Agen Terpercaya  
 
 
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

CERBUNG - TAMAT I M P I A N 1

silahkan

  • dijawab sebisanya

    Votes: 347 45,6%
  • pertanyaan yang berkaitan dengan cerita

    Votes: 538 70,7%

  • Total voters
    761

BAGIAN 11
HARI YANG GILA





Intan


“Rajin banget sih jam segini sudah masak.” Ucap Intan yang tiba – tiba berdiri disebelahku.

“Ini pertanyaan atau ejekan.?” Ucapku sambil melirik kearahnya.

“Kok sensitive banget.? mentang – mentang dah diterima dikampus teknik kita.” ucap Intan sambil berjalan kearah belakangku, lalu memelukku dari belakang.

“Tan, aku lagi masak ini.” protesku, ketika kedua tangannya meraba dadaku pelan.

“Hihihi. Iya iya. gitu aja ngambek.” Ucap Intan sambil melepaskan pelukannya.

Malam menjelang pagi ini, tepatnya jam tiga aku sudah terbangun dan memulai aktifitas untuk persiapan ospek dihari pertama. Dengan mata bagian kanan yang membiru akibat dihantam Mas Adam kemarin sore, aku memasak nasi jagung untuk kubawa sebagai tugas ospek.

Gara – gara ucapan semongko yang aku tularkan kepada seluruh mahasiswa baru, kami semua harus merasakan kepalan tangan dan injakan kaki dari para senior. Semua laki – laki harus merasakan sakit, perih dan panasnya serangan yang bertubi – tubi dari panitia keamanan. Kalau yang perempuan, langsung disuruh jamping jack diiringi teriakan yang membuat mereka menetaskan air mata.

Gila, padahal kemarin itu baru pengarahan dan persiapan ospek, bagaimana kabar hari ini ya.? apa gak lebih gila kekerasannya.?

Sakit sih pukulan mereka, tapi gak apa – apa. Anggap aja ini sebagai ungkapan sayang dari para panitia itu kepada kami. Yang justru terasa lebih sakitnya itu, sikap beberapa teman angkatanku yang menganggapku sebagai biang keladi permasalahan ini. Walaupun lebih banyak yang membelaku, tapi tetap saja aku merasa tidak enak dengan semua teman – temanku itu.

Marah.? Sebenarnya mau marah dan tidak terima dengan perlakuan yang sudah kelewat batas ini. Tapi apa daya, ini merupakan tradisi turun menurun dan gak bisa dihindari, kalau mau masuk kampus teknik kita. Waktu dulu mau masuk STM aja, aku ditempeleng sama seniorku. Masa masuk kuliah perlakuannya lebih lembut.? kan gak mungkin seperti itu.

Mau nangis.? Ya gak mungkinlah. Karena Bapakku pernah berpesan, semakin kuat seseorang, maka semakin keras juga ujian yang akan dialaminya.

Terus sekarang aku harus bagaimana.? Ya menikmati setiap proses perjalanan yang ada didepanku saat ini. Seberapa keras sih pukulan para senior itu, dari pada omongan para tetanggaku.? Keras mana pukulan difisik sama ucapan yang mengena dihati.? Pasti ucapan yang mengena dihati kan.? kalau didengarkan, ucapan orang itu pasti membekas seumur hidup. Ucapan mereka semua saja bisa aku anggap angin lalu, masa pukulan yang bisa sembuh dalam beberapa hari ini saja, tidak bisa aku nikmatin sih.?

“Ya sabar. Memang seperti itu kalau mau masuk kampus teknik kita.” ucap Intan yang menemaniku memasak.

“Tapi masa iya harus dengan kekerasan.?” tanyaku sambil memotong sayur yang akan dibuat urapan..

“Namanya juga kampus teknik. Kan kamu sudah tau itu.” jawab Intan.

“Emang dulu waktu kamu ospek sekeras ini.?” tanyaku.

“Tepatnya lebih keras dan sangat keras sekali.” jawab Intan dan aku langsung melihat kearah Intan.

“Oh iya.?” tanyaku.

“Waktu dulu, pagar kampus teknik kita itu ditutupi pagar seng selama seminggu pelaksanaan ospek. Jadi kekerasan didalam tidak terlihat dari luar sana.” Ucap Intan dan aku langsung mengerutkan kedua alisku.

“Kok bisa.?” Tanyaku dengan herannya.

“Bisalah, buktinya angkatanku mengalami hal itu. Dan karena tertutup seperti itu, panitia keamanan sangat brutal sekali kalau menghajar para peserta ospek. Pandu itu dulu sampai pingsan kalau dihajar Bang Daud.” Ucap Intan melanjutkan ceritanya.

“Bang Daud.?” Tanyaku lagi.

“Bang Daud itu senior kami yang paling kejam. Dia salah satu penghuni pondok merah yang paling sadis kepada para mahasiswa baru.” jawab Intan.

“Oh iya.? bukannya Mas Pandu itu penghuni pondok merah juga .? Selain itu, Mas Pandu itu preman yang sangat disegani didaerahku. Masa dia gak bisa melawan Bang Daud.?” Tanyaku lagi.

“Pondok merah itu bersisi para bajingan yang gila - gila. Jadi sekuat apapun kamu, kalau sudah berhadapan dengan pondok merah, pasti akan tumbang juga.” Jawab intan.

“Bisa seperti itu ya.? padahal Mas Pandu itu keluarganya preman juga loh. Masa Bang Daud gak tau dan gak takut.?” Tanyaku sambil melanjutkan memotong sayur.

“Pasti taulah, tapi gak mungkin takut.” Jawab Intan.

“Kok bisa.?” Tanyaku yang makin penasaran.

“Pondok merah itukan jaringannya keluarga besarnya Pandu, jadi aman aja kalau Bang Daud menghajar Pandu sampai pingsan.” Jawab Intan.

“Dan biasanya, kalau ada maba yang diberlakukan ‘special’ seperti itu, dia itu calon penghuni pondok merah.” Ucap Intan lagi.

“Hem, begitu ya.? Kok kamu sepertinya paham dengan seluk beluk pondok merah.?” Tanyaku lagi.

“kan sudah kubilang, aku dulu sahabatnya Pandu.” Jawab Intan

“Oo.” ucapku sambil mengangguk pelan.

“Jadi nikmati aja sambutan selamat datang dari mereka, selama seminggu ini.” ucap Intan dan aku hanya meliriknya, lalu menggelengkan kepalaku pelan.

“Cok, kok tenanan Mas Wagiyo mancal dodoku ambe ngantem ndasku.” (Cok, kok beneran Mas Wagiyo injak dadaku sama mukul kepalaku.?) Gerutu Joko yang keluar dari kamarnya, sambil memegangi pelipisnya yang terluka.

Aku pun langsung melirik kearah Intan yang tersenyum kepadaku.

“Ket mambengi iku ae seng koen bahas cok.” (Dari tadi malam itu aja yang kamu bahas cok.) Ucapku sambil mengambil nasi jagung yang telah masak dipanci.

“Loro cok.” (Sakit cok.) Ucap Joko yang sekarang memegang kepalanya yang plontos.

Semalam kami berdua memang langsung menggundul rambut kami bergantian dikosan. Dan sebelumnya, kami berbelanja segala kebutuhan untuk ospek hari pertama ini. Mulai dari segala peralatan dan bahan tugas, sampai bahan makanan yang akan kami bawa nanti.

Kami berbelanja berempat. Aku, Rendi, Bendu dan Joko. Setelah itu Bendu pulang kerumahnya, sedangkan Rendi kekosannya. Sebenarnya aku mengajak Rendi dan Bendu untuk tidur dikosan ini, supaya pagi ini kami bisa berangkat bareng. Tapi setelah tau aku kos ditempat ini, Bendu langsung pucat dan pulang terburu – buru bersama Rendi.

“Wes talah, dinikmati ae. Wong sak minggu ae loh.” (Sudahlah, dinikmati aja. Orang cuman seminggu aja loh.) Ucapku, sambil mengambil wajan untuk menggoreng ikan asin.

“Seminggu dipancali kok dinikmati, gendeng awakmu iku.” (Seminggu diinjak kok dinikmati, gila kamu itu.) Ucap Joko sambil mengambil sayuran yang sudah aku potong lalu dicucinya.

“Milih endi, dipancal karo panitia opo dipancal karo sapine Mbahmu seng akeh iku.?” (Milih mana, diinjak sama panitia apa diinjak sapinya Mbahmu yang banyak itu.) Tanyaku sambil mencari minyak goreng.

“Dengkulmu iku. Sikile sapi dipadakno ambek sikile menungso. Asuu.” (Lututmu itu. kakinya sapi disamakan sama kakinya manusia. Anjing.) Omel Joko.

“Minyak gawe nggoreng endi Jok.?” (Minyak buat goreng mana Jok.?) Tanyaku yang tidak menghiraukan ucapan Joko.

“Mambengi wes tuku ngono loh, gak dilebokno ambe seng dodol ta.?” (Tadi malam sudah beli gitu loh, gak dimasukkan sama yang jual kah.?) ucap Joko dan aku hanya menggelengkan kepalaku pelan.

“Assu.” (Anjing.) Maki Joko ketika tau minyak gorengnya tidak dimasukkan dibelanjaan kami, padahal kami sudah membayarnya.

TOK, TOK, TOK.

Pintu kosan kami diketuk seseorang.

“Sopo iku.?” (siapa itu.) Tanya Joko.

“Yo dibuka Jok.” Ucapku dan Joko langsung berjalan kearah pintu kosan.

Beberapa saat kemudian, Joko masuk dan dia bersama Bi Ati yang terlihat sangat segar dipagi ini. Jokopun sempat melirikku dan dia mengkode ku untuk melihat tubuh semok Bu Ati.

Waw. Memang cantik dan montok Bi Ati ini. dia terlihat bukan seperti pembantu, tapi seperti keluarga dari Bu Har. Tapi ngomong – ngomong, apa gak kedinginan Bi Ati pakai - pakaian seperti itu.? kaos tak berlengan. Luar biasa.

“Masak Mas.?” tanya Bi Ati yang berjalan dibelakangku.



Bi Ati


“Lagi mandi Bi.” Jawabku asal dan kulihat tidak ada Intan lagi disini.

“Mau kumandiin Mas.?” goda Bi Ati kepadaku dan aku langsung melihat kearah Joko, yang wajahnya makin terlihat mesum aja.

“Aku aja yang dimandiin Bi.” Joko langsung menyahut.

“Iya, entar Bibi mandiin. Tapi Bibi panggil panitia keamanan kampus teknik kita dulu ya, biar kamu disabunin pakai kaki mereka.” Jawab Bi Ati dan kami berdua langsung terkejut.

“Cok, sadis betul Bi.” Gerutu Joko sambil tertunduk.

“Hihihi.” Bi Ati hanya tertawa melihat tingkah Joko yang langsung berubah itu.

“Bibi ngapain kesini jam segini.?” Tanyaku.

“Mau bantuin kalian masak.” Jawab Bi Ati.

“Gak usah dibantuin Bi. Kami sudah biasa kok masak sendiri.” Jawabku.

“Iya Bi. Lebih baik mandiin kita aja. Hehehe.” Ucap Joko yang mulai bercanda lagi.

“Beneran.?” Tanya Bi Ati sambil melirik kearah Joko.

“Hehehe. Enggak Bi, enggak. Saya bercanda.” Ucap Joko sambil menggaruk kepala plontosnya itu.

“Oh iya Bi. Ada minyak goreng gak.? Saya semalam sudah beli, tapi lupa dimasukkin dikantong belanjaan.” Tanyaku ke Bi Ati.

“Dibakar ae lapo seh.?” (Dibakar aja kenapa sih.?) Sahut Joko.

“Tugase digoreng cok, gak dibakar. Gelem raimu engko ditungkak Mas Wagiyo.?” (Tugasnya digoreng cok, bukan dibakar. Mau mukamu nanti diinjak Mas Wagiyo.?) Tanyaku.

“Assuu.” (Anjing.) Gerutu Joko lalu melangkah kearah kamarnya.

“Nangdi koen cok.?” (Mau kemana kamu cok.?) Tanyaku.

“Ados cok.” (Mandi cok.) Jawab Joko tanpa melihat kearahku.

“Ada gak minyaknya Bi.?” Tanyaku sambil melihat kearah Bi Ati.

“Ada, ambil aja dirumah Bu Har.” Jawab Bi Ati.

“Janganlah Bi, masa jam segini aku kesana.? Entar kalau dikira maling gimana.?” Tolakku.

“Siapa yang ngira begitu.? Orang sini tau kalau sampean itu anak kos Bu Har. Kalau jam segini kesana, orang juga paham kalau sampean mau persiapan ospek. Kos – kosan sekitar sini juga sudah ramai. Mabanya banyak yang lagi persiapan buat ospek.” Jawab Bi Ati.

“Justru itu Bi yang saya takutkan. Kalau saya tinggal dirumahnya sana sih gak apa - apa” Jawabku.

“Kamu mau ambil sendiri atau mau di hajar panitian keamanan.?” Tanya Bi Ati.

“Ya bagaimana ya.?” Jawabku bingung.

“Sudahlah, kesana aja. Bu Har paling juga masih tidur. Lagian kalau Bibi yang ambil, kelamaan.” Ucap Bi Ati lagi.

“Dapurnya sebelah mana sih Bi.?” Tanyaku.

“Didekat garasi itukan langsung dapur. Ini kunci pintu dapur.” Ucap Bi Ati sambil menyerahkan kunci kepadaku.

“Bu Har kira – kira tau nggak kalau Bi Ati kesini.?” Tanyaku sambil mengambil kunci ditangan Bi Ati.

“Tau. Tadi malam Bu Har yang suruh Bi Ati kesini pagi – pagi, buat bantuin sampean masak. Terus Bu Har bilang kalau butuh apa – apa, ambil aja kerumah.” Jawab Bi Ati.

“Kok tau kalau kami masak.?” Tanyaku lagi.

“Ya taulah, gak mungkin sampean itu beli makanan. Sudah cepat sana, entar kesiangan loh. Biar masaknya Bibi aja yang lanjutin.” Ucap Bi Ati.

“Oh iya, minyak gorengnya ada dilemari sebelah kulkas.” Ucap Bi Ati lagi. Akupun hanya menganggukan kepalaku, lalu keluar kosan.

Hawa dingin dan suasana agak gelappun, langsung menyambutku diluar sana. samar – samar suara kesibukan ditetangga kospun, juga terdengar. Mungkin mereka para maba yang lagi persiapan ospek.

Sambil melipatkan kedua tangan didada, akupun melangkah kerumah Bu Har.

Huu. Dingin banget. Semoga saja Bu Har gak terbangun ketika aku masuk kedapurnya. Dan ketika sampai dirumah Bu Har, aku lalu membuka pagarnya pelan lalu berjalan kearah dapur yang ada dibelakang garasi.

Aku membuka kunci pintu dapur perlahan, lalu masuk dengan sangat berhati – hati. Aku takut kalau terburu – buru, Bu Har bangun dan memergoki aku masuk kedalam rumahnya. Sebenarnya sih gak apa – apa, cuman aku aja yang gak enak. Lagian kan aku tadi disuruh Bi Ati kesini.

Dan ketika sudah didalam dapur Bu Har, aku menutup pintu dapurnya, lalu berjalan menuju lemari yang ada disebelah kulkas. Aku membuka lemari perlahan, lalu mengambil sebotol minyak goreng yang ada didalam lemari.

“Yang, gak kekosan anak – anak kah.?” Tiba – tiba suara Bu Har dari ruang sebelah mengagetkanku.

Bugh.

Botol plastic minyak goreng ini pun langsung terjatuh dilantai, karena aku terkejut mendengar suara Bu Har tadi.

Yang.? apa Yang itu sayang.? Tapi siapa yang dipanggil sayang.? Apa suaminya.? Kapan suaminya datang.? Terus kenapa suaminya disuruh kekosan.? Atau Yang itu panggilan untuk Bi Ati.? Terus kenapa Bi Ati dipanggil Yang.? Wah. Ada yang mencurigakan ini. atau jangan – jangan mereka berdua ini.?

Assuu. kenapa aku harus berpikiran seperti ini sih.? kan bisa aja Yang itu bukan berarti sayang. Arrgghhh.

“Kenapa sih Yang.?” Tanya Bu Har dan terdengar suaranya mendekat kearah dapur.

Aku lalu mendunduk dan mengambil botol minyak goreng yang ada dilantai.

“Astaga.” Ucap Bu Har yang terkejut, karena melihatku menunduk dilantai.

“Ma, ma, maaf Bu.” Ucapku yang grogi sambil melihat kearahnya.



Bu Har

Waw gila. Pakaian Bu Har kok ketat banget seperti itu ya.? pakaiannya sama seperti yang dikenakan Bi Ati, tapi berbeda warna aja. Buah dadanya yang besar banget, tercetak jelas dibaju ketat Bu Har.

“Kamu siapa.?” Tanya Bu Har sambil melotot kearahku yang masih jongkok dilantai.

“Ibu gak kenal saya.?” Tanyaku sambil berdiri perlahan.

“Ya ampun, kamu Gilang.?” Ucap Bu Har yang kembali terkejut, sambil menutup mulutnya.

“Emang ada yang berubah dari saya ya Bu.? Kok Ibu bisa pangling begitu.?” tanyaku.

“Hihihi.” Bu Har tertawa sambil menunduk dan itu membuat buah dadanya yang besar, bergerak naik dan turun.

“Bu.” Panggilku yang kebingungan dengan sikap Bu Har.

“I, i, iya. hihihi.” Ucap Bu Har sambil melihatku lalu tertawa lagi.

Uhhh, tatapan matanya ketika tertawa, membuatnya makin terlihat cantik. Apa lagi buah dadanya terus bergoyang – goyang seperti itu. Gila, sudah suasananya dingin, terus melihat pemandangan yang erostis dihadapanku, apalagi ditambah pagi – pagi seperti ini waktunya junior ini bangun, apa gak tersiksa banget.?

“Bu.” Panggilku untuk menghilangkan pikiran mesumku.

“Maaf, maaf, soalnya kamu gundul, makanya aku kaget, hihihi.” Ucap Bu Har lalu tertawa lagi, sambil membalas tatapanku.

Dan ketika tatapan mata kami bertemu, tiba – tiba pandanganku terturun dan melihat buah semangka yang menggantung didada Bu Har. Buah semangka itu benar – benar segar dan sangat menggoda sekali. Buah itu seperti bergoyang dan melambai kearahku, seakan mengundangku untuk memetiknya.

Uhh. Sadar Lang, sadar. Itu Ibu kosmu loh. Sekarang lebih baik kamu balik, karena kamu belum menggoreng ikan asin buat tugas ospek.

“Ehem.” Ucap Bu Har yang mengejutkanku, karena aku memandang buah dadanya.

“I, i, iya Bu.” Ucapku terbata sambil menatap kearah mata Bu Har.

“kamu ngapain kesini.?” Tanya Bu Har sambil melipatkan kedua tangannya, kearah bawah buah dadanya. Kedua mataku secara refleknya melihat kearah buah dadanya lagi.

Uhh, makin besar dan menonjol aja itu buah dada. Apalagi tangannya menyangga dari bawah seperti itu. Kira – kira telapak tanganku ini, muat gak ya megang seluruh buah dadanya.? Tapi menurutku, pasti muat kalau aku megang satu buah dadanya memakai kedua telapak tanganku ini.

Hei, hei, hei, kok makin ngelantur seperti ini pikiranku.? Arrgghh, aku benci pikiranku hari ini.

“Lang.” Panggil Bu Har dan aku kembali melihat kearah wajah beliau.

“Ya Bu.?” Tanyaku sambil melihat kearah wajahnya, lalu terturun kearah buah dadanya lagi, lalu aku paksa melihat kearah wajahnya lagi.

“Kamu ngapain kesini.?” Tanya Bu Har.

“Anu Bu.” Ucapku yang grogi dengan tatapannya, selain itu aku juga bingung karena perlahan nafsu mulai menguasai seluruh tubuhku.

“Kenapa anumu.?” Tanya Bu Har dan suaranya terdengar sangat menggoda sekali, entah karena pikiranku yang lagi bernafsu atau memang suara Bu Har yang seperti ini.

“Anu saya gak apa – apa Bu.” Ucapku dan dengan refleknya, aku memegang ‘anuku’ yang mulai tegak berdiri.

“Gilang.” Ucap Bu Har sambil menutup mulutnya.

“Maaf Bu, maaf.” Ucapku yang tersadar karena tingkahku yang sangat kurang ajar dihadapan Bu Har. Kemaluanku pun perlahan mulai menciut lagi, dengan situasi yang agak tegang seperti ini.

“Kamu itu kenapa sih.? Ditanya kok malah seperti itu.?” ucap Bu Har.

“Maaf Bu, maaf. Saya cuman mau ngambil minyak goreng Bu. Tadi disuruh sama Bi Ati kesini.” Ucapku yang mencoba menjelaskan tentang kedatanganku ini.

“Oo.” ucap Bu Har lalu beliau menatap wajahku dengan serius, lalu perlahan berjalan mendekati aku.

“Kenapa kelopak matamu membiru.?” Tanya Bu Har ketika sudah berdiri tepat didepanku, lalu tangannya memegang bagian mataku yang agak bengkak itu.

Uhhh, sentuhannya lembut dan pandangan matanya ini, membuat kemaluanku perlahan mulai bangkit lagi.

“kamu habis berkelahi.?” Tanya Bu Har dan sentuhannya sekarang sudah berubah menjadi belaian, yang langsung membuat nafsuku naik setinggi – tingginya.

Bu Har tidak menatap kearah mataku tapi melihat kearah kelopakku yang membiru.

“A, a, anu Bu.” Ucapku dengan suara yang bergetar.

Gila, kenapa aku bisa grogi seperti ini sih disentuh oleh Bu Har.? Terus aku harus bagaimana sekarang.? Apa aku diam saja dan menerima siksaan nafsuku ini.? terus kalau aku gak diam, aku harus bagaimana.? Menarik kepala belakang Bu Har sampai merapat kearahku, lalu aku melumat bibirnya.?

Juhh. Iya kalau beliau menerima.? Kalau beliau menolak terus berteriak.? Bisa hancur semua impianku. Gagal kuliah dan kembali kedesa, karena bertindak kurang ajar dengan Ibu kos. Wuuu. Malunya pasti gak ketulungan itu.

“Kamu itu ditanya kok anu – anu aja jawabannya dari tadi.” Ucap Bu Har dan sekarang tatapan matanya sudah diarahkan kemataku, dengan tetap membelai lebam dibawah kelopak mataku.

“Huuu.” Ucapku yang mengeluarkan nafas panjangku dan Bu Har langsung menurunkan tangannya dari wajahku.

“Sakit ya.? maaf.” Ucap Bu Har dengan tatapannya yang berubah menjadi sayu.

Enggak Bu, gak sakit kok. Justru itu enak banget. Kenapa dihentikan Bu.? Lanjut lagi dong belaiannya. Boleh kok belainya dipipi, bibir, hidung atau bagian manapun yang Ibu suka. Mau belainya pakai tangan atau bibir, saya mengijinkan Bu.

Duh, kok pikiranku makin ngelantur begini sih.? lebih baik aku pamit aja sekarang, dari pada pikiran makin ngelantur dan aku terlambat mengikuti ospek.

“Enggak Bu, nggak sakit kok. oh iya, saya pamit ya Bu. Saya mau menyiapkan perlengkapan ospek saya.” Ucapku dan Bu Har langsung melihat kearah jam dindingnya. Pukul 04.00

“Jam berapa mulai ospeknya.?” Tanya Bu Har.

“Jam lima Bu.” Ucapku.

“oh gitu. Berarti masih satu jam lagi, tunggu sebentar ya.” Ucap Bu Har sambil membalikkan tubuhnya dan berjalan kearah dalam rumah.

Duh. Mau apa lagi nih Bu Har.? Bisa telat nih aku goreng ikan asinnya.

Beberapa saat kemudian, Bu Har datang lagi sambil membawa peralatan P3K. Bu Har meletakkan peralatannya dimeja dapur, lalu membuka kotak itu dan mengambil segumpal kapas. Bu Har lalu menetesi gumpalan kapas itu, dengan cairan dari dalam botol lalu mendekat kearahku lagi.

“Untuk apa itu Bu.?” Tanyaku.

“Udah diam aja.” Ucap Bu Har sambil mendekatkan tubuhnya kearahku, lalu menempelkan gumpalan kapas itu kesekitar kolopak mataku.

Nyes. Kulitku terasa dingin sekali, ketika kapas itu menyentuh kulitku.

Wajah Bu Har begitu dekat sekali dengan wajahku. Bu Har sangat telaten membasahi kelopak mataku yang membiru dan terlihat sangat berhati – hati, agar gumpalan kapas itu tidak mengenai bola mataku.

Tubuhnya makin merapat dan wajahnya begitu dekat dengan wajahku. Buah dadanya yang besar itupun, mulai menyentuh dadaku dan terasa sangat kenyal sekali. Hembusan nafas dari bibir tipisnya, sampai terasa mengenai bagian leherku.

Huuu. Gila, bisa lepas control nih aku kalau sampai seperti ini terus. Apa Bu Har sengaja memancingku lewat sentuhan lembutnya ini.? Atau memang Bu Har niatnya hanya mengolesi lebamku dan akunya saja yang berpikiran mesum.? Tapi ini kan bukan luka.? Kenapa harus dibersihkan seperti ini dan kenapa tatapannya begitu sayu.? Terus kenapa ini dadanya makin merapat kedadaku.? Aarrgghh.

“Kamu pasti mendengar ucapanku, ketika aku memanggil Yang tadi kan.?” Ucap Bu Har sambil mengolesi sekitar kelopak mataku.

Aku sempat terkejut dan diam sejenak, tapi aku langsung menenangkan diriku dan bersikap cuek.

“Enggak.” Jawabku berbohong.

“Bohong.” Jawab Bu Har sambil menghentikan gerakannya dan menatap kearah mataku.

Huuu. Rupanya dia bisa membaca raut wajahku ketika aku berbohong.

“Iya, saya dengar Bu.” Jawabku yang akhirnya aku jujur dengan Bu Har.

Hiuufftt. Huuu. Terdengar nafas panjang Bu Har, sambil terus menatap kedua mataku.

“Kamu pasti mengira aku punya hubungan dengan Bi Ati kan.?” Tanya Bu Har lagi.

“Untuk apa saya berpikiran seperti itu Bu, apa juga untungnya buat saya.” Jawabku.

Bu Har menunduk sebentar lalu menatap mataku lagi.

“Sudahlah, aku tau apa yang ada dipikiranmu. Terserah kamu berpikiran apa, tapi memang seperti itu kenyataanya.” Ucap Bu Har yang langsung membuatku terkejut.

Maksudnya apa nih.? Bu Har beneran punya hubungan dengan Bi Ati.? Mereka berdua ini saling mencintai dan suka sesama jenis gitu.? Argghhh.

Aku tau sekarang. Aku tau alasan kenapa Bi Ati yang cantik dan semok itu, menjadi pembantu dirumah ini. Rupanya itu hanya sebagai kedok, supaya mereka berdua bisa bersama. Tapi apa urusanku dengan ini semua.? Toh itu urusan mereka dan gak merugikan aku kok. Dan kenapa juga Bu Har bercerita ini kepadaku.?

“Kamu tau rasanya ditinggal pasangan dalam waktu yang lama.? Sedih dan butuh belaian kasih sayang Lang.” ucap Bu Har bercerita tanpa aku minta, sambil mengelus pipiku dengan sangat lembutnya.

“Itulah yang aku rasakan, ketika ditinggal suamiku dalam waktu yang lama.” Ucap Bu Har dan aku hanya mendengarkan saja, sambil menikmati belaian dipipiku ini.

“Dan disaat aku butuh seseorang untuk menemaniku, Atika Vega Widyani hadir dan menghiburku. Dia memberikan segala sesuatu yang aku butuhkan. Perhatian, cinta bahkan belaian kasih sayang.” Ucap Bu Har pelan dan dengan suara yang bergetar, sambil menatap kearah bibirku dan terus membelainya.

Waw. Keren juga nama lengkap Bi Ati.

“Ibu menikmati semua ini.?” Tanyaku dengan suara yang aku buat setenang mungkin, walaupun nafsuku mulai merambat dikepalaku, karena sentuhan demi sentuhan Bu har ini.

“Ya. karena aku sangat mencintai Atika. Aku sangat mencintainya sekali.” Ucap Bu Har sambil menatap mataku dan terus membelai diriku.

“Cukup sekali saja Ibu ucapkan, gak perlu diulang dua kali.” Ucapku dan Bu Har langsung menurunkan tangannya dari bibirku.

Bu Har memundurkan sedikit tubuhnya, sambil menatapku dan memiringkan sedikit wajahnya.

“Maksudmu.?” Tanya Bu Har dengan pandangan yang sedikit tajam.

“Kalau Ibu mencintai Mba Atika, cukup katakan sekali saja. Gak perlu diulang dua kali. Itu seperti mengisyratkan ada sesuatu yang mengganjal dihati Ibu.” Jawabku.

“maksudmu Atika hanya aku buat untuk tempat pelampiasan nafsuku.?” Tanya Bu Har dengan sedikit ketus.

“aku gak mengatakan seperti itu loh Bu.” Jawabku.

“tapi ucapanmu mengarah kesana.” Jawab Bu Har.

“Hahaha. Ibu terlalu sensitive sekali.” ucapku dengan nada yang sedikit sinis.

“Lang.” ucap Bu Har dengan sedikit tegas.

“Bu, cinta itu berawal dari hati, bukan dari kebutuhan nafsu. Nafsu itu hanya bumbu, bumbu pelengkap rindu yang lama tak terjamah.” Jawabku dengan cueknya.

“Tapi nafsu itu bagian dari cinta kan.?” tanya Bu Har dan sekarang suaranya mulai lembut lagi.

“Benar sekali. Nafsu itu bagian dari cinta, tapi nomor sekian. Masih banyak hal – hal yang lebih penting dari bagian cinta itu sendiri.” Jawabku.

“Pintar sekali kamu memainkan kata, sedangkan kamu sendiri memandangku dari tadi penuh dengan nafsu. Padahal kamu belum mempunyai pasangan dan belum mengalami hal – hal yang aku alami selama hidupku ini, kesepian” Ucap Bu Har dan aku hanya menggelengkan kepalaku pelan.

“Itu berarti kebutuhan nafsumu ingin kamu salurkan kepadaku kan.? dan lama – lama itu akan menimbulkan cinta dihatimu untukku, walaupun itu sedikit.” Ucap Bu Har dan langsung mengejutkanku.

Gila juga wanita ini. Pintar juga dia memainkan kata dan membalikkan semua ucapanku.

“Secara tidak langsung, itu membuktikan segala perilakuku selama ini, kalau cintaku kepada Atika berawal dari nafsu.” Ucap Bu Har lagi, lalu tersenyum dengan penuh kemenangan.

“Emang dari tadi saya menyalahkan Ibu karena mencintai Mba Atika ya.?” tanyaku.

“Mba.? Kenapa kamu menyebut Atika dengan sebutan Mba terus.?” Bu Har bertanya balik dan bukannya menjawab pertanyaanku.

“Kenapa.? Memang harusnya seperti itu kan.? apa Ibu cemburu.? Tenang Bu, saya gak akan merebut kekasih Ibu itu.” ucapku untuk mengalihkan pembicaraan yang sangat serius ini.

“Bukan karena itu aku cemburu. Tapi karena kamu memanggilku dengan sebutan Ibu, sedangkan dengan Atika menyebut Mba. Emang aku setua itu.?” tanya Bu Har dan sekarang dia terlihat sedikit meraju.

“Sudahlah Bu, gak usah dibahas lagi. Saya pamit ya, mau persiapan ospek.” Pamitku dan Bu Har langsung memegang tangan kananku, dan menariknya sampai merapat kearah tubuhnya.

“Bu.” Ucapku yang terkejut dan kedua tanganku langsung memegang pinggulnya yang seksi itu.

Gila, kok pas banget ya aku pegangnya.? Apa beliau gak marah dengan sentuhanku ini.?

“Kamu jangan pergi dulu, sebelum kita menyelesaikan semuanya sampai tuntas.” Ucap Bu Har dan sekarang kedua tangannya melingkar dipinggangku, sehingga membuat dadanya menempel didadaku.

“Ma, maksudnya Bu.?” Tanyaku terbata.

“kita tuntaskan nafsu kita yang sama – sama terpendam, setelah itu kamu boleh pergi dari sini.” Ucap Bu Har sambil menatapku.

Mata Bu Har kembali terlihat sayu, dengan bibir yang terbuka sedikit disertai dengan hembusan nafas yang halus sekali. Perlahan Bu Har menutup bibirnya lalu menggigit bibirnya pelan, lalu membuka bibirnya sedikit lagi.

Uhh. Terus bagaimana kalau seperti ini.? ini bukan seperti yang aku bayangkan. Aku kira setelah pembahasan masalah percintaannya dengan Mba Atika, masalah telah selesai. Tapi kenapa justru makin membuat nafsuku ingin disalurkan.?

Arrgghh. Aku terjebak dengan ucapanku dan sekarang aku harus dihadapkan, dengan situasi yang sangat sulit untuk aku hindari. Kalau aku pergi, aku akan pergi dengan nafsu yang tidak tersalurkan. Tapi kalau aku tetap disini, berarti aku membenarkan kalau cinta itu berawal dari nafsu, dan kemungkinan bisa saja aku mencintai Bu Har, seperti yang diucapkannya tadi.

Gila, kenapa aku gak bisa berpikir tenang dengan masalah seperti ini sih.? aku memang sudah tidak perjaka, dan perjakaku telah aku berikan pada kekasihku yang juga masih perawan, sebelum dengan Kinanti dulu. Namanya, sudahlah, lain kali aja kita bahasnya.

Terus aku harus bagaimana ini.? Terus terang inilah salah satu kelemahanku. Aku tidak bisa mengendalikan nafsuku kepada wanita, apalagi suasananya mendukung seperti ini.

Arrgghh, apa aku selesaikan aja ya.?

Persetanlah. Aku lalu memiringkan wajahku sedikit, sambil memajukan wajahku perlahan. Bu Har pun memiringkan wajahnya perlahan dan aku menutup kedua mataku, ketika bibir kami sudah sangat dekat sekali.

Aku menahan gerakanku, ketika bibirku sudah dekat sekali dibibir Bu Har, sambil membuka kedua mataku. Mata Bu Har tampak terpejam dan tiba – tiba aku tidak mempunyai keberanian untuk melanjutkan aksiku. Aku hanya berdiam diri sambil menikmati hembusan nafas Bu Har yang semakin terdengar cepat. Kedua tanganku yang ada dipinggul Bu Har ini pun, perlahan mulai meremas dengan sangat lembut.

Lumat, jangan, lumat, jangan, lumat, jangan. Arrgghhh. Kenapa aku jadi ragu seperti ini ya.?

“Waktu kita tidak banyak.” Ucap Bu Har yang masih terpejam dan langsung membuatku membulatkan tekadku, lalu.

CUUPPP.

Bibir kami pun saling menempel dengan sangat pelan sekali.

Uhh. Gila, bibirnya Bu Har ini sangat lembut dan menggemaskan sekali.

Lalu perlahan, bibir kami yang saling menempel ini mulai saling melumat.

CUUPPP, CUUPPP, CUUPPP, MUACCHHH.

Aku melumat bibir atas Bu Har dan Bu Har melumat bibir bawahku.

CUUPPP, CUUPPP, CUUPPP, MUACCHHH.

Ciuman kami makin memanas dan kedua tanganku mulai merambat kebokong Bu Har yang semok itu.

“Hemm, Hemm, Hemm.” Desah Bu Har disela lumatan kami, ketika aku mulai meremas kedua bongkahan bokongnya yang masih padat itu.

Tanganku pun semakin liar dan sekarang mulai menyusup kedalam celana hotspans ketat yang dipakai Bu Har.

Gila. Padat, kencang dan telapak tanganku, sampai tidak cukup memegang semua bongkahan bokong Bu Har.

CUUPPP, CUUPPP, CUUPPP, MUACCHHH.

Bu Har lalu melepaskan lumatannya dan menatap mataku.

“Sepuluh menit lagi setengah lima. Kamu harus bisa memuaskan aku dalam waktu sesingkat itu, tapi kamu harus terpuaskan juga.” Ucap Bu Har sambil meremas kemaluanku yang tegak berdiri, lalu mundur perlahan dan membalikkan tubuhnya.

Bu Har lalu berjalan kearah meja, lalu kedua tangannya bertumpu pada ujung meja. Bu Har menungging dihadapanku dengan sangat seksinya. Gilaaa.

“Salah satu cara agar aku cepat terpuaskan, dengan posisi bercinta seperti ini.” ucap Bu Har sambil membungkukan sedikit tubuhnya, dan membuat bokongnya semakin terlihat semok saja.

Aku yang sudah terkurung nafsuku ini, langsung mendekat kearah Bu Har dan memegang kedua bokongnya, lalu meremasnya.

“Uhhhh. Ternyata kamu sudah ahli ya.” Ucap Bu Har setelah mendesah keenakan.

Bu Har sempat memejamkan matanya pelan dan membukanya lagi, lalu menatapku dengan penuh gairah.

Aku lalu memeluknya dari belakang dan kedua tanganku, hinggap dikedua buah dada Bu Har yang besar itu dari luar kaos ketatnya.

TAP.

Gila. Besar, padat, kenyal dan telapak tanganku tidak bisa menjamah semua bagian buah dadanya ini. Dan yang pasti, nikmatnya terasa sangat luar biasa.

Bu Har lalu menyandarkan kepala belakangnya didadaku, lalu menoleh kearahku dan mengecup pipi kananku.

CUUPPP..

Kedua tangannya langsung kearah belakang kepalaku, sehingga membuat bibirku merapat kearah bibirnya. Posisi yang seperti ini, membuat buah dadanya semakin membusung dan semakin besar ditelapak tanganku.

Aku melumat bibir Bu Har dan beliau membalasnya dengan sangat lembut sekali.

CUUPPP, CUUPPP, CUUPPP, MUACCHHH.

Kedua telapak tanganku langsung menyelinap dibalik kaosnya dan meraba perutnya yang rata dan seksi itu.

CUUPPP, CUUPPP, CUUPPP, MUACCHHH.

“Hem, hem. hem.” Desah Bu Har, setelah kedua tanganku menyelinap masuk kedalam bra nya, yang sulit menampung besarnya ukuran buah dada Bu Har itu.

Gila. Lembut banget. Remasan ini bukan hanya Bu Har yang menikmatinya, tapi aku juga sangat menikmati besar dan kenyalnya yang terasa ditelapak tanganku ini.

“Uhhhhh.” Bu Har melepaskan ciumannya dan rangkulan dibelakang leherku.

Kedua tangannya memegang ujung meja lagi, sehingga membuat bokong semoknya menggesek selangkanganku. Bu Har mendesah kenikmatan ketika aku memainkan kedua puttingnya, yang terasa mungil dikedua ujung jempol dan jari tengahku.

“Ahhhhh.” Desah Bu Har lagi, ketika aku memelintir kedua puttingnya secara bersama – sama. Tubuhnya sampai membungkuk dan gesekan bokongnya diselangkanganku, makin terasa nikmat dibuatnya.

Waw. Beruntung banget aku. Aku pemuda desa dan tanganku yang kasar serta terbiasa bekerja serabutan ini, bisa menyentuh tubuh mulus wanita setengah baya, yang biasa tinggal di daerah kota.

“Lang, waktu kita tidak banyak. Kalau kamu pemanasan yang lebih lama, lain waktu aja.” Ucap Bu Har sambil menahan kedua tanganku yang ada didalam branya, dengan kedua tangannya dari luar kaosnya.

“Huuuu.” Desah panjang Bu Har dan genggaman tangannya yang terlepas, membuatku menarik kedua tanganku dari dalam branya.

Aku lalu mendorong pelan punggung Bu Har sampai agak membungkuk lagi, setelah itu aku meremas bongkahan kedua bokongnya.

“Lang. Uhhhh.” Bu Har mengingatkan aku lagi, kalau waktu kami sangat mepet.

Aku pun langsung memegang ujung celana hotspan Bu Har dibagian pinggang, lalu menariknya kebawah, sampai sebatas paha bawahnya.

Gila. Bu Har gak pakai cd dan bokongnya putih serta mulus banget.

Dengan tangan yang sedikit bergetar, aku lalu membuka kedua bongkahan bokong yang padat itu, sampai belahan kemaluannya yang bersih dan tidak ada sehelaipun rambut yang terlihat.

Cok. pasti kemaluan ini terawat banget.

Aku membungkukan tubuhku dan mendekatkan wajahku dibelahan kemaluan yang memerah itu, lalu menciumnya.

Heemmm. Harum banget aroma kemaluan Bu Har yang sudah sangat basah ini, gila.

Aku lalu menyapu kemaluan yang bersih dan terawat itu, dengan lidahku sampai mendekati tepi lubang bokongnya.

Sreepppp.

“Ahhhhhh.” Desah Bu Har tertahan sambil memajukan pinggulnya, sehingga sapuan lidahku ini terlepas.

“Ayolah, tinggal sedikit lagi waktunya.” Ucap Bu Har sambil menoleh kearahku yang masih membungkuk didekat bongkahan bokongnya.

Kelihatannya Bu Har sudah sangat bernafsu sekali.

Akupun lalu berdiri dan menurunkan celanaku, lalu memegang kemaluanku yang sudah sangat mengeras ini.

“Sebentar.” Ucap Bu Har sambil menoleh kearahku, lalu tangannya kearah belakang dan menggeser pegangan tanganku dikemaluanku, lalu meremas kemaluanku.

“Gila. Besar banget. Aku sudah lama tidak melakukannya, jadi pelan – pelan ya.” ucap Bu Har sambil menatapku, lalu melepaskan pegangannya dibatangku dan memegang ujung meja lagi.

Aku memegang kemaluanku dengan tangan kanan, sementara tangan kiri membuka belahan bokong Bu Har dengan menggunakan jempol dan jari tengahku.

Aku lalu menggesekkan kepala kemaluanku di belahan kemaluan Bu Har yang sangat basah itu.

“Uhhh. Pelan – pelan sayang.” Ucap Bu Har sambil menjijitkan kedua kakinya dan aku langsung menahan kedua pinggulnya.

Kembali aku membuka bongkahannya dengan kedua telapak tanganku, lalu memasukan kepala kemaluanku perlahan.

“Huppp. Sayang, pelan – pelan loh.” ucap Bu Har sambil menoleh kearahku, dan sekarang beliau sudah memanggilku sayang.

“Tadi bilangnya disuruh menuntaskan cepat, gimana sih Mbak Yu ini.?” ucapku sambil membalas tatapan matanya.

“Mbak Yu.?” Ucapnya dengan mata yang sedikit berbinar.

“Sudahlah. Diterusin gak ini.?” Tanyaku.

“Iya sayang, tapi jangan keburu – buru. Dah lama gak pernah dimasukin itu.” Ucap Bu Har dan aku langsung mengerutkan kedua alisku.

“Ga usah tanya sejak kapan, pasti lama banget jawabannya. Nanti aja kita bahas itu.” Ucap Bu Har lalu menarik nafasnya dalam – dalam.

Akupun langsung mengangguk pelan dan Bu Har menghadap kearah depan lagi. Kembali aku menggesekkan kepala kemaluanku, lalu menekannya sedikit kedalam, sampai kepala kemaluanku tertanam di kemaluan Bu Har.

“AHHHHH.” Desah Bu Har dengan kedua kaki yang bergetar dan tubuh yang sedikit tegang.

Aku menahan gerakanku, sambil mengurut pinggang Bu Har pelan dan membuatnya rileks sejenak.

Gila. Baru kepala kemaluanku yang masuk, lubang kemaluan Bu Har sudah penuh sesak dan sangat sempit sekali. Kelihatannya lubang kenikmatan ini memang sudah lama tidak pernah dijamah dan dijelajahi.

Pantas saja Bu Har mencari kenikmatan dengan sesama jenis, karena jarang dibelai oleh suaminya.

“Masukin lagi sayang.” ucap Bu Har pelan dan dia sudah terlihat agak tenang.

Uhh. Kayak main sama perawan aja nih ceritanya.

Lelehen cairan dari lubang kenikmatan Bu Har, mulai terasa dan keluar dari sela – sela kepala kemaluanku yang tertanam.

Aku mendorong lagi pinggulku pelan, sambil meremas pelan pinggul Bu Har.

“UHHHHHH.” Bu Har mendesah, sambil mencodongkan tubuhnya kedepan dan aku menahan pinggulnya.

Mili per mili kemaluanku mulai masuk kedalam kemaluan yang sangat sempit ini. Aku menikmati setiap momen, saat kepala kemaluanku masuk dan menerobos lubang yang langsung mencengkram kemaluanku dengan kuatnya ini.

Sret, sret, sret, sret.

Gila. Semakin dalam masuk kemaluanku, semakin kuat cengkraman dinding kemaluan Bu Har. Dan satu yang membuatku semakin menikmati persetubuhan ini, dinding kemaluannya yang sangat sempit ini, seolah menyedot kemaluanku untuk lebih masuk kedalam sana. Uhhhh.

“AHHHH.” Desah kami barengan.

“Sebentar sayang, tahan sebantar. Uh, uh, uh,” Ucap Bu Har, ketika kemaluanku sudah tertanam setengah.

Aku menghentikan gerakanku, lalu menarik tubuh Bu Har merapat kearahku.

Aku mengangkat kaos Bu Har dan Bu Har membantu melepaskan kaitan branya. Aku lalu meremas buah dada Bu Har ini dengan sangat lembutnya.

“Hem..” desah Bu Har dan kembali aku mendorong pinggulku kedepan, sambil memainkan kedua putting Bu Har.

Sret, sret, sret, sret.

“Ahhh. Ahhh. Ahhh.” Desah Bu Har ketika batangku mulai menerobos masuk kedalam kemaluannya lagi.

Gerakanku terhenti ketika kemaluanku sudah masuk seutuhnya, dan selangkanganku menempel dibokong semok Bu Har.

Uhhh. Nikmat banget cok.

“AHHHH. Gila, gak percuma aku menyalurkan denganmu sekarang ini sayang. Ini nikmat banget dan ini pasti membuatku ketagihan.” Ucap Bu Har sambil menempelkan kepala belakangnya didadaku, lalu menoleh kearahku.

CUUPPP.

Aku mengecup bibir Bu Har pelan.

“Aku goyang ya Mbak Yu.?” Tanyaku dan Bu Har langsung mengangguk pelan.

Aku lalu melepas remasanku dan mendorong Bu Har supaya memegang ujung meja lagi. Aku lalu menundukan tubuh Bu Har sedit, lalu merenggangkan kedua pahanya, lalu memegang kedua pinggulnya lagi.

“Cepat sayang, sudah setengah lima.” Ucap Bu Har dan membuatku langsung terkejut.

Cok. Aku harus menuntaskan sekarang juga, tapi apa bisa kalau diburu seperti ini.? berhubungan seperti inikan harus santai dan rileks. Asudahlah, lebih baik aku coba aja dulu. Dan ketika aku akan menarik pinggulku kebelakang,

“Tapi ingat, jangan kasar goyangnya ya.” ucap Bu Har lagi dan aku menganggukkan kepalaku pelan.

“Uhhhh.” Desah Bu Har ketika aku mencabut setengah kemaluanku, lalu aku tekan kedalam lagi sepenuhnya.

“AHHHH.” Rintih kenikmatan Bu Har, setelah aku menarik kebelakang pinggulku dan meninggalkan kepala kemaluanku didalam sana.

“HAAAA.” Desah kami bersahut – sahutan, ketika aku mulai menggoyangkan pinggulku. Kemaluanku pun, keluar masuk didalam lubang kenikmatan yang sangat sempit itu.

Gila. Selain sempit dan menggigit, kemaluan Bu Har juga berkedut, sehingga batangku serasa dipijit didalam sana.

PLOKKK.. PLOKKK.. PLOKKK.. PLOKKK..

Bunyi selangkanganku ketika bertemu bokong Bu Har yang padat itu.

PLOKKK.. PLOKKK.. PLOKKK.. PLOKKK..

Goyanganku yang pelan, perlahan mulai meningkat tempo kecepatannya.

“Ahhhh.. Ahhhh.. Ahhhh..” Desah Bu Har yang sangat menikmati goyanganku ini, sambil menunduk dan menggelengkan kepalanya.

“Ahhhh.. Uhhhh.. Ahhhh.. Uhhhh.. Enak yang, enak banget. Ahhhhh.” Suara manja Bu Har keluar disela desahannya.

Aku terus menggoyang dan kemaluanku tampak mengkilat, oleh cairan kenikmatan Bu Har yang keluar.

Cairan kenikmatan itu semakin membuat mudah, kemaluanku keluar masuk dikemaluan Bu Har.

PLOKKK.. PLOKKK.. PLOKKK.. PLOKKK..

PLOKKK.. PLOKKK.. PLOKKK.. PLOKKK..

Kedua tanganku yang ada dipinggulnya, sekarang naik ke keduah buah dadanya yang menggantung dan melambai. Aku meremasnya dan aku buat pegangan untuk menggoyang pinggulku yang semakin cepat ini.

PLOKKK.. PLOKKK.. PLOKKK.. PLOKKK..

PLOKKK.. PLOKKK.. PLOKKK.. PLOKKK..

“Yang, sayang. Sayaaaaang. Uhhhh.” Desah manja Bu Har yang semakin menggila. Tubuh kami berdua dipenuhi keringat, padahal hawa dikota ini sedang dingin – dinginnya pagi ini.

“Uh, uh, uh, uh, uh,” Nafas Bu Har terdengar cepat dan memburu.

“Ha, ha, ha, ha, ha.” Nafasku juga memburu, disertai goyangan yang semakin cepat.

“Aku mau keluar yang, aku mau keluar. AHHHHH.” Ucap Bu Har dan diakhiri dengan desahan yang panjang.

PLOKKK.. PLOKKK.. PLOKKK.. PLOKKK..

PLOKKK.. PLOKKK.. PLOKKK.. PLOKKK..

“AAAHHHHHHH.” Tubuh Bu Har mengejang dan pinggulnya maju kedepan.

Aku langsung mencabut kemaluanku dan Bu Har langsung memajukan tubuhnya, lalu tertelungkup diatas meja, dengan kedua kakinya menjijit dilantai dan bergetar.

Sreeet.. sreett.. sreettt..

Cairan yang agak mengental, keluar dari kemaluan Bu Har dan beliau langsung mencengkram bagian ujung meja diatas kepalanya, dengan wajah sampingnya menempel dimeja.

“AAAAAAHHHHHH..” Desah Bu Har dengan kedua kakinya bergetar, serta cairan yang terus keluar dari kemaluannya.

Cairan itu menetes dan mengenai celana hotspannya yang terturun dibagian bawah pahanya.

Gila. Melihat posisi Bu Har yang berdiri dan menungging dihadapanku saat ini, kemaluanku semakin tegak berdiri. Apalagi ketika melihat kemaluannya berkedut dan mengeluarkan cairan kenikmatan itu, semakin membakar nafsuku saja.

“Uh, uh, uh, uh, uh.” Nafas Bu Har yang terdengar cepat, dan kedua buah dadanya tergencet diatas meja.

“ayo cepat, cepat, nanti kita terlambat.” Terdengar suara beberapa orang diluar sana dan terdengar mereka langsung berlari.

“Tuntaskan yang, sekarang giliranmu.” Ucap Bu Har dengan posisi yang masih tertelungkup dan menungging dimeja dapur.

“Gak usah Mbak Yu, aku gak bisa diburu kalau mau mengeluarkannya.” Ucapku dengan nada sedikit kecewa.

“Kamu jangan meremehkan aku ya. kamu kira aku gak bisa membuatmu keluar dalam lima menit.?” Ucap Bu har sambil melihat kearah jam dinding. Pukul 04.35.

Hiuufftt. Huuuu.

Aku menarik nafas panjangku, lalu mendekat kearah bongkahan bokong Bu Har. Kemaluanku yang masih tegak berdiri ini, aku gesekkan pelan dibelahan kemaluannya, lalu menekannya kedalam.

Kemaluanku pun agak mudah masuk dikemaluan yang sempit itu, karena cairan kenikmatan Bu Har yang keluar tadi.

“Uhhhhh..” Desah Bu Har sambil memajukan pinggulnya dan tubuhnya masih tertelungkup dimeja.

Aku menahan pinggulnya dan kemaluanku sudah masuk seutuhnya kedalam sana.

“Uhhhh. Tahan sebentar yang, jangan digoyang dulu.” Ucap Bu Har lalu mengangkat tubuhnya sedikit dan sekarang dia bertumpu pada kedua sikutnya yang berada diatas meja.

Juhh. Mau apalagi Bu Har ini.? Waktunya sudah mepet, tapi dia melarangku untuk menggoyangkan pinggulku. Gila. Bisa telat kekampus nih aku.

Dan perlahan, kemaluanku yang berada didalam lobang sempit sana, serasa dicengkram dengan eratnya. Dinding – dinding vagina Bu Har, seperti meremas kemaluanku. Dan dari arah dalam, kemaluanku seperti dihisap dan dilumat dengan sangat kuatnya.

Gila. Ini kenikmatan yang sangat luar biasa dan baru kali ini aku merasakannya. Belum pernah kemaluanku mendapatkan himpitan yang begitu nikmatnya. Dan yang membuatku takjub, kemaluanku seperti sedang dioral, lalu dihisap sampai kedalam tenggorokannya.

Bajingan, pokoknya nikmat banget dan aku gak sanggup mengungkapkan kenikmatan yang aku rasakan saat ini, dengan kata – kata yang terindah sekalipun.

“AHHHHH.” Desahku sambil mendongakan kepalaku keatas dan kedua tanganku mencengkram pinggul Bu Har.

“Gimana sayang.? Enak gak.?” Ucap Bu Har menggodaku dan aku langsung melihat kearahnya.

Dia menatapku sambil menggigit bibir bawahnya, disertai kemaluannya yang berkedut – kedut meremas kemaluanku.

“Uhhhhh. Nikmat banget Mbak Yu. AHHHHH.” Ucapku lalu mendesah dan aku langsung menggoyangkan pinggulku dengan semangatnya.

PLOKKK.. PLOKKK.. PLOKKK.. PLOKKK..

PLOKKK.. PLOKKK.. PLOKKK.. PLOKKK..

“Ahhhh.. Ahhhh.. Ahhhh..” Desah Bu Har sambil melihat kearahku, dengan tatapan yang begitu menikmati goyanganku.

PLOKKK.. PLOKKK.. PLOKKK.. PLOKKK..

PLOKKK.. PLOKKK.. PLOKKK.. PLOKKK..

Aku terus menggoyang dengan posisi Bu Har tetap menungging diatas meja dan tatapan mata kami bertemu.

PLOKKK.. PLOKKK.. PLOKKK.. PLOKKK..

PLOKKK.. PLOKKK.. PLOKKK.. PLOKKK..

“Uhhh.. Ahhh.. Uhhh.. Ahhh..” Desah kami bersahut – sahutan.

PLOKKK.. PLOKKK.. PLOKKK.. PLOKKK..

PLOKKK.. PLOKKK.. PLOKKK.. PLOKKK..

Dan cairan kenikmatanku, perlahan mulai mendesak dan siap tertumpah diujung kemaluanku.

PLOKKK.. PLOKKK.. PLOKKK.. PLOKKK..

PLOKKK.. PLOKKK.. PLOKKK.. PLOKKK.

“Aku mau keluar lagi yang. aku mau keluar lagi.” Ucap Bu Har sambil terus menatapku dan kepalanya mengangguk mengikuti ayunan goyangan pinggulku.

Aku menggoyangkan pinggulku ini, seperti sedang mengendarai kuda liar yang aku taklukkan.

PLOKKK.. PLOKKK.. PLOKKK.. PLOKKK..

PLOKKK.. PLOKKK.. PLOKKK.. PLOKKK.

“Sabar Mbak Yu. Aku juga mau keluar. Hu, hu, hu, hu.” Ucapku dengan nafas yang memburu dan goyangan yang makin aku percepat.

PLOKKK.. PLOKKK.. PLOKKK.. PLOKKK..

PLOKKK.. PLOKKK.. PLOKKK.. PLOKKK.

“Kita barengan aja keluarnya. Hu, hu, hu, hu.” Ucapku lagi dengan semangatnya.

PLOKKK.. PLOKKK.. PLOKKK.. PLOKKK..

PLOKKK.. PLOKKK.. PLOKKK.. PLOKKK.

“Hem, hem, hem, hem, hem.” ucap Bu Har lalu menghadap kedepan lagi, lalu menunduk dan menggelengkan kepalanya.

PLOKKK.. PLOKKK.. PLOKKK.. PLOKKK..

PLOKKK.. PLOKKK.. PLOKKK.. PLOKKK.

“AAHHHHH..” desah panjangku.

“UUHHHHH.” Sahut Bu Har sambil memajukan sedikit pinggulnya, sampai terlepas dari kemaluanku. dan

Sreeet.. sreett.. sreettt..

Cairan keluar lagi dari kemaluan Bu Har, dan sekarang seperti air yang sangat deras mengalir.

“AHHHHHHHH.” Desah Bu Har, dengan kaki yang menjinjit dan membasahi celana hotspannya.

Sreeet.. sreett.. sreettt..

“UHHHHHH.” Desah Bu Har sambil memajukan pinggulnya.

Dan setelah kedua kakinya menapak lantai lagi,

Blessss.

Aku memasukan lagi kemaluanku dan aku menggoyangkan pinggulku dengan cepat.

PLOKKK.. PLOKKK.. PLOKKK.. PLOKKK..

PLOKKK.. PLOKKK.. PLOKKK.. PLOKKK.

“Yang, yang, yang, Ahhhhhhhh.” Desah Bu Har sambil menggelengkan kepalanya, lalu tubuhnya tertelungkup diatas meja lagi.

PLOKKK.. PLOKKK.. PLOKKK.. PLOKKK..

PLOKKK.. PLOKKK.. PLOKKK.. PLOKKK.

Aku lalu menekan kedalam kemaluanku sedalam – dalamnya, didalam kemaluan Bu Har sambil mencengkram pinggulnya, lalu.

Crot.. crot.. crot…crot.. crot.. crot.. crot…

Tubuhku mengejang sambil menekan batangku kedalam kemaluan Bu Har, yang juga lagi menegang. Kepala Bu Har sampai terdanga, menerima muntahan cairan kenikmatanku didalam kemaluannya.

“AHHHHHH.” kami berdua sama – sama menikmati orgasme yang sangat indah ini..

Huuu.. huuu.. huuu.. huuu.. huuu..

Huuu.. huuu.. huuu.. huuu.. huuu..

Aku membiarkan kemaluan didalam kemaluan Bu Har, dan beliau kembali tertelungkup dengan nafas yang cepat dan memburu.

Huuu.. huuu.. huuu.. huuu.. huuu..

Huuu.. huuu.. huuu.. huuu.. huuu..

Kami berdua mengatur nafas kami yang cepat ini.

“Cepat tai lasso, jangan sampai terlambat. Bisa dihajar Daeng Betta kita nanti.” Ucap seseorang dari luar sana dan mereka seperti sedang berjalan dengan terburu – buru.

Aku lalu melihat kearah jam dinding. Pukul 04.45.

Gila, aku belum goreng ikan asin lagi. Bisa terlambat aku ini. bajingan.

Kemaluankupun langsung mengecil didalam kemaluan Bu Har. Aku lalu memundurkan tubuhku dan lelehan air kenikmatanku yang lama tidak aku keluarkan itu, tampak keluar disela – sela belahan kemaluan Bu Har.

“Hu, hu, hu, hu. Pergilah yang. Nanti kamu telat.” Ucap Bu Har dan dia masih belum beranjak dari posisinya.

“Tapi Mbak Yu.?” Ucapku sambil menaikkan celanaku dan cdku, lalu mengancingnya.

“Pergilah yang. Huuuu.” Ucap Bu Har, lalu diakhiri dengan desahan yang sangat panjang.

Aku pun langsung mendekat kearahnya dan menaikkan celananya yang terturun dibawah paha.

“Maaf ya Mbak Yu.” Ucapku sambil mendekati wajahnya, yang perlahan mulai bangkit dan bertumpu pada kedua sikutnya lagi.

Bu Har hanya mengangguk dan aku langsung membungkuk, lalu.

CUUPPP.

Aku mengecup bibirnya pelan dan dengan sangat lembutnya.

“Lain waktu dan disuasana yang lebih santai, kita harus mengulang ini.” Ucap Bu Har dengan tatapan sayunya.

Aku hanya tersenyum sambil menyelipkan rambutnya yang terurai, ketelinga sebelah kanannya. Setelah itu.

CUUPPP.

Aku mengecup keningnya dengan lembut.

“Hati – hati ya.” ucap Bu Har sambil memejamkan kedua matanya sesaat.

“Terimakasih. Maaf kalau aku meninggalkan Mbak Yu dalam kondisi seperti ini.” ucapku.

“Sudahlah, pergi sana. Kalau enggak, aku akan memaksamu bermain lagi dan itu artinya kamu harus membolos di hari pertama ospekmu.” Ucap Bu Har dengan mata yang sedikit melotot.

“Iya, iya. Aku pamit.” Ucapku sambil menegakkan tubuhku.

“C E P A T.” Ucap Bu Har pelan dan tegas, ketika aku sudah berdiri tegak dan belum beranjak dari tempatku.

“I, i, i, iya.” Ucapku lalu aku membalikkan tubuhku dan melangkah kearah pintu dapur, lalu membukanya.

Aku sempat berbalik kearah Bu Har yang sekarang sudah berdiri, sambil merapikan kaosnya yang naik keatas buah dadanya.

“Apa lihat – lihat.” Ucap Bu Har sambil melotot dan aku sempat melihat puttingnya yang berwarna kecoklatan, sebelum ditutupnya tadi.

Aku hanya tersenyum lalu menutup pintu dapur.

“Minyakmu.” Teriak Bu Har

Cok, kok bisa lupa ya aku.?

Aku langsung membuka pintu dapur lagi, lalu mengambil botol minyak itu, sambil melirik kearah Bu Har.

“Gak usah lirik – lirik, cepat pergi.” Ucap Bu Har dengan ketusnya.

Dengan cepatnya aku membalikkan tubuhku lagi dan melangkah kearah pintu dapur. Aku menguncinya dan aku langsung keluar dari rumah Bu Har ini.

Aku keluar rumah Bu Har dengan terburu – buru. Dan ketika berjalan kearah kosan, aku berpapasan dengan puluhan orang mahasiwa baru yang berjalan tergesa – gesa kearah kampus.

Aarrghhh. Kok sempat – sempatnya aku melakukan hal ini kepada Bu Har ya.? bukannya aku menyesal, siapa coba yang menyesal dengan kenikmatan yang begitu indahnya seperti tadi.? Cuman waktunya kok seperti gak tepat banget, itu yang menjadi pikiranku.

Dan sekarang, dengan nafas yang memburu akupun masuk kedalam kosan.

“Cok, teko endi seh awakmu iku.?” (Cok dari mana sih kamu itu.?) Omel Joko ketika aku masuk kedalam rumah.

“Dandani keran banyune Bu Har.” (Perbaikin keran airnya Bu Har.) Ucapku berbohong sambil melangkah kearah dapur.

“Gak iso ditunda ta.? awak dewe iso telat iki.” (Gak bisa ditundakah.? Kita bisa telat ini.) Omel Joko yang sudah berpakaian kemaja putih dan celana kain berwarna hitam.

Aku tidak menjawab ucapan Joko ini dan ketika sampai didapur, terlihat makanan yang akan kami bawa untuk ospek sudah siap, termasuk ikan asin yang sudah digoreng.

“Loh kok ikannya sudah digoreng.? Minyaknya dari mana Mba Atika.?” Tanyaku sambil meletakkan botol minyak goreng dimeja.

Bi Ati langsung melihat kearahku dengan tatapan penuh selidik.

Duh. Aku barusan manggil Mba Atika ya.? Bodoh, kenapa aku bisa keceplosan seperti ini sih.? Arrgghhh.

“Maaf Bi, maaf. Saya kira kepikiran temanku didesa.” Ucapku berbohong dan Bi Ati hanya menatapku, tanpa berbicara sedikitpun.

Cok. kok jadi aneh begini ya.?

“Bi, kok gak dijawab sih.? dapat minyak goreng dari mana.?” Tanyaku sekali lagi, untuk mencairkan suasana yang agak gak enak ini.



“Sudah gak usah banyak tanya, nanti telat loh.” Akhirnya Bi Ati menjawab, tapi tatapannya tidak berubah kearahku.

“Kenapa Bi.?” Tanyaku, pura – pura tidak mengerti.

“Gak apa – apa, cepat mandi sana.” Jawab Bi Ati dan sekarang dia sudah terlihat sedikit santai.

“Ra usah ados cok. sepuluh menit engkas jam limo loh.” (Gak usah mandi cok. sepuluh menit lagi jam lima loh.) ucap Joko yang menyusulku kedapur.

Duh. Masa agak mandi sih.? tubuhku terasa lengket karena keringat, membuat gerah dan gak enak sekali rasanya. Belum lagi cairan Bu Har yang menempel dikemaluanku. Wahh. Bahaya ini.

“Cepet cok.” ucap Joko sambil melotot.

Akupun langsung melangkah kearah kamarku dan menutupnya. Setelah itu aku membuka seluruh pakaianku dengan terburu – buru dan menggantinya dengan seragam ospekku. Aku tadi sempat membersihkan kemaluanku yang masih agak basah ini, dengan cd yang bekas aku pakai. Dan aku terkejut ketika melihat Intan duduk dikursi dengan lirikan yang tajam dan tidak mengajakku berbicara sama sekali.

Ah biarlah, nanti saja aku mengajaknya berbicara. Yang penting sekarang aku harus segera berangkat kekampus.

Setelah memakai pakaianku, aku lalu mengambil papan namaku dan kugantungkan dileherku, lalu mengambil topi kerucut yang ada dimeja dan memakainya. Aku lalu meraih karung yang sudah aku ikat dan aku isi tugas ospekku semalam.

“Aku berangkat.” Pamitku ke Intan dan dia diam saja tidak menjawab pamitku ini. Aku menatapnya sebentar, lalu keluar kamar dan menutup pintu kamarku.

“Segomo ojo lali cok.” (Nasimu jangan lupa cok.) Ucap Joko sambil memakai sepatunya.

“Iyo.” Ucapku sambil melangkah kearah dapur.

Terlihat makananku sudah dibungkus Bi Ati dan aku tinggal membawanya saja.

“Dah bawa sana, ntar Bi Ati aja yang kunci pintu rumahnya.” Ucap Bi Ati sambil menyerahkan bungkusan nasi kepadaku, tanpa melihat kearah wajahku.

“Iya Bi, terimakasih. Saya pamit ya.” ucapku sambil memasukkan bungkusan nasiku kekarung, lalu mengikatnya lagi. Setelah itu aku keruang tengah dan memakai sepatuku.

“Bi, kunci dapurnya ada dikantong celana, didalam kamar. Ambil aja, maaf saya buru – buru.” Ucapku dari ruang tengah.

“Iya hati – hati.” Ucap Bi Ati yang masih membersihkan dapur.

Aku dan Joko lalu keluar kosan dan Intan tidak keluar kamar sama sekali. Dia tidak mengantarkan kepergianku ini, seperti yang biasa dia lakukan ketika aku keluar rumah. Ada apa ya.? Apa dia marah karena aku habis bertemu dengan Bu Har dan dia tau apa yang aku lakukan tadi.? Terserahlah, nanti aja dipikirnya.

“Ayo lang.” ucap Joko sambil berjalan terburu – buru.

“Iyo cok, iyo.” Jawabku.

Tampak jalanan ini tidak seramai tadi dan hanya beberapa maba yang berlari didepan kami sana. Kami berdua makin mempercepat langkah kami, sambil memegangi karung, papan nama didada, dan topi kerucut dikepala.

“Ketokane telat awak dewe iki Lang.” (Kelihatannya telat kita ini Lang.) ucap Joko kepadaku.

“Jek kurang limang menit.” (Masih kurang lima menit.) Jawabku dan kubuat sesantai mungkin.

“hehe, iyo – iyo.” Ucap Joko, tapi terlihat wajahnya sedikit tegang.

“Sepurane yo Jok.” (Maaf ya Jok.) Ucapku sambil melihat kearahnya.

“Kaet kapan awak dewe ono omongan ngono.? Tak kraok raimu koen engko.” (Sejak kapan kita ada omongan seperti itu.? Kucakar mukamu nanti.) Omel Joko kepadaku.

Ah, jadi gak enak aku sama Joko. Kenapa juga aku lama sekali ditempat Bu Har.? Kalau tadi aku ambil minyak terus langsung balik, pasti kami sekarang sudah ada didalam kampus teknik kita.

“WOII. MLAYUO NDES, BAJINGAN IKI.” (Woii, lari kamu bro, bajingan ini.) Teriak Mas Wagiyo dari pertigaan samping kampus teknik kita.

“Cok, butone ngamuk.” (Cok, raksasanya marah.) Bisik Joko kepadaku.

“Assuu.” (Anjing.) makiku, lalu kami berdua lari kearah Mas Wagiyo yang berdiri sambil berkacak pinggang.

Dan ketika kami sudah dekat dengan Mas Wagiyo.

BUHGG.

“HUUPPP.” Teriak Joko kesakitan, setelah Mas Wagiyo menendang perutnya sampai dia terlempar kebelakang. Joko langsung tertidur dijalan, dengan karung dan topi kerucutnya terlempar disampingnya. Dan,

BUHGG.

Daeng Betta lari kearahku dan mengarahkan injakannya keperutku juga, sampai aku termundur beberapa langkah. Aku tidak terjatuh kebelakang, karena aku menahan tubuhku dengan menggunakan kaki kananku yang aku tekuk sedikit kebelakang.

“HUUPP.” Rintihku kesakitan, sambil membungkuk dan memegangi perutku yang terasa keram. Lalu tiba – tiba.

BUMMM.

“ARRGGHHHH.” Teriakku lagi, karena sebuah uppercut Daeng Betta dari arah bawah daguku, masuk dengan telaknya. Pukulannya itupun membuat kepalaku yang tertunduk ini, langsung terdanga dan aku langsung tumbang ditengah jalan.

Gila. Sakit banget cok, apalagi kepala belakangku membentur aspal lumayan keras. Lengkap sudah penderitaanku pagi ini.

“Cepat bangun kamu berdua. Kalau enggak cepat bangun, kuinjak mukamu satu – satu.” Ucap Daeng Betta kepada kami.

Aku yang tertidur sambil memegangi perut dan mulutku yang kesakitan ini, langsung bangun perlahan.

“Uhhhh.” Aku mengembuskan nafas yang panjang sambil menegakkan tubuhku. Lalu,

BUHGG.

Dadaku diinjak oleh Mas Wagiyo dan kembali aku tumbang lalu roboh kebelakang.

BUUMMM..

“Huupppp.” Aku kesakitan dan berguling – guling dijalan, sambil memegangi dadaku yang sangat sulit bernafas ini.

Dan terlihat Joko yang tadi bangun bersamaku, juga terguling – guling dijalan.

Gila. Acara apasih ini.? kok sampai seperti ini perlakuan yang kami terima.? Atau jangan – jangan karena ini memang kesialanku, karena aku belum mandi, setelah bertukar kenikmatan dengan Bu Har tadi.? Wah, sial banget dong aku. Nikmatnya cuman beberapa saat, tapi sakitnya bertubi – tubi.

“SURUH MEREKA BERDUA BANGUN, TERUS LARI KESINI.” Teriak Mas Pandu dari depan gerbang utama.

Juhh. Apalagi ini.? Kenapa Mas Pandu berteriak seperti itu.? Apa aku dan Joko akan mendapatkan siksaan dari Mas Pandu juga.? Gila.

Beberapa peserta ospek yang baru datang, tampak berlarian kearah gerbang pagar dan melewati aku dan Joko yang masih tertidur dijalan.

“CEPAT BANGUN.” Teriak Daeng Betta kepadaku.

Aku pun mengatur nafasku perlahan, lalu berdiri. Dan.

Buhgg.

“NDANG MLAYUO RONO.” (Cepat lari kesana.) Ucap Mas Wagiyo sambil menendang bokongku pelan dan menunjuk kearah Mas Pandu.

Aku mengambil topi kerucutku yang terlepas lalu memakainya, setelah itu aku berlari kearah Mas Pandu bersama Joko.

Gila, sudah tubuhku gerah banget, belum mandi, terus sekarang keringatku mengalir deras. Dan keringat yang sekarang mengalir, bukan keringat kenikmatan tapi keringat kesakitan. Bajingan.

“Hu. Hu. Hu. Hu. Cok, jancok.” Gerutu Joko sambil berlari disebelahku.

“Wes talah cok, dilakoni ae. Hu. Hu. Hu. Hu.” (Sudahlah cok, dijalanin aja.) Ucapku kepada Joko.

Joko hanya menggelengkan kepalanya dan terlihat ada tetesan darah yang keluar diujung bibirnya. Kami berdua berlari dan berhenti didepan Mas Pandu yang sudah menunggu kami didepan pagar kampus.

Dan pada saat kami berhenti, pintu pagar kampus langsung ditutup dan membuat puluhan peserta ospek dibelakang kami yang akan masuk, langsung terhenti dan ketakutan.

Mas Pandu menatap kami berdua dengan tatapan dingin dan memerah. Dia menghisap dalam – dalam rokoknya, lalu mengeluarkannya perlahan.

Huuu. Kesialan apa lagi ini.? Mau diapain lagi kami berdua sama Mas Pandu ini.? gak cukupkah pukulan dan tendangan, dari Mas Wagiyo dan Daeng Betta barusan.? apa kami juga harus merasakan kepalan tangan Mas Pandu yang sangat ditakuti didaerahku ini.? harusnya aku mandi dulu, untuk membuang sialku. Arrgghhh.

“YANG TERLAMBAT BARIS DISEBELAH SINI.” Ucap Bang Ucok berteriak, sambil menunjuk arah yang tidak jauh dari tempatku berdiri.

Huuu. Untung kami disuruh pergi dari hadapan Mas Pandu. Kalau enggak, mungkin kami berdua benar – benar terkena kepalan tangan Mas Pandu yang keras dan kuat itu. Aku dan Joko pun langsung berjalan kearah yang ditunjuk Bang Ucok.

“Yang suruh kamu pergi dari hadapanku siapa.?” Ucap Mas Pandu dari arah belakang kami.

Duhh. Hancur sudah, hancur mukaku kena pukulan Mas Pandu.

“Cuukkk.” Gumam Joko pelan sekali.

Terdengar dari nada suara Joko yang pelan itu, ketakutan yang sangat luar biasa. Mungkin apa yang ada dipikirannya sama seperti yang aku ada dipikiranku, merasakan kepalan tangan Mas Pandu. Gila.

Kami berdua lalu membalikkan tubuh perlahan dengan kaki yang bergetar, dan.

BUHHGG, BUHHGG.

Kepalan tangan kanan Mas Pandu, langsung menyambut kami berdua, tepat dirahang kanan kami. Pukulan yang keras dan kuat itu, langsung membuat kami oleng dan tumbang lagi dijalan.

BUMMMMMM.

“ARRGGHHH.” Teriakku dan Joko bersahutan, diempuknya aspal jalanan.

Kami berdua tertidur, sambil memegangi wajah yang kesakitan dan perlahan meneteskan darah ini.

“Bongko.” Ucap Mas Wagiyo dari arah kejauhan.

Pandanganku berbayang dan kepalaku terasa sangat pusing sekali. Bajingaan, akhirnya aku benar – benar merasakan kepalan tangan Mas Pandu itu.

Dan dipandanganku yang berbayang ini, aku melihat dari arah kejauhan, seseorang berjalan kearah kami dengan santainya. Aku memejamkan mataku lagi lalu membuka kedua mataku berlahan.

Pandanganku perlahan mulai jelas dan terlihat seorang mahasiswa baru, berwajah bule yang berjalan kearah kami itu. potongan rambutnya sama seperti kemarin, petal dan tidak dirapikan sama sekali. Dia berjalan sambil menenteng karung ditangan kanan dan topi kerucut ditangan kiri.

Gila, itu Rendi.? Apa dia sengaja membiarkan rambutnya seperti itu.? apa dia mau merasakan kerasnya pukulan Mas Pandu yang bertubi – tubi lagi.? Aku yang terkena pukulan Mas Pandu sekali saja kapok, masa Rendi gak ada kapoknya.?

Dan yang lebih gilanya, semua maba ketakutan dan berlarian untuk berbaris ditempat yang ditunjuk Bang Ucok. Sementara Rendi jalannya santai saja, seperti tidak terjadi apa – apa. Apa gak gila gitu.?

“Wong gendeng.” (Orang gila.) Ucap Joko disebelahku yang masih tertidur dijalan.

Rasa kesakitanku pun langsung hilang, melihat Rendi yang begitu cueknya menghadapi mara bahaya yang sudah menanti didepannya.

“WOII. LARI KAU. BAJINGAN INI.” terika Bang Ucok sambil menunjuk kearah Rendi dan Rendi tetap berjalan dengan santainya.

“Jiancookk.” Maki Mas Pandu yang terdengar sangat emosi sekali.

“Angel wes, angel ngene iki. Angel temen tuturanmu, angel temen tuturanmu.” (Susah sudah, susah kalau begini. Susah benar nasehati kamu, susah benar nasehati kamu.) Terdengar suara Mas Adam yang pelan dan mendayu – dayu.

Dan ketika Rendi sudah dekat dengan barisan yang ditunjuk Bang Ucok, Mas Pandu berlari sambil mengarahkan injakan kearah perut Rendi.

BUHHGG,

“HUPPP.” Suara Rendi yang seperti menahan nafas, sementara perlengkapan yang dibawanya pun langsung terlepas dan jatuh diaspal.

Rendi tetap berdiri sambil membungkukan tubuhnya dan memegangi perutnya.

“BAJINGAN.” Maki Mas Pandu lalu.

BUHHGG, BUHHGG, BUHHGG, BUHHGG, BUHHGG.

Mas Pandu menghajar Rendi bertubi – tubi, sampai Rendi termundur.

BUHHGG, BUHHGG, BUHHGG, BUHHGG, BUHHGG.

Seluruh wajah Rendi dihajar oleh Mas Pandu sampai mengeluarkan darah, lalu.

BUHHGG, BUMMMM.

Dada Rendi diinjak dengan kuatnya, sehingga Rendi langsung tumbang dan terlentang dijalan.

Gila, gila, gila. Ini gila dan sadis banget cok.

“Kau berdua bangun dan baris disini.” Ucap Bang Ucok kepadaku dan Joko yang masih tertidur dijalan.

Aku dan Joko yang terkejut, langsung bangun perlahan sambil memegangi wajah kami yang berdarah. Kami berdua lalu berjalan kearah puluhan mahasiswa baru yang terlambat itu. Tampak diantara barisan itu, ada Toni, Wawan dan Bendu.

Hiuffttt. Huuu.

“BARISNYA JANGAN MERAPAT, RENTANGKAN KEDUA TANGAN KALIAN.” Teriak Bang Ucok dari depan barisan.

Kami semua langsung memakai topi kerucut masing – masing, lalu merentangkan kedua tangan. Kami semua berbaris dijalanan depan kampus, yang ditutup dari kedua arah ini.

Dan ketika kami semua merentangkan kedua tangan,

BUHHGG, BUHHGG, BUHHGG, BUHHGG, BUHHGG.

Mas Adam berlari kearah Bendu, Bli Oka berlari kearah Wawan dan Bang Ramos berlari kearah Toni, lalu mereka menghajar ketiga orang yang ditujunya itu, dengan ganasnya.

BUHHGG, BUHHGG, BUHHGG, BUHHGG, BUHHGG.

Mereka dihajar sampai tertidur dijalan dan berdarah – darah. Lalu beberapa saat kemudian, panitia keamanan yang ada disamping, belakang dan depan kami, berlarian kearah kami yang terlambat, sambil menghajar kami.

BUHHGG, BUHHGG, BUHHGG, BUHHGG, BUHHGG.

Aku dihajar Mas Wagiyo lagi dan Joko hantam Daeng Betta.

BUHHGG, BUHHGG, BUHHGG, BUHHGG, BUHHGG.

Lagi dan lagi kami semua terkapar dijalanan aspal ini. Kerasnya aspalpun, tidak terasa dan kami serasa tertidur diatas kasur yang empuk. Gila.

Setelah mendapatkan kepuasaan sesaat, pagi yang cerah ini seolah menjadi mendung yang gelap. Pandanganku yang kembali kabur, tertutup sebagian kedua kelopak mataku yang mulai membengkak. Matahari yang mulai bersinar terang pun, seakan tidak berbayang dipandanganku ini.

“Jam 04.59. Baru hari pertama saja, kalian semua terlambat.” Ucap Bang Ucok bersuara dan kami semua masih tertidur dijalan.

Ha.? Bukannya masuknya jam 05.00 ya.? kan masih ada satu menit tersisa.? kok bisa terlambat sih.? ini waktu bagian negara khayangan yang mana.? Barat, tengah apa timur.?

“Bangun, bangun, bangun. Cepat bangun.” Ucap Bang Ucok kepada kami semua.

Kami semua bangun tertatih – tatih, sedangkan Rendi masih tertidur dibagian luar barisan sana. Mas Pandu hanya berdiri sambil menatap kearah Rendi, lalu dia menghisap rokoknya.

“Sekarang kalian semua jongkok.” Ucap Bang Ucok lagi dan kami semua langsung jongkok tanpa bersuara.

“Buka pagarnya.” Perintah Bang Ucok kepada panitia yang menjaga pagar.

Pintu pagar lalu dibuka dan Bang Ucok berjalan kearahku.

Juhh, apa lagi ini.? apa aku mau dihajar Bang Ucok.?

“kamu jalan jongkok paling depan sana.” ucap Bang Ucok kepadaku.

Akupun langsung berdiri perlahan, dan.

BUHHGG.

Punggungku diinjak dari belakang, sampai aku terdorong dan tersungkur kedepan dengan sangat kuatnya.

KRAKK.

Bunyi lututku ketika menyentuh diaspal, ketika aku terdorong tadi.

“ARRGGHHH.:” ucapku menunduk dan kesakitan, sambil berlutut dan aku memegangi kedua lututku.

Bajingan. Aku salah jatuh tadi. Arrgghh.

Sabar Lang, sabar. Ingat mimpimu dan ingat keluargamu yang menaruh harapan dipundakmu, sakitnya ini gak seberapa kok.

Aku lalu mengangkat wajahku dan terlihat Pak Tomo dilantai dua sebuah bangunan, menatapku sambil menghisap rokoknya.

“Kamu disuruh jalan jongkok, malah berdiri. Kurang ajar.” Ucap Mas Wagiyo dibelakangku. Aku pun hanya diam saja sambil melihat kearah Pak Tomo.

“Sekarang kamu jalan jongkok ikutin aku.” ucap Bang Ucok yang berdiri disebelahku.

“Yang lainnya, jalan jongkok dibelakang anak ini.” ucap Bang Ucok lagi kepada semua peserta ospek yang terlambat.

Bang Ucok pun mulai berjalan dan aku mulai melangkah kan kakiku pelan.

Krak,

“hupp.” Aku merasakan kesakitan dilututku, ketika aku mulai melangkah.

“Jalan jongkoknya sambil ngomong semongko.” Ucap Mas Wagiyo dibelakangku.

“Hup, semongko, semongko, semongko.” Ucapku sambil menahan rasa sakitku.

“MANA SUARA YANG LAIN.?” Teriak Bang Ucok dengan kerasnya.

“semongko, semongko, semongko.” Ucap teman – temanku dengan suara yang pelan.

BUHHGG, BUHHGG, BUHHGG, BUHHGG.

Terdengar pukulan dibelakangku. Entah siapa yang memukul dan siapa yang dipukul.

“YANG KERAS DAN KOMPAK.” Teriak Mas Wagiyo.

“SEMONGKO, SEMONGKO, SEMONGKO.” Teriak kami semua, sambil berjalan jongkok.

Kami semua berjalan jongkok sambil berteriak, kearah lapangan utama yang agak jauh dari pintu pagar kampus.

Dan didepan aula utama, seorang waanita berdiri dan menatapku dengan sangat tajamnya. Dia melihatku penuh dengan kebencian.



Gendhis


Kenapa Gendhis menatapku seperti itu ya.? Aku salah apalagi sama dia.? Apa karena aku telat.? Apa urusannya, kan gak merugikan dia sama sekali.

Arrgghh. Kenapa hari ini semua wanita menatapku dengan sangat aneh ya.? gak semua sih, Bu Har aja yang menatapku penuh dengan kasih sayang.

Akupun terus berjalan jongkok sambil berteriak, kearah lapangan utama.

Tampak dilapangan utama, ribuan peserta ospek sudah berbaris dan menghadap kearah panggung dengan kepala yang tertunduk.

Kami yang terlambat ini, diarahkan kedepan barisan kelompok teman – teman kami. Tampak Yunda Sarah berdiri disebelah kelompokku dan menatapku dengan dinginnya. Dia berdiri disebelah Ratna yang menunduk dan sesekali melirik kearahku.

“Sekarang berhenti dan semua berdiri.” Ucap Bang Ucok dan kami semua langsung berhenti. Setelah itu kami berdiri sambil menghadap kearah barisan teman – teman kami.

Krak.

“Hup.” Terdengar suara dari lututku lagi, dan aku berdiri dengan mata yang terpejam sesaat. Aku memejamkan kedua mataku, karena aku menahan sakitnya yang sangat luar biasa.

“Mereka – mereka ini terlambat dan seperti gak niat ikut ospek.” Ucap Bang Ucok kepada barisan kelompok yang tidak terlambat, sambil menunjuk kearah kami.

“Kalian lari keliling lapangan ini dulu, sambil berteriak semongko. Dua puluh kalilah.” Ucap Bang Ucok kepada kami yang terlambat.

“Siapa tau setelah itu, kalian semua jadi niat ikut ospek ini.” Ucap Bang Ucok lagi.

Juhh. Sudah gundul dan menyiapkan semua ini, masa kami dibilang gak niat sih.? hiuufftt, huuuu.

Kami semua langsung menghadap kekanan dan mulai berlari sambil memegang topi kerucut dan karung bawaan kami.

“SEMONGKO, SEMONGKO, SEMONGKO.” Teriak kami semua, sambil berlari dan aku menahan sakitnya lututku.

“SEMONGKO, SEMONGKO, SEMONGKO.”

Kami terus berlari dan terlihat dari arah kejauhan, Rendi berjalan jongkok kearah kami, dengan wajah yang berdarah – darah.

Waw, luar biasa Rendi ini. sudah dihajar Mas Pandu seperti tadi, dia masih bisa jalan jongkok seperti itu. Gila, kuat sekali fisiknya. Aku kira tadi dia pingsan dan diangkut panitian kesehatan. Tapi ternyata, luar biasa gila dia itu.

“SEMONGKO, SEMONGKO, SEMONGKO.”

Kami terus berteriak sambil berlari, mengitari lapangan ini. Dan setelah selesai berlari, kami disuruh masuk kedalam kelompok kami masing – masing.

Apa selesai drama pagi ini yang dibuat panitia keamanan.? Enggak. Masih ada lagi drama memuakkan yang harus kami lewati. Semua barang bawaan kami diperiksa dan tugas yang kami bawa, diperiksa satu – persatu. Dan yang tugasnya salah atau kurang, tentu saja harus legowo dengan pukulan dan tendangan dari panitia keamanan.

“Kenapa, kamu terlambat.?” Tanya Yunda Sarah kepadaku, ketika drama panitia keamanan telah usai.



Sarah


“Iya Yunda, maaf saya salah.” Ucapku dengan nada yang merendah.

“Kamu taukan kalau kamu itu ketua kelompok.” Ucap Yunda Sarah lagi.

“Iya Yunda.” Jawabku sambil mengangguk, lalu membersihkan keringat yang mengucur deras dikeningku.

“Jangan iya – iya aja. Kalau kamu gak bisa memikul tanggung jawab, ngomong. Biar kita pemilihan ulang.” Ucap Yunda Sarah dengan ketusnya.

Aku hanya menarik nafasku dalam – dalam, lalu mengeluarkannya perlahan.

Hiuufftt. Huuu.

“Yunda, tanggung jawab yang saya emban itu seperti suatu amanat atau janji yang harus saya tuntaskan. Dan bagi saya, pantang untuk mundur atau lari dari tanggung jawab. Tapi kalau semua menginginkan saya mundur, saya tidak akan memaksakan kehendak saya. Sekarang terserah, mau pemilihan ulang atau tanggung jawab ini tetap diberikan kepada saya.” Jawabku sambil menatap wajah cantik Yunda Sarah.

“Oke, saya akan memberikan kamu satu kesempatan lagi. Karena ini masih hari pertama dan masih ada enam hari kedepan yang akan kalian jalani. Saya tidak mau ada kesalahan kedua kali, karena sama saja saya menjerumuskan semua teman – temanmu pada kesalahan, yang bisa mengakibatkan semua terkena hukuman.” Ucap Yunda Sarah sambil membalas tatapanku, lalu melihat kearah teman – temanku.

Aku hanya mengangguk pelan, dan sekarang aku membersihkan darah yang masih menetes dibibir dan pelipisku.

“Sekarang pimpin teman – temanmu berdo’a, lalu kalian makan dengan nasi jagung yang kalian bawa dari kosan dan rumah masing - masing.” Ucap Yunda Sarah sambil melirikku.

“Makannya saling berhadapan dan jangan ada yang suap – suapan. Makanlah yang kalian bawa dan jangan ada yang meminta kekanan, kekiri atau kedepan kalian. Paham.” Ucap Yunda Sarah.

“PAHAM YUNDA.” Jawab kami dengan kompaknya.

“Sekarang mulai pimpin doa.” Perintah Yunda Sarah kepadaku.

Dan pada saat aku berdiri ditengah barisan kelompokku yang duduk dilapangan ini, semua teman – temanku dan kelompok – kelompok lain, memandangku dengan tatapan yang ketakutan dan memelas. Berbeda dengan panitia keamanan yang berdiri mengelilingi semua peserta ospek dipinggir lapangan. Mereka semua menatap kearahku dengan sangat tajam, dan seperti ingin memakanku beramai – ramai saja.

Gila. Apa aku takut dengan tatapan tajam semua panitia keamanan itu.? Enggak lah, untuk apa aku takut sama mereka semua.? Santai aja kali.

“Pagi teman – teman.” Sapaku kepada semua teman kelompokku.

“Pagi.” Jawab mereka dengan agak ketakutan.

Ada apa dengan mereka ini.? Apa yang mereka takutkan dari aku sih.? Kenapa wajah mereka sampai memelas dan ketakutan, mendengarkan aku berbicara didepan ini.?

Hiuuffftt. Huuu.

Kelihatannya aku harus memberi semangat mereka lagi.

“Mari kita awali pagi ini dengan bersyukur. Bersyukur karena masih diberi nafas, masih diberi hidup dan yang terpenting, masih diberi makanan untuk kita santap.” Ucapku dan mereka semua, hanya mengangguk pelan sambil menatapku.

Tatapan – tatapan dari semua temanku itu, seolah memberikan aku kode untuk berkata – kata yang sangat halus dan lebih berhati – hati. Mereka seperti terlihat khawatir, kalau aku berbicara berapi – api seperti kemarin sore.

“Jangan lupa. Mari kita bersyukur karena kita terbangun dan masih diberi kesempatan, untuk berkumpul dengan orang – orang yang sayang dan perhatian kepada kita.” Ucapku dan semua temanku, langsung menunduk sambil mengangguk pelan.

Mereka sekarang terlihat agak tenang, karena aku berbicara sangat lembut dan sopan sekali pagi ini.

“Jangan lupa tetap semangat. Karena hanya semangat yang membuat kita semua lebih bergairah, dalam menjalani hari – hari yang sangat ‘gila’ ini.” ucapku dan ketika mengucapkan kata gila, aku membuat kode dengan dua jari tanda petik dikedua tanganku.

Semua teman – temanku kembali melihat kearahku, dengan pandangan yang kembali memelas dan seperti memohon kepadaku, untuk tidak melanjutkan kata – kataku.

“Semangat, hanya semangat yang kita punya saat ini. Dan semangat itu.” ucapku terpotong.

“Ko jangan tutup doamu dengan kata – kata bongko ya.” Ucap Toni yang duduk didekatku, dengan suara yang pelan dan mata yang agak melotot.

Sebenarnya sih melotot beneran, tapi karena kelopak matanya membengkak, jadi terlihat setengah aja melototnya.

“Oke Bung, oke. Biarkan semangat itu tertanam dihati, tanpa perlu diucapkan.” Ucapku lalu aku tersenyum.

Semua teman kelompokku langsung mengangguk dan tersenyum kearahku. Mereka semua terlihat lega, karena aku tidak mengucapkan kata semongko yang bisa mengundang mara bahaya kepada kami semua.

Kelompok yang lain pun terlihat lega dan mereka langsung focus kepada ketua kelompok masing – masing.

“Bung.? Ko panggil saya Bung.? Saya suka dengan ko punya kata – kata itu.” ucap Toni lalu tersenyum kepadaku dan aku hanya mengangguk saja.

“Mari kita makan, dan sekali lagi, jangan lupa bersyukur. Semoga kenikmatan dipagi ini, memberikan semangat baru bagi kita.” ucapku menutup doaku pagi ini.

“Amin.” Jawab semua teman – temanku dan aku langsung duduk bersila, bersama teman – temanku.

“SEMONGKO.” Teriak Mas Adam dari arah kejauhan dan kami semua hanya meliriknya, lalu mulai memakan sarapan kami dengan tenggorokan yang terasa tercekat.





#Cuukkk. Hari yang gila dan penuh kegilaan. Tapi semangatku tidak mengendur dan semoga teman – temanku juga sama seperti aku. Tapi ngomong – ngomong, gerah banget seluruh tubuhku. Gak apa – apalah, yang penting tetap semongko. SEMANGAT NGANTI BONGKO..!!!
 
Terakhir diubah:
Selamat malam Om dan Tante.

Update malam dan mungkin ini agak panjang dari episode - episode IMPIAN sebelumnya.
Update ini spesial untuk semua Om dan Tante yang sudah memberikan dukungan kepada saya, dalam berbagai kondisi.

Terimakasih, Terimakasih, Terimakasih.
:ampun::ampun::ampun:
Kalau sudah membaca Updetan kali ini, gimana.? bingung gak sama alurnya.?
Sama, saya yang nulis juga bingung. hehehe.
Lumayan banyak kan tambahannya.?

Mungkin cukup itu dulu dari saya, selamat menikmati dan semoga agak puas dengan updetan kali ini.
Jangan lupa saran dan masukannya.
Salam Hormat dan Salam Persaudaraan.
:beer::beer::beer:
 
Jav Toys
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd