Agen Terpercaya  
 
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

CERBUNG - TAMAT I M P I A N 1

silahkan

  • dijawab sebisanya

    Votes: 347 45,6%
  • pertanyaan yang berkaitan dengan cerita

    Votes: 538 70,7%

  • Total voters
    761

BAGIAN 13
IMPIAN DAN CINTA




DUNG,TAK, DUNG DUNG, TAK, DUNG DUNG, TAK, DUNG.

Suara cek sound system dilapangan depan rektorat sana, terdengar sampai lapangan utama ini. Panggung yang megah pun, juga dibangun disana untuk acara penutupan ospek tahun ini.

“Cok. ada perayaan apa sih didepan itu.?” Tanya Bendu.

“Perayaan tertangkapnya Dedi Pensil. Koruptor kelas kakap 1.5 trilun.” Jawab Joko dengan entengnya.

“Dedi Pensil.? Bisa tertangkap juga manusia satu itu.?” Tanya Wawan.

“Bisalah. Makanya sekarang dirayain.” Jawab Joko.

“Penangkapan kok dirayain.? Paling juga sebentar lagi dia kabur.” Sahut Bendu.

“Yang penting seneng dulu. Atimu loro, dijogeti wae.” (Hatimu sakit, dijogetin aja.) Jawab Joko dengan cueknya.

“Asuu.” Maki Bendu.

“1,5 triliun, gila. Kalau dipakai untuk beli *****, dapat seberapa itu.?” Tanya Wawan sambil menggelengkan kepalanya.

“Kota ini dan kabupaten sebelah, bisa jadi hutan belantara Wan. Belantara *****.” Celetuk Bendu dengan candaannya.

“Iya ya., terus satu kota ini bisa tertawa bahagia selama tujuh turunan. Hahaha.” Ucap Wawan lalu tertawa.

“Asuu, asuu.” Maki Bendu, lalu dia menggaruk kepalanya yang gundul dengan kedua tangannya.

“Kepalamu gak ada rambutnya, kok bisa ada kutunya Ndu.?” Tanya Wawan yang duduk disebelahnya, sambil melihat kearah kepala Bendu yang agak menunduk.

“Duduk tumo iku Wan, tapi laler.” (Bukan kutu itu Wan, tapi lalat.) Sahut Joko membully Bendu.

“Omonganmu kok nggateli cok.?” (Omonganmu kok jengkelin cok.) Ucap Bendu dan sekarang melihat kearah Joko.

“Ga usah kakean cangkem, engko lambemu seng di rubungi laler.” (Gak usah banyak mulut, nanti mulutmu yang dirubungi lalat.) Ucap Joko dengan cueknya.

“Cuk’i.” Sahut Bendu.

“Ko bertiga ribut saja e.” Ucap Bung Toni.

“Biarkan aja Bung, entar kalau jembutnya sudah tumbuh, pasti diam sendiri.” Sahut Rendi dengan cueknya, lalu dia menggigit batang rumput yang dipegangnya.

“Anjing, maksud loe kepala kita mirip biji gitu Ren.?” Tanya Wawan.

“Kita.? Kamu, Bendu sama Joko aja kali Wan.” Sahutku.

“MATAMU.” Maki Bendu, Joko dan Wawan, dengan kompaknya.

“Biji itu cuma ada dua, kenapa sekarang ada tiga.?” Tanya Bung Toni kepadaku.

“Kan dibilang mirip biji Bung. Mirip, bukan bijinya.” Jawabku sambil memegang ujung hidungku, yang terasa mulai ada jerawat yang akan tumbuh. Ahh, kenapa jerawat ini muncul ya.? Pertanda apa ini.? Masa aku mau puber lagi sih.?

“Jadi kalau bukan biji apa.?” Tanya Bung Toni lagi.

“Kutil Bung.” Rendi yang menjawab pertanyaan Bung Toni.

“Bajingan.!!!” Maki mereka bertiga dengan kompaknya.

“Hahahaha.” Aku dan Bung Toni tertawa, sedangkan Rendi hanya melirik mereka bertiga sambil tetap mengemut batang rumput dimulutnya.

“Til 1, Til 2, Til 3.” Ucapku sambil menunjuk kearah Joko, Bendu dan Wawan.

“Til dengkulmu iku. Jiancookk.” (Til lututmu itu. Jiancookk.) Gerutu Joko.

“Kutile nesu. Hahaha.” (Kutilnya marah.) Ucapku lalu aku tertawa.

“Matane akik. Omonganmu luweh nggatelli timbangane Joko cok. Bajingan.” (matanya batu cincin. Omonganmu lebih menjengkelkan daripada Joko cok. Bajingan.) Ucap Bendu.

“Hahaha.” Kembali aku dan Bung Toni tertawa.

Kami berenam sekarang sudah bisa berkumpul dan tidak ada dendam lagi diantara Bendu, Wawan, Rendi dan Bung Toni. Hukuman dan bantaian dari senior yang berasal dari pondok merah, membuat kami berenam jadi semakin dekat dan mengenal satu sama lain. Selain itu, mungkin mereka berempat juga sudah merenungkan kata – kata ku, dihari ospek kelima kemarin lusa.

Hiuftt, huuu..

Dan gak terasa, hari – hari pembantaian kami akan segera berakhir. Hari ini hari terakhir ospek dan nanti sore upacara penutupan. Lega juga terasa didalam hati ini, karena kami akan segera dikukuhkan menjadi mahasiswa kampus teknik kita. Bosan juga setiap hari kami harus merasakan kepalan tangan para panitia keamanan. Kami berharap kegiatan ini segera selesai dan kami bisa memulai kegiatan belajar dikampus ini.

“Gak terasa sudah mau selesai ya.” Ucap Wawan.

“Gak terasa matamu itu Wan. Bonyok nih muka.” Sahut Joko sambil menunjuk wajahnya yang masih terlihat sedikit membiru.

“Bukannya memang mukamu sudah hancur ya Jok.? Kok nyalahin ospek ini.?” Tanya Wawan.

“Ngaca Wan, ngaca. Mukamu itu lebih hancur dari mukaku.” Ucap Joko sambil melihat kearah wajah Wawan, yang bagian pelipisnya tertutup plester. Wawan langsung menyentuh plester dipelipisnya sambil tersenyum.

“Terus apa yang kita lakukan setelah ini.?” Tanya Wawan yang tiba – tiba berbicara agak serius.

“Ya kuliah, terus maumu apa lagi.?” Tanyaku balik.

“Diterima dikampus teknik kita tercinta yang terkenal berisi bajingan ini, cuman itu aja yang akan kamu lakukan.?” Tanya Wawan dan kami semua langsung melihat kearahnya.

“Terus mau ngapain.? Coli sambil membayangkan kutil kalian bertiga.? Jijik banget.” Jawabku dengan santai.

“MATAMU.” Ucap mereka bertiga dengan kompaknya dan aku hanya tersenyum saja, mendengar makian tiga orang gundul yang diduduk didekatku ini..

“Ini serius Lang. Masa kita sudah berdiri dikampus ini, terus kita gak menikmatinya sih.? Sia – sia masa mudaku kalau cuman aku lewatkan begitu saja.” Ucap Wawan.

“Sip itu Wan, kita satu pemikiran. Masa hidup kok begini – begini aja, untuk apa.? Entar kalau aku punya cucu terus cucuku tanya, kuliah dimana kek.? Aku jawab dikampus teknik kita. Terus cucuku tanya lagi, apa yang sudah kakek lakukan selama kuliah dikampus itu.? Kuliah, makan, tidur. Apa kujawab seperti itu.? Bisa dimaki sama cucuku aku, apa aku gak jadi kakek yang durhaka.?” Ucap Bendu.

“Kalau masalah itu, gak kudukung kamu Ndu. Cucuku mulai dari dalam perut, sudah kuajari tata krama.” Sahut Wawan.

“Cok, ini istilah cok. Serius bener sih kamu itu.” Gerutu Bendu ke Wawan.

Aku, Rendi dan Bung Toni hanya saling melirik, lalu menggelengkan kepala, mendengar perdebatan yang memuakkan ini.

“Sudahlah, intinya itu, kita sekarang sudah menjadi bagian dari kampus yang berisi para bajingan ini. Senior – senior kita telah membuat sejarah dan kita harus membuat sejarah kita sendiri.” Ucap Bendu dengan semangatnya.

“Betul itu Ndu. Dan kita juga harus jadi bajingannya kampus ini. Kita ramaikan dunia perbajingan kampus teknik kita, kita buat geger kampus ini dengan kepalan tangan kita berenam, kalau perlu kita kuasai kampus ini.” Ucap Wawan dengan angkuhnya, sambil mengepalkan tangan kanannya.

“Apapun isinya didalam area ini, tetap aja namanya kampus, bukan jalanan. Walau disini berisi bajingan sekalipun, tetap aja ada kegiatan perkuliahannya. Sebajingan – bajingannya orang yang ada didalam sini, tetap saja kampus ini melahirkan orang – orang yang hebat.” Jawabku dan Wawan hanya menatapku saja.

“Emang kamu mau apa kalau sudah selesai ospek ini.?” Tanya Joko kepada Wawan.

“Kalau aku ingin jadi bandar ***** terbesar dikampus ini, kalau perlu malah seluruh kota ini.” Jawab Wawan bercanda lalu terenyum.

“assuu.” Maki Joko ke Wawan lalu melihat kearah Bendu.

“Kalau aku, aku mau menguasai parkir yang ada dikota ini, bersama kalian berlima.” Jawab Bendu yang makin aneh terdengar. Walaupun itu bercanda, tapi tetap saja aneh bagiku.

“Kalau kamu Bung.?” Tanya Wawan ke Bung Toni.

“Kalau saya, saya mau mencicipi seluruh minuman yang ada dikota ini.” Ucap Bung Toni yang juga terlihat bercanda.

“Cok.” maki Joko sambil menggelengkan kepalanya.

“Kalau kamu Le.?” Giliran Wawan bertanya ke Rendi.

“Menghancurkan kedigdayaan pondok merah, kalau perlu aku menguasainya.” Jawab Rendi sambil memegang batang rumput ditangannya, lalu menggigitnya lagi.

Kami berlima langsung terkejut dan melihat kearah Rendi. Gila bule satu ini.

“Serius.?” Tanya Bung Toni, karena hanya Rendi yang terlihat serius mengucapkan keinginannya.

Rendi hanya melirik kami semua dengan santainya.

“Sepakat.” Jawab Bung Toni, Wawan dan Bendu, secara kompaknya. Sedangkan aku dan Joko hanya saling melihat saja.

“Ucapan itu do’a. Apa yang kalian ucapkan, bisa saja menjadi kenyataan.” Sahutku.

“Ga asyik loe Lang, gak bisa diajak bercanda.” Ucap Wawan.

“Bercanda tentang suatu keinginan itu tidak baik, karena kita tidak tau kapan semesta ini mengaminkan dan kapan Sang Pencipta mengabulkan. Pada saat bercandakah atau pada saat kita benar – benar membutuhkannya.” Ucapku.

“Ngehe, malah diceramahin kita.” Gerutu Wawan dan aku hanya tersenyum saja.

“Emang apa tujuanmu kekampus ini selain kuliah.?” Tanya Bendu.

“Gak ada. Cuman pengen cepat lulus, supaya aku gak melihat doa kalian ini dikabulkan satu persatu oleh Sang Pencipta.” Jawabku.

“Taik.” Maki mereka berempat kepadaku dan Joko hanya melirikku sambil tersenyum.

“Jadi kita berenam ini gak satu jalan.?” Tanya Bendu lagi.

“Tetap satu jalanlah. Jalan yang kita lewati itu – itu aja.” Ucapku sambil menunjuk gerbang kampus teknik kita.

“Ngehe, bukan itu maksudnya Bendu.” Omel Wawan kepadaku.

“Wan, dimana – mana itu adanya empat sekawan. Gak ada yang namanya enam sekawan. Jadi silahkan kalian menentukan jalan masing – masing dan kami berdua tetap pada haluan.” Ucapku kepada Wawan, sambil melirik kearah Joko.

“Tapi bukan berarti kita tidak lagi berkawan.” Ucapku lagi lalu kuakhiri dengan senyuman.

“Iya lah.” Ucap Rendi sambil mengepalkan tangan kirinya kearahku.

“Semongko.” Ucapku sambil meninju pelan kepala tangan Rendi itu.

“Jangan disahutin ucapan orang gila ini.” Ucap Wawan kepada Rendi dan Rendi hanya tesenyum saja.

“Semangat ngant.” Ucap Joko terpotong karena mulutnya langsung dibekap oleh Bendu.

“Diomongi ojo disahuti og. Ospekke durung mari cok.” (Dibilangin jangan disahutin kok. ospeknya belum selesai Cok.) Ucap Bendu dan Joko langsung melepaskan bekapan tangan Bendu dari mulutnya.

“Tanganmu mambu pejuh. Assuu.” (tanganmu bau air mani. Anjing.) Maki Joko ke Bendu.

“Gak po – po, timbangane awak dewe dipejuhi panitia.” (Gak apa – apa, dari pada kita disemburin air mani panitia.) Ucap Bendu pelan.

“Katamu tadi mau buat sejarah dikampus ini.?” Tanyaku sambil memainkan kedua alis mataku.

“Bukan begitu cok. Saat ini kita masih tersandra aturan – aturan ospek yang berlaku.” Jawab Bendu sok diplomatis.

“Kalau mau buat sejarah, tabrak dong aturan yang berlaku.” Ucapku.

“Seneng lek kancane turu nde djalan.?” (Senang kalau temannya tidur dijalan.?) Tanya Bendu sambil melotot.

“Bajingan itu tidurnya dijalan, bukan dikasur.” Jawabku lagi dan langsung membuat Bendu menggaruk kepala gundulnya lagi..

“Arggghhh. Angel ngomong ambe bedes iki.” (Arggghhh. Susah ngomong sama monyet ini.) Ucap Bendu kepadaku dengan jengkelnya.

“Hehehe.” Dan aku hanya tertawa saja.

Ternyata keempat teman baruku ini asyik juga diajak bercanda. Aku dan Joko seperti mendapatkan saudara baru dikota ini. Semoga saja persahabatan ini tetap terjalin sampai dimasa yang akan datang.

“Eh Lang. Ngomong – ngomong teman kita cantik banget loh.” Ucap Wawan kepadaku.

“Siapa.?” Tanyaku sambil melirik kearah Bung Toni.

“Kenapa ko lihat saya.? Ko kira saya cantikkah.?” Ucap Bung Toni kepadaku sambil melotot.

“Bukan aku Bung, Wawan itu loh yang ngomong.” Jawabku sambil menunjuk kearah Wawan.

“Ngehe loe Lang. Siapa yang bilang Bung Toni cantik.? Maksudku itu Ratna.” Ucap Wawan yang juga melotot kepadaku.

“Cukimai ko Lang.” Ucap Bung Toni kepadaku.

“Ya mana aku tau Bung. Wawan baru nyebut namanya.” Sahutku.

“Yo koen seng salah cok. Wawan ngomong ayu kok awakmu langsung ndelok nang Bung Toni.” (Ya kamu yang salah cok. Wawan ngomong cantik kok kamu langsung lihat ke Bung Toni.) Ucap Bendu ikut bersuara.

“Ya gak salah juga Ndu, Wawan ngomongnya kan cuman teman kita. Gak nyebut laki – laki atau perempuan. Teman kita yang satu kelompok sama kamu kan cuman Bung Toni sama Gilang.” Ucap Rendi membelaku.

“Babi ko le. Jadi ko lihat saya cantik kah.?” Ucap Bung Toni ke Rendi.

“Kalau aku sih enggak Bung, gak tau kalau Wawan.” Jawab Rendi dengan cueknya.

“MATAMU.” Jawab Bung Toni dan Wawan secara kompaknya.

“hahaha.” Dan kami semuapun langsung tertawa.

Beberapa saat kemudian.

“Iiihhh Gilang. Kamu disini toh rupanya.” Ucap Ratna yang tiba – tiba datang dan berdiri didekatku.

Sosok yang kami bicarakan ini, berdiri sambil melihatku dengan jengkelnya.



Ratna Silvi Juwita


Wajah teman – temanku langsung menoleh kearah Ratna. Mereka semua terlihat mengagumi sosok cantik temanku yang satu ini.

“Kenapa emangnya Rat.? Kok kamu ngambek.? Kamu kangenkah kalau gak ketemu sama aku sebentar aja.?” Tanyaku bercanda.

“Iihhh..” jawab Ratna dengan kesalnya.

“Cuk’i. Langsung diemplok ambe bajingan iki.” (Cuk’i. Langsung dimakan sama bajingan ini.) Gerutu Bendu sebelum Ratna menjawab pertanyaanku.

“Aku mencium ada aroma LUPUS disini.” Ucap Rendi pelan.

“Lupus.?” Tanya Wawan.

“Laki – laki pengUber Perempuan kampUS.” Ucap Rendi sambil melirikku.

“Cok.” Makiku.

“Haha. Dasar lubang.” Ucap Rendi tanpa melihat kearahku.

Bajingan, kok Rendi tau soal lubang.? Tau dari mana dia kata – kata yang diucapkan Gendhis kepadaku waktu itu.? Wah gak bener ini, gak bener.

“Lubang.?” Tanya Bung Toni, Bendu, Wawan dan Joko dengan kompaknya. Mereka semua melihat kearah Rendi, lalu melihatku dengan tatapan yang penuh selidik.

“Kamu tau dari mana Le.?” Tanyaku dengan terkejutnya.

“Ada deh” Jawab Rendi singkat.

“Terus lubang iku artine opo cok.?” (Terus lubang itu artinya apa cok.?) Tanya Joko ke Rendi dengan penasarannya

“Le.” Ucapku sambil melotot, supaya Rendi tidak berbicara lagi.

“Mulutku gak sebocor yang kamu kira.” Ucap Rendi dan aku langsung menarik nafasku dalam – dalam. Syukurlah Rendi masih bisa mengerem ucapannya.

“Gak bocor tapi kenapa kamu sebut barusan.?” Ucapku sambil melihat kearah Ratna yang bingung dengan pembahasan kami.

“Cuman awalan aja itu, gak pakai kepanjangan.” Jawab Rendi.

“Sama ajalah.” Ucapku.

“Berisik. Lugu – lugu bangsat.” Ucap Rendi dan aku langsung melotot kearahnya.

“Jiancok.. hahahaha.” Keempat temanku langsung tertawa mendengar ucapan Rendi barusan.

“Ancene lugu arek iki, tapi ludes. Lugu – lugu bedes.” (lugu – lugu monyet) Ucap Bendu.

“Luber Ndu. Lugu – lugu berengsek.” Sahut Bung Toni yang ikut membullyku.

“Lucu Bung. Lugu – lugu cuih.” Wawan berucap lalu meludah.

“Kirek.” (Anjing) makiku pelan.

“Hahaha.” Mereka tertawa bersama.

“Ludruk.” Celetuk Joko lalu semua terdiam dan menunggu lanjutan ucapannya, tapi Joko justru diam saja dengan cueknya.

“Terus opo ludruk iku cok.?” (Terus apa ludruk itu cok.?) Tanya Bendu dengan wajah yang heran.

“Ludruk ya ludruk Ndu.” Jawab Joko.

“Moso ludruk tok.? Lanjutane piye cok.?” (Masa ludruk aja.? Lanjutannya gimana cok.) Bendu bertanya dengan ngototnya.

“Ludruk iku kesenian teko provinsi kene Ndu, piye to awakmu iku.? Goblokmu iku loh.” (Ludruk itu kesenian dari provinsi sini Ndu, gimana sih kamu itu.? Goblokmu itu loh.) Ucap Joko dan Bendu langsung terdiam sambil melongo.

“Asuu’ig.” Ucap Bendo lalu melongo lagi.

“Hahahaha.” Rendi akhirnya tertawa melihat Bendu yang gak bisa berucap apa – apa.

“Kurang ajar arek – arek iki.” (kurang ajar anak – anak ini.) makiku sambil menggelengkan kepala.

“Kalian ini ngomongin aku ya.?” Tanya Ratna.

“Ge er.” Ucapku singkat.

“Ohh, kirain bicarain aku.” Sahut Ratna.

“Kamu belum jawab pertanyaanku loh Rat, kenapa kamu cari aku.?” Tanyaku untuk mengalihkan pembicaraan teman – temanku tadi, yang menggatalkan gendang telingaku.

“Dicariin sama Yunda Sarah itu.” Jawab Ratna.

“Ha.?” Ucapku yang terkejut.

“Gilang aja yang dicari ya Rat.? Bung Toni sama aku nggak.?” Tanya Wawan, karena mereka berdua teman satu kelompokku juga.

“Enggak.” Jawab Ratna dengan polosnya.

“Awakmu iku elek Wan, menengo aelah.” (Kamu itu jelek Wan, diam ajalah.) Sahut Joko.

“Matamu.” Ucap Wawan dan aku langsung berdiri.

“Eh Rat, kenalin dulu sama teman – temanku.” Ucapku sambil melirik kearah Rendi, Joko dan Bendu.

“Oh iya. Ratna.” Ucap Ratna sambil menyodorkan tangan kanannya kearah Joko.

“Riko.” Ucap Joko sambil memainkan kedua alis matanya.

“Ha.?” Ratna terkejut sambil melebarkan kedua matanya dan melepaskan jabatan tangannya.

“Raimu ambe jeneng seng koen sebut jektas iku, gak pantes blas cok.” (Mukamu sama nama yang kamu sebut barusan itu, gak pantas sama sekali cok.) Sahut Bendu

“Sebenarnya namanya bukan Joko apa lagi Riko, tapi namanya Wit.” Ucapku terpotong karena Joko langsung membekap mulutku.

“Ga usah koen buka nde kene cok. tak kraok raimu koen engkok.” (Jangan kamu buka disini cok, kucakar mukamu nanti.) Ucap Joko sambil melotot dan aku langsung melepaskan bekapan tangannya Joko.

“Assuu. untung tanganmu mari salaman ambe Ratna cok, dadi ambu bosokke ketutup karo wangine tangane Ratna.” (Anjing. Untung tanganmu habis salaman sama Ratna cok, jadi bau busuknya ketutup sama wanginya tangan Ratna.) Omelku.

“Gak po – po ambu tanganku bosok, timbangane omonganmu gawe bosok awakku cok.” (Gak apa – apa tanganku bau busuk, daripada omonganmu buat busuk badanku cok.) Jawab Joko.

“Ko bicara apa.?” Ucap Bung Toni yang bingung dengan bahasa kami berdua.

“Diam ko.” Ucapku dan Joko dengan kompaknya, menggunakan logat bahasa timur sana.

“Cukimai ini.” Omel Bung Toni.

“Udah – udah, kita ketemu sama Yunda Sarah dulu Lang.” Ucap Ratna kepadaku.

“Loh, sabar Rat. Sabar. Kita belum kenalan.” Ucap Bendu lalu dia berdiri dan menyodorkan tangan kanannya.

“Oh iya, Ratna.” Ucap Ratna sambil menjabat tangan Bendu.

“Dedi Lukman Hadi, biasa dipanggil Bendu.” Ucap Bendu memperkenalkan nama lengkapnya.

“Kok iso diceluk Bendu.?” (Kok bisa dipanggil Bendu.?) Tanya Joko.

“Malas aku njawab lek awakmu seng takon. Lek Ratna tak jawab.” (Malas aku jawab kalau kamu yang tanya. Kalau Ratna kujawab.) Ucap Bendu dengan tangannya terus menjabat tangan Ratna dan tidak melihat kearah Joko.

“Assuu.” maki Joko.

“Kamu mau tau kenapa aku dipanggil Bendu Rat.?” Tanya Bendu ke Ratna.

“Enggak.” Jawab Ratna singkat sambil melepaskan jabatan tangan Bendu.

“Bongko. Hahahaha.” (Mampus. Hahaha.) Sahut Joko lalu tertawa.

“Hahaha.” Bung Toni dan Wawan ikut tertawa.

“Untung awakmu ayu Rat.” (Untung kamu cantik Rat.) Gerutu Bendu dan Ratna hanya tersenyum saja, lalu menjulurkan tangannya kearah Rendi yang masih duduk.

Rendi langsung melihat kearah Ratna dan menjabat tangan Ratna.

“Rendi.” Ucap Rendi singkat.

“Ratna.” Jawab Ratna lalu dia melepaskan jabatan tangannya.

“Wes yo, wes kenal kabeh. Lek ngono tak tinggal sek.” (Sudah ya, sudah kenal semua. Kalau gitu aku tinggal dulu.) Ucapku kepada kelima temanku ini.

“Nggateli arek iki. Lek dijak kodew, langsung ngaleh ae.” (menjengkelkan anak ini. Kalau diajak wanita, langsung pergi aja.) Gerutu Bendu.

“Lah terus piye.? Aku mbok kongkon ndelok gundulmu iku terus ta.?” (Lah terus bagaimana.? Aku kamu suruh lihat gundulmu itu terus kah.?) Tanyaku.

“Matamu cok, cok.” Maki Bendu sambil menggelengkan kepalanya.

“Ayo Lang, nanti Yunda Sarah marah loh.” ucap Ratna yang tiba – tiba memegang pergelangan tangan kiriku lalu menariknya.

“Iya, bosan juga aku lama – lama disini.” Ucapku sambil memasang muka yang mengejek kepada kelima sahabatku ini.

“Jiancok.” Maki mereka berlima dan aku cuek saja, mengikuti tarikan tangan Ratna yang lembut ini.

Dan setelah beberapa langkah, Ratna langsung melepaskan pegangan tangannya dipergelangan tanganku.

Hiufftt, huuu.

Yunda Sarah. Tumben dia cari aku.? Ada apa ya.? Apa mau bicarakan persiapan buat pertunjukan malam keakraban nanti.? Jujur aku masih penasaran dengan dia. Dia salah satu wanita yang aneh menurutku, tapi dia juga bisa membuat hatiku bergetar ketika ada didekatnya.


Hari kelima, malam keenam.


Sarah


“Mau kemana kita ini.?” Tanya Yunda Sarah, ketika kami berdua keluar dari ruang kesehatan.

Yunda Sarah memegang telapak tanganku dengan sangat eratnya. Genggaman tangannya yang hangat ini, mampu menghangatkan hawa dingin kota ini dimalam yang indah ini.

“Gak tau.” Jawabku yang bingung karena pegangan tangan ini, sedari tadi mulai menggetarkan hatiku.

“Terus ngapain kamu ngajak aku keluar dari ruang kesehatan, kalau gak tau tujuan kita.?” Tanya Yunda Sarah.

“Habis kamu gak mau tidur disana.” Jawabku.

“Ya gila aja kalau aku tidur disana, ada teman – temanmu gitu.” Ucap Yunda Sarah.

“Jadi kalau gak ada teman – temanku, kamu mau tidur sana.?” Tanyaku dan kami berdua berjalan kearah luar kampus teknik kita.

Tampak beberapa panitia, masih hilir mudik didalam kampus dan aku cuek saja berjalan sambil menggandeng tangan Yunda Sarah.

Terserah besok mau dihukum lagi atau bagaimana, aku sudah kebal sama pukulan panitia keamanan.

“Tergantung.” Jawabnya singkat.

“Tergantung apa.? Tergantung satu kasur sama aku apa nggak.?” Tanyaku bercanda.

“Kamu berani.?” Tanya Yunda Sarah sambil menghentikan langkahnya.

“Hehehe, bercanda aja Yunda.” Ucapku lalu aku tersenyum dan menarik tangannya untuk melangkah lagi.

Dan ketika kami sampai didekat gerbang kampus teknik kita, dari arah gedung rektorat keluar seorang gadis yang tadi siang membentakku. Gendhis. Dia menghentikan langkahnya, lalu menatapku dengan dinginnya.

Hiuuffttt, huuuu.

Kenapa aku harus bertemu dia lagi sih.? Aku sempat berhenti sebentar, tapi Yunda Sarah menarik tanganku supaya terus berjalan.

“Ada Mas Bendu dilantai tiga sana.” ucap Yunda sarah sambil melirik kearah sebuah gedung.

Dan ketika aku akan melihatnya,

“Jangan lihat, kamu mau dihajar lagi.?” Ucap Yunda Sarah sambil terus melangkah.

Cok, kalau panitia lain sih gak apa – apa menghukum aku. Tapi kalau Mas Pandu, jangan sampai lagi lah. Cukup tadi aja aku dibuat bongko sama Mas Pandu.

“Terus mau kemana kita ini.?” tanyaku ketika sudah keluar gerbang kampus teknik kita.

“kita ngopi diperempatan sana aja yuk.” Ucap Yunda Sarah, sambil menunjuk perempatan jalan besar sana.

“Ayolah, aku juga belum ngopi.” Jawabku dan kami melangkah kearah perempatan sambil tetap bergandengan tangan.

Setelah sampai diwarung yang kami tuju, kami memesan dua cangkir kopi lalu duduk dibawah pohon yang suasananya lumayan agak gelap. Kami duduk berdampingan sambil melepaskan pegangan tangan kami.

Duduk dipinggir jalan besar, diperempatan yang lumayan ramai, dengan memakai kemeja ospek berwarna putih yang masih penuh percikan darah, sesuatu banget rasanya. Apalagi ketika kami berdua kesini tadi, banyak mata yang melihat kami dengan tatapan – tatapan yang sangat tajam. Terus ditambah juga kami melewati beberapa kelompok mahasiswa yang sedang minum. Apa gak tambah mengerikan tatapan mereka.? Mungkin yang ada dipikiran mereka, berani sekali seorang peserta ospek menggandeng tangan panitia perempuan yang sangat cantik ini.

Dan sekarang, setelah duduk berdiam diri beberapa saat, minuman pesanan kami pun datang. Bertepatan dengan pemilik warung pergi setelah meletakkan kopi kami, segerombol orang yang berjumlah belasan datang menghampiri kami berdua.

Mereka terlihat seperti mahasiswa – mahasiswa senior tapi bukan panitia ospek. Bau minuman pun langsung tercium ketika segerombol orang itu mengelilingi kami berdua.

“Siapa dia ini.? Berani betul dia gandengan sama kamu Rat.?” Tanya seseorang kepada Yunda Sarah. Dia bertanya kearah Yunda Sarah, lalu menatap tajam kearahku.

Aku langsung melihat kearah orang itu, lalu melihat kearah teman – temannya satu persatu. Aku bersiap dengan segala kemungkinan yang akan terjadi. Bisa saja mereka langsung mengeroyokku dan menghabisi aku disini.

Yunda Sarah dengan tenangnya mengeluarkan bungkusan rokoknya, lalu mengambilnya sebatang dan membakarnya. Dia menghisap dalam – dalam rokoknya lalu mengeluarkan asapnya perlahan.

“Gak usah banyak bicara, apalagi banyak tanya. Kalau kamu semua mau tertidur dijalan ini, dengan darah yang keluar dari kepalamu satu persatu, tunggu aja beberapa menit.” Ucap Yunda Sarah tanpa melihat kearah mereka semua. Yunda Sarah hanya melihat batang rokok yang diputarnya dijari – jari kanannya.

Uhhh. Gila, sangar juga wanita yang duduk disebelahku ini. Dia sepertinya bukan wanita sembarangan. Dia bisa setenang ini menghadapi para senior ini, yang mungkin saja mereka itu para bajingan dikampus teknik kita.

Dan yang lebih gilanya, ucapan Yunda Sarah ini sangat ampuh dan mereka semua langsung pergi tanpa mengucapkan sepatah katapun.

“Kok mereka pergi.?” Tanyaku dengan herannya.

“Ya iyalah, dari pada mereka dihajar Mas Pandu sama anak – anak pondok merah.” Jawab Yunda Sarah lalu dia menghisap lagi rokoknya.

“Kok bisa.?” Tanyaku lagi.

“Panitia dan peserta ospek itu, dalam lindungan pondok merah selama seminggu penuh. Kalau ada yang berani mengusik, apalagi dia anak kampus teknik kita, bisa habis mereka.” Jawab Yunda Sarah dengan santainya.

“Ooo,” Jawabku sambil menganggukan kepalaku.

“Kamu gak merokok.?” Tanya Yunda Sarah.

“Boleh.?” Tanyaku.

“Isap aja, kan bukan didalam kampus.” Ucap Yunda Sarah dengan santainya.

Aku lalu mengambil bungkusan rokok mild milik Yunda Sarah, yang berwarna dominasi putih dan sebagian kecil berwarna merah. (Bungkusan rokok yang sederhana dan belum ada gambar yang membuat mata perih, seperti jaman milenial saat ini). aku mengambil sebatang dan membakarnya, lalu menghisapnya.

Hiuufftt. Huuuu.

Ringan sekali dan gak begitu terasa. Mungkin karena aku terbiasa dengan menghisap rokok kretek kali ya.?

“kamu kenal sama Mba Gendhis ya.?” Tanya Yunda Sarah tanpa melihat kearahku.

Aku yang terkejut mendengar pertanyaan Yunda Sarah ini, langsung melihat kearahnya.

“Gak usah seperti itu kamu ngelihat aku, biasa aja.” Ucap Yunda Sarah lalu dia menghisap rokoknya lagi.

“Biasa aja kok aku melihatnya.” Ucapku berbohong lalu aku melihat kearah depanku lagi. Tampak beberapa mahasiswa baru sedang berjalan bergerombol dan seperti sedang mencari tugas. Sedangkan aku, aku malah duduk santai disini. Gila.

“Biasa kok seperti itu tatapannya.?” Tanya Yunda Sarah.

“Terus maumu bagaimana.? Tatapan penuh cinta gitu.?” Tanyaku dengan cueknya, lalu aku menghisap rokokku.

“Jangan, entar Mba Gendhis marah sama aku.” Ucap Yunda Sarah dan aku langsung melihat kearahnya.

“Maksudmu.?” Tanyaku.

“Kamu itu bodoh, apa pura – pura bodoh.?” Tanyanya sambil membalas tatapanku.

“Ngomongmu itu kok makin ngelantur sih.?” Tanyaku lalu menghadap depan lagi, untuk menghindari kontak mata dengan Yunda Sarah.

“Dasar laki – laki gak peka.” Ucap Yunda Sarah dan aku langsung menggelengkan kepalaku.

“Peka apanya.? Aku sama Gendhis itu bisa dibilang kenal, tapi bisa juga dibilang gak kenal.” Jawabku.

“Aneh.” Sahut Yunda sarah.

“Ya memang seperti itu, aku dan dia baru beberapa kali bertemu. Kami belum berkenalan secara langsung, apalagi kenal secara dekat. Jadi bagaimana kamu bisa menyimpulkan aku itu gak peka.?” Tanyaku balik ke Yunda sarah.

“Tapi kamu tau Mba Gendhis dan Mba Gendhis tau kamu kan.? Kalian sama – sama tau nama dan pernah saling mengobrol kan.?” Tanya Yunda Sarah.

“Ya, iya.” Jawabku agak bingung.

“Yaitu namanya kenal, bego banget sih.” Ucap Yunda Sarah dengan entengnya.

Jiancook, enak banget ya ngomongnya Yunda Sarah ini. Ceplas - ceplos dan gurih banget.

“Terus kamu bilang gak dekat, tapi kamu manggil akrab banget. Padahal dia itu empat tahun diatasku dan kamu dua tahun dibawahku.” Ucap Yunda Sarah.

“Eleh, kita itu satu umuran aja.” Ucapku yang mencoba mengalihkan pembicaraan.

“Gak perlu kamu kasih tau, aku juga tau.” Jawabnya.

“Kok kamu tau.? Perhatian banget sih sama aku.?” tanyaku sambil melihat kearahnya.

“Emangnya aku gak bisa baca papan nama yang ada didadamu selama ospek ini.?” Ucap Yunda Sarah dengan entengnya.

Cok, iya – ya. Dipapan namaku selain nama, juga ada tanggal lahirku.

“Lagian aku gak bicara umurmu, tapi tahun angkatanmu masuk dikampus teknik kita ini.” Ucap Yunda Sarah.

“Ye emang apa hubungannya.?” Tanyaku sambil membuang puntung rokokku, lalu aku meraih cangkir kopi pesananku dan meminumnya.

“Aku yang empat tahun dibawahnya aja, manggil Mba. Masa kamu yang baru masuk, manggil namanya gitu aja.? Pantes aja kamu dihajar sama Mas Pandu, yang satu angkatan dengan Mba Gendhis.” Ucapnya lalu dia membuang puntung rokoknya juga.

“Sudahlah, gak usah bahas dia. Aku minta rokok lagi ya.” Ucapku sambil mengambil rokoknya dan membakarnya. Terbiasa menghisap rokok kretek, terus menghisap rokok mild sebatang, rasanya kurang nendang.

“Harus dibahas, soalnya Mba Gendhis satu kosan sama aku.” Ucap Yunda Sarah dan aku langsung menundukkan kepalaku.

Apa lagi ini.? Kenapa kebetulan seperti ini sih.? Dan kenapa Gendhis gak tinggal ditempat Bu Har aja.? Diakan keponakan Bu Har.? Kok aku jadi mikirin Gendhis sih.? Terus kenapa juga kami harus membahas masalah Gendhis.? Apa urusannya denganku.?

“Kalau dia satu kosanmu kenapa.? Dan kenapa kita harus membahasnya.?” Tanyaku tapi aku tidak melihat kearahnya.

“Karena kehidupan yang sangat berat dilaluinya, beberapa tahun belakangan ini.” Ucapnya dan aku langsung melihat kearahnya.

“Mba Gendhis orang baik dan belum pernah kulihat dia jatuh cinta. Dan ketika tadi dia menatapmu dari kejauhan, terlihat kecemburuan ditatapannya.” Ucap Yunda Sarah.

“Sok tau.” Ucapku singkat.

“Terserah kamu ngomong apa, tapi memang seperti itu yang aku lihat.” Ucapnya dan aku hanya diam saja, sambil menghisap rokokku.

“Dia wanita yang pintar. Harusnya dia bisa menyelesaikan kuliahnya empat tahun, tapi karena tahun keduanya begitu berat, dia sempat cuti untuk menenangkan dirinya. Dan baru tahun ini dia akan diwisuda.” Ucap Yunda Sarah dan langsung membuatku terkejut.

Tahun kedua itu apa lima tahun yang lalu.? Kalau lima tahun, berarti bertepatan dengan kematian Intan. Apa ini ada hubungannya dengan Intan.? Intan kan satu angkatan dengan Mas Pandu dan juga Gendhis. Akupun makin penasaran dengan cerita Yunda Sarah ini.

Selain itu aku juga penasaran, kenapa dia selalu ada di ospek ini.? Dia sebagai apa sih.? Kalau Gendhis posisinya mau wisuda, berarti nanggung banget dong posisinya diacara ospek kampus ini.? Perwakilan dosen gak mungkin, karena masih sebagai assisten dosen. Perwakilan mahasiswa tapi sudah mau wisuda, terus sebagai apa dia dalam acara ini.?

Ah sudahlah. Itu nanti aja dipikirnya. Yang perlu dipikir itu, apa ada benang merah antara Gendhis dan Intan.?

“Apa ini ada hubungannya dengan Intan.?” Tanyaku dan Yunda Sarah langsung terkejut lalu menatapku dengan wajah yang sangat bertanya – tanya sekali. Dia yang biasa bersikap dingin, sekarang terlihat sangat berubah sekali.

“Ka, ka, kamu tau tentang Mba Intan.?” Tanya Yunda Sarah terbata.

“Kok kamu tanyanya gitu sih.? apa kamu saudaranya Intan.?” Tanyaku balik dan Yunda Sarah hanya menggeleng pelan.

“Terus kenapa kamu tanyanya gitu.?” Tanyaku lagi.

“Mahasiswa lama pasti tau tentang legenda Mba Intan dikampus teknik kita. Tapi kenapa kamu yang baru dikota ini, bisa tau tentang Mba Intan.? Dan menurutku bukan sekedar tau, karena kamu menghubungkannya dengan Mba Gendhis sahabat dari Mba Intan.” Ucap Yunda Sarah dan lagi – lagi aku terkejut dibuatnya.

“Jadi mereka berdua bersahabat.?” Tanyaku dengan terkejutnya.

“Jawab dulu pertanyaanku, apa yang kamu ketahui tentang Mba Intan.?” Yunda Sarah bertanya balik.

“Aku gak begitu tau tentang Intan. Tapi yang jelas, aku kos ditempat Intan bunuh diri.” Ucapku dan Yunda Sarah langsung menutup mulutnya.

“Be, be, benaran.?” Tanya Yunda Sarah sambil melotot dan aku hanya menganggukan kepalaku.

Yunda Sarah langsung menatap kedua mataku dengan sangat dalam sekali. dia seperti sedang membaca kedua mataku dicahaya yang remang – remang ini. Yunda Sarahpun sampai memajukan wajahnya dan mendekat kearah wajahku.

“Kamu pernah berkomunikasi dengan Mba Intan ya.?” Tanya Yunda Sarah tepat didekat wajahku, sambil terus menatapku dengan sangat dalam sekali.

“Ha.?” Ucapku sambil memundurkan wajahku dan aku langsung memejamkan kedua mataku sesaat.

“Gila, kamu gila Lang. Makanya aku aneh banget waktu pertama ketemu kamu.” Ucap Yunda Sarah sambil memundurkan wajahnya lagi dan menggelengkan kepalanya.

“Maksudnya.?” Tanyaku.

“Aku kira cuman temanmu Joko aja yang bisa melihat hal seperti itu, ternyata kamu lebih gila.” Ucap Yunda Sarah dan aku makin bingung dengan ucapannya.

“Joko.?” Tanyaku lagi.

“Iya Joko. Dengan melihat wajahnya sekilas saja, aku bisa tau kalau dia bisa melihat hal – hal seperti itu. Tapi kalau dengan kamu, aku harus menatap matamu lebih lama untuk mengetahuinya.” Ucap Yunda Sarah dan aku langsung melotot dibuatnya.

Bajingan, berarti Joko selama ini bisa lihat Intan juga.? Pantas saja ketika aku akan melakukan hal – hal yang agak gila dengan Intan, Joko selalu saja menghentikannya dengan berpura – pura tidak melihat kehadiran Intan.

Juhhh. Kami berdua kan berasal dari desa yang sama. Desa Sumber Banyu. Desa yang beberapa orang tuanya dan keturunannya, bisa melihat hal – hal ghaib yang tidak bisa dilihat oleh orang lain. Dan Mbahnya Joko salah satu orang tua itu.

Gila, kenapa baru sekarang aku sadarnya ya.? Harusnya ketika Joko melihat orang tua yang ada didepan kosan kami dimalam pertama kami dikota ini, aku menyadari hal itu. Kenapa bisa pikiranku tertutup ya.? Dan kenapa juga Joko tidak berbicara jujur kepadaku.? Aku harus bertanya dengan Joko setelah ini. aku harus bertanya sama dia.

Dan untuk Yunda sarah, dia ini orang mana.? Kenapa bisa dia membaca wajah dan tatapan mataku serta Joko.? Kok misterius banget wanita ini.?

“Lang.” Panggil Yunda Sarah yang mengejutkanku.

“Cukup Yunda, kita gak usah lagi bahas masalah ini sekarang. Mungkin dilain waktu aja kita bahas lagi. Kepalaku pusing.” Ucapku sambil melihat kearah yang lain.

“Iya, aku juga pusing.” Ucap Yunda Sarah pelan.

Hiufftt. Huuuu.

Aku menarik nafasku dalam – dalam, lalu mengambil kopiku dan meminumnya lagi.

“Yunda kos dimana.?” Tanyaku untuk mencari pembahasan yang lain. Cukup sudah aku membahas masalah Intan dan Gendhis saat ini. Kepalaku lagi gak bisa berpikir.

“Barbara, beberapa gang dari kosanmu.” Jawab Yunda Sarah.

“Oh iya.? kok kita gak pernah ketemu.?” Tanyaku lalu aku menghisap rokokku lalu membuang puntung rokok yang sudah habis tembakaunya ini.

“Emang kamu berapa tahun dikota ini.? Ya wajar ajalah kita gak pernah ketemu, kamu paling baru beberapa minggu disini.” Jawab Yunda Sarah dan nada suaranya kembali dingin.

“Hehehe. Iya ya.” Ucapku, lalu kami berdua diam beberapa saat, dengan lamunan masing – masing.

Malam semakin larut dan hawapun semakin dingin menyelimuti kota ini. Aku yang hanya menggunakan kemeja putih inipun, langsung mendekapkan kedua tanganku didada.

“Huuu, aku belum mengerjakan tugasku buat besok Yunda.” Ucapku yang kedinginan.

“Iya, lebih baik kamu pulang. Dari pada besok dibantai Mas Pandu lagi.” Jawab Yunda Sarah.

“Terus Yunda mau kemana sekarang.?” Tanyaku.

“Balik kekosan.” Jawabnya singkat.

“Katanya kosannya sudah tutup jam segini.?” Ucapku sambil melihat kearahnya.

“Ya iyalah tutup, masa pintunya terbuka terus sih.?” Jawabnya dengan enteng.

“Bukannya maksud Yunda tadi, kalau kosannya tutup dan gak bisa masuk lagi ya.?” tanyaku lagi.

“Emang aku ngomong gitu.? Aku bilang kan kosanku sudah tutup malam – malam gini.” Jawabnya.

“Ya kalau tutup kan gak bisa masuk.” Jawabku dengan nada yang santai

“Aku yang tinggal disitu kok kamu yang ngotot. Aku bisa masuk kosanku, soalnya aku pegang kunci sendiri.” Ucap Yunda Sarah dan langsung membuat gatal telingaku.

“Kok marah sih.? Santai aja kali.” Ucapku sambil berdiri, lalu aku menuju warung dan membayar pesanan kami berdua. Kalau hanya sekedar kopi dua gelas, aku masih bisa membayar. Tapi kalau ditambah makan, ya bayar sendiri – sendiri aja.

“Ayo. Aku antar kekosanmu.” Ucapku.

“Gak usah, aku bisa jalan sendiri kesana.” Jawab Yunda Sarah dan dia tidak beranjak dari tempat duduknya.

“Ini sudah malam Sarah, kalau ada apa – apa sama kamu gimana.?” Tanyaku dan aku sekarang menyebut namanya langsung, tanpa ada embel – embel Mba lagi.

“Ada apa – apa gimana.? Maksudmu ada yang ganggu aku gitu.? Siapa yang berani ganggu aku disini.?” Tanya Yunda Sarah dan aku hanya menggelengkan kepalaku.

Susah banget ngomong sama gadis kota ini. Kalau didesaku, gak boleh seperti ini. Kalau kita keluar sama seorang perempuan, apalagi sampai selarut ini, kita harus mengantarkan balik apapun resikonya.

“Sudahlah, ayo aku antar.” Ajakku dan aku mengucapkan dengan nada yang sangat lembut sekali.

“Enggak.” Jawabnya singkat dan aku langsung menarik nafasku, lalu duduk kembali.

“Kenapa kamu gak balik.?” Tanyanya.

“Masa aku ninggalin kamu sendirian sih.?” Ucapku dan dia langsung berdiri dengan cueknya.

“Lah kamu mau kemana.?” Tanyaku.

“Pulanglah, ngapain aku duduk disini.” Ucapnya dan aku hanya menggelengkan kepalaku pelan.

Sabar Lang, sabar. Anggap aja lagi ngomong sama anak kecil. Harus bisa ambil hatinya, baru dia menuruti semua kemauanmu.

Akupun langsung berdiri dan mengikutinya yang mulai berjalan menyebrang jalan. Kami berjalan kearah kampus teknik kita, dengan tidak saling menggenggam seperti tadi.

Kembali kami melewati kelompok – kelompok mahasiswa lama yang sedang pesta dipinggir jalan. Tapi kali ini tidak ada yang menatap tajam kearah kami berdua. Mereka seperti asyik dengan pestanya masing – masing.

Dan ketika sampai didepan gerbang kampus teknik kita, tampak kelima temanku yang gundul – gundul sedang duduk dan menungguku dipagar sana.

“Tekondi koen cok.?” (Darimana kamu cok.?) tanya Joko kepadaku, sedangkan keempat temanku lainnya melihatku lalu melihat kearah Yunda Sarah.

“Ngopi. Lah awakmu lapo nde kene.?” (Ngopi. Lah kamu ngapain disini.?) Tanyaku dan Yunda Sarah tetap berdiri disampingku. Dia tidak berjalan duluan kekosannya.

“Njogo lilin cok.” (Jaga lilin.) Sahut Bendu.

“Kalau jaga lilin itukan tugasku, kalian semua yang beroperasi.” Ucapku.

“Kurang ajar, dikira kita ini tuyul.” Ucap Wawan.

“Iya, bajingan anak ini.” Sahut Bung Toni, sedangkan Rendi hanya diam saja dengan tenangnya.

“Tapi entar dulu, kok kalian sudah akur sih.?” tanyaku ke Wawan, Bendu, Bung Toni dan Rendi.

Mereka berempat langsung melihat kearahku, dengan tatapan yang sedikit tajam.

“Gak gelem akur, kate dipancal ta.?” (Gak mau akur, mau diinjak kah.?) sahut Joko.

“Sopo seng kate mancal.?” (Siapa yang mau injak.?) Tanya Bendu dengan sedikit emosi..

“Raden Mas Riko Joyohadikusumo.” Ucap Joko sambil menepuk dadanya sebelah kiri.

“Asuu, Ngehe, Cukimai, Bajingan.” Ucap mereka berempat kepada Joko dan Joko hanya tersenyum dengan angkuhnya.

Aku dan Yunda Sarah hanya saling melirik. Lalu beberapa saat kemudian, seorang wanita keluar dari dalam area kampus dan berjalan melewati kami berdua. Dan dia adalah Gendhis.

“Lang, antar Mba Gendhis.” Bisik Yunda Sarah kepadaku dan aku langsung melihat kearahnya.

“Antar kemana.?” Tanyaku.

“Kekosanku lah.” Jawabnya.

“Kenapa gak barengan sama kamu aja sih.?” tanyaku balik.

“Jadi kamu biarin aku berdua sama Mba Gendhis gitu aja.?” Ucap Yunda Sarah sambil melotot.

“Maksudku itu, nganternya biar sekalian. Kalian itukan satu kosan.” Jawabku.

“Kamu itu bawel banget sih. Cepat antar dia.” Ucap Yunda Sarah dan matanya makin melotot.

“ngomongin apa sih.? kok pakai bisik – bisik segala.” Ucap Joko kepada kami berdua.

“Iya, dianggapnya apa kita berlima ini.” Sahut Wawan.

“DIAM.” Ucapku dan Yunda Sarah dengan kompaknya. Mereka berlima langsung terdiam, lalu saling melihat.

Aku dan Yunda Sarah saling berpandangan lagi.

“Ayo sudah.” Ajakku

“Kamu duluan aja.” Jawab Yunda Sarah.

“Kenapa gak barengan sih.?” Tanyaku.

“Cerewet.” Ucapnya dengan ketus.

“Terus kamu sama siapa.?” Tanyaku lagi.

“Aku diantar Joko, sekarang kamu kejar Mba Gendhis.” Ucap Yunda sarah sambil mendorong pundakku pelan.

“Tapi.” Ucapku terpotong.

“Gak pakai tapi – tapian, Gilang Adi Pratama. Sekarang kamu susul Mba Gendhis. Cepat.” Ucap Yunda Sarah dengan tegasnya, sambil menunjuk kearah Mba Gendhis yang berjalan sudah agak jauh dari tempat kami berdiri ini.

Aku pun langsung melihat kearah Mba Gendhis, lalu melihat kearah Yunda Sarah lagi. Dia makin melotot kepadaku dan aku langsung berlari kearah Mba Gendhis.

“Nangdi Lang.?” (Kemana Lang) tanya Joko.

“DIAM.” Ucap Yunda Sarah dan Jokopun langsung terdiam.

Aku terus berlari mendekat kearah Gendhis, tanpa menghiraukan orang – orang disekitarku yang sedang aku lewati. Gila, malam – malam seperti ini, masih banyak aja orang yang beraktifitas didepan kampus teknik kita.

Aku memelankan kecepatan lariku, ketika sudah tidak jauh dibelakang Gendhis. Dan ketika sudah tepat dibelakangnya, aku berjalan pelan. Terus terang sekarang aku bingung harus bagaimana. Apa aku berjalan dibelakangnya seperti ini terus, atau aku berjalan disampingnya.? Kalau aku jalan disampingnya, apa yang harus aku bicarakan.? Itupun kalau dia tidak marah, kalau dia langsung marah.? Arrgghhh. kenapa aku mau menuruti Yunda Sarah dan kenapa juga aku mau mengantarkan Gendhis.?

Ah sudahlah, lebih baik begini saja. Aku akan tetap berjalan dibelakangnya.

Aku terus berjalan beberapa langkah dibelakang Gendhis, sampai melewati rombong – rombong nasi goreng disebelah kampus teknik kita. dan ketika sudah sampai didaerah yang agak sepi, Gendhis langsung menghentikan langkahnya dan berbalik kearahku.


Gendhis

“Kenapa ngikutin aku.? Kamu mau cari masalah sama aku.? Gak puas dihajar sama Pandu.? ” Tanya Gendhis sambil melipatkan kedua tangannya didada.

“Dih, siapa yang ngikutin kamu.? Aku loh mau balik kekosanku.” Ucapku berbohong, tapi aku tidak salah karena jalannya memang mengarah kekosanku.

“Ooo.” Ucapnya lalu menurunkan kedua tangannya dan membalikan tubuhnya.

Gendhis lalu berjalan lagi dan akupun mengikutinya lagi. Dia berjalan agak cepat dan aku juga mempercepat langkahku. Dia melambatkan langkahnya, aku juga memperlambat langkahku, begitu seterusnya.

Dan ketika sampai didekat kosan yang bertuliskan barbara, Gendhis membalikkan tubuhnya lagi dan melihat kearahku.

“Kamu itu kenapa sih.? Kamu sengaja ngikutin aku kan.?” Ucapnya dengan mata yang melotot kearahku.

“Gak usah ge er.” Ucapku sambil melewatinya dan berjalan dengan cueknya kearah kosanku.

Sengaja aku meninggalkannya, karena dia sudah didekat kosannya. Nanti dari kejauhan aja aku lihat lagi, dia sudah masuk apa belum kekosannya.

“Kalau kamu gak berhenti, kamu bermasalah sama aku. Kamu tau kan artinya seperti apa.?” Ucap Gendhis dan aku langsung menghentikan langkahku.

Duh. Sakit kalau aku sampai bermasalah sama dia. Bukan dengan Mas Pandu loh ya, bukan itu. Tapi karena posisinya sebagai asisten dosen, bisa saja dia memanfaatkan posisinya itu pada saat perkuliahan.

Akupun membalikkan tubuhku dan melihat kearahnya.

“Kenapa Mba.?” Tanyaku dengan nada yang sangat sopan. Aku juga memanggilnya dengan sebutan Mba, karena aku tau posisiku seperti apa.

“Kamu belum menjawab pertanyaanku, kenapa kamu mengikuti aku.? Jawab jujur, kalau enggak kamu akan mendapatkan masalah.” Ancamnya.

Aku menarik nafasku dalam – dalam, lalu mengeluarkannya perlahan.

“Iya, saya memang mengikuti Mba. Mohon maaf kalau Mba merasa terganggu.” Jawabku.

“Alasannya.?” Tanyanya dengan ekspresi wajah yang sangat datar sekali.

“Gak tau.” Jawabku singkat.

“Alasannya.?” Gendhis bertanya lagi.

“Sudahlah, Mba pasti tau alasannya.” Jawabku.

“A L A S A N N Y A.?” Tanyanya pelan tapi sangat tegas sekali.

Aku menarik nafasku dalam – dalam lagi, lalu mengeluarkannya perlahan.

“Aku gak mau terjadi apa – apa sama Mba.” Jawabku sambil menatap matanya.

Gendhis langsung melebarkan kedua matanya dan memiringkan kepalanya sedikit kekanan.

“Saya paling tidak bisa melihat wanita berjalan seorang diri malam – malam, apalagi saya mengenalnya.” Ucapku lagi.

“Apa urusanmu.? Aku sudah terbiasa jalan seorang diri kekosanku dan aman – aman saja selama ini.” Ucapnya sambil menegakkan kepalanya.

“Atau ini salah satu cara pendekatanmu kepada para wanita yang kamu kenal, supaya kamu mendapatkan hatinya.? Setelah kamu mendapatkan hatinya, kamu rayu dia, supaya kamu bisa menikmati tubuhnya.?” Ucapnya dengan sangat sadis sekali.

DUARRRR.

Tiba – tiba terdengar bunyi petir yang sangat keras dimalam yang dipenuhi bintang ini.

Cok. Maksudnya Gendhis ini apa.? Kok dia bisa berbicara seperti ini sama aku.? atau ini karena.? Ah. gak mungkin, ini gak mungkin. Masa Gendhis tau kalau hari itu aku kerumah Bu Har.? Tau dari mana.? Apa Bu Har yang cerita.? Gak mungkinlah. Atau Gendhis melihat itu dengan kepala matanya sendiri.?

Arrgghh. Bisa gila aku kalau hadapin Gendhis ini. Sedingin – dinginnya Yunda Sarah dan dia bisa menggetarkan hatiku, aku masih bisa tenang menghadapinya. Tapi kenapa dengan Gendhis aku seperti ini.?

Hiuufftt. Huuu.

Aku mendengar dua orang melangkah dari arah belakangku dan aku langsung menoleh kearahnya. Yunda Sarah dan Joko datang bersamaan. Yunda Sarah mengangguk dan tersenyum kearah Gendhis, lalu masuk kedalam kosan. Sedangkan Joko hanya berlalu dengan cueknya, berjalan kearah kosan kami. Kedua orang itu, tidak ada satupun yang melihat kearahku sama sekali. Kurang ajar.

“Seorang maba, satu panitia ospek dan satu asisten dosen. Tiga orang wanita yang sekarang dalam incaranmu dan sekarang yang pasti ada didalam pikiranmu, wanita mana duluan yang akan kamu nikmati tubuhnya. Ya kan.?” Ucap Gendhis dengan nada yang sangat ketus.

Astaga. Pasti yang dimaksud ini Ratna, Yunda Sarah dan dirinya sendiri. Kok dia setega ini berpikiran jelek sama aku ya.? Apa aku terlihat seperti itu.? Apa aku ini terlihat seperti playboy.? Bagaimana bisa dia menyimpulkan seperti itu, kalau hanya dengan melihat aku bergandengan tangan dengan Yunda Sarah dan dekat dengan Ratna.? Terus kenapa juga dia memasukan dirinya dalam daftar wanita incaranku versinya.?

Hiuuffttt. Huuuu.

Malam semakin dingin dan angin tiba – tiba berhembus dengan sedikit kencang. Bintang – bintang dilangitpun, perlahan mulai tertutup awan yang hitam. Kilatan – kilatan petir terlihat dikejauhan.

Kenapa mau hujan ya.? inikan bukan musim penghujan.?

“Jawab pertanyaanku.” Ucapnya yang mengejutkanku dari lamunan.

“Mba ini kenapa sih.? Kenapa bisa Mba menyimpulkan hal seperti itu kepadaku.?” Tanyaku.

“Salah ya pertanyaanku.? Salah kalau aku menyimpulkan, tentang apa yang aku lihat dengan mata kepalaku sendiri.?” Tanyanya.

“Kesimpulan yang tak berdasar. Kalau hanya dekat, apa aku salah.?” Tanyaku balik.

“’Dekat’ yang kamu ucapkan itu seperti apa sih.? Berteman.? Bersahabat.? Atau berduaan dengan Budeku itu, yang maksudmu ‘dekat’.?” Tanyanya yang terus menyerangku.

DUARRRR.

Terdengar bunyi petir yang sangat keras lagi dan kali ini sudah tidak ada bintang yang terlihat.

Cok. Gendhis beneran tau kalau aku telah berduaan dengan Budenya. Tapi apa urusannya dengan semua ini.? Kalau aku memang beneran melakukan apa yang dituduhkannya, itu urusanku dan dia gak perlu sampai seperti ini kepadaku. Kami gak ada hubungan apapun, apalagi suatu ikatan. Dasar wanita yang aneh.

Dan tiba – tiba.

Tik, tik, tik, tik, tik.

Perlahan gerimis mulai turun dengan cepatnya, lalu disusul hujan yang turun dengan derasnya.

“Masuklah, nanti kamu sakit.” Ucapku kepadanya, sambil menatap wajahnya yang mulai basah terkena hujan yang begitu deras.

“Enggak, aku mau menyelesaikan malam ini juga.” Ucapnya dan dia tidak beranjak sedikitpun dari tempatnya berdiri.

“Apa yang mau diselesaikan Ndhis.? Apa.? Kamu tadi sudah menyimpulkannya kan.?” Ucapku dengan nada yang agak meninggi dan dia terus menatapku.

“Iya. Aku memang laki – laki jahat yang suka mendekati perempuan, lalu menikmati tubuhnya.”

“Iya. Aku memang laki – laki yang suka ‘dekat’ dengan wanita, walaupun dia telah bersuami.”

“Iya. Aku memang Lubang, Lugu – lugu bangsat. Manusia hina seperti yang kamu ucapkan tadi siang.”

“Kamu sudah puas dengan pengakuanku.? Sekarang kamu masuk kedalam, sebelum laki – laki bangsat ini makin mendekati kamu dan menikmati tubuhmu.” Ucapku dengan nada yang agak keras, karena hujan yang begitu derasnya ini.

Akupun sengaja mengucapkan ini semua, supaya dia cepat masuk kedalam kosannya. Aku tidak ingin dia kedinginan dan sakit karena aku. Biarlah dia membenciku dan aku hanya bisa berharap, setelah ini dia bersikap professional dalam masa perkuliahan nanti.

Tapi setelah mendengar ucapanku, Gendhis tidak masuk kedalam kosannya. Dia tetap berdiri dihadapanku, sambil terus menatapku. Gila.

Dan yang lebih gilanya, perlahan wajahnya terlihat bersedih dan seperti menangis. Matanya memerah dan air matanya tercampur rintik hujan yang membasahi wajahnya.

Astaga. Ada apa denganmu Ndhis.? Kenapa kamu tetap berdiri didepan laki – laki bangsat ini.? Kenapa kamu bersedih dihadapannya dan kenapa air matamu menetes untuknya.? Apa kamu tidak membenci laki – laki ini, setelah dia mengatakan semuanya tadi.? Harusnya kan kamu membencinya Ndhis. Benci sebenci bencinya.

Hiuufftt. Huuuu.

Aku menarik nafasku dalam – dalam, lalu mengeluarkannya perlahan.

Aku melakukannya sambil melihat kearah yang lain. Aku tidak kuat menatap matanya yang bersedih itu, karena perlahan itu membuat hatiku sangat sakit sekali. Entah kenapa aku merasakan seperti ini.

Hatiku seperti disayat dan sangat perih sekali yang aku rasakan. Air matanya itu seperti garam yang menaburi sayatan luka dihatiku ini. Sakit tapi tak berdarah, terluka tapi tak menganga, dan perih tapi tak bersuara.

Kenapa aku seperti ini.? Apa aku mempunyai rasa dengan Gendhis.? Tapi getaran apa yang aku rasakan dengan Yunda Sarah tadi.? Kok berbeda sekali dengan Gendhis.? Argghhh.

“Masuklah.” Ucapku lalu gigiku mengerat, karena aku menahan emosiku.

Gendhis tetap berdiri dihadapanku dan aku langsung melihatnya lagi.

“Kenapa kamu gak mau masuk.?” Tanyaku.

Perlahan terlihat wajahnya memucat dan bibirnya bergetar. Tubuhnya menggigil, tapi dia tetap berdiri dan menahan hawa dingin yang menguasai tubuhnya itu.

“Ndhis.” Panggilku dan dia tetap diam.

Kelihatannya aku harus menarik tangannya untuk masuk kedalam kosannya. Bisa pingsan kedinginan, kalau dia lama – lama berdiri disini. Persetanlah dia mau berteriak atau meluapkan kemarahannya kepadaku. Yang penting dia masuk kedalam kosannya sekarang juga.

Aku lalu memegang telapak tangannya dan menggenggamnya dengan erat.

Dingin, dingin dan sangat dingin sekali telapak tangannya.

Dan ketika aku menariknya, Gendhis menahannya dan dia tetap tidak bergerak dari tempatnya berdiri. Pegangan tanganku ditelapak tangannyapun, tidak ditepis atau dilepaskannya.

Gendhis tetap berdiri sambil terus menatap kedua mataku.

Gila, tatapan matanya begitu dalam sekali, dan genggaman tangannya begitu terasa sampai didalam hatiku. Lalu perlahan tatapan dan genggaman tangan ini, berubah menjadi sebuah rasa. Rasa itu menjelma seperti badai yang bergemuruh didalam hatiku dan perlahan mengguncang seluruh isinya. Rasa itu dengan cepatnya memporak porandakan hatiku sampai yang terdalam. Aku seperti berada ditengah badai yang begitu hebatnya dan dia memegangi aku, supaya aku tidak tersapu dan tersesat dibadai yang maha dasyat ini. bajingaaan.

Akupun langsung melepaskan pegangan tanganku ditelapak tangannya, dan aku langsung memeluk tubuhnya yang basah kuyub itu. Tubuhnya yang berada dipelukanku ini menggigil dan dadanya terasa bergetar.

Uhhh. Pelukan ini, kenapa pelukanku ini terasa berbeda sekali.? Walaupun dia tidak membalasnya, tapi aku merasakan getaran yang sangat luar biasa. Aku tidak pernah merasakan getaran seperti ini, ketika aku memeluk wanita lain.? Kenapa.? Apa ini yang namanya cinta.? Cinta yang seperti apa.? Gilaaa.

Hujan yang semakin lebat ini, membuat pelukanku semakin erat ditubuh Gendhis. Tapi aku tidak ingin berlama – lama. Walapun aku menikmatinya dan dia tidak membalasnya atau menepisnya, aku tidak bisa membiarkannya kehujanan seperti ini. Aku harus segera membawanya masuk kedalam kosannya.

“Ndhis, masuklah.” Ucapku dengan lembutnya.

“Ng, ng, nggak.” Jawabnya terbata dan getaran dadanya makin terasa.

Cok. wanita ini menangis cok. wanita ini menangis dipelukanku. Apa aku tega melepaskan pelukanku.? Apa aku tega membiarkannya bersedih dan menangis seperti ini.? Aku sadar tangisan ini bukan tangisan kebencian, aku sadar itu. Kalau tangisan ini karena rasa kebencian, dia pasti akan mendorongku dan memakiku, serta mengusirku. Walaupun dia tidak membalas pelukanku ini, aku tau dia pasti mencintai aku.

“Masuklah.” Ucapku lagi dan sekarang aku membelai rambutnya yang basah. Aku ingin menenangkan dia dari tangisnya ini.

Gendhis menarik nafasnya dalam – dalam, lalu mengeluarkannya perlahan.

“Nggak.” Ucapnya dan sekarang dia tidak terbata seperti tadi.

Aku makin mengeratkan pelukanku, sambil terus membelai rambutnya. Gila, apasih yang diinginkan Gendhis ini.? Apa.? Apa mungkin dia masih ingin menenangkan dirinya sejenak dipelukanku.? Baiklah, mungkin seperti ini saja dulu beberapa saat.

Dan setelah aku merasa dadanya sudah tidak bergetar seperti tadi, aku langsung melepaskan pelukanku.

“Masuklah.?” Ucapku dan dia langsung menunduk sambil menggelengkan kepalanya.

Gila. Kelihatannya aku harus memaksanya ini.

Lalu dengan nekatnya, tangan kananku menyelinap diantara ketiak kirinya, lalu tubuhku sedikit menunduk dan tangan kiriku memegang bagian belakang pahanya, setelah itu aku langsung membopong tubuh Gendhis didadaku.

“Lang.” Ucapnya yang terkejut, tapi tidak berontak sedikitpun. Dia hanya menatapku dengan tatapan sayunya. Aku sempat membalas tatapannya, lalu menatap kearah kosannya.

Dan diiringi dengan tatapan sayunya itu, akupun berjalan kearah kosannya. Aku masuk kedalam teras, yang pagarnya tidak ditutup oleh Yunda Sarah tadi.

Setelah sampai pintu kosannya, aku menurunkan tubuh Gendhis perlahan. Setelah itu aku berdiri lalu menatapnya sebentar.

“Masuk dan cepat ganti pakaianmu. Kalau kamu gak nurut perkataanku, apalagi terjadi apa – apa sama kamu, aku tidak akan memaafkan diriku.” Ucapku sambil melihat kearah yang lain.

Setelah itu aku membalikkan tubuhku dan melangkah meninggalkannya.

Aku menutup pagar kosannya, lalu berjalan kearah kosanku ditemani hujan yang sangat lebat ini.

Aku jatuh cinta, aku jatuh cinta, aku jatuh cinta. Gila. Ini gila banget. Belum pernah aku jatuh cinta segila ini. Bajingan.

Terus apa yang akan aku lakukan dengan cinta gilaku ini.? Apa aku akan memperjuangkannya.? Jiancok. Ngomong apa aku ini.? Aku ini siapa dan dia itu siapa.? Aku orang yang tidak punya dan dia pasti orang yang berada. Aku hanya seorang mahasiswa miskin yang berjuang meraih impianku dan aku tidak boleh terlalu larut dengan cinta gilaku ini.

Bukan cinta tujuanku kekota ini, tapi impianku dan harapan dari orang – orang yang menyayangi aku didesa, yang membawa langkahku kemari. Aku tidak boleh mengecewakan semuanya.

Aku harus melupakannya, agar aku bisa lebih focus dengan perjalanan yang belum seberapa aku jalani ini.

Hiufftt. Huuu.

Aku terus berjalan dan ketika sampai didepan kosan, Intan tampak berdiri diteras kosan sambil melihat kearahku dan tersenyum.



Intan

Ahh. Kenapa lagi wanita satu ini.? tumben dia menyambutku.? Padahal dia selalu mendiamkanku selama ospek ini berlangsung. Dia tidak menegurku sama sekali, setelah aku datang dari rumah Bu Har dihari itu. Tapi kenapa dia sekarang menyambutku dan tersenyum seperti itu.? Aneh.

Akupun langsung membuka pagar kosan, lalu masuk dan menutupnya lagi.

“Baru datang.?” Ucap Intan dengan suara yang sangat loembut.

“Hem.” Jawabku sambil membuka sepatuku yang basah. Aku lalu meletakkan sepatuku dan aku sandarkan didinding, supaya airnya teruturun kelantai dan besok aku bisa memakainya lagi.

Aku lalu masuk kedalam kosan yang pintunya tidak tertutup.

“Suwine cok, cok.” (Lamanya cok, cok.) Omel Joko yang duduk diruang tengah.

“Lapo.? Kesepian ta awakmu.?” (Kenapa.? Kesepian kah kamu.?) Tanyaku sambil melangkah kearah kamar mandi.

“Iyo cok. koyok wong gendeng ae aku ijenan.” (iya cok, kayak orang gila aja aku sendirian.) ucap Joko.

“Nyapo koen gak ngomong karo de’e.?” (Kenapa kamu gak ngomong sama dia.?) Ucapku sambil membalikkan tubuhku dan aku berdiri didepan pintu kamar mandi. Aku mengatakan itu ke Joko sambil melirik kearah Intan yang berdiri didepan pintu kamarku, dan dia menatapku dengan tatapan yang datar.

“Sopo.?” (Siapa.?) Tanya Joko yang terlihat bingung dengan ucapanku.

“Ngger, gak pareng mbuju’i wong tuo. Mengko picek tenananloh mripatmu.” (Nak. Gak baik bohongin orang tua. nanti buta beneran loh matamu. Ngger = Angger = panggilan kesayangan untuuk anak laki – laki.)

“Assuuu.” (Anjing.) Maki Joko sambil melihat kearah Intan dan aku langsung membalikkan tubuhku, lalu masuk kedalam kamar mandi.




“Lang.” panggil Ratna yang mengejutkanku dari lamunan.

“Apa.?” Tanyaku.

“Yunda Sarah itu mau tanya, tentang persiapan penampilan kelompok kita malam keakraban nanti.” Ucap Ratna yang berjalan dismapingku.

“Ooo. Terus bagaimana teman – teman yang mau tampil nanti.?” Tanyaku kepada Ratna.

“Udah siap.” Jawab Ratna.

Rencananya, malam keakraban ini kelompok kami akan menampilkan tari beskalan. Tari ini akan dibawakan empat orang wanita dari kelompokku, salah satunya Ratna. Tari ini adalah tarian untuk menyambut tamu kehormatan. Dan sengaja kelompok kami membawakan ini, untuk menyambut seluruh mahasiswa baru yang akan kuliah dikampus teknik kita.

“Ya kan harusnya Yunda Sarah tanya kamu aja, karena kamu yang membawakan bersama teman – teman yang lain.” Ucapku.

“Kamu kan ketua kelompok, ya kamu yang harus menjelaskannya.” Ucap Ratna dan kami semua sampai dipinggir lapangan. Tampak Yunda Sarah duduk sendiri, dibawah sebuah pohon.

“Yunda.” Panggilku ketika kami berdua sudah berdiri didekatnya.

“Gimana.? sudah siap yang mau nari nanti.?” Tanya Yunda Sarah.

“SudahYunda.” Jawabku sambil melirik kearah Ratna.

“Terus pakaian tari dan perlengkapannya.?” Tanya Yunda lagi.

“Sudah Yunda. Sudah kami siapkan semua.” Jawab Ratna.

“Baguslah. Jangan lupa kasih semangat teman – temanmu.” Ucap Yunda kepadaku.

“Siap.” Jawabku dan Yunda Sarah berdiri, lalu pergi meninggalkan kami.

“Gitu aja.?” Tanyaku ke Ratna dan Ratna hanya tersenyum kepadaku.

Ah, kalau itu aja pertanyaannya, kan bisa aja Ratna yang menjawab. Tapi sudahlah, mungkin aku juga harus mengecek semua perlengkapan mereka dulu.

Dan setelah semua persiapan telah aku cek, kami semua mengikuti upacara penutupan.

“Selamat datang buat mahasiswa baru anggkatan 199x, selamat bergabung dengan kampus teknik kita tercinta. Lakukan yang terbaik, karena hanya itu saja yang akan menuntunmu keluar dari rimba kampus teknik kita ini. Dan ingat, rimba raya yang ada diluar sana, hanya akan menyambut mereka yang siap untuk berjuang.” Pak Rektor menutup sambutannya lalu disambut dengan tepuk tanngan…

PROK.. PROK.. PROK.. PROK..

“HIDUP MAHASISWA..”

“HIDUP MAHASISWA..”

“HIDUP MAHASISWA..”

Kami semua berteriak sambil mengepalkan tangan kiri keudara, dengan semangat yang luar biasa.

Kami sudah selesai mengikuti ospek selama seminggu ini, dan sekarang kami sudah sah menjadi keluarga besar kampus teknik kita tercinta. Begitu besar pengorbanan yang kami jalani selama seminggu penuh ini. Air mata, keringat dan darah, menjadi saksi pengorbanan yang sangat luar biasa ini.

Dan setelah selesai melaksanakan upacara penutupan, kami semua diarahkan menuju lapangan didepan gedung rektorat sana.

Beberapa saat kemudian, pembukaan malam keakraban dimulai dan satu persatu kelompok maba, menampilkan pertunjukan, termasuk kelompokku.

Setelah seluruh maba menampilkan pertunjukan, band tamu pengisi acara malam ini memulai penampilan mereka.

Dimulai dengan Gendhis bersama kedua temannya. Gendhis yang sudah berdiri diatas panggung dengan biola dipundak kirinya, berjalan kearah mik dan mengucapkan sesuatu.

“Aku hanya bisa mengikuti perasaan ini mengalir, sampai pada ujung muaranya. Dan aku hanya bisa berharap, semoga ini berlabuh pada hati yang tepat. Maaf, karena aku tidak bisa berhenti mencintaimu.” Ucap Gendhis dan dia langsung menggesek biolanya dan membawakan sebuah lagu, can't help falling in love milik Elvis Presley.






#Cuukkk, kenapa kamu harus membawakan lagu itu Ndhis.? Apa kamu mau aku memperjuangkan cintaku kepadamu.? Jangan Ndhis, jangan. Aku bukan siapa – siapa dan aku tidak memiliki apa – apa. Saat ini aku hanya akan mengejar semua Impianku, dan menepikan cintaku. Tapi entah ketika semua tercapai dan kamu memang jodohku, aku akan menjemputmu dengan cintaku.
 
Terakhir diubah:
Selamat malam Om dan Tante.

Update malam ya..
Selamat menikmati dan selamat beristirahat.
Semoga semua selalu diberi kesehatan dan semoga diberi kemudahan dalam segala urusan.

Salam Hormat dan Salam Persaudaraan.
:beer::beer::beer:
 
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd