Agen Terpercaya  
 
 
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

CERBUNG - TAMAT I M P I A N 1

silahkan

  • dijawab sebisanya

    Votes: 347 45,6%
  • pertanyaan yang berkaitan dengan cerita

    Votes: 538 70,7%

  • Total voters
    761
Marathon baca,,,tambah lagi info dari cerita impian ini. Mulai dari adanya desa sumber banyu yang merupakan pusat aliran air yang membelah 2 desa yang melahirkan kekuatan mata legendaris.penasaran apakah Gilang juga punya kekuatan mata?namun terlihat dari duel pertamanya (entah punya kekuatan mata ato Ndak) Gilang sukses membantai lawannya tanpa harus masuk dunia lain seperti kasusnya sandi dan anak2nya. Penasaran yang selanjutnya,,Gilang kan 1 angkatan dengan Rendi tapi kok tidak pernah tersebut di cerita sandi ya? Dan empat sekawan Rendi,Wawan,bendu dan Toni tidak pernah bercerita terkait Gilang kepada sandi. Ato mungkin para penikmat cerita di pmcdc bisa memberikan penerangan bathin kepada ane,,supaya ane bisa tidur nyenyak..terima kasih dan semoga sehat selalu kepada suhu kisanak
 
Marathon baca,,,tambah lagi info dari cerita impian ini. Mulai dari adanya desa sumber banyu yang merupakan pusat aliran air yang membelah 2 desa yang melahirkan kekuatan mata legendaris.penasaran apakah Gilang juga punya kekuatan mata?namun terlihat dari duel pertamanya (entah punya kekuatan mata ato Ndak) Gilang sukses membantai lawannya tanpa harus masuk dunia lain seperti kasusnya sandi dan anak2nya. Penasaran yang selanjutnya,,Gilang kan 1 angkatan dengan Rendi tapi kok tidak pernah tersebut di cerita sandi ya? Dan empat sekawan Rendi,Wawan,bendu dan Toni tidak pernah bercerita terkait Gilang kepada sandi. Ato mungkin para penikmat cerita di pmcdc bisa memberikan penerangan bathin kepada ane,,supaya ane bisa tidur nyenyak..terima kasih dan semoga sehat selalu kepada suhu kisanak
setau ane gan,,cerita ini kate suhu @Kisanak87 berdiri sendiri,,memang sih ade nyerempet sikit2 k pdmc,,kita tunggu aja,,ane pun sebetulnya penasaran jg:Peace::Peace::p
 
Marathon baca,,,tambah lagi info dari cerita impian ini. Mulai dari adanya desa sumber banyu yang merupakan pusat aliran air yang membelah 2 desa yang melahirkan kekuatan mata legendaris.penasaran apakah Gilang juga punya kekuatan mata?namun terlihat dari duel pertamanya (entah punya kekuatan mata ato Ndak) Gilang sukses membantai lawannya tanpa harus masuk dunia lain seperti kasusnya sandi dan anak2nya. Penasaran yang selanjutnya,,Gilang kan 1 angkatan dengan Rendi tapi kok tidak pernah tersebut di cerita sandi ya? Dan empat sekawan Rendi,Wawan,bendu dan Toni tidak pernah bercerita terkait Gilang kepada sandi. Ato mungkin para penikmat cerita di pmcdc bisa memberikan penerangan bathin kepada ane,,supaya ane bisa tidur nyenyak..terima kasih dan semoga sehat selalu kepada suhu kisanak
Jawabannya bakal terjawab di episode berikutnya om..
 
Akhirnya terjawab knp nama Gilang menghilang dan tak ingin dikenang sbg pembuat sejarah... Lang... Kalo sampe gendhis main gila sama dani, kamu main gila jg sama bu har dan bi ati hahahaha
Waduh ... Sop iler apaan ini ... Gendis bisa kayak gitu .... Secara kisanak gak , gak ada sejarah nya ceweknya selingkuh ...
 

BAGIAN 15
PERMAINAN HATI




Pov Orang Ketiga.

Malam hari dipondok merah, sebelum hari pertama kuliah bagi mahasiswa baru angkatan Gilang.

“Gimana Mas.? Apa sampean masih ada niat, untuk menghentikan tradisi gila ini.?” Tanya Arief ke Pandu.

“Niat itu masih ada Rief, tapi sayang aku belum bisa mewujudkan keinginanku itu.” Jawab Pandu lalu dia menghisap rokoknya.

“Kenapa Mas.? Sampean orang terkuat saat ini dan belum terkalahkan selama bertahun – tahun.” Ucap Ujang.

“Disitu masalahnya Jang. Karena aku sudah terlibat dalam hal ini sejak aku masuk kampus teknik kita, aku gak bisa menghentikannya. Kalau aku menghentikannya pada saat aku masuk pertama kali dulu, mungkin itu masih bisa diterima. Tapi kalau sekarang.? Para pembenci pondok merah, pasti akan semakin mendapatkan celah untuk memberontak. Lagian aku sudah berkali – kali menumbangkan jagoan – jagoan kakak tingkatku dan adik tingkatku, masa baru sekarang ini aku menghentikannya.” Ucap Pandu menjelaskan.

“Bukannya dengan kekuatan sampean sekarang ini dan ditambah dengan pondok merah, justru akan semakin mudah untuk menghentikan semua ini.?” Ucap Oka.

“Gak semudah itu Ka.” Jawab Pandu lalu diam beberapa saat.

“Iya Ka, gak semudah itu. Tradisi inilah yang membuat pondok merah, berdiri sebagai senior jurusan, bukan sebagai penghuni pondok merah. Ditradisi ini, semua mahasiswa statusnya sama, Tidak ada pondok merah atau kelompok - kelompok lain. Kecuali sudah merembet ke antar jurusan, baru pondok merah bisa terlibat.” Ucap Ance yang ikut menjelaskan

“Mereka – mereka yang bukan bagian dari pondok merah, pasti ingin menunjukkan kekuatan mereka, agar bisa dipilih masuk di kos ini tanpa harus diundang kemari.” Sahut Pandu.

“Maksudnya Mas.?” Tanya Ucok.

“Kalau mereka menunjukkan kekuatan mereka di tradisi awal masuk kuliah dan mereka terkuat dijurusannya, mereka akan dengan percaya diri datang kepadaku dan meminta untuk dimasukkan dalam keluarga besar pondok merah. Itu bagi mereka yang masih sejalan dengan pondok merah. Tapi kalau yang bersebrangan dengan pondok merah, itu akan menjadi modal mereka untuk memberontak dengan kekuatan yang mereka miliki.” Jawab Pandu lagi.

“Betul itu. hanya dengan mengikuti tradisi inilah, mereka bisa menunjukkan kekuatan mereka. Diluar tradisi ini, mereka pasti takut unjuk gigi dihadapan kita. Mereka tau resikonya kalau berhadapan dengan pondok merah.” Ucap Wagiyo ikut bersuara.

“Dan sasarannya pastilah mahasiswa baru. Kasihan mereka dibantai karena ambisi para seniornya.” Ucap Ramos.

“Itulah Mos, aku juga menyesal sudah mengikuti tradisi ini beberapa kali. Hanya karena mengikuti jiwa mudaku yang masih dipenuhi emosi, aku juga membantai mereka – mereka yang tidak bersalah.” Jawab Pandu.

“Dan aku salah satu korban sampean Mas.” Ucap Ramos yang adik tingkat Pandu dijurusan teknik sipil.

“Sudahlah, gak usah diungkit masa lalu itu. Kamu kaya cewe aja yang selalu mengungkit kesalahan pasangannya dimasa lalu, kalau lagi berantem.” Jawab Pandu.

“Cok. disamakan sama cewe lagi.” Celetuk Ramos.

“Tapikan gak semua cewe seperti itu Mas.” Sahut Adam ikut bersuara.

“Ya gak semua sih, tapi kebanyakan.” Jawab Pandu.

“Terus maksudmu tanya seperti itu apa Dam.? Kamu menyamakan aku seperti cewe juga.?” Ucap Ramos sambil melotot kearah Adam.

“Iya Mos, tujuan Adam memang seperti itu.” Sahut Pandu mengompori Ramos.

“Bukan begitu Mas, Bang.” Ucap Adam kebingungan, sambil melihat kearah Pandu dan Ramos.

“Angel wes, angel ngene iki. Angel temen tuturanmu, angel temen tuturanmu.” (Susah sudah, susah kalau begini. Susah benar nasehati kamu, susah benar nasehati kamu.) Ucap Beta yang menirukan kebiasaan Adam dengan suara yang mendayu – dayu.

“Kamu ngapain manas – manasin Ta.?” Ucap Adam ke Beta, dan Beta hanya tersenyum saja.

“Adam memang begitu Bang Ramos.” Sahut Ucok dan Adam hanya menggelengkan kepalanya.

“Ga usah cari pembelaan kamu Dam.” Ucap Ramos lalu membuka botol minuman dan menuangkan segelas penuh kedalam gelas yang besar.

“Buat siapa itu Bang.?” Tanya Adam ke Ramos.

“Buat kamu sebagai pembukaan pesta malam ini.” Ucap Ramos lalu menyodorkan gelas itu kepada Adam.

“Cok.” Gerutu Adam, lalu mengambil gelas itu dan meminum isinya.

Semua penghuni pondok merah pun, diam sambil menikmati rokok masing – masing.

“Terus bagaimana cara menghentikannya ya Mas.? Terus terang saya juga muak melihat tingkah para mahasiswa lama, yang memanfaatkan tradisi ini.?” Tanya Arief lagi.

“Kalau dari anggota keluarga besar pondok merah saat ini, pasti berat banget menghentikannya Rief. Karena jujur, tradisi ini dimulai dari para pendahulu kita pondok merah. Itu salah satu alasan para mahasiswa lama untuk mempertahankan tradisi ini.” Jawab Pandu.

“Padahal tujuan tradisi ini awalnya hanya menguatkan mental sebagai mahasiswa teknik. Tapi lama – kelamaan malah dijadikan sarana yang lain bagi para mahasiswa lama.” Ucap Pandu lagi.

“Iya juga sih Mas, aku juga pernah mendengar hal itu. Tapi kalau bukan kita yang menghentikannya, siapa lagi.?” Tanya Arief lagi.

“Entahlah.” Jawab Pandu lalu dia meminum jatah minumannya.

Dan tiba – tiba.

KRING, KRING, KRING.

Bunyi telpon kosan yang nyaring terdengar.

Semua penghuni kosan langsung saling melihat dan tidak ada yang berani angkat telpon kosan itu. Terdengar aneh ya.? Kok bisa bunyi telpon ditakuti dan bukannya harus senang, karena siapa tau ada kabar dari pacar, teman, sahabat, atau keluarga.

Tapi kenyataannya memang seperti itu. Semua penghuni kosan ini, tidak pernah ada yang menyebarkan telpon kosan ini, walaupun kepada keluarga mereka dikampung. Mereka lebih memilih untuk memberi kabar terlebih dahulu, kepada keluarga mereka lewat wartel, dari pada dihubungi dikosan ini. Atau kalau ada kabar penting dari kampung, biasanya mereka memberikan telpon kosan lain, yang ada teman mereka sekampung.

Telpon kosan di pondok merah ini, sangat jarang berbunyi. Biasanya kalau berbunyi, hanya ada dua kabar. Ada permasalahan yang sangat besar dan harus diselesaikan, atau ada suatu petunjuk tentang suatu permasalahan yang diluar pemikiran semua penghuni kosan. Tapi lebih banyak tentang kabar permasalahan besar yang datang sih.

KRING, KRING, KRING.

Telpon kembali berdering.

“Aku kok ngeri ya dengar suara telpon kosan kita ini.? pasti ada masalah yang besar itu.” Ucap Wagiyo dengan wajah yang sangat was – was.

“Iya Mas, kenapa gak dicabut aja sih.?” Ucap Ance dengan wajah yang sangat tegang.

“Cabut telpon kosan ini, lebih mengerikan imbasnya daripada menghentikan tradisi gila dikampus kita.” Ucap Pandu.

“Kok bisa Mas.?”Tanya Beta.

“Karena yang dihadapi senior – senior pendiri kosan ini.” Jawab Pandu.

“Cok.” Maki Adam pelan.

KRING, KRING, KRING.

Telpon kembali berdering.

“Angkat Ndu.” Ucap Wagiyo sambil melihat kearah Pandu.

“Kenapa gak kamu yang angkat Yo’.?” Tanya Pandu balik.

Wagiyo pun langsung melihat kearah yang lain dan dia menolak perintah Pandu.

“Assuu.” gerutu Pandu lalu berdiri dan berjalan kearah telpon.

KRING, KRING, KRING.

Dengan hati yang sedikit berdebar, Pandu pun langsung mengangkat telpon itu.

“Halo.” Ucap Pandu pelan.

“Pondok merah itu sudah tidak ada penghuninya kah.?” Tanya seseorang diseberang telpon. Suara itu terdengar dingin, dengan penekanan kata yang sangat tegas sekali.

“Ma, ma, maaf Mas, Kami lagi rapat.” Jawab Pandu terbata dan dengan suara yang sangat sopan sekali.

“Alasanmu Ndu, Ndu. Aku heran dengan kalian semua itu. Kenapa kalau telpon kosan berdering, kok gak ada yang berani angkat, kecuali kamu. Itupun kamu pasti sangat terpaksa sekali mengangkatnya. Emang kalian langsung mati kalau angkat telpon.? Bajingan kok takut mati.” Ucap orang itu, lalu terdengar dia menghisap rokoknya dalam – dalam.

“Gak, gak gitu Mas. Maaf, sekali lagi maaf.” Ucap Pandu.

“Sudahlah, lebih baik telponnya diputus saja. Nanti aku suruh orangku untuk bicara sama May.” Sahut orang itu.

“May siapa Mas.?” Tanya Pandu dengan bingungnya.

“Maksudku Yanti. Ibu kosmu.” Jawab orang itu.

“Ohh. Bu Damayanti to.” Ucap Pandu dan suaranya terdengar sudah sangat santai sekali.

“Kok kamu ngomongnya seperti itu Ndu.? Kamu mau mengejek aku.?” Tanya orang diseberang telpon itu.

“Nggak Mas, nggak. Masa saya berani ngejek sampean sih.” Jawab Pandu yang terdengar agak ketakutan.

“Hem.” ucap orang itu singkat.

“Oh iya Mas, ada kabar apa ini.?” Tanya Pandu mengalihkan pembicaraan.

“Kabar biasa aja.” Jawab orang itu singkat.

“Biasanya sampean itu, pasti sangat luar biasa banget bagi saya.” Ucap Pandu.

“Enggak, ini beneran kabar biasa. Tentang tradisi gila dikampus teknik kita, yang besok terakhir dilaksanakan.” Ucap orang itu dengan santainya.

“Ha.? Serius Mas.? Besok terakhir dilaksanakan.? Siapa yang akan menghentikannya Mas.? Apa sampean yang akan datang kemari dan menghentikannya.?” Tanya Pandu.

“Ya enggaklah. Aku sudah lama meninggalkan kampus teknik kita, semenjak aku lulus. Jadi gak mungkin aku yang akan menghentikannya.” Jawab orang itu.

“Jadi kalau bukan sampean siapa Mas.? Pak Tomo gitu.? Tanya Pandu lagi.

“Bukan Tomo.” Jawab orang itu singkat.

“Terus siapa Mas.?
Gak mungkin tradisi gila ini dihentikan, kalau bukan dari angkatan sampean.” Tanya Pandu yang sangat penasaran.

“Bukan angkatanku, tapi seorang mahasiswa baru yang berasal dari desa tetangga kita, Desa Sumber Banyu.” Jawab orang itu.

“Ma, ma, maksud Mas Irawan itu, Gilang.? Gilang Adi Pratama.?” Ucap Pandu yang sangat terkejut.

“Hem.” Jawab orang yang bernama Irawan itu.

Irawan ini adalah salah satu pendiri kos Pondok merah, dan dia yang ditunjuk panglima perang pondok merah pertama kali pada saat itu.

“Bagaimana sampean tau tentang Gilang.? Apa Pak Tomo yang memberi tahu.?” Tanya Pandu.

“Bukan dia, aku sudah lama tidak berhubungan dengan Tomo, tepatnya semenjak aku meninggalkan Kota Pendidikan.” Jawab Irawan.

“Jadi sampean tau dari mana.?” Tanya Pandu lagi.

“Sudahlah, kamu gak perlu tau itu. Yang jelas, Gilang akan membawa perubahan besar dikampus teknik kita dan dia juga pasti akan berkontribusi besar untuk pondok merah.” Jawab Irawan.

“Bisa begitu ya Mas.?” Tanya Pandu.

“Orang asli dari Desa Sumber Banyu itu, terkenal dengan kesantunan dan ketenangannya. Berbeda dengan orang asli dari Desa Jati luhur yang terkenal keras dan selalu menyelesaikan permasalahan dengan kepalan tangan. Tapi bukan berarti orang dari Desa Sumber Banyu tidak bisa berkelahi. Sekali saja mereka meluapkan kemarahan, mereka tidak akan memperdulikan siapapun lawannya.” Ucap Irawan menjelaskan.

“Saya paham kalau masalah itu Mas. Maksud saya itu, apa sampai seberani itu Gilang akan menghentikan semua ini.? Gilang gak mungkin akan menghadapi seluruh bajingan dari kampus ini, bisa hancur dia.” Ucap Pandu yang terdengar khawatir.

“Disitulah peranmu sebagai panglima perang pondok merah saat ini. Tradisi ini hanya untuk setiap jurusan, jadi biarkan Gilang membantai bajingan dari jurusanmu. Aku yakin Gilang pasti bisa melakukannya. Dan aku yakin, setelah membantai bajingan dari jurusanmu, dia akan menantang bajingan dari jurusan lain. Kamu taukan apa yang kamu lakukan kalau sampai itu terjadi.?” Ucap Irawan dan Pandu langsung tersenyum dengan bengisnya.

“Jurusan lain pasti tidak akan berani melakukannya, karena pondok merah langsung menutup semua pergerakan mereka.” Jawab Pandu sambil menganggukkan kepalanya.

“Ya. Dan kalau tahun – tahun berikutnya tradisi itu akan dimulai lagi, kalian dari pondok merah pasti sudah mempunyai alasan untuk menghentikannya.” Ucap Irawan.

“Kok aku gak kepikiran sampai kesana ya Mas.?” Tanya Pandu dengan senangnya.

“Kuliahmu aja keteteran, kok malah mikirin hal yang seperti ini.” Sindir Irawan.

“Mas, Mas. Coba jangan seperti itu nyindirnya.” Ucap Pandu yang terdengar sangat malu sekali.

“Benerkan omonganku.? Oh iya, aku cuman berpesan, jangan sampai kamu disalip wisudanya sama anakku loh..” Ucap Irawan dengan entengnya.

“Maksudnya Mas bagaimana.? Sandi itu baru mau masuk STM mas, masih jauh kuliahnya. Kok bisa disalip wisudaku ituloh.?” Ucap Pandu dengan nada sedikit meraju. (Sandi itu anak dari Irawan.)

“Aku kan cuma nasehatin sama kamu, kok kamu ngeyel.? Atau jangan – jangan kamu beneran nunggu kuliah bareng sama Sandi.?” Tanya Irawan.

“Enggak lah Mas, saya pasti wisuda sebelum Sandi daftar kuliah.” Ucap Pandu dengan tegasnya.

“Semoga aja.” Jawab Irawan dengan santainya

“Kok nada bicara sampean gitu Mas.? Sampean seneng kalau saya kuliah bareng sama Sandi.?” Tanya Pandu.

“Seneng.” Jawab Irawan singkat.

“Ya ampun Mas, Mas.” Ucap Pandu dengan pasrahnya, sambil menggelengkan kepalanya.

“Hehe. Sudahlah, aku tutup aja telponnya.” Ucap Irawan setelah dia tertawa.

“Entar dulu Mas, saya mau minta masukan dari sampean.” Ucap Pandu yang mengalihkan pembicaraan.

“Apa itu.?” Tanya Irawan.

“Masalah Gilang lagi Mas. Apa dia saya masukkan dikeluarga besar pondok merah.? Kan ada tiga kamar kosong diatas, yang baru selesai dibangun.” Tanya Pandu.

“Jangan, biarkan dia seperti itu. Biarkan dia menemukan jalannya sendiri, untuk mewujudkan impiannya. Lagian dia pasti tidak mau kalau disuruh tinggal dipondok merah. Tapi walaupun tidak terucap, dia adalah bagian penting dari keluarga besar pondok merah. Aku yakin dia pasti menyadari hal itu, dan dia pasti memiliki semangat pondok merah didadanya.” Ucap Irawan.

“Baiklah Mas, tapi apa sampean punya masukan tentang siapa yang akan mengisi tiga kamar kosong diatas.?” Tanya Pandu yang minta pertimbangan kepada Irawan. Selain Irawan itu pendiri kos Pondok merah, dia itu kakak sepupu dari Pandu.

“Kamu pasti tau, siapa aja calon – calon pengisi dari tiga kamar itu.” Jawab Irawan.

“Begitu ya mas. Kalau menurut Mas, Tino bisa mengisi salah satu kamar diatas gak.?” Tanya Pandu.

“Pertanyaanmu ini aneh loh Ndu. Kamu tau jawabannya, tapi malah tanya aku. Kamu mau ngetes aku.?” Jawab Irawan.

“Gak gitu sih Mas. Iya aku sadar, gak mungkin Tino menjadi keluarga besar pondok merah. Walaupun Tino itu orang terkuat kedua setelah aku dikampus teknik kita, tapi sifat ambisiusnya itu yang buat dia tidak pantas ada dipondok merah.” Ucap Pandu pelan.

“Tapi besok tidak lagi. Tino yang akan menjadi pembuka jalan, tradisi ini dihentikan.” Ucap Irawan.

“Maksud Mas itu,” Ucap Pandu terpotong.

“Ya, dia akan dibantai Gilang.” Jawab Irawan dan Pandu langsung menggelengkan kepalanya pelan.

“Dan saranku, lanjutkan rencanamu tentang empat sekawan mahasiswa baru itu. Gembleng mereka dengan keras, sebelum masuk dipondok merah. Terutama Rendi Bule, dia yang akan menggantikanmu sebagai panglima perang pondok merah nantinya.” Ucap Irawan lagi.

“Kok sampean tau Mas.?” Tanya Pandu dengan terkejutnya.

“Jadwalmu kekamar mandi aja aku tau, jadi gak usah sok kaget gitu.” Jawab Irawan dan lagi – lagi Pandu menggelengkan kepalanya pelan.

“Sudahlah, aku mau tidur dulu. Oh iya, kapan kamu berangkat kesini.? Ada proyek buat kamu disini.” Ucap Irawan.

“Secepatnya Mas, saya selesaikan dulu tugas saya disini. Tapi gak lama kan saya dipulau seberang.?” Tanya Pandu.

“Gak lama lah, paling juga setahun.” Jawab Irawan.

“Setahun.? Sampean beneran mau jadikan saya mahasiswa abadikah mas.?” Tanya Pandu dengan kesalnya.

“Bukannya kamu senang ya dengan sebutan mahasiswa abadi.?” Tanya Irawan balik.

“Mas, Mas. Tega sampean sama saya.” Gerutu Pandu.

“Iya, iya. Seperti biasalah kalau kamu kesini itu bagaimana. Paling lama juga dua minggu kok.” Ucap Irawan.

“Siap Mas. Oh iya, salam buat Mbakyu sama ponakan – ponakan ya. Terutama sipreman, Sandi Purnama Irawan. Hehehe.” Ucap Pandu lalu tertawa pelan.

“Jangan sebut ponakanmu preman, kepalan tanganku ini, masih bisa buat kamu pingsan seminggu loh.” Ucap Irawan dengan dinginnya.

“Ma, ma, maaf Mas. bercanda.” Jawab Pandu yang ketakutan.

“Ya sudah, atur rencana buat tradisi besok.” Ucap Irawan.

“Siap mas.” Jawab Pandu dan Irawan langsung menutup telponnya.




Pov Gilang

Beberapa hari setelah tradisi gila itu dilaksanakan, untuk yang terakhir kalinya.

DAG, DAG, DAG, DAG, DAG.

Bunyi paluku ketika aku merangkai kaki untuk meja gambar Joko.

SREK, SREK, SREK, SREK,

Joko memotong triplek yang sudah diukur, untuk dipasang diatas kaki meja yang aku rangkai ini.

Kami berdua sedari pagi tadi, membuat meja gambar yang bisa kami pakai bergantian nantinya. Kalau aku memakainya mungkin hanya untuk semester satu dan dua, sedangkan Joko pasti akan memakainya sampai lulus nanti.

Sebenarnya bisa saja Joko membeli meja gambar yang harganya ratusan ribu itu, tapi sayang banget kalau uang segitu hanya untuk membeli sebuah meja gambar. Kebutuhannya masih sangat banyak dan kami baru masih semester satu. Lagian kami berdua punya prinsip, kalau sesuatu barang masih bisa dibuat dan dikerjakan, untuk apa kita membelinya.?

“Engko awak dewe ngamen ta cok.?” (Nanti kita ngamen kah cok.?) Tanya Joko yang telah menyelesaikan memotong tripleknya.

“Iyolah, wes suwe awak dewe gak ngamen. Gak ono pemasukan iki.” (Iyalah, sudah lama kita gak ngamen. Gak ada pemasukan ini.) Jawabku dan aku juga sudah selesai merangkai kaki meja.

“Sek cok. Iki sandarane gawe triplekke endi.?” (sebentar cok. Ini sandarannya untuk triplek mana.?) Tanya Joko sambil menoleh kekanan dan kekiri.

“Nggurimu iku loh cok.” (Dibelakangmu ituloh cok.) Ucapku, sambil menunjuk kayu yang tersandar didinding, dibelakang Joko.

Joko lalu membalikkan tubuhnya, dan mengambil kayu yang tersandar didinding itu. Setelah itu Joko merangkai kayu itu dan memakunya, lalu dia memasang triplek diatasnya dan memakunya lagi.

DAG, DAG, DAG, DAG, DAG.

“Wes mari. Kari diamplas terus dicat.” (Sudah selesai. Tinggal diamplas terus dicat.) Ucap Joko yang telah selesai dengan pekerjaannya.

“Coba dipasang dulu.” Ucapku.

Joko lalu mengangkat triplek yang dirangkainya barusan, dan memasangkannya diatas kaki meja yang aku buat.

Meja gambar yang kami buat ini, bukan hanya datar seperti meja biasa. Tapi meja ini bisa disetel miring dan kami membuat pasak dipinggiran meja untuk mengganjalnya. Kemiringannya pun, bisa disetel sesuai keinginan kami.

“Pas.” Ucap Joko lalu tersenyum dengan senangnya.

“Mari ngamen tuku cat ambe amplase.” (Habis ngamen beli cat sama aplasnya.) Ucapku lalu aku mengambil rokokku sebatang, lalu membakarnya dan menghisapnya.

“Siap kakang.” Ucap Joko lalu dia menghisap rokoknya.

“Luwe aku Jok. Ono panganan ta.?” (Lapar aku Jok, ada makanan kah.?) Tanyaku lalu aku menghisap rokokku lagi.

“Tuku ae lah. Aku yo luwe. Aku seng traktir awakmu.” (Beli aja lah. Aku juga lapar. Aku yang traktir kamu.) Jawab Joko.

“Koyo aku kekurangan duwek ae koen traktir.” (Kayak aku kekurangan duit aja kamu traktir.) Ucapku sambil berdiri dan berjalan masuk kedalam kosan.

“Cok, dadi koen nolak traktiranku.?” (Cok, jadi kamu nolak traktiranku.?) Tanya Joko dengan jengkelnya dan menguti aku kedalam kosan.

“Siapa yang nolak.? Gratisan kok ditolak.” Jawabku tanpa melihat kearah Joko dan aku masuk kedalam kamarku.

“Assuuu.” Maki Joko yang masuk kedalam kamarnya.

Akupun langsung membuka kaosku dan bersiap untuk mandi.

“Mau ngamen ya.?” Tanya Intan yang berdiri didekat pintu kamarku.



Intan

“Iya. kenapa.?” Tanyaku.

“Tanya aja, emang gak boleh aku tanya.?” Tanya Intan sambil berjalan kearahku.

“Sejak kapan aku melarang – larang kamu.?” Tanyaku balik.

“Ciee. Mentang – mentang makin lengket dengan cintanya, sekarang gitu sama aku. Jahat kamu Lang.” Ucap Intan menggodaku.

“Apasih kamu itu.” ucapku dengan cueknya, lalu aku berjalan kearah kamar mandi.

“Ojo suwi – suwi cok, aku yo kate ados.” (Jangan lama – lama cok, aku juga mau mandi.) Teriak Joko dari dalam kamarnya.

“Ados bareng ta.?” (Mandi bareng kah.?) Tanyaku.

“La koen kiro nde kali.? Nggatheli koen.” (Kamu kira disungai.? Jengkelin kamu.) Sahut Joko.

Akupun tidak menyahutinya lagi dan aku langsung masuk kedalam kamar mandi. Lalu setelah mandi, akupun masuk kedalam kamarku lagi dan memakai pakaianku.

“Hebat kamu Lang, kamu bisa menghentikan tradisi gila yang sudah bertahun – tahun dilaksanakan dikampus teknik kita.” Ucap Intan kepadaku.

“Bukan aku yang menghentikan tradisi gila itu, tapi zaman. Zaman telah merubahnya dan mau atau tidak mau, kita harus mengikutinya. Tidak mungkin kegiatan bar – bar seperti itu akan digunakan pada Zaman ini dan yang akan datang. Sudah bukan masanya lagi seperti itu.” Jawabku.

“Inilah salah satu kelebihanmu, kamu tidak ingin menunjukkan apa yang sudah kamu lakukan. Padahal yang kamu lakukan itu, sangat luar biasa.” Ucap Intan lalu tersenyum dengan manisnya.

“Apa yang perlu aku tunjukkan Tan.? Segala sesuatu yang kita jalani ini, sudah takdir dari Sang Pencipta. Tinggal menjalani aja kok harus ditunjukkan. Bagaimana kalau kita dikasih anugrah menciptakan sebelum menjalaninya, apa gak tambah besar kepala kita sebagai ciptaanNya.? Misalnya udara. Sebelum kita menghirup udara, kita harus menciptakan nitrogen, oksigen, argon, karbon diosida dan gas – gas lainnya. Apa gak tambah angkuh sifat manusia kalau seperti itu.?” Ucapku dan Intan langsung membelalakan kedua matanya.

“kamu itu jurusan apa sih kuliahnya.? Kok pakai acara membahas udara, nitrogen dan gas – gas apa tadi, lupa aku.” Ucap Intan lalu menggelengkan kepalanya pelan.

“Emang kalau jurusan teknik sipil, kita tidak boleh mengetahui tentang cara mahluk hidup menghirup udara.?” Tanyaku.

“Ya boleh – boleh aja, gak ada yang melarang kok.” Jawab Intan.

“Iya iyalah. Masa Jurusan teknik sipil hanya disuruh berpikir cara membangun bangunan gedung, jembatan, jalan, rekayasa lalulintas dan yang berhubungan dengan kontruksi aja.? Tidak boleh mengetahui caranya bermain gitar.? Tidak boleh mengetahui caranya memasak.? Atau tidak boleh mengetahui ilmu kedokteran gitu.?” Tanyaku.

“Boleh Lang, boleh. Siapa sih yang melarangmu.? Apalagi kalau masalah percintaan, itu boleh banget.” Ucap Intan sambil memainkan kedua alis matanya.

“Kok bahas masalah percintaan lagi sih.?” Tanyaku sambil mengambil gitarku digantungan.

“Karena menghirup udara yang mengandung nitrogen, oksigen, argon, karbon diosida dan gas – gas lainnya, tanpa ada cinta, hidupmu akan hampa.” Jawab Intan.

“Apasih kamu itu.? Sudah lah, aku pamit dulu.” Ucapku sambil melangkah kearah pintu kamarku.

“Iya Lang, kejarlah dan raihlah apa yang kamu impikan. Setelah itu jemputlah cintamu yang menanti.” Ucap Intan dan aku hanya menggeleng pelan tanpa melihat kearahnya.

“Hihihi.” Terdengar tawa Intan yang sangat senang sekali.

“Gak bawa biola.?” Tanya Joko.

“Gak usah, ini aja.” Jawabku dan Joko langsung mengambil gendangnya.

Kami berdua pun langsung keluar kosan dan berjalan kearah depan kampus teknik kita.

“Lewat djalan iku ae lo.” (Lewat jalan itu aja lo.) Ucap Joko sambil menunjuk kearah jalan kosan Barbara.

“Lapo lewat djalan iku seh.? Biasane seng djalan kono.” (kenapa lewat jalan itu sih.? biasanya yang jalan sana.) ucapku sambil menunjuk jalan depan kami lagi.

“Be’ e aku iso oleh salah siji arek kosan Barbara.” (Siapa tau aku dapat salah satu anak kosan Barbara.) Ucap Joko lalu dia tersenyum.

“Cok.” gerutuku pelan sambil terus melangkah.

Dan pada saat kami dekat kosan Barbara, kami berpapasan dengan seorang penjual kue putu yang sedang mendorong gerobaknya. Kue putu itu jajanan tradisonal yang terbuat dari tepung beras, yang didalamnya berisi gula merah dan diluarnya ditaburi parutan kelapa muda.

Dan rasa kue putu itu kalau sudah masuk kedalam mulut, uhhh pecah baget. Apalagi kalau panas – panas makannya. Gula merahnya nendang banget dilidah.

“Pak bungkus kue putu.” Ucapku kepada penjual itu.

“Siap mas.” Ucap orang itu, sambil menghentikan gerobaknya.

Tuuuuuuuu.

Suara yang keluar dari tempat memasak kue putu.

“Tumben sangu kue putu.?” Tanya Joko dengan herannya.

“Yang bilang buat sangu kita itu siapa.?” Tanyaku balik.

“Terus.?” Tanya Joko.

“Ini untuk salah satu penghuni kosan Barbara. Kalau kamu mau dapat cewe sana, pakai modal sedikit. Jangan modal air liur aja.” Jawabku.

“Cok, ini cewe kota cok. Jangan samakan sama cewe didesa kita. Masa kamu bawain kue putu sih.? bawain donat.” Ejek Joko kepadaku.

“Bukan bawaan yang dilihat Jok, tapi keikhlasan hati dan kemampuan diri. Kue mahal kalau gak ikhlas dan gak mampu beli, bagaimana.?” Tanyaku.

“Yo meneng ae cok, ga usah kakean polah.” (Ya diam aja cok, ga usah banyak tingkah.) Jawab Joko dengan entengnya.

“Ya berarti kamu juga gak usah banyak tingkah, berharap dapat salah satu penghuni kos Barbara. Mending kamu berharap sama salah satu penghuni kos pondok merah, Mas Adam misalnya.” Ucapku sambil memainkan kedua alis mataku kepada joko.

“Omonganmu kok ghateli cok.?” (omonganmu kok menjengkelkan cok.?) Tanya joko dengan jengkelnya.

“Hahaha.” Aku pun hanya tertawa, lalu aku mengambil bungkusan kue putu yang telah jadi, setelah itu aku membayarnya.

Kami berduapun langsung berjalan kearah kosan Barbara. Dan ketika kami sampai didepan kosan Barbara, tampak Gendhis sedang duduk didepan kosan dengan berpakaian rapi.

“Eh Lang, mau kemana.?” Tanya Gendhis yang terkejut melihatku berdiri didepan pintu pagar kosannya.



Gendhis

Uhhh. Kok makin hari, Gendhis ini terlihat manis ya.? Mungkin rasa kue putu ini, kalah manis dibandingkan wajahnya Gendhis, gila.

“Mau ngamen, tapi singgah dulu kesini. Boleh gak.?” Tanyaku.

“Bo, boleh.” Ucapnya terbata dan dia langsung berdiri lalu berjalan kearah pintu pagar kosan yang tertutup ini.

“Mau keluar atau dari luar.?” Tanyaku.

“Baru datang dari kampus.” Ucap Gendhis dan wajahnya terlihat lelah. Gendhis menjawab pertanyaanku sambil membuka pintu pagar kosannya.

“Aku gak lama kok Mba. Aku cuman mau antar ini.” Ucapku sambil menyodorkan kue putu dengan tangan kananku.

“Apa ini.?” Tanya Gendhis.

“Kue putu, semoga kamu suka.” Ucapku dan senyum manis Gendhis, langsung tersungging dibibirnya yang tipis itu.

Gila, makin manis aja sih kamu itu Ndhis. Baru hari ini aku melihatmu tersenyum dan senyummu itu, kamu berikan kepadaku. Hatiku ini rasanya seperti gula merah yang meleleh didalam kue putu itu. uhhhhh.

“Aku suka, aku suka.” Ucap Gendhis dengan senang dan manjanya, seperti gadis kecil yang baru dibelikan sesuatu.

Gendhispun mengambil bungkusan kue putu yang ada ditanganku, dengan mata yang berbinar – binar.

Waw, ternyata kamu itu manja juga ya Ndhis. Jadi makin bergetar aja nih hatiku. Apa aku perjuangkan aja cintaku ini kepadamu.? Biarlah aku mengejar Impianku, bersamamu disampingku. Bisa gak ya kira – kira.? Apa cinta ini tidak menjadi ganjalan bagi impianku atau malah menjadi semangatku.?

Hiufftt, huuu. Aku menarik nafasku dalam – dalam, karena keraguan yang mulai hinggap didalam hatiku. Gila, permainan hati ini kok gila banget ya.? Aku jadi bimbang banget.

“Aku jalan dulu ya, dah sore nih.” Pamitku karena aku ingin segera meninggalkan dia, untuk menenangkan hatiku sejenak.

“Kok cepet banget sih.? Gak masuk dulu.?” Tanya Gendhis dengan wajah yang sedikit kecewa.

“Aku langsung aja ya. Entar kalau kemalaman, ngamen dimana aku.?” Ucapku dan tiba – tiba aku menjulurkan tanganku kearahnya.

Duh, apa maksudku ini ya.? Untuk apa aku mengajak Gendhis bersalaman.? Kami kan sudah saling mengenal.? Jadi apa fungsi jabat tangan ini.? Apa aku mau salim ke Gendhis sambil mencium tangannya.? Gak lucu dong, masa cowo yang cium tangan cewe ketika berpamitan sih.? Atau aku berharap Gendhis yang mencium tanganku.? Itu lebih gak lucu lagi. Siapa aku yang berharap seperti itu.? Lagiankan dia ini asisten dosen dijurusanku.

Dan tiba – tiba, Gendhispun menyambut pegangan tanganku. Tangan kamipun saling menjabat, dengan kedua mata saling memandang. Getaran sayang dialirkan oleh kedua tangan kami yang saling menjabat, dan getaran cinta dialirkan oleh kedua mata kami yang saling menatap.

Gila, indah banget anugrahmu ini wahai Sang Pencipta. Sosok wanita cantik dengan senyum manisnya, dan cinta yang ada didalamnya. Sumpah, sempurna banget.

Arrgghhh. Kok dorongan untuk memperjuangkan cintaku semakin menguat seperti ini sih.? Tenang Lang, tenang. Jangan seperti sih ini kamu.?

“Ehem, dianggapnya obat nyamuk aku disini.” Gerutu Joko disebelahku.

Aku dan Gendhis langsung terkejut dan melepaskan jabatan tangan kami ini.

“Cok, bukan obat nyamuk, tapi nyamuknya. Berisik.” Sahutku, untuk mengurangi rasa grogkiku.

“Asyuuuu.” Ucap Joko sambil memajukan bibirnya.

“Hihihi.” Gendhis lalu tertawa, sambil menutup mulutnya dengan tangan kanan, sedangkan tangan kirinya, menenteng bungkusan kue putu.

Kok mirip Intan banget sih cara tertawanya.? Aarrggghh.

“Aku jalan dulu ya Mba.” Pamitku.

“Oh iya, hati – hati ya.” Ucap Gendhis dengan suara yang sangat lembut sekali.

Akupun mengangguk lalu tersenyum. Setelah itu aku dan Joko membalikkan tubuhku, lalu berjalan meninggalkan Gendhis yang menatapku dengan tatapan cintanya itu.

Aku memang sengaja tidak menolehnya lagi. Karena kalau aku sekali saja menolehnya, aku pasti akan kembali dan mengungkapkan semua isi hatiku kepadanya. Biarlah aku memikirkannya lagi, agar tidak ada keraguan sedikitpun didadaku.

“Gathel.” Gerutu Joko ketika kami sduah melangkah agak jauh.

“Ternyata bahagia itu gak perlu mahal. Cukup dengan sebungkus kue putu, aku sudah mendapatkan senyumnya yang membuat hati merindu.” Ucapku dengan santainya.

Bahagia.? Enak banget ya ngomongnya. Padahal hatiku sedang diaduk – aduk aja rasanya.

“Matamu.” Ucap Joko dengan kesalnya.

“Hahahaha. Mangan yo, aku lowe.” (Makan yo, aku lapar.) Ucapku setelah tertawa.

“Ga warek ta mari ndelok’i dosen seng ayu iku.?” (Gak kenyangkah habis lihat dosen yang cantik itu.?) Sindir Joko kepadaku.

“Kalau perut ini kenyang hanya dengan cinta, aku gak perlu ngamen. Karena hatiku selalu diisi oleh cinta.” Ucapku sambil menatap kearah depan.

“Cok. Angel wes lek ngene iki.” (Cok. Susah sudah kalau begini ini.) Ucap Joko sambil menggelengkan kepalanya.

Akupun hanya tersenyum sambil menatap langit yang mulai berwarna jingga. Senja mulai menyapa kota ini dan hawa yang makin dingin, mulai menyelimuti tubuhku. Untung aku memakai sweter pemberian adikku Lintang, kalau enggak, aku pasti sudah kedinginan.

Dan suasana indah sore hari ini, tidak seperti suasana hatiku yang merasa kebingungan dengan arah mana yang akan aku tuju. Terus melangkah bersama Impianku saja, atau menggandeng cinta untuk melangkah bersama. Arrgghhh.

Dan sekarang, setelah makan nasi goreng disebelah kampus teknik kita, aku dan Joko pergi kedaerah perumahan didekat pusat kota ini. Kami berdua ingin mencari suasana segar dalam mengamen kali ini. Kami biasanya mengamen dari rumah makan kerumah makan yang lain, atau dari kosan satu kekosan yang lain.

Diperumahan ini, kami mendapatkan hasil yang lumayan. Walaupun penghuninya cukup lama untuk keluar rumah. Tapi gak apa – apa, itu resiko buat kami dalam mengamen. Kalau dalam satu lagu kami sudah selesai dan penghuninya tidak juga keluar, kami akan pergi dan pindah rumah sebelah. Dan kalau seandainya kami diberi uang tapi lagu belum habis, kami akan menyelesaikan lagu itu baru kami akan pergi.

Dan tiba dirumah salah satu penghuni perumahan ini,

“Permisi Bapak dan Ibu.” Ucap Joko.

JRENG,

Bunyi petikan gitarku.

DUNG, TAK,

Tabuhan gendang Joko.

Setelah itu aku bernyanyi dengan sesekali Joko ikut bersuara. Dan ketika lagunya sudah habis, penghuni rumahnya belum juga keluar.

“Lanjut sebelah.” Ucap Joko kepadaku.

“Oke.” Jawabku, lalu kami berdua balik kanan.

“Mau kemana kalian.?” Ucap seseorang yang mengejutkan kami berdua.

Aku dan Joko langsung menoleh kearah rumah tadi. Tidak ada orang diteras, bahkan pintu rumahnya masih tertutup. Joko langsung melihat kearah halaman rumah, yang ada gazebonya disudut halaman.

Joko mengkodeku untuk melihat kearah gazebo itu. dan terlihat bayangan seseorang sedang merokok tapi wajahnya tidak terlalu terlihat, karena cahayanya yang remang – remang.

“Masuklah.” Ucap orang itu dan sepertinya aku mengenal suara itu.

Aku dan Joko saling melihat, lalu aku menganggukan kepalaku. Joko membuka pagar rumah tersebut dan kami berdua berjalan mendekat orang yang duduk digazebo.

Pada saat kami sudah dekat dengan orang tersebut, wajahnya semakin terlihat jelas dan kami berdua langsung terkejut.

“Jancok.” Ucap kami berdua dengan kompaknya, lalu kami berdua menutup mulut kami bersama – sama.

“Kurang ajar.” Ucap orang itu sambil melihat kami berdua bergantian.

“Maaf Pak Tomo, maaf. Kami gak tau kalau ini rumah Bapak dan maaf kalau kami bicara kasar barusan.” Ucapku dengan sangat sopannya.

Ya, beliau itu adalah Pak Tomo, kepala jurusan teknik sipil dan ketua pelaksanaan ospek dari pihak dosen kemarin.

Aku sempat terkejut beberapa saat, tapi sekarang aku sudah bisa bersikap seperti biasa, sopan dengan senyum yang mengambang dibibir. Hal seperti ini biasa terjadi ketika aku mengamen diterminal dan dipasar kotaku. Aku sering bertemu dengan guruku sekolah, tetanggaku, teman – teman sekolahku, bahkan dengan orang tua temanku. Aku tidak pernah malu ataupun takut, ketika ketahuan mengamen. Karena menurutku apa yang aku lakukan ini, bukan suatu kejahatan atau aib yang harus ditutupi. Aku melakukan ini hanya untuk menghibur orang dan aku mendapatkan hasil dari kegiatanku ini.

“Hem, duduklah.” Ucap Pak Tomo lalu beliau menghisap rokoknya lagi.

“Permisi Pak.” Ucapku sambil menganggukkan kepalaku, lalu aku duduk tidak jauh dari beliau.

Joko pun langsung duduk disebelah kiriku, dia tidak mau duduk diantara aku dan Pak Tomo yang masih berjarak ini. Aku lalu meletakkan bodi gitarku ditanah dan ujungnya aku pegang.

Kami bertiga duduk digazebo, dengan pandangan lurus kedepan kearah garasi pak Tomo.

“Mau minum apa.?” Tanya Pak Tomo sambil melirik kearahku.

“Gak usah Pak, terimakasih.” Tolakku secara halus.

“Baguslah, jadi aku gak perlu repot masuk kedalam.” Jawab Pak Tomo dengan cueknya.

“Huuu.” Terdengar Joko menghembuskan nafasnya pelan.

Kami bertiga pun berdiam diri beberapa saat. Pak Tomo diam sambil menikmati rokoknya, sementara aku dan Joko bingung harus berbuat apa. Sebenarnya kami berdua mau rokokkan, tapi kami sungkan (segan) untuk melakukannya.

“Kalau mau rokok’an, rokok’an aja.” Ucap Pak Tomo kepada kami dan Joko langsung mengeluarkan rokoknya. Dan ketika Joko mengambil rokoknya sebatang.

“Terimakasih Pak, tadi kami sudah rokok’an diluar.” Jawabku.

“Gatheli arek iki.” (Jengekelin anak ini.) Gerutu Joko dengan suara yang sangat pelan kepadaku, lalu memasukkan rokoknya lagi kedalam kantongnya.

Dan gak berapa lama, seorang perempuan setengah baya keluar dan akan menutup pagar yang tidak kami tutup tadi.

“Gak usah ditutup Mba.” Ucap Pak Tomo kepada wanita itu dan wanita itu langsung melihat kearah kami.

“Oh, maaf Pak, saya kira gak ada orang tadi.” Jawab wanita itu dengan sangat sopannya.

“Tolong buatkan kopi dua ya mba. Sama sekalian tolong ambilkan kopi saya dimeja makan.” Ucap Pak Tomo kepada wanita itu.

“Enggeh Pak.” (Iya Pak.) Jawab Wanita itu, lalu dia masuk kedalam rumah.

“Jadi bagaimana.?” Tiba – tiba Pak Tomo bertanya kepadaku, sambil mematikan rokoknya diasbak yang berada diantara kami duduk ini.

“Bagaimana apanya Pak.?” Tanyaku balik, sambil melihat kearah beliau.

“Kamu sanggup kuliah sambil mengamen seperti ini.?” Tanya Pak Tomo.

“Sanggup Pak, saya mengamen semenjak dari sekolah dulu.” Jawabku dengan lugasnya.

“Hiuuffftt, huuuu.” Pak Tomo menarik nafasnya dalam – dalam, lalu mengeluarkannya perlahan.

“Jangan samakan sekolah dengan kuliah Lang, tingkat kesibukannya jauh berbeda. Mungkin untuk semester satu dan dua, kamu banyak santainya. Tapi ketika sampai disemester tiga, kamu akan mulai dihadapkan dengan kesibukan yang akan menyita banyak waktumu.” Ucap Pak Tomo lalu beliau mengambil rokoknya lagi dan membakarnya.

Akupun langsung terdiam dan menyimak setiap ucapan Pak Tomo.

“Aku tau, biaya kuliahmu kamu cari sendiri. Tapi kamu juga harus mencari alternatif lain, supaya kuliahmu gak keteteran.”

“Bukannya aku mau mengingatkan janjimu kepadaku, tentang kelulusanmu yang sesuai target. Tapi aku hanya mengingatkanmu, tentang kesibukan dunia kampus ini seperti apa.” Ucap Pak Tomo, lalu beliau menarik isapan rokoknya lagi.

“Terimakasih atas masukannya Pak. Saya akan memikirkan hal itu setelah ini.” Jawabku dan Pak Tomo hanya mengangguk pelan.

Tidak lama kemudian, seorang anak laki – laki keluar dari dalam rumah Pak Tomo dengan santainya. Kalau aku lihat, usia anak itu mungkin diatas Damar adikku atau bahkan mungkin kurang lebih aja.

“Mau kemana nak.?” Tanya Pak Tomo dan pemuda itu langsung melihat kearah kami.

“Mau keluar Yah.” Jawab anak itu lalu dia menunduk.

Dari cahaya lampu teras yang lumayan terang, aku sempat melihat wajah anak itu sebelum dia menunduk. Wajahnya tampak lebam dan seperti habis berkelahi.

“Iya, hati – hati.” Jawab Pak Tomo dengan tenangnya..

“Iya Yah.” Jawab anak itu, lalu dia mengambil sepatunya dan pergi dengan langkah yang begitu santainya.

Kembali Pak Tomo menarik nafasnya dalam – dalam, lalu mengeluarkannya perlahan. Aku dan Joko sempat saling melirik, lalu melihat kearah depan lagi.

“Dia putraku. Namanya Satria Adi Tomo. Dia seorang anak yang masih mencari jati dirinya.” Ucap Pak Tomo, tanpa aku bertanya.

Gila. Walaupun Pak Tomo terlihat tenang dan tidak melarang anaknya, ketika keluar dalam keadaan seperti itu, tapi terlihat dia sangat mengkhawatirkannya. Pak Tomo pasti sangat memberikan kepercayaan yang penuh kepada anaknya, dalam segala hal. Entah bagaimana cara beliau mendidiknya.

Tapi kalau menurutku, Ayah tetaplah Ayah. Seberapapun kebebasan dan kepercayaan yang diberikan kepada kita, Beliau pasti khawatir. Mungkin Ayah tidak terlalu menampakkannya dihadapan kita, tapi gak tau kalau berada dibelakang kita. Seperti Pak Tomo saat ini. Ayah itu ingin menjadikan anaknya mandiri dan tidak suka mengeluh. Ayah ingin menjadikan kita sebagai anak yang kuat, untuk mengarungi kehidupan yang sangat luar biasa keras diluar sana. Tapi ada kalanya, Ayah akan datang ketika kita sedang terpuruk dan butuh pelukannya. Itu yang akan menjadi semangat yang sangat luar biasa bagi seorang anak.

Beberapa saat kemudian, wanita setengah baya tadi keluar lagi sambil membawa minuman kami bertiga.

“Silahkan diminum mas.” Ucap wanita itu kepadaku dan Joko.

“Terimakasih.” Sahutku dan Joko barengan, lalu wanita itu masuk lagi kedalam rumah.

“Minumlah dulu.” Ucap Pak Tomo kepada kami berdua.

“Iya Pak.” Sahutku, lalu aku dan Joko langsung menyeruput kopi yang masih sangat panas ini perlahan.

Sruupppp.

Lalu setelah itu, kami berdiam diri sejenak lagi.

“Bapak sangat mengkhawatirkannya ya.?” Tanyaku sambil melihat kearah Pak Tomo.

“Ayah mana yang tidak khawatir, ketika melihat putranya sudah beranjak dewasa dan sedang mencari jati dirinya.?” Ucap Pak Tomo sambil melirikku.

“Seorang anak, mencari jati dirinya tidak jauh Pak. Cukup melihat dari sosok Ayah yang selalu ada didekatnya, anak itu pasti menemukannya. Mohon maaf kalau saya lancang berbicara seperti ini, karena hal itu yang saya alami selama ini Pak.” Ucapku sambil mengingat Bapakku yang ada didesa.

“Mungkin secara ekonomi, Satria lebih beruntung dari pada kamu Lang. Tapi dari perjalanan hidup, dia harus belajar banyak sama kamu.” Ucap Pak Tomo sambil menatap kearah depan.

“Setiap anak mempunyai cara tersendiri dalam menjalani kehidupan ini Pak. Dan saya yakin, Bapakpun sependapat dengan saya. Bapak memberikan kepercayaan yang penuh, tapi tetap mengiringinya dari jauh. Bapak orang tua yang sangat luar biasa.” Ucapku dan Joko langsung menyenggol kakiku.

Dia memberikan kode kepadaku, dengan menggerakan dua jarinya seperti meminta izin untuk merokok. Aku langsung melotot kepadanya dan tersirat sebuah kata dari tatapan matanya. Kecut cok.

Aku langsung mengambil gelas kopiku lagi dan menyeruputnya.

“Oh iya, gimana dengan Gendhis.?” Tanya Pak Tomo yang tiba – tiba mengalihkan pembicaraan tentang Gendhis dan langsung mengejutkanku.

“Srruuppp, uhuk, uhuk, uhuk.” Akupun langsung tersedak kopi yang mulai dingin ini.

“Hep, hep, hep, hep.” Joko langsung tertawa tapi ditahannya.

“Kenapa kamu.?” Tanya Pak Tomo sambil melihat kearahku.

“Gak apa – apa Pak.” Ucapku sambil meletakkan gelas, lalu membersihkan sisa kopi yang ada disekitar bibirku.

“Lambat sekali gerakanmu itu.” Ucap Pak Tomo.

“Maksudnya Pak.?” Tanyaku.

“Percuma kepalan tanganmu keras, tapi hatimu lemah. Mampu berteriak dihadapan para bajingan, tapi tertunduk dan tidak mampu memperjuangkan cintamu pada perempuan.” Ucap Pak Tomo dengan cueknya, lalu menghisap rokoknya.

Ha.? Maksud Pak Tomo ini apa.? Apa beliau tau kalau aku dan Gendhis saling mencintai.? Arrgghhh. Tau apa sih Beliau ini dengan isi hatiku.? Memangnya Beliau tau juga kalau aku sedang mengalami kebimbangan yang maha dasyat.?

Hiuffftt, huuu.

“Ada sesuatu yang lebih dulu untuk diperjuangankan, dalam meraih impian Pak. Bukannya tidak mau memperjuangkan yang lain, bukan seperti itu.” Jawabku untuk membela diri.

“Ngomong apa kamu itu.? Bilang aja kamu terlalu takut untuk memperjuangkan cintamu.” Ucap Pak Tomo dengan tanpa merasa berdosa.

“hihihi.” Jokopun langsung menyambutnya dengan tawa.

“Anak teknik itu, kalau ngomong A ya A, B ya B. Gak perlu dibelokan kemana – mana. Mau ngomong A aja harus sampai Z dulu. Payah.” Ucap Pak Tomo yang langsung membuat kepalaku cenut – cenut.

“Dah pergi sana. Nanti kalau kemalaman terus pendapatanmu berkurang, aku yang kamu salahin.” Ucap Pak Tomo sambil mematikan rokoknya diasbak, lalu menyeruput kopinya dan dilanjut dengan merogoh kantong celananya.

“Jangan Pak, gak usah kasih kami uang. Dengan mengobrol dan segelas kopi seperti ini aja, sudah sangat luar biasa sekali bagi kami.” Ucap Joko sambil melihatku lalu melihat kearah Pak Tomo.

“Yang kasih kalian uang itu siapa.? Aku mau ambil sapu tanganku.” Ucap Pak Tomo sambil mengeluarkan sapu tangannya, lalu membersihkan mulutnya.

“Cok.” Gerutu Joko pelan sekali.

“Kamu berharap aku memberi uang ya.?” Tanya Pak Tomo sambil mengantongi sapu tangannya lagi.

“Enggak Pak, enggak.” Jawabku dan aku langsung berdiri sambil menggendong gitar didepanku.

“Padahal aku tadi mau kasih kalian uang, tapi ga usahlah. Kalian sepertinya sudah banyak penghasilan malam ini.” Ucap Pak Tomo sambil berdiri.

Akupun hanya tersenyum lalu menunduk dan meraih tangan kanan beliau, lalu menciumnya. Setelah itu Joko pun melakukan hal yang sama seperti apa yang aku lakukan barusan.

“Pamit Pak.” Ucapku dan ketika aku akan melangkah,

“Lakukanlah, sesuatu yang bisa kamu lakukan. Tapi kalau itu diluar batas kemampuanmu, tinggalkan. Karena gak semua permasalahan itu harus kamu yang selesaikan.” Ucap Pak Tomo dan aku hanya mengangguk, lalu melangkah keluar pagar rumah Pak Tomo.

“Pak Tomo ngomong opo seh mau.?” (Pak Tomo ngomong apa sih tadi.?) Tanya Joko sambil mengeluarkan rokoknya lalu membakarnya, setelah itu menyerahkan bungkusan rokoknya kepadaku.

“Gak ngerti.” Jawabku sambil menerima bungkusan rokok Joko, lalu mengambilnya sebatang dan membakarnya.

“Lapo koen mantuk ae lek ga ngerti.?” (Kenapa kamu ngangguk aja kalau gak ngerti.?) Tanya Joko dengan jengkelnya.

“Terus lek gak mantuk piye.? Koen kongkon aku takon maneh nang Pak Tomo.? Gak muleh – muleh awak dewe cok. Kecut lambeku.” (Terus kalau gak ngangguk gimana.? kamu suruh aku tanya lagi ke Pak Tomo.? Gak pulang – pulang kita cok. Kecut mulutku.) Ucapku lalu aku menghisap rokokku.

“Cok. Terus piye lek ngono.?” (Cok. Terus gimana kalau gitu.?) Tanya Joko lagi.

“Gak piye – piye cok. Dipikir engko ae lah.” (Gak gimana – gimana cok. Dipikir nanti ajalah.) Jawabku sekenanya.

Terus terang selain permainan hati yang masih mengguncang hatiku, aku juga bingung dengan ucapan terakhir Pak Tomo tadi. Memangnya aku akan menyelesaikan apasih.? Kok aku harus meninggalkan sesuatu, yang aku sendiri tidak tau apa itu masalahnya.? Arrgghhh.

“Assuu’ig.” Ucap Joko dan kami berdua, sekarang sudah berada dipinggir jalan, diluar komplek perumahan Pak Tomo.

“Nangdi iki.?” (Kemana ini.?) Tanyaku.

“Nang parkirane Bendu ae yo.” (Keparkirannya Bendu aja yo.) Jawab Joko

“Ayolah.” Jawabku.

Kami berduapun berjalan menuju kearah ruko – ruko tempat Bendu mencari nafkah, yang lokasinya tidak jauh dari komplek perumahan ini.

Dan ketika kami sampai disana, tampak Bendu, Rendi, Wawan dan Bung Toni, sedang berpesta di salah satu emperan ruko yang sudah tutup.

“Halo tole – tole.” (Halo anak – anak.) Ucap Joko sambil mengangkat tangan kanannya, kearah empat sekawan itu.

“Cok. Dikiro awak dewe peserta ospek.” (Cok. Dikiro awak dewe peserta ospek.) Omel Bendu ke Joko.

“Hahahaha. SEMONGKO.” Teriak Joko.

“SEMANGAT NGANTI BONGKO” (Semangat sampai mampus.) Teriak kami berenam dengan semangatnya, sambil mengepalkan tangan kiri ke udara.

“HAHAHAHA.” Lalu kami semua tertawa dengan kerasnya.

“Tumben dijawab semongkonya.?” Tanya Joko sambil menyalami empat sekawan itu satu persatu dan aku mengkutinya.

“Sudah selesai ospeknya cok.” Jawab Wawan.

“Kenapa ko tanya begitu.? mo saya pakukah (hantamkah.)?” Sahut Bung Toni.

“Dikira aku kayu mau dipaku.? Cukimai.” Ucap Joko dengan cueknya, lalu meletakkan gendang paralonnya dan duduk bersama empat sekawan itu.

“Gosi.” Ucap Bung Toni dan Joko hanya tersenyum saja, lalu Bung Toni menuangkan minuman dan menyerahkan kepadaku, yang baru duduk didekat Rendi.

Aku mengambil minuman itu, lalu mengangkatnya.

“Werr.” Ucapku.

“Werr, werr, werr,” Sahut Joko dan keempat sekawan hanya mengerutkan alis mereka masing – masing.

Aku lalu meminum minuman itu sampai habis, setelah itu menyerahkan gelas kosongnya kepada Bung Toni. Bung Toni menuangkan lagi minumannya, lalu diserahkan ke Joko.

“Werr.” Ucap Joko sambil mengangkat gelasnya tinggi – tinggi.

“Werr, werr, werr,” Giliran aku yang menyahut.

“Apa werr itu.?” Tanya Rendi kepadaku

“Mantra supaya kuat minum Ren.” Jawabku berbohong.

“Hehe. Taik.” Ucap Rendi sambil menggelengkan kepalanya.

“Hehe.” Dan akupun hanya tertawa pelan.

Kamipun diam beberapa saat, sambil menikmati putaran minuman dari Bung Toni.

“Gila, namamu sudah tercatat disejarah kampus teknik kita cok.” Ucap Wawan kepadaku.

“Enggak, aku gak mau masuk dalam sejarah itu.” Jawabku sambil melirik kearah Wawan, lalu aku menghisap rokokku.

“Suka atau gak suka, namamu sudah tertulis dan akan terkenang sampai selamanya.” Sahut Bendu.

“Betul, kamu sudah menghentikan suatu tradisi yang begitu gila dikampus teknik kita.” Ucap Wawan.

“Bukan aku yang menghentikan tradisi gila itu, tapi zaman. Zaman telah merubahnya dan mau atau tidak mau, kita harus mengikutinya. Tidak mungkin kegiatan bar – bar seperti itu, akan terus dilakukan pada Zaman ini dan yang akan datang. Sudah bukan masanya lagi seperti itu.” Ucapku menjelaskan kepada empat sekawan itu, sama seperti ketika menjelaskan kepada Intan tadi sore.

“Zaman kalau gak ada pelaku sejarahnya, apa yang mau ditulis.?” Sahut Rendi.

“Ada hal yang harus ditulis disejarah, ada juga yang tidak. Aku memilih tidak menulis atau mengijinkan siapapun untuk menulis namaku disejarah itu. Setiap masa mempunyai sejarah masing – masing dan biarkan mereka melakukan apapun untuk masanya itu, tanpa perlu ada ketakutan tentang bayang – bayang tulisan sejarah dimasa lalu.” Jawabku.

“Berarti kamu tidak menghargai sejarah masa lalu.?” Tanya Bung Toni.

“Saya menghargai sejarah Bung. Tapi untuk kehidupan pribadiku, aku tidak ingin dikenang oleh orang lain.” Jawabku.

“Kenapa.?” Tanya Wawan.

“Karena setiap apa yang aku lakukan, aku pertanggung jawabkan kepada Sang Pencipta kelak. Untuk mempertanggung jawabkan apa yang aku lakukan saja, pasti sangat berat. Apalagi mempertanggung jawabkan apa yang dilakukan oleh orang lain, karena mengenang atau meniru sejarahku.” Jawabku.

“Jadi aku mohon, lupakan semua tentang kelakuanku yang kemarin – kemarin atau esok hari ketika kita bersama. Biarkan apa yang kita lakukan bersama ini, menjadi kenangan didalam hati kita. Tidak perlu kalian menceritakan kepada generasi yang akan datang tentang aku, walaupun hanya sekedar namaku. Jangan pernah lakukan itu kawan.” Ucapku lalu aku menghisap rokokku lagi.

“Banyak orang yang berambisi mencatatkan namanya dalam sejarah, tapi kamu beda Lang. Kamu justru tidak ingin dikenang oleh orang lain.” Ucap Rendi sambil menatapku.

“Untuk apa Ren.? Aku mempunyai jalan sendiri dan aku mempunyai impian yang harus aku raih. Itu untukku dan orang – orang terdekatku. Aku tidak ingin siapapun mengikuti caraku, karena aku itu orang gila.” Jawabku sambil menatap Rendi.

“Orang gila yang pasti akan aku kenang didalam hatiku dan akan menjadi rahasiaku.” Ucap Rendi sambil mengepalkan tangannya kearahku dan aku meninjunya pelan.

“Iki mbahas opo seh.? Kok nggatheli ngene.?” (Ini bahas apasih.? Kok menjengkelkan sekali.?) Tanya Joko, sambil melihat kearahku lalu melihat kearah Rendi.

“Bahas ko punya biji.” Sahut Bung Toni.

“Cukimai.” Ucap Joko ke Bung Toni.

“hahaha.” Bung Tonipun tertawa, lalu memutarkan minumannya lagi.

“Padahal tradisi itu enak banget loh.” Celetuk Wawan, yang membahas masalah tradisi itu lagi.

“Betul Wan.” Sahut Bendu.

“Berkelahi kok enak.” Ucap Joko.

“Anak teknik gak ada berkelahinya, itu lucu bagiku.” Ucap Wawan lalu dia menghisap rokoknya.

“Anak teknik itu sekarang menunjukkan prestasi, bukan kepalan tangan yang beraksi.” Jawabku.

“Itu bagimu, bukan bagiku.” Sahut Wawan.

“Dalam satu masa saja, terlalu banyak sejarah yang harus dicatat. Dan dimasa kita ini, mungkin sejarah Wawan lebih menarik untuk dicatat dan dibahas, daripada sejarahku. Hehehe.” Ucapku lalu aku tertawa.

“Taik. Kita gak usah bahas masalah sejarah kenapa sih.? kita ini masih hidup loh.” Ucap Wawan dengan jengkelnya.

“Raimu Wan. Awakmu seng mulai, lah kok saiki malah ngomel.” (Mukamu Wan. Kamu yang mulai, lah kok sekarang malah ngomel.) Ucap Joko ke Wawan.

“Ya aku gak tau kalau pembahasannya sampai begini dalamnya. Suek loe Jok.” Jawab Wawan.

“Gak suek, gak iso ngomong cok.” (Gak sobek, gak bisa ngomong cok.) Sahut Joko.

“Lambene arek iki lek ngomong gak ono saringane.” (Mulutnya anak ini kalau ngomong gak ada saringannya.) Ucap Bendu ke Joko.

“Pejuhmu itu loh disaring.” Sahut Joko.

“Matamu.” Maki Bendu.

“Bung, sumpel Joko sama minuman. Kalau nggak, dia ngoceh aja.” Ucap Rendi ke Bung Toni.

“Langsung pakai botol aja Bung.” Ucap Wawan.

“Botolnya Bung Toni kecil, buat bersihin kotoran gigiku aja itu. hahahaha.” Ucap Joko lalu tertawa.

“Cukimai ko Jok.” Gerutu Bung Toni, lalu menuangkan segelas penuh minuman dan menyerahkan kepada Joko.

“Kok penuh Bung.?” Tanya Joko sambil melotot.

“Ko minum saja, mau aku kasih sebotol kah.?” Sahut Bung Toni yang juga ikut melotot.

“Cok.” Gerutu Joko, lalu meraih gelas itu dan meminumnya, tanpa mengucapkan kata werr lagi.

“Werr.” Ucap Bung Toni.

“Werr, werr, werr,” Sahut kami berlima, sambil melihat Joko meminum minuman itu.

“Assuu.” Maki Joko ketika minumannya habis, lalu membersihkan sisa minuman yang ada dibibirnya.

“Hahahaha.” Kami berenampun, lalu tertawa bersama.

Kami lalu melanjutkan pesta dan tidak terasa waktu sudah menunjukkan hampir jam sebelas malam.

Aku dan Joko pamit lalu pulang kekosan. Jarak Ruko ini kekosanku, lumayan jauh. Aku dan Jokopun berjalan kaki dimalam yang dingin ini. Sebenarnya empat sekawan itu mau mengantarkan kami berdua, dengan menggunakan sepeda motor. Tapi kami berdua menolaknya, dengan alasan ingin menikmati udara dingin dan segar malam ini.

Jalan kami ini pun melewati café Mas Jeki. Dan ketika sampai diseberang Cafe Mas Jeki, aku melihat dibagian depan café, ada sepasang muda mudi yang duduk berhadapan dan saling menggenggam tangan diatas meja.

Joko yang melihat hal itu, langsung melihat kearahku yang terpaku dengan pemandangan yang sangat menyayat hatiku itu.

Bagaimana hatiku tidak tersayat, sepasang muda mudi itu adalah Gendhis dan Dani. Gila, tadi sore Gendhis menatapku dengan tatapan cinta, dan sekarang tatapan cintanya malah diberikan kepada Dani. Semudah itukah Gendhis menatap laki – laki dengan pandangan cintanya.? Atau jangan – jangan aku saja yang terlalu pede selama ini.?

Tapi tidak mungkin aku merasa kepedean. Aku telah memeluk dan menggenggam tangan Gendhis. Pelukan, genggaman dan tatapannya, semua mengisyratkan cinta yang terdalam kepadaku, walaupun tak terucap. Terus apa yang ada dihadapanku saat ini.? kenapa dia menggandeng dan menatap mesra laki – laki lain.? Apa karena hubungan kami belum terikrar dengan sebuah kata dan ikatan sebuah janji.? Atau jangan – jangan ini firasat hatiku yang terombang – ambing dari tadi, makanya aku tidak bisa tegas dengan sikapku.?

Bodoh banget kamu Lang. Awalnya kan memang kamu tidak ingin memperjuangkan cintamu kepada Gendhis. Terus kenapa sekarang kamu merasa seperti ini.? Harusnya kamu senang, karena Gendhis telah bersama laki – laki lain dan pasti akan melupakanmu.

Sudahlah Lang. Sekarang kembali ketujuan awalmu berada dikota ini. Raihlah impianmu dan lupakanlah cintamu. Meraih impian memang membutuhkan rasa sakit sebagai pelecut. Kamu sudah banyak sekali mendapatkan lecutan selama ini, dan ini adalah lecutan yang paling keras.

Semesta sudah menegurmu Lang, menegurmu. Bukan hanya sekali, tapi berkali – kali. Dan untung hanya sebuah teguran. Bagaimana kalau semesta langsung menghukummu dan menggagalkan semua impianmu.? Apa kamu tidak malu dengan kedua orang tuamu.? Lanjutkan langkahmu dan abaikan kata hatimu. Jalanmu masih panjang Lang. Masih panjang banget. Masa harus terhenti karena sebuah kata cinta sih.?

“JIANCOOKKK.” Teriak Joko dengan kerasnya.

Semua pengunjung café yang ada diseberang jalanpun, langsung melihat kearah kami berdua. Dua orang muda mudi itupun, juga melihat kearah kami.





#Cuukkk. Ketika permainan hati sudah mulai mengganggu perjalananmu dalam meraih impian, cepat tinggalkan dan larilah sejauh mungkin. Sebelum permainan itu semakin gila dan kamu terjerumus semakin dalam, tinggalkan hatimu untuknya disini dan pergilah walaupun kamu dibilang tidak punya hati. Karena melangkah dengan hati yang terluka, itu malah akan membuat kebencian menggelayut dengan manjanya disisi hatimu. Lari dan larilah.
 
Terakhir diubah:
Selamat malam Om dan Tante.
Updet malam ya.

Selamat menikmati dan selamat beristirahat.
Jangan lupa saran dan masukannya.

Oh iya, dikesempatan ini saya mau minta maaf buat Om dan Tante yang telah banyak berkomentar,
Tapi saya tidak bisa membalasnya satu persatu.
Bukannya karena saya tidak menghargai sapaan atau pertanyaan Om dan Tante.
Tapi mohon maaf sekali, kalau saya membalas satu persatu komentar yang masuk, takutnya cepat sampai di halaman 500.
dan itu berarti, saya harus memaksakan tamat, lalu membuat rumah baru lagi.

Mohon maaf sebesar - besarnya dan terimakasih atas antusias yang sangat luar biasa diforum ini.
Salam Hormat dan salam persaudaraan.
:beer::beer::beer:
 
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd