ucap Gendhis dengan sangat ketus.

“baiklah, kalau Mba menganggap tidak ada permasalahan denganku, aku pamit undur diri. Mohon maaf kalau aku hanya membuat suasana hati Mba jadi gak enak hari ini.” ucapku dan dia hanya menatapku saja.

“aku melakukan semua ini, karena aku tidak ingin menyesal dikemudian hari Mba. Karena bagiku, hidup itu terlalu singkat untuk sebuah kata penyesalan.” Ucapku dan Gendhis langsung mengerutkan kedua alisnya.

“kamu itu kenapa sih.? kamu mau menyindir aku.?” ucap Gendhis dengan mata yang melotot.

“masih lama ya ngobrolnya.?” Tanya seorang calon mahasiswa dibelakangku.

Aku lalu melihat kearah orang itu lalu tersenyum.

“enggak kok, ini sudah mau selesai.” Ucapku kepada orang itu lalu melihat kearah Gendhis lagi.

“belum selesai, karena kamu belum menjawab pertanyaanku. Kamu nyindir aku.?” tanya Gendhis dan dia terlihat marah sekali.

“enggak, enggak pernah sedikitpun terlintas dipikiranku, untuk menyindir kamu Mba. Justru yang terlintas dipikiran ini, bagaimana caranya aku melihatmu tersenyum kepadaku. Itu saja.” Ucapku dengan tenang sambil terus menatap matanya yang melotot itu.

Wajah Gendhis yang marah itu langsung berubah seketika. Matanya yang melotot, perlahan mulai memandangku dengan tatapan yang.. sudahlah, aku gak bisa mengungkapkannya dengan kata – kata.

“aku tidak pernah sengaja melakukan hal bodoh itu sama kamu Mba. Walaupun kebodohan itu terulang – ulang, aku juga gak paham kenapa bisa seperti itu. Terserah kamu percaya atau enggak, tapi itulah kenyataannya. Mohon maaf Mba, maaf sekali. aku pamit.” Ucapku lalu aku berdiri dan sebelum dia berkata – kata lagi, aku pun langsung meninggalkannya.

Perasaanku sedikit lega, karena aku sudah mengungkapkan semua yang mengganjal dipikiranku. Walaupun belum terucap kata maaf darinya, tapi tatapannya cukup menjelaskan dan cukup membuatku sedikit tenang. Mungkin dilain waktu, aku akan mengajaknya berbicara lagi.

Sekarang waktunya aku menyelesaikan permasalahanku yang lain lagi. Aku mau mencari ruang gedung dosen teknik sipil, untuk menemui Pak Tomo.

Lalu tiba – tiba, Bughh.

Aku menabrak seorang wanita yang berjalan sangat terburu – buru dan dokumen yang dibawanya, langsung terhambur dijalan.

“aw.” Ucap wanita itu dan dia langsung melihatku sebentar, lalu menunduk dan mengumpulkan dokumennya.

“maaf mba. Maaf.” Ucapku sambil membungkukan tubuhku dan membantunya mengumpulkan dokumennya yang tercecer.

“gak apa – apa mas, saya yang harusnya minta maaf. Saya terlalu buru – buru banget dan gak melihat suasana sekitar.” Ucapnya sambil melihat kearahku, lalu menunduk dan mengumpulkan dokumennya lagi.

Huu. Kok cantik ya wanita ini.? gila, masa dikampus ini rata - rata wanitanya cantik - cantik sih.? sudah jumlahnya sedikit, terus cantik – cantik lagi. Apa gak keren tuh.?

Dan setelah semua dokumennya terkumpul, aku dan wanita itupun langsung berdiri berhadapan.

“oh iya, nama saya Gilang Mba.” Ucapku sambil menjulurkan tangan kananku kearahnya.

“jangan Mba mas, saya calon mahasiswi baru dikampus ini.” ucapnya sambil membalas jabatan tanganku.

Uhh. Tangannya lembut pakai banget lagi. Gilaaa.

“Panggil aja Ratna Mas, Ratna Silvi Juwita.” Ucapnya dengan suara yang sangat merdu sekali.



Ratna Silvi Juwita


“mahasiswi baru.? Sama dong, saya juga baru daftar Rat.” Ucapku sambil melepaskan jabatan tangan kami ini.

“oh iya.?” ucapnya yang sedikit terkejut dan aku langsung menganggukan kepalaku

“jurusan apa.?” Tanyanya lagi.

“sipil, kalau kamu.?” Tanyaku balik.

“sipil juga, hehehe.” Ucapnya dan diakhiri dengan senyuman yang sangat luar biasa manis sekali.

“oh iya.” sahutku dan entah kenapa aku sangat senang sekali mendapatkan teman baru dan satu jurusan denganku.

“iya. eh, kamu sudah daftar ulang belum.? Atau mau tes gelombang dua.?” Tanya Ratna.

“ini mau daftar ulang, tapi sekarang aku mau cari ruang Pak Tomo dulu. Dimana ya ruangannya.?” Jawabku sambil melihat kearah kanan dan kiri.

“oh cari Om Tomo.” Ucapnya

“Om Tomo.?” Tanyaku sambil melihat kearahnya dan mengerutkan kedua alisku.

“maaf, maksudku itu Pak Tomo ketua jurusan teknik sipil.” Ucapnya lagi.

“Pak Tomo ketua jurusan teknik sipil.?” Tanyaku lagi.

“iya. emang ada lagi Pak Tomo yang lain dikampus ini.?” ucapnya dan aku hanya mengangkat kedua bahuku, tanda aku tidak tau.

“itu ruangannya disebelah gedung ini.” ucap Ratna sambil menunjuk gedung didekat lapangan sana.

“oke, makasih ya Rat.” Ucapku.

“iya, aku mau lanjut daftar ulang dulu ya.” ucap Ratna dan aku hanya menganggukan kepalaku.

Ratna pun berjalan kearah berlawanan denganku dan aku berjalan kearah gedung yang ditunjuk Ratna tadi.

Diruangan dosen yang aku datangi ini, suasananya tidak terlalu ramai. Hanya beberapa mahasiswa lama yang terlihat sedang mengantri untuk tugas akhirnya. Dan setelah melihat kekanan dan kiri didalam ruangan, terlihat dipojokan ruangan tertulis papan nama yang tergantung didekat pintu. Ketua jurusan teknik sipil.

Aku lalu berjalan kearah ruangan itu dan ketika sampai didepan ruangannya, aku langsung mengetuk pintunya pelan.

TOK, TOK, TOK.

“masuk.” Terdengar suara dari dalam ruangan.

Aku membuka pintu ruangan, lalu aku mengangguk kepada seseorang yang duduk dibalik meja ketua jurusan.

“selamat siang pak.” Ucapku kepada Pak Tomo yang sedang menunduk dan menulis sesuatu dimejanya.

“siang.” Jawab Beliau sambil mengangkat wajahnya dan melihat kearahku, lalu menunduk lagi.

“masuk.” Ucapnya singkat lalu mengambil rokoknya yang menyala diasbak dan menghisapnya.

“duduk.” Ucap Beliau lagi ketika aku sudah berdiri didekat meja Beliau.

“terimakasih pak.” Jawabku sambil duduk dikursi dihadapan Beliau.

Akupun tidak bersuara lagi, karena terlihat Beliau sedang serius sekali menulis diatas mejanya. Aku hanya menunduk sambil memainkan kedua jempolku yang aku putar – putarkan diatas pahaku.

Satu menit, dua menit, lima menit, sepuluh menit berlalu, dan aku belum memulai pembicaraan ini. aku melirik kearah Beliau dan Beliau masih terlihat serius sekali.

“ehem.” Ucap Beliau yang mengejutkanku sambil mematikan rokoknya.

“jadi bagaimana.?” Ucap Beliau yang akhirnya mulai bersuara lebih dahulu.

“mohon maaf Pak. ini tentang lanjutan pembicaraan kita yang lalu. Saya sudah diterima dikampus ini dan saya ingin meminta keringanan untuk mencicil biaya masuk kuliah saya Pak.” Ucapku dengan tenangnya sambil menatap kearah Beliau.

“berapa uang yang ada dikamu sekarang.?” Tanya Pak Tomo.

“dua juta lima ratus pak.” Jawabku.

“itu hanya untuk daftar atau kamu ada simpanan untuk keperluan yang lain.?” Tanya Pak Tomo dengan wajah yang sangat serius.

“ini total semua uang yang saya punya sekarang Pak.” Jawabku.

“oke,” jawab Pak Tomo singkat lalu mengambil sebuah dokumen disebelah kiri Beliau.

“Gilang Adi Pratama, nilai ujian testmu terbaik diseluruh peserta ujian masuk yang berjumlah hampir dua ribu orang di gelombang pertama ini. kamu berada diurutan pertama.” Ucap Pak Tomo sambil melirik kearahku sambil tetap memegang dokumen ditangannya.

“Entah kenapa kamu mau mengikuti ujian masuk dikampus ini, dengan kepintaran yang kamu miliki. Kalau kamu mengikuti ujian masuk dikampus negeri, saya yakin kamu pasti bisa lolos.” Ucap Pak Tomo melanjutkan ucapannya.

“tapi sudahlah, saya tidak mau melanjutkan pembahasan itu. saya hanya mau menyampaikan kepada kamu, tiga besar peserta ujian yang lolos dengan nilai terbaik, dibebaskan dari biaya masuk.” Ucap Pak Tomo yang langsung membuatku terkejut.

“jadi simpan uangmu, untuk biaya kehidupanmu disini dan untuk biaya keperluan kuliahmu besok.” Ucap Pak Tomo, lalu Beliau mengambil rokoknya dan membakarnya.

Aku melihat Pak Tomo sudah tidak melanjutkan ucapannya, aku kembali menarik nafas dalam – dalam lalu mengeluarkannya.

“mohon maaf Pak, saya ijin berbicara.” Ucapku dan Beliau langsung menganggukkan kepalanya, sambil menghisap rokoknya.

“untuk yang pertama. Saya merasa tersanjung dengan ucapan Bapak yang mempunyai keyakinan, bahwa saya bisa lolos dikampus negeri dengan kemampuan yang saya miliki. Jujur saya mendaftar disini karena saya telat mendaftar di kampus negeri Pak. Tapi saya tidak pernah menyesal dengan keterlambatan itu, karena ini mungkin jalan dari Sang Pencipta yang disiapkan untuk saya dan saya harus menjalaninya Pak. Ini bukan karena Bapak baru saja berbicara seperti tadi loh ya, bukan Pak. Saya tidak pernah menyesal dengan keputusan yang saya ambil.” Ucapku dan Beliau hanya mendengarkan ucapanku sambil menikmati rokoknya.

“yang kedua, tentang biaya masuk saya yang digratiskan. Ini bukan karena saya pernah menemui Bapak waktu itu kan.? ini bukan karena belas kasihan, karena saya tidak bisa membayar tunai biaya masuk saya kan.? mohon maaf saya bertanya seperti ini, karena saya tidak pernah tau, bahwa tiga lulusan terbaik akan dibebaskan dari biaya masuk Pak. Dan mohon maaf sekali, saya tidak mau menerimanya kalau ini hanya karena ada rasa belas kasihan kepada saya.” Ucapku lagi dan Beliau hanya menatapku sambil terus menikmati rokoknya.

Dan setelah aku menyelesaikan ucapanku, Beliau lalu menyerahkan dokumen kepadaku dan aku langsung menerima dokumen itu.

“orang seperti kamu itu, tidak butuh belas kasihan. Bukan ucapanmu yang kami nilai, tapi kemampuanmu.” Ucap Pak Tomo dan aku langsung menunduk, lalu membaca dokumen yang ada ditanganku ini.

Disalah satu point yang tertulis didokumen ini, ada yang menerangkan bahwa tiga orang terbaik yang lulus test, akan dibebaskan biaya masuk dan itu ditanda tangani oleh Bapak Rektor.

Akupun langsung tersenyum senang dan aku sangat bersyukur sekali.

“terimakasih Pak.” Ucapku sambil melihat kearah wajah Beliau dan Beliau menatapku dengan tatapan yang datar.

“saya tidak butuh ucapan terimakasihmu,” ucap Pak Tomo dengan nada yang tegas dan aku langsung terdiam mendengarnya.

“kamu tau, kampus ini terkenal dengan sebuah kalimat, masuknya gampang tapi lulusnya sulit. Sepintar apapun mahasiswa disini, jarang ada yang lulus tepat empat tahun atau delapan semester. Biasanya empat setengah tahun, lima tahun, enam, tujuh bahkan ada yang sepuluh tahun baru lulus.” Ucap Pak Tomo dengan nada yang sangat serus sekali.

“dan saya mau kamu lulus dikampus ini empat tahun, tidak boleh lebih. Terserah bagaimana caramu. Dengan keyakinanmu atau dengan kegilaanmu.” Ucap Pak Tomo, lalu Beliau menghisap rokoknya lagi.

“saya tidak tau apa maksud Bapak mengucapkan ini kepada saya.? sebagai motivasi atau sebagai sindiran bagi saya. Yang jelas, tanpa Bapak ucapkan pun saya pasti akan berusaha semampu saya, untuk cepat menyelesaikan kuliah saya.” Ucapku.

“terserah kamu mengartikannya seperti apa, tapi saya itu paling gak suka kalau dikecewakan.” Ucap Pak Tomo.

“baiklah Pak, kalau begitu saya pamit dulu.” Ucapku sambil berdiri lalu aku menjulurkan tanganku kearah Beliau dan Beliau menyambutnya, lalu aku cium punggung tangan beliua.

“terimakasih atas semua bantuan Bapak.” Ucapku lalu aku berjalan kearah pintu ruangan.

“temanmu yang namanya Joko Purnomo itu, lumayan pintar juga. Nilai ujian testnya paling tinggi dijurusannya, tapi kalau digabung semua jurusan, dia hanya diperingkat lima.” Ucap Pak Tomo dan aku langsung membalikkan tubuhku dan aku tersenyum kepada Beliau.

Lalu aku membalikkan tubuhku lagi dan aku meninggalkan ruangan Pak Tomo ini dengan hati yang sangat gembira. Aku sangat senang sekali hari ini dan aku ingin menikmatinya sejenak, sebelum perjuangan yang sebenarnya akan aku hadapi esok hari. Memang terkesan norak sih, belum apa – apa sudah senang. Terserahlah orang mau bilang apa, karena ini hidupku. Aku itu paling suka menikmati sesuatu, sebelum melangkah kehal yang lain lagi.

Dan sekarang, setelah aku menyelesaikan semua administrasiku, aku berjalan menuju luar kampus. Dan dipagar kampus sana, Joko telah menungguku sambil menghisap rokoknya.

Dan ketika aku sudah tidak jauh dari Joko, dia langsung melihat kearahku dengan wajah yang sangat senang sekali dan seperti sangat bahagia. Ada apa dengan sahabatku ini.? apa dia tau tentang apa yang terjadi denganku barusan.? tapi tau dari mana.? Aku kan belum bercerita kepadanya.?

Aku lalu tersenyum juga kearahnya dan,

“NDOWEEE. HAHAHAHA.” teriak Joko, lalu dia tertawa dengan kerasnya.

Aku pun bingung dengan tingkah sahabatku itu. Aku lalu menoleh kearah belakangku dan aku melihat tiga orang dari desaku berada dikampus ini. mereka adalah Trisno, Guntur dan Kinanti.



Kinanti Nur Annisa


Waw, kok Kinanti tambah cantik aja ya.? wajahnya tidak lagi terlihat lugu seperti gadis pedesaan, tapi dandanannya sudah seperti wanita perkotaan. Luar bisa.

Tapi entar dulu, kok mereka bertiga ada dikampus ini.? mau apa mereka.? Dan kenapa mereka membawa dokumen ditangan.? Apa mereka bertiga akan mendaftar dikampus teknik kita.? berarti mereka bertiga gak lulus test dikampus negeri dong..

Aku lalu mengalihkan pandanganku kearah sekelilingku. Belasan orang melihat kearah Joko dengan ekspresi wajah yang kurang suka dan mulut yang gak bisa menutup.

Hemm, apa mereka yang melihat kearah Joko ini ndowe semua.? Aku lalu melihat kearah Joko yang sekarang terlihat salah tingkah, karena banyaknya mata yang melihat kearah dia.

Aku lalu berjalan mendekat kearahnya.

“kapokmu kapan koen cok. koen didelok’i karo wong – wong akeh.” (kapokmu kapan cok.? kamu dilihatin sama orang – orang banyak.) Ucapku berbisik kepadanya.

“assuuu.” Gumam Joko pelan

“durung tau lambemu disamplok sampe ndowe, ambe perkumpulan wong – wong iku ta.? mangkane, congormu iku dijogo.” (belum pernah mulutmu ditampar sampai gak bisa nutup, sama perkumpulan orang – orang itu kah.? makanya, mulutmu itu dijaga) ucapku lagi.

“cok, akeh yo wong ndowe nde kampus iki.” (cok, banyak ya orang yang gak bisa menutup mulutnya dikampus ini.?) Ucap Joko sambil menggaruk kepalanya.

Joko pun langsung melangkah mendekati tiga orang dari desaku itu. Trisno dan Guntur terlihat sangat tidak senang sekali, sedangkan Kinanti hanya diam saja sambil sesekali melirikku.

“lapo koen nde kene we.?” (kenapa kamu disini we.?) Tanya Joko ke Trisno.

“lapo seh.? Urusanku nde kene kato lapo ae. Awakmu seng duwe kampus ta.?” (kenapa sih.? urusanku disini mau ngapain aja. Kamu yang punya kampuskah.?) Jawab Joko dengan sinisnya.

“ojok nesu lah. Lambemu tambah ndowe loh lek nesu.” (jangan marahlah. Mulutmu makin terbuka lebar loh kalau marah.) Goda Joko ke Trisno.

“matamu.” Gerutu Trisno sambil mencoba merapatkan bibirnya beberapa saat, tapi terbuka lagi.

“eh Tur, piye.?” (eh Tur, gimana.?) Tanya Joko yang sekarang melihat kearah Guntur.

“piye apane.?” (gimana apanya.?) Tanya Guntur dengan nada yang ketus.

“lapo awakmu nde kene.?” (kenapa kamu disini.?) Tanya Joko lagi.

“duwekku akeh, mangkane aku kate kuliah nde kampus kene.” (uangku banyak, maknya aku mau kuliah dikampus ini.) Ucap Guntur dengan sombongnya.

“oo, duwekmu akeh yo. Hehe.” (oo, uangmu banyak ya. hehe.) Ucap Joko lalu tersenyum meledek.

“maksudmu opo ngguyu ngono.? Opo maksudmu aku iki ****** gak iso mlebu kampus negeri.?” (maksudmu apa ketawa begitu.? apa maksudmu aku ini ****** gak bisa masuk kampus negeri.?) Tanya Guntur dengan nada yang agak tinggi.

“aku gak ngomong ngono loh yo. Awakmu dewe seng ngomong. Hehehe.” (aku gak ngomong gitu loh ya. kamu sendiri yang ngomong. Hehehe.) Ucap Joko lalu tertawa lagi, sambil menjatuhkan rokoknya dan menginjaknya.

“jiancook.” Ucap Guntur dengan emosinya. dan ketika dia akan mendekati Joko, aku langsung menatapnya dengan tajam. Guntur pun langsung terdiam sambil melirikku.

“ayo wes Jok, lapo seh awakmu iku.” (ayo sudah Jok, kenapa sih kamu itu.?) Ucapku sambil merangkul pundak Joko dan menariknya pergi dari tempat ini.

Aku ingin segera pergi dari tempat ini, sebelum terjadi hal – hal yang gak diinginkan. Kalau aku biarkan, bisa saja wajah Guntur dan Trisno ini jadi dendeng sapi. Mereka berdua bisa ditampar sama kerasnya telapak tangan Joko itu.

“assuu.” gerutu Guntur dan Trisno, sedangkan Kinanti hanya terus melirikku dari tadi.

Aku terus merangkul pundak Joko sampai keluar pagar kampus teknik kita.

“lek ngedepi wedus iku, gak perlu dadi wedus.” (kalau menghadapai kambing itu, gak perlu jadi kambing.) ucapku sambil meremas pundak Joko pelan dan dia langsung mengerti ucapanku, lalu tersenyum.

“wis mari ta urusanmu.?” (sudah selesai urusanmu.?) Tanyaku ke Joko sambil melepaskan rangkulanku.

“sakjane aku seng takon ngono karo awakmu cok.” (harusnya aku yang tanya begitu sama kamu cok.) ucap Joko sambil meraih rokoknya lalu membakarnya.

“aman cok.” jawabku sambil meminta rokoknya sebatang, lalu aku membakarnya.

“aman piye.?” (aman gimana.?) Tanya joko.

“aku gak perlu mbayar uang daftar ulang.” Jawabku dan Joko langsung menghentikan langkahnya.

“maksudmu piye.? Awakmu entok beasiswa.?” (maksudmu gimana.? kamu dapat beasiswa.?) Tanya Joko dengan wajah yang sangat heran sekali.

“nilai ujian tesku paling apik cok, dadi aku gak perlu mbayar daftar ulang.” (nilai ujian tesku paling bagus cok, jadi aku gak perlu membayar daftar ulang.) Jawabku sambil memainkan kedua alis mataku, lalu aku menghisap rokokku.

“tenanan.?” (beneran.?) Tanya Joko dengan wajah yang sangat senang sekali dan aku hanya mengangguk pelan.

“JIANCOK,” ucap Joko lalu dia memelukku dengan erat.

“HAHAHAHA,” Joko tertawa dengan kerasnya sambil memelukku dan menepuk punggungku dengan agak kuat.

BUHG, BUHG, BUHG, BUHG,

“loro cok.” (sakit cok.) ucapku sambil melepaskan pelukan Joko ini.

“hahaha, assuu.” maki Joko sambil memukul dada sebelah kananku pelan.

Buhgg.

“cek senenge koen cok.?” (kok senang banget kamu cok.?) tanyaku.

“matamu iku. Ket wingenani iku seletku mbrebek mili cok. bayangno raimu seng kekurangan duwek gawe daftar. Assuu.” (matamu itu. dari kemarin itu pantatku meneteskan air mata cok. membayangkan mukamu yang kekurangan uang untuk daftar ulang. Anjing.) maki Joko lalu dia memelukku lagi.

“westalah, seng penting saiki masalah pertama wes mari.” (sudahlah, yang penting sekarang masalah pertama sudah selesai.) Ucapku sambil membalas pelukan sahabat gilaku ini.

“iyo.” ucap Joko lalu dia melepaskan pelukannya dan kulihat matanya berkaca – kaca.

“huufftttt. Perjalanan kaet kate dimulai, tapi wes kroso yo.” (huufftt. Perjalanan baru mau dimulai, tapi sudah kerasa ya.) Ucap Joko sambil membuang wajahnya, karena dia tidak ingin memperlihatkan kesedihannya yang tiba – tiba datang itu.

“namanya hidup, permasalahan itu pasti akan datang dengan sendirinya.” Ucapku sambil merangkul Joko dan mengajaknya berjalan kearah kosan.

“semakin kuat seseorang, semakin kuat juga ujian yang akan datang. Dan sekarang tergantung dari diri kita sendiri, mau atau tidak kita menjalaninya. Tergantung dari kita sendiri, mau atau tidak menjadi orang yang lebih kuat. Tergantung dari kita sendiri, mau atau tidak merubah kehidupan kita menjadi yang lebih baik.” Ucapku dengan tetap merangkul Joko.

“omonganmu tambah kemlinti cok.” (omonganmu tambah sombong cok.) ucap Joko pelan.

“lek gak kemlinti, gak mungkin aku dadi dulormu cok.” (kalau gak sombong, gak mungkin aku jadi saudaramu.) jawabku.

“asuu.” maki Joko dan aku langsung melepaskan rangkulanku.

“modal awak dewe iku mek siji.” (modal kita itu cuman satu.) Ucapku sambil mengepalkan tangan kananku kearah Joko.

“semongko.” Ucap Joko pelan, sambil meninju kepalan tanganku.

“SEMANGAT NGANTI BONGKO.” (semangat sampai mampus.) teriak kami berdua.

“HAHAHAHA.” Kami berdua tertawa, sambil terus berjalan kearah kosan.



Sore hari menjelang malam dikosan.

Entah kenapa hari ini aku sangat mengantuk sekali. jarang loh aku merasakan tidur siang seperti hari ini dan tidurku sangat nyenyak sekali. biasanya kalau siang hari sampai sore seperti ini, pasti aku isi dengan mengamen atau mengerjakan sesuatu yang lain.

Apa karena hari ini aku sangat berbahagia, sampai aku bisa tertidur nyenyak sekali.? mungkin bisa juga dikatakan seperti itu. mungkin aku terlau menikmati semua, jadi pikiranku dan tubuhku ini, ingin beristirahat sejenak.

Hiuufft, huuu.

Gila, kenapa aku malas bangun dari tempat tidur ya.? aku masih mau memejamkan kedua mataku lagi, sampai esok pagi.

“nikmatilah, selagi kamu bisa merasakan kenikmatan itu.” ucap Intan yang tidur disebelahku.



Intan

“iya aku tau, tapi aku gak mau sampai terlalu berlarut dan aku malah terbuai dengan kenikmatan ini.” jawabku sambil melihat kearah langit – langit kamar.

“tapi gak salah kan kalau kamu mengistrihatkan sejenak pikiran dan tubuhmu ini.” ucap Intan yang perlahan menggeser tubuhnya mendekat kearahku, lalu memiringkan tubuhnya dan sebagian tubuhnya, menindih tubuhku.

Intan yang ada disebelah kiriku, tidur diatas dadaku dengan dada bagian kirinya, menempel didadaku dan wajahnya juga bersandar didada atas dekat bahuku. Baju terusan berwarna putih yang dipakai Intan pun, terangkat sampai pahanya yang putih itu terlihat.

“aku jarang loh tidur siang seperti ini, mungkin bisa dihitung dengan jari selama hidupku ini.” ucapku.

“emang kenapa.? Tidur siang itukan bukan berarti malas.” Ucap Intan dan telapak tangan kirinya, mulai meraba dadaku pelan dari luar kaosku.

“iya, tapi tanganmu jangan gitu dong.” Ucapku protes.

“kenapa.? Kamu gak suka.?” Tanya Intan sambil mengangkat wajahnya dan menatap wajahku.

“ya, ya, ya gimana ya.?” ucapku sambil membalas tatapannya.

“suka apa nggak.?” Tanya Intan dengan nada yang menggoda dan tangannya itu langsung menyelinap dibalik kaosku.

Telapak tangannya yang dingin dan menyentuh kulit dadaku itu, langsung membuat tubuhku merinding.

“uhhh.” Ucapku sambil menahan nafasku sesaat.

“suka atau nggak.?” Tanya Intan lagi sambil tersenyum dan tatapannya sangat menggoda sekali.

“sudah, sudah ya.” ucapku sambil memejamkan kedua mataku sekejap, lalu membukanya lagi.

“beneran sudah.?” Tanya Intan dan perlahan rabaannya naik keputting kananku, lalu memelintirnya pelan.

“hup.” Aku langsung memegang tangan Intan dari luar kaosku dan menahannya.

“Tan.” Ucapku dengan nada yang sangat bingung.

Aku bingung dengan apa yang ada dihadapanku saat ini. Menghentikannya atau membiarkan saja kenikmatan ini berjalan, sesuai dengan keinginan nafsu yang mulai membisiki telingaku.

“apa.?” Ucap Intan dengan suara yang lembut sambil mendekatkan wajahnya kearah wajahku. Tanganku pun perlahan melepaskan pegangan ditangan intan, yang masih ada didalam kaosku. Rabaan Intan dilanjutkan lagi dan sekarang sudah bermain di putting sebelah kiriku.

“uhhhh.” Ucapku mendesah pelan dan,

CUPPP.

Intan mengecup bibirku pelan lalu menatap wajahku lagi. Tatapan mata Intan sangat sayu dan membuat gairahku semakin memanas, apalagi rabaannya sekarang mulai turun keperutku.

“ahhhh.” Desahku lagi dan.

CUPPP.

Intan mengecupku lagi, sambil terus menurunkan rabaanya dibagian bawah perutku.

Aku langsung memeluk tubuh Intan dan mendorongnya pelan sampai aku menindih tubuhnya.

Aku lalu memajukan bibirku dan.

“COK.” maki Joko yang tiba – tiba membuka pintu kamarku.

Akupun langsung menoleh kearahnya dengan terkejutnya.

“assuu.” makiku.

“koen iku lapo cok.? iku guling cok, lapo kate koen ambong cok?” (kamu itu kenapa cok.? itu guling cok, kenapa mau kamu cium cok.?) ucap Joko sambil menggelengkan kepalanya dan aku langsung melihat kearah sesuatu yang aku peluk ini. Dan ternyata yang aku peluk memang guling dan bukan Intan lagi.

“sopo seng kate ngambung cok.? aku loh turu iki. Moso aku salah kelon ambek gulingku dewe.?” (siapa yang mau nyium cok.? aku loh tidur ini. masa aku salah meluk gulingku sendiri.) Ucapku berbohong.

“hihihi.” Intan pun tertawa sambil duduk dikursi kamarku.

“gak salah cok. Seng salah iku, lapo kate koen ambong gulingmu.?” (gak salah cok, yang salah itu, kenapa mau kamu cium gulingmu.) Ucap Joko.

“seng kate ngambung sopo cok.?” (yang mau nyium siapa cok.?) tanyaku.

“tenanan gendeng koen cok.” (beneran gila kamu cok.) ucap Joko lalu dia membalikkan tubuhnya dan melangkah kekamarnya, tanpa menutup pintu kamarku lagi.

“hihihi.” Intan tertawa dengan senangnya.

“senang kamu ya.” ucapku kepada Intan, lalu aku menegakkan tubuhku dan berjalan keluar kamarku.

“hihihi.” Intan terus tertawa didalam kamarku.

“ngamen ta cok.?” (ngamen kah cok.?) tanyaku sambil berdiri didepan kamar Joko.

“lek koen gendeng, gak usah ngamen cok.” (kalau kamu gila, gak usah ngamen cok.) ucap Joko tanpa melihat kearahku.

“matamu.” Ucapku lalu berjalan kearah kamar mandi.

Aku lalu mandi dan setelah itu aku berganti pakaian.

“mau ngamen lagi.?” Tanya Intan yang masih duduk dikursi kamarku.

“iya.” jawabku singkat.

“jangan pakai acara minum loh ya.” ucap Intan.

“hem.” Jawabku singkat

“kenapa sih.? kok bête banget.?” Tanya Intan.

“yang bête siapa.?” Tanyaku.

“gak bête tapi ngambek.” Ucap Intan yang mulai berdiri dari kursi lalu melangkah mendekat kearahku.

“apasih kamu itu.?” ucapku dengan sedikit kesal, karena terus terang ada yang mengganjal dan harus diselesaikan.

CUUPPP.

Intan mengecup pipi kananku.

“maaf kalau ada yang mengganjal.” Ucap Intan sambil membelai pipiku dan aku langsung menarik nafasku dalam – dalam, lalu mengeluarkannya pelan.

“sepertinya kita sudah sangat melewati batas ya.?” ucapku sambil menatap matanya.

“enggak akan, kalau kita bisa menjaga batasan kita.” jawab Intan dengan lembutnya.

“batasan yang seperti apa.? Bagiku kita ini sudah tidak berjarak.” Ucapku.

“sedekat apapun kita saat ini, kita tetap berjarak. Hatimu ini, bukan milikku. Jadi tenang saja.” ucap Intan dan aku langsung mengerutkan kedua alisku.

“banyak hal yang menjadi rahasia dan kamu belum menceritakan kepadaku tan.” Ucapku dengan nada yang sangat serius.

“belum waktunya. Kalau sudah tiba saatnya, tanpa kamu minta pun, aku akan menceritakan semua.” Ucap Intan sambil terus mengelus pipiku.

“COK, SIDOK NGAMEN OPO ORA.?” (cok, jadi ngamen apa gak.?) Teriak Joko dari luar kamarku.

“YO.” Jawabku singkat sambil melihat kearah pintu kamarku yang tertutup, lalu melihat kearah Intan lagi.

“terus kapan waktunya.?” Tanyaku kepada Intan.

“tidak usah dinanti, karena waktu itu pasti akan datang.” Jawab Intan, lalu.

CUUPPP.

Intan mengecup pipi kananku.

“sekarang pergilah. Dan ingat, jangan minum ya.” ucap Intan sambil memundurkan tubuhnya.

“gak janji.” Ucapku sambil melangkah kearah pintu kamarku lalu membukanya.

“suwine cok, ngambung guling maneh ta awakmu iku.?” (lamanya cok, cium guling lagikah kamu itu.?) Tanya Joko ketika aku muncul dari kamarku.

“lapo.? Kate tak ambong nganti ndowe ta lambemu iku.?” (kenapa.? Mau kucium sampai gak bisa nutupkah bibirmu itu.?) Ucapku sambil memajukan bibirku kearah Joko, yang sedang menggendong gendang paralonnya itu.

“loro koen cok, asli koen loro.” (sakit kamu cok, asli kamu sakit.) Ucap Joko lalu.

DUNG, TAK, DUNG,

Joko menabuh gendangnya dengan kuat sampai aku terkejut.

“asuu,” makiku sambil berjalan kearah ruang tamu dan mengambil gitarku yang aku letakkan dikursi ruang tamu.

“asuu, asuu ae. Tak kaplok koen engko.” (anjing, anjing aja. Ku tampar kamu nanti.) Ucap Joko sambil membuka pintu kosan.

“lapo seh awakmu muring – muring ae cok.?” (kenapa sih kamu marah – marah aja.?) tanyaku sambil melangkah keluar kosan bersama Joko.

“aku luwe cok, awak dewe durung mangan ket awan mau.” (aku lapar cok. kita belum makan dari siang tadi.) Ucap Joko dan aku baru sadar, kalau kami baru makan tadi pagi saja.

“mari ngene tuku ae.” (habis ini kita beli aja.) Ucapku sambil mengunci pintu kosan dan Intan berdiri disebelahku.

“hati – hati, jangan terlalu malam pulangnya.” Ucap Intan dan aku hanya melriknya saja.

“aku pengen mangan enak cok, bosen mangan tahu ambe tempe ae bendino.” (aku mau makan enak cok, bosan makan tahu sama tempe aja setiap hari.) Ucap Joko.

“yo mari ngene mangan karo endok ceplok.” (ya habis ini makan sama telor ceplok.) Ucapku sambil melangkah keluar pagar.

“mangan sate po’o cok. gak pengen mangan enak ta wakmu.” (makan sate aja cok. gak kepengan makan enak kah kamu.?) Ucap Joko mengomel.

“sakarebmu lah, seng penting atimu seneng.” (terserah kamulah, yang penting hatimu senang.) Ucapku dan kami sudah berjalan mendekati rumah Bu Har.

Hari mulai gelap dan hawa terasa sangat dingin sekali sekarang ini. dan tiba – tiba aku dikejutkan dengan kehadiran seorang wanita yang muncul dari dalam rumah Bu Har yang kami lewati ini.

Seorang wanita dengan memakai baju terusan putih sampai selututnya.

Gila, ngapain Intan sampai kesini sih.? apa dia mau membuntuti aku.?

Akupun langsung menghentikan langkahku dan melihat kearah Intan. Dia pun langsung melihat kearahku dengan tatapan yang tajam sekali.

“ngapain kamu disini.?” Tanyaku dengan nada sedikit agak keras dan Intanpun tampak marah sekali kepadaku.

“cok, koen gak po – po ta.? lapo koen ngomong ngono karo Mba Gendhis cok.?” (cok, kamu gak apa – apa kah.? Kenapa kamu ngomong gitu sama Mba Gendhis cok.?) ucap Joko dan aku langsung terkejut dibuatnya, karena dia bisa melihat mahluk yang ada dihadapanku ini.

“ha, Mba Gendhis.?” Ucapku sambil melihat kearah Joko lalu melihat kearah wanita yang berdiri dan menatapku dengan kejengkelannya itu.

Wanita ini Gendhis.? Beneran.? Mau apa dia kesini dan kenapa pakaiannya sama persis seperti Intan.? Arrgghhh.

“kamu itu kenapa sih.? kenapa kamu selalu mengucapkan kata – kata itu, ketika kamu ketemu sama aku.? kamu itu siapa ku.?” Tanya Gendhis dengan jengkelnya.




Gendhis



“ma, maaf Mba.” Ucapku terbata.

“katanya kamu itu mau buat aku tersenyum, tapi apa.? Kamu selalu saja buat aku jengkel.” Ucap Gendhis dengan ketusnya.

“ndis, kenapa marah – marah.?” Tanya Bu Har yang keluar dari rumahnya.

Bu Har tampak sangat seksi sekali, dengan pakaian yang sangat ketat melekat ditubuhnya itu. Buah dadanya semakin terlihat besar dan lekukan tubuhnya, membuat panas dingin orang yang menatapnya.




Bu Har



“cok, semongko cok.” ucap Joko pelan dan aku tidak menghiraukannya.

“ini loh Bude, dia selalu saja buat Gendhis marah kalau bertemu dengannya.” Ucap Gendhis sambil melihat kearah Bu Har.

Bude.? Gak salah dengar nih aku.? Gendhis ini keponakan Bu Har.? Terus intan itu keponakan Bu Har juga gitu.? Tapi apa benar Intan itu saudara kembar Gendhis, kalau bukan bagaimana.? Tapi kalau bukan saudara kembar, kenapa wajah mereka sangat mirip sekali.? bukan hanya wajah aja, tapi segala sesuatu yang ada didiri Gendhis ini, sama seperti yang ada di diri Intan. Apa aku gak bingung kalau gitu.? Arrgghhh.

“Bude.?” Tanyaku pelan, untuk memastikan apa yang ada dipikiranku ini.

“iya. Gendhis ini anaknya adikku.” Jawab Bu Har dengan suara lembut dan seksinya itu.

“cok, mati koen.” (cok, mati kamu.) Bisik Joko kepadaku.

Uhh.. kok jadi seperti ini sih.? ini benaran atau aku lagi mimpi.? Wah, aku bisa dapat masalah besar kalau seperti ini caranya.

“kalian sudah saling kenal.?” Tanya Bu Har sambil melihat kearah Gendhis lalu melihat kearahku.

Aku dan Gendhis langsung menggeleng pelan.

“kalau belum saling kenal, kenapa sudah marahan seperti ini.?” tanya Bu Har dengan wajah yang menggoda kepada kami berdua.

“apasih Bude ini.? kok wajahnya seperti itu kalau tanya.?” Ucap Gendhis kepada Bu Har.

“jangan marah gitu dong sayang. Marah dan cinta itu jaraknya dekat banget loh.” ucap Bu Har lalu tersenyum kepada Gendhis.

“kok ngomongnya Bude jadi ngelantur begini.?” tanya Gendhis sambil meraju.

“ihh, kok gitu amat sih kamu Ndis.?” Goda Bu Har ke Gendhis.

“apa sih Bude.?” Tanya Gendhis dengan suara yang memelas.

“belum pernah loh Bude melihat keponakan Bude yang cantik ini, bersikap seperti ini kalau sama laki – laki.” Ucap Bu Har lalu mengelus dagu Gendhis pelan, dan itu langsung membuat Gendhis malu serta salah tingkah.

“Bude kok bisa kenal sama dia sih.?” tanya Gendhis yang terlihat mulai malu dan dia seperti mengalihkan pembicaraan.

“Gilang ini kan kos ditempat Bude yang itu.” ucap Bu Har dan Gendhis langsung terkejut sambil melihat kearahku.

“be, beneran.?” Tanya Gendhis dan terlihat wajahnya sudah tidak marah lagi kepadaku.

“iya, emang kenapa.?” ucap Bu Har dan Gendhis terus menatap wajahku.

“budal yo, kebengen engko.” (berangkat yo, kemalaman nanti.) Ucap Joko kepadaku.

“entar dulu, ini harus diselesaikan sekarang juga. Aku gak mau melihat kalian semua pergi dengan masih memendam sesuatu yang mengganjal dipikiran kalian.” Ucap Bu Har kepada kami bertiga.

“apalagi nanti waktu kuliah, Gilang pasti bertemu dengan Gendhis yang bekerja sebagai asisten dosen sipil.” Ucap Bu Har dan aku makin terkejut dibuatnya.

“Gendhis sih gak punya permasalahan sama dia Bude, tapi kenapa dia ketika bertemu Ghendis sok kenal banget.? Padahal kami berdua kan tidak saling kenal Bude.” Ucap Gendhis kepada Bu Har lalu melirikku.

“emang begitu ya Lang.?” tanya Bu Har kepadaku.

“iyo ta cok.?” Joko ikut bertanya kepadaku.

“entar dulu, aku hanya punya satu pertanyaan yang mungkin bisa menjelaskan semua.” Ucapku sambil melihat kearah Bu Har dan Gendhis bergantian.

“apa itu.?” tanya Bu Har.

“apa.?” Ucap Gendhis yang ikut bertanya.

“apa Mba Gendhis punya kembaran.?” Tanyaku.

“ha.?” Ucap Gendhis yang terkejut.

“maksudmu.?” Tanya Bu Har yang juga terlihat terkejut.

“Mba Gendhis ini punya kembaran apa enggak.?” Ucapku mengulang pertanyaanku sekali lagi.

“ya enggak lah.” Jawab Gendhis yang langsung membuatku terkejut dan terdiam. perlahan seluruh tubuhku merinding mendengar jawaban Gendhis barusan.

Jadi Intan itu siapa.? Kalau dia bukan saudara kembar Gendhis, kenapa wajahnya sama persis dengan wajah Gendhis.? Dan kenapa Intan menampakkan wujudnya dihadapanku, dengan wajah Gendhis.? Ada apa ini.? Arrgghh, mau gila aja aku rasanya.





#cuukkk.Setelah seharian tadi cukup banyak hal yang membuatku bahagia, kenapa sekarang aku mendengarkan sesuatu yang langsung membuatku terkejut dan kepalaku cenut - cenut.?
 
Terakhir diubah:
Selamat malam menjelang subuh om dan tante.

Update tipis - tipis ya.
Semoga berkenan dan semoga masih dinikmati.

Jangan lupa saran dan masukannya.

Salam Hormat dan salam persaudaraan..
:beer: :beer: :beer:
 
BAGIAN 9
KEJADIAN YANG MENGEJUTKAN



Gilang Adi Pratama. Namaku tertulis dipapan pengumuman dan aku diterima dikampus teknik kita, sesuai dengan jurusan yang aku ambil. Teknik Sipil.

Gilang Adi Pratama. Namaku berada diurutan paling atas, diantara seluruh peserta yang mengikuti ujian masuk dikampus teknik kita.

Gilang Adi Pratama. Nama itu sekarang telah terdaftar disalah satu kampus swasta terbaik negeri ini.

Hiufftt, huuu.

Satu langkah kakiku telah berada dikampus ini, dan aku tinggal melangkahkan kakiku yang satu lagi, supaya aku bisa memulai perjalanan panjangku dikampus ini. Aku harus membayar biaya masuk pendaftaran, supaya aku bisa mengikuti perkuliahan nantinya.

Uang yang ada ditanganku sekarang, berjumlah dua juta lima ratus ribu. Kurang lima ratus ribu lagi, uangku baru mencukupi untuk mendaftar kuliah. Sekarang waktunya aku menemui Pak Tomo lagi, untuk membahas tentang kelonggaran pembayaran pendaftaran kuliahku. Aku akan meminta keringanan kepada Beliau, supaya kekurangannya bisa aku cicil minimal dua semester kedepan.

Dan hari ini kampus sangat ramai sekali, karena teman – teman yang lulus tes masuk gelombang satu banyak yang daftar ulang. Selain itu juga, kampus ramai karena pendaftaran masuk gelombang kedua juga dibuka. Kampus negeri telah mengumumkan siapa aja yang diterima dikampus tersebut. Dan bagi yang tidak diterima, mendaftar di beberapa kampus swasta dikota pendidikan ini, salah satunya kampus teknik kita.

Aku tadi bersama Joko kekampus, tapi kami berpisah karena aku paksa dia untuk mengurus semua administrasinya lebih dulu. Joko sebenarnya membawa uangnya semua dan memaksaku memakai uangnya dulu untuk pendaftaran. Tapi sekali lagi aku menolaknya, karena aku tidak ingin membebani sahabatku itu.

Okelah, sekarang waktunya aku mengurus administrasiku. Aku berjalan kearah ruang Pak Tomo yang berada didekat ruang pendaftaran. Ketika aku melewati tempat pendaftaran, disana duduk seorang wanita cantik yang sedang melayani seorang pendaftar.

Hiufftt, huuu.

Wajahnya terlihat makin cantik, karena dia tersenyum dengan orang yang sedang berkonsultasi dihadapannya.



Gendhis

Gendhis. Kapan senyum manismu itu kau berikan kepadaku.? Kenapa setiap kita bertemu, selalu saja wajah dengan ekspresi kemarahan yang kau tunjukkan kepadaku.? Apa kamu masih marah denganku.? Terus apa yang harus aku lakukan, agar maafmu itu bisa kau berikan.? Dan kenapa juga aku harus sampai berharap kata maaf darimu.? Apa untungnya bagiku sih.? ya sebenarnya untung sih, karena kata maafmu, pasti diiringi senyummu yang bisa menenangkan jiwaku ini. Hehehe.

Sudahlah, aku urus aja dulu administrasiku. Semoga di lain waktu, aku diberikan kesempatan untuk mengucapkan kata maaf kepadamu.

Aku sekarang sudah berdiri didepan pintu ruang Pak Tomo yang tertutup. Dan aku langsung mengetuk pintu ruangan Beliau.

TOK, TOK, TOK.

Tidak ada sahutan dari dalam ruangan.

TOK, TOK, TOK.

Aku mengetuk lagi dan masih tidak ada jawaban dari dalam ruangan sana. Aku lalu melihat kearah Gendhis yang duduk tidak jauh dari aku dan memunggungi aku. Dan ketika mahasiswa yang ada dihadapannya pergi, aku pun langsung berjalan kearahnya.

Aku menarik nafasku dalam – dalam, lalu mengeluarkannya perlahan. Aku berharap semoga saja Gendhis tidak jutek lagi dengan kedatanganku kali ini.

“pagi mba.” Sapaku sambil berdiri disampingnya.

Gendhis langsung menoleh kearahku dan melihatku sesaat, lalu menunduk lagi dan menulis sesuatu dimejanya.

“kenapa.?” Jawabnya dengan cuek dan jutek, tanpa melihat kearahku.

Uhhh. Ternyata dia masih marah kepadaku.

“saya mau ketemu dengan Pak Tomo Mba,” ucapku dengan sangat sopannya, lalu aku tersenyum walaupun dia tidak melihat kearah wajahku.

“temuin diruangannya aja.” Jawab Gendhis.

“tutup ruangannya Mba.” Ucapku sambil melihat kearah ruang Pak Tomo.

“bukan itu ruangannya, tapi di jurusan teknik sipil.” Ucap Gendhis dan aku langsung melihat kearah Gendhis lagi. Dia tadi sempat melihat kearahku dan sekarang dia menunduk lagi sambil melanjutkan tulisannya.

“gedungnya dimana ya Mba.?” tanyaku lagi.

“cari didekat gedung kuliah teknik sipil.” Jawab Gendhis dengan nada yang makin terdengar tidak senang, karena kehadiranku dan kedatanganku ini.

Aku hanya menarik nafasku dalam – dalam lagi. Ini kalau aku lanjutkan pertanyaanku, mungkin dia akan langsung meluapkan semua kemarahannya kepadaku.

“oh iya Mba, terimakasih ya.” ucapku.

“hem.” Jawabnya singkat, padat dan membuat tenggorokan terasa cekat.

Akupun langsung meninggalkannya, dengan hati yang tidak ikhlas. Terus terang aku ingin mengakhiri semua ganjalan yang ada dihati ini kepadanya. Aku tidak ingin memulai kuliahku dengan bermasalah kepada siapapun. Aku ingin berkuliah dengan tenang dan damai dikampus ini. Lagian gak menutup kemungkinan, Gendhis ini salah satu staff pengajar dikampus ini. entah dijurusan apa atau bagian apa. Kalau seandainya dia dijurusan teknik sipil, apa aku gak dapat masalah nantinya,?

Arrggh. aku harus balik, aku harus balik sekarang. Aku harus menyelesaikannya sekarang juga.

Aku lalu membalikkan tubuhku dan melihat kearah Gendhis. Terlihat dia sedang melihat kearahku dan dia langsung terkejut, lalu menunduk ketika aku membalikan tubuhku dengan tiba – tiba ini.

Uhhh. Kamu lihat aku Ndis.? Beneran.? Bukannya kamu marah sama aku.? Atau kamu lihat yang lain dan aku hanya kegeeran saja.? arrgghh.

Aku pun mendekat kearah Gendhis, dan dihadapannya tidak ada mahasiswa baru yang berkonsultasi. Lalu dengan menguatkan hatiku, aku langsung duduk dihadapan Gendhis yang menunduk itu.

Aku menatapnya dan dia tidak sedikitpun mengangkat wajahnya, ataupun bersuara dengan kehadiranku dihadapannya saat ini.

“aku tidak akan pergi dari sini, dengan segala ganjalan dihati dan suasana yang sangat tidak mengenakkan ini.” ucapku yang mulai bersuara dan Gendhis langsung mengangkat wajahnya, lalu menatapku dengan tatapan yang sangat tajam sekali.

“kamu mau apa.? Kamu gak lihat situasi.? Kamu gak lihat kalau ada mahasiswa yang mengantri dibelakangmu.? Jangan pernah mementingkan kepentingan pribadimu, dengan mengorbankan kepentingan orang lain. Paham.?” Ucap Gendhis dengan tegasnya.

“bukannya aku mau mementingkan kepentingan pribadiku Mba. tapi karena aku memulai kesalahanku kepadamu ditempat ini, aku hanya ingin mengakhiri semua masalah itu ditempat ini juga.” Jawabku dengan tenangnya.

“Gak ada yang perlu diselesaikan dan ga ada yang perlu diakhiri. Kita tidak saling mengenal dan sekarang silahkan kamu pergi.” Ucap Gendhis dengan sangat ketus.

“baiklah, kalau Mba menganggap tidak ada permasalahan denganku, aku pamit undur diri. Mohon maaf kalau aku hanya membuat suasana hati Mba jadi gak enak hari ini.” ucapku dan dia hanya menatapku saja.

“aku melakukan semua ini, karena aku tidak ingin menyesal dikemudian hari Mba. Karena bagiku, hidup itu terlalu singkat untuk sebuah kata penyesalan.” Ucapku dan Gendhis langsung mengerutkan kedua alisnya.

“kamu itu kenapa sih.? kamu mau menyindir aku.?” ucap Gendhis dengan mata yang melotot.

“masih lama ya ngobrolnya.?” Tanya seorang calon mahasiswa dibelakangku.

Aku lalu melihat kearah orang itu lalu tersenyum.

“enggak kok, ini sudah mau selesai.” Ucapku kepada orang itu lalu melihat kearah Gendhis lagi.

“belum selesai, karena kamu belum menjawab pertanyaanku. Kamu nyindir aku.?” tanya Gendhis dan dia terlihat marah sekali.

“enggak, enggak pernah sedikitpun terlintas dipikiranku, untuk menyindir kamu Mba. Justru yang terlintas dipikiran ini, bagaimana caranya aku melihatmu tersenyum kepadaku. Itu saja.” Ucapku dengan tenang sambil terus menatap matanya yang melotot itu.

Wajah Gendhis yang marah itu langsung berubah seketika. Matanya yang melotot, perlahan mulai memandangku dengan tatapan yang.. sudahlah, aku gak bisa mengungkapkannya dengan kata – kata.

“aku tidak pernah sengaja melakukan hal bodoh itu sama kamu Mba. Walaupun kebodohan itu terulang – ulang, aku juga gak paham kenapa bisa seperti itu. Terserah kamu percaya atau enggak, tapi itulah kenyataannya. Mohon maaf Mba, maaf sekali. aku pamit.” Ucapku lalu aku berdiri dan sebelum dia berkata – kata lagi, aku pun langsung meninggalkannya.

Perasaanku sedikit lega, karena aku sudah mengungkapkan semua yang mengganjal dipikiranku. Walaupun belum terucap kata maaf darinya, tapi tatapannya cukup menjelaskan dan cukup membuatku sedikit tenang. Mungkin dilain waktu, aku akan mengajaknya berbicara lagi.

Sekarang waktunya aku menyelesaikan permasalahanku yang lain lagi. Aku mau mencari ruang gedung dosen teknik sipil, untuk menemui Pak Tomo.

Lalu tiba – tiba, Bughh.

Aku menabrak seorang wanita yang berjalan sangat terburu – buru dan dokumen yang dibawanya, langsung terhambur dijalan.

“aw.” Ucap wanita itu dan dia langsung melihatku sebentar, lalu menunduk dan mengumpulkan dokumennya.

“maaf mba. Maaf.” Ucapku sambil membungkukan tubuhku dan membantunya mengumpulkan dokumennya yang tercecer.

“gak apa – apa mas, saya yang harusnya minta maaf. Saya terlalu buru – buru banget dan gak melihat suasana sekitar.” Ucapnya sambil melihat kearahku, lalu menunduk dan mengumpulkan dokumennya lagi.

Huu. Kok cantik ya wanita ini.? gila, masa dikampus ini rata - rata wanitanya cantik - cantik sih.? sudah jumlahnya sedikit, terus cantik – cantik lagi. Apa gak keren tuh.?

Dan setelah semua dokumennya terkumpul, aku dan wanita itupun langsung berdiri berhadapan.

“oh iya, nama saya Gilang Mba.” Ucapku sambil menjulurkan tangan kananku kearahnya.

“jangan Mba mas, saya calon mahasiswi baru dikampus ini.” ucapnya sambil membalas jabatan tanganku.

Uhh. Tangannya lembut pakai banget lagi. Gilaaa.

“Panggil aja Ratna Mas, Ratna Silvi Juwita.” Ucapnya dengan suara yang sangat merdu sekali.



Ratna Silvi Juwita


“mahasiswi baru.? Sama dong, saya juga baru daftar Rat.” Ucapku sambil melepaskan jabatan tangan kami ini.

“oh iya.?” ucapnya yang sedikit terkejut dan aku langsung menganggukan kepalaku

“jurusan apa.?” Tanyanya lagi.

“sipil, kalau kamu.?” Tanyaku balik.

“sipil juga, hehehe.” Ucapnya dan diakhiri dengan senyuman yang sangat luar biasa manis sekali.

“oh iya.” sahutku dan entah kenapa aku sangat senang sekali mendapatkan teman baru dan satu jurusan denganku.

“iya. eh, kamu sudah daftar ulang belum.? Atau mau tes gelombang dua.?” Tanya Ratna.

“ini mau daftar ulang, tapi sekarang aku mau cari ruang Pak Tomo dulu. Dimana ya ruangannya.?” Jawabku sambil melihat kearah kanan dan kiri.

“oh cari Om Tomo.” Ucapnya

“Om Tomo.?” Tanyaku sambil melihat kearahnya dan mengerutkan kedua alisku.

“maaf, maksudku itu Pak Tomo ketua jurusan teknik sipil.” Ucapnya lagi.

“Pak Tomo ketua jurusan teknik sipil.?” Tanyaku lagi.

“iya. emang ada lagi Pak Tomo yang lain dikampus ini.?” ucapnya dan aku hanya mengangkat kedua bahuku, tanda aku tidak tau.

“itu ruangannya disebelah gedung ini.” ucap Ratna sambil menunjuk gedung didekat lapangan sana.

“oke, makasih ya Rat.” Ucapku.

“iya, aku mau lanjut daftar ulang dulu ya.” ucap Ratna dan aku hanya menganggukan kepalaku.

Ratna pun berjalan kearah berlawanan denganku dan aku berjalan kearah gedung yang ditunjuk Ratna tadi.

Diruangan dosen yang aku datangi ini, suasananya tidak terlalu ramai. Hanya beberapa mahasiswa lama yang terlihat sedang mengantri untuk tugas akhirnya. Dan setelah melihat kekanan dan kiri didalam ruangan, terlihat dipojokan ruangan tertulis papan nama yang tergantung didekat pintu. Ketua jurusan teknik sipil.

Aku lalu berjalan kearah ruangan itu dan ketika sampai didepan ruangannya, aku langsung mengetuk pintunya pelan.

TOK, TOK, TOK.

“masuk.” Terdengar suara dari dalam ruangan.

Aku membuka pintu ruangan, lalu aku mengangguk kepada seseorang yang duduk dibalik meja ketua jurusan.

“selamat siang pak.” Ucapku kepada Pak Tomo yang sedang menunduk dan menulis sesuatu dimejanya.

“siang.” Jawab Beliau sambil mengangkat wajahnya dan melihat kearahku, lalu menunduk lagi.

“masuk.” Ucapnya singkat lalu mengambil rokoknya yang menyala diasbak dan menghisapnya.

“duduk.” Ucap Beliau lagi ketika aku sudah berdiri didekat meja Beliau.

“terimakasih pak.” Jawabku sambil duduk dikursi dihadapan Beliau.

Akupun tidak bersuara lagi, karena terlihat Beliau sedang serius sekali menulis diatas mejanya. Aku hanya menunduk sambil memainkan kedua jempolku yang aku putar – putarkan diatas pahaku.

Satu menit, dua menit, lima menit, sepuluh menit berlalu, dan aku belum memulai pembicaraan ini. aku melirik kearah Beliau dan Beliau masih terlihat serius sekali.

“ehem.” Ucap Beliau yang mengejutkanku sambil mematikan rokoknya.

“jadi bagaimana.?” Ucap Beliau yang akhirnya mulai bersuara lebih dahulu.

“mohon maaf Pak. ini tentang lanjutan pembicaraan kita yang lalu. Saya sudah diterima dikampus ini dan saya ingin meminta keringanan untuk mencicil biaya masuk kuliah saya Pak.” Ucapku dengan tenangnya sambil menatap kearah Beliau.

“berapa uang yang ada dikamu sekarang.?” Tanya Pak Tomo.

“dua juta lima ratus pak.” Jawabku.

“itu hanya untuk daftar atau kamu ada simpanan untuk keperluan yang lain.?” Tanya Pak Tomo dengan wajah yang sangat serius.

“ini total semua uang yang saya punya sekarang Pak.” Jawabku.

“oke,” jawab Pak Tomo singkat lalu mengambil sebuah dokumen disebelah kiri Beliau.

“Gilang Adi Pratama, nilai ujian testmu terbaik diseluruh peserta ujian masuk yang berjumlah hampir dua ribu orang di gelombang pertama ini. kamu berada diurutan pertama.” Ucap Pak Tomo sambil melirik kearahku sambil tetap memegang dokumen ditangannya.

“Entah kenapa kamu mau mengikuti ujian masuk dikampus ini, dengan kepintaran yang kamu miliki. Kalau kamu mengikuti ujian masuk dikampus negeri, saya yakin kamu pasti bisa lolos.” Ucap Pak Tomo melanjutkan ucapannya.

“tapi sudahlah, saya tidak mau melanjutkan pembahasan itu. saya hanya mau menyampaikan kepada kamu, tiga besar peserta ujian yang lolos dengan nilai terbaik, dibebaskan dari biaya masuk.” Ucap Pak Tomo yang langsung membuatku terkejut.

“jadi simpan uangmu, untuk biaya kehidupanmu disini dan untuk biaya keperluan kuliahmu besok.” Ucap Pak Tomo, lalu Beliau mengambil rokoknya dan membakarnya.

Aku melihat Pak Tomo sudah tidak melanjutkan ucapannya, aku kembali menarik nafas dalam – dalam lalu mengeluarkannya.

“mohon maaf Pak, saya ijin berbicara.” Ucapku dan Beliau langsung menganggukkan kepalanya, sambil menghisap rokoknya.

“untuk yang pertama. Saya merasa tersanjung dengan ucapan Bapak yang mempunyai keyakinan, bahwa saya bisa lolos dikampus negeri dengan kemampuan yang saya miliki. Jujur saya mendaftar disini karena saya telat mendaftar di kampus negeri Pak. Tapi saya tidak pernah menyesal dengan keterlambatan itu, karena ini mungkin jalan dari Sang Pencipta yang disiapkan untuk saya dan saya harus menjalaninya Pak. Ini bukan karena Bapak baru saja berbicara seperti tadi loh ya, bukan Pak. Saya tidak pernah menyesal dengan keputusan yang saya ambil.” Ucapku dan Beliau hanya mendengarkan ucapanku sambil menikmati rokoknya.

“yang kedua, tentang biaya masuk saya yang digratiskan. Ini bukan karena saya pernah menemui Bapak waktu itu kan.? ini bukan karena belas kasihan, karena saya tidak bisa membayar tunai biaya masuk saya kan.? mohon maaf saya bertanya seperti ini, karena saya tidak pernah tau, bahwa tiga lulusan terbaik akan dibebaskan dari biaya masuk Pak. Dan mohon maaf sekali, saya tidak mau menerimanya kalau ini hanya karena ada rasa belas kasihan kepada saya.” Ucapku lagi dan Beliau hanya menatapku sambil terus menikmati rokoknya.

Dan setelah aku menyelesaikan ucapanku, Beliau lalu menyerahkan dokumen kepadaku dan aku langsung menerima dokumen itu.

“orang seperti kamu itu, tidak butuh belas kasihan. Bukan ucapanmu yang kami nilai, tapi kemampuanmu.” Ucap Pak Tomo dan aku langsung menunduk, lalu membaca dokumen yang ada ditanganku ini.

Disalah satu point yang tertulis didokumen ini, ada yang menerangkan bahwa tiga orang terbaik yang lulus test, akan dibebaskan biaya masuk dan itu ditanda tangani oleh Bapak Rektor.

Akupun langsung tersenyum senang dan aku sangat bersyukur sekali.

“terimakasih Pak.” Ucapku sambil melihat kearah wajah Beliau dan Beliau menatapku dengan tatapan yang datar.

“saya tidak butuh ucapan terimakasihmu,” ucap Pak Tomo dengan nada yang tegas dan aku langsung terdiam mendengarnya.

“kamu tau, kampus ini terkenal dengan sebuah kalimat, masuknya gampang tapi lulusnya sulit. Sepintar apapun mahasiswa disini, jarang ada yang lulus tepat empat tahun atau delapan semester. Biasanya empat setengah tahun, lima tahun, enam, tujuh bahkan ada yang sepuluh tahun baru lulus.” Ucap Pak Tomo dengan nada yang sangat serus sekali.

“dan saya mau kamu lulus dikampus ini empat tahun, tidak boleh lebih. Terserah bagaimana caramu. Dengan keyakinanmu atau dengan kegilaanmu.” Ucap Pak Tomo, lalu Beliau menghisap rokoknya lagi.

“saya tidak tau apa maksud Bapak mengucapkan ini kepada saya.? sebagai motivasi atau sebagai sindiran bagi saya. Yang jelas, tanpa Bapak ucapkan pun saya pasti akan berusaha semampu saya, untuk cepat menyelesaikan kuliah saya.” Ucapku.

“terserah kamu mengartikannya seperti apa, tapi saya itu paling gak suka kalau dikecewakan.” Ucap Pak Tomo.

“baiklah Pak, kalau begitu saya pamit dulu.” Ucapku sambil berdiri lalu aku menjulurkan tanganku kearah Beliau dan Beliau menyambutnya, lalu aku cium punggung tangan beliua.

“terimakasih atas semua bantuan Bapak.” Ucapku lalu aku berjalan kearah pintu ruangan.

“temanmu yang namanya Joko Purnomo itu, lumayan pintar juga. Nilai ujian testnya paling tinggi dijurusannya, tapi kalau digabung semua jurusan, dia hanya diperingkat lima.” Ucap Pak Tomo dan aku langsung membalikkan tubuhku dan aku tersenyum kepada Beliau.

Lalu aku membalikkan tubuhku lagi dan aku meninggalkan ruangan Pak Tomo ini dengan hati yang sangat gembira. Aku sangat senang sekali hari ini dan aku ingin menikmatinya sejenak, sebelum perjuangan yang sebenarnya akan aku hadapi esok hari. Memang terkesan norak sih, belum apa – apa sudah senang. Terserahlah orang mau bilang apa, karena ini hidupku. Aku itu paling suka menikmati sesuatu, sebelum melangkah kehal yang lain lagi.

Dan sekarang, setelah aku menyelesaikan semua administrasiku, aku berjalan menuju luar kampus. Dan dipagar kampus sana, Joko telah menungguku sambil menghisap rokoknya.

Dan ketika aku sudah tidak jauh dari Joko, dia langsung melihat kearahku dengan wajah yang sangat senang sekali dan seperti sangat bahagia. Ada apa dengan sahabatku ini.? apa dia tau tentang apa yang terjadi denganku barusan.? tapi tau dari mana.? Aku kan belum bercerita kepadanya.?

Aku lalu tersenyum juga kearahnya dan,

“NDOWEEE. HAHAHAHA.” teriak Joko, lalu dia tertawa dengan kerasnya.

Aku pun bingung dengan tingkah sahabatku itu. Aku lalu menoleh kearah belakangku dan aku melihat tiga orang dari desaku berada dikampus ini. mereka adalah Trisno, Guntur dan Kinanti.



Kinanti Nur Annisa


Waw, kok Kinanti tambah cantik aja ya.? wajahnya tidak lagi terlihat lugu seperti gadis pedesaan, tapi dandanannya sudah seperti wanita perkotaan. Luar bisa.

Tapi entar dulu, kok mereka bertiga ada dikampus ini.? mau apa mereka.? Dan kenapa mereka membawa dokumen ditangan.? Apa mereka bertiga akan mendaftar dikampus teknik kita.? berarti mereka bertiga gak lulus test dikampus negeri dong..

Aku lalu mengalihkan pandanganku kearah sekelilingku. Belasan orang melihat kearah Joko dengan ekspresi wajah yang kurang suka dan mulut yang gak bisa menutup.

Hemm, apa mereka yang melihat kearah Joko ini ndowe semua.? Aku lalu melihat kearah Joko yang sekarang terlihat salah tingkah, karena banyaknya mata yang melihat kearah dia.

Aku lalu berjalan mendekat kearahnya.

“kapokmu kapan koen cok. koen didelok’i karo wong – wong akeh.” (kapokmu kapan cok.? kamu dilihatin sama orang – orang banyak.) Ucapku berbisik kepadanya.

“assuuu.” Gumam Joko pelan

“durung tau lambemu disamplok sampe ndowe, ambe perkumpulan wong – wong iku ta.? mangkane, congormu iku dijogo.” (belum pernah mulutmu ditampar sampai gak bisa nutup, sama perkumpulan orang – orang itu kah.? makanya, mulutmu itu dijaga) ucapku lagi.

“cok, akeh yo wong ndowe nde kampus iki.” (cok, banyak ya orang yang gak bisa menutup mulutnya dikampus ini.?) Ucap Joko sambil menggaruk kepalanya.

Joko pun langsung melangkah mendekati tiga orang dari desaku itu. Trisno dan Guntur terlihat sangat tidak senang sekali, sedangkan Kinanti hanya diam saja sambil sesekali melirikku.

“lapo koen nde kene we.?” (kenapa kamu disini we.?) Tanya Joko ke Trisno.

“lapo seh.? Urusanku nde kene kato lapo ae. Awakmu seng duwe kampus ta.?” (kenapa sih.? urusanku disini mau ngapain aja. Kamu yang punya kampuskah.?) Jawab Joko dengan sinisnya.

“ojok nesu lah. Lambemu tambah ndowe loh lek nesu.” (jangan marahlah. Mulutmu makin terbuka lebar loh kalau marah.) Goda Joko ke Trisno.

“matamu.” Gerutu Trisno sambil mencoba merapatkan bibirnya beberapa saat, tapi terbuka lagi.

“eh Tur, piye.?” (eh Tur, gimana.?) Tanya Joko yang sekarang melihat kearah Guntur.

“piye apane.?” (gimana apanya.?) Tanya Guntur dengan nada yang ketus.

“lapo awakmu nde kene.?” (kenapa kamu disini.?) Tanya Joko lagi.

“duwekku akeh, mangkane aku kate kuliah nde kampus kene.” (uangku banyak, maknya aku mau kuliah dikampus ini.) Ucap Guntur dengan sombongnya.

“oo, duwekmu akeh yo. Hehe.” (oo, uangmu banyak ya. hehe.) Ucap Joko lalu tersenyum meledek.

“maksudmu opo ngguyu ngono.? Opo maksudmu aku iki ****** gak iso mlebu kampus negeri.?” (maksudmu apa ketawa begitu.? apa maksudmu aku ini ****** gak bisa masuk kampus negeri.?) Tanya Guntur dengan nada yang agak tinggi.

“aku gak ngomong ngono loh yo. Awakmu dewe seng ngomong. Hehehe.” (aku gak ngomong gitu loh ya. kamu sendiri yang ngomong. Hehehe.) Ucap Joko lalu tertawa lagi, sambil menjatuhkan rokoknya dan menginjaknya.

“jiancook.” Ucap Guntur dengan emosinya. dan ketika dia akan mendekati Joko, aku langsung menatapnya dengan tajam. Guntur pun langsung terdiam sambil melirikku.

“ayo wes Jok, lapo seh awakmu iku.” (ayo sudah Jok, kenapa sih kamu itu.?) Ucapku sambil merangkul pundak Joko dan menariknya pergi dari tempat ini.

Aku ingin segera pergi dari tempat ini, sebelum terjadi hal – hal yang gak diinginkan. Kalau aku biarkan, bisa saja wajah Guntur dan Trisno ini jadi dendeng sapi. Mereka berdua bisa ditampar sama kerasnya telapak tangan Joko itu.

“assuu.” gerutu Guntur dan Trisno, sedangkan Kinanti hanya terus melirikku dari tadi.

Aku terus merangkul pundak Joko sampai keluar pagar kampus teknik kita.

“lek ngedepi wedus iku, gak perlu dadi wedus.” (kalau menghadapai kambing itu, gak perlu jadi kambing.) ucapku sambil meremas pundak Joko pelan dan dia langsung mengerti ucapanku, lalu tersenyum.

“wis mari ta urusanmu.?” (sudah selesai urusanmu.?) Tanyaku ke Joko sambil melepaskan rangkulanku.

“sakjane aku seng takon ngono karo awakmu cok.” (harusnya aku yang tanya begitu sama kamu cok.) ucap Joko sambil meraih rokoknya lalu membakarnya.

“aman cok.” jawabku sambil meminta rokoknya sebatang, lalu aku membakarnya.

“aman piye.?” (aman gimana.?) Tanya joko.

“aku gak perlu mbayar uang daftar ulang.” Jawabku dan Joko langsung menghentikan langkahnya.

“maksudmu piye.? Awakmu entok beasiswa.?” (maksudmu gimana.? kamu dapat beasiswa.?) Tanya Joko dengan wajah yang sangat heran sekali.

“nilai ujian tesku paling apik cok, dadi aku gak perlu mbayar daftar ulang.” (nilai ujian tesku paling bagus cok, jadi aku gak perlu membayar daftar ulang.) Jawabku sambil memainkan kedua alis mataku, lalu aku menghisap rokokku.

“tenanan.?” (beneran.?) Tanya Joko dengan wajah yang sangat senang sekali dan aku hanya mengangguk pelan.

“JIANCOK,” ucap Joko lalu dia memelukku dengan erat.

“HAHAHAHA,” Joko tertawa dengan kerasnya sambil memelukku dan menepuk punggungku dengan agak kuat.

BUHG, BUHG, BUHG, BUHG,

“loro cok.” (sakit cok.) ucapku sambil melepaskan pelukan Joko ini.

“hahaha, assuu.” maki Joko sambil memukul dada sebelah kananku pelan.

Buhgg.

“cek senenge koen cok.?” (kok senang banget kamu cok.?) tanyaku.

“matamu iku. Ket wingenani iku seletku mbrebek mili cok. bayangno raimu seng kekurangan duwek gawe daftar. Assuu.” (matamu itu. dari kemarin itu pantatku meneteskan air mata cok. membayangkan mukamu yang kekurangan uang untuk daftar ulang. Anjing.) maki Joko lalu dia memelukku lagi.

“westalah, seng penting saiki masalah pertama wes mari.” (sudahlah, yang penting sekarang masalah pertama sudah selesai.) Ucapku sambil membalas pelukan sahabat gilaku ini.

“iyo.” ucap Joko lalu dia melepaskan pelukannya dan kulihat matanya berkaca – kaca.

“huufftttt. Perjalanan kaet kate dimulai, tapi wes kroso yo.” (huufftt. Perjalanan baru mau dimulai, tapi sudah kerasa ya.) Ucap Joko sambil membuang wajahnya, karena dia tidak ingin memperlihatkan kesedihannya yang tiba – tiba datang itu.

“namanya hidup, permasalahan itu pasti akan datang dengan sendirinya.” Ucapku sambil merangkul Joko dan mengajaknya berjalan kearah kosan.

“semakin kuat seseorang, semakin kuat juga ujian yang akan datang. Dan sekarang tergantung dari diri kita sendiri, mau atau tidak kita menjalaninya. Tergantung dari kita sendiri, mau atau tidak menjadi orang yang lebih kuat. Tergantung dari kita sendiri, mau atau tidak merubah kehidupan kita menjadi yang lebih baik.” Ucapku dengan tetap merangkul Joko.

“omonganmu tambah kemlinti cok.” (omonganmu tambah sombong cok.) ucap Joko pelan.

“lek gak kemlinti, gak mungkin aku dadi dulormu cok.” (kalau gak sombong, gak mungkin aku jadi saudaramu.) jawabku.

“asuu.” maki Joko dan aku langsung melepaskan rangkulanku.

“modal awak dewe iku mek siji.” (modal kita itu cuman satu.) Ucapku sambil mengepalkan tangan kananku kearah Joko.

“semongko.” Ucap Joko pelan, sambil meninju kepalan tanganku.

“SEMANGAT NGANTI BONGKO.” (semangat sampai mampus.) teriak kami berdua.

“HAHAHAHA.” Kami berdua tertawa, sambil terus berjalan kearah kosan.



Sore hari menjelang malam dikosan.

Entah kenapa hari ini aku sangat mengantuk sekali. jarang loh aku merasakan tidur siang seperti hari ini dan tidurku sangat nyenyak sekali. biasanya kalau siang hari sampai sore seperti ini, pasti aku isi dengan mengamen atau mengerjakan sesuatu yang lain.

Apa karena hari ini aku sangat berbahagia, sampai aku bisa tertidur nyenyak sekali.? mungkin bisa juga dikatakan seperti itu. mungkin aku terlau menikmati semua, jadi pikiranku dan tubuhku ini, ingin beristirahat sejenak.

Hiuufft, huuu.

Gila, kenapa aku malas bangun dari tempat tidur ya.? aku masih mau memejamkan kedua mataku lagi, sampai esok pagi.

“nikmatilah, selagi kamu bisa merasakan kenikmatan itu.” ucap Intan yang tidur disebelahku.



Intan

“iya aku tau, tapi aku gak mau sampai terlalu berlarut dan aku malah terbuai dengan kenikmatan ini.” jawabku sambil melihat kearah langit – langit kamar.

“tapi gak salah kan kalau kamu mengistrihatkan sejenak pikiran dan tubuhmu ini.” ucap Intan yang perlahan menggeser tubuhnya mendekat kearahku, lalu memiringkan tubuhnya dan sebagian tubuhnya, menindih tubuhku.

Intan yang ada disebelah kiriku, tidur diatas dadaku dengan dada bagian kirinya, menempel didadaku dan wajahnya juga bersandar didada atas dekat bahuku. Baju terusan berwarna putih yang dipakai Intan pun, terangkat sampai pahanya yang putih itu terlihat.

“aku jarang loh tidur siang seperti ini, mungkin bisa dihitung dengan jari selama hidupku ini.” ucapku.

“emang kenapa.? Tidur siang itukan bukan berarti malas.” Ucap Intan dan telapak tangan kirinya, mulai meraba dadaku pelan dari luar kaosku.

“iya, tapi tanganmu jangan gitu dong.” Ucapku protes.

“kenapa.? Kamu gak suka.?” Tanya Intan sambil mengangkat wajahnya dan menatap wajahku.

“ya, ya, ya gimana ya.?” ucapku sambil membalas tatapannya.

“suka apa nggak.?” Tanya Intan dengan nada yang menggoda dan tangannya itu langsung menyelinap dibalik kaosku.

Telapak tangannya yang dingin dan menyentuh kulit dadaku itu, langsung membuat tubuhku merinding.

“uhhh.” Ucapku sambil menahan nafasku sesaat.

“suka atau nggak.?” Tanya Intan lagi sambil tersenyum dan tatapannya sangat menggoda sekali.

“sudah, sudah ya.” ucapku sambil memejamkan kedua mataku sekejap, lalu membukanya lagi.

“beneran sudah.?” Tanya Intan dan perlahan rabaannya naik keputting kananku, lalu memelintirnya pelan.

“hup.” Aku langsung memegang tangan Intan dari luar kaosku dan menahannya.

“Tan.” Ucapku dengan nada yang sangat bingung.

Aku bingung dengan apa yang ada dihadapanku saat ini. Menghentikannya atau membiarkan saja kenikmatan ini berjalan, sesuai dengan keinginan nafsu yang mulai membisiki telingaku.

“apa.?” Ucap Intan dengan suara yang lembut sambil mendekatkan wajahnya kearah wajahku. Tanganku pun perlahan melepaskan pegangan ditangan intan, yang masih ada didalam kaosku. Rabaan Intan dilanjutkan lagi dan sekarang sudah bermain di putting sebelah kiriku.

“uhhhh.” Ucapku mendesah pelan dan,

CUPPP.

Intan mengecup bibirku pelan lalu menatap wajahku lagi. Tatapan mata Intan sangat sayu dan membuat gairahku semakin memanas, apalagi rabaannya sekarang mulai turun keperutku.

“ahhhh.” Desahku lagi dan.

CUPPP.

Intan mengecupku lagi, sambil terus menurunkan rabaanya dibagian bawah perutku.

Aku langsung memeluk tubuh Intan dan mendorongnya pelan sampai aku menindih tubuhnya.

Aku lalu memajukan bibirku dan.

“COK.” maki Joko yang tiba – tiba membuka pintu kamarku.

Akupun langsung menoleh kearahnya dengan terkejutnya.

“assuu.” makiku.

“koen iku lapo cok.? iku guling cok, lapo kate koen ambong cok?” (kamu itu kenapa cok.? itu guling cok, kenapa mau kamu cium cok.?) ucap Joko sambil menggelengkan kepalanya dan aku langsung melihat kearah sesuatu yang aku peluk ini. Dan ternyata yang aku peluk memang guling dan bukan Intan lagi.

“sopo seng kate ngambung cok.? aku loh turu iki. Moso aku salah kelon ambek gulingku dewe.?” (siapa yang mau nyium cok.? aku loh tidur ini. masa aku salah meluk gulingku sendiri.) Ucapku berbohong.

“hihihi.” Intan pun tertawa sambil duduk dikursi kamarku.

“gak salah cok. Seng salah iku, lapo kate koen ambong gulingmu.?” (gak salah cok, yang salah itu, kenapa mau kamu cium gulingmu.) Ucap Joko.

“seng kate ngambung sopo cok.?” (yang mau nyium siapa cok.?) tanyaku.

“tenanan gendeng koen cok.” (beneran gila kamu cok.) ucap Joko lalu dia membalikkan tubuhnya dan melangkah kekamarnya, tanpa menutup pintu kamarku lagi.

“hihihi.” Intan tertawa dengan senangnya.

“senang kamu ya.” ucapku kepada Intan, lalu aku menegakkan tubuhku dan berjalan keluar kamarku.

“hihihi.” Intan terus tertawa didalam kamarku.

“ngamen ta cok.?” (ngamen kah cok.?) tanyaku sambil berdiri didepan kamar Joko.

“lek koen gendeng, gak usah ngamen cok.” (kalau kamu gila, gak usah ngamen cok.) ucap Joko tanpa melihat kearahku.

“matamu.” Ucapku lalu berjalan kearah kamar mandi.

Aku lalu mandi dan setelah itu aku berganti pakaian.

“mau ngamen lagi.?” Tanya Intan yang masih duduk dikursi kamarku.

“iya.” jawabku singkat.

“jangan pakai acara minum loh ya.” ucap Intan.

“hem.” Jawabku singkat

“kenapa sih.? kok bête banget.?” Tanya Intan.

“yang bête siapa.?” Tanyaku.

“gak bête tapi ngambek.” Ucap Intan yang mulai berdiri dari kursi lalu melangkah mendekat kearahku.

“apasih kamu itu.?” ucapku dengan sedikit kesal, karena terus terang ada yang mengganjal dan harus diselesaikan.

CUUPPP.

Intan mengecup pipi kananku.

“maaf kalau ada yang mengganjal.” Ucap Intan sambil membelai pipiku dan aku langsung menarik nafasku dalam – dalam, lalu mengeluarkannya pelan.

“sepertinya kita sudah sangat melewati batas ya.?” ucapku sambil menatap matanya.

“enggak akan, kalau kita bisa menjaga batasan kita.” jawab Intan dengan lembutnya.

“batasan yang seperti apa.? Bagiku kita ini sudah tidak berjarak.” Ucapku.

“sedekat apapun kita saat ini, kita tetap berjarak. Hatimu ini, bukan milikku. Jadi tenang saja.” ucap Intan dan aku langsung mengerutkan kedua alisku.

“banyak hal yang menjadi rahasia dan kamu belum menceritakan kepadaku tan.” Ucapku dengan nada yang sangat serius.

“belum waktunya. Kalau sudah tiba saatnya, tanpa kamu minta pun, aku akan menceritakan semua.” Ucap Intan sambil terus mengelus pipiku.

“COK, SIDOK NGAMEN OPO ORA.?” (cok, jadi ngamen apa gak.?) Teriak Joko dari luar kamarku.

“YO.” Jawabku singkat sambil melihat kearah pintu kamarku yang tertutup, lalu melihat kearah Intan lagi.

“terus kapan waktunya.?” Tanyaku kepada Intan.

“tidak usah dinanti, karena waktu itu pasti akan datang.” Jawab Intan, lalu.

CUUPPP.

Intan mengecup pipi kananku.

“sekarang pergilah. Dan ingat, jangan minum ya.” ucap Intan sambil memundurkan tubuhnya.

“gak janji.” Ucapku sambil melangkah kearah pintu kamarku lalu membukanya.

“suwine cok, ngambung guling maneh ta awakmu iku.?” (lamanya cok, cium guling lagikah kamu itu.?) Tanya Joko ketika aku muncul dari kamarku.

“lapo.? Kate tak ambong nganti ndowe ta lambemu iku.?” (kenapa.? Mau kucium sampai gak bisa nutupkah bibirmu itu.?) Ucapku sambil memajukan bibirku kearah Joko, yang sedang menggendong gendang paralonnya itu.

“loro koen cok, asli koen loro.” (sakit kamu cok, asli kamu sakit.) Ucap Joko lalu.

DUNG, TAK, DUNG,

Joko menabuh gendangnya dengan kuat sampai aku terkejut.

“asuu,” makiku sambil berjalan kearah ruang tamu dan mengambil gitarku yang aku letakkan dikursi ruang tamu.

“asuu, asuu ae. Tak kaplok koen engko.” (anjing, anjing aja. Ku tampar kamu nanti.) Ucap Joko sambil membuka pintu kosan.

“lapo seh awakmu muring – muring ae cok.?” (kenapa sih kamu marah – marah aja.?) tanyaku sambil melangkah keluar kosan bersama Joko.

“aku luwe cok, awak dewe durung mangan ket awan mau.” (aku lapar cok. kita belum makan dari siang tadi.) Ucap Joko dan aku baru sadar, kalau kami baru makan tadi pagi saja.

“mari ngene tuku ae.” (habis ini kita beli aja.) Ucapku sambil mengunci pintu kosan dan Intan berdiri disebelahku.

“hati – hati, jangan terlalu malam pulangnya.” Ucap Intan dan aku hanya melriknya saja.

“aku pengen mangan enak cok, bosen mangan tahu ambe tempe ae bendino.” (aku mau makan enak cok, bosan makan tahu sama tempe aja setiap hari.) Ucap Joko.

“yo mari ngene mangan karo endok ceplok.” (ya habis ini makan sama telor ceplok.) Ucapku sambil melangkah keluar pagar.

“mangan sate po’o cok. gak pengen mangan enak ta wakmu.” (makan sate aja cok. gak kepengan makan enak kah kamu.?) Ucap Joko mengomel.

“sakarebmu lah, seng penting atimu seneng.” (terserah kamulah, yang penting hatimu senang.) Ucapku dan kami sudah berjalan mendekati rumah Bu Har.

Hari mulai gelap dan hawa terasa sangat dingin sekali sekarang ini. dan tiba – tiba aku dikejutkan dengan kehadiran seorang wanita yang muncul dari dalam rumah Bu Har yang kami lewati ini.

Seorang wanita dengan memakai baju terusan putih sampai selututnya.

Gila, ngapain Intan sampai kesini sih.? apa dia mau membuntuti aku.?

Akupun langsung menghentikan langkahku dan melihat kearah Intan. Dia pun langsung melihat kearahku dengan tatapan yang tajam sekali.

“ngapain kamu disini.?” Tanyaku dengan nada sedikit agak keras dan Intanpun tampak marah sekali kepadaku.

“cok, koen gak po – po ta.? lapo koen ngomong ngono karo Mba Gendhis cok.?” (cok, kamu gak apa – apa kah.? Kenapa kamu ngomong gitu sama Mba Gendhis cok.?) ucap Joko dan aku langsung terkejut dibuatnya, karena dia bisa melihat mahluk yang ada dihadapanku ini.

“ha, Mba Gendhis.?” Ucapku sambil melihat kearah Joko lalu melihat kearah wanita yang berdiri dan menatapku dengan kejengkelannya itu.

Wanita ini Gendhis.? Beneran.? Mau apa dia kesini dan kenapa pakaiannya sama persis seperti Intan.? Arrgghhh.

“kamu itu kenapa sih.? kenapa kamu selalu mengucapkan kata – kata itu, ketika kamu ketemu sama aku.? kamu itu siapa ku.?” Tanya Gendhis dengan jengkelnya.




Gendhis



“ma, maaf Mba.” Ucapku terbata.

“katanya kamu itu mau buat aku tersenyum, tapi apa.? Kamu selalu saja buat aku jengkel.” Ucap Gendhis dengan ketusnya.

“ndis, kenapa marah – marah.?” Tanya Bu Har yang keluar dari rumahnya.

Bu Har tampak sangat seksi sekali, dengan pakaian yang sangat ketat melekat ditubuhnya itu. Buah dadanya semakin terlihat besar dan lekukan tubuhnya, membuat panas dingin orang yang menatapnya.




Bu Har



“cok, semongko cok.” ucap Joko pelan dan aku tidak menghiraukannya.

“ini loh Bude, dia selalu saja buat Gendhis marah kalau bertemu dengannya.” Ucap Gendhis sambil melihat kearah Bu Har.

Bude.? Gak salah dengar nih aku.? Gendhis ini keponakan Bu Har.? Terus intan itu keponakan Bu Har juga gitu.? Tapi apa benar Intan itu saudara kembar Gendhis, kalau bukan bagaimana.? Tapi kalau bukan saudara kembar, kenapa wajah mereka sangat mirip sekali.? bukan hanya wajah aja, tapi segala sesuatu yang ada didiri Gendhis ini, sama seperti yang ada di diri Intan. Apa aku gak bingung kalau gitu.? Arrgghhh.

“Bude.?” Tanyaku pelan, untuk memastikan apa yang ada dipikiranku ini.

“iya. Gendhis ini anaknya adikku.” Jawab Bu Har dengan suara lembut dan seksinya itu.

“cok, mati koen.” (cok, mati kamu.) Bisik Joko kepadaku.

Uhh.. kok jadi seperti ini sih.? ini benaran atau aku lagi mimpi.? Wah, aku bisa dapat masalah besar kalau seperti ini caranya.

“kalian sudah saling kenal.?” Tanya Bu Har sambil melihat kearah Gendhis lalu melihat kearahku.

Aku dan Gendhis langsung menggeleng pelan.

“kalau belum saling kenal, kenapa sudah marahan seperti ini.?” tanya Bu Har dengan wajah yang menggoda kepada kami berdua.

“apasih Bude ini.? kok wajahnya seperti itu kalau tanya.?” Ucap Gendhis kepada Bu Har.

“jangan marah gitu dong sayang. Marah dan cinta itu jaraknya dekat banget loh.” ucap Bu Har lalu tersenyum kepada Gendhis.

“kok ngomongnya Bude jadi ngelantur begini.?” tanya Gendhis sambil meraju.

“ihh, kok gitu amat sih kamu Ndis.?” Goda Bu Har ke Gendhis.

“apa sih Bude.?” Tanya Gendhis dengan suara yang memelas.

“belum pernah loh Bude melihat keponakan Bude yang cantik ini, bersikap seperti ini kalau sama laki – laki.” Ucap Bu Har lalu mengelus dagu Gendhis pelan, dan itu langsung membuat Gendhis malu serta salah tingkah.

“Bude kok bisa kenal sama dia sih.?” tanya Gendhis yang terlihat mulai malu dan dia seperti mengalihkan pembicaraan.

“Gilang ini kan kos ditempat Bude yang itu.” ucap Bu Har dan Gendhis langsung terkejut sambil melihat kearahku.

“be, beneran.?” Tanya Gendhis dan terlihat wajahnya sudah tidak marah lagi kepadaku.

“iya, emang kenapa.?” ucap Bu Har dan Gendhis terus menatap wajahku.

“budal yo, kebengen engko.” (berangkat yo, kemalaman nanti.) Ucap Joko kepadaku.

“entar dulu, ini harus diselesaikan sekarang juga. Aku gak mau melihat kalian semua pergi dengan masih memendam sesuatu yang mengganjal dipikiran kalian.” Ucap Bu Har kepada kami bertiga.

“apalagi nanti waktu kuliah, Gilang pasti bertemu dengan Gendhis yang bekerja sebagai asisten dosen sipil.” Ucap Bu Har dan aku makin terkejut dibuatnya.

“Gendhis sih gak punya permasalahan sama dia Bude, tapi kenapa dia ketika bertemu Ghendis sok kenal banget.? Padahal kami berdua kan tidak saling kenal Bude.” Ucap Gendhis kepada Bu Har lalu melirikku.

“emang begitu ya Lang.?” tanya Bu Har kepadaku.

“iyo ta cok.?” Joko ikut bertanya kepadaku.

“entar dulu, aku hanya punya satu pertanyaan yang mungkin bisa menjelaskan semua.” Ucapku sambil melihat kearah Bu Har dan Gendhis bergantian.

“apa itu.?” tanya Bu Har.

“apa.?” Ucap Gendhis yang ikut bertanya.

“apa Mba Gendhis punya kembaran.?” Tanyaku.

“ha.?” Ucap Gendhis yang terkejut.

“maksudmu.?” Tanya Bu Har yang juga terlihat terkejut.

“Mba Gendhis ini punya kembaran apa enggak.?” Ucapku mengulang pertanyaanku sekali lagi.

“ya enggak lah.” Jawab Gendhis yang langsung membuatku terkejut dan terdiam. perlahan seluruh tubuhku merinding mendengar jawaban Gendhis barusan.

Jadi Intan itu siapa.? Kalau dia bukan saudara kembar Gendhis, kenapa wajahnya sama persis dengan wajah Gendhis.? Dan kenapa Intan menampakkan wujudnya dihadapanku, dengan wajah Gendhis.? Ada apa ini.? Arrgghh, mau gila aja aku rasanya.





#cuukkk.Setelah seharian tadi cukup banyak hal yang membuatku bahagia, kenapa sekarang aku mendengarkan sesuatu yang langsung membuatku terkejut dan kepalaku cenut - cenut.?
Like dl koment belakangan, makasih update nya suhu @Kisanak87 ..sehat selalu
 
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd